PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN
KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah
Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada
Fakultas Geografi UGM
Oleh :
Bramantiyo Marjuki No. Mhs. 04/175633/GE/5579
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam - dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah:
1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan, masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian.
2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si., M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saran-saran perbaikan yang bermanfaat.
4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi, sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas.
dari citra penginderaan jauh.
6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika, Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04, Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT UGM 03.
7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si (alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan koreksi abstrak.
8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin.
Yogyakarta, Juli 2008. Penyusun
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN
KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah
Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Oleh
Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579
INTISARI
Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi.
Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif ditentukan menggunakan indeks kappa (κ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,093. Analisis tabel silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ) sebagai nilai korelasi sebesar 0,05.
APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON
VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH
EROSION RATE
Case Study Tinalah WatershedKulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province
by
Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579
ABSTRACT
The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship with erosion rate.
Mapping was done through regression analysis between NDVI value as independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000. Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was used to determine its correlation quantitatively.
The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land use (r = 0,485 and r2 = 0,235) while exponential regression model was the best model for field crop landuse (r = 0,305 and r2 = 0,093). Cross tabulation analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated (k=0,05).
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ... x
1.6 Kerangka Pemikiran... 15
1.7 Batasan Operasional... 17
BAB II. METODE PENELITIAN 2.1 Pengumpulan Data... 19
2.1.1 Macam Data... 19
2.1.2 Sumber Data... 19
2.1.3 Alat Penelitian... 19
2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel... 20
2.1.5 Metode Pengumpulan Data... 20
2.2 Pengolahan dan Analisis Data... 26
2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 26
2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi... 28
BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian... 30
3.2 Iklim... 32
3.2.1 Curah Hujan... 32
3.2.2 Suhu... 33
3.2.3 Tipe Iklim... 34
3.3 Geologi... 36
3.4 Geomorfologi dan Bentuklahan... 38
3.5 Hidrologi... 41
3.6 Tanah... 42
3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Restorasi Citra... 49
4.1.1 Koreksi Geometrik... 49
4.1.2 Koreksi Radiometrik... 51
4.2 Transformasi NDVI... 53
4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan... 56
4.3.1 Penggabungan Citra... 56
4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan... 59
4.4 Pengukuran Tutupan Kanopi... 66
4.5 Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif... 69
4.6 Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi... 76
4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi... 80
4.8 Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. 85
4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi... 88
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan... 91
5.2 Saran... 92
DAFTAR PUSTAKA... 94
DAFTAR TABEL
No. Tabel Hal
1.1 Dampak Erosi... 5
1.2 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5... 11
1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5... 13
2.1 Indikator Tingkat Erosi... 26
2.2 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya... 27
2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi... 28
3.1 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah... 30
3.2 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006... 32
3.3 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah... 34
3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q... 35
3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian... 35
3.6 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah... 38
3.7 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah... 41
3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah... 46
3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah... 48
4.1 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5... 52
4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan... 62
4.3a Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur... 77
4.3b Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan... 77
4.4 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi... 86
4.5 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah... 87
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Hal
1.1 Proses Erosi... 6
1.2 Canopy Cover dan Canopy Closure... 8
1.3 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air... 9
1.4 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya... 12
1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5... 13
1.6 Kerangka Pemikiran... 18
2.1 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart... 24
2.2 Plot Sampel... 25
2.3 Diagram Alir Penelitian... 29
3.1 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah... 31
3.2 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006... 33
3.3 Peta Geologi DAS Tinalah... 37
3.4 Peta Bentuklahan DAS Tinalah... 39
3.5 Peta Tanah DAS Tinalah... 44
3.6 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah... 47
4.1 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi Geometrik... 50
4.2 Citra Hasil Orthorektifikasi... 51
4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah... 54
4.4 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah... 55
4.5 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57
4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321... 58
4.7 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari Komposit 432... 59
4.8 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS... 60
4.9 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Lapangan... 63
4.10 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan... 65
4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi... 67
4.12 Peta Lokasi Sampel... 68
4.13 Foto Kenampakan Pedestal... 70
4.14 Foto Armour Layer... 70
4.15 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung... 71
4.16 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)... 72
4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman... 72
4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang Saluran Drainase... 73
4.19 Foto Kenampakan Erosi Alur... 74
4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel... 76
4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ... 78
4.23 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah... 79
4.24a Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur... 80
4.24b Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan... 81
4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI... 82
4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ... 83
4.27a Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat... 84
4.27b Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI... 84
4.27c Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432... 84
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran
1 Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan... L-1 2. Rekapitulasi Data Lapangan………... L-5 3. Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... L-7 4. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam
Rahardjo, 1990)... L-10 5. Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang... L-11 6. Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004).
Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi, tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong, 1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001).
masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun). Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003); Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang tidak tepat (De Jong, 1994).
Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun). Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson, 2002).
lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2 Perumusan
Masalah
Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel. Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi kendala di atas adalah tutupan kanopi.
Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI (Leaf Area Index) dan tutupan kanopi.
energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah, erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan.
Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi? 2. Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS
Tinalah?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan: 1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral.
2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5 multispektral dan pankromatik.]
3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang diintegrasikan dengan pengukuran lapangan
4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan erosi.
5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah.
1.4 Manfaat
Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi. 2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas
3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM.
1.5 Tinjauan
Pustaka
1.5.1 Tinjauan Teoritis
1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain (Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 1.1 Dampak Erosi
Bentuk Dampak
Dampak di tempat kejadian erosi
Dampak di luar tempat kejadian
Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman
Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan tubuh air lainnya
Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah
Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya Peningkatan penggunaan energi
untuk produksi
Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air
penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut (Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1.
(Arsyad, 1989)
Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi
Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989).
Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994).
Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994).
Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur, bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat, sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi. Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994).
Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas (Utomo, 1994).
1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi
Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky) yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al., (1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan dalam penelitian ini.
(a) (b)
Gambar 1.2
1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya. Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat (Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis, sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun).
(A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air)
Gambar 1.3.
Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004)
Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun).
NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:
)
NIR = saluran infra merah dekat
RED = saluran merah (Schreiber, 2007)
1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi
Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik kanopi seperti biomasaa, produktivitas daun, leaf area index, PAR (Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson, 2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah, sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun).
1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5
merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT 1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit Sebelumnya
3. 20 September 1993
Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun
Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari
Waktu melintasi ekuator
(waktu lokal)
10.30 10.30 10.30
Ketinggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km
Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit
Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat
Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari
- 2 pankromatik (5m) yang
bisa dikombinasikan
menjadi 1 pankromatik (2,5
m)
- 1 Pankromatik (10m)
- 3 VNIR (20m)
Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya
(SPOT Image, 2006)
Gambar 1.5
Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5 (SPOT Image, 2006)
Tabel 1.3
Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5\HRG
Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi
posisi
1A - Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensitivitas detektor
- Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi.
- N/A < 50 meter
1B - Sama dengan 1A - Distorsi geometrik sistematik sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ketinggian orbit)
< 30 meter
2A - Sama dengan 1A - Pemrosesan level 1B
- Transformasi koordinat ke UTM - Orthorektifikasi tanpa menggunakan
GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km
< 30 meter
2B (Precision) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A
- Penggunaan GCP untuk koreksi geometrik guna memperoleh ketelitian posisi yang lebih baik
Tergantung akurasi GCP 3 (Ortho) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A
- Orthorektifikasi menggunakan DEM berkualitas tinggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik
Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya, instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR) dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006).
1.5.2 Tinjauan Empiris
Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al, (2003) dengan hasil nilai R2 antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,72 dalam studi estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT TM.
Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi WEPP.
Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele (2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono (1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat.
1.6. Kerangka Pemikiran
baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah.
Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area. Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya, faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi.
1.7 Batasan
Operasional
Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985).
Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995)
NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et al.,, 2006)
Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah (Arsyad, 1989)
Erosi
Faktor erosi Erosi
aktual Erosi potensial
Topografi
Vegetasi Tanah
Iklim
Variasi spasial dan temporal
Pengambilan l
ekstrapolasi
Pemetaan Terabaikan
Citra PJ
Berkorelasi
Terakomodasi Nilai spektral
Pemetaan Tutupan kanopi
Peta tutupan kanopi
Korelasi
NDVI
BAB II
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
2.1 Pengunpulan
Data
2.1.1 Macam Data
Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun yang termasuk dalam data primer adalah:
1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan. 2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya.
Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah: 1. Data NDVI daerah penelitian.
2.1.2 Sumber Data
Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut:
1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006.
2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar Sendangagung.
2.1.3 Alat Penelitian
Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut:
4. Checklist untuk mencatat data lapangan.
5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang meliputi:
1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi. 2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan
Citra NDVI.
3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis. 4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang.
2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel
Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi.
2.1.5 Metode Pengumpulan Data
A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra
Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1 Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi. Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik.
1. Penyesuaian histogram, 2. Penyesuaian regresi, 3. Kalibrasi bayangan,
Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili.
Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra. Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
(1
)
Eit
λ
=
A xEis
λ
λ
+
D
λ
−
A
λ
(2)Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan Dλ = Nilai bias
(Danoedoro, 1996) Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut:
DNi
=
DNo
−
D
λ
(3)DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi
Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan menggunakan transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien RPC diperoleh dari header citra.
B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan
Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda. Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda, pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif homogen.
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik (PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar kerincian informasi untuk pemetaan penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual.
C. Transformasi NDVI
Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3 (inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan rumus transformasi berikut:
SPOT NDVI = (5)
XS2 = SPOT XS saluran 2 (merah)
XS3 = SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat)
Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga -1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga +1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi.
D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan
Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur (Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling) maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view) kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1.
.
Gambar 2.1.
USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006)
Gambar 2.2 Plot Pengukuran
E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan
Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman, armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan (1995) sebagai berikut:
40 m
15 m
1
2 3
Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan
Kelas Indikator
Sangat ringan Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras
Ringan Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat sedikit permukaan kasar (armour layer)
Sedang Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras.
Berat Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman kurang dari 8 cm.
Sangat Berat Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih dari 8 cm
Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995
2.2
Pengolahan dan Analisis Data
2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari
Citra NDVI
diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002) hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya
Model Persamaan
Linear y = α + βx
Logaritmik y = α + βLn(x) Polinomial orde 2 y = α + β1x + β2x2
Power y = αxβ
Eksponensial y = αeβx
Sumber: ILWIS User guide
Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi
Tutupan kanopi Kelas
> 80% Sangat baik
61 – 80% Baik
41- 60% Sedang
21 - 40% Buruk
< 20% Sangat buruk
Sumber: Departemen Kehutanan (2004)
2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi
Tanah.
Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (
κ
) mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘(6)
(Campbell, 2002)
exp
1 exp
observed
ected
ected
κ
=
−
Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000
Data kontur
Interpolasi linier
DEM
Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A
Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik
Citra terkoreksi
NDVI
Survei lapangan
1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan
2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan
Analisis korelasi dan regresi
Peta persentase tutupan kanopi
Tabulasi silang Transformasi NDVI
Data tingkat erosi tanah
Data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi
Informasi hubungan tingkat erosi dan tutupan kanopi
Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian
Input
Interpretasi visual Citra gabungan
Peta penggunaan lahan
Keterangan:
BAB III
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
3.1
Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian
DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains) bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah dibatasi:
1. Kabupaten Magelang di sebelah utara
2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan Girimulyo di sebelah selatan.
3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur. 4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat.
Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o 08’ 15’’-110o 13’ 00’’ BT dan 07o 38’ 45’’-07o 43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah
Desa Kecamatan Luas wilayah (ha)
Luas wilayah (%)
Banjararum Kalibawang 163.42 3.73
Purwoharjo Samigaluh 943.98 21.55
Banjarsari Samigaluh 775.84 17.71
Pagerharjo Samigaluh 159.26 3.64
Gerbosari Samigaluh 1055.08 24.09
Ngargosari Samigaluh 608.83 13.90
Sidoharjo Samigaluh 673.61 15.38
III.2 Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim.
3.2.1 Curah Hujan
Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel 3.2 dan grafik 3.1.
Tabel 3.2
Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm)
Bulan Kaligesing Kenteng Kalibawang Samigaluh
Januari 434,7 248,1 359,8 333,3
Februari 470,8 241,4 396,2 389,1
Maret 363,6 208,2 302,2 401,9
April 306,0 180,2 174,8 237,6
Mei 159,6 89,4 98,3 134,5
Juni 59,7 36,5 61,0 48,4
Juli 59,0 20,2 22,7 43,3
Agustus 2,8 7,0 19,4 17,1
September 10,8 10,0 11,4 11,9
Oktober 154,0 97,9 184,4 211,7
November 290,6 172,2 189,7 292,5
Desember 613,8 254,9 300,1 347,5
Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008
Gambar 3.2
Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan – bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi.
3.2.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi. Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
T max = 32,11 – 0,00618*h
T min = 23,09 – 0,00642*h (6)
Keterangan : Tmax/min : suhu udara maksimum/minimum
Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006)
h : ketinggian tempat (mdpl)
23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum 32,11 dan 0,00618 : tetapan untuk perhitungan suhu maksimum Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus () dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah
Ketinggian Suhu maksimum (oC) Suhu minimum (oC)
Sumber: Hasil analisis, 2008
Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter. Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17 hingga 30 oC untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 oC relatif cukup untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan tanah yang tinggi di daerah penelitian.
3.2.3 Tipe Iklim
a. Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan. b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan. c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan.
Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut:
Rata-rata jumlah bulan kering
Q = X 100% (7)
Rata-rata jumlah bulan basah
Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q
Golongan Nilai Q Keterangan
A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah
Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)
Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian
Stasiun Rata-rata bulan basah
Rata-rata bulan kering
Q Golongan Keterangan
Samigaluh 8 4 0,428 C Agak basah
Kalibawang 7 3 0,714 D Sedang
Kenteng 6 4 0,667 D Sedang
Kaligesing 8 4 0,5 C Agak basah
Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.
3.3 Geologi
Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian
No. Formasi Batuan Kode Litologi Waktu
pembentukan/pengendapan
1. Andesit Tua Tmoa Breksi volkanik (lahar) dengan sisipan lava andesit dan batupasir tufan.
Oligosen Akhir – Miosen Awal
2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir
gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu
Miosen Awal– Tengah
3. Endapan koluvial
Qc Material koluvial hasil rombakan formasi andesit tua
Pleistosen-Holosen 4. Endapan Merapi
Muda
Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava
Pleistosen-Holosen (Kuarter) Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)
3.4 Geomorfologi
dan
Bentuk
Lahan
Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan, terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar. Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan tingkat pengikisan bervariasi.
Tabel 3.7
Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian
Nama Bentuk Lahan Luas (Ha)
Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4 Dataran Aluvial Sungai Tinalah 2,3
Dataran Fluvio-Koluvial 2,9
Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang 35,7 Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping
Terkikis Kuat 53,7
Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang 27
Lembah Antar Perbukitan 35,5
Lembah Sungai Tinalah 4,6
Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat 16,4 Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 11,8
Lereng Kaki Koluvial 46,8
Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral 0,4 Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip 7,4 Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah 24 Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis
Ringan 7
Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 48,3 Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 29,1 Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 30,5 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan 18,3 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang 7,7 Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah
3.5 Hidrologi
lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama.
Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan. Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar. Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal, sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan. Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.
3.6 Tanah
dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan perkembangannya juga berbeda.
Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol. Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo.
1. Entisol
2. Inceptisol
Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi yang lebih rendah.
3. Alfisol
3.7
Vegetasi dan Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni, akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai, ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng kaki dan dataran aluvial.
Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah
No Penggunaan lahan Luas (Ha)
1 Sawah irigasi 48,1
2 Sawah tadah hujan 463,0
3 Kebun 3029,9
4 Ladang 367,2
5 Permukiman 450,4
6 Semak 72,0
Total 4430,5
Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).
3.8 Kependudukan
dan
Sosial-Ekonomi
Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo.
Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah
Nama Desa Laki-Laki (jiwa)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.
4.1
Restorasi Citra
Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu. Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik.
4.1.1 Koreksi Geometrik
kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC, informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde 1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya, maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM (digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi. Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada Gambar 4.1.
(a) (b)
Gambar 4.1.
Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik (b)
2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi yang tinggi.
Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi
4.1.2 Koreksi Radiometrik