• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tana Toraja sebuah nama daerah dengan status Daerah Tingkat II di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tana Toraja sebuah nama daerah dengan status Daerah Tingkat II di"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Kondisi Umum dan Geografis

Tana Toraja sebuah nama daerah dengan status Daerah Tingkat II di kawasan Provinsi Sulawesi Selatan, terbentang mulai dari Kilometer 280 sampai dengan Kilometer 355 dari sebelah utara ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar.) Tepatnya pada 2° - 3° LS dan 199° - 120° BT, dengan luas sekitar 3.205,77 Km2 atau sekitar 5% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan.

Tana Toraja berbatasan dengan wilayah:

• Sebelah utara: Kabupaten Mamuju dan Kab. Luwu • Sebelah timur: Kab. Luwu

• Sebelah Selatan: Kab. Enrekang dan Kab. Pinrang • Sebelah Barat: Kab. Polewali Mamasa

Kondisi Topografi daerah Tana Toraja berada di daerah pegunungan, berbukit dan berlembah; terdiri dari 40% pegunungan dengan memiliki ketinggian antara 150 m sampai dengan 3.083 m diatas permukaan laut (dataran tinggi 20%, dataran rendah 38%, rawa rawa dan sungai 2%), dengan perincian sebagai berikut:

• 18.425 Ha pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 % • 143.314 Ha pada ketinggian 501 - 1000 M = 44,70 %

(2)

• 118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M = 36,90 % • 40.508 Ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %

Wilayah Tana Toraja terdiri dari 29 kecamatan, 116 lembang atau Desa dan 27 Kelurahan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Camat, seorang Kepala Lembang dan seorang Kepala Lurah. Kepala Lembang tersebut di era otonomi ini langsung dipilih oleh rakyat secara demokrasi.

Bagian terendah Kabupaten Tana Toraja berada di kecamatan Bonggakaradeng, sedangkan bagian tertinggi berada di kecamatan Rindinggallo, dengan temperatur suhu rata-rata berkisar antara 15° c - 28° c dengan kelembaban udara antara 82-86%.

Curah Hujan : 1500 mm/tahun sampai dengan lebih dari 3500 mm/tahun. Keadaan geologi Kabupaten Tana Toraja lebih banyak dipengaruhi oleh formasi bebatuan dari Gunung Latimojong yang mencakup luas wilayah sekitar 1.565,69 ha atau 48,84% yang terdiri dari jenis bebatuan soprin coklat kemerah-merahan, soprin napalan abu-abu, Batu Gamping dan Batu Pasir kwarsit serta Gradorir Diorir dan lain sebagainya. Jenis tanah berupa : Tanah Alluvial Kelabu, Brown Forest, Mediteran, dan Podsolit Merah Kuning.

(3)

Tabel 4. Perincian luas wilayah per Kecamatan

No. Kecamatan Luas (km2)

1. Bonggakaradeng 294,19 2. Mengkendek 191,13 3. Sangalla' 107,76 4. Makale 42,26 5. Saluputti 276,11 6. Rindingallo 316,69 7. Rantepao 17,31 8. Sanggalangi' 67,00 9. Sesean 73,50 10. Simbuang 355,84 11. Rantetayo 109,01 12. Tondon Nanggala 60,00 13. Sa'dan Balusu 63,00 14. Bittuang 367,39 15. Buntao' Rantebua 114,34

16. Gandang Batu Sillanan 109,24

17. Rembon 1447.62

18. Sopai 50,64

19. Tikala Suloara' 35,25

20. Balusu 29,00

21. Tallunglipu 10,69

22. Dende' Piongan Napo 87,71

23. Buntu Pepasan 87,19 24. Baruppu' 58,13 25. Makale Utara 42,29 26. Makale Selatan 42,23 27. Kesu' 63,00 28 Masanda 25,65 29 Tondon 60.00 Total 3,205,77

(4)

Panorama indah gunung-gunung, hutan dan sungai yang bersumber dari mata air pegunungan membasahi persawahan menandakan Kabupaten Tana Toraja merupakan daerah Agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencarian di sektor Perkebunan dan Pertanian, yang didukung oleh kondisi tanah yang subur untuk tanaman musiman seperti buah-buahan dan sayur-mayur serta jenis tanaman keras seperti cengkeh, coklat, vanili, lada dan kopi.

Hutan di Tana Toraja yang membentang hijau mulai dari Utara sampai ke Selatan berfungsi sebagai pelindung mata air, pencegah erosi dan banjir ataupun sebagai hidrologi tercatat seluas 156.906 ha terdiri dari hutan lindung 138.101 ha dan hutan produksi 18,805 ha. Sektor kehutanan ini sangat memungkinkan untuk pengembangan menjadi hutan wisata sebagai salah satu paket ekowisata/ekotourisme.

Menurut klasifikasi fungsi hutan, maka di Tana Toraja terdapat beberapa kawasan hutan yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan wisata, yaitu: Kawasan Hutan wisata Nanggala dibagian Utara/Timur, Kawasan Hutan Wisata Mapongka di selatan,, Kawasan Hutan Wisata Messila di Barat serta Kawasan Hutan Rakyat yang tersebar diseantero kabupaten Tana Toraja yang belum digunakan secara maksimal hingga saat ini.

Prospek hutan ini sangat menjanjikan untuk dijadikan kawasan wisata alam, seperti Trekking, kemping (bumi perkemahan), maupun ekowisata,

(5)

sehingga dalam pengembangannya tidak perlu merusak lingkungan/ekosistem yang ada bahkan bisa ditingkatkan sebagai kawasan wisata pendidikan lingkungan hidup.

Keberadaan sungai di Tana Toraja sangat potensial untuk dikembangkan bagi kepentingan pariwisata tirta dan alam, selain airnya yang jernih juga memiliki alur Sungai yang sangat menarik dan menantang. Sehingga sungai di Tana Toraja sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sarana wisata Tirta/alam dan Rafting (Arung Jeram). Sungai yang teridentifikasi potensi wisata adalah Sungai Sa'dan, Sungai Mai'ting, Sungai Saluputti, Sungai Maulu, Sungai Toriu, Sungai Sarambu.

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lapongan Bulan tana Matari'allo. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja). Dengan jumlah penduduk kurang lebih 450.000 jiwa. Kurang lebih 650.000 jiwa yang hidup merantau dan bekerja di luar wilayah Tana Toraja. Suku Toraja juga memiliki satu bahasa lokal yaitu Bahasa Toraja. Namun untuk pergaulan secara umum mereka menggunakan Bahasa Indonesia; di samping itu sebagian juga dapat berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan Mandarin. Mereka yang masuk kategori ini adalah putra-putra Toraja yang bertugas sebagai guide-guide untuk tourist.

Sampai saat ini budaya luar tidak cukup kuat mempengaruhi cara hidup sehari-hari orang Toraja yang begitu ramah, hidup rukun, damai dan harmonis serta dengan tangan terbuka menyapa tamu-tamunya untuk datang

(6)

menyatu di dalam pesta-pesta adat Toraja baik pesta Rambu Tuka maupun pesta Rambu Solo.

Mayoritas penduduk terdiri dari etnis Toraja, walaupun ada juga etnis lain yang berada didaerah ini karena berbagai alasan baik karena hubungan pernikahan, pekerjaan, kegiatan perdagangan dan lain-lain. Populasi etnis Toraja sendiri diperkirakan mencapai satu juta jiwa, namun yang bermukim di daerah ini hanya sekitar 450.000 jiwa, sedangkan sebagian besar lainnya tersebar diseluruh Nusantara maupun belahan dunia lain.

Tana Toraja yang mempunyai satu kepercayaan Aluk Todolo, setelah melalui proses akulturasi maupun asimilasi budaya, di Tana Toraja dapat dijumpai beberapa agama, antara lain: Kristen Protestan 276.342 jiwa (69,15%), Katolik 67.817 jiwa (16,97 %), Islam 31.570 jiwa (5,986 %) dan Hindu Toraja 23.898 Jiwa ( 5.986 %).

Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun demikian bahasa daerah yakni bahasa Toraja (Sa'dan) tentunya menjadi bahasa yang paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat.

(7)

2. Kondisi RBM PWGT Tana Toraja a). Sejarah dan Struktur Organisasi

Berawal dari keprihatinan terhadap banyaknya anak cacat yang tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang mereka perlukan dari orang tua dan masyarakat, maka pada Bulan Agustus 1994 Pusat Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) membuka program khusus bagi para penyandang cacat. Program ini mengumpulkan penyandang cacat dari semua jenis kecacatan seperti bisu tuli, tuna netra, cacat fisik, dan retardasi mental tanpa membedakan latar belakang sosial dan agama.

Nama program ini Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) PWGT, mencerminkan program ini bertujuan memberdayakan anak-anak penyandang cacat agar menjadi mandiri yang diterima oleh masyarakat sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Pada awal lahirnya keinginan para pendirinya untuk memberikan sebagian dari apa yang mereka kuasai dan miliki demi untuk kebahagian bersama khususnya bagi penyandang cacat.

Maksud dan tujuan dari kegiatan RBM PGWT adalah :

a. Membina kesejahteraan dalam arti seluas-luasnya bagi penyandang cacat.

(8)

b. Membantu pemerintah dalam usaha tercapainya kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan khususnya kesejahteraan anak-anak penyandang cacat.

Kegiatan pelayanan kepada penyandang cacat dilakukan dengan Pendekatan institusi (instutional based) yang meliputi empat kegiatan rehabilitasi yaitu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, sosial dan ketrampilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat bahwa rehabilitasi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan dan sosial.

Melalui pendekatan institusi ini pelayanan RBM PWGT diawali dengan mengunjungi keluarga-keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang cacat, memberikan pendampingan dan mendorong mereka untuk memerhatikan anggota keluarganya seperti umumnya manusia normal lainnya. Orang tua diajak bekerjasama dengan petugas-petugas RBM menyelenggrakan pelatihan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penyandang cacat.

Saat ini program RBM berkembang dan tersebar sampai ke pelosok-pelosok Tana Toraja antara lain di Daerah Angalla’, Rantepao, Rantelemo, Ba’tan, Banoran, Sa’dan, Tangari, Buahkayu didukung oleh 40 orang kader RBM yang bekerja sebagai petugas lapangan secara sukarela dengan setia membina 473 penyandang cacat dan keluarga mereka.

(9)

Gambar Peta Pelayanan RBM Persatuan wanita Gereja Toraja Kegiatan pelayanan penyandang cacat di pelosok Desa dilakukan dengan mengumpulkan penyandang cacat disuatu tempat yang representif seperti Balai Desa, Gereja, atau Sekolah untuk diajarkan keterampilan tertentu. Bagi mereka yang masih memungkinkan mengikuti pendidikan formal di rujuk ke sekolah terdekat atau Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Rantepao tentunya masih dalam pemantauan RBM PWGT.

(10)

Bagi penyandang cacat yang kondisinya tidak memungkinkan datang ke tempat pertemuan kader RBM mendatangi langsung ke rumahnya untuk di terapi atau diajar Pendidikan Dasar maupun program sesuai dengan Kondisi mereka.

Model pendekatan diatas yang dilakukan oleh RBM PWGT Didasarkan pertimbangan bahwa program pelayanan yang diupayakan harus bisa menyentuh secara keseluruhan kepada penyandang cacat yang lebih besar tingal di tempat yang terpencil dan susah terjangkau.

Dalam perkembangannya RBM PWGT berusaha mencari mitra baik kelompok seperti yayasan, organisasi maupun donatur perseorangan serta pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial untuk bisa mendukung setiap program yang ada. Dalam wawancara yang penulis lakukan dengan Tim RBM PWGT Tana Toraja terungkap latar belakang terbentuknya sebagai berikut :

a. Kenyataan bahwa masyarakat Tana Toraja yang ditakdirkan mempunyai anggota keluarga dalam kondisi cacat itu umumnya disembunyikan, diterlantarkan.

b. Institusi yang menangani masalah penyandang cacat di Tana Toraja masih sangat minim dibandingkan dengan populasi penyandang cacat, yang ada hanya Sekolah Luar Biasa yang banyak membina dengan pendekatan institusi saja.

(11)

Struktur organisasi Tim RBM PWGT Tana Toraja digambarkan dalam gambar sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur Organisai RBM PWGTTana Toraja b). Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Berbasisi Masyarakat

Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) bagi penyamdang cacat adalah rogram pembinaan wilayah dalam hal

BPS Gereja Toraja

Pengurus Pusat Pesekutuan Wanita Gereja Toraja (PP PWGT)

Koordinator Milka Sarungallo Bendahara Elisabeth Pabuaran, S.Pd Sekretaris Tandu Ramba PETUGAS LAPANGAN 1. Elena Pakan 2. Ester Sapan 3. Rumissing 4. Ermyani Manginte 5. Paulina Rantesapan

(12)

pencegahan kecacatan, deteksi dan rehabilitasi penyandang cacat yang meliputi rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi ketrampilan dan rehabilitasi sosial. Pembinaan verarti pemindahan pengetahuan untuk memberdayakan penyandang cacat, diwilayah binaan RBM Persatuan Wanita Gereja Toraja. Tujuan umum dari dibentuknya RBM PWGT pada Anggaran Dasar Organisasi adalah memandirikan penyandang cacat di wilayah binaan ssesuai dengan tingkat kecacatannya. Sementara tujuan khusus adalah sebagai berikut :

1). Kader mampu mendeteksi penyandang cacat

2). Penyandang cacat dapat mandiri (sesuai dengan 23 kriteria kemandirian)

3). Masyarakat mampu mencegah kecacatan.

Dalam melaksanakan kegiatan RBM ini diperlukan suatu organisasi pelaksana kegiatan yang dibedakan menjadi peran utama dan peran pendukung. Organisasi menjadi peran utama bagi penyandang cacat, kader, masyarakat, di wilayah binaannya, sementara peran pendukung yaitu kader RBM di Kecamatan dan pengurus RBM Tana Toraja serta Tim RBM Provinsi Sulawesi selatan harus bisa bekerjasama dengan berbagai pihak terkait baik unsur Pemerintah ataupun NonPemerintah terkait dengan rehabilitasi kesehatan, pendidikan, ketrampilan dan rehabilitasi sosial.

(13)

Sasaran utama dari kegiatan RBM aaadalah penyandang cacat yang berdomisili di wilayah binaan meliputi segala umur dan jenis kecacatan. Dalam buku manual RBM dijelaskan bahwa yang disebut sebagai penyandang cacat adalah bayi, anak, dewasa atau orang tua di wilayah RBM yang mengalami gangguan kejang (ayan), gangguan belajar, gangguan wicara, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan gerak, gangguan gerak, gangguan perkembangan, gangguan tingkah laku gangguan mati rasa dan gangguan lainya ( sumbing, luka bakar dan lain-lain).

Pelaksanaan RBM dilakukan diwilayah binaan ditingkat kelurahan dengan pelaksana utama kegiatan adalah para kader RBM, penyandang cacat dan keluarganya serta masyarakat. Penetapan wilayah binaan RBM ditingkat Kecamatan dan Kelurahan/Desa dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Sosialisasi awal yang dilaksanakan ditingkat Kecamatan dan Kelurahan/Desa yang bertujuan memberikan pemahaman yang berkaitan dengan pemberdayaan penyandang cacat.

b. Kunjungan ke lingkungan baik tingkat RT maupun RW sebagai tindaklanjut sosialisasi awal yang bertujuan lebih mensosialisasikan pemberdayaan penyandang cacat.

c. Pemilihan dan Pelatihan Kader RBM yang bertugas sebagai pelaksana utama kegiatan RBM.

(14)

d. Deteksi kecacatan melalui kegiatan survey mawas diri yaitu melakukan pendataan terhadap anggota masyarakat yang mengalami kecacatan dan memerlukan penganganan dan rehabilitasi lebih lanjut.

e. Ekspose kepada masyarakat hasil deteksi kecacatan terhadap hasil pendataan penyandang cacat.

f. Evaluasi, pencatatan dan pelaporan yaitu melakukan penilaian sejauhmana perkembangan dari penyandang cacat yang telah menerima rehabilitasi dan apakah perlu adanya rujukan ke lembaga terkait atau instansi terkait dalam rangka penganganan lebih lanjut.

Pemilihan kader RBM sebagai bagian dari pembukaan wilayah baru ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Kader RBM dipilih dari anggota masyarakat dimasing-masing wilayah binaan (Kelurahan/Desa), Gereja, berdasarkan wilayah binaan ditingkat RW setiap RW harus mempunyai kader RBM minimal dua orang.

b. Kader dari unsur masyarakat terdiri dari :

 Tenaga-tenaga Sukarela yang berasal dari wilayah binaan RBM yaitu kader PKK, aktivis Gereja, kader posyandu dan lain-lain.  Penyandang cacat yang sudah mandiri dan mau menjadi kader

RBM.

(15)

 Anggota masyarakat lainnya yang ingin menjadi anggota RBM yang mempunyai banyak waktu untuk melaksanakan kegiatan RBM.

Pelatihan kader RBM dilaksanakan untuk memberikan bekal kepada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan RBM di mayarakat. Bahan pelatihan berdasarkan buku manual RBM yang terdiri dari deteksi, prevensi, dan rehabilitasi penyandang cacat yang meliputi rehabilitasi medis, pendidikan dan ketrampolan dan rehabilitasi sosial. Materi-materi pelatihan yang diberikan kader RBM meliputi :

 Deteksi kecacatan; Dalam pelatihan ini kader RBM diberikan pengetahuan dan pemahaman untuk mendeteksi kecacatan dalam masyarakat. Materi yang diberikan menyangkut bagaimana kader dapat mendeteksi kecacatan berdasarkan tingkat gangguan yang dialami menyangkut gangguan kejang, gangguan perkembangan, gangguan pendengaran dan bicara, gangguan penglihatan, gangguan tingkahlaku, gangguan belajar, gangguan mati rasa/gerak, dan gangguan lain-lain.

 Rehabilitasi penyandang cacat yaitu memberikan latihan kepada kader RBM untuk dapat melaatih keluarga dan masyarakat atau secara bersama-sama mendirikan penandang cacat sesuai dengan 23 kriteria kemandirian. Pelatihan ini memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang paket-paket pelatihan yang bertujuan untuk

(16)

tercapainya kemandirian, maupun bagi penyandang cacat karena kondisi kecacatan harus mendapatkan pelayanan lanjutan. Pelatihan ini memberikan arahan bagaimana kader RBM dapat melakukan rujukan kepada pihak-pihak yang terkait daalam kegiatan rehabilitasi baik rehabilitasi medis, pendidikan, ketrampilan dan rehabilitasi sosial.

Pelaksanaan kegiatan kader RBM, ddilakukan oleh kader RBM kecamatan dengan bimbingan dan bantuan dari pengurus RBM Kabupaten. Penyediaan perangkat pelatihan menyangkut tempat latihan, alat tulis kantor, sarana pembelajaran, dan pembiayaan diupayakan secara bersama oleh Tim RBM Kabupaten secara bersama dengan kader RBM di Kecamatan. Keterlibatan RBM PWGT Tana Toraja menyangkut penyedian perangkat pelatihan menyangkut tenaga pelatih, bahan materi pelaatihan (manual RBM) dan beberapa alat peraga yang dihimpun dari bantuan Dinas Sosial maupun lembaga terkait.

Dalam manual RBM juga telah dibuat secara baku bahan formulir kegiatan dan paket pelatihan serta menentukan paket-pakrt latihan untuk kemandirian penyandang cacat. Hal ini untuk membantu kader dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan terhadap penyandang cacat. Fomulir yang ada meliputi dua jenis yaitu formulir 1 untuk menemukan lokasi penyandang cacat dan formulir 2 untuk melatih penyandang cacat.

(17)

Kecamatan Rantepao merupakan salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tana Toraja yang terdiri dari 5 kelurahan, 42 Rukun warga dan 125 Rukun Tetangga (RT). Sejak tahun 1994 Tim RBM PWGT Tana Toraja telah berhasil membina kader RBM terbanyak di kecamatan ini yang juga didukung oleh segenap jajaran pemerintah kecamatan Rantepao beserta masyarakat dalam rangka membina dan mengembangkan masyarakat cacat.

Sejak berdirinya RBM PWGT telah berhasil melatih jumlah kader sebanyak 36 orang kader aktif. Selain itu pula penyandang cacat yang tersebar pada Desa dan Kelurahan telah mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang masih berlangsung sampai saat sekarang ini serta jumlah penyandang cacat keselurahan sebesar 24 orang.

Kegiatan kader RBM kecamatan Rantepao adalah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat di wilayahnya meliputi : menentukan Desa/Kelurahan binaan, menyelenggarakan sosialisasi awal tingkat Desa/Kelurahan, kunjungan ke RT/RW, memilih penaggung jawab RBM pada tingkat Kelurahan minimal 5 orang, pelatihan kader RBM, mendorong terselenggaranya survey mawas diri oleh kader, pembinaan penyelenggaran RBM, pencatatan, evaluasi dan pelaporan, intensifikasi dan ekstensifikasi program.

Kegiatan RBM yang telah dilaksanakan anatara lain :

a. Sosialisasi program yang dilaksanakan setiap saat baik dalam pertemuan khusus maupun dalam koordinasi tingkat kecamatan, kelurahan, ataupun

(18)

kegiatan lainnya seperti kegiatan bakti sosial Gereja, PKK, dan Puskesmas.

b. Pembukaan wilayah binaan baru dan pelatihan kader yang diawali dengan sosialisasi awal untuk memperkenalkan program kemudian dilanjutkan pelatihan kader untuk membuka wilayah baru dalam lingkup Kecamatan Rantepao.

c. Pendataan penyandang cacat dilaksanakan secara periodik oleh Tim RBM Kecamatan Rantepao bersama seksi kemasyarakatan dan kader RBM.

d. Pembinaan dan pemberdayaan terhadap penyandang cacat dilaksanakan bagi penyandang cacat yang belum mandiri dan memerlukan pelatihan, dilaksanakan oleh kader melalui keluarga penyandang cacat denganmenggunakan manual RBM maupun rujukan terbatas.

e. Pelatihan ketrampilan bagi penyandang cacat yang bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tana Toraja seperti usaha kerajinan dan peternakan.

f. Pemberian bantuan seperti kursi roda, bantuan modal usaha, bantuan biaya kesehatan yang diperoleh baik dari instansi terkait, masyarakat maupun organisasi sosial.

Proses pelaksanaan pemberdayaan terhadap penyandang cacat sebagaimana dijelaskan diatas, telah melibatkan berbagai unsur terdiri dari kader RBM, penyandang cacat, keluarga penyandang cacat dan masyarakat.

(19)

Unsur-unsur tersebut dalam melaksanakan kegiatan memiliki peranan yang harus dijalankan, peranan tersebut sebagai berikut:

a. Peranan Kader RBM

1. Menjembatani antara penyandang cacat, keluarga dengan para profesional atau tokoh masyarakat;

2. Melaksanakan kegiatan sebagai berikut :  Melibatkan masyarakat

 Berkunjung dari rumah ke rumah untuk mendata penyandang cacat  Mendeteksi apakah penyandang cacat perlu dilatih

 Menentukan paket pelatihan untuk penyandang cacat

 Menentukan anggota keluarga/masyarakat yang harus dilatih  Memberikan pelatihan kepada keluarga, masyarakat

 Membimbing, mensupervisi, dan memotivasi  Mencatat kegiatan

b. Peranan penyandang Cacat

1. Bila penyandang cacat memerlukan latian, kader RBM bertanggyng jawab atas program latihan baginya

2. Membuat keputusan sendiri

3. Berperan sebagai anggota keluarga dalam masyarakat] 4. Merasa beruntung sebagai anggota keluarga

c. Peranan Keluarga

(20)

2. Membimbing penyandang cacat untuk dapat menentukan keputusan sendiri.

3. Merangsang penyandang cacat untuk berperan sebagai anggota keluarga.

4. Mengusahakan agar penyandang cacat dapat saling berkomunikasi dan saling menerima dengan masyarakat.

B. Gambaran Umum Latar Belakang Kecacatan

Pada bagian ini akan disajikan informasi dan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan. Informan dari pene;itian ini terdiri dari 5 orang penyandang cacat yang mengalami kecacatan berdasarkan gangguan yang dihadapi yaitu gangguan gerak, gangguan penglihatan, gangguan tingkah laku, gangguan bicara dan gangguan belajar. Selain kelima informan tersebut penelitian ini juga dilakukan terhadap informan lainnya yang terlibat dalam proses pemberdayaan yang dilakukan. Informan tersebut terdiri dari keluarga (Ibu, Anak-anak, Adik, Kakak), kader RBM dan masyarakat ( tokoh masyarakat dan tetangga).

Gambaran secara rinci mengenai awal mula informan mengalami kecacatan dan bagaimana perhatian yang diberikan keluarga dan masyarakat diuraikan sebagai berikut:

1. Informan Rs (Penyandang Gangguan Gerak)

Rs adalah putra pertama dari 2 bersaudara ibunya berumur 16 tahun ketika dilahirkan, sepanjang masa kehamilan ibunya tidak pernah

(21)

memeriksakan diri ke Dokter atau klinik dan lahir atas pertolongan Dukun di Desanya. Awal mula Rs kelihatan normal sebagaimana diungkapkan ibunya Ep berikut ini :

Pada waktu Saya melahirkannya Rs kelihatan normal, tanpa kurang satu apapun juga seperti ketika Saya melahirkan anak saya yang pertama. Semasa berumur kurang dari satu tahun seperti dilalui bayi lainnya pada umumnya Rs menjalani masa bayi ”merangkak”. Tanda kecacatan saya dan keluarga ketahui ketika Rs berumur Satu Tahun lebih dimana Rs tidak bisa berjalan bahkan merangkak dan duduk sangat sulit baginya, sangat berbeda dibandingkan anak saya yang pertama ( Ep,Juli 2006)

Kondisi yang yang dirasakan Rs membuat semua anggota keluaganya menjadi cemas dan mengusahakan pengobatan tradisional dengan membawahnya ke Dukun Pijat, namun disayangkan kondisi Rs bukan lebih baik tetapi makin buruk tangan dan kaki kanannyanya tambah mengecil, jarak kaki menjadi terbuka dan kaku.

Kondisi Rs semakin parah ketika berusia 2,5 tahun mengalami sakit tipes berkepanjangan selama 2 bulan membuat kondisinya semakin lemah dan organ tubuhnya tidak pernah digerakkan. Kondisi diatas membuat Ep dan anggota keluarga lainnya merasa tidak tega terhadap penderitaannya.

Usaha keluarga tetap dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa dukun terkenal di Rantepao, hingga beberapa tahun berlalu Rs dibawah ke Puskesmas Rantepao dan dirujuk ke Rumah Sakit. Dokter yang menangani Rs mengatakan bahwa sendi dibagian pinggang Rs tidak normal serta pertumbuhan tulang yang tidak baik diakibatkan kekurangan kalsium pada

(22)

saat di dalam kandungan. Dokter merujuknya untuk dilakukan pembedahan di Makassar dan mengganti organ kaki dengan kaki imitasi.

Sehabis konsultasi dengan Dokter pihak keluarga mengaku pasrah karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai, ditambah lagi dengan pengetahuan Ep yang hanya tamatan SMP tentang penanganan anak cacat yang sangat minim membuat nasib Rs terbengkalai dan semakin malas melatih organ kakinya. Setiap hari Ep sibuk mengurus keluarga dan membantu suaminya diladang dan mengaku pasrah terhadap nasib anaknya.

Setiap hari Rs menghabiskan waktu di rumah bersama neneknya yang juga sudah berumur lanjut ketika ibunya menjalankan aktivitasnya. Gambaran tentang latar belakang gangguan gerak yang dialami Rs terlihat bahwa kondisi yang dialami informan sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi dan tingkat pengetahuan keluarganya. Keluarga terutama ibunya pada awalnya mengalami perasaan duka cita yang dialami Rs. Namun perasaan itu tidak berlanjut lama ketika menyadari kondisi sosial ekonomi keluarganya. Rs sendiri berharap bisa normal seperti sebagian besar anak-anak seusianya.

2. Informan Lt (Penyandang Gangguan Penglihatan)

Kondisi gangguan yang dialaminya adalah gangguan penglihatan yang masih memiliki sisa penglihatan (low vision), dimana Lt masih bisa melihat lingkungan sekitarnya tapi tampak buram dan jarak jauh sudah tidak bisa

(23)

melihat. Gangguan yang dialami berawal dari sakit yang menimpanya ketika berusia 28 tahun sebagaimana penuturan informan sebagai berikut:

Waktu itu Saya berumur 28 tahun, kejadiannya ketika saya sedang bekerja memanjat pohon kopi tiba-tiba saya merasa pusing-pusing, mual-mual dan akhirnya saya tergeletak di tanah dengan banyak keluar keringat seperti mandi. Akhirnya dengan dibantu teman-teman Saya dipulangkan ke Rumah, Saya terus mutah-muntah air dan makanan sampai akhirnya tidak sadarkan diri dan Saya telah berada di rumah sakit. (Lt, Juli 2006).

Ketika sadarkan diri, Informan Lt mengalami kondisi kedua matanya yang tidak bisa melihat secara total, suaranya agak susah keluar, tangannya tidak bisa di gerakkan dan ketika mau berjalan kakinya tidak bisa digerakkan. Beberapa lama kemudian informan Lt menjelaskan kondisi matanya bisa melihat secara samar dan remang-remang namun kondisi lain tidak mengalami perubahan. Dari hasil pemeriksaann Lt mengalami tekanan darah tinggi sehingga dokter menyarankan agar informann Lt ditawat inap di rumah sakit.

Proses perawatan informan Lt di rumah sakit berjalan selama dua bulan karena ketidakmampuan informan Lt membayar biaya perawatan, meskipun belum dipernankan pulang, informan Lt akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit kondisi informan Lt masih belum sembuh, terutama kondisi kedua matanya yang tidak bisa kembali normal, sebagaimana penuturannya:

Waktu itu Saya sudah bisa melihat tapi tidak senormal dulu, kalau Saya melihat tahu yang dilihat apa atau siapa tapi tidak jelas dan

(24)

buram. Kalau tangan dan kaki masih tidak bisa digerakkan dan tidak bisa mengangkat berat. (Lt, Juni 2006).

Dalam proses penyembuhan dirumah, selama sekitar dua tahu informan Lt dibantu oleh isterinya mulai dari makan, minum dan merawat diri. Kelangsungan keluarga informan Lt tidak bisa bertahan karena informan Lt merasakan isterinya sudah bosan mengurusnya, ditambah dengan rasa malu yang hanya menjadi beban keluarga dan tidak bisa bekerja. Informan Lt menuturkan :

Setelah dua tahun merawat, dan setelah mulai bekerja Isteri Saya tidak merawat Saya lagi tapi sibuk dengan pekerjaannya. Kalau di rumah diam saja dan tidak mau ngobrol dengan Saya, bahkan tidurnya sudah tidak bersama-sama lagi. Saya jadi malu dan waktu itu penglihatan Saya tidak normal sedikit bisa melihat dan kaki sudah bisa berjalan tapi dengan digeser-geser. Akhirnya Saya meninggalkan isteri dan anak-anak yang masih kecil pergi ke rumah kakak tanpa sepengetahuan Isteri. (Lt, Juli 2006)

Selama berada dirumah saudaranya, informan Lt menjalani beberapa pengobatan secara tradisional. Informan Lt menuturkan setiap hari kedua matanya di obati dengan obat tetes tradisional, sementara tangan dan kakinya diolesi dengan air embun. Dari pengobatan tersebut tangan dan kaki informan Lt dapat bisa digerakkan lagi meskipun kemampuannya terbatas, sementara kedua matanya masih tetap seperti semula hanya bisa melihat secara samar-samar dan buram dalam jarak yang sangat dekat.

Informan Lt akhirnya bercerai dengan isterinya, meskipun hubungan dengan anak-anaknya masih tetap berjalan, kadang informan Lt mendatangi

(25)

anak-anaknya demikian juga sebaliknya. Terkadang masih timbul keinginannya dan kerinduannya untuk tetap tinggal bersama ketiga anaknya dan tinggal bersama.

Kenyataan yang dihadapi informan Lt terhadap kondisi fisiknya yang mengalami gangguan penglihatan ditambah lagi beban psikologis dari perceraiannya bersama keluarganya sangat membebani dirinya sebagaimana penuturannya sebagai berikut :

Saya sangat sedih jika mengingatnya, karena dengan keadaan ini Saya tidak bisa bekerja lagi untuk keluarga, sampai akhirnya saya harus bercerai dengan isteri saya. Tapi mau bagaimana lagi Saya terima dengan pasrah (Lt, Juli 2006)

Dari kenyataannya hambatan fisik dan kehancuran rumah tangga yang di hadapi informan Lt, terlihat bahwa informan Lt mengalami kesedihan karena ketidakmampuannya dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. Kondisi itu tidak bisa diterima oleh isterinya yang akhirnya informan Lt mengalami pengabaian dan tidak ada perhatian sama sekali dari isterinya, yang akhirnya menginginkan untuk bercerai. Keadaan ini pada awalnya dihadapi dengan rasa duka cita, namun akhirnya menerima keadaan tersebut dengan pasrah.

3. Informan Mk (Penyandang Gangguan Tingkah Laku)

Gangguan tingkah laku yang dialami Mk, berawal dari pengalaman masa lalunya. Kondisi keterlambatan mentalnya mulai dirasakan sejak lahir namun penampakannya sangat berarti ketika menginjak usia 15 tahun ketika

(26)

mengalami peristiwa tragis seorang lelaki yang tidak betanggung jawab melakukan pelecehan seksual terhadap Mk. Di duga perlakuan itu dilakukan berulang kali hingga Mk mengalami kehamilan akhirnya melahirkan bayii walaupun meninggal dunia.

Adik bungsu Informan Tn yang sekarang tinggal bersama informan Mk dan ibunya, juga menceritakan bahwa pada umur 18 tahun Mk menikah dengan Lm namun setelah 3 bulan perkawinannya suaminya minta cerai tanpa sebab yang jelas. Sejak saat itu informan Mk jadi frustasi, malas beraktivitas, berhenti bekerja dan akhirnya menjadi pengangguran.

Selanjutnya infoman Mk seringkali bersikap tidak seperti biasanya, sebagaimana ibunya menjelaskan sebagai berikut :

Mk sangat malas dan tidak ada semangat dan kerjanya hanya diam dirumah, suka marah marah terutama kepada Saya, kalau diajak bicara tidak jelas jawabannya, kadang tidak dimengerti, kadang berbicara sendiri, dan sering mudah sekali tersinggung pada siapa saja ( Mt, Juli 2006).

Sejak saat itu informan Mk menjadi tanggungan ibunya dan adik bungsunya, kebetulan adik bungsu informan Mk sudah mempunyai pekerjaan sehingga kebutuhan keluarganya dapat dipenuhinya. Gangguan tingkah laku yang dialami Mk dirasakan terutama oleh ibunya sebagaimana penuturannya sebagai berikut:

Ibu merasa paling sedih karena Mk anak pertama, sehingga sebenarnya Ibu berharap banyak dari Dia. Namun sekarang mau bagaimana lagi, ternyata kondisi mentalnya tidak sanggup

(27)

menghadapi kenyataan perceraian dan pengalaman masa lalunya sehingga menjadi begini ( Mt, Juli 2006).

Dari gambaran latar belakang gangguan tingkah laku yang telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa informan Mk karena ketidakmampuannya secara mental untuk menerima kenyataan perceraian dan pengalaman masa lalunya sehingga menampakkan gejala-gejala perilaku yang tidak normal. Kondisi ini sangat membani keluarga, terutama ibunya yang mengalami kesedihan secara mendalam. Kesedihan yang dihadapi informan Mk berlanjut kepada kepasrahan keluarga terhadap keadaan yang dihadapi informan Mk.

4. Informan Sn (Penyandang Gangguan Belajar)

Kondisi yang dihadapi informan Sn pada awalnya diketahui ibunya setelah beberapa kali dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD) umum, tetapi hanya bertahan rata-rata dua sampai tiga bulan saja, dan setelah itu tidak mau sekolah. Ibu informan Sn menuturkan latar belakang sebagai betikut :

Waktu masih bayi tidak apa-apa sehat, ikut imunisasi, terus pernah jatuh dari tangga waktu berumur 3 tahun dibawah kerumah sakit tetapi setelah diperiksa tidak mengalami apa-apa dibawah pulang saja kerumah. Setelah itu mengalami gangguan pertumbuhan dan sampai seperti ini ( Bn, Juli 2006).

Dalam perkembangan selanjutnya, pada usia sekolah Sn pernah disekolahkan, namun hanya sebentar karena bukannya belajar malah suka menggangu teman-temannya sebagaimana dikemukakan oleh Ibunya berikut ini :

(28)

Kemudian masuk SD tapi Cuma sampai tiga bulan karena malahan jadi nakal, dan tidak mau sekolah. Kalau ditanya sama saya (ibunya) ”Sn yang mau sekolah siapa ?” dijawabnya ”mama”. Di sekolah katanya Sn suka menggangu temannya terutama yang perempuan, disuruh belajar oleh guru (Ibu Martha) tapi perhatiannya kemana saja, malahan waktu belajar Sn suka keluar beli makanan lalu membagikan kepada teman-temannya. Akhirnya Sn tidak melanjutkan sekolah ( Bn, Juli 2006).

Informan Sn pernah dibawa ibunya ke Dokter diusia delapan tahun. Dan diketahui Sn mempunyai IQ yang rendah, sehingga disarankan untuk sekolah di SLB. Karena waktu itu orang tua informan Sn tidak bisa menyekolahkan ke SLB karena jaraknya jauh dari tempat tinggalnya dan juga karena informan Sn sendiri tidak mau sekolah, akhirnyaa orang tuanya mencoba lagi menitipkan informan Sn di Sekolah Dasar Umum di Desanya,, namun itupun hanya bertahan sampai enam bulan karena malas dan tidak mau sekolah. Untuk selanjutnya orang tua informan Sn mencoba kembali menitipkannya disebuah sekolah umum, tetapi keadaan tetap seperti yang sudah-sudah, dimana informan Sn tidak betah dan tidak mau sekolah lagi. Dan akhirnya sejak usia sepuluh tahun sampai sekarang delapan belas tahun, informan Sn tidak sekolah.

Kondisi kecerdasan Sn dan juga perkembangan fisik yang berbeda dengan saudara-saudaranya sehingga tidak bisa melanjutkan sekolah sebagaimana anak lainnya, dirasakan ibunya sebagai berikut:

Ibu ingin Sn dapat Sekolah dan pintar seperti umumnya anak-anak lainnya, tapi ternyata Sn mempunyai hambatan dalam kecerdasannya. Saya

(29)

sangat sedih melihat keadaannya, disuruh itu suka tidak mau, sehingga Sn seringkali menjadi sasaran kemarahan Saya dan tidak diperhatikan dengan baik ( Bn, Juli 2006)

Berdasarkan latar belakang kecacatan tersebut, terlihat bahwa informan Sn memiliki tingkat kecerdasan yang rendah sehingga berakibat perkembangan belajarnya tergangggu. Kondisi gangguan yang dihadapi informan Sn terlihat kurang diperhatikan oleh ibunya yang selama ini merawat dan membesarkan Sn, sehingga karena ketidaktahuannya itu, informan Sn seringkali menjadi sumber kekesalan dan kemarahan serta tidak mendapatkan perhatian yang wajar dari keluarganya.

5. Rc (Penyandang Gangguan Tingkah Laku)

RC adalah anak perempuan keempat dari tujuh bersaudara mengalami retardasi mental (cacat mental), orang tuanya bekerja sehari hari sebagai petani penggarap sawah yang tidak terlalu luas. Tempat tinggalnya sangat terpencil yang hanya bisa diakses dengan menggunakan sepeda motor kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 2 jam pada musim kemarau dan pada musim hujan dijangkau dengan berjalan kaki selama 5 – 6 jam.

Kehidupan keluarganya terbilang miskin ditambah lagi dengan kondisi Rc yang dianggap masyarakat sekitarnya menganggapnya orang gila sebagaimana penuturan ibunya sebagai berikut :

(30)

Waktu saya lahirkan terlihat sehat, waktu berumur 1 tahun terlihat perkembangan fisiknya sangat lambat dan kerdil, setelah saya bandingkan dengan anak saya yang lainnya memang sangat berbeda, mungkin Rc tidak dapat mendengar dan kebanyakan tetangga menganggapnya orang gila saya pasrah saja mungkin sudah takdirnya seperti itu ( Pa, Juli 2006).

Rc sangat tidak mau bertemu dengan orang lain kecuali keluarganya, dia sangat sangat liar dan takut kalau di dekati, bahkan masuk kedalam kamar dan menutupi dirinya dengan sarung. Beberapa cara yang digunakan kader RBM memulai menampakkan hasil dengan mulai membangun komunikasi dan melakukan diagnosa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Lince seorang kader RBM yang juga sepupu RC :

Saya yakin anak ini tidak gila, masih bisa mendengan walaupun sedikit ada gangguan pendengaran serta bisa melihat dengan jelas, Rc memang mempunyai kecacatan mental namun Saya yakin masih bisa diselamatkan lewat berbagai program latihan ( Lince, Juli 2006).

Berdasarkan latar belakang kecacatan tersebut, terlihat bahwa informan Rc memiliki gangguan cacat mental yang mempengaruhi pola tingkah lakunya, serta perkembangan fisik dan pendengaran yang tidak sempurna. Kondisi gangguan yang dihadapi informan Rc terlihat kurang diperhatikan oleh keluarganya yang selama ini merawat dan membesarkan Rc karena kurangnya pengetahuan serta jarak tempat tinggalnya yang terpencil jauh dari informasi.

(31)

Gangguan yang dialami informan An dialaminya sejak lahir, waktu itu diketahui sejak usia balita. Kakak kandungnya menceritakan sebagai berikut:

Diketahui waktu masih balita, sesama balita itu usia setahun, dua tahun sudah bisa bilang ”Indo, Ambe” (panggilan ayah, Bunda) tapi tidak bagi An. Perkembangan dari tahun ke tahun tidak berbeda, setelah dikonsultasikan ke Puskesmas dan Dokter katanya ada kecacatan dari waktu lahir dan sudah tetap (Mar, Juli 2006)

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa gangguan bicara yang dialami oleh informan An baru diketahui setelah melihat perkembangan bicaranya tidak serperti anak-anak seusianya. Keadaan itu terlihat pada usia dua tahun, informan An belum bisa bicara apapun juga, sementara anak-anak seusianya sudah bisa mengucapkan kata-kata. Dalam perkembangannya, karena ketidaktahuan keluarga termasuk kakaknya selama kurang lebih 20 tahun informan An dibiarkan dalam kondisinya dan tidak pernah mendapatkan perhatian dari keluarga.

Keadaan informan An yang mengalami gangguan bicara, sangat menyedihkan ibunya sebagaimana penuturannya berikut ini:

Saya suka bertanya sendiri, kenapa An dilahirkan dengan tidak normal seperti halnya Kakak dan Adiknya. Saya sangat sedih ditambah tidak tahu apa yang harus Saya lakukan terhadap An, Saya hanya bisa pasrah menerimanya dan membiarkan saja An berkembang apa adanya, dan menjadi sangat tergantung segala sesuatunya (Her, Juli 2006)

Ungkapan tersebut memperlihatkan situasi duka cita yang mendalam yang dialami oleh ibu informan An, dimana kenyataan keadaan fisik yang dialami

(32)

anaknya pada awalnya disikapi dengan penolakan, kesedihan, sehingga penerimaan secara pasrah. Penerimaan tersebut tidak didukung oleh kemampuan keluarga dalam merawat informan An, sehingga perkembangannya selama ini tidak berubah ditambah dengan keadaan kehidupan sehari-hari informan An yang semakin tergantung kepada keluarga dalam segala hal.

7. Informan JR (Penyandang Cacat Ganda)

Kondisi yang dihadapi informan JR diketahui anggota keluarganya sejak lahir, sepanjang hari JR hanya tinggal terlentang ditempat tidurnya. Tingkat kecacatannya sangat berat karena hampir semua bagian tubuhnya mengalami kontraktur ditambah lagi dengan kondisi rumah yang tidak memadai serta ekonomi keluarga. Ibu informan Jr menuturkan latar belakang sebagai betikut :

Mungkin sudah takdir anak saya seperi ini, hingga Jr berusia 5 tahun saya telah berusaha mencari orang pintar (dukun) yang bisa menyembuhkannya namun hasilnya tidak ada. Beberapa tetangga menyarankan di bawah ke Dokter ahli tetapi kondisi ekonomi kami sangat memprihatinkan ( Mk, Juli 2006).

Dalam perkembangan selanjutnya, hingga pada usia 8 tahun kondisinya masih diarkan apa adanya bahkan sangat kotor, bahkan untuk mendekatinya

(33)

tidak tahan dengan kotoran yang sudah berhari-hari, seperti yang diungkapkan informan Pl tetangganya :

Orang tua Jr bercerai ketika usianya 10 tahun, kemudian ia tinggal bersama ibu kandungnya Mk di rumah berlantai tanah, dengan atap banyak yang bocor jika hujan datang. Ibunya bekerja memotong padi jika panen tiba untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seandainya kondisi ekonominya baik saya yakil Jr tidak terlantar ( Pl, Juli 2006). Informan Jr pernah dibantu biaya oleh beberapa tetangganya diperiksanakn ke Dokter diusia 12 tahun. Dan diketahui Jr sangat sulit disembuhkan dan disarankan memberikan program latihan dan sarana kursi khusus yang ,membantu pergerakannya. Karena kondisi ekonomi dan pendidikan orang tua informan yang rendah membuat informan lagi lagi tidak terurus. Kondisi fisik Jr yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya sehingga membuat ibunya merasa sangat terbebani yang dirasakan ibunya sebagai berikut:

Ibu ingin Jr dapat sembuh dan bekerja membantu Saya seperti umumnya anak-anak lainnya, tapi ternyata Jr mempunyai hambatan dalam pergerakannya. Saya sangat sedih melihat keadaannyadan Saya tidak berdaya harus berbuaat apa sehingga dia dapat sempuh Saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan ( Mk, Juli 2006)

Berdasarkan latar belakang kecacatan tersebut, terlihat bahwa informan Jr memiliki kondisi kecacatan yang berat diseluruh bagian tubuhnya, ditambah dengan kondisi ekonomi keluarganya yang serba kekurangan sehingga kehadiran Jr sangat membebani ibunya. Kondisi cacat fisik yang dihadapi informan Jr terlihat kurang diperhatikan oleh ibunya yang selama ini merawat

(34)

dan membesarkan Jr, sehingga karena ketidaktahuannya itu, informan Jr tidak mendapatkan perhatian yang wajar dari keluarganya

C. Kondisi Ketidakberdayaan yang dialami Informan 1. Informan Rs (Penyandang Gangguan Gerak)

Sebagai akibat dari kondisi kecacatannya, Rs mengalami ketidakberdayaan baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang anak yang berusia 6 tahun Rs sangat tergantung kepada orang terutama ibunya yang selalu melayani dan menjaganya setiap hari.

Dalam kegiatan merawat diri seperti mandi, buang air besar dan air kecil, serta berpakaian informan Rs tidak bisa mengerjakan sendiri dan harus dibantu oleh ibu dan neneknya. Ketika belum bisa bangun dan masih terbaring informan Rs menjalankan aktivitas merawat dirinya di kamar tidur dengan dibantu oleh ibunya atau yang lainnya.

Pengaruh kecacatan juga sangat dirasakan informan Rs dimana dia tidak dapat bebas bermain bersama dengan anak-anak lainnya seusianya. Perasaan minder seringkali timbul ketika informan Jr melihat orang-orang lain di lingkungan sekitarnya yang dapat beraktivitas secara normal. Dalam aktivitas lainnya seperti menikmati pendidikan Jr juga mengalami hambatan karena kondisi kakinya yang tidak dapat bergerak bebas ke sekolah. 2. Informan Lt (Penyandang Gangguan Penglihatan)

(35)

Kondisi ketidakberdayaan yang dialami informan Lt setelah diceraikan isterinya dan tinggal di rumah saudaranya, sebagaimana penuturannya :

Kalau tangan dan kaki Saya bisa berfungsi kembali, bisa jalan dan membawah beban, tapi tidak berat. Cuma mata Saya sampai sekarang ini masih buram dan kalau melihat jauh sekali tidak kelihatan (Lt, Juli 2006).

Dari gangguan penglihatan yang dialami tersebut, informan Lt hanya bisa melihat harak dekat dan itupun dengan buram dan tidak jelas. Dengan kondisi gangguan penglihatan tersebut, informan Lt masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari meskipun disadari hambatan yang sering dilakukan adalah tidak bisa mengenal benda atau orang yang berada di hadapannya dari jarak jauh dan hanya bisa pada jarak dekat.

Keadaan anak-anak Lt saat dia tinggal bersama saudarannya tak luput dari pantauannya sebagaimana dituturkan :

Anak-anak menempati rumah Saya dahulu bersama matan isteri saya. Kalau mantan isteri Saya lagi tidak ada Saya sering mengunjunginya, cuma Saya sangat menjaga jangan sampai bertemu mantan isteri Saya (Lt, Juli 2006).

Kondisi yang sangat tidak memungkinkan bagi Lt, karena kehadirannya tidak dikehendaki oleh mantan isterinya, sehingga dari keadaan tersebut informan Lt sering berkunjung di rumah Pastor Hl yang berdekatan dengan rumah anaknya untuk memastikan keberadaan isterinya, bahkan kadang-kadang Lt menginap di rumah Pastor sambil membantu membersihkan Gereja disamping rumah Pastor.

(36)

Dalam melakukan aktifitas dimasyarakat, disadari oleh informan Lt sangat kurang terlibat. Hal ini seperti dikemukakannya bahwa kondisi penglihatannya masih kurang jelas sehingga selama itu, aktivitas informas Lt hanya sebatas membantu menjaga kebersihan lingkungan Gereja.

3. Mk (Penyandang Gangguan Tingkah Laku)

Kondisi ketidakberdayaan dialami informan Mk, ditandai dengan gejala-gejala seperti diam dan menyendiri di kamar, mudah tersinggung dan suka marah-marah tanpa alasan yang jelas, ibu Mk mengutarakan sebagai berikut:

Dia itu kondisinya waktu pertama kali selalu berubah-ubah kadang biasa saja tapi tiba-tiba marah dan membentak saya (Mt, Juli 2006) Adik informan Mk juga menjelaskan bahwa informan Mk kondisinya seringkali labil. Kalau lagi sadar bisa diajak bicara seperti orang normal, tapi ketika dalam pembicaraan ada yaang tidak berkenan, dia langsung tersinggung dan marah-marah atau membentak seperti bukan kepada saudara sendiri.

Dalam kegiatan merawat dirinya juga, informan Mk seringkali jarang memperhatikan sehingga kadang dia tidak pernah mandi, makan tidak teratur, dan kadang-kadang berpakaian seadanya saja. Adik informan menjelaskan berikut ini :

Dia kalau saya lihat sehari-hari, suka tidak pernah mandi dan kadang-kadang pakaiannya tidak pernah diganti-ganti terus itu saja sampai besok. Untuk makan juga informan Mk tidak menjaga kebersihan, makan dimana saja ditempat tidur, dilantai pokoknya dulu itu tidak teratur (Tn, Juli 2006)

(37)

Pernyataan tersebut denada dengan yang disampaikan Adik informan Mk bahwa dalam merawat dirinya sendiri, informan Mk suka tidak peduli an bahkan kalau seringkali marah atau diam sja kalau diajak atau disuruh untuk merawat dirinya sendiri.

Dalam kehidupan di masyarakat, informan Mk tidak pernah terlibat karena jarang keluar dan senangnya mengurung diri dikamar. Disamping itu Ibu Mk menjelaskan supaya tidak terjadi apa-apa, karena masih sering timbul tingkah laku yang tidak bisa diterima orang banyak, informan Mk lebih tinggal dirumah.

4. Informan Sn (Penyandang Gangguan Belajar)

Kondisi ketidakberdayaan yang dialami informan Sn terutama tidak bisa membaca dan menulis karena tidak sekolah, dan kalaupun informan Sn bisa membaca huruf namun untuk merangkainya dalam sebuah kata-kata tidak bisa. Kesehariannya informan Sn dikemukakan ibunya sebagai berikut : Kalau sehari hari informan Sn bisa mengerjakan sendiri seperti untuk mandi, makan, berpakaian, semuanya dilakukan sendiri. Cuma dalam kecerdasan terasa kurang. Misalnya kalau nilai uang informan Sn tahu, tapi kalau dibelikan sesuatu kembalinya suka salah/kurang dan kalau disuruh menghitung uang recehan bingung ( Bn, Juli 2006). Kondisi kecerdasannya yang kurang itu, sangat dirasakan oleh ibu informan Sn dalam berinteraksi dengan informan Sn. Hal ini terlihat lebih lanjut dimana informan Sn mengalami kesulitanmengalami kesulitan dalam hal mempelajari hal yang baru, tidak bisa berkonsentrasi dalam waktu yang lama, serta susah untuk diajak belajar.

(38)

Informan Sn juga tidak bisa mengikuti kegiatan belajar di Sekolah, karena kondisi kecerdasannya yang kurang dibandingkan dengan anak-anak sebayanya, sebagaimana dituturkan ibunya berikut ini:

Kalau sudah berkali-kali Sn tidak bisa mengikuti pelajaran disekolahnya, Dia juga tidak mau diajak ke Gereja seperti anak-anak lainnya ( Bn, Juli 2006).

Dalam hubungan dengan orang lain terutama dengan teman-temannya, ibu informan Sn menjelaskan bahwa informan Sn sehari-harinya tidak betah dirumah dan main diluar rumah sampai sore.

Informan Sn sehari-harinya main terus tapi mainnya sendirian saja, karena temannya mengejeknya dengan sebutan bodoh karena tidak mau sekolah. Pernah ibu dengar dari tetangga kalau informan Sn suka mau disuruh-suruh beli ini beli itu, padahal kalau sama ibu dan keluarga lainnya tidak mau ( Bn, Juli 2006).

Aktifitas kegiatan informan Sn diluar tersebut, memperlihatkan adaanya hambatan berupa ejekan atau penolakan dari teman-teman sebayanya karena informan Sn tidak sekolah yang membuat informan Sn suka bermain sendirian.

5. Rc (Penyandang Gangguan Tingkah Laku)

Kondisi ketidakberdayaan yang dialami Rc ditandai dengan dirinya tidak mau bertemu dengan orang lain kecuali terhadap orang yang biasa dilihat, dia sangat sangat liar dan takut kalau di dekati oleh orang yang asing baginya sehingga sebagian orang menganggapnya orang gila sebagaimana yang dituturkan Lince sepupu informan :

(39)

Informan Sn sehari-harinya larut dalam kondisinya sendiri, suka menyendiri dan tidak senang berkumpul dengan saudara-saudaranya yang lain, bahkan untuk makan bersamapun tidak pernah dilakukan, ibu informan hanya meletakkan makanan di dalam kamarnya untuk dimakan kapan saja dia mau, kadangkala makanan tidak disentuh sampai basi ( Lince, Juli 2006).

Kondisi kesehariannya sangat memperhatinkan tidak seperti gadis sebayanya terutama dirasakan oleh ibu informan dalam berinteraksi dengan informan Rc. Hal ini terlihat lebih lanjut dimana informan Rc tidak bisa disuruh mengganti pakaian yang dikenakan bila sudah kotor sebagaimana diungkapkan ibu informan:

Dia hampir tidak mau mengganti pakaiannya, kadangkala pakaiannya sudah sangat pesing masih dikenakan, keluarga mengganti pakaiannya jika Rc tertidur itupun kalau terjaga dia meronta-ronta dan melawan ( Pa, Juli 2006).

Aktifitas kesehariannya pun tidak normal seperti saudaranya yang lain seperti waktu tidur kadangkala di siang hari informan masih terlelap dan saat larut malam dia bermain menggunakan alat dapur sehingga menimbulkan suara gaduh dan mengganggu anggota keluarga yang lain yang sedang beristirahat seperti diungkapkan ibu informan :

Waktu tidurnya tidak teratur terkadang pagi sampai malam tidak pernah tidur atau sebaliknya malah tertidur terus, saya hanya kuatir dia meninggalkan rumah dana terjadi apa-apa dengannya disaat anggota keluarga lainnya beristirahat ( Pa, Juli 2006).

Aktifitas kegiatan informan Rc sangat berbeda dengan aktifitas anggota keluarga lainnya mengindikasikan adanya hambatan dari dalam dirinya untuk

(40)

berssosialisasi dengan anggota keluarga yang lain dan begitu asing dengan orang lain yang baru dilihatnya.

6. Informan An (Penyandang Gangguan Bicara)

Kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi informan An, sebagai akibat dari gangguan bicaranya, dikemukakan oleh kakaknya berikut ini :

Informan An kalau bicara hanyaa bisa mengucapkan kata akhirnya saja seperti ”kan” untuk makan, atau ”ten” kalau memanggil nama saya ”marten”. Dalam berbicara dengan yang lainnya juga karena kemampuannya begitu jadi tidak bisa dipahami oleh orang lain. (Mar, Juli 2006)

Dari pernyataan itu, terlihat bahwa ketidakberdayaan yang dialami informan An menyangkut masalah komunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Keadaan tersebut terlihat dimana informan An tidak bisa mengungkapkan atau mengucapkan sesuatu secara benar dan lengkap dan sulit dipahami perkataannya oleh orang lain terutama dilingkungan keluarganya.

Kondisi tersebut semakin tidak berkembang dengan sikap, pemahaman dan perhatian yang kurang dari keluarganya. Ibu informan An mengemukakan sebagai berikut :

Ya, menerima saja, mungkin itu karena suratan dari Tuhan, terima apa adanya karena dulu tidak tahu harus dikemanakan daan dibagaimanakan An ini. Jadi dibairkan saja tinggal di rumah, kadang didiamkan tidak diajak bicara karena memang hamatannya tidak bisa bicara, sehingga waktu itu kemampuan bicaranya tidak berkembang (Her, Juli 2006).

Dari pernyatan ibunya tersebut, tergambar bahwa karena ketidaktahuan keluarga untuk menghadapi dan mengatasi gangguan yang

(41)

dialami informan An, membuat informan An dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian yang penuh dari keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, informan An juga dibiasakan tergantung dalam segala hal, sehinggaa dia tidak bisa merawat dirinya secaraa mandiri dan selalu dibantu baik dalam hal mandi, berpakaian, makan dan kegiatan lainnya.

Selama itupun, informan An tidak disekolahkan oleh keluarganya, karena dianggap tidak akan mampu, sebagaimana ibunyaa mengatakan berikut :

Yah itu karena dulu dianggap An sudah tidak bisa apa-apa karena cacat, jadi ibunya tidak memperhatikan sekolahnya. Dan jugaa ibu waktu itu tidak tahu harus sekolah kemana, karena tidak mungkin bisa sekolah di SD biasa. (Her, Juli 2006)

Pandangan yang terdapat dalam diri keluarga informan An sebagaimana dikemukakan di atas, mengambarkan suatu penilaian yang menganggap karena sudah cacat jadi tidak bisa disembuhkan dan tidak memiliki kemampuan yang bisa dikembangkan. Informan An jarang melakukan aktivitas di luar rumah dengan masyarakat sekitarnya, sehingga sebagian besar sehari-harinya dihabiskan didalam rumah. Lingkungan masyarakat sekitar rumah informan An waktu itu dirasakan keluarga tidak begitu memperhatikan informan An, bahkan sebagaimana diceritakan ibunya, informan An kalau suatu waktu berada diluar seringkali mendapat ejekan karena tidak bisa bicara dengan jelas dan menjadi bahan tertawaan anak-anak atau tetangga sebelah.

(42)

Ketidakberdayaan yang dihadapi informan JR karena tingkat kecacatannya sangat berat karena hampir semua bagian tubuhnya mengalami kontraktur dan tidak bisa digerakkan. Kondisi organ tubuhnya yang tidak dapat digerakkan membuatnya nampak kotor dan tidak sehat. Pl tetangga informan Jr menuturkan sebagai betikut :

Kegiatan buang air besar dan buang air kecil dilakukan di tempat tidur, serta ibu informan Jr yang tidak telaten dalam mengurus informan karena kondisi ekonomi, harusnya ada anggota keluarganya yang bisa secara telaten merawatnya ( Pl, Juli 2006).

Dari pernyataan itu, terlihat bahwa ketidakberdayaan yang dialami informan Jr semakin lengkap karena tidak tidak didukung oleh keluarga atau orang terdekat di lingkungan sekitarnya. Keadaan tersebut terlihat kebersihan tempat tidur informan Jr sangat tidak sehat yang disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang tidak menunjang.

Kondisi informan Jr yang jarang bersosialisasi dengan orang lain mempengaruhi kondisi psikologisnya sehingga kadangkala dia tidak pernahg berbicara, atau bahkan malah berteriak histeris sebagaimana dituturkan Pl sebagai berikut:

Kondisinya yang jorok dan tidak terurus membuat orang lain enggan menengoknya sehingga membuatnya jarang berbicara, kadangkala dia berteriak histeris jika ibunya sedang keluar rumah ( Pl, Juli 2006)

(43)

Aktifitas kesehariannya informan Jr yang terus terlentang di tempat tidur mempengaruh stabilitas emosinya serta kondisi lingkungan keluarganya yang tidak kondusif semakin menambah ketidakberdayaan informan Jr.

Gambaran secara keseluruhan hasil penelitian menyangkut kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi oleh ketujuh informan sebagaimana uraian diatas, dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 8 Kondisi ketidakberdayaan yang dialami informan

No Nama Informan Kondisi ketidakberdayaan

(Kondisi awal sebelum program RBM )

1 2 3

1 Informan Rs

(Gangguan gerak)

 Kedua kakinya mengalami kecacatan sehingga tidka bisa berjalan secara normal.

 Tidak bisa hidup wajar dalam keluarga dan mengalami perasaan kurang percaya diri.

 Tidak bisa bergerak didalam dan diluar rumah secara mandiri dan tergantung kepada keluarga.  Tidak bisa melaksanakan aktifitas merawat diri secara mandiri dan tergantung kepada keluarga.  Tidak bisa melaksanakan aktifitasnya seperti

bermain sendiri.

2 Informan Lt

(Gangguan penglihatan)

 Kedua matanya tidak bisa berfungsi secara normal, namun masih bisa melihat secara samar-samaar dan dari jarak dekat.

 Mengalami tekanan perasaan malu terutama sama keluarganya karena tidak bisa bekerja lagi

(44)

 Tidak bisa hidup wajar karena mengalami perceraian dengan isterinya.

 Tidak bisa berperan dalam keluarga dan masyarakat.

3 Informan Mk ( Gangguan Tingkahlaku )

 Mengalami gangguan tingkahlaku karena

pikirannya tidak bisa berfungsi secara normal.  Tidak bisa hidup secara wajar dalam keluarga

dan masyarakat

 Tidak bisa berperan dalam keluarga dan masyarakat

 Stablitas emosi yang tidak terkontrol seperti sering marah-marah .

4 Informan Sn (Gangguan Belajar)

 Mengalami gangguan dan kemampuan belajar karena tingkat intelegensia yang kurang.

 Lambat dalam mempelajari sesuatu dan susah mengikiti proses belajar.

 Tidak bisa hidup secara wajar dalam keluarga dan masyarakat

 Tidak bisa berperan dalam keluarga dan masyarakat

5 Informan Rc (Gangguan Tingkahlaku)

 Mengalami gangguan tingkahlaku karena tidak mau bertemu dengan orang lain

 Tidak bisa hidup secara wajar dalam keluarga dan masyarakat karena perilakunya sangat liar  Tidak bisa berperan dalam keluarga dan

masyarakat.

6 Informan An (Gangguan Bicara)

 Mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan keluarga

 Mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat

 Tidak bisa hidup wajar dalam keluarga  Tidak bisa sekolah

 Tidak bisa berperan dalam masyarakat  Tidak mampu merawat diri sendiri

7 Informan Jr (Gangguan Ganda)

 Mengalami hambatan dalam bersosialisasi dengan keluarga

 Mengalami hambatan dalam bersosialisasi dengan masyarakat

 Tidak bisa hidup wajar dalam keluarga  Tidak bisa sekolah

 Tidak bisa berperan dalam masyarakat  Tidak mampu merawat diri sendiri

(45)

Dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan terhadap peyandang cacat, keterlibatan para kader RBM dilaksanakan secara baik dan langsung atau tidak langsung maupun keduanya. Dalam keterlibatan secara langsung, kader RBM memberikan latihan binaan terhadap penyandang cacat. Keterlibatan secara tidak langsung dilaksanakan dimana kader RBM melatih keluarga penyandang cacat untuk selanjutnya melatih dan membina penyandang cacat. Keterlibatan diantara keduanya, terlihat dimana kader RBM setelah memberikan pelatihan kepada keluarga penyandang cacat, juga membantu bersama-sama dengan keluarga melaatih penyandang cacat.

Hasil penelitian menyangkut kegiatan yang dilakukan kader RBM dalam pelaksanaan pemberdayaan terhadap ketujuh informan, akan diuraikan berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan dalam program RBM yaitu membuat peta lokasi, kunjungan dari rumah ke rumah dan deteksi dini, menentukan paket latihan bagi penyandang cacat dan rujukan, melatih keluarga penyandang cacat dan melakukan kunjungan dan pembinaan. 1. Membuat peta lokasi.

Kegiatan ini merupakan tahap awal dilakukannya kegiatan pemberdayaan penyandang cacat oleh kader RBM. Pada kegiatan ini kader RBM memulai dengan membuat denah/peta dilingkungan RW yang menjadi wilayah binaan dimasing-masing. Dari ketujuh kader RBM dalam penelitian ini, terlihat langkah ini dilaksanakan secara penuh, artinya kader RBM dapat membuat peta lokasi wilayah binaannya dengan cukup baik sehingga

(46)

menjadi dasar dalam mendukung kegiatan selanjutnya yaitu kunjungan ke rumah dan deteksi dini.

2. Kunjungan dari rumah ke rumah dan deteksi dini kecatatan.

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kader RBM bersama anggota/tokoh masyarakat sekitarnya dengan berdasar kepada peta wilayah yang telah dibuat sebelumnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah menemukan penyandang cacat dan sekaligus melakukan deteksi untuk melihat jenis kecatatan yang dialaminya dengan menggunakan formulir F1. Dari hasil penelitian terhadap ketujuh kader RBM terlihat bahwa kader dalam proses ini tidak melibatkan anggota masyarakat dan melakukannya sendiri, dan untuk selanjutnya baru kader menginformasikan kepada masyarakat sekitarnya.

Dalam kasus ketujuh kader RBM, penemuan penyandang cacat dilakukan berdasarkan langkah ini, sementara pada kasus kader RBM sepupu Lince, karena kedudukannya sebagai sepupu dari informan Rc, maka dia tidak melakukan kunjungan tapi langsung melakukan deteksi kecacatan yang dialami oleh informan Rc.

Kemampuan kader RBM dalam mendeteksi penyandang cacat, dari hasil penelitian terlihat bahwa deteksi kecatatan lebih kepada aspek kesehatan saja, sementara kegiatan deteksi kecacatan dari aspek pendidikan, keterampilan dan sosial belum dilaksanakan secara memadai. Hal ini dimungkinkan karena pelatihan yang diterima oleh kader RBM dari tim RBM kecamatan, secara khusus hanya melatih untuk mendeteksi kecacatan

(47)

dari aspek medis atau kesehatan saja, sementara aspek-aspek lainnya tidak dilatih secara memadai.

3. Menentukan paket latihan bagi penyandang cacat dan rujukan.

Dalam kegiatan ini, kader RBM dengan menggunakan formulir F2 menentukan apakah penyandang cacat memerlukan latihan untuk mencapai kemandiriannya. Selanjutnya bila diperlukan pelatihan untuk kemandiriannya, kader bersama dengan keluarga dan penyandang cacat menentukan paket latihan bagi penyandang cacat sesuai dengan jenis kecacatannya. Proses rujukan dilakukan bila penyandang cacat perlu untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan, dan dilakukan dengan merujuk kepada pihak Puskesmas dengan bantuan dari kader RBM kecamatan.

Penelitian terhadap ketujuh kader RBM, menunjukkan bahwa penentuan paket latihan lebih didominasi oleh kader RBM tanpa peran serta secara penuh keluarga dan penyandang cacat. Keadaan ini menjadikan hilangnya peran yang semestinya harus dilakukan oleh keluarga, penyandang cacat, dan masyarakat untuk bisa terlibat dalam mengambil keputusan.

4. Melatih dan membina keluarga penyandang cacat dan masyarakat. Setelah menentukan paket latihan yang akan diberikan untuk mencapai kemandirian penyandang cacat, selanjutnya kader RBM melatih dan memberikan pembinaan terhadap keluarga penyandang cacat agar selanjutnya dapat melatih dan membina penyandang cacat dalam kehidupan

(48)

sehari-hari. Terhadap masyarakat terutama tetangga sekitarnya, kader RBM juga memberikan latihan dan pembinaan, sehingga mereka diharapkan terlibat melatih dan membina penyandang cacat khususnya dilingkungan masyarakat.

Dalam kasus informan Rs, informan Rc, dan informan Sn, dan kader RBM melatih dan membina keluarga dan untuk selanjutnya keluarga secara mandiri melatih dan membina penyandang cacat. Dalam kasus informan Lt, kader RBM langsung memberikan latihan dan pembinaan dengan melibatkan anggota keluarga yang ada (anak dan saudara informan). Hal ini dimungkinkan karena kondisi keluarga informan yang sudah bercerai dengan isterinya dan satu-satunya keluarga dekat informan adalah anak, saudara.

Dalam kasus informan An dan informan Jr, kader RBM bersama dengan ibunya melatih dan membina informan An dan Jr secara bersama-sama. Keterlibatan masyarakat khususnya tetangga sekitar tempat tinggal masing-masing informan juga terlihat ikut ambil bagian baik dalam upaya membantu informan untuk dapat berperan dalam masyarakat maupun membantu informan untuk dapat berperan dalam masyarakat maupun membantu informan dalam mendapatkan keterampilan dan pekerjaan/mencari nafkah.

5. Melakukan pembinaan dan rujukan

Kegiatan ini merupakan upaya untuk melihat sejauhmana pelaksanaan latihan dan pembinaan dilakukan keluarga dan masyarakat, serta

(49)

sejauhmana tingkat kemandirian yang dicapai oleh penyandang cacat dari hasil latihan dan pembinaan tersebut. Melalui kegiatan ini, keberhasilan yang telah dicapai oleh penyandang cacat, diupayakan untuk terus dipertahankan oleh keluarga dan penyandang cacat itu sendiri. Sementara ketidakberhasilan dalam mencapai kemandirian, diupayakan untuk terus diberikan dorongan dan motivasi untuk tetap dilatih dan dibina. Dalam kegiatan ini juga, dapat dilakukan rujukan baik yang bersifat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian yang telah dicapai maupun rujukan dalam rangka mendapatkan pelayanan yang lebih baik karena latihan dan pembinaan yang telah dilakukan keluarga belum mampu meningkatkan kemandirian penyandang cacat. Rujukan ini dapat dilakukan dengan dibantu oleh masyarakat, kader RBM kecamatan maupun Tim RBM kabupaten, untuk dapat dirujuk kepada pihak atau lembaga rujukan sesuai dengan kebutuhannya.

Dari hasil penelitian terhadap ketujuh kader RBM, terlihat bahwa kegiatan kunjungan dan pembinaan lanjut pada dasarnya dilaksanakan tetapi sebagian besar kegiatan hanya diarahkan kepada kegiatan kunjungan semata-mata. Hal ini terlihat dimana pada kasus informan Sn dan An

menyangkut kemandirian dalam bersekolah. Selama kegiatan pembinaan dalam rrumah oleh keluarganya, sampai saat ini belum menampakkan hasil yang memadai sehingga informan Sn dan An masih belum bisa baca tulis dan berhitung dengan baik.

(50)

Kondisi ini sebenarnya bisa dilakukan pembinaan lanjut berupa rujukan oleh kader RBM kepada pihak terkait yang dapat memberikan pelayanan secara lebih memadai. Langkah-langkah kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh Kader RBM terhadap penyandang cacat binaannya sebagaimana dijelaskan diatas, dapat dilihat secara ringkas dalam tabel berikut ini.

Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat terhadap penyandang cacat, dilaksanakan sesuai dengan tingkat kemandirian yang akan dicapai berdasarkan 23 kriteria kemandirian. Pelaksanaan dan hasil yang dicapai pada masing-masing informan penyandang cacat, dapat diuraikan dalam hasil penelitian berikut ini.

1. Informan Rs (Gangguan Gerak)

a. Pemberdayaan untuk hidup wajar bersama keluarga.

Dalam menciptakan suasana keluarga yang wajar, ibu informan Rs mengemukakan bahwa orang tuanya dan saudara-saudaranya selau memberikan motivasi kepadanya untuk mengusahakan agar anaknya dapat hidup wajar meskipun Kondisi kakinya sekarang tidak normal. Informan Ep menuturkannya sebagai berikut :

Ibu, bapak dan adik-adik saya tidak pernah bersikap atau mempermasalahkan kecacatan Rs. Malah mereka selalu mendorong saya untuk melupakan dan menganggap tidak ada yang terjadi pada Rs (Ep, Juli 2006).

Gambar

Tabel 4. Perincian luas wilayah per Kecamatan
Gambar   Peta Pelayanan RBM Persatuan wanita Gereja Toraja   Kegiatan  pelayanan  penyandang  cacat  di  pelosok  Desa  dilakukan  dengan  mengumpulkan  penyandang  cacat  disuatu  tempat  yang  representif  seperti  Balai  Desa,  Gereja,  atau  Sekolah  u
Tabel 8  Kondisi ketidakberdayaan yang dialami informan
Gambar   Informan Lt sedang memberi makan ternak

Referensi

Dokumen terkait

Hasil belajar dengan menggunakan model mind mapping dida- patkan pada tahap pra siklus dengan nilai rata-rata adalah 40 dengan presentase 20%, tahap siklus I nilai rata-rata

Pandangan nasionalisme mengenai cinta terhadap tanah air memiliki perspektif bahwa negara itu adalah jiwa dan kehormatan yang harus selalu dijaga bagi penduduk

Dengan demikian pata orang tua dan konselor perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak, dengan bersikap luwes dan kreatif pula-. Bahan-bahan pelajaran di

Simulasi ini akan menganalisis mean square error (MSE) terhadap signal to noise ratio (SNR) menggunakan parameter uji berupa jumlah user yang diinginkan, jumlah interferensi,

Tabel 4.15 Output Kedua dari Uji Regresi Linear Sederhana (Pengaruh Kecerdasan Logis Matematis terhadap Hasil Belajar Matematika) dengan. SPSS 16.0

Simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran melalui compact disk pembelajaran interaktif pada materi sistem peredaran darah manusia dapat meningkatkan hasil

salah seorang calon pegawai negeri yang juga diterima di Departemen Agama/ adalah. Agus Sutrisno// Agus sudah 5 kali mengikuti seleksi pegawai/ dan baru kali

Dana cadangan ialah sejumlah uang yang diperoleh dari sebagian hasil usaha yang tidak dibagikan kepad anggoya; tujuannya adalah untuk memupuk modal sendiri yang