PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY
Fatmasari, Syamsul Bachri, Sri Susyanti Nur
Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Fatmasari S.H., M.H. Fakultas Hukum
Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081 2426 19360
Abstrak
Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah sosio-yuridis, sampel dipilih secara purposive sampling. Data primer dan data sekunder, dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, hal ini dikarenakan belum disahkannya Rencana Detail Tata Ruang yang akan mengatur secara rinci atau detail 13 kawasan di Kota Makassar, sehingga Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tidak berdasarkan suatu pedoman yang jelas atau rinci, faktor lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah Kota, lemahnya pengawasan dan kurangnya peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata ruang Kota Makassar. Penerapan sanksi terhdap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya sebatas pada sanksi administratif dan belum pernah ditindak lanjuti dengan penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana.
Kata kunci : Tata Ruang, Kawasan Permukiman
Abstract
Development of setlement area have pushed the happening friction of area function or displace farm function. Friction of area function or displace farm function green air-gap, conservation farm, energy kindness area or covert area have changed over function become setlement area. The aim of the research is to explain the use of land for settlement area, to find out how the layout arrangement of Makassar City, and to find out and understand the application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the layout management of Makassar City. The research used socio-juridical study. The sample were determined using purposive sampling method. The data consisted of primary data by interviewing informants and secondary data which support the primary data obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials. They were analyzed descriptive-qualitatively. The results of the research indicate that the use of land for settlement area in Makassar city is not in accordance with Site Layout Plan of Makassar City. This is because RDTR which arranges in detail the 13 areas in Makassar City has not been legalized yet, so DTRB which gives Building Construction Permit and principle permit is not based on a clear and detailed manual. The other factors are the weak institutional coordination among city government officials, the weak supervision causing the violation of the use of layout not detected, and the lack understanding and role of community on the use of layout of Makassar City. The application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the rules of layout of Makassar City is merely limited to administrative sanction and ithas not been followed up bay the application of civil law and criminal law.
PENDAHULUAN
Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan(Harsono,2008). Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang pemerintah menyusun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola Daerahnya sendiri (Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya disingkatUUPR(Ridwan,2008).
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan
ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang,
Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. (Salle dkk ,2010), Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya, itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu: UUPA) dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi(Nur,2008) Sudikno Mertokusumo dalam (Santoso,2010) menggunakan istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan
dengan objek Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna tanah/ land use planning kurang tepat,(Hasni,2010) menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya(Supriadi,2010).
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan bahwa di Kota Makassar sebagai barometer kegiatan pembangunan di Sulawesi Selatan dan sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian dikawasan Indonesia Timur. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritis atau normatif,
juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan realitas untuk mengefektifkan hukum dalam kehidupan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan aparat Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang Kota Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Walhi, dan masyarakat Kota Makassar.
Sampel sebanyak 48 orang terdiri dari 30 orang responden yaitu masyarakat dan 12 orang narasumber yang terdiri dari aparat pemerintah, LSM/WALHI, dan developer. Metode penetapan sampel adalah secara Purposive Sampling yaitu sampel yang secara sengaja dipilih dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber dan responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur. b. Dokumentasi dengan menggumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini.
Analisis Data
disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.
HASIL
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak BAPPEDA Kota Makassar menyatakan bahwa pada saat ini pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman terjadi deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein dan Das Sollen hal ini disebabkan oleh karena meskipun pemanfaatan kawasan permukiman tetap mengacu dan merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana Rinci Tata Ruang yang mengatur secara detail atau terperinci setiap zona atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan master plan atau rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro atau secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi. Akan tetapi belum ada penentuan secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan yang merupakan kawasan permukiman dan wilayah mana yang termasuk fungsi penunjang mengingat suatu Kecamatan sangat luas wilayahnya. Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak DTRB yang menjadikan RTRW Kota Makassar dalam hal ini pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau meraba dan tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terinci. Dengan demikian sangat penting untuk segera membuat Rencana Detail Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur secara jelas dan tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan baik sebagai fungsi utama maupun fungsi penunjang.
DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak boleh lagi ada pembangunan ruko ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang ada di setiap ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana seorang developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian membangun ruko sebanyak 20 unit di depannya, hal inilah yang memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak seimbang antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah dalam sebuah perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh karena itu dibutuhkan analisis terhadap fungsi perdagangan dan jasa agar seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata Ruang dan Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada berapa faktor yang menyebabkan penataan ruang Kota Makassar tidak berjalan sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang telah ditetapkan yaitu:.
Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Sjachran Basah dalam (HR,2010) menyatakan bahwa Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Asep Warlan Yusuf menyatakan izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat (Ridwan dkk,2008). Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang (HR,2010).Ateng syafrudin (Ridwan dkk,2008)menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh.
maka tugas Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai pelaksana, pengawas dan pengendali pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu memberikan rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD dan tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau dengan kata lain DTRB akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB tidak akan terlaksana dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan rekomendasi, atau dengan kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar target PAD yang pada gilirannya akan mengakibatkan kesemrawutan terhadap penataan ruang kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang telah disusun sehingga pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan optimal
Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota Makassar menurut pendapat penulis masih kurang, Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R. Terry menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka pelaksanaan suatu rencana, pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai gerak yang tepat dalam mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Bratakusumah,2009).
Khususnya antara DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada sistem pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang direkomendasikan oleh DTRB untuk mendirikan rukan atau rumah kantor sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk perdagangan atau izin rumah bernyanyi oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan sumber PAD, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga dibebani target untuk merealisasikan target PAD yang berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU juga diberikan izin. Sehingga rukan yang dibangun berubah fungsi dan tidak sesuai dengan peruntukannya.
khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB terhadap renovasi yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam suatu permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan berdasarkan penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan permukiman terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah dilaksanakan oleh masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB. Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang melaksanakan pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan adanya wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas tata ruang di Kota Makassar.
Kurangnya peran serta masyarakat untuk turut aktif berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota Makassar menjadi andil terjadinya deviasi dalam pembangunan Kota Makassar. Peran serta Masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang dan Bangunan atau ke BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan pembangunan proyek-proyek baik proyek pemerintah maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena berdasarkan pengamatan penulis bahwa pelaksanaan pembangunan proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak mempertimbangkan kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran yang diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat mengkhawatirkan banyak pihak khususnya di kawasan pelabuhan terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke pelabuhan yang pada akhirnya dapat berakibat pada keselamatan penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam Kota Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian pula peran LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar.
surat teguran pertama, surat teguran kedua dan surat teguran ketiga. Apabila pihak pelanggar tidak memperhatikan surat teguran tersebut maka pihak DTRB akan turun melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar.
Menurut pendapat penulis UUPR memberikan pula perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang perorang, badan hukum maupun kepada pejabat yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Akan tetapi penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu diawali dengan penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan pelanggar dalam hal ini telah ada putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi korban untuk mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara materil.
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo (2010), Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Bratakusumah, Deddy Supriyadi, Riyadi, (2009), Perencanaan dan Pembangunan Daerah,
Jakarta: Pustaka Karya.
Erwiningsih, Winahyu (2011), Hak Pengelolaan Atas Tanah, , Yogyakarta: Total Media.
Harsono, Boedi, (2008), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Jakarta: Djambatan.
Hasni, (2010), Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH, Jakarta: Rajawali Pers.
HR, Ridwan, (2011), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nur, Sri Susyanti, (2010), Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan”, Makassar: AS Publishing.
Ridwan, Juniarso, Sodik, Achmad, (2008), Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Bandung: Nuansa.