• Tidak ada hasil yang ditemukan

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V KESIMPULAN

Seni rupa modern Islam Indonesia adalah kenyataan pertumbuhan dan praktik seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Pada dasarnya semangatnya merangkul prinsip -prinsip baik pada nilai- nilai seni tradisi lama yang masih hidup maupun seni modern yang lebih mutakhir. Jika persoalannya menyangkut gagasan nilai- nilai Islam yang universal, maka sesungguhnya tidak ada pembagian yang lebih dikotomis dan hirarkis, seni yang mana sesungguhnya paling absah untuk menyatakannya. Masalah ini jelas berbeda dengan nilai-nilai apa yang dikandung dalam sejarah modernitas dan modernisme Barat.

Di Indonesia, bentuk seni rupa modern yang memunculkan gagasan nilai- nilai Islam yang memuat konsep religiusitas tumbuh pada tahun 1970-an, dimana nilai- nilai dan tegaknya pemikirannya pun telah dicetuskan utamanya oleh Ahmad Sadali dan disusul oleh pelukis muslim lainnya seperti: A.D Pirous, Amang Rahman, Amri Yahya dan pelukis muslim sezamannya. Itulah yang kemudian oleh beberapa pengamat sering disebut sebagai gagasan seni yang mengarah pada dimensi transendental. Harus diakui, dibanding dalam seni rupa ternyata dalam perkembangan seni sastra gagasan nilai- nilai Islam yang demikian, pada kenyataannya lebih dahulu timbul. Ini bisa disimak dalam karya sastra Amir Hamzah, maupun yang lebih maju ditemukan pula pada karya sastra seperti: sajak Sutardji Calzoum Bachri, cerpennya Danarto maupun puisinya Abdul Hadi W.M. Sekali lagi, inilah yang membuktikan bagaimana nilai- nilai Islam mewujud ke dalam berbagai bentuk ekspresi estetik wujud mana pun. Tanpa dibatasi dengan wujud ekspresi mana yang paling sah menyatakannya, dan kategori medium mana yang lebih menunjukkan paling mulia.

Kenyataan pun perlu diakui masalah seni rupa Islam ini, sejauh apa-apa yang tidak dilarang oleh agama Islam itu sendiri ekspresi seni itu boleh saja. Apalagi melihat

(2)

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terbangun sekaligus menegaskan, bahwa masalah ekspresi estetik seni Islam di Indonesia sesungguhnya berbeda dengan ekspresi estetik di negara-negara Islam lainnya. Warna inilah yang ditunjukkan oleh kegiatan Festival Istiqlal I 1991 dan II 1995, dimana representasi seni rupa yang ditawarkan sekaligus yang ditunjukkan oleh seniman-seniman muslim tidak hanya bersumber daripada persepsi representasi Islam yang tunggal; terlebih lagi yang bermuatan seni yang transendental saja. Ada pula isu yang mengangkat tentang isu seni rupa Islam dengan pengalaman hidup secara personal, kritik sosial, lingkungan hidup dan masalah kemanusiaan. Meskipun begitu, tidak lantas dalam kegiatan baik pada Festival Istiqlal I dan II tersebut sisi-sisi yang paling dalam pada nilai Islam itu sendiri dihilangkan. Karya -karya yang telah dihadirkan seperti isu kritik sosial, lingkungan hidup dan masalah kemanusiaan seperti apa yang ditunjukkan oleh beberapa seniman seperti Dede Eri Supria, Agus Kamal, Hendrawan Riyanto, maupun Pramono Ir pada Festival Istiqlal I dan II, sedikit banyak telah memberikan representasi baru bagi pengembangan seni rupa Islam ke depan. Apalagi dengan elaborasi makna baru dalam seni Islam itu sendiri meminjam istilah Kuntowijoyo yakni menuju estetika yang human. Lewat pengertian estetika yang human inilah penjabaran seni dan tugas seni ialah untuk memanusiakan manusia. Suatu istilah yang mengambil penjabaran lurus dari prinsip amr ma’ruf (dalam Al-Qur’an 3: 110). Amr ma’ruf merupakan misi tugas humanisasi, disamping misi lainnya yaitu nahy munkar, sebagai liberasi (pembebasan, terpenting pembebasan dari segala bentuk kedzaliman). Sementara yang terakhir misi iman billah sebagai tugas transendensi. Ketiga misi itulah yang secara kontekstual merangkul nilai-nilai terhadap seni Islam.

Pun begitulah ya ng terjadi, ternyata pola dan perkembangan praktik seni Islam di masing-masing negara Islam, dalam hal pola dan nilai ekpresinya satu sama lain telah menunjukkan perbedaan. Hal inilah juga yang menyangsikan soal-jawab apakah benar-benar ada seni rupa Islam dan nilai- nilai estetika Islam yang berlaku universal? Pertanyaan itu pada dasarnya tidak perlu dijawab, malah memberlakukan dan mengajak cara berpikir bagaimana seni Islam menjadi doktrin yang seharusnya dan seolah menjadi

(3)

tafsir yang tertutup yang akhirnya malah membawa pada pandangan-pandangan modern dan modernisme yang seringkali terjebak dalam upaya memaknai seni rupa Islam dan ’estetika Islam’ yang lebih kaku.

Tonggak penting dilaksanakannya Festival Istiqlal I 1991 dan Festival Istiqlal II 1995, dalam fase perkembangan seni rupa modern Indonesia. Pada akhirnya telah membuktikan bahwa jalan seni rupa modern Islam Indonesia atau yang biasa lebih dikenal sebagai seni rupa modern Indo nesia yang bernafaskan Islam. Pada kenyataannya telah mencapai revolusi penting. Di mana kajian nilai- nilai seni rupa modern Islam Indonesia yang dimulai pada tahun 1970, sampai dilaksanakannya kegiatan Festival Istiqlal 1991 dan 1995 ternyata telah menunjukkan arah kontinuitas sekaligus perubahan yang cukup berarti.

Di sisi luar pandangan secara eksternal, Festival Istiqlal juga telah mendorong sekaligus menunjukkan bahwa Islam adalah bagian sangat intrinsik dalam proses pembentukan budaya tradisional dan budaya modern Indonesia. Di sisi yang lain, Festival Istiqlal juga adalah pernyataan akan terlepasnya kesadaran intelektual Islam dari kendala psikologis dan struktural. Hampir tak ada peristiwa kultural yang terjadi tanpa dialog. Memang perlu dimaklumi juga, sebuah peristiwa –seperti Festival Istiqlal— pameran seni rupa atau bahkan peristiwa tontonan yang dihadapkan kepada publik, pada dasarnya tak pernah berdiri secara netral bahkan bersih. Dalam arus luar dan pengaruh-pengaruh sosiologis dan politik tersebut. Kegiatan seperti Festival Istiqlal tidak lantas bersih dari upaya- upaya politik dan berlakunya bagaimana peran negara dan kekuasaan memainkan peran yang sangat penting dalam menjamin kesuksesan sebuah acara. Akan tetapi, kenyataan itu tidak perlu ditampik. Sebab sejauh upaya kekuasaan tersebut tidak menyempitkan pandangan akan kebudayaan dan kesenian itu sendiri, sikap tolerir pun perlu kita terima.

Satu yang terpenting, simpulan apa yang diperoleh dari kegiatan Festival Istiqlal ialah bahwa dualisme antara ’Islam’ dan ’Indonesia’, pada dasarnya adalah konsep kultural yang harus dipertanyakan. Sebaliknya, dalam kegiatan seperti Festival Istiqlal

(4)

persepsi kedua antara mana yang ’Islam’ dan mana yang ’Indonesia’ telah menyatu dalam suatu bentuk perwujudan ekspresi kesenian. Islam yang universal memantulkan dirinya dala m perwujudan kesenian lokal Indonesia. Di sinilah Islam tidak tampil sebagai unsur luar yang mempengaruhi budaya lokal, tetapi sebagai sumber inspirasi spiritual yang melatarbelakangi proses penciptaan. Di lain pihak, ditemukan pula soal keseragaman dalam Festival Istiqlal I dan II tersebut, yakni apa yang disebut sebagai ’keseragaman’ nafas kosmopolitanisme Islam, meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah. Kosmopolitanisme Islam ini terefleksikan dalam bentuk -bentuk perwujudan kesenian pada Festival Istiq lal baik pada seni tradisional maupun seni modern, kosmopolitanisme Islam tersebut secara tidak langsung ditengarai seolah mengakui adanya ’pusat kebudayaan’ yang dipakai sebagai referensi dan juga disebut sebagai transnasional itu.

Dalam Festival Istiqa l baik yang ke I 1991 maupun yang ke II 1995, berbagai ciptaan karya seni dan estetik muncul dan melimpah ruah. Tidak hanya, kategori gagasan makna seni Islam yang filosofis, tetapi juga menunjukkan meluasnya kemungkinan-kemungkinan dan kreasi baru dari soal teknik, medium, tema dan karya seni rupa. Siapa yang bisa menduga bahwa bentuk kesenian seperti instalasi dan perfomance art pun kemudian muncul dalam bentuk ekspresi seni Islam. Soal memahami konteks dan situasi seperti itu penulis yakin, ini pula yang terus menegaskan bagaimana Islam ’sesuai’ dengan arus perubahan-perubahan, perubahan yang dimaksud yaitu supaya unsur muamalahnya tidak ketinggalan zaman. Demikianlah arah continuum dan transformatif dari gagasan seni rupa kontemporer Islam Indonesia tela h terjadi.

Sebagai tanggapan publik, Festival Istiqlal juga telah memberikan kesadaran individual (karya seni yang dibuat oleh seniman) ke kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah ini telah merefleksikan bahwa modernitas dan kebaruan itu tidaklah dilarang dan amat perlu dalam rangka perubahan masa depan yang lebih baik. Gambaran tentang modernitas Islam masa depan (eschatology) telah direfleksikan dalam Festival Istiqlal, pada taraf ini pula Festival Istiqlal patut dijadikan kesadaran kolektif. Dalam kesadaran kolektif ini umat dimaknai sebagai kolektivitas. Kolektivitas memberikan unit sejarah

(5)

yang mau tidak mau terlibat dalam arus perkembangan sejarah. Dalam titik inilah kesadaran sejarah yang terkandung secara intrinsik dalam Festival Istiqlal, berarti perlunya umat harus aktif sebagai subjek yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak hanya menunggu untuk dikendalikan kekuatan sejarah lain sebagai objek.

Bagaimana pun kita perlu menyadari bahwa kita telah mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan sejarah peradaban manusia termasuk soal modernitas Barat tersebut. Itulah artinya kita tidak membangun dari sebuah vacuum (meminjam istilah Kuntowijoyo). Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh karena itu hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif terhadap nilai- nilai yang datang dari luar. Sikap yang anti terhadap demikian adalah sikap yang ahistoris dan tidak realistis.

Referensi

Dokumen terkait

Mitos dan pemali dalam cerita rakyat Situ Gede dan Situ Cibeureum merefleksikan kearifan masyarakat dalam pelestarian alam, khususnya keseimbangan alam dalam hal pengelolaan sumber

POKJA III ULP Pemerintah Kabupaten Bangka Tahun Anggaran 2014 akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi secara elektronik untuk paket pekerjaan

sirri terhadap perempuan (istri) dan anak-anak secara hukum adalah hak-hak Individu dapat tertutupi dan hilangnya kekhawatiran perzinah- an diantara pasangan pelaku nikah sirri

Judul : Upaya Preventif Human Trafficking (Khususnya Terhadap Perempuan dan Anak) Bagi Masyarakat Desa Sedayu, Kelurahan Kalisegoro, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Program :

menyampaikan rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila dia.. menghentikan kegiatannya, atau kepada diri sendiri apabila akan melanjutkan dalam kesempatan

“Timun Emas”, maka bentuk komposisi yang sesuai adalah musik program.. Musik program adalah suatu bentuk musik yangdigunakan

Gabungkan 2 buah katrol besar dan pasangkan pengait beban diantara kedua katrol tersebut serta pasangkan pula sebuah steker perangkai pada salah satu katrol (lihat Gambar 1.2)3.

CONSTRUCTED INTERACTIVE ANIMATION AS A MEDIA TO MEASURE STUDENTS’ OLLABORATIVE PROBLEM SOLVING SKILLS AND IMPROVE STUDENTS’ UNDERSTANDING IN