• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA.

A.Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Tahun 1976 merupakan titik penting dalam sejarah pengaturan hukum

terhadap narkotika di Indonesia. Karena pada tahun ini Indonesia mulai memiliki

undang-undang, yang merupakan pembaharuan hukum tentang narkotika yang telah

diproses dan diolah sesuai dengan tuntutan dan kondisi masa kini mengenai

pengaturan penggunaan narkotika dan ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban dan

penetapan pidana bagi siapa saja yang menyalahgunakan narkotika. Dengan kata lain

tahun 1976 merupakan tahun penting bagi hukum narkotika Indonesia dengan fakta

kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang

narkotika yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Juli 1976

Pada undang-undang narkotika ini terkandung warna hukum pidana sebagai

alat untuk prevensi umum dalam rangka penanggulangan narkotika di Indonesia. Hai

ini logis mengingat bahwa perjalanan dan perjuangan untuk mendapatkan

undang-undang narkotika nasional ini dipengaruhi kuat oleh gangguan dan ancaman

penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin merajalela dengan sasaran

korban para remaja, sehingga penyalahgunaan narkotika ditempatkan sebagai

masalah nasional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius. Mengapa

(2)

penyalahgunaan narkotika di Indonesia, terutama apabila dikaji dari segi hukum dan

perundangan, memerlukan jawab yang bersifat pemaparan undang-undang yang

berlaku sebelum dan ketentuan yang berpengaruh dalam mempersiapkan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Di samping itu penting pula untuk diungkapkan

faktor-faktor non hukum yang mendorong ditertibkannya undang-undang narkotika.64 Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan

obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk

menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius

(Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana

Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu

pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat

merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.

Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan

narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan

yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi

perikehidupan manusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial,

budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan

penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan

serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan

64

(3)

akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merupakan

pengganti dari peraturan tentang narkotika zaman Belanda yaitu Verdovende

Midellen Ordonantie Stbl 1927 Nomor: 28 jo No.53. Hal-hal yang menjadi

pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah sehubungan dengan

perkembangan lalu-lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang

menyebabkan cepatnya penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia.65 Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.

a.

Yang dimaksud dengan narkotika menurut angka 1 Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1976 yang jenis-jenisnya disebut pada angka 2 sampai dengan 13

mengandung unsur-unsur :

b.

Garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;

c.

Bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebut yang

dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan sebagai Narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat

menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina dan

Kokaina;

65

Hari Sasangka, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan praktii serta penyuluh masalah narkoba (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm.165

(4)

tersebut diatas.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara

umum dapat digambarkan sebagai berikut66

a) Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. :

b) Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut

c) Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya

d) Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan

narkotika.

e) Acara pidananya bersifat khusus.

f) Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan

narkotika.

g) Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika.

h) Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

i) Ancaman Pidana lebih berat

A.1. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula

bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan

perundang-66

(5)

undangan.67

Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi

menggunakan saran penal (hukum pidana) menyangkut 2 (dua) pokok pemikiran

yaitu masalah penentuan:

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur

berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian

dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur

beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976.

Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari

pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula

kriminalisasi di dalamnya.

68

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan;

2) Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar

Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam

persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman

Koka atau tanaman Ganja. ( Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1);

67

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Nusa Media, 2011 ) hlm.133

68

(6)

2) Perbuatan secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,

mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika ( Pasal 23 ayat 2 dan Pasal

36 ayat 2) ;

3) Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk

persediaan atau menguasai narkotika ( Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3) ;

4) Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito

narkotika. ( Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 );

5) Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,

menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli atau menukar narkotika ( Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ) ;

6) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau

memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 23 ayat 6 dan Pasal

36 ayat 6 );

7) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri (Pasal

23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 );

8) Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (

1 ) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya;

9) Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak

pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan

ayat ( 7 ) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976;

10) Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk

(7)

11) Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter,

lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan

kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1976 ( Pasal 42 ) ;

12) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman

Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat

laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ( Pasal 42);

13) Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan

kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal

43) ;

14) Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika

(Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 ).

15) Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang

berwajib ( Pasal 48 ).

16) Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai

kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor

dianggap sebagai delik pelanggaran ( Pasal 50 ).

Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana

dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik.

Kelemahan utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini

adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam

(8)

Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi

yang menghasilkan berbagai narkotika jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk

disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis

narkotika yang belum diatur dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu

kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif terhadap kemunculan berbagai jenis

narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum.

Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor

9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak

ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai

golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif

dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.

Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor

9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan

dengan kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak

pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai

pengawasan terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif

terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar

belakang perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu

(9)

seharusnya menjadi dasar yang cukup untuk mengkriminalisasikan berbagai tindak

pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.

A.2. Kebijakan Hukum Pidana Terkait Sanksi, Pemidanaan, Dan Pemberatan Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.

Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan pidana.69 Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan

perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang

terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang

mewujudkannya.70 Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan

bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana.

Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer

berikut mengenai sanksi pidana:71

a. Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

69

Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.5

70

Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm.1

71

(10)

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

c. Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.

Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:72

72

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm 17

a. Pidana Pokok yaitu:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. pencabutan hak-hak tertentu;

1. perampasan barang-barang tertentu;

2. pengumuman putusan hakim.

Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa

(11)

Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana, sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah untuk dididik di dalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit. 73

1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda,

pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur

mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan

untuk memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana

terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika adalah sebagai berikut :

2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara

penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.

50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) diancamkan terhadap tindak pidana

membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika, mengimpor,

mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,

menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar

73

(12)

narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (4) dan (5) sedangkan pidana

teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana

saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam

Pasal 47 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976.

3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika merumuskan dua ( 2 ) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan

pidana denda secara kumulatif.

4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika ( pelaku yang

melanggar pasal 36 ayat ( 7 ) ) dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan

larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang

pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system

yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan.

5. Percobaan ( poging ) melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari

aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3

terhadap percobaan ( poging ).

6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 1/3 dengan batasan maksimum 20 (dua puluh)

tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana

yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) .

7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan maksimum serta

(13)

( recidive ) terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat ( 1 ) sampai dengan ayat ( 7 ).

8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik,

rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan,

Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35

ayat (1) butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

B.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Dalam perkembangannya ternyata Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976

tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran gelap

narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki

seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya pada

orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiswa, pelajar, bahkan tidak sedikit kalangan eksekutif

maupun businessman telah terjangkit narkotika.

Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh

perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan

dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia.74

74

Hari Sasangka, Op Cit, hlm 166

Selain itu, Indonesia juga sudah terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi

Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

(14)

1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika yang mengharuskan Indonesia

menyesuaikan hukum nasionalnya dengan Konvensi tersebut. Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini mempunyai cakupan yang lebih luas

baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang

diperberat.75

Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976

dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika.

Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan

modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang

ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang

untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.76

75

AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hlm.13

76

Ibid., hal l12

Dalam konsideran Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 antara lain

menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya

dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi dengan mengusahakan

ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi

lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya

(15)

Oleh karena itu tidak mungkin terus memberlakukan Undang-Undang No. 9

Tahun 1976 yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dengan

lahirnya undang-undang narkotika yang baru, maka sejak tanggal 1 September 1997

undang-undang narkotika yang lama sudah tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut.77 Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan

pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada

umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan

dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi

secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.78

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diundangkan pada

tanggal 1 September 1997 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 67 dan

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698 dan berlaku sejak undang-undang

tersebut diundangkan

a.

Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan Narkotika

adalah untuk :

b.

Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan.

77

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm 156.

78

Hari Sasangka, Op.cit, hlm 165

(16)

c. Memberantas peredaran gelap narkotika

Pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sejak

awal pembentukannya dari bentuk masih Rancangan Undang-Undang memiliki

semangat antara lain:79 a.

b.

Undang-Undang Narkotika yang baru menggantikan 9 Tahun 1976 tentang

Narkotika harus mampu melahirkan persamaan persepsi, mengenai bahaya

penyalahgunaan narkotika beserta akibat yang ditimbulkannya, baik terhadap

perseorangan dan masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara;

c.

Harus mampu mencegah, menghentikan dan sekaligus memberantas semua bentuk

peredaran dan perdagangan gelap narkotika, serta bersama-sama dengan

masyarakat internasional berupaya untu menanggulangi permasalahannya;

d.

Harus mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat tanpa

membeda-bedakan status dan kedudukan, untuk dapat menjamin terciptanya kepastian

hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, dalam peran sertanya

menumbuhkan kembangkan perwujudan disiplin nasional;

79

AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hlm.13

Harus mampu memberikan sanksi yang terberat terhadap pelanggar tindak pidana

narkotika, baik yang dilakukan secara perseorangan, maupun secara kelompok,

secara terorganisir maupun secara korporasi, dalam skala nasional, maupun

internasional, sehingga bobot tindakan represif yang melekat pada undang-undang,

mampu menghasilkan efek psikologis yang lebih nyata, untu digunakan sebagai

(17)

e.

f.

Harus mampu menjamin terselenggaranya kelangsungan pengadaan narkotika

secara legal yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan pelayanan kesehatan

maupun pengembangan ilmu pengetahuan;

g.

Harus mampu menjamin terselenggaranya upaya pengobatan dan rehabilitasi, bagi

pasien yang mejadi korban penyalahgunaan narkotika;

h.

Kesadaran bahwa bisnis narkotika secara ekonomis sangat menguntungkan dan

menggiurkan sehingga dampak akibat dan sindroma apapun yang ditimbulkan

olehnya tidak dipedulikan oleh pengedar dan jaringannya. Oleh karena itu,

pengaturan dan pelaksanaannya secara ketat dan terpadu harus dapat benar-benar

diberlakukan;

Kesadaran bahwa narkotika jika disalahgunakan bisa menjadi racun yang merusak

fisik dan jiwa manusia. Apabila penyalahgunaan itu meluas disertai dengan

peredaran gelap yang tidak terkendali, maka narkotika dapat menghancurkan

kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya generasi muda, dan memperlemah

ketahanan nasional.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun. 1997 merupakan tindak pidana khusus,

dan kekhususannya meliputi hukum materil maupun hukum formilnya.

Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun. 1997, dalam hukum

materiilnya antara lain adalah:80 a.

80

Hari Sasangka, Op.cit, hlm 169

ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda minimum dalam

(18)

b.

c.

putusan pidana denda apabila tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana

narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda;

d.

pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda bisa dijatuhkan

bersama-sama ( kumulatif ) dalam beberapa pasal;

e.

pelaku percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

narkotika tertentu, diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut ( Pasal 83 );

f.

ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan terorganisasi atau

yang dilakukan oleh korporasi, lebih berat;

g.

ada pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan tertentu dan

membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan pidana narkotika

tertentu ( Pasal 87 );

h.

bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan diri diancam pidana, demikian juga terhadap keluarga pecandu

narkotika juga diancam pidana ( Pasal 88 );

bagi orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak

melapor diancam pidana sedangkan pecandu narkotika yang belum cukup umur

dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya tidak dituntut pidana (Pasal 86);

Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 terhadap hukum

formalnya antara lain:81 a.

81

Ibid, hal 170.

(19)

penyelesaiannya ( Pasal 64) ;

b.

c.

penyidik mempunyai wewenang tambahan dan prosedur yang menyimpang dari

KUHAP;

d.

pemerintah wajib memberikan jaminan dan keamanan perlindungan kepada

pelapor ( Pasal 57 ayat (3) );

e.

di dalam persidangan pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan

perkara tindak pidana narkotika, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor (

Pasal 76 ayat (1) );

ada prosedur khusus pemusnahan barang bukti narkotika ( Pasal 60, 61 dan 62 ).

Narkotika digolongkan pada tujuan dan potensi ketergantungan yang

bersangkutan. Untuk pertama kali penggolongan tersebut ditetapkan dalam

undang-undang ini, dan selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan.82

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi dangat tinggi mengakibatkan keterantungan.

Penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan.

82

(20)

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

B.1 Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya Undang-Undang tersebut

terutama tujuan pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika dan tujuan

pemberantasan peredaran gelap narkotika.83

AR.Sujono dan Bony Daniel mencoba mengelompokkan kejahatan yang

menyangkut narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika yaitu:

Hal tersebut memang sesuai dengan

Konvensi Psikotropika 1971 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika 1988 yang telah diratifikasi Indonesia.

84

1) Menyangkut produksi narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya mengenai

produksi narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan dalam lingkup

mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan menyediakan narkotika;

2) Menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan

yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan mentransito narkotika.

83

Barda Nawawi Arief, Op.Cit hlm.188

84

(21)

Ada pula tindak pidana khusus ditujukan kepada nakhoda atau kapten penerbang

karena tidak melakukan tugasnya dengan baik;

3) Menyangkut jual-beli narkotika. Tidak hanya kategori jual-beli dalam arti sempit,

melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan ekspor,impor, tukar-menukar,

menyalurkan dan menyerahkan narkotika;

4) Menyangkut penguasaan narkotika;

5) Menyangkut penyalahgunaan narkotika;

6) Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan pecandu

narkotika;

7) Menyangkut label dan publikasi narkotika.

8) Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana narkotika

Adapun Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1) Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 ( tiga ) golongan sehingga tindak pidana

narkotika menjadi lebih lengkap, sistematis dan sederhana.

2) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai

dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam

bentuk tanaman atau bukan tanaman ) ( Pasal 78-79 ).

3) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstasi,

mengkonvensi, merakit, atau menyediakan narkotika ( Pasal 80)

4) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa mengirim, mengangkut,

(22)

5) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan

untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. ( Pasal 82 ).

6) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan, narkotika terhadap

orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 84).

7) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika untuk diri

sendiri ( Pasal 85 ).

8) Orang tua/wali pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak lapor. ( Pasal 86 ).

9) Pecandu sudah cukup umur atau keluarganya ( orang tua/wali ) sengaja tidak

lapor. ( Pasal 88 ).

10) Menggunakan anak belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika

( Pasal 87 ).

11) Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan

42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Pasal 89).

12) Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan

di pengadilan ( Pasal 92 ).

13) Nahkoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika ( Pasal 93 ).

14) Penyidik ( PPNS/Polri ) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan

ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

(23)

15) Saksi yang memberikan keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan

( Pasal 95 ).

16) Melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah Indonesia ( Pasal 97 ). Pasal

ini merupakan kekhususan dari berlakunya hukum pidana Indonesia di dalam

Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia (Pasal 2-9 KUHP). Warga Negara

Indonesia yang melanggar Pasal 78-84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika di luar wilayah Indonesia tetap dapat dihukum menurut

peraturan hukum pidana Indonesia. Hal ini dikenal sebagai “asas nasionalitas

aktif”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sebenarnya telah

menganut asas ini dalam Pasal 5 namun diperluas lewat Pasal 97

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

17) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak memberikan

kualifikasi terkait tindak pidana narkotika dalam undang-undang tersebut. Tidak

adanya penetapan kualifikasi yuridis dikhawatirkan akan menimbulkan

masalah/konsekuensi yuridis dalam praktik, baik konsekuensi yuridis materiil

maupun konsekuensi yuridis formal.85

18) Keseluruhan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang narkotika merupakan delik formil. Penggunaan satu jenis delik saja

membuat formula kriminalisasi dalam Undang-Undang ini menjadi kurang

efektif karena sama sekali tidak mempertimbangkan akibat-akibat materiil dari

sebuah rumusan delik materiil.

85

(24)

19) Membuat perbedaan antara tindak pidana yang dimulai dengan permufakatan

jahat dengan tindak pidana yang dilakukan dengan permufakatan jahat.

B.2 Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak begitu berbeda

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dari segi jenis

sanksi, sanksi yang digunakan dalam Undang-Undang22 Tahun 1997 tentang

Narkotika berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan ( maatregel ).

Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda

serta pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak pidana

yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (

lima juta rupiah ) dan perampasan hasil tindak pidana narkotika. Sedangkan sanksi

tindakan (maatregel) berupa : rehabilitasi yang meliputi pengobatan dan perawatan serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara

asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana.

Sanksi pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika umumnya diancamkan secara kumulatif bersama dengan pidana denda. Hal

ini bertujuan untuk memaksimalkan hukuman sehingga menimbulkan efek jera yang

(25)

dengan adanya ancaman pidana minimal khusus (penjara maupun denda ) dalam

ketentuan pidana Undang-Undang tersebut.

Pemaksimalan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika semakin terlihat dengan adanya pemberatan terhadap tindak pidana

yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan

oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan

apabila ada pengulangan ( recidive ) Pemberatan ini dapat dikatakan sangat membebani para pelanggar mengingat cukup beratnya sanksi pidana yang

diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bervariasi: untuk pidana

denda berkisar antara Rp.1.000.000,00 ( satu juta rupiah ) sampai

Rp.7.000.000.000,00. ( tujuh milyar rupiah ) dan untuk pidana penjara berkisar antara

3 (tiga) bulan sampai 20 (dua puluh) tahun.

Ketentuan lain mengenai kebijakan terkait sanksi pidana, pemidanaan dan

pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah dengan

dipidananya Percobaan dan permufakatan jahat dengan ancaman yang sama dengan

melakukan tindak pidana. Perumusan kebijakan terkait sanksi yang sangata

memberatkan bagi pelanggar dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika diharapkan dapat memaksimalkan peranan Undang-Undang ini dalam

(26)

C.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan

yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban

yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada

umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan,

melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan

satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi

dan sangat rahasia baik di tingkat nasional.

Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,

bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.86

86

Mohammad Eka Putra, Op.Cit, hlm.59

Selain

itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan

mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini

diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat

atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan

Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika

(27)

sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Bahkan, demi mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan

kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).

C.1 Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adapun Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1. Sama seperti dalam Undang-Undang sebelumnya, narkotika dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah digolongkan ke dalam 3

( tiga ) golongan berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan

penggolongan ini tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan

masing-masing golongan;

2. Mayoritas tindak pidana narkotika dirumuskan dengan konsep delik formil.Tidak

ditemukan akibat konstitutif yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Hanya Pasal 116, Pasal 121 dan Pasal 126 yang

dirumuskan dengan rumusan delik dengan akibat yang dikualifisir. Pasal-pasal

tersebut mengatur tentang larangan pemberian Narkotika golongan I, golongan

II, maupun golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang lain

(28)

mati ataupun cacat permanennyaorang lain mati. Apabila akibat yang dilarang

terjadi maka akan dikenakan pemberatan;

3. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam Undang-Undang ini apakah tergolong

pada kejahatan atau pelanggaran;

4. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan adanya

Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal

tersebut mengatur bahwa ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini berlaku

bagi Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak

pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112,

Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal

120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127

ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik

Indonesia;

5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk

tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II, golongan III ( Pasal 111,

112, 117, 122 );

6. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II,

narkotika golongan III ( Pasal 113, 118, 123 );

7. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,

(29)

menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III

(Pasal 114, 119, 124 );

8. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum melawan hukum membawa, mengirim,

mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, Narkotika Golongan II,

narkotika golongan III ( Pasal 115, 120, 125 );

9. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I

terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan

orang lain Narkotika Golongan II, narkotika golongan III ( Pasal 116, 121, 126);

10. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain

Narkotika Golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri ( Pasal 127 );

11. Perbuatan Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor

(Pasal 128 );

12. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

ataumenyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika. ( Pasal 129 );

13. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang diatur

(30)

14. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak

pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 111-126, dan Pasal 129. ( Pasal 133 );

15. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga Pecandu Narkotika yang

sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut ( Pasal 134 );

16. Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 45

( Pasal 135 );

17. Pencucian uang terkait Tindak Pidana Narkotika ( Pasal 137 ).

18. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan

dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana

Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan ( Pasal 138 );

19. Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28

( Pasal 139 ) ;

20. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang Noo 35 Tahun 2009 ( Pasal 140-142 );

21. Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan ( Pasal

143)

22. Perbuatan pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang

mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan

(31)

23. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,

menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan ( Pasal 147 huruf (b) )

24. Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika

Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan ( Pasal

147 huruf (c) );

25. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang

bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan

Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.( Pasal 147

huruf (d) ).

C.2 Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi pidana, pemidanaan, tindakan dan

pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah:

1. Sanksi yang digunakan yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan (maatregel)

2. Untuk sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana

denda serta pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu terhadap korporasi

(32)

3. Untuk sanksi tindakan (maatregel) berupa : rehabilitasi medis dan sosial serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing

yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana.

4. Jumlah/lamanya sanksi pidana bervariasi: untuk pidana denda berkisar antara

Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar

rupiah). Apabila kejahatan dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan pemberatan

sebanyak 3 (tiga) kali lipat dari pidana dendayang diancamkan. Dan untuk pidana

penjara berkisar antara 1 (satu) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun.

5. Sanksi pidana dirumuskan dalam 4 (empat) bentuk yaitu :87 a. Dalam bentuk tunggal ( penjara atau denda saja );

b. Dalam bentuk alternatif ( pilihan antara penjara atau denda );

c. Dalam bentuk kumulatif ( penjara dan denda );

d. Dalam bentuk kombinasi/campuran ( Penjara dan/atau denda );

6. Terdapat ancaman pidana minimal khusus (penjara maupun denda);

7. Pemberatan terhadap tindak pidana berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika,

akibat yang ditimbulkan, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi,

dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada

pengulangan ( recidive ) dalam jangka waktu 3 ( tiga ) tahun. Pemberatan ini dikecualikan terhadap pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara 20 ( dua puluh ) tahun.

87

(33)

8. Percobaan dan permufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan tindak

pidana.

9. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan

tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dapat dijatuhi pidana penjara paling

lama 2 ( dua ) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

D.Perbandingan Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :88

Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang

diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 1. Perluasan Jenis dan Golongan

Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba

sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu

pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No

5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang terdahulu, jenis golongan

untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui

lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.

88

(34)

jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I.

Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis

Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.

Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para

pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam pasal 153

point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I

dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah

dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi

dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang

mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I

semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika

Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada

Pasal 8 ayat (2) dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas,

Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu

(35)

laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I

kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian

penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:89

89

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika

a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas

dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh

seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas

dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan

oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan

2. Pengobatan dan Rehabilitasi

Dalam hal pengobatan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 secara tegas

menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis Narkotika

yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan

Golongan III saja. Kemudian Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga menyatakan

bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bukan

saja pecandu narkotika seperti pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 namun juga

(36)

Kemudian pada Pasal 55 ayat (2) dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang

sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada

pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3. Pencegahan dan Pemberantasan

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan

memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini

diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional .

Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan

Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat (1) dikatakan bahwa Dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika

Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga

mengatur mengenai kewenangan dan kedudukan BNN sampai dengan di tingkat

(37)

4. Penyidikan

Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional

tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada Undang-Undang No.

35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan

Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan.

Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65,

sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa Penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan

penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,

Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan

penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, Undang-Undang. No 22

Tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 jam dalam menangkap di ikuti

perpanjangan selama 48 jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak

(38)

dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi apabila

pemeriksaan dirasa belum mencukupi.

Begitu pula dalam hal penyadapan, pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

waktu penyadapan hanya selama 30 hari (pasal 66), namun pada Undang- Undang

terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang menjadi 3 bulan (90

hari), hal ini diatur pada Pasal 77 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penyadapan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti

permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat

penyadapan diterima penyidik.

5. Peran Serta Masyarakat

Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika

termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah

berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pada Pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan tanggung

jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan Undang-Undang

(39)

Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua

arah antara masyarakat dan penegak hukum/BNN dalam upaya bersama memberantas

peredaran narkotika ini

Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya

pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Pasal

58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah

berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika, sedangkan

pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pemerintah juga memberikan penghargaan

kepada penegak hukum (Pasal 109).

6. Ketentuan Pidana

Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup

prinsipal dan mendasar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ke Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam

ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal (Pasal 78 samapai dengan Pasal 100)

dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang-undang terbaru (Pasal 111 sampai

dengan Pasal 148). Secara umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini memiliki

ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada Undang-Undang No. 22

Tahun 1997 demikian pula dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga

(40)

a. Penggunaan sistem pidana minimal, pada undang-undang terbaru dikenal sistem

pidana minimal dimana pada undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada.

Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.

b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika

baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan Undang-Undang No. 22

Tahun 1997, misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun

memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun,

kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000

(lima ratus juta rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta

rupiah) dan maksimal Rp.8.000.000.000 (delapan milyar rupiah).

c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang

banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I

yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti

melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana dengan

pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana

dendanya ditambah 1/3.

d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan

narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat

(3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009).

e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 Undang-Undang

No.35 Tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur

(41)

denda 1 juta rupiah (ayat 1), sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur

dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana,

kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani

rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana (ayat 3).

f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik Polri/BNN yang tidak

menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88 dan 89 (PPNS)

Referensi

Dokumen terkait

HUKUM KODRAT HUKUM KODRAT HUKUM ETIS HUKUM ETIS CITA-CITA CITA-CITA KEMERDEKAAN KEMERDEKAAN HUKUM TUHAN HUKUM TUHAN HUKUM ETIS HUKUM ETIS HUKUM KODRAT HUKUM KODRAT HUKUM ETIS

Hasil Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif pada Ny “S” selama kehamilan trimester III dengan pusing tidak ditemukan adanya komplikasi kehamilan, persalinan,

Sedangkan pengertian mengenai kebudayaan sendiri yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam

Pembelajaran inovatif yang relevan dengan kondisi sekarang ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) , yaitu pembelajaran yang menekankan

Lewat video klip “ Nilailah Aku ”, mereka membuktikan bahwa Kangen Band adalah band pop Melayu di Indonesia yang bisa diperhitungkan oleh kelompok dominan dari berbagai macam

Pada Tabel 4, memperlihatkan hasil pengujian pada sensor HC-SR04 dengan tiga kondisi, yaitu dengan permukaan datar ( flat) , permukaan dengan garis kontur (

Sehingga dengan dari hasil perhitungan perancangan dimana torsi motor DC yang didapat adalah lebih besar dari torsi yang bekerja pada ulir, maka motor DC dapat

Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, di mana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar.Biasanya anak penyandang tunagrahita