• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skrining dan penerapannya pada penderita (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skrining dan penerapannya pada penderita (1)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SKRINING ISPA DI PUSKESMAS KOTA BANJARBARU

(2)

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

2015

TUGAS BESAR EPIDEMIOLOGI

SKRINING

Dan Penerapannya pada Proses Skrining ISPA Pasien Balita di daerah Banjarbaru.

Dosen Mata Kuliah:

Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 6:

Achmad Saufi Ridhoni H1E114001

Dini Amalia H1E114005

Evi Rizki Setyowati H1E114006 Firdaus Oktafyanza H1E114008

(3)

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN BANJARBARU

(4)

STRUKTUR JABATAN

Nova Annisa, S.Si.,MS

Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc

Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, ST., MT.

Dr. Rony Riduan, ST., MT.

Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah,

Dipl.hyp, ST., M.Kes

Achmad Saufi Ridhoni

Dini Amalia

Evi Rizki Setyowati

(5)

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :

1. Rektor Universitas Lambung Mangkurat :

Prof. Dr. H. SutartoHadi, M.Si, M.Sc.

2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung

Mangkurat :

Dr-Ing Yulian FirmanaArifin, ST., MT.

3. Kepala Prodi TeknikLingkungan Universitas

Lambung Mangkurat :

(6)

4. Dosen Mata Kuliah Epidemiologi :

Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp,

ST., M.Kes

5. Dosen Mata Kuliah Epidemiologi : .

Nova Annisa, S.Si.,MS

6. AnggotaKelompok :

Achmad Saufi Ridhoni

Dini Amalia

Evi Rizki Setyowati

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya makalah yang berjudul “Skrining” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah Epidemeologi. Didalam makalah ini Penulis memaparkan definis skrining serta contoh pelaksanaan skrining pada kasus-kasus yang berkaitan dalam teknik lingkungan. Dalam penulisan makalah ini, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis merasa berkewajiban dan perlu menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan, kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M. Si, M. Sc selaku rektor Universitas Lambung Mangkurat.

2. Bapak DR. Ing. Yulian Firmana Arifin, ST. MT selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

3. Bapak Chairul Irawan, ST., MT., Ph.D selaku PD I Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

4. Ibu Maya Amalia, M.Eng selaku PD II Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

5. Bapak Nurhakim, ST. MT selaku PD III Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

6. Bapak Rony Ridwan, ST. MT selaku Kepala Prodi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat.

7. Ibu Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes dan Ibu Nova Anissa, S.Si. Ms selaku Dosen mata kuliah Epidemiologi.

8. Ibu Puspawati, Amd selaku pengelola data program ISPA Dinas Kesehatan Banjarbaru.

9. Bapak Taufik Riyadi, SKM.MM selaku Kepala Puskesmas Banjarbaru dan Ibu Endah Setiyani, Amk selaku pengelola P2 ISPA Puskesmas Banjarbaru. 10. Kedua orang tua dan dan keluarga yang telah mmeberikan doa dan

dukungan dalam pengerjaan makalah ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

(8)

RINGKASAN

ISPA di indonesia menjadi salah satu penyebab kematian. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh asap karena kebakaran hutan. Terutama daerah kalimantan apabila musim kemarau banyak masyarakat yang membuka lahan baru dengan membakar hutan, sehingga menimbulkan asap.

Sarana kesehatan yang banyak di kunjungi masyarakat Indonesia biasanya puskesmas. Puskesmas memberi layanan ata rung yang berbeda terhadap seseorang yang terkena ISPA. Oleh karena itu, metode yang digunakan mengunjungi puskesmas terdekat untuk wawancara dan meminta data.

(9)

DAFTAR SINGKATAN

1. ACS : American Cancer Society

2. ACOG : American College of Obstetricians and Gynecologist

3. ARI : Acute Respiratory Infection

4. ASI : Air Susu Ibu

5. BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah

6. DES : Dethylstibestrol

7. EKG : Elektrokardiogram

8. HCG : Human Chorionic Gonadotropin

9. HPV : Human Papilloma Virus

10.IMS : Infeksi Menular Seksual

11.ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut 12.RSV : Respiratory Synctial Virus

13.TBC : Tuberculosis

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hasil Skrining...16 Tabel 2.2 Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur Balita...33 Tabel 3.1 Laporan Januari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...34 Tabel 3.2 Laporan Februari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...35 Tabel 3.3 Laporan Maret Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...35 Tabel 3.4 Laporan April Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...36 Tabel 3.5 Laporan Mei Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...37 Tabel 3.6 Laporan Juni Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...37 Tabel 3.7 Laporan Juli Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)...38 Tabel 3.8 Laporan Agustus Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining...9

Gambar 2.2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas...14

Gambar 2.3 Perhitungan Validitas Uji Skrining...16

Gambar 2.4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas...16

(12)

DAFTAR GRAFIK

(13)

DAFTAR ISI

2.3. Sasaran dan Persyaratan Pelaksanaan Skrining...7

(14)

5.2 Saran...46

DAFTAR PUSTAKA...47

CONTOH SOAL...50

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes RI, 2010).

ISPA di Indonesia masih menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% - 30% dari seluruh kematian anak Balita. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% -60% kunjungan berobat di Puskesmas dan sebanyak 15% - 30 % kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Ditinjau dari prevalensinya pada tahun 1999 di Indonesia, diketahui bahwa penyakit saluran pernafasan menempati urutan pertama dari 10 penyakit rawat jalan dan menjadi urutan kedua pada tahun 2007 dan menjadi pertama kembali pada tahun 2008. Berdasarkan hasil survei kesehatan nasional (Surkesnas) pada tahun 2008 menunjukkan kematian bayi akibat ISPA sebesar 28%, artinya ada 28 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA. Tahun 2009 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia mencapai 46%, artinya ada 46 bayi dari 100 bayi dapat meninggal akibat penyakit ISPA (Argadireja, 2015).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud skrinning?

(16)

3. Apa sasaran dan persyarat pelaksanaan skirinning? 4. Bagaimana proses pelaksanaan skrinning?

5. Seperti apa penerapan skrinning pada sebuah kasus?

1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Memahami pengertian Skrining.

2. Mengetahui tujuan dan manfaat skrining

3. Mengetahui sasasran dan syarat pelaksanaan skrining. 4. Mengetahui proses pelaksanaan skrining

5. Memahami penerapan skrining pada kasus.

1.4 Manfaat

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skrining

Di Indonesia kasus ISPA juga masih menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat ISPA masih tinggi. Angka kematian pneumonia juga masih tinggi, yaitu kurang 5 per 1000 balita (Rahajoe dkk, 2012). Pencegahan primer merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit, tetapi bila hal ini tidak mungkin dilakukan maka deteksi tanda, gejala, dan pengobatan penyakit secara tuntas merupakan pertahanan kedua. Untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dan menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut.

1. Deteksi tanda dan gejala dini.

Untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala penyakit secara dini dibutuhkan pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga kesehatan serta masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru dapat segera diketahui dan diberikan pengobatan. Biasanya, penderita datang untuk mencari pengobatan setelah menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan penderita.

2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala.

Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji skrining terhadap orang-orang yang tampaknya sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang datang untuk mencari pengobatan setelah timbulgejala relatif sedikit sekali dibandingkan dengan penderita tanpa gejala (Mubarak, 2012).

(18)

tinggi serta pada keadaan yang kritis dan serius yang memerlukan penanganan segera. Namun demikian, masih harus dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk menentukan diagnosis definitif (Chandra, 2009).

Skrinning adalah usaha mendeteksi atau menemukan penderitaan penyakit tertentu yang gejalanya tidak terlalu nampak dalam suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu melalui suatu tes atau pemeriksaan secara sederhana untuk dapat memisahkan mereka yang betul-betul sehat terhadap mereka yang kemungkinan besar menderita. Skrinning test merupakan suatu tes sederhana yang diterapkan pada sekelompok populasi tertentu (yang relatif sehat) dan bertujuan untuk mendeteksi mereka yang mempunyai kemungkinan cukup tinggi menderita penyakit yang sedang diamati (disease under study) sehingga kepada mereka dapat dilakukan diagnosis lengkap dan selanjutnya bagi mereka yang menderita penyakit tersebut dapat diberikan pengobatan secara dini (Noor, 2008).

Skrining adalah suatu usaha mencari/mendeteksi penderita penyakit tertentu yang tanpa gejala dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu pengujian pemeriksaan, atau prosedur lain yang dilakukan secara cepat unntuk memeriksa individu yang tampaknya sehattetapi mungkin menderita penyakit. Individu yang ditemukan positif atau tersangka dengan menderita suatu penyakit harus segera dirujuk ke dokter untuk kepastian diagnosa dan pengobatan (Weraman, 2010).

(19)

dilakukan belakangan secara terpisah, jika hasil dari skrining tersebut menunjukan hasil yang positif (Noor, 2008).

Skrinning atau penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita dari suatu populasi tertentu. Skrining dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu.

Selain beberapa pengertian diatas skrining bisa diartikan sebagai:

 Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien simptomatik yang

diagnosisnya belum dapat dipastikan

 Agen kimiawi dapat di-skrining dengan pengujian laboratorium atau surveilans

epidemiologi untuk mengidentifikasi zat-zat yang diperkirakan bersifat toksik

 Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai

kondisi tanpa bertujuan untuk pengendalian penyakit dalam waktu dekat

 Skrining adalah pengidentifikasian orang yang beresiko tinggi terhadap suatu

penyakit (Harlan, 2006).

2.2 Tujuan dan Manfaat Skrining

Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi suatu penanda awal perkembangan penyakit sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan istilah “penyakit” untuk menyebut setiap peristiwa dalam proses penyakit, termasuk perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan hanya ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi individu-individu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit atau akibat-akibat penyakit (Morton, 2008).

(20)

Skrining adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit tidak menular, seperti tingkatan prevensi penyakit, deteksi dan pengobatan dini yang termasuk dalam tingkat prevensi sekunder. Berikut tujuan dari skrining secara lebih detail:

1. Untuk Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.

2. Untuk Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.

3. Untuk Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.

4. Untuk Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan terhadap gejala dini.

5. Untuk Mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinis dan peneliti. perlindungan kesehatan masyarakat. Misalnya penggunaan pemeriksaan x-ray massal untuk mendeteksi tuberkolosis paru (Weraman, 2010).

(21)

Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang dikeluarkan relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu melalui tes skrining dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat dan situasi penyakit dalam masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit yang akan timbul. Skrining juga dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala ditemukan sedangkan pengobatan lebih efektif ketika penyakit tersebut sudah terdeteksi keberadaannya (Chandra, 2009).

2.3 Sasaran dan Syarat Skrining

Uji skrining seringkali bukan merupakan uji diagnostik dan biasanya hanya berusaha untuk mengidentifikasi sejumlah kecil individu yang berisiko tinggi untuk mengalami kondisi tertentu. Skrining penyakit merupakan contoh dari pencegahan sekunder, meskipun skrining yang bersifat pencegahan primer juga dapat dilakukan berupa skrining untuk mendapatkan kelompok yang memiliki faktor risiko penyakit, misalnya skrining obesitas, skrining hiperkolesterolemia sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler, dan lain-lain. Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang orang asimptomatik yang beresiko mengidap gangguan kesehatan serius. Sasaran penyaringan adalah penyakit kronis seperti :

 Infeksi Bakteri (Lepra, TBC dll.)

 Infeksi Virus (Hepatitis)

 Infeksi parasit (malaria, mikrofilaria, toxoplasma, dll)

 Penyakit Non-Infeksi : (Hipertensi, Diabetes mellitus, Jantung Koroner, Ca

Serviks, Ca Prostat, Glaukoma)

 HIV-AIDS

(Harlan, 2006).

Untuk dapat melakukan proses skrining, diharuskan memenuhi beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes skrining, antara lain :

(22)

b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi mereka yang dinyatakan menderita penyakit sesudah mengalami tes. Keadaan penyediaan obat dan jangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.

c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang dinyatakan positif terserang penyakit dan ketersediaan biaya pengobatan bagi mereka yang dinyatakan positif dari hasil diagnosis klinis.

d. Tes penyaringan, terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan atau tes khusus. e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat

sensitivitas dan spesifitasnya karena kedua hal tersebut merupakan standar untuk mengetahui apakah disuatu daerah yang dilakukan skrining berkurang atau malah bertambah frekuensi endemiknya.

f. Semua bentuk atau teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum.

g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui denan pasti.

h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.

i. Biaya yang digunakan dalam melakukan tes penyaringan sampai pada titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa melakukan tes tersebut.

j. Harus memungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) tentangpenyakit tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan. Melihat hal tersebut penyakit HIV/AIDS dan Ca paru serta penyakit yang tidak diketahui pasti perjalanan penyakitnya tidak dibenarkan untuk dilakukan skrining, namun jika dilihat dari sisi lamanya perkembangan penyakit, HIV/AIDS merupakan penyakit yang memenuhi persyaratan skrining (Noor, 2008).

2.4 Proses Pelaksanaan Skrining

Bentuk pelaksanaan skrining diantaranya adalah:

(23)

2. Selective screening adalah skrining secara selektif berdasarkan kriteria tertentu, contoh pemeriksaan Ca paru pada perokok; pemeriksaan Ca servik pada wanita yang sudah menikah.

3. Single disease screening adalah skrining yang dilakukan untuk satu jenis penyakit.

4. Multiphasic screening adalah skrining yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas

(Harlan, 2006).

Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining

(24)

Uji skrining terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko tinggi menderita penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang tersebut tidak menderita penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negatif maka dianggap tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi hasil pemeriksaan yang negatif dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik. Ini berarti bahwa proses skrining adalah pemeriksaan pada tahap pertama.

Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk skrinig dapat berupa pemeriksaan laboratorium atau radiologis, misalnya :

a. Pemeriksaan gula darah.

b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC. Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan:

1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut (pemeriksaan diagnostik).

2. Tidak mahal.

3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan.

4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa. (Budiarto dan Anggraeni, 2003).

Namun jika dalam pelaksanaanya tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit, usia saat terjadinya stadium lanjut penyakit atau kematian tidak akan berubah, walaupun ada perolehan lead time, yaitu periode dari saat deteksi penyakit (dengan skrining) sampai dengan saat diagnosis seharusnya dibuat jika tidak ada skrining.

Contoh dari pelaksanaan skrinning diantaranya adalah: 1. Mammografi dan Termografi; Untuk mendeteksi Ca Mammae.

Kadangkala dokter-dokter juga menganjurkan penggunaan dari screening magnetic resonance imaging (MRI) pada wanita-wanita lebih muda dengan jaringan payudara yang padat.

(25)

digunakan yaitu; spatula/sikat halus, spekulum, kaca benda, dan mikroskop. Mengapa perlu skrining? Kanker leher rahim merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada wanita setelah kanker payudara. Kanker ini termasuk penyebab kematian terbanyak akibat kanker.

Secara internasional setiap tahun terdiagnosa 500.000 kasus baru. Seperti halnya kanker yang lain, deteksi dini merupakan kunci keberhasilan terapi, semakin awal diketahui, dalam artian masih dalam stadium yang tidak begitu tinggi atau bahkan baru pada tahap displasia atau prekanker, maka penanganan dan kemungkinan sembuhnya jauh lebih besar. Meskipun sekarang ini sensitivitas dari pap smear ini ramai diperdebatkan dalam skrening kanker leher rahim, Pap smear ini merupakan pemeriksaan non invasif yang cukup spesifik dan sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan pada sel-sel di leher rahim sejak dini, apalagi bila dilakukan secara teratur.

Cervicography dan tes HPV DNA diusulkan sebagai metode alternatif bagi skrining kanker leher rahim ini, karena kombinasi antara pap smear dan cervicography atau tes HPV DNA memberikan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding pap smear saja. Pada umumnya seorang wanita disarankan untuk melakukan pap smear untuk pertama kali kira-kira 3 tahun setelah melakukan hubungan seksual yang pertama kali. American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) merekomendasikan pap smear dilakukan setiap tahun bagi wanita yang berumur 21-29 tahun, dan setiap 2-3 tahun sekali bagi wanita yang berumur lebih dari 2-30 tahun dengan catatan hasil pap testnya negatif 3 kali berturut-turut.

Namun apabila seorang wanita mempunyai faktor resiko terkena kanker leher rahim (misalnya : hasil pap smear menunjukkan prekanker,terkena infeksi HIV, atau pada saat hamil ibu mengkonsumsi diethylstilbestrol (DES) maka pap smear dilakukan setiap tahun tanpa memandang umur. Batasan seorang wanita untuk berhenti melakukan pap smear menurut American Cancer Society (ACS) adalah apabila sudah berumur 70 tahun dan hasil pap smear negatif 3 kali berturut-turut selama 10 tahun.

3. Sphygmomanometer dan Stetoscope; Untuk mendeteksi hipertensi.

(26)

menyebabkan komplikasi yang cukup parah tanpa ada gejala sebelumnya. Tekanan darah tinggi juga dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Tekanan darah normal adalah kurang dari 120/80. Tekanan darah cukup tinggi adalah 140/90 atau lebih. Dan tekanan darah di antara kedua nilai tersebut disebut prehipertensi. Seberapa sering tekanan darah harus diperiksa tergantung pada seberapa tinggi nilainya dan apa faktor-faktor risiko lainnya yang dimiliki.

4. Photometer; alat untuk memeriksa kadar gula darah melalui tes darah. Mula-mula darah diambil menggunakan alat khusus yang ditusukkan ke jari. Darah yang menetes keluar diletakkan pada suatu strip khusus. Strip tersebut mengandung zat kimia tertentu yang dapat bereaksi dengan zat gula yang terdapat dalam darah. Setelah beberapa lama, strip tersebut akan mengering dan menunjukkan warna tertentu. Warna yang dihasilkan dibandingkan dengan deret (skala) warna yang dapat menunjukkan kadar glukosa dalam darah tersebut. Tes ini dilakukan sesudah puasa (minimal selama 10 jam) dan 2 jam sesudah makan.

5. Plano Test; Untuk mendeteksi kehamilan (memeriksa kadar HCG dalam darah).

6. EKG (Elektrokardiogram); Untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner. 7. Pita Ukur LILA; Untuk mendeteksi apakah seorang ibu hamil menderita

kekurangan gizi atau tidak dan apakah nantinya akan melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) atau tidak.

8. X-ray, pemeriksaan sputum BTA; Untuk mendeteksi penyakit TBC

9. Pemeriksaan fisik Head to Toe; Untuk mendeteksi adanya keadaan abnormal pada ibu hamil.

10. Rectal toucher; Yang dilakukan oleh dokter untuk mendeteksi adanya ‘cancer prostat’. Tes skrining mampu mendeteksi kanker ini sebelum gejala-gejalanya semakin berkembang, sehingga pengobatan/treatmennya menjadi lebih efektif. Pria dengan resiko tinggi terhadap kanker prostat adalah pria usia 40 tahunan.

(27)

POPULASI

SAKIT DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT

SEHAT,

DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (POSITIF PALSU)

SAKIT, DIKLASIFIKASI SEBAGAI SAKIT SAKIT,

DIKLASIFIKASI SEBAGAI SEHAT (NEGATIF PALSU)

k (Bustan, 2000).

Kriteria evaluasi 1. Validitas

Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%. Validitas adalah kemampuan dari test penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar sakit terhadap yang sehat. Besarnya kemungkinan untuk mendapatkan setiap individu dalam keadaan yang sebenarnya (sehat atau sakit). Validitas berguna karena biaya screening lebih murah daripada test diagnostik. Komponen Validitas diantaranya adalah:

 Sensitivitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan

mereka yang positif betul-betul sakit.

 Spesivicitas adalah kemampuan dari test secara benar menempatkan

(28)

Gambar 2. 2 Hubungan antara Sensitivitas dan Spesifisitas (kurva atas menggambarkan distribusi diantara individu sehat, kurva bawah distribusi

diantara individu sakit).

Gambar diatas mengilustrasikan secara skematis interdependensi (saling ketergantungan) dari sensitifitas dan spesifitas. asumsinya adalah bahwa diagnosis didasarkan pada suatu variabel terukur yang distribusinya untuk bagian populasi yang sakit dan sehat berbeda. Individu-individu yang nilainya diatas titik potong (cut-off point) k dari ukuran diagnosis diklasifikasi sebagai sakit. Bila area dibawah tiap grafik sama dengan 100%, bagian kiri dari grafik yang diatas sesuai dengan spesifitas dan bagian kanan dari grafik yang dibawah sesuai dengan sensitivitas. Bila persyaratan untuk seorang individu diklasifikasi sebagai sakit diperketat, yaitu bila k digerakkan kekiri, sensitivitas akan berkurang.

Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat diagnostik diluar tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas meningkat, maka spesifisitas akan menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan penyaringan, apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat (Budiarto dan Anggraeni, 2003).

Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values). Nilai prediktif adalah besarnya artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai prediktif negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit.

Rumus:

(29)

 Nilai Prediktif Negatif (NPN)

Nilai Prediktif Negatif (NPN) atau Negative Prediktive Value (NPV) adalah porsentase dari mereka dengan hasil tes negatif yang benar benar tidak sakit, sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai prediktif positif dan sebaiknya.

Rumus:

NPN = NS / (NS + NP)

Tabel 2. 1 Hasil Skrining

(30)

Gambar 2. 3 Perhitungan Validitas Uji Skrining

Gambar 2. 4 Contoh Perhitungan Spesifisitas Sensitivitas

Gambar 2. 5 Contoh Perhitungan Spesifisitas (Budiarto dan Anggraeni, 2003).

(31)

Jika tes yang dilakukan secara kontinyu menunjukan hasil yang konsisten, maka dapat dikatakan reliable. Variabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa factor :

1. Variabilitas yang dapat ditimbulkan oleh: a. Stabilitas reagen

b. Stabilitas alat ukur yang digunakan

Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera dan diuji ulang ketepatannya.

2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit atau status penyakit dalam masa tunas. Misalnya: lelah, kurang tidur, marah, sedih, gembira, penyakit yang berat, dan penyakit yang sedang bertunas. Umumnya variasi ini sulit untuk diukur terutama faktor psikis.

3. Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:

a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh orang yang sama.

b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang.

Upaya untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan dengan mengadakan:

1. Standarisasi reagen dan alat ukur. 2. Latihan intensif pemeriksa.

3. Penentuan criteria yang jelas.

4. Penerangan kepada orang yang diperiksa. 5. Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.

3. Yield

Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari skrining. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Budiarto, 2003):

1. Sensitivitas alat skrining.

2. Prevelansi penyakit yang tidak tampak.

(32)

4. Kesadaran masyarakat.

Bila alat yang digunakan untuk skrining mempunyai sensitivitas yang rendah, akan dihasilkan sedikit negatif semu yang berarti sedikit pula penderita yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa skrining dengan yield yang rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai sensitivitas yang tinggi, akan menghasilkan yield yang tinggi. Jadi, sensitivitas alat dan yield mempunyai korelasi yang positif. Makin tinggi prevelensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat akan meningkatkan yield, terutama pada penyakit kronis seperti TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes mellitus. Bagi penyakit-penyakit yang jarang dilakukan skrining akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat. Sebaliknya jika suatu penyakit telah dilakukan skrining sebelumnya maka yield akan rendah karena banyak penyakit tanpa gejala yang telah didiagnosis. Kesadaran yang tinggi terhadap masalah kesehatan masyarakat akan meningkatkan pastisipasi dalam uji skrining sehingga kemungkinan banyak penyakit tanpa gejala yang dapat terdeteksi dengan demikian yield akan meningkat.

Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan saat ingin melakukan kegiatan skrining yaitu:

1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama.

2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang terungkap saat proses skrining dilakukan.

3. Harus tersedia akses kefasilitasan dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan.

4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali dengan keadaan awal dan selanjutnya dapat diidentifikasi.

5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit. 6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum.

7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami termasuk fase regular dan perjalanan penyakit dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji.

(33)

9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi.

10. Screening jangan dijadikan kegiatan yang sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses yang teratus dan berkelanjutan.

11. Alat untuk penanganan.

1. Lead Time Bias adalah interval waktu antara keadaan dapat dideteksi dengan uji skrining dan saat umumnya keadaan dapat dideteksi melalui keluhan adanya gejala awal. Deteksi melalui skiring terjadi pada umumnya lebih awal diandingkan pada saat diagnosis dapat dilakukan, tanpa menunda saat dengan mereka yang ditemukan diantara periode penyaringan karena upaya pribadi.

3. Patient Self-selection Bias yaitu individu-individu yang berperan dalam proses penyaringan pasti memiliki karakteristik yang berbeda dengan mereka yang tidak. Karakteristik tersebut mungkin berpengaruh kepada kelangsungan hidup.

(Budiarto, 2003).

2.5 Skrinning ISPA 2.5.1 Pengertian ISPA

(34)

pilek), gejala sedang (sesak, wheezing) bahkan sampai gejala yang berat (sianosis, pernapasan cuping hidung). ISPA yang berat jika mengenai jaringan paru-paru dapat menyebabkan tejadinya pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian nomor satu pada balita (Riskesdas, 2013).

Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan terbanyak menimbulkan akibat dan kematian (Gouzali, 2011). ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab, dingin atau cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)

Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup.

1) Faktor-faktor terjadinya ISPA

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

a. Faktor lingkungan

1. Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak didalm rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).

2. Ventilasi rumah

(35)

bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan, mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010).

3. Kepadatan hunian rumah

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini. (Maryunani,2010).

b. Faktor individu anak 1. Umur anak

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 tahun. (Maryunani, 2010).

2. Berat badan lahir

(36)

rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010).

3. Status gizi

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).

4. Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010).

5. Status Imunisasi

(37)

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Maryunani, 2010).

c. Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010).

2.5.2 Etiologi

Jumlah penderita infeksi pernafasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi dan infeksinnya mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah kesehatan yang ada.

1. Agen penginfeksi

System pernapasan menjadi terpengaruh oleh bermacam-macam organism terinfeksi. Banyak infeksi disebabkan oleh virus, terutama respiratory synctial virus (RSV). Agen lain melakukan serangan pertama atau kedua melibatkan grup A B-Hemolytic streptococcus, staphylococci, haemophilus influenza, chalaydia trachomatis, mycoplasma, dan pneumococci.

2. Umur

(38)

membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua tetapi menyebabkan sakit yang hebat disistem pernafasan bagian bawah atau batuk asma pada balita.

3. Ukuran

Ukuran anatomi mempengaruhi respon infeksi system pernafasan. Diameter saluran pernafasan terlalu kecil pada anak-anak akan menjadi sasaran radang selaput lendir dan peningkatan produksi sekresi. Disamping itu jarak antara struktur dalam system yang pendek pada anak-anak, walaupun organisme bergerak dengan cepat ke bawah system pernafasan yang mencakup secara luas. Pembuluh Eustachius relative pendek dan terbuka pada anak kecil dan anak muda yang membuat pathogen mudah untuk masuk ketelinga bagian tengah.

4. Daya tahan

Kemampuan untuk menahan organisme penyerang dipengaruhi banyak faktor. Kekurangan system kekebalan pada anak beresiko terinfeksi. Kondisi lain yang mengurangi daya tahan tubuh adalah malnutrisi, anemia, kelelahan dan tubuh yang menakutkan. Kondisi yang melemahkan pertahanan pada system pernafasan dan cenderung yang menginfeksi melibatkan alergi seperti alergi rhinitis, asma, kelainan jantung yang disebabkan tersumbatnya paru-paru, dan cystic fibrosis. Partisipasi hari perawatan, khususnya jika pelaku perokok, juga meningkat kemungkinan terinfeksi.

5. Variasi musim

Banyaknya pathogen pada system pernafasan yang muncul dalam wabah selama bulan musim semi dan dingin , tetapi infeksi mycoplasma sering muncul berkaitan dengan asma (seperti asma bronchitis ) frekuensi banyak muncul selama cuaca dingin. Musim dingin dan semi adalah tipe “Musim RSV”.

(Rahmawati, 2012).

2.5.3 Tanda dan Gejala ISPA

Menurut Widoyono (2008:155), seorang anak yang menderita ISPA bisa menunjukan bermacam-macam tanda dan gejala, seperti batuk, bersin, serak sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, bisa juga mual, muntah, tidak mau makan, badan lemah dan sebagainya.

(39)

Tanda dan gejala untuk ISPA ringan antara lain batuk, pilek, suara serak, dengan atau tanpa panas atau demam. Tanda yang lainnya adalah keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari dua minggu, tanpa rasa sakit pada telinga.

b. Tanda dan Gejala ISPA sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang meliputi tanda dan gejala pada ISPA ringan ditambah satu atau lebih tanda dan gejala seperti pernafasan yang lebih cepat (lebih dari 50 kali per menit), wheezing (nafas menciut-ciut), dan panas

39oC atau lebih. Tanda dan gejala lainnya antara lain sakit telinga, keluarnya cairan dari telinga yang belum lebih dari dua minggu, sakit campak.

c. Tanda dan Gejala ISPA berat

Tanda dan gejala ISPA berat meliputi tanda dan gejala ISPA ringan atau sedang ditambah satu atau lebih tanda dan gejala seperti penarikan dada ke dalam pada saat menarik nafas yang merupakan tanda utama ISPA berat, stridor, dan tidak mampu atau tidak mau makan. Selain itu tanda dan gejala dapat disertai kulit kebiru-biruan (sianosis), nafas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak kembang kempis waktu bernafas), kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, terdapatnya membran (selaput) diferti.

(Widoyono, 2008).

2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi ISPA

Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya ISPA, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Adapun faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh balita itu sendiri. Faktor intrinsik adalah faktor yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor intrinsik terdiri dari status gizi, status imunisasi balita, riwayat BBLR, umur balita.

1. Status Gizi

(40)

Notoatmodjo, 2007:231). Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh (I.G.N Ranun, 2005).

Imunisasi lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA. Campak, pertusis, difteri dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka peningkatan cakupan imunisasi seperti diifteri, pertusis serta campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan penyakit tersebut. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2009).

3. Riwayat BBLR

(41)

dan stress menurun, maka sistem imun dan antibodi berkurang, sehingga mudah terserang infeksi. Pada anak hal ini dapat mengakibatkan kematian (Almatsier, 2004).

4. Umur Balita

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari 1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA. Hal ini disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit. Pneumonia pada anak balita sering disebabkan virus pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi yang kurang lengkap, pemberian nutrisi yang kurang baik, tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan terhadap asap dapur, asap rokok, serta penderita pneumonia lainnya (Misnadiarly, 2008).

b. Faktor Ekstrinsik

Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya disebut faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman penyebab yang terdiri dari tiga unsur yaitu biologi, fisik dan sosial ekonomi yang meliputi kondisi fisik rumah, jenis bahan bakar, ventilasi, kepadatan hunian, care seeking, kebiasaan orang tua merokok, polusi asap dapur, lokasi dapur, pendidikan ibu, pekerjaan orang tua, dan pengahasilan keluarga.

Selain kondisi fisik rumah, faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita yaitu:

1. Status Ekonomi

(42)

dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang mana sebab dan mana akibat. Status ekonomi menentukan kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan, tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga, teknologi dll (Juli Soemirat, 2000). Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat, membayar transport dll (Soekidjo Notoatmodjo, 2002).

2. Pendidikan

Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampun individu yang optimal. Kualitas

pendidikan berbanding lurus dengan penyakit (Ahcmad Munib dkk, 2004).

Dalam Juli Soemirat Slamet (2002), menyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahn penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatn lingkungan dan informasi yang didapat tentang kesehatan Semakin rendah pendapatan ibu makan semakin tinggi resiko ISPA pda balita.

3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).

(43)

Untuk dapat merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku yang sehat, perlu pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Karena tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat dan terlindung dari penyakit (Juli Soemirat, 2009).

4. Pemberian ASI eksklusif

Bayi atau balita yang kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit- penyakit infeksi , termasuk diare dan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi bayi memerlukan perhatian yang serius. Gizi bagi bayi yang paling sempurna dan paling murah adalah Air Susu Ibu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). ASI adalah cairan hidup yag mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Bayi ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Utami Roesli, 2008).

5. Keberadaan Anggota Keluarga yang Menderita ISPA

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga meupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular sperti ISPA (Depkes RI, 2001).

6. Perilaku

(44)

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit (Depkes RI, 2003). Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007:137) menyatakan bahwa perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya. Perilaku kesehatan mencakup antara lain sebagai berikut:

1.

Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut, perilaku terhadap sakit dan penyakit yang dilakukan manusia, sesuai dengan tingkat- tingkat pencegahan penyakit antara lain:

a.

Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (Health promotion behavior), misalnya makan makanan bergizi dan olahraga.

b.

Perilaku pencegahan penyakit (Health prevention behavior), misalnya imunisasi untuk pencegahan penyakit.

c.

Perilaku pencarian pengobatan (Health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, rumah sakit) maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe).

(45)

3.

Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) yaitu respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kkehidupan, yang meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan dan unsur-unsur (zat gizi) yang terkandung didalanya, pengolahan makanan.

4.

Perilaku terhadap kesehatan lingkungan (environmental health behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku ini meliputi:

a.

Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen, manfaat dan pengguanaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.

b.

Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya.

c.

Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Termasuk didalamnya system pembunagan air limbah yang sehat serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.

d.

Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai dan sebagainya.

e.

Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor) dan sebagainya.

(Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

2.5.5 Skrining pada ISPA

Tata cara dalam melakukan skrining pada penderita ISPA adalah hitung nafas. Penghitungan frekuensi napas harus dilakukan selama 1 menit (60 detik) penuh. Frekuensi napas bayi umur <2 bulan tidak menentu. Kadang-kadang napasnya berhenti beberapa detik, diikuti periode napas cepat.

Untuk menyatakan bayi umur kurang dari 2 bulan bernapas cepat perhatikanlah bahwa:

 Apabila hasilnya kurang dari 60 kali per menit, anak tersebut tidak

mengalami napas cepat.

 Apabila hasilnya 60 kali per menit atau lebih, tunggulah beberapa menit

(46)

 Kalau hasil penghitungan kedua masih juga 60 kali per menit atau lebih

berarti napas cepat.

 Kalau hasil penghitungan kedua < 60 kali per menit, berarti tidak ada

napas cepat.

Sebelum mencari tanda selanjutnya: tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, stridor dan wheezing, perhatikan anak itu untuk menentukan saat menarik dan mengeluarkan napas. Hitung frekuensi napas anak dalam satu menit untuk menentukan apakah anak bernapas dengan cepat. Terdapat 3 (tiga) cara yang benar dalam menghitung frekuensi napas:

1) Gunakan timer untuk menghitung frekuensi napas. Caranya:

• Tentukan titik dimana Saudara akan melihat gerakan napas anak. • Tekanlah timer dan mulailah menghitung.

• Bunyi pertama menunjukkan 30 detik pertama.

Setelah terdengar bunyi panjang (bunyi kedua) yang menunjukkan waktu 1 menit (60 detik) penghitungan napas anak selesai.

Tabel 2. 2 Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur Balita

2) Menggunakan jam tangan yang mempunyai jarum detik. Bisa minta bantuan orang lain untuk memberi aba-aba setelah 60 detik, sehingga Saudara bisa sepenuhnya mengamati pernapasan anak. Kalau tidak ada orang lain yang bisa membantu, buatlah posisi jam sedemikian sehingga Saudara bisa melihat jarumnya dan sekaligus melihat gerak pernapasan anak.

3) Gunakan jam tangan dengan jarum detik atau jam digital. Hitung pernapasan sampai ke batas napas cepat (60, 50 atau 40 sesuai umur anak), kemudian segera melihat jam. Bila pernapasan anak normal, maka Saudara akan memerlukan waktu menghitung lebih dari satu menit.

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif atau metode pengumpulan data yang bertujuan untuk mengetahui proses dan tatacara yang umumnya dilakukan untuk melaksanakan kegiatan skrining terutama pada kasus ISPA pada balita kepada Puskesmas Banjarbaru sebagai salah satu dari puskesmas di daerah Banjarbaru yang data penderitanya termasuk dalam data rekapitulasi yang ada pada Dinas Kesehatan daerah Banjarbaru. Design penelitian yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. wawancara merupakan usaha kami untuk melakukan re-checking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Observasi yang dilakukan adalah observasi kelompok dimana pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan yang dilakukan secara kelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus. dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1

Jalan : Rambai Timur No. 1 Kelurahan : Guntung Paikat Kecamatan : Banjarbaru Selatan Kota : Banjarbaru

Provinsi : Kalimantan Selatan 3.2.2 Waktu Penelitian

(48)

BAB IV ISI

4.1 Hasil

Berdasarkan survei oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, rata-rata menangani 1.225 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) selama satu bulan sejak Januari-Agustus 2015. Disebutkan, kasus ISPA yang ditangani bulan Januari sebanyak 629 kasus, dan mulai melewati angka 1000 pada Februari 1.427 kasus, Maret 1.059 kasus, April 1.549 kasus, Mei 1.026 kasus, Juni 1.479 kasus, Juli 959 kasus, dan Agustus 679 kasus. Berikut tabel pasien ispa resmi dari data Dinas Kesehatan Banjarbaru;

Tabel 3. 1 Laporan Januari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

Jumlah 220,168 22,017 52 584 7 622

(49)

Tabel 3. 2 Laporan Februari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKESMAS PnddkJml ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

Jumlah 220,168 22,017 101 786 1,420 7

Pada bulan Februari penderita Pneumonia pada anak kurang dari 4 tahun meningkat dua kali lipat menjadi 101, dan penderita bukan Pneumonia juga meningkat menjadi 786. Penderita Pneumonia berusia diatas 5 tahun berjumlah sama dengan sebelumnya, sedangkan penderita bukan Pneumonia meningkat jauh menjadi 1.420 orang. Dalam sebulan, pasien meningkat jauh dengan total Februari ada 2.314 orang.

Tabel 3. 3 Laporan Maret Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

(50)

8 Pkm BBU 29,793 2,979 11 79 2 205

Jumlah 220,168 22,017 72 896 5 1,054

Pada bulan Maret penderita Pneumonia dibawah 4 tahun mengalami penurunan menjadi 72 orang akan tetapi penderita bukan Pneumonia meningkat menjadi 896 orang. Begitu pula dengan terjadinya penurunan pada pasien Pneumonia diatas 5 tahun mengalami penurunan menjadi 5, dan penderita bukan pneumonia menjadi 1.054 orang. Total bulan Maret menjadi 2.027 orang. Pada bulan Maret pun masih belum terjadi kabut asap, diperkirakan peningkatan sejak Februari karena cuaca yang berubah-ubah.

Tabel 3. 4 Laporan April Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

Ulin 17,421 1,742 14 162 0 35

2 Pkm Bjb 27,436 2,744 24 180 0 307

Jumlah 220,168 22,017 106 1,156 106 1,443

(51)

Tabel 3. 5 Laporan Mei Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKESMAS PnddkJml ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

Jumlah 220,168 22,017 83 817 7 1,019

Di bulan Mei terjadi penurunan angka pasien dengan total 2.026 pasien. Masih belum terjadi kabut asap akibat dari pembakaran lahan.

Tabel 3. 6 Laporan Juni Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

(52)

Pada bulan Juni pasien ISPA mencapai 2.589 orang. Masih belum terjadi kabut asap akibat dari pembakaran lahan.

Tabel 3. 7 Laporan Juli Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

Pneumo

Jumlah 220,168 22,017 77 653 9 950

Pada bulan Juli pasien ISPA mencapai 1.689. mengalami penurunan jumlah pasien yang lumayan pesat .

Tabel 3. 8 Laporan Agustus Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru (Balita)

No PUSKES ISPA <1-4 th ISPA > 5th

(53)

7 Pkm LA 13,310 1,331 10 75 1 106

8 Pkm BBU 29,793 2,979 7 94 0 136

Jumlah 220,168 22,017 52 754 5 675

Pada bulan Agustus pasien ISPA berjumlah 1.486 pasien. Meskipun mengalami penurunan jumlah pasien, tetapi asap sudah mulai muncul di kawasan Banjarbaru. Ditambah dengan cuaca ekstrim dimana siang hari sangat terik dan malam hari sangat dingin walaupun tidak ada hujan.

4.2 Pembahasan

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012), ISPA masih merupakan masalah kesehatan mayarakat di Indonesia. Secara nasional berdasarkan Riskesdas 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita (13,2%) setelah diare (17,2%) (Kemenkes RI, 2013).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kananda, dan negara-negara Eropa. Pneumonia di Indonesia, merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Pada tahun 2006 di Indonesia, WHO melaporkan sebanyak enam juta anak meninggal. Sehingga, untuk negara-negara berkembang perlu mewaspadai, sebab hampir setiap harinya terdapat 300 anak yang meregang nyawa karenanya (Siswono, 2006)

Sebuah kegiatan skrining dapat mencakup seluruh penduduk (skrining massal) dan dapat pula mentarget kelompok terpilih untuk mengantisipasi adanya peningkatan prevalensi dari penyakit yang diskrining (skrining tertarget) (Bailey et al., 2005). Adapun contoh penggunaan skrining pada kasus sebagai berikut:

Proses Skrining ISPA pada Balita dan Pengaruh Kabut Asap Terhadap Peningkatan Jumlah Pasien ISPA di daerah Banjarbaru.

(54)

dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran nafas yang dimulai dari hidung termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi pada saluran pernafasan; mulai dari rongga hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya (sinus, rongga telinga dan pleura) yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berlangsung selama 14 hari ditandai dengan batuk pilek, sakit tenggorokan disertai dengan demam atau tidak (Rasmaliah, 2004).

Pendataan para pasien ISPA di wilayah Banjarbaru dilakukan selama delapan bulan (Januari sampai Agustus). Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2 bulan kurang dari 5 tahun dan kelompok untuk umur kurang dari 2 bulan. Pada klasifikasi kelompok umur 2 bulan kurang dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia. Sementara pada kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas Pneumonia berat dan bukan Pneumonia. Pada pelaksanaan klasifikasi pasien pada anak usia 2 bulan kurang dari 5 tahun meliputi infeksi bawah ke dalam (chest indrawing). Sedangkan pada kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breathing), dengan kriteria antara lain frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing). Pada klasifikasi bukan Pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar Pneumonia. Pola tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana penderita Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti pharyngitis, tonsilitis dan otitis belum termasuk pada cakupan program.

(55)

dua per tiga terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi usia dua bulan pertama sejak kelahiran. Banyak penyakit yang sebenarnya tidak berbahaya, tetapi dapat mendatangkan kematian bila didukung oleh keadaan – keadaan yang kurang menguntungkan, seperti misalnya pada status gizi buruk, memadai atau pada keadaan lain.

Seorang anak berumur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan menderita pneumonia berat apabila dari pemeriksaan ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK).Anak yang diklasifikasikan menderita pneumonia berat harus dirujuk segera ke rumah sakit. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan dianjurkan memberi pengobatan pra rujukan, (misal atasi demam, wheezing, kejang dan sebagainya).

Sebagian besar anak yang menderita pneumonia tidak akan menderita pneumonia berat kalau cepat diberi pengobatan yang tepat. Seorang anak berumur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan menderita pneumonia apabila dari pemeriksaan:

• Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam • Adanya napas cepat:

 50 x/menit atau lebih pada anak umur 2 - <12 bulan

 40 x/menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun

Penderita pneumonia cukup diberikan pengobatan antibiotik di rumah. Petugas kemudian harus menasihati ibu untuk memberikan obat sesuai anjuran petugas kesehatan dan membawa kembali jika keadaan anak bertambah buruk serta jelaskan cara pemberian antibiotik. Petugas menganjurkan untuk kembali kontrol dalam 2 hari (48 jam) atau lebih cepat bila keadaan anak:

 Pernapasan menjadi cepat atau sesak

 Tidak dapat minum

 Sakitnya bertambah parah

Sebagian besar penderita batuk-pilek tidak disertai tanda-tanda bahaya atau tanda-tanda pneumonia (TDDK dan napas cepat). Hal ini berarti anak ini hanya menderita batuk-pilek dan diklasifikasikan sebagai “batuk bukan pneumonia”. Seorang anak berumur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan menderita batuk bukan pneumonia apabila dari pemeriksaan:

(56)

• Tidak ada napas cepat, frekuensi napas:

 Kurang dari 50 x/menit pada anak umur 2 - <12 bulan

 Kurang dari 40 x/menit pada umur 12 bulan - <5 tahun

Pengobatan anak yang menderita “batuk bukan pneumonia” bisa dirawat di rumah tanpa antibiotik. Jangan berikan antibiotik kepada anak dengan batuk atau pilek tanpa tanda-tanda pneumonia. Sebagian anak dengan batuk pilek bisa juga mempunyai masalah lain seperti:

 Anak dengan batuk akan sembuh sesudah satu atau dua minggu, tetapi

anak dengan batuk kronis (batuk lebih dari 3 minggu) mungkin menderita TB, asma, batuk rejan atau yang lain–lain.

Grafik 3. 1 Grafik penemuan penderita pneumonia per bulan kota Banjarbaru tahun 2015 dari Dinas Kesehatan kota Banjarbaru

(57)

bertempat di Jalan Rambai Timur No. 1 Kelurahan Guntung Paikat, Kecamatan Banjar Baru Selatan pada Rabu, 11 Nopember 2015.

Berdasarkan hasil pengumpulan data pasien yang berobat di Puskesmas Banjarbaru, rata-rata menangani 405 pasien setiap bulannya, dengan total 3.245 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) selama Januari-Agustus 2015. Data tersebut diperoleh dari 7 Kelurahan, yaitu Kemuning, Guntung Paikat, Loktabat Selatan, Banjarbaru Selatan, Sei. Ulin, Sei. Besar, Guntung Payung, Landasan Ulin, Liang Anggang, Cempaka. Pengelompokan pederita ISPA dibagi menjadi Pneumonia, Penumonia berat, dan Batuk bukan Pneumonia.

Pada bulan Januari, penderita Pneumonia pada bayi dan balita mencapai 12 kasus, penderita batuk bukan Pneumonia pada pasien balita juga terbilang tinggi, yakni 176 kasus, sedangkan penderita ISPA diatas usia 5 tahun sebanyak 367 kasus, sehingga total kunjungan Puskesmas dengan kasus ISPA pada bulan Januari mencapai 367 kasus. Pada bulan Februari, penderita pneumonia pada bayi dan balita meningkat menjadi 24 kasus, penderita batuk bukan Pneumonia pada pasien balita menjadi 206 kasus,dan penderita ISPA bukan Pneumonia diatas usia 5 tahun mencapai 403 kasus. Total kunjungan Puskesmas menjadi total 443 kasus. Puncaknya ada pada bulan April, yaitu dengan total kunjungan puskesmas sebanyak 473 kasus, dengan jumlah pasien Pneumonia pada bayi dan balita ada 25 kasus, dan penderita batuk bukan Pneumonia pada pasien balita tertinggi sebanyak 223 kasus.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Proses Pelaksaan Skrining
Tabel 2. 1 Hasil Skrining
Gambar 2. 3 Perhitungan Validitas Uji Skrining
Tabel 3. 1 Laporan Januari Program Pengendalian ISPA kota Banjarbaru tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi akademik pada proses pembelajaran

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pendugaan area kecil, menemukan metode potensial untuk diterapkan pada data BPS dan mengembangkan beberapa metode

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode tes bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh metode latihan stabilisasi

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran masing- masing stakeholder pariwisata yang terlibat dalam pengembangan wisata Pulau

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode sebagai berikut: (1) Metode Pengamatan bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan model

Penentuan kadar sari larut dalam air bertujuan untuk mengetahui keberadaan senyawa bioaktif yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak yang bersifat polar, sehingga semakin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesabaran pada pasien diabetes mellitus remaja di Purwokerto. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan pendekatan

Jenis Penelitian ini bersifat (field research), dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Tekhnik pengumpulan Data tediri dari