• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah dan Kerapatan Stasiun Hujan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah dan Kerapatan Stasiun Hujan di Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam pemanfaatan data dan informasi agroklimat, terdapat keterbatasan jumlah dan mutu data yang digunakan, baik skala ruang (spasial) maupun skala waktu (temporal) yang disebabkan oleh distribusi stasiun hujan yang tidak merata. Berdasarkan hasil inventarisasi dan kompilasi data, di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, sebaran stasiun curah hujan di Pulau Jawa paling rapat dibandingkan pulau lainnya dengan kerapatan stasiun 3,57 stasiun/1000 km2 (Tabel 1). Dalam usaha menampilkan informasi historis tentang cuaca yang lengkap dan kerap pada akhirnya dilakukan pendugaan dan pembangkitan (generate) data. Pendugaan data ini didasarkan pada kondisi fisik suatu wilayah atau didasarkan pada keterkaitan antara peubah cuaca yang satu dengan peubah lainnya.

Tabel 1. Jumlah dan Kerapatan Stasiun Hujan di Indonesia

Nomor Nama Pulau/wilayah Luas Wilayah (km2) Jumlah stasiun Kerapatan stasiun/1000 km2 1 Sumatera 480.847 266 0,55 2 Jawa 127.569 455 3,57 3 Kalimantan 574.194 163 0,28 4 Sulawesi 191.671 159 0,83

5 Bali dan Nusa Tenggara

73.137 114 1,56

6 Maluku 77.870 32 0,41

7 Papua 365.466 122 0,33

Sumber; Rejekiningrum et al., 2003

Untuk memperoleh informasi curah hujan di suatu daerah yang tidak memiliki stasiun hujan dapat menggunakan data dari stasiun lain yang berdekatan. Dalam hal demikian, perlu pertimbangan keterwakilan satu stasiun yang dapat mewakili suatu wilayah atau terkait dengan stasiun-stasiun lainnya. Secara spasial perlu dilihat homogenitas data dari sebanyak mungkin stasiun pada suatu wilayah sehingga mampu memberikan gambaran bahwa dalam suatu wilayah yang sangat luas dapat dibagi menjadi wilayah-wilayah yang sangat kecil dengan pertimbangan bahwa stasiun-stasiun yang terdapat dalam suatu kelompok wilayah memiliki keragaman yang sama atau hampir sama (tidak berbeda nyata). Analisis

(2)

ini dikenal sebagai analisis pewilayah hujan. Analisis pewilayah hujan akan lebih tepat bila didukung dengan identifikasi dan karakteristik topografi di wilayah tersebut (Rejekiningrum et al., 2003).

Banyak metode yang sudah dikembangkan untuk membuat pewilayahan hujan seperti metode Isohyet, metode Analisis Gerombol (Cluster Analysis) (Krzanowski, 1988), dan metode Thiessen (Goovaerts, 2000). Metode pewilayahan yang pernah dibuat umumnya hanya menggunakan informasi data curah hujan pada setiap lokasi pengamatan stasiun padahal dengan adanya pengaruh variable-variabel geografi (koordinat dan ketinggian) menyebabkan penyebaran curah hujan menjadi lebih komplek. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk pewilayah hujan dengan memperhitungkan input lain seperti jarak antar stasiun adalah teknik Sistem Informasi Geografi (SIG) (Mir´as-Avalos, 2007).

Estimasi sebaran secara spasial dari data stasiun pengamatan dengan SIG umumnya menggunakan teknik interpolasi (Allard, 1994). Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu didalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode interpolasi yang berkembang sangat banyak (Smith et al., 2006-2009) diantaranya adalah metode Inverse Distance Weighting (IDW), Natural Naighbor (NN) dan Ordinary Kriging (OK).

Indah et al. (2005), melakukan penelitian tentang penerapan metode OK dan IDW untuk menduga nilai T1000mb, Air Mampu Curah (AMC) dan Indeks Stabilitas Atmosfer (ISA) dari data NOAA di wilayah Cengkareng dan salah satu hasil yang diperoleh adalah penggunaan metode IDW untuk lokasi yang memiliki titik-titik pengamatan yang rapat akan lebih efektif dibandingkan dengan metode OK.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mir´as-Avalos (2007), tentang penerapan metode interpolasi IDW dan geostatistik (Ordinary Kriging and

(3)

Universal Kriging) untuk pemetaan data curah hujan di Galicia, Spanyol adalah

metode IDW memberikan hasil yang lebih mendekati nilai observasi sedangkan metode OK mampu memberikan peta yang lebih rapat (smooth).

Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao paling luas di dunia dan termasuk negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Ivory Coast dan Ghana, yakni dengan nilai produksi tahunannya mencapai 572 ribu ton (Wahyudi, 2008). Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan (2006), Pada tahun 2003 luas areal penanaman kakao telah mencapai 917 ribu hektar dan tersebar di seluruh provinsi. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal penanaman kakao 245.227 ha, terdiri atas perkebunan rakyat 242.403 ha dan perkebunan besar swasta 2.824 ha dimana produksi rata-rata 197.613 ton per tahun atau 0.8 ton/ha/tahun. (Sumber: BPS, 2007).

Meningkatnya luas areal penanaman kakao ternyata tidak diiringi dengan peningkatan produktivitasnya. Secara umum, rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar 0,9 ton/ha/tahun. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata potensi yang diharapkan, yakni sebesar 2 ton/ha/tahun. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman kakao adalah teknologi budi daya yang kurang optimal (Wahyudi, 2008). Keberhasilan pengembangan dan budidaya suatu komoditas ditentukan oleh teknologi budidaya serta kesesuaian sumber daya lahan dan iklim untuk komoditas yang bersangkutan agar tercapai jumlah dan mutu yang diharapkan (Estiningtyas, 2001). Dalam menanam kakao, sumber daya lahan dan iklim merupakan salah satu informasi yang penting untuk diperhatikan karena kesalahan dalam memilih lahan dan lingkungan sekitarnya, akan membawa dampak yang sangat luas terhadap keberhasilan budi daya kakao.

Manfaat dari pewilayahan hujan dengan teknik SIG ini selain dapat menduga curah hujan disuatu daerah yang tidak memiliki stasiun hujan juga dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik curah hujan dalam kaitannya untuk pengembangan produksi komoditas perkebunan. Curah hujan adalah unsur iklim yang terpenting dalam budi daya tanaman kakao (Wahyudi, 2008). Tanaman kakao membutuhkan curah hujan yang sebarannya merata atau curah hujan tahunannya lebih besar dari evapotranspirasinya. Kisaran curah hujan yang ideal

(4)

bagi pertumbuhan tanaman kakao adalah 1.500–2.500 mm/tahun dengan bulan kering (CH <60 mm/tahun) 1-3 bulan/tahun.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga kegiatan utama, yaitu (1) Mempelajari karakteristik tipe hujan dan pola hujan berdasarkan analisis data bulanan, (2) menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, IDW, NN dan OK untuk mendapatkan metode pewilayahan yang terbaik, dan (3) pemanfaatan hasil pewilayahan hujan untuk melihat kaitannya dengan tingkat produksi kakao. Wilayah kajian untuk kegiatan pertama dan kedua adalah Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan untuk kegiatan ketiga ditambah dengan empat kabupaten sentra produksi kakao, yaitu : Bone, Luwu, Pinrang, dan Soppeng. Penelitian dibagi dalam empat tahap, (1) persiapan data dan peta dasar, (2) mengolah data harian menjadi data bulanan dari 142 stasiun hujan untuk mempelajari tipe hujan dan pola hujan, (3) pewilayahan hujan dengan menggunakan 3 metode interpolasi spasial selanjutnya hasilnya dibandingkan dengan data hujan hasil observasi untuk melihat metode mana yang terbaik dan (4) memanfaatkan pewilayah hujan terbaik untuk melihat kaitannya dengan tingkat produksi kakao. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, IDW, NN dan OK untuk mendapatkan metode pewilayahan yang terbaik. 2. Memanfaatkan hasil pewilayahan hujan untuk menganalisis tingkat produksi

kakao di Sulawesi Selatan

Manfaat Penelitian

Tersedianya peta pewilayah hujan diharapkan dapat memberi informasi tambahan untuk evaluasi kesesuaian lahan komoditas perkebunan kakao di Provinsi Sulawesi Selatan.

(5)

Hipotesis

1. Teknologi SIG mampu untuk mengestimasi curah hujan dari wilayah yang tidak memiliki stasiun pengamat curah hujan.

2. Sebaran dan jumlah curah hujan merupakan salah satu faktor iklim yang mempengaruhi tingkat produksi kakao

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Data curah hujan bulanan dan tahunan

Peta Provinsi Sulaw esi Selatan dan titik sebaran stasiun

Klasifikasi tingkat produksi kakao (rendah, sedang, tinggi) Pew ilayahan hujan berdasarkan data curah

hujan tahunan dan koordinat stasiun dengan SIG : Inverse Distance Weighting (IDW),

Natural Neighbor (NN), Ordinary Kriging (OK)

Membandingkan keakuratan dari ketiga metode Data curah hujan harian

Jumlah Stasiun : 142 buah Periode Data : 1990 - 2007

Data administrasi : kabupaten dan kecamatan, posisi stasiun :

lintang, dan bujur

Data produksi dan luas area tanam tahunan

komoditas kakao

Overlay : Peta pew ilayahan hujan, peta klasifikasi produksi perkebunan

kakao, dan pola hujan w ilayah

Peta Proyeksi : Klasifikasi tingkat produksi, pew ilayahan dan pola hujan

2 dan 3 1

4

Pola hujan dan tipe hujan w ilayah

Peta pew ilayah hujan dengan metode terbaik

Peta klasifikasi tingkat produksi kakao

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Curah Hujan

Curah hujan didefinisikan sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan/perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan dibatasi oleh jumlah hari dengan curah hujan 0,2 mm atau lebih. Jumlah hari hujan dapat dinyatakan perminggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (Hidayati, 1993 dalam Yanto, 2003).

Curah hujan merupakan salah satu variable utama yang menentukan iklim suatu wilayah oleh sebab itu karakteristik spasial curah hujan sangat diperlukan. Dengan adanya interaksi antara atmosphere dan variable-variabel geografi (ketinggian dan jarak tehadap pantai) menyebabkan penyebaran curah hujan tahunan menjadi komplek. Umumnya semakin jauh jarak dari pantai maka jumlah curah hujan akan semakin berkurang tetapi karena adanya pengaruh topografi skala kecil menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah curah hujan (Mir´as-Avalos, 2007).

Curah hujan merupakan fenomena sesaat dengan keragaman yang cukup besar dalam skala waktu/temporal dan ruang/spasial. Secara spasial data curah hujan hanya berupa nilai titik pada setiap lokasi stasiun pengamatan. Estimasi sebaran secara spasial dari data stasiun pengamatan masih harus menggunakan teknik interpolasi (Goovaerts, 2000).

Pewilayahan Hujan

Pewilayahan hujan dapat diartikan sebagai penyajian karakteristik curah hujan seperti pembuatan peta isohyet, atau dapat diartikan sebagai usaha pengelompokan stasiun-stasiun hujan berdasarkan beda keragaman dari curah hujan antara satu stasiun dengan lainnya. Pengelompokan sejumlah stasiun hujan pada suatu wilayah kedalam kelompok-kelompok tertentu ini berdasarkan pada jumlah dan pola curah hujan bulanannya. Stasiun-stasiun hujan yang termasuk didalam satu kelompok akan memiliki jumlah dan pola yang tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, tetapi akan berbeda nyata dengan stasiun-stasiun hujan yang berbeda dalam kelompok lainnya.

(7)

Peta wilayah iklim Indonesia pertama kali disusun oleh Boerema (1926) yang disebut peta wilayah hujan yang membagi Indonesia menjadi 153 wilayah hujan menurut pola curah hujan bulanannya. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga telah memplubikasikan peta hujan Indonesia berdasarkan curah hujan bulanan dan tahunan selama periode 1931-1960. Schmit-Ferguson juga menyusun peta iklim Indonesia berdasarkan nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria Mohr et al. (1954) yang menetapkan kriteria bulan kering 60 mm dan bulan basah 100 mm. Selanjutnya Oldeman et al. (1977) menyusun peta agroklimat untuk menggambarkan potensi masa tanam dan pola tanam tanaman pangan dengan membagi wilayah Indonesia menjadi 16 wilayah agroklimat beredasarkan bulan basah (200 mm) dan bulan kering (100 mm) menurut kebutuhan tanaman padi dan palawija. Pusat Penelilian Tanah dan Agroklimat telah membuat Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia dengan skala 1:1000000 (Rejekiningrum et al., 2003).

Yanto (2003) melakukan pewilayahan hujan di Sulawesi Selatan berdasarkan analisis pengelompokan dengan metode analisis cluster, yang membagi wilayah hujan menjadi lima seperti disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Pewilayahan Hujan Sulawesi Selatan Curah Hujan

(mm/tahun)

Wilayah

Hujan Type Iklim Keterangan

<1000 I-1 Sangat Kering Jeneponto – Bantaeng, dengan pola hujan tunggal

1000-2000 II.1 , II.2 , II.3

Kering Tersebar di wilayah pantai selatan dan timur, Pola hujan bimodal

2000-3000 III.1 , III.2 , III.3 , III.4

Sedang Tersebar di wilayah barat, Pola hujan tunggal

3000-4000 IV.1 , IV.2 Basah Di pantai barat Malino – Takalala (Pola hujan Tunggal), Limbong – Towuti (pola hujan bimodal)

>4000 V.1 , V.2 Sangat Basah Palangka, Parang-parang, R pangli, Bilariase dengan pola hujan tunggal

Sumber : Yanto, 2003

Menurut Yanto (2003) berdasarkan faktor yang mengendalikannya, maka pola hujan di Sulawesi selatan secara garis besar dibagi menjadi tiga pola, yaitu :

(8)

(a) Pola Equatorial, pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi utara selatan mengikuti pergerakan matahari, yang dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun (pola bimodal), (b) Pola Monsunal, faktor yang mempengaruhi pola monsun adalah adanya angin darat atau angin laut dalam skala yang sangat luas, di cirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan dalam setahun (pola tunggal), (c) Pola lokal, pola ini dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi setempat, dimana faktor pembentuknya secara umum dapat dibedakan dalam dua ragam, yaitu (1) naiknya udara lembab secara paksa dari aliran udara yang menuju dataran tinggi atau pegunungan, (2) pemanasan lokal yang tidak seimbang.

Interpolasi

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu didalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh (Indah et al, 2005). Tiga (3) metode interpolasi spasial disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode Interpolasi

Metode Kecepatan Tipe Keterangan

IDW Cepat Tepat Faktor pembobot merupakan fungsi jarak

dari nilai titik contoh disekitar titik sasaran. Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak antara titik sasaran dan titik contoh.

NN Cepat Tepat Faktor pembobot merupakan fungsi

luasan dengan menggunakan konsep poligon Voronoi.

OK Lambat/

Sedang

Tepat jika tak ada nugget

Faktor pembobot merupakan fungsi dari hasil estimasi ragam minimum dengan menggunakan semivariogram. Ketepatan estimasi kriging sangat bergantung dari model semivariogram yang dipilih

(9)

Inverse Distance Weighting (IDW)

Metode ini merupakan suatu cara penaksiran dimana nilai rata-rata suatu titik sasaran (Z*) merupakan kombinasi linier atau nilai rata-rata berbobot (weighted average) dari nilai titik contoh (Z) disekitar titik sasaran. Data didekat titik sasaran memperoleh bobot lebih besar, sedangkan data yang jauh dari titik sasaran lebih kecil. Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak antara titik sasaran dan titik contoh.

Untuk mendapatkan efek penghalusan (pemerataan) data dilakukan faktor pangkat. Pilihan dari pangkat yang digunakan (IDW1, IDW2, IDW3, …) berpengaruh terhadap hasil taksiran. Semakin tinggi pangkat yang digunakan, hasilnya akan semakin mendekati nilai titik contoh terdekat (Smith et al., 2006-2009).

Jika ”d” adalah jarak titik sasaran dengan titik contoh (Z), maka faktor

pembobot (W) :

  j i i j j d d W 1 1 1 (1)

dan hasil taksiran (Z*) :

  j i i i Z W Z 1 . * (2)

Metode ini mempunyai batasan yaitu hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Atau dengan kata lain metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan titik data yang lain.

Natural Neighbor (NN)

Metode ini merupakan suatu cara penaksiran dimana nilai rata-rata suatu titik sasaran (Zp) merupakan kombinasi linier atau nilai rata-rata berbobot

(weighted average) dari nilai titik contoh (Zi) disekitar titik sasaran. Metode NN

menghitung bobot berdasarkan luas area di titik-titik contoh (Aip) sekitar titik sasaran terhadap luas area titik sasaran (Ap). Tahapan untuk menghitung faktor pembobot dijelaskan secara rinci oleh Smith et al. (2006-2009). Tahap pertama adalah menghitung Delaunay triangulation dari titik contoh j = 1,2,…62. Tahap

(10)

kedua adalah membuat polygon Voronoi berdasarkan Delaunay triangulation. Setiap titik contoh ‘j’ yang diwakili oleh polygon Voronoi memiliki luas Aj. Untuk menaksir nilai di titik sasaran (Zp) tahap pertama adalah menghitung luas Ap. Misalkan poligon P berada pada 5 (k=5) poligon contoh dengan luasan Aip, i = 1,...k maka total luas dari P adalah

(3) Tahap kedua adalah menghitung faktor pembobot (Wi) dengan persamaan

  k i ip ip k A A W 1 (4)

Maka hasil taksiran (Zp) adalah

  k i i i p WZ Z 1 (5)

Ordinary Kriging (OK)

Kriging adalah metode geostatistik yang digunakan untuk mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok sebagai kombinasi linier dari nilai contoh yang terdapat disekitar titik yang akan diestimasi. Untuk mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok digunakan suatu fungsi pembobot (W). Bobot kriging diperoleh dari hasil estimasi ragam minimum dengan menggunakan semivariogram. Ketepatan estimasi kriging sangat bergantung dari model semivariogram yang dipilih (Isaaks et al., 1989).

Ordinary kriging adalah salah satu metode estimasi yang memberikan taksiran linear tak bias terbaik (Best Linear Unbiased Estimation) untuk suatu titik atau blok. Tak bias terbaik artinya memiliki error rataan yang mendekati nol dan nilai ragam yang paling minimum.

Misal Z adalah nilai contoh yang terdapat disekitar titik yang akan diestimasi. Maka nilai estimasi Z dirumuskan sebagai:

  n j j Z W Z 1 * * (6)

(11)

Secara umum pembobot (Wj) dapat ditulis menjadi

  n j ij jC W 1  untuk setiap i, 1 <= i <= n (7)

Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG), adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian. SIG adalah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan (manipulasi), analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa SIG merupakan pengelolaan data geografis yang didasarkan pada kerja komputer (Prahasta, 2007).

Sumber informasi geografi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu (bersifat dinamis), sejalan dengan perubahan gejala alam dan gejala sosial. Informasi yang diperlukan harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki ilmu lain yaitu: 1. Merupakan pengetahuan hasil pengalaman

2. Tersusun secara sitematis, artinya merupakan satu kesatuan yang tersusun secara berurut dan teratur

3. Logis, artinya masuk akal dan menunjukkan sebab akibat

4. Obyektif, berlaku umum dan mempunyai sasaran yang jelas dan teruji. Selain memiliki ciri-ciri tersebut diatas, geografi juga harus menunjukkan ciri-ciri spasial (keruangan) dan regional (kewilayahan). Aspek spasial dan regional merupakan ciri khas geografi, yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainya. Karena geografi merupakan kajian ilmiah mengenai gejala alam dan sosial dari sudut pandang spasial dan regional, maka informasi geografi bersumber dari gejala-gejala; litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer dan gejala sosial budaya.

Untuk memperoleh informasi (data), dilakukan survei baik melalui survei lapangan (pengamatan langsung obyek), maupun melalui wawancara langsung maupun tidak langsung (menggunakan angket). Tetapi survei lapangan mengalami banyak kendala, yaitu biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan sulit menjangkau medan. Semua kendala ini dapat diatasi dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh, yaitu pemotretan dari udara dengan menggunakan satelit.

(12)

SIG terdiri dari beberapa komponen antara lain : komponen perangkat keras, perangkat lunak dan intelegensi manusia.

Perangkat keras dalam SIG terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Alat masukan (input) sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam jaringan komputer. Contoh; scaner, digitizer, CD-ROM.

2. Alat pemproses, merupakan sistem dalam komputer yang berfungsi mengolah, menganalisis dan menyimpan data yang masuk sesuai kebutuhan, contoh; CPU, tape drive, disk drive.

3. Alat keluaran (output) yang berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai data dalam proses SIG, contoh: VDU, plotter, printer.

Perangkat lunak, merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data yang diperlukan. Data hasil penginderaan jauh dan tambahan (data lapangan, peta) dijadikan satu menjadi data geografi. Data dasar tersebut dimasukkan ke komputer melalui unit masukan untuk disimpan. Bila diperlukan data yang telah disimpan dapat ditayangkan melelui layar monitor atau dicetak untuk bahan laporan. Data ini juga dapat diubah untuk menjaga agar data tetap aktual (sesuai dengan keadaan sebenarnya). Intelegensi manusia (brainware) merupakan kemampuan manusia dalam pengelolaan dan pemanfaat SIG secara efektif. Bagaimanapun juga manusia merupakan subyek (pelaku) yang mengendalikan seluruh sistem, sehingga sangat dituntut kemampuan dan ponguasaan terhadap ilmu dan teknologi mutakhir. Selain itu diperlukan pula kemampuan untuk memadukan pengelolaan dengan pemanfaatn SIG, agar SIG dapat digunakan secara efektif dan efisien. Adanya koordinasi dalam pengelolaan SIG sangat diperlukan agar informasi yang diperoleh tidak simpang siur, tetapi tepat dan akurat.

Secara umum proses SIG terdiri atas tiga bagian (subsistem), yaitu :

1. Subsistem masukan data (input data)

Subsistem ini berperan untuk memasukkan data dan mengubah data asli ke bentuk yang dapat diterima dalam SIG. Semua data dasar geografi diubah dulu menjadi data digital, sebelum dimasukkan ke computer. Data digital memiliki kelebihan dibandingkan dengan peta (garis, area) karena jumlah data yang

(13)

disimpan lebih banyak dan pengambilan kembali lebih cepat. Ada dua macam data dasar geografi, yaitu data spasial dan data atribut.

a. Data spasial, yaitu data yang menunjukkan ruang, lokasi atau tempat-tempat di permukaan bumi. Data spasial berasal dari peta analog, foto udara dan penginderaan jauh dalam bentuk cetak kertas.

b. Data atribut, yaitu data yang terdapat pada ruang atau tempat. Atribut menjelaskan suatu informasi. Data atribut diperoleh dari statistik, sensus, catatan lapangan atau tabular (data yang disimpan dalam bentuk tabel) lainnya. Data atribut dapat dilihat dari segi kualitas, misalnya kekuatan tanaman. Dan dapat dilihat dari segi kuantitas, misalnya jumlah produksi. Data spasial dan data atribut tersimpan dalam bentuk titik (dot), garis (vektor), poligon (area) dan pixel (grid). Data dalam bentuk titik (dot), meliputi ketinggian tempat, curah hujan, lokasi dan topografi. Data dalam bentuk garis (vektor), meliputi jaringan jalan, pola aliran sungai dan garis kontur. Data dalam bentuk poligon (area), meliputi daerah administrasi, geologi, geomorfologi, jenis tanah dan penggunaan tanah. Data dalam bentuk pixel (grid), meliputi citra satelit dan foto udara.

Data dasar yang dimasukkan dalam SIG diperoleh dari tiga sumber, yaitu data lapangan (teristris), data peta dan data penginderaan jauh.

a. Data lapangan (teritris) adalah data yang diperoleh secara langsung melalui hasil pengamatan dilapangan, karena tidak terekam dengan alat penginderaan jauh. Misalnya, batas administrasi, kepadatan penduduk, curah hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng.

b. Data peta adalah data yang digunakan sebagai masukan dalam SIG yang diperoleh dari peta, kemudian diubah ke dalam bentuk digital (Gambar 2).

(14)

c. Data penginderaan jauh adalah data dalam bentuk citra dan foto udara. Citra adalah gambar permukaan bumi yang diambil melalui satelit. Sedangkan foto udara adalah adalah gambar permukaan bumi yang diambil melalui pesawat udara. Informasi yang terekam pada citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar, diinterpretasi (ditafsirkan) dahulu sebelum diubah kebentuk digital. Sedangan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital, langsung digunakan setelah diadakan koreksi.

2. Subsistem manipulasi dan analisis data

Subsistem ini berfungsi menyimpan, menimbun, menarik kembali data dasar dan menganalisa data yang telah tersimpan dalam komputer. Ada beberapa macam analisis data, antara lain :

a. Analisis lebar, menghasilkan daerah tepian sungai dengan lebar tertentu.

b. Analisis penjumlahan aritmatika (arithmatic addition) menghasilkan penjumlahan. Analisis ini digunakan untuk menangani peta dengan klasifikasi, hasilnya menunjukkan peta dengan klasifikasi baru (Gambar 3).

Gambar 3. Analisis Penjumlahan

c. Analisis garis dan bidang, dapat digunakan untuk menentukan wilayah dalam radius tertentu. Misalnya, daerah rawan banjir, daerah rawan gempa dan daerah rawan penyakit (Gambar 4).

(15)

Perhatikan gambar 4. Peta 1 adalah daerah aliran sungai (DAS) dan peta 2 adalah daerah yang selalu dilanda banjir. Dari kedua peta tersebut dihasilkan peta 3 yaitu daerah rawan banjir dengan radius tertentu.

3. Subsistem penyajian data (output data)

Subsistem output data berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai hasil analisis data dalam proses SIG. Informasi tersebut ditayangkan dalam bentuk peta, table, bagan, gambar, grafik dan hasil perhitungan.

Manfaat SIG dewasa ini semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupak informasi keruangan dan kewilayahan, maka informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk inventarisasi data keruangan yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kakao

Iklim mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Karena itu, unsur ini perlu diperhatikan dalam membuat penilaian kesesuaian lahan. Alvim (1972, dalam Panduan Lengkap Budidaya Kakao, 2006) menuliskan bahwa keragaman produksi kakao dari tahun ke tahun lebih ditentukan oleh sebaran curah hujan dari pada oleh unsur iklim yang lainnya. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.

Buku Panduan Lengkap Budidaya Kakao (2006) juga menjelaskan unsur iklim lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao yaitu suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Suhu udara yang rendah akan menghambat pembentukan tunas dan bunga sedangkan suhu udara yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan pucuk dan mendorong pertumbuhan cabang serta mengakibatkan daun-daun kurang berkembang. Kelembaban udara berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3 – 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembaban udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang

(16)

menjadi penyebab penyakit busuk buah. Kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari yang tinggi dan berlangsung lama akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul.

Budi daya tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk mengurangi intensitas radiasi matahari, menekan suhu maksimal dan laju evapotranspirasi , serta melindungi tanaman dari angin kencang. Dengan kata lain, pohon penaung berperan sebagai penyangga (buffer) faktor-faktor lingkungan yang kurang menguntungkan pertumbuhan kakao.

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation, pH atau kemasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur, struktur, konsistensi, kedalaman efektif tanah (solum), dan akumulasi endapan suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada.

Struktur Klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut :

Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong

sesuai (S) dan tidak sesuai (N).

Kelas : Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat sesuai (S1) cukup sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3). Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas Kakao yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian (2003) disajikan pada Tabel 4.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Data Peta yang Diubah Menjadi Data Digital (angka).

Referensi

Dokumen terkait

memperbandingkan nilai mata uang negara satu dengan negara lainnya. Di dalam perekonomian, nilai tukar mata uang merupakan suatu indikator yang nyata, yang dapat

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allat SWT atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir

Perkiraan nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku dengan menggunakan pendekatan produksi yang didasarkan pada data jumlah armada angkutan umum barang dan

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2010 15 konstan 2000 didapat dengan cara mendeflate nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku dengan indeks harga

Apabila daya yang terbangkit pada generator slack berdasarkan perhitungan ED berbeda 0,1 MW lebih besar dari hasil perhitungan analisis aliran daya, maka perlu

Demikian halnya yang terjdi di kelas III B SD Negeri 211/IV Kota Jambi yang penulis alami, Dari jumlah siswa 25 orang, hanya 8 orang saja yang mencapai kriteria ketuntasan (KKM)

Bila uang yang dibayarkan sesuai dengan jumlah angsuran anggota perbulan pada data utang anggota, maka unit usaha simpan pinjam melakukan update data utang anggota.. Unit usaha