• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging dan Produk Olahan daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Daging dan Produk Olahan daging"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Bagaimana pemeriksaan daging dari aspek mikrobiologis? 2. Bagaimana pengawetan daging yang baik dan benar? 3. Sebutkan dan jelaskan pigmen-pigmen pada daging ! 4. penyakit-penyakit zoonotik yang diperantarai oleh daging ?

PEMERIKSAAN DAGING DARI ASPEK MIKROBIOLOGIS

Hasil pengujian laboratorium terhadap daging dan hasil olahannya sangat tergantung pada rencana dan teknik pengambilan, penanganan (pengiriman, penyimpanan) serta persiapan contoh (sample). Daging dikategorikan sebagai bahan makanan yang mudah rusak (perishable food) karena daging mengandung zat gizi yang baik, memiliki pH dan aktivitas air yang sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Dengan kata lain, daging merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, daging dikategorikan juga sebagai bahan makanan yang berpotensi berbahaya (potentially hazardous food), artinya daging dapat menjadi media pembawa mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan konsumen (Lukman, 2010).

Untuk menjamin penyediaan daging yang ASUH, maka dilakukan pengawasan (surveillance, monitoring, inspeksi) terhadap daging dalam mata rantai penyediaan daging. Dalam pengawasan tersebut, dapat dilakukan pengambilan dan pengujian (laboratorium) contoh. Pengujian contoh di laboratorium perlu mengikuti prosedur baku baku agar hasil pengujian dapat dipertanggung-jawabkan.

Untuk pengujian mikrobiologis, perlu ditetapkan prosedur dan kriteria penetapan suatu contoh diterima atau tidak. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengambilan contoh untuk pengujian mikrobiologis adalah:

a. Bahaya terhadap kesehatan

Semakin bahaya jenis mikroorganisme yang diduga terdapat di dalam makanan atau semakin kecil jumlah mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit, maka unit contoh yang diambil harus semakin besar dan banyak. Hal ini untuk meningkatkan peluang untuk mendapatkan contoh yang positif, sehingga dapat dihindari kemungkinan menyatakan suatu contoh aman padahal sebenarnya berbahaya (negatif palsu).

(2)

Semakin seragam contoh, misalnya makanan cair (susu), pada proses homogenisasi, maka contoh yang diambil dapat lebih kecil. Namun jika suatu contoh tidak atau kurang seragam, maka unit contoh yang diambil harus lebih banyak atau lebih besar.

c. Pengelompokan

Jika di dalam suatu lot terdapat pengelompokan yang lebih kecil (sublot), misalnya beberapa unit kaleng dimasukkan ke dalam kotak karton, maka unit contoh dapat diambil dari masing-masing sublot untuk mewakili setiap atau sebagian besar sublot.

d. Konsistensi dalam produksi

Jika suatu produk selalu memiliki mutu yang baik setelah diuji, maka pengambilan contoh dapat dikurangi jumlahnya atau diperpanjang periodenya karena sudah mempunyai tingkat kepercayaan tinggi.

Contoh yang diambil dari daging/karkas segar atau beku dapat berupa contoh permukaan (surface samples) dan contoh jaringan (deep tissue samples). Contoh permukaan digunakan untuk pengujian mikrobiologis, misalnya jumlah mikroorganisme pada permukaan daging/karkas (cfu/cm2 atau cfu/karkas ayam). Contoh permukaan ini bersifat non-destruktif, artinya contoh

tidak dihancurkan (homogenisasi) dalam pengujian. Contoh jaringan biasanya digunakan untuk pengujian mikrobiologis, kimiawi atau residu (Lukman, 2010).

Contoh permukaan dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu:

a. Swab

Cara ini digunakan untuk permukaan daging/karkas segar (panas atau dingin). Kapas bergagang (cotton swab) steril diusapkan pada permukaan daging/karkas dengan luas tertentu, umumnya 25 atau 50 cm2. Kemudian kapas bergagang tersebut dimasukkan ke

dalam tabung/wadah berisi larutan pengencer steril. b. Excision

Cara ini digunakan untuk permukaan daging beku. Contoh diambil dengan menggunakan cork borrer yang ditusukkan ke dalam daging (kurang lebih 2 mm dari permukaan). Perlu diperhitungkan luas permukaan yang diambil dan jumlah larutan pengencer, sehingga diperoleh jumlah mikroorganisme per cm2.

(3)

Cara ini biasanya digunakan untuk contoh kecil (maksimum 2 kg), misalnya karkas ayam, sosis, dan lain-lain. Contoh tersebut ditimbang secara aseptik dan dimasukkan ke dalam plastik steril yang besarnya memadai, lalu tambahkan larutan pengencer steril sebanyak 9 kali berat contoh.

Contoh jaringan diambil dari daging/karkas dengan menggunakan skalpel atau gunting dan pinset dengan kedalaman 0,5 sampai 1,0 cm dari permukaan daging/karkas, atau mengambil seluruh jaringan (Lukman, 2010). Pertumbuhan mikroba berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Peningkatan jumlah mikroba pembusuk/patogen berpengaruh terhadap keamanan dan daya tahan atau masa simpan serta kandungan awal mikroba dalam daging segar. Kandungan mikroba awal dalam jumlah sedikit dalam bahan pangan dicapai melalui aplikasi sanitasi yang efektif selama penanganan bahan pangan serta penggunaan biopreservatif yaitu zat untuk pengawetan secara biologi untuk mencegah mikroba patogen/pembusuk (Septiani, 2008).

PENGAWETAN DAGING YANG BAIK DAN BENAR

Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging. Kerusakan mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut:

 Pembentukan lendir  Perubahan warna

 Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain

 Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit

 Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Usmiati, 2009).

(4)

pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia (Usmiati, 2009).

Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri pathogen (Usmiati,2009) .

Pengawetan daging dengan pemanasan

a. Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu:

(i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang tidak tinggi (62o-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).

(ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2 menit).

(iii) Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan segera didinginkan pada suhu 10°C.

b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara :

(i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.

(5)

Pendinginan (refrigeration)

Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah ternak dipotong dan agar daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri selama proses pemotongan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis yang baik.

Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging. Seperti pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 – 37 C pada akhir proses pemotongan maka peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat disimpan pada suhu sekitar 0 - +2 C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5 C) pada suhu karkas masih tinggi , dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama pemasakan (Usmiati , 2009).

Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan paling minimal, untuk memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu antara 14 – 19 C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37 C, 34 C, 24 C, dan 15 C, masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan.

(6)

Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+ 2 C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia didalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi (Usmiati, 2009).

Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10 – 15 hari pada suhu + 2 C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari dengan alasan ekonomi. Hal mana tidaklah cukup dari segi teknisnya.

Pembekuan

Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging dan daging proses. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan signifikan selama penbekuan dalam jangka waktu yang terbatas.

Laju pembekuan tervagi menjadi 2 macam : pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang diperlukan untuk melewati temperature 0oC sampai -5oC, biasanya dipergunakan

sebagai petunjuk percepatan pembekuan. Beberapa metode yang digunakan dalam pembekuan daging antara lain : udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan atau pemercikan cairan beku (Sutaryo,2004).

Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada suhu -18oC, sehingga temperatur ini

dipergunakan sebagai dasar penyimpanan beku. Pada temperatur ini daging beku mulai menunjukkan perubahan kualitas, terutama flavor dagung setelah penyimpanan 4-6 bulan.

Pembekuan cepat pada daging yang tanpa prteksi dapat menyebabkan penampak daging seperti terbakar, daging berwarna keputih-putihan atau coklat kekuning-kuningan, jernih yang disebut freeze burn atau terbakar beku. Freeze burn disebabkan oleh sublimasi atau terbentuknya lapisan kondensasi dari jaringan molecular di dekat permukaan daging, sehingga mencegah akses air dari dalam dan mencegah desikasi permukaan (Sutaryo, 2004).

(7)

daripada di dalam otot (intramuscular). Air yang membeku pada Kristal es yang sudah terbentuk sebelumnya akan menyebabkan Kristal es membesar. Kristal-kristal es yang besar ini akan menyebabkan distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema. Kekuatan ionik cairan ekstraselular yang tinggi juga menyebabkan denaturasi sejumlah protein otot. Denaturasi protein juga menyebabkan hilangnya daya ikat air daging, dan pada saat penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot dalam menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada proses pembekuan. Dan cairan inilah yang disebut drip (Sutaryo, 2004).

Menurut Sutaryo (2004), kualitas daging beku dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : 1. Lama waktu daging dalam pendinginan sebelum pembekuan

2. Laju pembekuan

3. Lama penyimpanan dingin

4. Kondisi penyimpanan beku (temperature, kelembapan, material pengepak) 5. Umur ternak

6. pH daging

7. kontaminasi logam berat 8. Jumlah mikroba awal

Pengawetan daging dengan bahan kimia

a. Bahan aktif alamiah

(i) Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk antimikroba

(ii) Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal

(iii)Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur

(iv) Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak

b. Bahan aktif buatan

(8)

tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1997 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah :

1. Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.

2. Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.

3. Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.

4. Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.

5. Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan sodium laktat adalah 2,9%

6. Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah penggunaan maksimum 0,25%.

7. Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.

PIGMEN-PIGMEN PADA DAGING

(9)

dipengaruhi oleh kandungan mioglobin otot, suatu pigmen warna yang terdapat pada otot hewan. Peningkatan kandungan mioglobin, meningkatkan intensitas warna dari warna keunguan menjadi merah gelap.

Menurut Lawrie (2003) bahwa warna daging tidak hanya disebabkan oleh kandungan mioglobin, tetapi juga oleh tipe molekul mioglobin yang dikandungnya (tergantung pada status dan kondisi kimia serta kondisi fisik komponen lain dalam daging). Mioglobin yang berasal dari reduksi metmioglobin dan deoksigenasi oksimioglobin berwarna merah-purple. Oksimioglobin yang berasal dari oksigenasi mioglobin berwarna merah cerah. Metmioglobin dari oksidasi mioglobin bewarna coklat.

Aktifitas otot yang tinggi menyebabkan terbentuknya mioglobin yang lebih banyak, merupakan penyebab variasi warna dari daging yang dihasilkan. Dengan demikian, daging kuda pekerja banyak mengadung mioglobin, daging sapi jantan mengandung mioglobin lebih banyak dari induk sapi, urat daging diafragma yang bekerja terus menerus lebih banyak dibanding dengan otot longissimus yang kurang digunakan (Lawrie, 2003).

Warna pada daging dipengaruji oleh pakan. Spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentuan utama warna pada daging, yaitu konsemtrasi pigmen daging mioglobin, status mioglobin dan kondisi kimia serta fisik daging. Perbedaan warna permukaan daging terutama disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Proporsi relatif dan distribusi ketiga pigmen daging, yaitu mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang dan metmioglobin coklat akan menentukan intensitas warna daging (Soeparno, 1994).

.Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang berwarna merah cerah (Abustam 2009).

(10)

sisi ikatan keenam akan berikatan dengan air membentuk metmioglobin berwarna coklat. Reaksi oksidasi fero menjadi feri bersifat reversible dan juga terjadi pada bentuk mioglobin. Bentuk warna kimia daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang oksimioglobin (Soeparno,2004).

Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya disebut blooming pada industri daging. Oksimioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi. Bentuk lain dari mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme di dalam mioglobin dari bentuk Fe2+ (ferrous) menjadi

Fe3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen

utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan. Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam daging (Abustam 2009).

Secara singkat reaksi perubahan warna pada daging dapat dilihat pada bagan alir berikut :

Sumber : Lukman dkk, 2009

Proses perubahan warna daging menjadi hijau disebabkan akibat oleh kerja dari mikroba. Pembentukan warna hijau pada daging terjadi pada saat proses oksidasi membentuk metmioglobin (warna coklat), bila dalam prosesnya terdapat H2S yang dihasilkan oleh mikroba (dari proses dekarboksilasi mikroba) biasanya

oleh BAL dan Pseudomonas. Maka H2S akan bereaksi dengan mioglobin membentuk

sulfmioglobin (warna hijau) pada daging (Lawrie 2003).

(11)

Penyakit zoonosis yang ditularkan melalui pangan terutama daging merupakan salah satu problem utama dalam pemasaran produk daging di Indonesia, bahkan hampir semua Negara di dunia. Di Inggris dilaporkan bahwa 20-40% penyakit sakit perut diakibatkan oleh foodborne disease yang ditularka oleh produk pangan, salah satunya daging. Di Amerika Serikat pernah dilaporkan bahwa 58% penyebab dari kasus foodborne yang dilaporkan, 10% merupakan berasal dari bahan pangan asal hewan (Murdiati et al, 2006).

Bahaya biologis daripada bahan pangan asal hewan dapat berupa bakteri, virus, ataupun parasit, walaupun dapat dikatakan bahwa secara umum agen biologi yang dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia umumnya dikaitkan dengan bakteri seperti Salmonella atau E. coli.

Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis dibedakan menjadi 5 penyebab, antara lain: 1. Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, antara lain : antraks, brucellosis,

leptospirosis, dan salmonelosis.

2. Zoonosis yang di sebabkan oleh virus : rabies, Japanese enchepalitis, nipah dan Avian Influenza.

3. Zoonosis yang disebabkan oleh parasit, antara lain : toxoplasmosis, taeniasis, scabies 4. Zoonosis yang disebabkan oleh jamur: ringworm

5. Zoonosis yang disebabkan oleh penyebab lain : BSE (sapi gila) oleh prion

Untuk beberapa penyakit zoonosis pemeriksaan antemortem dapat mencegah penularan penyakit tersebut lebih jauh. Masuknya zoonosis dalam rantai makanan dapat dicegah dalam tahap ini dengan memisahkan atau memusnahkan hewan yang menjadi vector penyakit tersebut. Namun beberapa kasus ternyata tak dapat ditanggulangi dengan pemeriksaan antemortem saja, adakalanya penularan terjadi melalui udara atau feses hewan yang terinfeksi (Murdiati et al, 2006).

Tabel 1. Ternak yang terinfeksi zoonosis dan kaitannya dengan keamanan produk pangan Zoonosis Hewan Sumber Faktor Pendukung Penularan Melalui Tubercolosis Sapi, kambing Ventilasi RPH,

Salmonellosis Sapi, unggas, kuda Pencemaran feses Daging setengah matang

Taeniasis Sapi Pencemaran feses Bentuk kista dalam

daging

(12)

dalam tanah dan higienik pemotongan

sempurna,

kontaminasi peralatan potong

BSE Ruminansia Pencemaran feses,

penggunaan feses sebagai pupuk

Konsumsi produk ternak yang terinfeksi

Sumber : Murdiati et al (2006)

DAFTAR PUSTAKA

Abustam E. 2009. Kualitas Daging. Cinnata artikel.

http://cinnatalemieneabustam.blogspot.com /2009/03/ kualitas-daging.html [22 Nov 2010]

Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Parakkassi A, penerjemah; Jakarta : UI-Press. Terjemahan dari :Meat Science.

Lukman, D.W. 2010. Pengambilan dan Pengujian Contoh Daging. Di unduh dari http://higiene-pangan.blogspot.com/2010/03/pengambilan-dan-pengujian-contoh-daging.html pada 17 November 2011 pukul 08.00

Murdiati, T.B dan Sendow, I. 2006. Zoonosis Yang Ditularkan Melalui Pangan. Wartazoa Vol.16 No.1 Tahun 2006

Soeparno, 2004. Ilmu dan Teknologi Daging, Edisi I. Penerbit Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Sutaryo. 2004. Penyimpanan dan Pengawetan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro : Semarang

Gambar

Tabel 1. Ternak yang terinfeksi zoonosis dan kaitannya dengan keamanan produk pangan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap label produk daging olahan (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa pemenuhan terhadap aturan penulisan label produk olahan daging

kenyal, warna yang cerah dan aroma yang khas merupakan ciri dalam pembuatan bakso daging yang segar sehingga akan sangat berbeda dengan daging yang dihasilkan yang

Surimi adalah produk olahan, hasil perikanan setengah jadi berupa hancuran daging ikan beku yang telah mengalami proses, pelumeran (leaching), pengepresan,

Mikroba dan enzim yang dihasilkan dapat berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih dominan sebagai penyebab ketengikan (Wheaton dan Lawson,

GOFIT rasa Mix Fruits, GOFIT Grape rasa Grape, Blackcurrant, GOFIT FRUITY rasa Tutty Fruity, GOFIT BERRY rasa Strawberry, GOFIT COLA rasa Cola, GOFIT plus Red, GOFIT plus Markisa,

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung beras dalam jumlah yang semakin meningkat akan mengurangi warna coklat pada petis daging yang berasal dari kaldu daging dan gula

IUMK adalah tanda legalitas dari negara kepada pelaku usaha mikro dan kecil, sertifikasi Halal MUI menandakan bahwa proses produksi pangan olahan beku daging sapi dan ayam

Daging ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel secara sempurna sehingga dapat menghasilkan tekstur yang.. elastis, rasa enak dan penampakan putih (Miyake