• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk Apa Berada di Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Untuk Apa Berada di Dunia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Untuk Apa Berada di Dunia?

B. Christian Triyudo P

Youcat 1: Untuk tujuan apakah kita berada di bumi ini? Kita ada di bumi ini untuk mengenal dan mengasihi Allah, untuk melakukan yang baik sesuai kehendakNya, dan untuk kembali ke surga, suatu hari nanti. [1-3, 358]

Dalam salah satu titik kehidupan,1 manusia akan dihadapkan pada pertanyaan yang sulit dijawab secara definitif. Siapa saya? Mengapa saya di sini dan seperti ini? Mengapa dalam diri, ada gejolak yang menggerakkan pada keteraturan tetapi ada juga yang menggerakkan pada perusakan? Apa yang menjadi dasar dan tujuan hidup ini? dll.

Pertanyaan-pertanyaan macam itu sifatnya eksistensial. Entah disadari atau tidak, hal itu menyeruak dalam diri setiap orang. Tetapi, banyak orang sering menafikkannya karena dianggap tidak membantu dalam pekerjaan, buang-buang waktu, dll. Beragam keraguan dapat diungkapkan karena itu semua bukan pertanyaan yang secara instan langsung dapat dijawab dan bahkan kalaupun mau dijawab, membutuhkan waktu panjang, membosankan, dan belum tentu jawabannya memuaskan. Tanpa manusia berurusan dengan pertanyaan di atas, ia juga masih dapat hidup, makan, minum, tidur, kerja. Tetapi

kalau ia hanya hidup sesuai dengan ‘rutinitas’ tetapi tidak tahu tujuannya, kualitas hidup macam apa

yang dibangun? Bukankah setiap saat manusia selalu dihadapkan pada pilihan bagaimana harus hidup dan apa yang dipilih itu harus punya dasar sebagai pijakan dan arah sebagai tujuan?

Jika pertanyaan itu masih bisa dihindari dengan beribu alasan, kita masih bisa bertanya, mengapa banyak orang sekarang menyerukan pembelaan HAM, perlawananan terhadap poligami, ketidakadilan, dll? Satu hal yang tidak dapat dihilangkan adalah karena hidup manusia bermakna, maka harus

diperjuangkan. Drijarkara pernah mengungkapkan, “Karena hidup berupa perjuangan dan harus diperjuangkan, mulai dari saat pertama sampai penghabisannya di dunia ini, bukankah sepatutnya jika

kita perlu mengerti dasar dan tujuan perjuangan itu, meski tidak sepenuhnya sempurna?” (Lih. Karya Lengkap Driyarkara (selanjutnya disingkat KLD), hlm 33-34).

Situasi macam itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia ini: Manusia dituntut memahami dan menyelami realitas eksistensinya di dunia sehingga punya pedoman untuk setiap pilihan. Dalam Youcat 1 dijelaskan,

Menjadi manusia berarti berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Asal muasal kita jauh melampaui orang tua kita. Kita berasal dari Allah, yang dariNya segala kebahagiaan surga dan bumi berasal, dan kita diharapkan tinggal dalam rahmatNya yang abadi dan berkatNya yang tiada berkesudahan. Untuk sementara ini, kita tinggal di dunia ini. Kadang kita merasa bahwa

(2)

Sang Pencipta dekat dengan kita, namun seringkali kita tidak merasakan kehadiranNya. Supaya kita dapat menemukan jalan kembali kepadaNya, Allah mengutus PutraNya yang membebaskan kita dari dosa, melepaskan kita dari yang jahat, dan memimpin kita menuju hidup sejati. Dialah sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14: 6).

Dalam terang Youcat tersebut, tulisan ini akan membahas beberapa hal terkait dengan tema

“untuk apa manusia berada di dunia dan bagaimana perlu hidup dalam dunia”. Pokok bahasan dibagi

menjadi 4 bagian: Penciptaan sebagai karya kasih Allah dan proses terus-menerus (sebagai dasar), Tujuan Hidup Manusia, Kemahakuasaan Allah dan Kemerdekaan Manusia (sebagai realitas yang dialami), dan Keberanian kita untuk berada di dunia (sebagai cara bertindak).

Penciptaan sebagai Karya Allah dan Proses terus-menerus

Mengenai paham penciptaan, agama-agama Samawi meyakini bahwa Allah adalah pencipta alam semesta dengan keseluruhan isinya. Ia mengadakannya dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Asal-usul paham penciptaan seperti ini muncul pertama kali di Israel (dari tradisi Yudeo-Kristiani) berkaitan dan bersamaan dengan paham Yang Ilahi secara monoteistik dan transenden. (bdk. Magnis-Suseno, 2006, hlm. 203 dan Leahy 1993, hlm. 195)

Teks-teks pertama yang bicara tentang penciptaan dari ketiadaan adalah kitab Kejadian tradisi Elohis (E), terutama Kej 1-2, 4 (Kitab Kejadian bab kedua, secara tradisi lebih tua dari Kejadian bab pertama, belum secara terang menjelaskan apakah penciptaan memang berasal dari ketiadaan). Dalam perkembangannya, penjelasan itu lebih terang dalam teks abad ke-2 SM: Sir 18: 1 (Dia yang hidup untuk selama-lamanya menciptakan segala-galanya bersama-sama) dan II Mak 7: 28 (Tengadahla h ke langit dan ke bumi dan kepada segala sesuatunya yang kelihatan di dalamnya. Ketahuilah bahwa Allah

tidak menjadikan kesemuanya itu dari barang yang sudah ada .) Dalam Perjanjian Baru, hal yang sama ditemukan dan dipandang kembali (lih. Yoh 1: 3, Kis 17: 24; Hibr 1: 2-3, 11: 3; Kol 1)

Pembahasan dari filsafat sendiri tidak sampai ke paham penciptaan seperti itu. Dalam filsafat yang berkembang dari India alam raya dan manusia dipahami menurut pola monisme dan panteisme,2

jadi sebagai emanasi dari Yang Ilahi. Sedangkan, filsafat Yunani berargumen bahwa “Tuhan”

membentuk alam raya secara tidak langsung melalui demiourgos(makhluk tertinggi di bawah “Tuhan”

yang diserahi tugas mewujudkan dunia). Kata “Menciptakan” tidak pernah ada dalam khazanah filsafat

2 Monisme adalah keyakinan bukan hanya bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya

(3)

klasik tersebut. Kata yang digunakan adalah “membentuk” yang berarti membuat dari materi yang sudah

ada (bdk. Magnis-Suseno 2006, hlm. 202 atau Leahy 1993, hlm. 194-195).

Akan tetapi, tokoh-tokoh filsafat skolastik abad pertengahan di Eropa mengambil kembali gagasan penciptaan dari tradisi Yudeo-Kristiani dan merumuskan secara persis sebagai creatio ex nihilo sui et subjecti, yang berarti 1). Tak ada sesuatu sebelum penciptaan (memperjelas bahwa tidak ada sesuatu seperti semacam materi tak berbentuk sebagaimana diandaikan dalam Kejadian I dan II atau pada Platon yang mengandikan ada suatu materi pertama tak berbentuk yang sesudah diberi bentuk oleh idea-idea menjadi realitas yang kita kenal), 2). Penciptaan tidak dari dirinya sendiri [melawan kecenderungan monistis-panteistis], 3). Penciptaan tidak dari sesuatu lain yang sudah ada, apapun yang ada di luar Allah, segala alam raya dengan segala isinya seratus persen dan total diadakan oleh Allah [melawan kecenderungan dualisme ontologis].

Dalam maksud tersebut, ingin dikatakan tiga hal: a). Tak ada waktu sebelum penciptaan (waktu diciptakan bersama dengan alam semesta) b). Penciptaan dimengerti bukan dalam kerangka Deisme3 (sekali selesai saat permulaan), namun berlangsung terus-menerus (dalam teologi kristiani dipakai istilah

providentia). Dalam hal ini dapat dipahami juga bahwa Tuhan berada di antara awal dan akhir dan menciptakan segala sesuatu di antara awal dan akhir, sekarang juga dan senantiasa.4 c). Penciptaan dari ketiadaan menunjukkan transendensi dan imanensi Allah.

Penciptaan bukan semacam proses yang dialami Allah, bukan keniscayaan metafisik yang tak terhindarkan. Allah menciptakan alam raya sama sekali bebas. Ia dapat menciptakannya tetapi juga dapat tidak menciptakannya. Dalam kebebasannya itulah, Allah menciptakan alam raya dan manusia di dalamnya sebagai anugerah tanpa dasar. Maka dapat dipandang juga bahwa eksistensi manusia merupakan anugerah Allah. (Leahy 1994, hlm. 205, 233 atau Magnis-Suseno 2006, hlm. 204-205).

Penciptaan juga menunjukkan sisi imanensi Yang Ilahi dalam alam semesta. “Kalau alam semesta

seluruhnya ada karena terus dilangsungkan oleh Yang Mutlak, Maka Yang Ilahi adalah di semua pojok dan di segenap dataran alam raya. Implikasi penting dari hal ini adalah makin tinggi derajat kemengadaan suatu pengada, makin pengada itu memang memiliki kegiatannya sendiri, tetapi makin

pengada itu juga didukung oleh Yang Ilahi.” (Magnis-Suseno 2006, hlm. 2006). Dengan kata lain, tetap ada ruang kebebasan dalam diri manusia yang diciptakan oleh Allah. Namun kebebasan yang diberikan tentu bukanlah sebuah keliaran.

3 Secara sederhana, Deisme menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia seperti halnya tukang pembuat arloji yang sesudah

membuat arloji selesai, membawanya ke tempatnya, membuatnya mulai berjalan dan kemudian pergi untuk pekerjaan lain karena jam itu sudah berjalan sendiri (Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hlm. 204

(4)

Tujuan Manusia diciptakan

Untuk menjawab apa yang menjadi tujuan manusia diciptakan, kita bisa bertanya terlebih dahulu, apakah dengan menciptakan manusia, Allah butuh dimuliakan? Prof Leahy dalam salah satu tulisannya merumuskan pertanyaan dan pernyataan yang sangat menukik,

Bukankah benar bahwa: bila Allah menciptakan suatu dunia, itu hanya mungkin demi

‘kemuliaan-Nya’? Akan tetapi, bukankah benar juga bahwa Allah bersifat mutlak, sempurna,

mahabahagia, tanpa kebutuhan apapun? Ciri transenden Allah itu harus dipegang tanpa kompromi. Kalau tidak, suatu aspek fundamental dalam monoteisme (Islam, Kristen dan Yahudi) menjadi rusak. Jadi karena Allah bersifat mutlak dan sempurna, haruslah dihindari bayangan bahwa Dia adalah semacam pribadi yang haus pujian dan penghormatan dari kelemahan dan ketidakcukupan kita. (Leahy 1991, hlm. 167)

Kerap kali orang membayangkan Allah seperti halnya yang dialami manusia. “Allah digambarkan sebagai sebuah keinginan yang tak terpuaskan, sebuah kebutuhan tak terbatas akan afirmasi diri, pemakluman diri, mencari penghargaan; seseorang yang seakan-akan tak kunjung mampu memuaskan kebutuhan itu dari diri-Nya sendiri, dan karenanya lalu menciptakan ada-ada lain untuk tunduk kepada-Nya. Tunduknya ciptaan-ciptaan itu seakan-akan melipatgandakan kesaksian akan keunggulan-Nya dalam segala taraf dan bentuk. Karena itu, ciptaan-ciptaan lalu turun sampai hanya menjadi sarana belaka.” (Leahy 1991, hlm. 168). Bila kita melihat Allah dari citra itu, maka memang ada gagasan yang mencerminikan bahwa kemuliaan Allah itu sebagai egosentrisme Ilahi. Namun apakah demikian halnya?

Dari pemaparan mengenai penciptaan sebagai karya kasih Allah di atas, dapat dikatakan secara eksplisit bahwa dengan menciptakan, Allah sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan menambahnya. Ia menghendaki dan mengasihi yang lain dari diri-Nya tentu saja demi satu-satunya kebaikan yang pantas dikehendaki-Nya, tetapi juga

demi kebaikan-Nya yang ingin dikomunikasikan-Nya.Seperti layaknya dua orang yang sedang memadu kasih, yang satu menghendaki agar yang lain ambil bagian di dalam-Nya. Ambil bagian berarti orang memang dilibatkan dalam karya kasih tersebut, tanpa mencari keuntungan sedikitpun dan Kemuliaan Allah terletak pada komunikasi kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan.

(5)

Dengan kata lain dapat dikatakan, bila Allah mencintai kita berarti Allah juga menghendaki kita dalam diri kita sendiri. Allah mengasihi kita bagi diri kita sendiri dan menempatkan kita sungguh-sungguh sebagai tujuan: kekayaan Sang Pencipta diarahkan kepada kita. Jadi, manusia bukanlah sarana yang digunakan oleh Allah untuk memuliakan diri-Nya. Prof. Leahy lebih lanjut menjelaskan, “Untuk bisa bicara mengenai sarana, haruslah ada suatu pembedaan antara sarana dan tujuan. Padahal, di sini tidak terdapat perbedaan. Keduanya merupakan hal yang sama yang, di pihak Allah disebut kemuliaan Allah, dan di pihak manusia disebut kebahagiaa n manusia. Manusia telah menerima semua dari Sang Pencipta. Karena itu, ia wajib berpaling pada-Nya untuk memuji, memuja-Nya, dan berdedikasi dengan penuh cinta-kasih supaya Dia dikenal, ditaati, dan kerajaan-Nya diperluas. Di situlah manusia mencapai kebahagiaannya, yaitu kalau seluruh aspirasinya (intelektual, spiritual dan afektif) diarahkan kepada kebaikan yang mutlak.” (Leahy 1991, hlm. 171)

Itulah tujuan hidup manusia: memuji, menghormati, dan mengabdi Allah. Ad Maiorem Dei Gloriam. Gloria Dei, homo vivens. Semakin besar kemuliaan Allah, semakin otentik hidup manusia.

Antara Kemahakuasaan Allah dan Kemerdekaan Manusia

Seringkali dipertentangkah bahwa kalau ada Allah, manusia menjadi tidak bebas. Mengapa? Karena manusia diciptakan Allah, maka ia juga dituntun oleh Allah dalam segala hal. Pendapat seperti itu dapat dibenarkan bila orang memandang Allah sebagai saingan (kompetitor) bagi manusia. Namun, bila kita melihat Allah sebagai cinta (kasih) dan cinta kasih tersebut terus-menerus hadir dalam keseluruhan hidup, tak perlu kita mengatakan bahwa Allah menghapus kemerdekaan manusia ataupun kemahakuasaan Allah luntur karena manusia bebas. Mengapa?

Bayangkan saja dalam sebuah cinta, setiap pribadi dapat berkembang menjadi dirinya sendiri. Cinta itu menyempurnakan setiap orang dalam setiap tindakannya. Yang satu mengharapakan yang lain menjadi pribadi seutuhnya, dengan segala kebebasannya. Kasih yang sejati sungguh ingin bersama, solider dengan yang dikasihi. Dengan kata lain, Allah tidak bersaing dengan manusia dalam tataran yang sama untuk berkompetisi, seperti halnya dua kelompok yang bersaing untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Manusia dengan keseluruhan kebebasannya memang nyata ada dan ini tak bisa disangkal. Sebagai pengada yang memiliki kebebasan, ia dapat melakukan segala kegiatan sadar. Akan tetapi seluruh eksistensinya dan apapun yang dilakukannya, seluruhnya tertunjang oleh pengada yang Mutlak. Dengan kata lain, Tuhan dengan kasihnya memberdayakan ciptaannya. Prof. Magnis Suseno mengungkapkan sesuatu yang sangat menarik,

(6)

mandiri kegiatan makhluk, makin tergantunglah makhluk itu dari Sang Khalik … begitu pula

berlaku, makin kental imanensi berada dalam makhluk, makin makhluk itu memiliki eksistensi dan mampu untuk menentukan dirinya dengan bebas. (Magnis-Suseno 2006, hlm. 215)

Dengan analogi cinta kasih di antara dua orang tersebut, kita bisa tahu bahwa manusia bukanlah kompetitor ataupun pseudo-partner Allah, namun sungguh-sungguh Partner bagi Allah dalam mewujudkan kasih di dunia. Tuhan melimpahkan yang ada karena terdorong cinta kasih yang semurni-murninya, maka makhluk, seperti yang dikatakan Max Scheler, adalah Gestollte Liebe, titisan kasih ilahi yang terwujud. Konsekuensinya, manusia digerakkan membalas cinta kasih itu. Dalam gerak ini, manusia menjalankan cinta kasih dengan merdeka dan niat tetap dalam hidup. Artinya, menyerah pada cinta kasih ilahi adalah wajib tetapi dengan kemerdekaannya, ia juga bisa menolak.5 Ibaratnya pengemudi mobil: ia tidak merdeka untuk memegang atau melepas stirnya (ia wajib memegang stir; tidak ada kemerdekaan untuk bertindak semau-maunya). Meski demikian, ia bisa menentukan atau harus menentukan apakah ia akan jatuh/menabrak atau selamat.

Dengan kata lain, kemerdekaan yang ada dalam diri manusia adalah terikat (bukan seenaknya saja). Selain itu, menjalankan cinta kasih juga harus dibarengi dengan niat yang tetap, artinya cinta kasih ini mengatasi segala situasi (bukan hanya dalam situasi senang tetapi juga sedih, sulit).

Keberanian untuk Berada (Mewujudkan Diri sebagai Persona)

Bagaimana manusia harus mengakui dirinya yang bebas dan tergantung pada Allah, yang berada di dunia? Pertama-tama, tak bisa disangkal karena manusia diciptakan oleh Allah yang Mahakasih, maka manusia harus berani mengakui bahwa dalam dirinya tertanam tuntutan akan kenyataan mutlak akan

kasih. “Sikap keberanian seperti ini menyatakan bahwa meskipun tuntutan akan kenyataan mutlak itu de facto tidak terpenuhi dalam hidup ini, namun de jure tetap dapat dipenuhi. Keberanian itu tepatnya terletak pada pernyataan bahwa manusia tidak ditakdirkan untuk gagal secara definitif meskipun apapun yang tampak terasa bertentangan dengan itu.” (Leahy 1991, hlm. 18 )

Sikap itu sama sekali tidak menyelubungi keterbatasan eksistensi manusia; Tetapi, manusia tidak akan sadar tentang kenisbian segala sesuatu yang ditawarkan kepadanya sekarang ini, seandainya ia tidak sekaligus berupa tuntutan akan kenyataan mutlak. Tuntutan akan pemenuhan menyeluruh itulah yang mendorong manusia untuk menyatakan bahwa secara definitif, eksistensi manusia tidak mungkin sia-sia, tetapi harus bermuara pada suatu pemenuhan karena tuntutan itu menyatakan adanya Kenyataan Mutlak di dalam manusia, yang menjamin keontetikan tuntutan itu. (bdk. Leahy 1984, hlm. 46-68)

(7)

Mengutip kembali apa yang diungkapkan Prof. Leahy (1991, hlm. 20-21), mengenai sikap seperti ini, ada dua konsekuensi yang timbul. Konsekuensi pertama, manusia harus menerima keterbatasan kondisinya, sungguhpun tanpa membatasi diri padanya (tidak menyerah kalah pada keterbatasan dirinya). Kondisi manusia bukanlah keseluruhan manusia. Tetapi, juga bukan rintangan yang secara radikal menghalangi pemenuhan menyeluruh manusia. Kondisi manusia adalah unsur awal yang merupakan sarana suatu makhluk, yang semula tidak ada, untuk membangun dirinya sedikit demi sedikit dan mengalami dirinya sebagai keinginan terhadap ketidakterbatasan. Konsekuensi yang kedua, manusia harus mengakui dirinya sebagai tuntutan akan kenyataan mutlak, sungguhpun tanpa menjadi Kenyataan Mutlak itu sendiri. Mengapa? Sebab keberanian untuk berada terletak pada pernyataan bahwa keprihatinan terdalam yang melintasi diri manusia dan yang memungkinkannya untuk menyadari keterbatasannya sekarang ini tidaklah sia-sia, tetapi menyatakan adanya Kenyataan Mutlak di dalam dirinya. Namun, mengajukan eksistensi dari Kenyataan Mutlak dengan cara seperti itu berarti juga mengakui bahwa Ia berada di luar jangkauan manusia dan bahwa segala usaha untuk menggunakannya secara otomatis sebagai alat, akan mengubahnya menjadi berhala yang tak berguna. Pada saat manusia terdorong untuk menyatakan eksistensi dari Kenyataan Mutlak itu, mau tidak mau, ia juga harus mengakui bahwa Kenyataan Mutlak itu tidak harus secara wajib memberikan diri kepadanya dan jika ia memberikan diri, itu adalah semata-mata karena kemurahan hatinya. Secara positif hal itu menegaskan bahwa kebebasan manusia itu tidak dapat dipenuhkan kecuali oleh suatu kebebasan yang diberikan oleh Yang Mutlak.

Konsekuensi-konsekuensi itu menjadi lebih jelas jika kita letakkan dalam rangka refleksi tentang kenyataan manusia dalam penciptaan dari ketiadaan. Manusia pernah tidak ada. Ia diciptakan. “Ia mula-mula menanggung saja secara radikal kondisinya. Tetapi, dinamika-dinamika yang terdapat di dalam dirinya memungkinkannya untuk beranjak dari tahap awal yang pasif itu kepada perkembangan yang semakin aktif dan bebas. Semakin ia menjadi sadar, semakin pula ia menjadi penangungjawab gerakan yang menempatkannya dalam kenyataan. Tetapi untuk itu, diperlukan dua syarat. Syarat yang pertama, situasi manusia akhirnya harus tampak sebagai hal yang ditawarkan kepada manusia agar ia mulai menyatakan diri sebagai subyek yang bebas dan sadar. Syaratyang kedua, manusia haruslah menemukan di dalam dirinya sendiri suatu daya untuk membenahi dirinya sendiri secara aktif dan menyeluruh agar tidak tinggal pasif lagi seperti pada keadaan awalnya. Kedua syarat itu dapat terpenuhi sebab kondisi manusia secara nyata cocok untuk pembenahan diri yang bebas dan sadar dan tambahan lagi, manusia juga mendapati dirinya terbawa oleh daya Kenyataan Mutlak itu sendiri.

(8)

menjadi persona (pribadi) yang perlu terus-menerus dipersonisasikan.” Sederhanannya, persona adalah

makhluk yang dapat berkata “Aku” dengan sadar dan insaf. Ada penekanan “kedaulatan”

(kedirisendirian) yang ditunjukkan. Hal ini tidak sama dengan individualistis (walaupun unsur ini bisa muncul dalam diri manusia), tetapi menunjukkan: manusia sebagai persona pada hakikatnya adalah subjek.6 Max Scheler, seperti halnya yang dikutip Drijarkara, mengungkapkan yang esensial dalam melihat persona, “Persona tidak pernah menjadi objek, tidak boleh diperlakukan sebagai alat. Persona

adalah subjek yang tercinta dan hanya dengan cinta dapat dan harus kita sambut.” (KLD, hlm. 152) Isi yang intim dari persona tidak akan dimengerti bila persona tidak membuka diri kepada persona lain (kalau tidak membuka diri, yang dimengerti hanya gejala-gejala fisik dan psikologis). Namun, jika persona mau membuka diri, bagaimanakah kita bisa mengerti persona lain dengan tidak menjadikan

objek? “Pengertian hanya bisa dicapai dengan simpati dan cinta.” (bdk. KLD, hlm. 1350). Cinta yang dimaksud bukan rasa romantis sesaat, tetapi cinta yang munculnya dari pengalaman mendalam dan bila disadari betul-betul dapat membentuk diri dan yang lain: cinta yang menyempurnakan (lih. KLD, hlm. 153-154).

Terhadap orang lain, manusia terdorong oleh kodrat kerohaniannya untuk mencintai orang lain sehingga dia makin sempurna sebagai persona. Hal senada juga dipaparkan pemikir seperti F. Ebner, L. Binswanger, Romano Guardini, M. Buber, G. Marcel, dll. yang intinya ingin menegaskan bahwa persona itu terbina dalam dan dengan hidup bersama. Persona berkiblat pada sesama manusia (untuk berkomunikasi, membuka diri, menyerahkan diri). Cinta mewujud dalam hubungan antarpersona: hubungan subjek-subjek, tidak ada moi (aku) kecuali dalam hubungannya dengan autrui (engkau). Hubungan ini saling menegakkan dan menyempurnakan. Dengan kata lain, bila mau dilihat persona yang tersempurna, ia adalah persona yang sama sekali luluh dalam komunikasi dengan persona lain sehingga merupakan kesatuan, keintiman tak terhingga. (lih. KLD, hlm. 154-155)

6 Dalam memaparkan manusia sebagai persona, Drijarkara mengakui dalam perkembangan zaman ada banyak makna

persona ini, namun beliau bertitiktolak dari pemaparan Max Scheler. Scheler memberikan definisi persona: Person is die konkrete, selbst wesen half Seinseinheit von Akten verschiedeneartigen Wessens. Drijarkara menjelaskan maknanya: Jika kita bermenung mengenai manusia, yang tampak sebagai fenomen adalah adanya banyak dan berbagai macam perbuatan. Meski demikian, hal itu memiliki kesatuan, semua adalah perbuatan dari satu subjek konkret. Subjek itu dinamis; selalu berbuat dan berbuat. Subjek itu hidup dalam semua perbuatannya. Subjek itu berubah akan tetapi tetap subjek juga, jadi identik. Berubah, akan tetapi toh tetap, berubah akan tetapi toh identik. Subjek ini namanya Persona. (lih. penjelasan Drijarkara tentang Persona menurut Max Scheler dan beberapa kritiknya dalam Karya Lengkap, hlm. 1345-1359). Uraian mengenai Persona ini berkelindan dengan makna Persona dari Marcel yang diambil Drijarkara dari tulisan Roger Troisfontaines, De l’existence a

l’etre, la philosophie de Gabriel Marcel (Paris, 1954) yang intinya ingin menegaskan bahwa subjek hanyalah subjek dalam

(9)

Terhadap makhluk infrahuman, manusia sama-sama terhubung tetapi karena sifat rohaninya, ia dapat mengambil jarak dan memahami, baik diri maupun aksinya: manusia dapat mengadakan kombinasi-kombinasi baru, mengubah perbuatannya, mengganti iramanya, memperlambat atau memperluas, dan menyempurnakan aksinya. Dengan kata lain, manusia sebagai persona dapat mengadakan refleksi dirisehingga ia sungguh-sungguh berdiri sendiri dan memahami historisitasnya. Ia adalah kedirisendirian. Jadi, yang menonjol dalam persona adalah aspek kediri-sendirian, berdaulat,

“bertahta”. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat ditarik satu hal, persona adalah sesuatu, yang dalam dan dengan komunikasi atau relasi berdiri sendiri sebagai kediri-sendirian dalam kodrat rohani. (KLD, hlm. 127) Inilah aspek kesempurnaan dalam diri manusia sebagai persona. Kesempurnaan ini adalah panggilan suci yang harus dilaksanakan setiap orang, yang adalah persona. Akan tetapi, yang terjadi dan tidak bisa dimungkiri, ada egoisme diri yang bisa merendahkan, entah mengobjekkan orang lain atau mengeksploitasi barang-barang jasmani. Dalam kebebasannya, manusia diharapkan dapat mewujudkan dirinya yang adalah persona di dalam dunia bersama dengan sesama, barang-barang jasmani dan itu semua berlandaskan pada kasih Allah yang senantiasa hadir

Nosi “pribadi” di atas menunjukkan bahwa manusia bukanlah kenyataan yang jadi seketika, tetapi kenyataan yang harus menjadikan dirinya di dunia. Itulah paradoks eksistensi manusia.

“Manusia pernah tidak ada dan ia tidak akan dapat menegakkan dirinya secara definitif, kecuali

dengan mengambil secara baru segala sesuatu yang semula dibebankan kepadanya dan bahkan, adanya dia sendiri sebagai miliknya sendiri. Dalam perpektif itu, kegiatan yang dipancarkan oleh subyek manusiawi yang berbicara, mengerti, menginginkan, berkembang dalam kebudayaan dan sejarah, bukanlah suatu kegiatan berusia pendek dari suatu organisme yang hanya berjuang agar tetap hidup secara biologis untuk jangka waktu tertentu, melainkan tindakan yang merupakan sarana seorang pribadi untuk memilih dirinya yang berangsur-angsur menguasai kepasifan yang

membebani dirinya.” (Leahy 1991, hlm. 27)

Konsekuensinya, kondisi manusia tidak boleh dipandang sebagai kenyataan semu yang tak terselami atau rintangan yang menghalangi manusia untuk menguasai dirinya sendiri, tetapi pralambang dari Kebebasan Penuh Daya Cipta, suatu pralambang yang harus ditafsirkan, diatasi, diwujudkan tanpa henti-hentinya dalam dunia.

Penutup

(10)

alam jasmani. Hal ini ingin mengatakan, manusia itu ada di dunia bersama dengan saling membangun dan dalam sikap saling membangun itu, terletaklah cinta kasih sebenarnya yang sejak awal mula telah ditunjukkan oleh Allah sendiri dalam karya penciptaan yang terus-menerus. Dengan itu, manusia bisa memuji dan memuliakan Allah dalam segala tindakan dan pikirannya.

Daftar Pustaka

Sudiarja, A dkk (ed). Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia, 2006. Magnis Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Leahy, Louis. Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi berdasarkan Data Empiris Baru (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 3-27 dan hlm. 166-171.

Leahy, Louis. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1993.

Wibowo, I dan Herry Priyono. Sesudah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm1-28

Referensi

Dokumen terkait

Prakiraan sampah yang akan dihasilkan oleh penduduk kabupaten Jombang sangat tinggi setiap tahunnya, dengan rata- rata volume sampah yang dihasilkan 3.159.836 m 3 setiap harinya

Siswa Pelamar, menggunakan NISN dan password yang diberikan oleh Kepala Sekolah pada waktu verifikasi data di PDSS, login ke laman SNMPTN http://snmptn.ac.id untuk

Cloud computing merupakan sistem virtualisasi yang mampu menampung beragam platform, bahasa program (coding), aplikasi dan infrastruktur yang berbeda agar dapat bekerja dalam satu

bahawa ia berasal dari Ashab As-Suffah iaitu sifat-sifat Para Sufi itu menyamai sifat-sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid iaitu Suffah yang hidup di zaman

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membantu dosen dan bagian kepegawaian dalam melihat kinerja dan menghitung nilai yang dikumpulkan untuk pengajuan kenaikan

Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan

Dari 2 indikator kinerja yang mendukung sasaran strategis ini, keduanya mencapai target dan secara umum rata-rata pencapaian sasaran Tersedianya Data dan

“Meskipun  selama  ini  saya  aktif  memanfaatkan  internet  dan  blog,  akan  tetapi  terkadang  saya  masih  merasa  kesulitan  dalam  hal  pengelolaan,