BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Dalam landasan teori, akan dibahas lebih lanjut mengenai Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Alokasi
Belanja Modal.
2.1.1. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme transfer
keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas
nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan
pelayanan antar bidang (Subekan, 2012). DAK memainkan peran penting dalam
dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah karena
sesuai dengan prinsip desentralisasi tanggung jawab dan akuntabilitas bagi
penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah daerah
(Ikhlas 2011).
DAK merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke Daerah tertentu
untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah dan juga
prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan
beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil,
saluran irigasi primer, dll. Menurut peraturan perundang-undangan yang baru untuk daerah otonom, yaitu Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
dana pendamping paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah, dan
dana pendamping ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD).
Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar dari
penerimaan tidak perlu menyediakan dana pendamping. Tetapi perlu diketahui
bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk
pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang merupakan
prioritas nasional.
Menurut Departemen Keuangan kebijakan DAK bertujuan untuk :
1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan
keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan
penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah
merupakan urusan daerah.
2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah
pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah
ketahanan pangan dan daerah pariwisata.
3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan
diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang
pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.
4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan
prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur.
5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan
bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan
dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu kesatuan sistem
yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur.
6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak
pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus
dalam bidang prasarana pemerintahan.
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari
DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan
kegiatan yang didanai dari APBD.
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan
daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.
Adapun mekanisme pengalokasian DAK adalah sebagai berikut :
1. Kriteria Pengalokasian DAK
a. Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah
yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja PNSD.
b. Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah.
c. Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat
menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis
pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.
2. Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan, yaitu:
b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
3. Penentuan Daerah Tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus,
dan kriteria teknis.
4. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan
indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
5. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Khusus
yang selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk pemerataan dan
peningkatan kondisi infrastruktur fisik yang merupakan prioritas nasional dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.
2.1.2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari
sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu
dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran daerah masing-masing dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu
yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan DAU-nya
ditetapkan sesuai undang-undang.
DAU berperan dalam pemerataan horizontal (horizontal equalization), yaitu
dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. DAU sering disebut bantuan tak
bersyarat (unconditional grants) karena merupakan jenis transfer antartingkat
pemerintah yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu.Menurut UU
No. 25 Tahun 1999, alokasi DAU ke suatu daerah ditetapkan berdasarkan dua
faktor, yaitu potensi perekonomian dan kebutuhan daerah. Kebutuhan daerah
(fiscal need) dicerminkan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis,
dan tingkat pendapatan masyarakat. Potensi perekonomian antara lain
dicerminkan oleh potensi penerimaan pemerintah daerah (fiscal capacity), seperti
dari hasil industri dan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan PDRB.
Potensi perekonomian antara lain dicerminkan oleh potensi penerimaan
pemerintah daerah (fiscal capacity), seperti dari hasil industri dan sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan PDRB. Berdasarkan Undang-Undang tersebut
Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang kurangnya 26% dari penerimaan dalam
negeri yang kemudian disalurkan kepada provinsi sebesar 10% dan kabupaten
atau kota sebesar 90% dari total DAU. Dana Alokasi Umum merupakan dana
yang bersifat “Block Grant” yang artinya ketika dana tersebut diberikan
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas
untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan
daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Halim (2009) ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan
Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal, disebabkan
oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali
DAU kepada daerah untuk menanggulangi ketimpangan tersebut. Bagi daerah
yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih besar
dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. Selain itu untuk
mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penugasaan pajak
antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya kebijakan bagi hasil dan DAU
minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri.
DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber
pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung
jawab masing-masing daerah. DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi
dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas
fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang
ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas
Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah.
Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.
Sirait (2009) mengatakan bahwa kebutuhan fiskal dapat diartikan sebagai
kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluaran daerah dalam rangka
menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik.
Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari
variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :
a. Jumlah Penduduk
b. Luas Wilayah
c. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
Setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dari
kebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima
sama sekali pada tahun berikutnya. Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap
menjadi salah satu bagian terbesar anggaran nasional dan juga merupakan sumber
utama anggaran pemerintah daerah. Oktriniatmaja (2011) melakukan penelitian
pada Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali menemukan bahwa terdapat
pengaruh positif DAU terhadap belanja modal. DAU yang diberikan oleh
pemerintah pusat bersifat block grant, artinya peruntukan DAU merupakan
kewenangan penuh dari pemerintah daerah. Fleksibilitas penggunaan DAU ini
menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan untuk belanja modal. DAU yang
semakin meningkat akan memberi peluang yang lebih besar guna peningkatan
alokasi belanja modal (Yasser, 2015).
Apabila dilihat dari sisi ekonomi, penghapusan DAU untuk beberapa daerah
akan berimbas pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah
tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Penghapusan ini akan berimbas negatif terhadap stabilitas keuangan daerah,
stabilitas keuangan daerah yang terganggu ini akan berimbas kepada pelaksanaan
program-program pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang akan terganggu pula. Imbas yang lain adalah terganggunya
program-program pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatakan
pelayanan publik/infrastruktur yang dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi
regional maupun ekonomi nasional. Penghapusan DAU tersebut juga
dikhawatirkan akan mengganggu iklim investasi karena akan meningginya biaya
2.1.3. Penerimaan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut Bratakusumah & Solihin (2002) pengertian
PAD adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna
membiayai kegiatan - kegiatan daerah tersebut. PAD menjadi salah satu sumber
pendapatan yang terus dipacu peningkatannya agar dapat dimanfaatkan secara
optimal mungkin untuk kepentingan Pemerintah Daerah.
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mutlak harus dilakukan oleh
Pemerintah Daerah agar mampu untuk membiayai kebutuhannya sendiri, sehingga
ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat semakin berkurang
dan pada akhirnya daerah dapat mandiri. Dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada bab
V (lima) nomor 1 (satu) disebutkan bahwa pendapatan asli daerah bersumber dari:
a. Pajak Daerah
Menurut UU No 28 tahun 2009 Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut
Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan UU nomor 28 tahun 2009 pajak kabupaten/kota dibagi menjadi
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,
dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Seperti halnya dengan pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai
peranan ganda yaitu sebagai sumber pendapatan daerah dan sebagai alat pengatur.
b. Retribusi Daerah
Pemerintah pusat kembali mengeluarkan regulasi tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Dengan UU ini
dicabut UU Nomor 18 Tahun 1997, sebagaimana sudah diubah dengan UU
Nomor 34 Tahun 2000. Berlakunya UU pajak dan retribusi daerah yang baru
di satu sisi memberikan keuntungan daerah dengan adanya sumber-sumber
pendapatan baru, namun disisi lain ada beberapa sumber pendapatan asli daerah
yang harus dihapus karena tidak boleh lagi dipungut oleh daerah, terutama berasal
dari retribusi daerah.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 secara keseluruhan terdapat 30 jenis
retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3
golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi
perizinan tertentu.
1. Retribusi Jasa Umum yaitu pelayanan yang disediakan atau diberikan
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2. Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa usaha yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah
3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
atas pemberian izin tertentu yang khusus diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut menurut objek
pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
negara/ BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
swasta maupun kelompok masyarakat.
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan Pendapatan Asli
Daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak
termasuk dalam jenis pajak dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Pendapatan ini juga merupakan penerimaan daerah yang berasal dari
lain-lain milik pemerintah daerah. Undang-undang nomor 33 tahun 2004
mengklasifikasikan yang termasuk dalam pendapatan asli daerah yang sah
meliputi:
1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
2. Jasa giro.
3. Pendapatan bunga.
4. Keuntungan adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
5. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan,
2.1.4. Anggaran Belanja Modal
Sejalan dengan di selenggarakannya otonomi daerah, daerah harus dapat
mengembangkan daerahnya sendiri agar apa yang menjadi tujuan
diselenggarakannya otonomi daerah dapat terlaksana. Untuk itu diperlukan
banyak dana yang harus dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah yang salah satunya adalah
belanja modal. Menurut Halim (2007), belanja modal merupakan pengeluaran
anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberikan manfaat
lebih dari periode akuntansi. Peraturan Menteri Keuangan nomor 101/PMK 02/
2011 tentang klasifikasi anggaran.
Belanja modal dipergunakan untuk belanja modal tanah, belanja modal
peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal
(jalan,irigasi dan jaringan), belanja modal lainnya, dan belanja modal badan
layanan umum (BLU). Belanja Modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah
yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau
kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin
seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum (Halim,
2004). Nordiawan (2006) mengatakan bahwa Belanja Modal adalah belanja yang
dilakukan pemerintah yang menghasilkan aktiva tetap tertentu.
Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah
daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Belanja
modal memiliki karakteristik spesifik dan menunjukkan adanya berbagai
pertimbangan dalam pengalokasiannya (Munir, 2003). Perdirjen Perbendaharaan
Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal” menyatakan bahwa suatu belanja
dikategorikan sebagai belanja modal apabila:
1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan asset tetap atau asset
lainnya yang menambah masa umur, manfaat, dan kapasitas.
2. Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi asset tetap atau
asset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.
3. Asset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya
pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga
masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan daerah (Halim, 2004).
Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan
efektifitas di berbagai sektor serta meningkatkan produktifitas masyarakat yang
akan meningkatan pertumbuhan ekonomi. Berpedoman pada Peraturan
Pemerintah No. 24/2005 tentang “Standar Akuntansi Pemerintahan” yang
mengatur mengenai belanja modal yaitu:
1. Belanja Modal Tanah yaitu semua biaya yang diperlukan untuk
pengadaan/pembelian/pembebasan/penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat
tanah, dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan
dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada pembebasan/pembayaran
ganti rugi tanah.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin yaitu jumlah biaya untuk pengadaan
alat-alat dan mesin yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk
penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin dan diharapkan dapat
meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan, termasuk dalam belanja ini adalah
jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan
kegiatan pembangunan gedung yang prosentasenya mengikuti Keputusan Direktur
Jendral Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan yaitu biaya untuk penambahan,
penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan sarana dan prasarana yang
berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air
bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta
jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya yaitu jumlah biaya yang digunakan untuk
perolehan melalui pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, jaringan (jalan dan irigasi) dan belanja modal non fisik,
yang termasuk dalam belanja modal non fisik ini yaitu kontrak sewa beli
(leasehold), pengadaan atau pembelian barangbarang kesenian (art pieces),
barang-barang purbakala dan barang-barang museum, serta hewan ternak,
buku-buku dan jurnal ilmiah.
2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan kapasitas produksi
suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional. Pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
menggunakan PDRB (Bapenas, 2003 dalam Harianto dan Adi, 2007). PDRB
secara nyata mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang
dihasilkan unit-unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Lebih
jauh, perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu indikator yang
dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah,
atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercermin melalui
pertumbuhan nilai PDRB (Bappeda Pekanbaru, 2014).
Menurut penelitan Setiyawati (2007), pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang
jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran
masyarakat meningkat. Arsyad (1999) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
dapat juga diartikan sebagai kenaikan Gross Domestik Product (GDP) atau Gross
National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau
lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur
ekonomi terjadi atau tidak.
Terdapat dua macam harga yang digunakan sebagai dasar perhitungan
PDRB yaitu atas dasar harga berlaku (ADHB) dan atas dasar harga konstan
(ADHK). Tingkat pertumbuhan ekonomi dihitung dengan cara membandingkan
PDRB tahun tertentu dengan tahun sebelumnya berdasarkan ADHK. Pandangan
ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan Jhon
Stuart Mill) ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu:
1) Jumlah penduduk, 2) Jumlah stok barang-barang modal, 3) Luas tanah dan
Sedangkan menurut Kuznet dalam Jhingan (2000), terdapat enam ciri
pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan pada produk nasional dan komponennya,
yaitu: (1) Laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita; (2) Peningkatan
produktivitas; (3) Laju perubahan struktural yang tinggi; (4) Urbanisasi; (5)
Ekspansi negara maju; serta (6) Arus barang, modal dan orang antar bangsa.
Keenam ciri pertumbuhan ekonomi tersebut saling berkaitan satu sama lain, yang
terjalin dalam urutan sebab akibat.
Boediono (1999) mengatakan Pertumbuhan Ekonomi juga berkaitan dengan
kenaikan ”output perkapita”. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup
teori mengenai pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk.
Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan output
perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan
ekonomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu
yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang
meningkat (Donderdag, 2013).
2.1.6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan
akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai
sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya
tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah
Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan suatu
negara adalah manusia sebagai aset negara yang sangat berharga. Definisi
pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan
yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang
hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan
manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya,
bukan hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana laporan UNDP
(1995), dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian;
b. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk,
bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep
pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk secara komprehensif dan
bukan hanya pada aspek ekonomi semata;
c. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan
kemampuan/ kapasitas manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan
kemampuan/ kapasitas manusia tersebut secara optimal;
d. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktivitas,
pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan;
e. Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan
pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.
Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP
ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan
Pembangunan Manusia (IPM). IPM diperkenalkan pertama sekali pada tahun
1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia
dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran
yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga komponen tersebut
adalah peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan hidup layak
(living standards). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup
ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka
melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas; dan hidup layak diukur dengan
pengeluaran per kapita yang didasarkan pada paritas daya beli (purchasing power
parity).
Rumus umum yang dipakai adalah sebagai berikut:
IPM =1/3 (X1 + X2 + X3)
di mana:
X1 = Indeks Harapan Hidup
X2 = Indeks Pendidikan
X3 = Indeks Standar Hidup Layak
Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga
bernilai antara 0 (terburuk) dan 1 (terbaik). Berikut adalah teknik penyusunan
indeks di atas yang dalam penyajiannya indeks tersebut dikalikan 100 untuk
mempermudah penafsiran dan pada dasarnya mengikuti rumus indikator-indikator
sebagai berikut:
1. Nilai indikator Indeks Angka Harapan Hidup dapat dihitung dari rumus :
Nilai AHH – AHH minimal
Indeks AHH =
Nilai AHH adalah Persentase rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh
seseorang yang berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam
situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
2. Nilai Indeks Pendidikan dapat dihitung dari rumus :
Indeks Pendidikan (AMH+APK) = (2/3 Indeks AMH)+(1/3 Indeks APK)
Keterangan:
Indeks Pendidikan = Indeks gabung yang hanya dikhususkan pada AMH dan APK gabungan (Rata-rata Lama Sekolah)
Dimana indikator Indeks AMH dapat dihitung sebagai berikut :
Nilai AMH – AMH minimal Indeks AMH =
AMH maksimal
dengan:
Jumlah Melek Huruf15+th
Nilai AMH15+th
=
X 100Jumlah Penduduk15+th
Keterangan :
AMH = Angka Melek Huruf.
Nilai AMH15+th = Nilai Angka Melek Huruf usia 15 tahun ke atas. Jumlah Melek Huruf 15+thn = Jumlah Melek Huruf usia 15 tahun ke atas. Jumlah Penduduk15+ thn = Jumlah Penduduk usia 15 tahun ke atas.
Sedangkan indikator Indeks APK (Rata-rata Lama Sekolah) dapat dihitung
sebagai berikut:
Nilai APK – APK minimal
Indeks APK =
APK maksimal – APK minimal
dengan:
Jumlah Siswa gab
Nilai APK gab = X 100
Jumlah Penduduk 7-24tahun
Keterangan :
APK = Angka Partisipasi Kasar.
Nilai APK gabungan = Gabungan Angka Partisipasi Kasar. Jumlah Siswa gabungan = Jumlah Siswa gabungan.
3. Nilai indikator Indeks PPP dapat dihitung dari rumus:
Nilai PPP – PPP minimal Indeks PPP =
PPP maksimal – PPP minimal
Keterangan: PPP = Purchasing Parity Power
Nilai PPP = Berapa banyak sebuah mata uang dapat membeli dalam pengukuran internasional (biasanya dalam bentuk dolar)
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa
terkecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar
hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100,
semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu. Karena
hanya mencakup tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai penyederhanaan
dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Oleh
karena itu, pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang
dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting
lainnya (yang tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik,
kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat ukur yang peka untuk dapat
memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya
beli yang dalam kasus Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang
terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Berdasarkan kajian aspek status
pembangunan manusia, tinggi rendahnya status pembangunan manusia menurut
UNDP dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
3. Tingkatan tinggi, jika IPM > 80.
Namun untuk perbandingan antar daerah di Indonesia, yaitu perbandingan
antar kabupaten/kota, maka kriteria kedua yaitu tingkatan menengah, dipecah
menjadi 2 (dua) golongan, sehingga gambaran status akan berubah menjadi
sebagai berikut:
1. Tingkatan rendah, jika IPM < 50
2. Tingkatan menengah-bawah, jika 50 < IPM < 66
3. Tingkatan menengah-atas, jika 66 < IPM < 80
4. Tingkatan atas, jika IPM > 80 dengan hipotesis penelitian. DAU, DAK dan DBH secara parsial tidak berpengaruh terhadap IPM.
Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Secara parsial Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
YOIS berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Secara parsial PAD, DAU dan DAK berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian hipotesis kedua ini juga menunjukkan bahwa belanja modal bukan variabel pemoderasi memperkuat atau memperlemah hubungan PAD, DAU, DAK dengan pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
PASEKI dkk parsial, pegaruh DAU dan belanja Langsung terhadap Kemiskinan memiliki pengaruh secara
signifikan dalam penurunan tingkat kemiskinan di Kota Manado. Secara
DWI LIZA
Secara simultan menunjukkan variabel DAU, DAK, DBH, dan PAD berpengaruh terhadap PDRB. Secara parsial DAK, DBH dan PAD signifikan negatif terhadap PDRB. Selain itu juga penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel Dana Penyesuaian (DP) sebagai moderating variabel tidak memperkuat dan memperlemah hubungan antara varaibel DAU, DAK, DBH, dan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). signifikan terhadap alokasi belanja modal secara simultan. Secara parsial, PAD dan DAK berpengaruh positif dan siginifikan terhadap alokasi belanja modal sedangkan DAU dan SiLPA tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Variabel moderasi mampu untuk memoderasi PAD dan DAK, namun tidak dapat memoderasi DAU dan SiLPA terhadap alokasi belanja modal.
2.3. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan skema/kerangka sederhana untuk
memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan secara
keseluruhan agar dapat diketahui secara jelas dan terarah. Dalam penelitian ini
akan dianalisa bagaimana pengaruh DAK, DAU dan PAD secara parsial dan
simultan terhadap Belanja Modal; bagaimana pengaruh DAK, DAU dan PAD
secara parsial dan simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi; bagaimana pengaruh
DAK, DAU dan PAD secara parsial dan simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
melalui Belanja Modal; bagaimana pengaruh DAK, DAU dan PAD secara parsial
dan simultan terhadap Indeks Pembangunan Manusia; dan bagaimana pengaruh
DAK, DAU dan PAD secara parsial dan simultan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia melalui Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi.
Secara skematis, kerangka konseptualnya dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka yang menjadi hipotesis dalam
penelitian ini antara lain:
1. DAU, DAK, dan PAD berpengaruh positif baik secara simultan maupun
parsial terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara.
2. DAK, DAU, dan PAD berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi
melalui Belanja Modal di Sumatera Utara.
3. DAK, DAU, dan PAD berpengaruh positif terhadap IPM melalui Belanja