• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Bahasa dan Simbol Dalam Kristalisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Bahasa dan Simbol Dalam Kristalisa"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

“Peran Bahasa dan Simbol Dalam Kristalisasi

Ideologi Politik Pada Partai Politik Di

Indonesia”

1

Abstrak

Bahasa dan simbol, merupakan unsur kebudayaan yang sangat penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai dalam sebuah komunitas, termasuk entitas politik. Oleh karena itu, bahasa dan simbol-simbol khas menjadi karakteristik partai-partai ideologis atau setidaknya semi ideologis. Di Indonesia, sampai Pemilu 2014 yang baru berlangsung, karakter khas bahasa dan simbol setidaknya masih ditemukan pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Analisis dalam artikel ini menunjukkan bahwa bahasa dan simbol-simbol dalam entitas partai ideologis seperti PDI-P dan PKS merupakan salah satu sarana utama dalam kristalisasi ideologi politik partai sebagai landasan kekuatan pergerakan. Tentu saja, tingkat penggunaan bahasa dan simbol antara kedua partai yang menjadi unit analisis berbeda, yang pada akhirnya juga menghasilkan perbedaan

keajegan ideologi politik pada entitas masing-masing partai.

Kata Kunci: Bahasa dan Simbol, Kristalisasi Ideologi Politik, Partai Politik

A. Pendahuluan

Setelah Perang Dunia II, terutama setelah era 1960an, muncul tren baru dalam konstelasi partai politik di Barat. Tren baru ini menunjukkan gejala de-ideologisasi, semakin bergesernya karakter ideologis partai-partai, untuk memperluas jangkauan pemilih. Era ini dan sesudahnya kemudian dinamai oleh Daniel Bell dengan istilah yang sekaligus menjadi judul bukunya The End Of Ideology (1962). Tesis Bell diaminkan kembali oleh Francis Fukuyama melalui bukunya The End of History (1989) dengan menambahkan faktor globalisasi sebagai pemicu penyebaran demokrasi ala

(2)

Barat tersebut ke dunia luas. Terakhir, Fukuyama merevisi sebagian pandangannya tentang kekuatan pengaruh globalisasi dengan menulis edisi revisi bukunya yang berjudul The End of History and The Last Man (1992).2

Namun demikian, tidak semua pemikir sependapat. Pada tahun 1996 Samuel P. Huntington membantah tesis Fukuyama yang dituangkan dalam bukunya Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Peradaban). Dalam buku tersebut, Huntington melihat pada akhirnya dunia akan terpolarisasi dalam beberapa kebudayaan, selanjutnya menjadi Barat dan Timur, yang akan saling berbenturan, berkompetisi menjadi kekuatan pengaruh utama dalam sistem kehidupan manusia.3 Dengan kata lain, Huntington menyatakan bahwa konflik dalam dunia politik akan terus berlangsung, dengan menempatkan peradaban sebagai pemicunya, menggantikan masa ideologi-ideologi yang sudah dikenal. Namun, esensinya hampir sama, bahwa Huntington menempatkan peradaban layaknya peran ideologi. Tesis Huntington ini juga mendapat kritikan dari banyak pihak, diantaranya Edwar said dan Noam Chomsky yang menilai tesis Huntington hanya justifikasi terhadap perilaku dominasi Amerika Serikat.4

Pemikiran tentang berakhirnya masa ideologi dalam partai politik juga berkembang di Indonesia. Pemikiran kelompok ini misalnya dapat ditemukan dalam analisis Baswedan, Mujani dan Liddle yang melihat corak ideologis sudah mulai hilang dari partai-partai Islam, tergantikan oleh pragmatisme. Namun, perdebatan terhadap pemikiran tersebut juga terjadi. Meskipun ada kecenderungan ideologis yang lebih terbuka, tidak berarti partai-partai meninggalkan ideologi dalam perjuangannya. Salah satu contoh menarik yang paling banyak dianalisis pemerhati politik Indonesia adalah semakin terbukanya ideologi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terutama sejak Pemilu 2009. Menurut Anis Matta, gejala ini bukan merupakan wujud bergesernya karakter ideologis PKS, namun lebih pada penafsiran ulang dan perubahan strategi praktis saja terhadap nilai-nilai

2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), 402-403.

3 Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Jakarta: Qalam, 2002).

(3)

ideologi yang dianut. Hal ini dilakukan untuk menjawab dilema antara logika basis sosial versus logika elektoral serta antara idealisme dan kapasitas yang dialami oleh semua partai ideologis.5

Masih berpengaruhnya ideologi dalam gerakan partai politik di Indonesia hari ini dapat dilihat dari karakteristik beberapa partai baik yang secara tegas menyebutkan ideologinya sebagai asas, maupun yang mengejawantah dalam pemikiran tokoh dan karakter gerakannya. Salah satu aspek menarik untuk dianalisis adalah penggunaan bahasa dan simbol-simbol khusus oleh partai yang menunjukkan afiliasi pada ideologi-ideologi tertentu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah sedikit dari partai yang lebih menonjol menunjukkan fenomena ini.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana peran bahasa dan simbol-simbol yang digunakan entitas partai terhadap upaya kristalisasi ideologi politik di tubuh partainya? Apakah bahasa dan simbol-simbol yang digunakan hanya sebatas ciri identifikasi diri atau lebih jauh menunjukkan keajegan internalisasi nilai-nilai ideologis? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang didiskusikan dalam makalah ini.

B. Ideologi dan Partai Politik di Indonesia

Terlepas dari pro-kontra tren de-ideologisasi partai politik, teori-teori partai politik tetap menggunakan ideologi sebagai salah satu kriteria penggolongan partai politik. Ramlan Surbakti misalnya, menulis terdapat beberapa penggolongan partai politik meliputi (i) dari segi dukungan yaitu komprehensif dan sektarian; (ii) dari segi organisasi internal yaitu terbuka dan tertutup; (iii) dari segi cara bertindak dan fungsi yaitu menyebar dan khusus; (iv) dari segi asas dan orientasi yaitu pragmatis, doktriner (ideologis); dan (v) dari segi komposisi anggota yaitu kader dan massa. Miriam Budiardjo menjelaskan karakter partai ideologis biasanya sangat sentralistis menjaga kemurnian doktrin politiknya, memiliki mekanisme saringan keanggotaan,

(4)

melaksanakan sistem kaderisasi yang ketat dan memungut iuran anggota. Karena itu, menurut Miriam, Partai Ideologis disebut juga Partai Kader atau Partai Asas.6

Ideologi dan partai politik merupakan dua hal yang saling berkait berkelindan dalam sejarah politik di Indonesia. Pemilu pertama tahun 1955 yang banyak dinilai sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah NKRI tanpa pembatasan partai peserta Pemilu, sangat kental dengan nuansa polarisasi ideologi. Dari 30an partai peserta Pemilu7, persaingan kampanye paling kuat terjadi antara Masyumi dan PNI.8Kuatnya polarisasi politik berdasarkan ideologi menjadi ciri iklim politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Pada periode 1945-1965, Herbert Feith membagi polarisasi pemikiran politik di Indonesia dalam lima kelompok yaitu Nasionalisme Radikal, Sosialisme Demokrat, Komunisme, Tradisionalisme Jawa dan Islam. Kelompok Islam sendiri masih terbagi dalam dua aliran yaitu Tradisional dan Reformis.9 Polarisasi ini jelas menunjukkan landasan ideologis yang kental dalam iklim pemikiran politik di Indonesia.

Polarisasi pemikiran dan gerakan politik bernuansa ideologi ini bahkan semakin mengkristal pada masa Orde Baru. Selain partai khusus bernama Golongan Karya, hanya ada dua partai politik di Indonesia yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang beraliran sekuler-nasionalis dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam, untuk tidak menyebut berideologi Islam sebab diberlakukannya ideologi tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru menjadikan PPP akhirnya berasas Pancasila. Setelah reformasi 1998, konvergensi ideologi partai politik semakin majemuk, dari yang [dianggap] paling kiri hingga paling kanan.10 Meskipun

6 Miriam Buadiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 399.

7Taksiran jumlah partai 30an ditemukan antara lain dalam website KPU (www.kpu.go.id, diakses tanggal 16 Mei 2013). Jumlah yang lebih pasti diperoleh pada catatan hasil Pemilu yang menunjukkan ada 27 partai yang memperoleh suara ditambah 1 dari perseorangan (lihat www.kpu.go.id dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, cet. 3, 2008), 473-474)

8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik(Jakarta: Gramedia, cet. 3, 2008), hal. 473-474.

9Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1998).

(5)

Pancasila merupakan nilai dasar ideologis, faktanya terdapat beberapa ideologi yang paling menonjol dianut oleh beberapa partai di Indonesia yaitu Sosialisme-demokrat yang terutama setia diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)11, ideologi Kristen yang terakhir diwakili oleh Partai Damai Sejahtera (PDS)12, dan ideologi Islam yang terutama diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS)13 yang “menggeser” posisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Faktanya, hasil tiga kali Pemilu pada era Reformasi (1999, 2004 dan 2009) menunjukkan bahwa elektabilitas sebagian besar partai ideologis semakin menurun. Dengan mengkhususkan kajian pada ideologi berbasis agama, terutama agama Islam, beberapa peneliti melihat menurunnya pengaruh aspek agama terhadap pilihan politik di Indonesia disebabkan masyarakat pemilih sejak reformasi menurut sebagian peneliti menjadi semakin rasional. Mujani

tahun 1987, para pendukung Raja dan struktur tradisional duduk di sebelah kanan panggung ketua, sedangkan kelompok yang menuntut perubahan duduk di sebelah kiri, dan di tengah duduk kelompok yang lebih moderat. Lihat C. C> Rode dkk, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), 106-107.

11 Ideologi Sosialisme-demokrat yang dianut oleh PDI-P bisa dilihat dari pemikiran umum tokoh-tokohnya serta karakteristik gerakannya. Meskipun, secara formal PDI-P sendiri menamakan diri sebagai partai nasionalis dengan mencantumkan Pancasila sebagai asas partai.

12 Pada Pemilu 1999, terdapat beberapa partai yang membawa aspirasi masyarakat Kristen yaitu Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Demokrasi kasih Bangsa, Partai Katolik Demokrat dan Partai Cinta Damai. Namun, pada Pemilu 2014 lalu, tidak ada lagi partai Kristen peserta Pemilu. Umumnya pemilih beragama Kristen menyebar dalam partai-partai nasionalis.

(6)

dan Lidle mencatat bahwa faktor utama yang mempengaruhi pilihan pemilih pada Pemilu 1999 dan 2004 adalah faktor ketokohan dan identifikasi diri terhadap partai politik. Pada Pemilu 2009, bahkan identifikasi kepartaian pun cenderung tidak populer lagi dan pengaruhnya tergantikan dengan pengaruh kampanye media massa.14

Kecenderungan menurunnya pengaruh agama terhadap pilihan pemilih juga terjadi pada pemilihan eksekutif. Contoh menarik antara lain dapat dilihat dari besarnya perolehan suara pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Boediono (61 %) dibandingkan dengan perolehan suara Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto (12 %) pada Pemilu Presiden 2009 lalu. Padahal, pasangan Kalla-Wiranto dikenal lebih dekat dengan kelompok Islam dan saat kampanye juga mencoba membangun citra lebih Islami. Bahkan isu yang mengatakan Boediono adalah penganut Kejawen dengan istri seorang Katolik, terbukti tidak banyak berpengaruh.15 Contoh lainnya yang menarik adalah Pemilihan Gubernur DKI tahun 2012 lalu. Ketimbang janji ideologis, banyak pemilih lebih tertarik dengan agenda pragmatis. Pada putaran pertama, Hidayat Nur Wahid yang mewakili kelompok Islamis kalah telak. Padahal DKI Jakarta adalah salah satu lumbung suara PKS. Seruan tokoh Islam, bahkan beredarnya seruan MUI menjelang pemilu putaran kedua juga tidak mampu menurunkan elektabilitas Jokowi-Ahok.

Pada Pemilu 2014 yang baru berlangsung, karakteristik ideologis partai peserta Pemilu semakin memudar. Secara umum partai politik semakin memosisikan diri ke tengah, menjadi partai nasionalis dengan nilai-nilai yang lebih menasional. Bahkan, Yusril Ihza Mahendra sebagai pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) yang merupakan salah satu partai berasas Islam di Indonesia setelah reformasi, menjelang Pemilu lalu menolak kalau PBB disebut partai Islam. Menurut Yusril, tidak ada yang disebut partai Islam di Indonesia, sebab Islam masuk ke hampir semua partai dan semua partai berjalan di bawah peraturan Indonesia.16 Meskipun demikian, karakteristik ideologis -selain ideologi nasional

14 Saiful Mujani dan R. William Lidle, “Personalities, Parties and Voters”, Journal of Democracy Volume 21, Number 2 (April 2010):37.

(7)

Pancasila- tetap dapat diamati setidaknya pada beberapa partai yaitu PDI-P dan PKS. Menariknya, PKS yang lebih kental dengan nilai ideologis mampu meningkatkan elektabilitasnya. Demikian juga dengan PDI-P berhasil meraih suara terbesar pada Pemilu 1999, dan meskipun perolehan suaranya menurun pada Pemilu 2004 dan 2009, setidaknya PDI-P tetap mampu bertahan menjadi partai besar dan indikasinya kembali mampu meningkatkan suara pada Pemilu 2014 yang baru berlangsung.

Fenomena PDI-P dan PKS tersebut menunjukkan bahwa ideologi tetap memiliki peran penting bagi sebagian partai politik, dan sebagian pemilih. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis Tanuwidjaya yang mengungkapkan bahwa menurunnya dukungan pemilih terhadap partai Islam, bukan semata karena alasan rasionalitas pemilih yang bermakna pragmatisme. Hal ini menurutnya disebabkan setidaknya oleh dua hal yaitu menipisnya diferensiasi keagamaan di antara partai-partai dan kandidat antara yang berasas Islam dan yang nasionalis; serta semakin terbukanya partai nasionalis terhadap agenda-agenda keagamaan (Islam).17 Tidak hanya besarnya tantangan dari partai pesaing, partai Islam dengan elektabilitas yang kecil juga harus menghadapi ancaman ambang batas dalam setiap Pemilu.

C. Bahasa dan Simbol-Simbol pada Entitas Politik PDI-P dan PDI-PKS

Mead dalam Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa ujaran vokal merupakan simbol paling signifikan dalam kajian interaksi simbolis, di mana simbol vokal paling signifikan adalah bahasa.18 Selain bahasa lisan, penggunaan simbol-simbol juga sangat umum ditemukan dalam interaksi sebuah komunitas, termasuk entitas politik seperti halnya PDI-P dan PKS. Pemilihan PDI-P dan PKS sebagai analisis dalam tulisan ini disadari tidak sepenuhnya memuaskan. Kedua partai, terutama PDI-P saat ini menurut sebagian ahli sudah mulai

16 http://skalanews.com/berita/detail/142043/Yusril-Tak-Ada-Partai-Islam-atau-Nasionalis (diakses tanggal 17 Mei 2013).

17 Sunny Tanuwidjaja, “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia,” Contemporary Southest Asia Vol. 32, No. 1 (2010): 29-49.

18 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi

(8)

kehilangan karakter ideologisnya. Namun, dari banyak partai Era Reformasi yang masih mampu bertahan hingga Pemilu 2014 ini, kedua partai tersebut penulis nilai lebih memiliki karakter ideologis dibanding partai lain.

Secara ideologis dan karakter gerakan, Damanik melihat bahwa terdapat kemiripan antara PKS dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Meskipun bersumber dari ideologi yang berbeda, tapi karakter ideologis sangat menonjol pada kedua partai tersebut.19 Sayangnya, PRD hanya bertahan sampai Pemilu 1999, dan setelah itu tokoh-tokohnya berdiaspora, menyebar ke berbagai partai yang ada, di samping beberapa yang memilih jalan di luar gerakan politik. Budiman Sudjatmiko sebagai salah satu tokoh kunci misalnya, memilih bergabung dengan PDI-P. Oleh karena itu, pada tulisan ini penulis memilih menganalisis PDI-P sebagai penyeimbang bahasan, meskipun harus diakui bahwa karakter ideologis PDI-P -setidaknya sejak Pemilu 2004-semakin kabur.

Entitas PKS yang berasal dari kader-kader gerakan Tarbiyah memiliki berbagai karakter khas. Sebagai partai yang mengusung tagline “partai dakwah”, kader-kader PKS dikenal religius dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Hal ini juga diakui oleh Watson. Watson menulis bahwa anggota-anggota PKS dikenal memiliki kekuatan spiritual, antara lain dicirikan dengan perempuan berjilbab, tidak merokok, dan memiliki disiplin tinggi. Integritas PKS termasuk aksi-aksi moral mereka layak mendapat penghargaan. Watson menulis:

The integrity of the PKS is universally applauded; its leader, Hidayat Nurwahid, is widely respected top-ping one controversial TV poll as the audi-ence's favoured presidential candidate, and its organizational capacity is admired. PKS demonstrations in Jakartaa reknown for their orderliness, and their prompt philanthropic responses to local disasters is well thought of -but the lack of political experience, the naivety of their moral approach and their exclusivity prevent them from

(9)

appealing to a large per-centage of the Muslim electorate.”20

Salah satunya ciri entitas PKS yang sangat menonjol dan menjadi fenomena menarik di Indonesia sejak tahun 1980-an adalah kader perempuannya yang identik dengan pakaian menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Model pakaian ini umumnya stelan atau gamis longgar dengan padanan jilbab panjang menutup dada serta menggunakan kaos kaki. Adapun kader laki-laki PKS umumnya memelihara jenggot.21 Selain itu, mereka juga terbiasa membawa al-Qur’an berukuran kecil dan membacanya disela-sela aktivitas keseharian mereka. Dalam berbahasa, kader-kader PKS juga terbiasa menggunakan beberapa istilah-istilah berbahasa Arab seperti akhi/ukhti

(saudara/i), syukran (terima kasih) dan sebagainya, serta terbiasa mengucapkan takbir (Allahu Akbar).

Dalam aspek kepedulian sosial, entitas PKS sudah teruji sejak masih berbentuk Gerakan Tarbiyah. Kepedulian sosial ini diwujudkan dalam berbagai aksi sosial terutama pada saat terjadi bencana Menariknya, seperti diuraikan Muhtadi, salah satu kepedulian sosial yang menyita perhatian besar PKS adalah aksi solidaritas terhadap Palestina. Setiap perkembangan kondisi Palestina selalu mendapat respons besar dari PKS. Pengamatan terhadap aksi-aksi PKS untuk Palestina akan sangat mudah terlihat bagaimana entitas PKS merasa menyatu dengan perjuangan rakyat Palestina, misalnya melalui yel-yel yang diteriakkan, maupun dari do’a yang diucapkan disertai isak tangis dan takbir membahana. Kepedulian PKS terhadap Palestina ini bahkan mengejawantah dalam keseharian kader-kadernya. Kader-kader PKS sangat akrab dengan aksesoris berbau Palestina seperti gambar bendera Palestina yang digunakan pada pin, bordiran jaket, topi dan lainnya. Lagu-lagu yang dinyanyikan mereka juga banyak yang bertema Palestina.

Secara kolektif, entitas PKS dikenal terdidik, santun dan profesional. Sejak menjelang Pemilu 1999, PKS menjadi

20 Bill Watson, “Muslim Politics and the Coming Elections in Indonesia,” Anthropology Today, Vol. 20, No. 2 (Apr., 2004), Published by: Royal Anthropological Institute of Great Britain and IrelandStable URL: http://www.jstor.org/stable/3695110 .Accessed: 22/06/2011 00:43, p.23.

(10)

sorotan media massa dengan kemampuannya mengorganisir massa. PKS selalu mampu memobilisasi ribuan -bahkan puluhan ribu- massa dengan anggun, cerdas, tertib dan tidak pernah ricuh atau sekedar memacetkan jalan.22 Dari segi pendidikan, PKS memiliki kader-kader berpendidikan tinggi baik lulusan dalam maupun luar negeri, baik dari Timur Tengah maupun Barat. Damanik menulis pada awal berdiri PKS yang masih bernama PK, memiliki 8 orang Doktor pada kalangan pendiri, sementara pada Dewan Pengurus Pusat (DPP) terdapat 11 orang Doktor, 18 orang Master dan sisanya umumnya Sarjana dari berbagai bidang ilmu.23 Harus diakui, latar belakang pendidikan ini memberikan banyak peran dalam menentukan karakter individu maupun karakter gerakan PKS.

Selain itu, entitas partai juga memiliki suasana kekeluargaan yang sangat kental, namun terbatas sesama kelompoknya, sehingga mereka terkesan eksklusif.24 Meskipun dianggap eksklusif, tradisi yang dilaksanakan PKS umumnya diterima sebagai tradisi yang baik oleh masyarakat. Hal ini antara lain dibuktikan dari tingginya minat masyarakat menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah Islam terpadu yang terutama banyak dikelola entitas PKS dengan seluruh jaringannya. Kuntowijoya dalam Damanik menyebutkan bahwa karakter gerakan ideologis cenderung tertutup, normatif, dan subjektif. 25 Karakter ini bahkan masih ditemui dengan jelas pada entitas PKS bahkan setelah mereka menerapkan strategi lebih terbuka sejak Pemilu 2009 lalu.

Dari berbagai keunikan yang telah disebutkan di atas, tulisan ini fokus pada karakter bahasa dan simbol-simbol yang digunakan oleh entitas PKS. Sebagaimana telah disebutkan, entitas PKS banyak menggunakan kosa kata bahasa Arab, walaupun kader-kadernya banyak yang berlatar

22 Kemampuan PKS mengorganisir massa ini sangat banyak ditulis baik di media massa. Lihat antara lain tulisan Ali Said Damanik dan Burhanuddin Muhtadi yang menjadi sumber rujukan tulisan ini.

23 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Indonesia, 261.

24 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Indonesia, 82.

(11)

belakang pendidikan umum bahkan lulusan Barat. Sebagai partai Islam yang tergolong baru, PKS dengan seluruh sayapnya identik dengan penggunaan istilah-istilah akhi, ukhti, syukran dan terutama teriakan takbir. Sementara simbol-simbol fisik utama yang sangat menonjol adalah model pakaian kader perempuan, jenggot bagi kader laki-laki dan simbol-simbol perjuangan Palestina.

Beberapa karakter khas bahasa dan simbol juga ditemui pada entitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), meski tidak sebanyak yang dapat dilihat pada PKS. Sebagai partai yang berideologi Sosialis-demokrat, PDI-P banyak mengusung tema-tema kerakyatan. Pada beberapa kali Pemilu, PDI-P berhasil memasarkan diri sebagai “Partai Wong Cilik”. Tokoh-tokoh PDI-P juga selalu mengumandangkan yel-yel “Merdeka!” dalam berbagai acara yang dilaksanakan. Simbol yang paling identik dengan PDI-P adalah Soekarno. Tampilnya gambar Soekarno dalam setiap media sosialisasi PDI-P merupakan simbol inspirasi ideologis gerakan yang kemudian diperkuat dengan warna khas merah, memperkuat makna perjuangan yang ingin ditampilkan. Tagline “Partai Wong Cilik” terbukti dengan keberhasilan PDI-P meraup massa dari kalangan menengah ke bawah baik dari ekonomi maupun pendidikan.

D. Kristalisasi Ideologi Melalui Bahasa dan Simbol-Simbol

Perjalanan sistem politik secara signifikan dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh negara dan masyarakat, sebab ideologi memberikan arahan tentang bagaimana bertindak, bahkan ideologi juga dapat memberikan pengesahan kepada pemerintahan.26 Ideologi formal negara sendiri tidak selalu menyatu sepenuhnya dengan ideologi yang dianut oleh warga negara. Dalam konteks sistem politik Demokrasi, kelompok ideologi tertentu memiliki peluang untuk memberikan pengaruh terhadap pilihan, atau setidaknya penjabaran, ideologi negara. Hal ini tergantung pada kemampuan memperoleh dan mengelola kekuasaan politik. Dengan kata lain, ideologi yang dianut oleh

(12)

masyarakat akan mempengaruhi bagaimana sistem politik dijalankan.

Agar sebuah ideologi dapat mempertahankan relevansinya, Alfian dalam Syam memberikan tiga syarat yaitu:

a. Dimensi realitas yaitu kemampuan ideologi untuk selalu mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakatnya.

b. Dimensi idealisme yaitu kemampuan kadar ideologi yang terkandung dalam nilai-nilai dasar ideologi tersebut.

c. Dimensi fleksibilitas yaitu kemampuan ideologi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan.27

Alfian dalam Syam, mendefinisikan ideologi sebagai pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.28 Selain konsep ideologi sebagai suatu sistem makna, ideologi juga dapat dilihat melalui paradigma lain yaitu melalui dimensi budaya, di mana ideologi merupakan produk budaya untuk menjustifikasi dan mempertahankan sebuah sistem nilai dan kepercayaan tertentu. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ideologi dalam suatu negara akan saling bersaing memberikan pengaruh ideologis terhadap sistem politiknya sehingga nilai-nilai ideologi tersebut dapat diimplementasikan secara lebih luas. Partai politik, sebagai salah satu struktur kunci sistem politik Demokrasi, termasuk dalam kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam hal ini. Untuk itu, kristalisasi ideologi politik dalam tubuh partai menjadi sangat penting bagi partai politik ideologis.

Upaya kristalisasi ideologi politik membutuhkan strategi dan sarana yang tepat. Sebagai sebuah sistem nilai, keberadaan ideologi pada dasarnya sangat terkait dengan budaya masyarakat. Manusia, sebagai makhluk sosial yang berpikir, selain mendefinisikan identitas dirinya sendiri juga

27 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, 241.

(13)

berupaya membentuk identitas sosialnya. Dalam membangun identitas sosial, manusia berusaha mengasosiasikan dirinya dengan komunitas sosial yang dia sukai. Perilaku ini lahir sebagai konsekuensi dari sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Dengan kata lain, identifikasi sosial pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia. Ketika menjelaskan tentang tindakan sosial, Weber melihat bahwa individu sangat terpengaruh oleh beragam kekuatan besar. Seorang Calvinisme misalnya, akan dipaksa bertindak sesuai norma, nilai dan keyakinan agama Calvinisme.29 Artinya, seorang individu bertindak terpengaruh dari lingkungan di mana dia memperoleh sosialisasi dan pendidikan.

Salah satu faktor paling penting dalam pembentukan identifikasi sosial itu adalah penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot dalam Chaer menyebutkan bahasa memiliki tiga sifat yaitu kesetiaan yang mempengaruhi seseorang untuk mempertahankan bahasanya, kebanggaan yang mendorong seseorang untuk mengembangkan bahasanya, dan kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun.30 Pilihan manusia dalam membentuk identitas sosialnya, menyebabkan munculnya perbedaan bahasa. 31 Oleh karena itu, bahasa dan simbol menjadi sangat relevan sebagai sarana untuk menginternalisasikan nilai-nilai ideologis.

Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem kehidupan manusia. Rolland Barthes mengatakan bahwa masyarakat tertentu mempersepsi bahasa dan simbol secara khas dalam lingkungan mereka. Pemahaman dasar terhadap sifat kebahasaan dan sifat alamiah identifikasi sosial manusia ini, memungkinkan orang berusaha memahami perilaku suatu komunitas melalui bahasa dan simbol-simbol yang mereka gunakan. Seperti halnya pemikiran Rolland Barthes dan Sander Peirce, bahasa dan simbol harus diinterpretasikan

29 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi,

139.

30 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar

(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 151.

(14)

secara terus menerus untuk dapat memahami makna dibalik sebuah realitas sosial.32 Pada konteks ini, identifikasi entitas politik PDI-P dan PKS dapat dilakukan secara memadai melalui bahasa dan simbol-simbol yang mereka gunakan.

Identifikasi diri terhadap partai dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi kader-kader partai, sehingga bahasa dan simbol yang digunakan dalam entitas partai direduksi dengan suka rela dalam kehidupan mereka. Dalam model Psikologi, wujud identifikasi diri terhadap partai ini terutama dapat dilihat dari loyalitas kader dalam aktivitas partai, termasuk dalam Pemilu. Vina Salviana Darvina Soedarwo menulis:

Another element in political engagement is partisanship or political identity. Partisanship is a psychological condition, any feeling of closeness, attitude to support or to be loyal to or self-identity to a certain political party. A partisan is someone who feels that he is part of a party or identifies himself with a certain political party, for example, Golkar or PDIP. Therefore, party identity is believed to be important in determining why a citizen takes part in general election or president election. This factor is really inseparable from socialization process.”33

Pada banyak kasus, pengenalan masyarakat dan anggota suatu kelompok ideologi terhadap simbol-simbol kelompoknya lebih kuat daripada nilai-nilai inti ideologinya sendiri. Simbol salam Quenelle (tangan terangkat lurus dengan telapak tangan menghadap ke bawah) misalnya, dikenal sebagai simbol Nazi. Bagi pengikut Nazi, simbol ini dimaknai sebagai lambang pemersatu, salam pergerakan, sementara bagi masyarakat yang anti Nazi, simbol tersebut menjadi momok yang mengingatkan pada kekejaman Nazi.34

32 Rolland Barthes, ilmuwan Semiotik asal Prancis, cenderung menggunakan Semiotika sebagai kritik sosial dengan menggunakan teknik “meembongkar mitos”. Sedangkan Sanders Peirce, ilmuwan Semiotika asal Amerika yang juga menggunakan Semiotika sebagai alat berpikir kritis, menggunakan teknik “menguraikan teks”. Lihat Sri Iswidayati, “Rolland Barthes,” (Bahan kuliah Jurusan Seni Rupa FBS Unes, diakses 25 Maret 2014).

33 Vina Salviana Darvina Soedarwo, “Political Ideology Meaning and Patriarchal Ideology of Female Politicians in Indonesia: A Case in Malang,” (4th International Conference on Sustainable Future for Human Security, SustaiN 2013), 490 (diakses 26 Mei 2014)

(15)

Dalam sebuah pertandingan sepak bola pada Maret 2013 lalu, Giorgos Katidis dengan segera mendapat reaksi klaim sebagai pengikut Nazi ketika simbol tersebut, entah sengaja atau tidak, ditampilkannya. Katidis dihukum tidak boleh bermain seumur hidup untuk Yunani.35 Kritikan yang sama juga dialami oleh Nicolas Anelka pada Desember 2013 lalu.36

Pengaruh bahasa dan simbol juga tampak pada konsolidasi

barisan kader PKS dan PDI-P. Sebagai partai Islam yang relatif

baru, PKS mampu membangun ciri khas dengan bahasa dan simbol yang tidak dimiliki partai Islam lain. Observasi sederhana akan sangat mudah dilakukan bagaimana masyarakat umumnya dengan mudah mengasosiasikan perempuan dengan jilbab besar dan memakai kaos kaki, serta laki-laki berjenggot adalah “orang” PKS. Demikian juga dengan simbol-simbol Palestina menjadi sangat identik dengan PKS karena memang harus diakui bahwa PKS merupakan salah satu penggerak utama aksi-aksi untuk Palestina dari Indonesia.37 Pada sisi lain, dengan bahasa dan simbol-simbol yang digunakan PDI-P juga dapat dikatakan berhasil mencirikan diri sebagai partai perjuangan rakyat yang diinspirasi semangat perjuangan Soekarno.

Identifikasi bahasa dan simbol-simbol yang digunakan dalam entitas partai menjadi semacam magnet yang akan dengan mudah menarik orang-orang dengan ciri-ciri yang sama, untuk bergabung dalam komunitas. Hal ini menjelaskan kenapa cabang-cabang PKS di berbagai daerah bahkan sampai ke luar negeri dengan relatif lebih mudah mampu mengonsolidasi kader, meskipun jumlahnya tidak selalu besar. Identifikasi bahasa dan simbol, sebagaimana dijelaskan Mead38, mempermudah orang-orang untuk mengenali suatu entitas sehingga dengan mudah dapat mengasosiasikan diri dengan entitas yang sesuai dengan

simbol-simbol dan kenangan kekejaman Nazi, tidak banyak orang yang memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tersebut.

35 http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/internasional- 2/13/03/19/mjtnuh-garagara-salam-nazi-katidis-dilarang-bermain-seumur-hidup (diakses tanggal 8 Juni 2014).

36 http://bola.kabar24.com/liga-inggris/read/20131230/40/207662/salam-nazi-bawa-masalah-bagi-anelka (diakses tanggal 8 Juni 2014).

37 Kepedulian PKS terhadap Palestina merupakan salah satu analisis inti dalam tulisan Burhanuddin Muhtadi (2012).

(16)

dirinya. Ciri identifikasi bahasa dan simbol ini dengan sendirinya juga menjadi saringan bagi orang-orang yang akan masuk ke dalam entitas PKS. Secara sederhana, orang yang akan bergabung ke dalamnya akan dihadapkan pada pertanyaan pengantar, apakah akan mampu dan/atau cocok menyesuaikan diri dengan gaya bahasa dan penampilan entitas PKS. Konsekuensinya, ciri identifikasi yang sangat khas ini menjadikan PKS semakin eksklusif.

Demikian pula orang-orang yang berideologi Sosialisme-demokrat akan lebih mudah menemukan karakter yang sesuai dengan dirinya melalui ciri-ciri yang diusung oleh PDI-P. Ini pulalah salah satu penjelasan yang memungkinkan kenapa sebagian tokoh-tokoh utama PRD semacam Budiman Sujatmiko memilih bergabung dengan PDI-P setelah PRD tidak mampu bertahan. Pada sisi lain, terjadinya konvergensi ideologis dari kiri/kanan ke tengah, seperti telah disinggung sebelumnya, menjadi penjelasan alternatif untuk keputusan tokoh-tokoh PRD -atau gerakan kiri lainnya- bergabung dengan partai-partai yang lebih nasionalis seperti Andi Arif yang bergabung dalam eksekutif di bawah pimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahasa dan simbol PDI-P yang lebih umum dan bertema nasionalisme, menyebabkan entitas PDI-P tidak eksklusif seperti entitas PKS.

(17)

keanggotaannya, yang memang mudah dicek dalam sistem eksklusif.

Kebiasaan-kebiasaan umum dalam masyarakat, menurut Mead diinternalisasikan pada individu melalui pendidikan.39 Untuk internalisasi nilai-nilai inilah, PKS menerapkan sistem kaderisasi yang sangat ketat bahkan setelah menerapkan strategi ideologi yang lebih terbuka pada Pemilu 2009. Kaderisasi juga dilakukan oleh PDI-P, walaupun tidak seketat dan tidak sekonsisten PKS40. Sebagian orang akan beranggapan bahwa munculnya bahasa dan simbol-simbol yang digunakan dalam entitas partai merupakan hasil kaderisasi sebagai wujud implementasi internalisasi nilai-nilai. Anggapan ini secara umum memang terlihat pada PKS, namun tidak pada entitas PDI-P. Bahasa dan simbol-simbol yang digunakan kader PKS umumnya memang terbentuk melalui proses kaderisasi yang diikuti. Namun tidak demikian halnya dengan PDI-P, yang proses kaderisasinya tidak seketat PKS. Orang yang bergabung dengan PDI-P dengan mudah bisa langsung mengasosiasikan diri dengan gaya bahasa dan simbol-simbol PDI-P, bahkan bisa dengan cepat menempati posisi pimpinan partai. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa dan simbol bukan semata hasil pendidikan/sosialisasi politik, melainkan sekaligus sebagai alat pendidikan/sosialisasi politik itu sendiri. Pendapat ini diperkuat dengan fakta bahwa pada entitas PKS sendiri, penyesuaian diri anggota baru terhadap gaya bahasa dan simbol-simbol PKS bisa berlangsung sangat cepat di awal atau sebelum mengikuti proses kaderisasi. Orang-orang yang merasa cocok dengan gaya PKS, bisa dengan cepat menyesuaikan diri dan sekaligus menjadi deklarasi dirinya merupakan bagian dari entitas PKS dengan segala konsekuensinya.

Realitas tersebut menunjukkan signifikansi bahasa dan simbol dalam proses kristalisasi ideologi politik. Dalam kasus PKS, penggunaan gaya bahasa dan simbol-simbol bisa menjadi penanda awal apakah seseorang itu entitas PKS atau bukan. Bahkan, karakter ini masih tetap terpelihara

39 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi, 391.

(18)

walaupun PKS sudah mengusung tema keterbukaan sejak menjelang Pemilu 2009 lalu. Selain keterbukaan komunikasi sosial, selebihnya ciri-ciri entitas PKS masih tetap sama. Hal yang sama juga dilakukan PDI dengan mempertahankan simbol-simbol dan gaya bahasa mereka. Gambar Soekarno bukan hanya sebatas wujud menjaga trah dinasti kepemimpinan bagi PDI-P, namun sudah menjadi inspirasi ideologis pergerakan.

E. Kesimpulan

Meskipun cenderung mengalami konvergensi, eksistensi ideologi masih bisa ditemukan dalam partai politik di Indonesia. Karakter ideologis ini setidaknya masih bisa dilihat pada PDI-P dan PKS, dalam kadar yang berbeda satu dengan lainnya. Bagi partai ideologis, kristalisasi ideologi politik merupakan hal yang sangat penting bagi eksistensi dan kesinambungan gerakan. Oleh karena itu, internalisasi nilai dan peningkatan kohesifitas entitas harus selalu dilakukan.

Bahasa dan simbol, sebagai salah satu bagian terpenting dalam kebudayaan merupakan salah satu cara utama untuk tujuan kristalisasi ideologi politik. Keduanya, akan membentuk sebuah struktur masyarakat yang menyatu dengan deskripsi khas terhadap diri mereka. Semakin khas karakter yang dibangun, semakin eksklusif entitas yang lahir. Melalui bahasa dan simbol tersebut, orang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sebuah entitas. Penerimaan bahasa dan simbol dari sebuah entitas merupakan deklarasi penerimaan seorang individu pada nilai-nilai ideologi mereka. Sehingga, bahasa dan simbol merupakan bagian yang sangat penting bagi partai ideologis, seperti PDI-P dan terutama PKS.

(19)

identifikasi individu dalam mengasosiasikan diri menjadi bagian entitas partai. Asosiasi ini kemudian dilanjutkan dengan kesiapan menerima nilai-nilai ideologis dan bekerja bersama dalam agenda-agenda partai untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.

REFERENSI

Baswedan, Anis Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory,” Asian Survey, Vol. 44, No. 4

(September/Oktober 2004): 669-690,

http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (diakses 21 Juni 2011).

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008.

Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995).

Chambers, J.K., Sociolinguistic Theory (Oxford: Blackwell Publishing, 2003).

Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Indonesia (Bandung: Teraju, 2002).

Feith, Herbert, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965

(Jakarta: LP3ES, 1998).

Hamayotsu, Kikue. “The Political Rise of Prosperous Justice Party in Post-Authoritarian Indonesia; Examining the Political Economy of Islamist Mobilization in a Muslim Democracy,” Asian Survey, Vol. 51, Number. 5: 971-992, http://www.ucpressjournals.com/reprintInfo.asp. Huntington, Samuel P., Benturan Peradaban dan Masa Depan

Politik Dunia (Jakarta: Qalam, 2002).

Iswidayati, Sri, “Rolland Barthes,” (Bahan kuliah Jurusan Seni Rupa FBS Unes, diakses 25 Maret 2014).

Matta, Anis, dalam Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS; Suara dan Syariah (Jakarta: KGP, 2012).

Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS; Suara dan Syariah

(Jakarta: KGP, 2012).

(20)

(April 2010): 36-49, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (diakses 21 Juni 2011)

________________. “Muslim Indonesia’s Secular Democracy,”

Asian Survey, Vol. 49, Issue 4, 575–590, http://www.ucpressjournals.com/reprintInfo.asp.

Ritzer, George dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet. 8 2012). Rodee, C.C., dkk., terj., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta:

Gramedia, cet. 9. 2011).

Soedarwo, Vina Salviana Darvina, “Political Ideology Meaning and Patriarchal Ideology of Female Politicians in Indonesia: A Case in Malang,” (4th International Conference on Sustainable Future for Human Security, SustaiN 2013) (diakses 26 Mei 2014).

Syam, Firdaus, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3

(Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Tanuwidjaja, Sunny. “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia,” Contemporary Southest Asia Vol. 32, No. 1 (2010): 29-49.

Watson, Bill, “Muslim Politics and the Coming Elections in Indonesia,” Anthropology Today, Vol. 20, No. 2 (Apr., 2004), http://www.jstor.org/stable/3695110.Accessed: 22/06/2011 00:43. p.23

Website

http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/internasional-

2/13/03/19/mjtnuh-garagara-salam-nazi-katidis-dilarang-bermain-seumur-hidup (diakses tanggal 8 Juni 2014).

http://bola.kabar24.com/liga- inggris/read/20131230/40/207662/salam-nazi-bawa-masalah-bagi-anelka (diakses tanggal 8 Juni 2014). http://en.wikipedia.org/wiki/Clash_of_Civilizations (diakses 8

Juni 2014).

www.kpu.go.id (diakses tanggal 16 Mei 2013).

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan tenaga kerja mencukupi bagi industri untuk melakukan pengembangan usaha dan dengan ketersediaan tenaga kerja yang relatif banyak

Dalam strategi ini bertujuan untuk melatih siswa dalam membuat kalimat dari yang paling. sederhana dan semua siswa terlibat dalam membuat

Minuman kemasan sari timun merupakan salah satu jenis olahan buah mentimun berupa minuman kesehatan.buah mentimun mengandung zat-zat kimia yang sangat

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di

DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DKI J akar ta DALAM SURAT KABAR J AWA POS DAN SURYA (Analisis framing Berita Seputar Persaingan Foke – Jokowi Dalam Pemilihan Gubernur DKI

Pembahasan dapat dilaksanakan apabila temuan dari penelitian sudah dirumuskan, pembahasan penelitian ini berkaitan dengan “ Pengelolaan Bengkel Teknik Mekatronika SMK Negeri

Melihat banyaknya pisang yang diolah maka sampah kulit pisang yang dihasilkan juga banyak sehingga salah satu solusi yang tepat untuk mengoptimalkan kulit pisang

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan untuk memenuhi permasalahan yang ada pada rumusan masalah, hasil dari perancangan dan implementasi sistem, serta