BAB II
PELAKSANAAN GADAI TANAH HARTA PUSAKA TINGGI DI NAGARI KAMANG MUDIAK
A. Gambaran Singkat Nagari Kamang Mudiak
Kecamatan Kamang Magek terletak di sebelah Timur dari pusat Pemerintahan
Labuak Basuang, Kabupaten Agam. Dengan jarak tempuh kenagariKamang Mudiak
yaitu dari :
1. Ibukota Propinsi Sumatera Barat yaitu Padang berjarak 112 km ( 4 jam )
2. Kabupaten Agam berjarak 70 km ( 3 jam )
3. Kecamatan Kamang Magek 4 km ( ½ jam )
Dengan batas-batas wilayah yaitu :
1. Sebelah Utara berbatas dengan kanagarian Pasir Laweh.
2. Sebelah Selatan berbatas dengan Kanagarian Kota Tangah dan Kanagarian
Magek.
3. Sebelah Timur dengan Kanagaraian Kamang Hilir.
4. Sebelah Barat dengan Palupuah (Kotarantang).
Kecamatan Kamang Magek terdiri dari nagari Kamang Hillia dan Kamang
Mudiak dengan luas daerah mencapai 7.766 Ha, yaitu Kamang Hilia 1.502 Ha dan
Kamang Mudiak 6.264 Ha. Masing-masing mempunyai hutannagari(rakyat), hutan
negara (hutan lindung) sawah ladang, serta bukit.40
Dalam Peta Yang Terdapat Di Bawah Ini Dapat Dilihat Letak Dan Batas Wilayah
Pada Peta Agam.
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi syara’, syara’
basandi kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul danadat salingka nagari.
Pemerintah Nagari adalah Walinagari dan Perangkat Nagari sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Nagari. Walinagari adalah Pimpinan Pemerintah Nagari
yang dipilih langsung oleh rakyat.41
41
Jorong adalah bagian dari wilayah nagari. Pemerintahan nagari adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Nagari dan Badan
Permusyawaratan Nagari dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistim Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemerintah Nagari adalah Walinagari dan Perangkat Nagari sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Nagari. Walinagari adalah Pimpinan Pemerintah Nagari
yang dipilih langsung oleh rakyat.42
Jorong dipimpin oleh Walijorong, di nagari Kamang Mudiak terdapat 8
(delapan) jorong dengan jumlah Kepala Keluarga 2.758 KK dan jumlah penduduk
10.725 jiwa dengan kepadatan penduduk 311 per kilometer.
Tabel 1: Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
No Umur Laki Perempuan Jumlah (orang)
1 0 – 25 Tahun 2.803 2.879 5.682
2 26 – 59 Tahun 1.708 1.856 3.564
3 60 – Keatas 729 740 1.469
Jumlah 5.240 5.475 10.715
Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang masih
produktif dilihat dari umur masih banyak. Banyaknya jumlah penduduk yang masih
produktif memberi tantangan bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tabel 2 : Tingkat Pendidikan
No. Pendidikan Jumlah (orang)
1 Tidak tamat SD 2.180
2 Tamat SD 2.118
3 Tamat SLTP 1.871
4 Tamat SLTA 1.712
5 Tamat Akademi (D1-D3) 106
6 Sarjana :
S1
S2
S3
151
66
26
Jumlah 8.230
Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014
Dari tabel tersebut di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat nagari Kamang Mudiak masih banyak hanya menyelesaikan sampai
tingkat SLTA bagi kaum wanita tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi karena
Tabel 3: Status Pekerjaaan
No. Status Jumlah (orang)
1 Bersawah 3.734
2 Berladang 105
3 Beternak 300
4 Kolam 350
5 Buruh Galian C 1.350
6 Industri Rumah Tangga 543
7 Buruh 356
8 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 793
9 Perbankan 4
10 Dagang 97
11 Jasa 320
12 Keterampilan 775
Jumlah 2.888
Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014
Dari tabel tersebut memperlihatkan bahwa status pekerjaan masyarakat adalah
bersawah. Mereka hanya mengharapkan penghasilan dari hasil sawah tersebut di
mana sawah yang mereka kerjakan kebanyakan sawah tadah hujan yang hanya
mengharap datangnya air hujan untuk pengairannya. Bila hujan tidak ada maka
hidupnya masyarakat menjadi buruh galian c yaitu memecah batu - batu bukit yang
dijual kepada pabrik terdekat.
Tabel 4: Jumlah Pemilikan Tanah
No. Luas sawah yang dikerjakan Jumlah (orang)
1 Kurang dari 0,1 Ha 312
2 0,1 - 0,5 Ha 544
3 0,6 - 1,0 Ha 664
4 1,1 - 1,5 Ha 70
Jumlah 1.590
Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014
Dari tabel di atas luas sawah yang dikerjakan dengan kondisi alam yang
berbukit di mana pengairan sawah tersebut hanya mengharap dari air hujan tidaklah
mampu memenuhi kebutuhan pemilik sawah tersebut. Sehingga untuk mengusahai
sawahnya mereka harus membuat irigasi dengan biaya yang besar.
Kemudian menurut penjelasan yang disampaikan Walinagari Kamang Mudiak
Kamang Mudiak terdiri dari 8jorongseperti yang dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini :
Tabel 5 : Jorong Nagari Kamang Mudiak dan Luas Wilayah
Nomor Nama Jorong Luas (Ha)
1 Pauh 1.509
Nagari Kamang Mudiak terletak di kaki gunung Merapi dan Singgalang,
alamnya berbukit yang membujur dari Barat ke Timur sangat menguntungkan sebagai
kekayaan alam yang tak terhingga. Dari bukit (hutan nagari/rakyat) inilah masyarakat
mencari bahan-bahan untuk panganan, membuat rumah dan juga sebagai sumber
penghidupan di mana penggunaan tanahnya dapat dilihat pada tabel di bawah :
Tabel 6 : Jenis Penggunaan Tanah dan Luas Wilayah
Nomor Nama Jorong Luas (Ha)
1 Pemukiman dan pekarangan 376
2 Sawah : Irigasi
8 Tempat Gembala Ternak 3
9 Tempat Rekreasi 7
Jumlah Luas 6.264
Sumber : data primer yang diolah 29 April 2014
Nagari Kamang Mudiak tidak terlepas dari bahasan Minangkabau secara
umum karena Kamang Mudiak berada di Luhak Agam (Kabupaten Agam) dan Luhak
Agam tersebut salah satu dari Luhak Tigo yang berada dalam alam Minangkabau.
Luhak digolongkan kepada daerah yang terletak di pedalaman Minangkabau, Luhak
sebagai inti alam Minangkabau. Oleh pemerintah Indonesia Luhak tersebut disebut
dengan Kabupaten.43
Menurut J. Dt .Rajo Panghulu hukum adat di Minangkabau terdapat dua
hukum (lareh) yaitu hukum adat Budi Chaniago yang disebut lareh nan bunta dan
hukum adat Koto Piliang yang disebut lareh nan panjang. Lareh bermakna hukum
yaitu tata cara adat yang dipakai secara turun temurun sesuai pepatah adat “dipaturun
panaikkan” untuk menata anak kemanakan. Antara kedua bentuk lareh, terdapat
perbedaan dalam bentuk pemerintahan yaitu Budi Chaniago berbentuk demokrasi dan
Koto Piliang berbentuk pemerintahan otokrasi.44
Nagari Kamang Mudiak dalam kedudukan adat berada di bawah lareh Budi
Chaniago yang bercorak demokrasi dalam adat disebutkan dengan duduk samo
randah, tagak samo tinggi.
Suku dimulai dari keluarga kecil yaitu paruik adalah sebagai satu kesatuan
yang terdiri dari beberapa anggota yang dihitung menurut garis ibu (matrilineal)
dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Bagian terkecil dari paruik adalah
pariuakyang terdiri dari bapak, ibu, anak – anak yang berada dalam satu rumah atau
disebut keluarga inti.
Paruik yang ada melahirkan jurai adalah tempat bernaungnya anak
kemanakan dalam satu keturunan yang terdiri dari beberapa keluarga nan saparuik.
43Gusti Asnan,Kamus Sejarah Minangkabau,(PPIM), hlm. 162
44 Marwan Kari Mangkuto, Adat Salingka Nagari Kanagarian Kamang Mudiak, (Jakarta :
Gabungan darinan sajuraidisebutsapayuangadalah gabungnan anggota nan sajurai
dalam satu kesatuan merekabadunsanakbaik secara geneologis maupun teritorial.45
Dengan demikian susunan organisasi masyarakat Minangkabau secara hirarki:
1. pariuak/tungku di pimpin oleh bapak
2. paruik di pimpin oleh mamak
3. jurai dipimpin oleh tungganai
4. kaum dipimpin datuak/mamak kepala waris
Suku mempunyai seorang pemimpin dengan kekayaan yang tidak dapat dibagi
untuk pribadi – pribadi melainkan hak milik kaum dalam suku.
Adat Minangkabau telah memberikan keutamaan, kemuliaan dan kehormatan
terhadap wanita yang disebut bundokanduang (wanita) yaitu untuk menjaga dari
segala kemungkinan yang akan menjatuhkan kehormatannya. Untuk itu
bundokanduangmemiliki tiga pilar utama yang diberikan oleh adat yaitu :
1. suku dari golongan wanita/ibu
2. rumah gadang diperuntukkan kepada wanita
3. tanah pusaka pewarisan menurut garis wanita/ibu
Nagari Kamang Mudiak dikenal dengan Nagari Tujuah Toboh, penamaan
tujuah tobohini berdasarkan kepada dua pengertian sesuai tabel :
Tabel 7 : Berdasarkan Jumlah Suku/Genologis
No Suku Induk Anak Suku
1 Tigo Ibu a. Budi
b. Caniago c. Sipanjang
2 Ampek Ibu a. Pisang
b. Payobada c. Tanjuang d. Simabua
3 Limo Inyiak a. Jambak Bakulah
b. Jambak Bulian/Jambak Iliran c. Jambak Katia Anyia
d. Jambak Nyiua
e. Jambak Pantang Bantiang/Jambak Kumbang
4 Koto Sambilan a. Koto Rumah Gadang
b. Koto Rumah Tinggi c. Koto Rumah Panjang d. Koto Biaro
e. Koto Salo f. Koto Kepoh
g. Koto Sigiran/Koto Bawah Surian h. Koto Sakek/Koto Baru
i. Koto Aua/Koto Anau 5 Sikumbang tigo Induak a. Sikumbang Gadang
b. Sikumbang Tali Kincir c. Sikumbang Kaciak 6 Piliang duo Induak a. Piliang Sani
b. Piliang Laweh
7 Melayu nan saibu Urang nan sainduak suku melayu
Tabel 8 : Berdasarkan Teritorial Wilayah
No Teritorial
1 Ampek Suku Babukik
2 Tujuh Suku Halalang
3 Ampek Suku Padang Kunyik
4 Anam Suku Bansa-Pakan Sinayan
5 Anam Suku Durian
6 Anam Suku Aia Tabik
7 Tujuah Suku Pauah
Sumber : Wawancara dengan Wali Nagari Kamang Mudiak pada 29 April 2014
Nagari Kamang Mudiak terdiri dari beberapa suku. Suku adalah suatu
organisasi di dalam masyarakat matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) di mana
seseorang dikatakan sebagai warga adat Minangkabau apabila mempunyai suku.
Suku amat besar faedahnya bagi masyarakat dalam hidup berkeluarga, bakorong
bakampuang, banagari jo baluhak karena suku dapat diketahui asal usul dari warga
suku tersebut.
Masyarakat nagari Kamang Mudiak adalah orang Minang yang telah
mendiaminagariini secara turun temurun, masyarakatnya berada dalam suku/kaum,
setiap suku/kaum mempunyai pemimpin yang dalam adat disebut panghulu
(datuak).46
Panghulu sebagai pimpinan kaum dalam suku yang dipilih dan diturunkan
menurut hak kewarisannya menurut sistem matrilinal yaitu laki-laki dari generasi
yang sesuku, sebab yang akan mengisi adat adalah laki-laki, yang telah diresmikan
dengan menyembelih seekor kerbau ”tanduak ditanam, dagiang dilapah, darah
dikacau”yangduduk samo rendah tagak samo tinggidengan panghulu lainnya.47
Wanita di Minangkabau sebagai lambang kebanggaan dan kemuliaan menjadi
perantara keturunan, dibesarkan dan dihormati serta diutamakan dan dipelihara
martabatnya. Artinya adalah wanita di Minangkabau mempunyai tempat yang
menentukan, sebab dari segi kekerabatan yang berlaku adalah kekerabatan matrilinial,
untuk itu rumah gadang diperuntukan kepada wanita, begitu juga pusako yang
diterima.48
Pusako sebagai harta mempunyai empat fungsi utama dalam masyarakat adat
di Minangkabau yaitu sebagai berikut :49
1. untuk menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang,
melateh, merambah jo meneruko (mencencang, membuat terasan, merambah
dan meneruka) mulai darininikzaman dahulu sampai kemande kita sekarang;
2. lambang ikatan kaum yang bertali darah supaya terus terbina hubungan
“sekaum setali darah”, sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie
(setia), barang siapa melanggar akan merana dan sengsara seumur hidup
termakan sumpah nenek moyang dahulu;
47Marwan Kari Mangkuto,Op Cit,hlm. 64 48Ibid,hlm. 63
3. sebagai jaminan kehidupan kaum sejak dahulu hingga sekarang, terutama
daerah-daerah di dusun -dusun dan perkampungan dalam yang masih terikat
erat dengan tanah (kehidupan agraris);
4. sebagai lambang kedudukan sosial, untuk kegiatan kemaslahatan kaumnya
yang masih satu jorong (desa) dan masyarakat di negerinya (tingkat
kabupaten), untuk orang-orang yang sedang kesusahan serta untuk membantu
orang-orang yang kehabisan bekal dalam menuntut ilmu.
Harato salingka kaum, maksudnya adalah bahwa setiap kaum mempunyai
tanah ulayat masing-masing, sebab tanah merupakan hal yang sangat diperlukan
dalam adat sesuai dengan fungsinya tersebut.50
Menurut Van Vollenhoven, hubungan masyarakat atas tanah ini disebut
dengan hak ulayat.51
Tanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum
diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut
hanyanagaridan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayatnagariyaitu
tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh
penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan
kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).52
50Wawancara dengan wali jorong nagari Kamang Mudiak pada 1 Mei 2014 51
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hlm. 71
52
Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan
pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat
adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat,
hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat
adalah sebagai berikut:53
1. Memberi hak untuk memungut hasil pada masyarakatnya seperti mengolah
tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu
perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain.
Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang
mengawasi tanah ulayat tersebut.
2. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak kaumnya. Hak
perseorangan tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak
perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.
3. Pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari
tanah ulayat untuk kepentingan umum seperti untuk lokasi pembangunan
mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.
4. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak
diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras
yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang
yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayatnagari, maka hasilnya untuk
kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat (tempat
pertemuan), bangunan mesjid dan lain-lain.
5. Apabila terjadi permasalahan berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan
yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga
jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara
adat. Sesuai pepatah adat mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak
-tangih bapujuak, ratok bapanyaba”.
6. Orang yang berasal dari nagari lain dapat memperoleh sebidang tanah pada
tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko (membuka lahan) atas dasar
persetujuan kepala kaum terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat,
tetapi status tanahnya masih milik wilayah nagari. Sawah yang ditaruko
selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil
tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.
Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak
kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat
bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat
karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang
(kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), artinya
kita harus mengeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari
demi pembangunannagari.54
Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak
kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah
sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila
direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh
adat Minangkabau pada masa dahulunya.
B. Pengertian, Syarat-Syarat, Jangka Waktu Dan Prosedur Pengikatan Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi di Nagari Kamang Mudiak.
1. Pengertian Gadai
Dalam hukum adat telah dikenal sebagai salah satu lembaga atau pranata
dengan berbagai istilah yang berlaku di masing-masing masyarakatnya, juga telah
dikenal sebagai kajian yang termasuk dalam hukum adat. Istilah tersebut antara lain :
“adol sande” (Jawa); “ngajual, akad, gade” (Sunda); “dondon” (Tapanuli); “dondon
susut” (Mandailing) atau gadai (gade), manggadai (Minangkabau dan menjual gadai
Riau dan Jambi).55
Walaupun terdapat penyebutan nama yang berbeda satu daerah dengan daerah
lain di masyarakat adat, namun secara prinsipil yang membedakan hanya pelaksanaan
transaksinya saja, seperti misalnya di Aceh dilaksanakan dengan Akta yang
mencantumkan formula “ijab kabul”, di Tanah Batak transaksi harus dijalankan di
atas “nasi ngebul”, di Minangkabau ada kebiasaan yang membeli gadai, setiap
55
tahunnya memberikiriman nasi kepada yang menjual gadai. Satu tanda bahwa yang
belakangan ini berhak untuk menebus (pitungguh gadai).56
Gadai tanah dalam hukum adat Minangkabau adalah pemindahan hak garapan
atas sebidang tanah sementara dari pemilik kepada orang lain dengan menerima
sejumlah uang atau emas yang disepakati antara pemilik tanah dengan pemegang
gadai. Gadai tanah dalam masyarakat adat di Minangkabau didahului dengan suatu
kesepakatan yang menurut kedua belah pihak dirasa saling mengikat dan saling
menguntungkan apabila syarat-syarat gadai sudah terpenuhi maka terlaksanalah gadai
tersebut. Pemindahan hak adalah berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai
maupun pemungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau
kelompok kepada pihak lain dan gadai dilaksanakan oleh pihak laki – laki.57
Menurut Sofyan Asnawi dalam Mukhtar Naim, gadai adalah hubungan
dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai hutang kepadanya, selama
hutang tersebut belum dibayar, maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan bunga dari hutang
tersebut, penebusan tanah itu tergantung kepada kemauan dan kemampuan yang
mengadaikan itu.58
Menurut Ter Haar gadai itu adalah : perjanjian yang menyebabkan bahwa
tanahnya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan
56Ibid,hlm. 209
bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu kedirinya sendiri dengan
jalan membayar sejumlah uang sama, maka perjanjian (transaksi), sedemikian itu
oleh Van Vollenhoven dengan konsekwen dinamakan gadai tanah (sawah)
Vervanding.59
Menurut Boedi Harsono gadai adalah :60
“Hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hak tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan bertahun-tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.”
2. Syarat – Syarat Gadai
Tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak boleh dijual atau digadaikan.
Yang boleh melaksanakan gadai adalah pihak laki – laki. Dalam melaksanakan gadai
harus mendapat persetujuan kaum dan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi 4
syarat adat terlebih dahulu yaitu:
1. Mambangkit batang tarandam.
Diibaratkan mengeluarkan batang pohon yang terendam air.
Bila tidak cepat-cepat dikeluarkan, maka batang ini akan menjadi busuk.
Identik dengan batang tarandam, maka martabat kaum yangtarandam harus
segera dikeluarkan pula, supaya posisinya duduk sama rendah, tegak sama
59 Mr.B.Teer Haar, Azas-Azas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita),
hlm.93
tinggi dengan kaum-kaum lainnya.
Martabat kaum yang dimaksud ialah gelar pusaka yang dimiliki kaum.
Sekarang ini, pengertian tersebut bisa diperluas dengan gelar akademik bidang
ilmu pengetahuan. Prestasi akademik seseorang sangat menentukan statusnya
di dalam pergaulan masyarakat.
2. Gadih gadang alun balaki.
Perempuan dalam struktur masyarakat Minangkabau memiliki kedudukan
lebih dari laki-laki, sehingga anak perempuan dan para ibu harus didukung
dengan harta pusaka. Faktor pendukung lainnya yang tidak kalah pentingnya
ialah suami yang akan melindungi kehidupannya. Segala upaya diusahakan
agar anak perempuan mendapatkan suami yang terbaik. Di dalam budaya adat
Minangkabau, seorang ibu yang tidak memiliki anak perempuan, disebut
sebagai kaum yang punah. Tidak ada orang perempuan yang akan menerima
hak Pusaka Tinggi dari kaum tersebut.
3. Mayek tabujua di tangah rumah.
Dahulu untuk menguburkan dan mendoakan secara adat anggota kaum
keluarga yang meninggal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini
biaya-biaya tersebut sudah jauh berkurang. Satu hal yang perlu diingat tentang
kewajiban si pewaris mayat terbujur tersebut, yaitu utang-utangnya. Utang si
mayat harus segera dilunasi, meskipun dengan cara menggadaikan harta
pusaka.
Rumah gadang adalah lambang eksistensi kaum yang harus dipelihara
keadaannya, jangan sampai rusak (katirisan). Bila saat ini rumah gadang tidak
lagi berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, namun apabila rumah tersebut
tetap dijaga, maka masyarakat akan tetap mengakui bahwa keluarga itu masih
menjadi bagian dari warganya. Identik dengan rumah gadang, dalam
masyarakat moderen di kota-kota, rumah gadang masih tetap dijadikan
lambang prestasi kaum keluarga. Saat ini kepemilikan atau perbaikan rumah
gadang sudah biasa menggunakan fasilitas utang (pegang gadai) dari bank.
Ada beberapa syarat dalam perjanjian gadai yang harus dipenuhi oleh
penggadai dan pemegang gadai yaitu :61
1. Gadai baru sah apabila disetujui oleh segenap ahli waris, satu orang saja tidak
menyetujui gadai menjadi batal demi hukum.
2. Gadai tidak ada waktu kedaluarsa.
3. Pihak penggadai punya hak pertama untuk menggarap tanah gadaian kecuali
jika dia mau menyerahkan garapan kepada orang lain.
4. Pemegang gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang dipegangnya pada
orang lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada pengaruh hukum
Barat pemegang gadai boleh menggadaikan lagi (herverpanding) pada pihak
lain.
61H. Djaman Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, (Bukit Tinggi : Pusaka
5. Selama gadai berjalan pemilik tanah gadaian boleh minta tambahan uang
gadai pada pemegang gadai tapi pembayaran penebusannya nanti mesti
sekaligus.
6. Jika salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian gadai meninggal dunia
digantikan oleh ahli warisnya.
3. Jangka Waktu Gadai
Selain yang empat perkara itu, gadai indak dimakan sando, tajua indak
dimakan bali, biasanya gadai (sando) terbagi tiga yaitu:62
a. Sando biasa,jangka waktu biasanya dua tahun, boleh ditebus pada tahun ketiga,
tujuannya agar orang yang memegang gadai menerima/menikmati hasilnya jika
hendak menebus sesudah hasilnya dipungut sesuai pepatah adat:
Sah gadai baangsak-angsak
Sah Piutang batunggu-tunggu
Sah barang tasando, sagi indak mungkia (sagi-batas)
Yang maknanya ialah sebelum orang pandai tulis baca, tanpa dibuat perjanjian
sah menggadai, tetapi kalau sudah terlalu lama digadai tidak di tebus, maka gadai
tersebut jadi kabur/hilang karena tidak ada perjanjian yang mengikat secara
tertulis.
62 B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, ( Bukit Tinggi : CV.Pustaka
b. Sando Kudo, biasanya gadai dilakukan kepada anak atau orang lain yang dekat
(keluarga) tidak ditentukan dalam perjanjian mengenai batas waktu kapan akan
ditebus kembali.
c. Sando agung, disandokan oleh orang dahulu yang tak tentu lagi berapa tersando
dan sudah berapa lamanya tersando. Dalam hal ini soal tebus-menebus harus ada
penengahnya yaitu Kerapatan Adat Nagari ( KAN).
Pada sando kudo dan sando agung, haknya tidak boleh dialihkan kepada
orang lain, dan tidak boleh meminta tambah lagi kecuali kalau dialihkan atas
kehendak yang memegang hak gadai.
Tetapi kalau sudah dialihkan kepada orang lain, maka menjadi sando biasa
saja namanya. Perjanjiansando kudodansando agungitu tidak boleh dicampuri oleh
orang lain, melainkan yang berhak menebus sando itu adalah orang yang
menggadaikan harta itu sendiri.
Apabila yang menggadaikan itu meninggal ,maka harta yang menjadi sando
kudadan sando agungitu tetap menjadisando oleh yang memegang atau warisnya.
Sungguhpun harta itu telah menjadi milik sipemegang atau warisnya bila yang
menggadaikan sudah meninggal, tetapi kalau mereka itu hendak menjual atau
menggadaikan lagi harta itu, wajiblah lebih dahulu ia memberitahukan dan
waris orang itu tiada cakap memegang atau tidak dapat menebus/membeli kembali
hartanya, barulah ia bisa menjual atau menggadaikan kepada orang lain.63
Tetapi bila ia tidak berbuat demikian, meskipun harta itu sudah menjadi
miliknya, waris dari yang empunya harta itu dahulu dapat menebus gadai tersebut.
Maka waris itu akan membayar berapa hargapegang gadai nya maka yang membeli
atau yang memegang gadai itu tidak berhak menahan lagi harta itu, yaitu bila harta itu
baru saja dikuasainya, kecuali kalau sudah berlangsung dalam hitungan bulan atau
bertahun lamanya.
Apabila harta itu sudah jatuh kembali ke dalam tangan waris yang menggadai
karena sudah ditebus sesuai kesepakatan kedua belah pihak menurut adat, maka harta
itu tidak boleh digadai kembali oleh warisnya.
Waris dalam menebus gadai wajib melebihi tebusan harta pegang gadai itu
dahulu dan kenaikan itu tidak melebihi dari pada nilai harta pusaka yang digadai,
kecuali kalau harta tanah yang di pegangnya itu sudah menjadi naik sebab sudah
ditambah atau diperbaikinya.
Meskipun harga tanah harta pusaka tinggi yang digadaikan pada saat akan
ditebus menjadi tinggi harga jualnya pada saat itu, maka tidak boleh diperhitungkan
atas kenaikan hargapegang gadai secara tidak wajar. Walaupun demikian pada saat
gadai akan ditebus dibayar kelebihannya wajib atas patut orang di tengah
(kesepakatan pihak ketiga sebagai penengah kedua belah pihak tanpa ada yang
merasa dirugikan), tidak boleh atas kemauan sebelah pihak saja untuk menetapkan
kelebihan penebusan gadai tersebut.
Jika waris yang mau menebus itu sanggup, membayar kelebihan/kenaikan
uang yang memegang itu menurut patut orang di tengah (orang penengah), dengan
tidak merubah kebiasaan hukum adat yang berlaku pada nagari tersebut, maka
bolehlah ia mendapatkan harta itu kembali menjadi harta pusakanya sebagaimana
disebut di dalam pepatah adat:64
yang tergadai ditahuri (yang tergadai diambil kembali)
yang terjual ditebusi(yang terjual dibeli kembali)
Sando kuda dan sando agung itu sama keadaannya, sedikitpun tidak
berlainan. Yang menamakan sando kuda itu adalah orang Lareh Bodi Caniago,
karena kebesarannya menurut sepanjang adat berarak di atas kuda, dan yang
menanam sando agung itu adalah orang Lareh Koto Piliang, sebab yang jadi
kebesarannya di dalam adat adalahbergandang beragung di waktu berhelat.65
Oleh sebab itu pada rumah adat orang Minangkabau, ada suatu rusuk pengatur
tonggak, di atas rumah yang menghadap dari tepi ke tengah, dilebihkan orang sedikit
rusuk itu menghadap ke tengah, yang oleh orang Lareh Bodi Caniago dinamakan
sangkutan genderang, dan oleh orang Lareh Bodi Caniago Koto Piliang dinamakan
sangkutan agung.
Itulah yang dijadikan kias di dalam adat kepadasando gadai, sebab tidak ada
lagi harta yang akan digadaikan, mereka terpaksa menggadaikan agung kebesarannya.
Begitu pula orang kelarasan Bodi Caniago, sampai terpaksa pula menggadaikan kuda
yang jadi kebesarannya, sebagaimana aturan yang tersebut di atas tadi.
Sipenggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas
harta yang digadaikan dan penafsirannya atas kesepakatan kepada kedua belah pihak.
Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagaisando (sandra), maka boleh ditebusi
oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun ke
sawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang
atau emas tadi.
Menurut Undang-Undang No. 56 tahun 1960 Pasal 7, gadai yang telah
berumur 7 tahun atau lebih dapat diminta kembali oleh pemiliknya setiap waktu
setelah panen, tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan
berdasarkan rumus : (7 + ½) - waktu berlangsung hak gadai dikali uang gadai dibagi
7 (tujuh). Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7
tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa
pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai
dipanen. Ketentuan ini tidak berlaku untuk hak atas tanah perumahan. Berdasarkan
putusan Mahkamah Agung RI tanggal 10 Januari 1957 No. 187/K/Sip/56, terhadap
tanah bukan tanah pertanian, tambak dan tanaman keras, hak untuk menebus tak
mungkin lenyap karena daluwarsa, apabila pemilik meninggal, maka ahli waris tetap
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pagang gadai. Pada
umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya
diberlakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia
kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itupagang
gadaidi Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara asas
kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat
yang berfungsi sosial.
Dalam adat Minangkabau hak gadai bukan jaminan sebagaimana berlaku pada
hak tanggungan/hipotik, sebab dalam gadai menggadai tanah di Minangkabau yang
digadaikan beralih kekuasaannya (hak milik), beralih pengnikmatannya kepada
pembeli gadai selama masa sebelum ditebusi secara sempurna, sedangkan dalam hak
tanggungan tanahnya tetap dinikmati oleh pemilik asal.
Di nagari Kamang Mudiak gadai tidak memiliki jangka waktu menebus
bahkan tidak jarang pula penggadai meminta tambahan gadainya yang berupa emas
atau rupiah.66
Gadai tanah yang terus berkembang di masyarakat pada sekarang ini haruslah
diperhitungkan jangka waktunya agar tanah harta pusaka tinggi tidak beralih kepada
orang atau pihak lain, peruntukanya tetap sebagai tanah harta pusaka tinggi yang
bertujuan untuk membantu kaum dan anak kemanakan.
Walaupun gadai harus terjadi sebaiknya sebelum serah terima (ijab kabul
gadai) diperhitungkan berapa banyak hasil yang diterima dari tanah yang digadaikan
lalu disesuaikan dengan jumlah uang, emas atau rupiah yang akan diterima kemudian
dijumlahkan berapa lama waktu gadai yang bisa disepakati agar tanah yang digadai
bisa dikembalikan. Dengan demikian sipenggadai tidak perlu lagi membayar
sejumlah uang, emas atau rupiah yang diterimanya pada saat akan menebus tanah
gadaian tersebut karena sudah diperhitungkan sejak awal.
Sipenggadai dan sipenerima gadai dalam hal ini memiliki posisi yang saling
menguntungkan, bagi sipenggadai pada saat ia membutuhkan biaya yang harus ada
dalam waktu cepat ia menerima dalam bentuk uang, emas atau rupiah dari sipenerima
gadai. Kebutuhan sipenggadai terpenuhi sehingga lepas ia dari masalah yang
dihadapinya dan bagi sipenerima gadai pada saat ia menerima tanah yang dijadikan
benda gadai maka ia sudah bisa menghitung dan mengerjakan tanah tersebut agar
dapat menghasilkan sejumlah uang dalam jangka waktu yang telah disepakati agar
terpenuhinya minimal sebesar jumlah gadai yang diserahkan.
Sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa saling dirugikan,
apabila jangka waktu yang telah disepakati telah berakhir, sepemberi gadai tidak
perlu lagi menebus gadaiannya dan akan menerima kembali tanah yang dijadikan
gadaian dan sipenerima gadai merasa tenang uang, emas atau rupiah yang diberikan
4. Prosedur Pengikatan Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi
Tabel 9 : Aturan atau Prosedur Mengadaikan Harta Pusaka Tinggi Secara Adat
No Prosedur Jmlh Responden
1. Harus memenuhi 4 syarat adat. 5
2 Ditawarkan kepada yang serumah, saparuik,
sesuku, sekampung 2
3 Persetujuan kaum 3
4 Persetujuan mamak kepala waris 3
5 Persetujuan kepala suku 2
6 Mengetahui wali jorong, wali nagari, KAN 1
Jumlah 16
Sumber : data primer yang diolah 30 April 2014
Dari tabel tersebut di atas aturan atau prosedur apabila orang hendak
mengadaikan harta pusaka tingginya secara adat yang lebih dominan dari 16 jumlah
responden 5 responden mengatakan adalah haruslah memenuhi 4 (empat) syarat adat
karena alasan yang benar sepanjang adat yang memperbolehkan dilakukan gadai.
Setelah 4 syarat adat persetujuan kaum dan mamak kepala waris.
Dalam hal ini prosedur menggadai harta pusaka tinggi secara adat yaitu
terlebih dahulu wajib terpenuhinya salah satu 4 syarat adat tersebut kemudian wajib
memberitahukan kepada kaumnya yang sama-sama serumah, kalau-kalau ada
diantara mereka yang bisa membeli atau memegang harta itu, maka namanya
Lepas dari yang serumah, baru boleh berkisar kepada yang sebuah perut, lepas
dari yang saparuik kepada yang sekampung, lepas sekampung kepada sesuku, lepas
dari sesuku baru beralih ke dalamnagaridan seterusnya.
Apabila tidak dilakukan yang seperti itu, maka pekerjaan itu boleh dibatalkan
oleh orang yang berhak memegang harta itu, menurut jenjang masing-masing tadi.
Kalau belum lepas dari yang serumah,harta telah digadaikan begitu saja kepada orang
yang sekampung maka pekerjaan itu salah, “sepanjang adat” dan boleh dibatalkan
oleh orang yang serumah tadi
Sekali-kali dilarang orang yang sekampung atau yang lainnya itu melampui
orang serumah itu, meskipun uang orang itu sudah diterima, dia wajib
mengembalikan uang itu kembali dan menyerahkan kepada orang yang serumah yang
sanggup memegang harta tadi
Kalau sudah lepas dari yang serumah, belum pula ada yang bisa menerima
gadai boleh orang yang sama-sama sesukunya, kalau belum lepas dari yang sama
seperut atau dari yang sekampung dengan orang yang akan mengadaikan harta itu,
melainkan yang sama dan yang sama sekampung itu yang berhak lebih dahulu
memegang harta itu, kemudian selepasnya “berjenjang naik bertangga turun”, dan
seterusnya tidak boleh “lampau melampui”atau lompat melompati, melainkan wajib
turut lebih dahulu jenjang-jenjangnya sesuai dengan aturan adat.
Jika ada yang melanggar aturan itu, maka tiap-tiap ”jenjang”
berhak melarang atau membatalkan hak gadai itu, di mana yang membatalkan harus
Adapun orang yang membatalkan gadai tersebut wajib menyediakan uang/emas itu
tidak lebih dari sebanyak yang diperlukan melepaskan salah satu ”hutang adat”,
apabila harta itu sekedar digadaikan saja.67
Menggadai haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan :
1. Persetujuan dalam kaum.
Kaum adalah merupakan satu garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
yang bertali darah, yang terdiri dari beberapaparuik, dan beberapaparuikterdiri dari
beberapa jurai. Dalam kaum tersebut juga terdapat kemenakan bertali adat (tidak
setali darah, melainkanmalakok). Jadi dalam hal ini untuk mengadaikan tanah harta
pusaka tinggi harus persetujuan dalam kaum yang bertali darah, dan apabila salah
satu dariparuikdanjuraitersebut tidak menyetujui maka gadai tersebut tidak sah.
2. Persetujuan mamak kepala waris.
Mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam kaum tersebut, mamak
kepala waris berfungsi untuk mengawasi terhadap pelaksanaan segala sesuatu hal
mengenai pusaka, khususnya tanah harta pusaka tinggi. Dengan demikian bila mamak
kepala waris mengadakan suatu transaksi seperti pegang gadai, sewa menyewa dalam
hal ini mamak kepala waris tidak dapat bertindak atas nama sendiri, terlebih dahulu
melakukan permufakatan dalam kaumnya, jadi bersama-sama dengan ahli waris
dalam kaum.
3. Persetujuan mamak adat atau penghulu kaum.
Mamak adat atau penghulu kaum berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi
dalam kaumnya dan merupakan pengendali utama dalam masalah tanah harta pusaka
tinggi. Jika terjadi sengketa antara pihak luar maka kepala kaum merupakan wakil
kaum di dalam maupun di luar pengadilan.penghulu dalam kaum tersebut yang
berfungsi dan berperan untuk mengurus seluruh kegiatan kemanakan dalam kaum.
Penghulu kaum berperan kuat dalam masalah sako (gelar kebangsaan) dan pusako
(harta benda).
4. Persetujuan penghulu suku.
Penghulu suku berkedudukan sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam suku
yang bersangkutan, yang antara lain berfungsi mengatur pengelolaan tanah suku
dalam persukuannya. Kedudukan tersebut juga diakui merupakan syarat harus ikut
serta pengolahan tanah di lingkungannya, yang dalam persengketaan merupakan
pemegang posisi kunci dalam penyelesaian masalah yang akan ditanggulangi, di
mana dalam suku terdiri dari beberapa penghulu kaum, dan dipilih salah satu
penghulu kaum tersebut menjadi penghulu suku. Penghulu suku merupakan
pelengkap/turut mengetahui dalam proses menggadai.
5. Persetujuanurang tuo ulayat.
Urang tuo ulayat adalah merupakan urang tua yang ditandai bahwa dia yang
pertama kali memegang kekuasaan harta pusaka tinggi, dimana tanah tersebut
dipegang oleh rangkayo rajosampono di nagari ketaping, amai saik, rajo dulu,
turut mengetahui dalam proses menggadai, yang bertujuan untuk mengetahui bahwa
kemanakannya menggadaikan.
6. Mengetahui dari unsur Pemerintahan adalah :
a. Kerapatan Adat Nagari
b. Wali nagari
c. Wali jorong
Atauran atau prosedur gadai secara adat pada masa sekarang sudah hampir
hilang, 4 syarat adat bukan lagi hal yang paling utama untuk menggadai, kepada siapa
gadai harus ditawarkan terlebih dahulu juga sudah tidak diperhatikan, persetujuan
kaum, mamak kepala suku tidak diperlukan lagi sehingga tanah harta pusaka tinggi
yang bertujuan untuk kebutuhan hidup kaum dan anak kemanakan tidak lagi
diperdulikan.
Benda yang boleh digadaikan adalah berupa :
Tabel 10 : Benda Riil
No Benda riil Jmlh Responden
1 tanah sawah 10
2 Ladang 2
3 tabek/kolam ikan 1
4 hutan 1
5 Bukit 1
6 rumah dan pekarangan 1
Jumlah 16
Dari tabel di atas yang boleh digadaikan berupa tanah sawah, ladang,
tabek/kolam ikan, hutan, bukit, rumah pekarangan. Yang lebih banyak di gadaikan
orang pada sekarang ini adalah tanah sawah dan ladang karena sawah dan ladang
merupakan benda yang apabila dikelola dengan baik bisa menghasilkan uang
sehingga penerima gadai lebih memilih benda tersebut.
Tabel 11 : Benda Kehormatan
No Benda kehormatan Jmlah Responden
1 peralatan datuak 8
2 lambang kebesaran seperti keris baju
kebesaran
8
Jumlah 16
Sumber : data primer yang diolah 30April 2014
Benda kehormatan yang dapat digadaikan pada zaman dahulu saat ini tidak
lagi dipilih sebagai benda gadai oleh sipenerima gadai karena benda tersebut tidak
dapat menghasilkan apa-apa hanya pengeluaran untuk pemeliharaan saja sehingga
pada saat ini orang tidak memilihnya sebagai benda gadaian. Dahulu peralatan datuak
dan lambang kebesaran merupakan benda yang berharga karena memiliki nilai status
kebesaran dan kehormatan.
Ulayat Penghulu, tersebut dalam pepatah adat : anak buah pengulu aia, aia
pengulu rimbo, rimbo pangulu, artinya ulayat penghulu (tidak boleh pindah tangan).
Rumah gadang, rumah itu adalah rumah adat, dikerjakan bersama-sama oleh
Sawah palambuak gadang, (sawah kagadangan), Mengambil alih harta pusaka yang
telah ditebus oleh dunsanak (saudara) tidak dibolehkan, dalam pepatah adat:
Kabaulah dalam kandang
Siriah lah pulang ka gagangnyo
Pinang lah suruik ka tempeknyo
Artinya: yang empunya datang menjemput, sudah kembali keasalnya, apa bedanya
orang bersaudara.
5. Pelaksanaan Gadai Dalam Masyarakat
Dalam melaksanakan gadai harus sesuai aturan “pusako salingka suku”
(pusaka selingkar suku) maksudnya hanya boleh menggadai kepada anggota kaum
yang ada di dalam suku yang sama dan tidak boleh dilaksanakan di luar suku.
Pusako salingka suku harus memperhatikan tingkatan yaitu jarak kekerabatan
sesuai dengan pepatah yang mengatakan:
Tabel 12 : Tingkatan/Jarak Penerima Gadai
No Tingatan/Jarak Penerima Gadai Jumlah
1 Jarak sajangka (sejengkal) 8
2 Jarak saheto (sehasta) 2
3 Jarak sadapo (sedepa) 3
4 Jarak saimbauan (batas teriakan) 3
Jumlah 16
Menggadai tanah harta pusaka tinggi secara adat harus dicari terlebih dahulu
anggota keluarga yang paling dekat yaitu keluarga ibu, jika tidak ada diberi kepada
keluarga setingkat nenek, jika tidak ada dicari kepada anggota kaum dari saudara
nenek begitu tingkatan yang harus ditempuh untuk menggadai pusaka tinggi.
Pada saat ini tingkatan jarak tersebut sudah tidak diberlakukan lagi, bagi
sipenggadai siapa yang bisa menerima gadai dalam waktu cepat kepada ia benda
gadai diserahkan.
Gadai yang dilakukan di nagari Kamang Mudiak dahulu pada umumnya
bersifat saling tolong menolong dan perjanjian dilakukan di bawah tangan di atas
kertas bermaterai cukup yang sifatnya saling percaya, pada saat ini gadai yang
dilaksanakan oleh orang yang menggadai mempunyai motifasi memperoleh
keuntungan materiil berupa emas, rupiah atau padi yang akan digunakan untuk
kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan untuk kepentingan kaum dan bagi
penerima gadai mempunyai motifasi bila tanah yang digadaikan tidak ditebus maka
tanah gadaian tersebut akan dijadikan miliknya secara pribadi karena tanah
mempunyai nilai jual yang akan bertambah setiap saat. Gadai di sini dilakukan
dengan 2 (dua) cara yaitu :68
Tabel 13 : Cara Pengikatan Gadai
No Cara pengikatan Gadai Jumlah
1 Disaksikan dan diketahui oleh mamak kepala waris,
Walijorong, Walinagari, Kerapatan Adat Nagari.
4
2 Tidak dihadiri oleh para saksi dan tidak diketahui oleh
mamak kepala waris, Walijorong dan Walinagari
Kerapatan Adat Nagari
12
Sumber : data primer yang diolah 30 April 2014
Pengikatan gadai dari tabel di atas dilakukan dengan dua cara yaitu pertama
disaksikan dan diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong, Walinagari, KAN
kedua tidak disaksikan dan tidak diketahui oleh mamak kepala waris, Walijorong,
Walinagari, KAN. Terhadap cara kedua banyak menimbulkan masalah harta pusaka
tinggi menjadi persengketaan oleh para ahli waris si penggadai maupun para
ahliwaris si pemegang gadai. Persengketaan tersebut dapat berupa menyertipikatkan
surat tanah gadai tersebut yang dilakukan oleh pemegang gadai karena telah merasa
miliknya sejak puluhan tahun. Oleh karena itu apabila timbul masalah dalam gadai
tersebut, baru Kerapatan Adat Nagari dan Walinagari dilibatkan atau diikut sertakan.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Muslimuna ala syuru-tihim, yang
maksudnya orang-orang Islam itu (terikat) dengan beberapa syarat yang mereka buat
dalam suatu perjanjian, tentu saja syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan
Minangkabau tidak bertentangan dengan hadist tersebut dan sejalan dengan kaidah
fiqih yang menyatakan “al-adah muhak-kamah” yang berarti bahwa adat kebiasaan
itu dapat dijadikan sebagai hukum.69
Dalam sistem gadai sekarang ini sulit untuk mencari legalitasnya, maka
Kerapatan Adat Nagari, Wali Nagari dan Wali Jorong menganjurkan dalam perjanjian
gadai harus dilakukan secara tertulis, diketahui mamak kepala waris, Wali Jorong dan
Wali Nagari untuk memiliki kepastian hukum. Apabila terjadi sengketa dan
perselisihan akan diselesaikan menurut peraturan hukum adat jika tidak dapat di
selesaikan maka harus diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Sando berasal dari kata sandera yaitu yang dijadikan rungguan (jaminan).
Dalam pinjam meminjam uang, padi, emas, rupiah kepada orang lain untuk satu
keperluan yang amat penting, yang disandokan ialah barang-barang tetap.
Ada beberapa persetujuan pinjam meminjam di nagari Kamang Mudiak
yang karena beberapa keadaan berakhir dengansandoatau gadai.70
1. Cagak, dalam hal ini yang dicagakkan atau yang dijadikan jaminan ialah sawah,
ladang, hutan, bukit selama 2 x 7 hari, kalau tidak dapat dibayar dalam tempo 14
hari makacagakdijadikan gadai biasa.
2. Ronggoh atau runggu, yang dironggohkan ialah barang-barang yang boleh
diangsak-angsak, seperti barang-barang berharga seperti emas, lamanya hanya
dalam satu hari atau dua hari. Jika utang tidak dapat dibayar, sering juga
barang yang dijadikan ronggoh itu misalnya emas diganti dengan tanah sesuai
nilainya dengan uang yang dipakai, dan tidak jarang kejadian berakhir dengan
pagang gadaijuga.
Pinjam meminjam yang dicagak, dironggoh ataupun di runggu yang dibayar
pada waktunya, ditebus hanya sebanyak pinjaman, tidak boleh melebihi seperti
pepatah adat : “salang kumbali, gadai batauri”.
Sipenggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas
harta yang digadaikan dan penafsirannya atas kesepakatan kepada kedua belah pihak.
Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagaisando (sandra), maka boleh ditebusi
oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun ke
sawah tidak juga ditebus, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang,
emas, rupiah, padi tadi.
Adapun orang yang hendak menebus (ahli waris penggadai) wajib
menyediakan uang itu tidak lebih dari jumlah yang diperlukan untuk melepaskan
salah satu “hutang adat”, apabila harta itu sekedar akan digadaikan saja.
Tetapi kalau harta itu memang akan dijual, maka orang yang menghambat
(digadai tidak sesuai dengan tingkatan yang harus ditawarkan kepada siapa terlebih
dahulu) atau menebus itu wajib mengadakan uang sebanyak harta itu digadaikan,
atau berapa harga setinggi-tingginya orang lain sanggup membeli harta itu. Bila dijual
ada kelebihan daripada pembayarannya, tidak boleh juga sisa uang digunakan untuk
keperluan lain, melainkan wajib dibelikan kembali tanah untuk penambah besarnya
Begitulah kemampuan adat dalam hal menjual menggadaikan harta pusaka
seperti hutan, bukit, tanah ladang, sawah dan lain-lain sebagainya.
Maka jikalau jual tidak berpelalu atau gadai tidak berpengaku maka
kedua-duanya itu tidak sah, batal hukumnya sepanjang adat.
Bila hal ini terjadi, dan harta yang dijual atau digadaikan itu diambil saja oleh
salah seorang warisnya di mana dia berhak menjual atau menggadai maka yang
menerima gadai tidak boleh menahan harta itu di tangannya, melainkan wajib
baginya melepaskan harta tersebut. Jika ditahannya juga, kesalahan orang tersebut
sepanjang adat yaitu :71
a. salahnyamembeli gadai tidak berpelalu, ataumemegang indak berpengaku.
b. perbuatannya itu di pandang orang sebagai merampas hak orang dengan
kekerasan, dengan tidak mau menurut jalan yang sudah diatur sepanjang adat,
yaitu merusak adat yang berlaku dalamnagari.
Waris yang mengambil kembali harta itu di bolehkan, tidak wajib baginya
membayar kembali uang gadai yang sudah diberikan oleh penerima gadai. Jika si
penerima gadai mau kembali uangnya, maka ia harus memintanya sendiri kepada
siapa uangnya itu diberikannya, sungguhpun demikian jikalau harta yang digadai
orang atau dipegangnya dengan tidak diakui itu telah berlalu setahun lamanya atau
telah berlalu tiga bulan, atau telah tiga kali mengambil hasilnya, maka waris-waris
yang hendak menahan atau mengambil harta itu kembali harus mencari jalan
keadilan, ia wajib mengadu kepada hakim dan dilarang merebut atau merampas harta
itu sebelum hakim memutuskannya.
Bila yang menerima gadai atau yang memegang belum menguasainya
bertahun, atau lepas tiga bulan, harta yang hasilnya diambil berbulan, dan ia tidak
mau melepaskan harta itu dari tangannya, maka harta itu wajib diketengahkan
(diselesaikan) dahulu oleh hakim dengan mencari penjelasan - penjelasan. Adapun
mamak kepala waris dari orang yang berperkara dalam perkara, wajib mengadukan
perkaranya itu kepada kerapatan adat tempat perkara itu, supaya perkaranya
diselesaikan oleh rapat penghulu.
Maka hakim yang berhak dalam rapat itu wajib pula dengan segera memeriksa
perkara itu. Jika betul larangan yang dilakukan sipenahan/penerima gadai hakim
wajib memeriksa dan menghukum bahwa gadai itu menjadi batal dan memerintahkan
agar mengembalikan harta itu kepada yang berhak. Dan hakim wajib memberi
nasehat kepada yang yang menggadaikan itu supaya ia mengembalikan uang yang
sudah diterimanya itu karena perbuatan itu “tiada menurut jalan sepanjang adat”.
Apabila yang menggadai dan yang menerima gadai tidak mau menurut
nasehat hakim atau penghulu yang menghukum, maka nyatalah orang itu melawan
ketentuan adat tentang penjagaan harta benda di dalam nagari.
Kalau bersua (bertemu) yang demikian, orang-orang itu jadi lawan oleh segala
penghulu dan orang banyak dalamnagariitu. Maka wajiblah penghulu menyerahkan
orang itu kepada orang yang lebih berkuasa, supaya ia jangan sampai merusak adat
Gadai tanah yang dikenal dalam hukum adat sampai sekarang masih
merupakan suatu pranata yang digunakan oleh masyarakat desa. Bahkan di Sumatera
Barat masih banyak ditemukan prakteknya di tengah masyarakat. Dengan terminologi
baru yang disebut salang pinjam sebagai reaksi yang ditempuh masyarakat untuk
menghindar agar tidak menyalahi ketentuan pasal 7 UU No.56 Prp tahun 1960.72
6. Penebusan Gadai
Ada kecendrungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai
jangka waktu, di mana yang terakhir cenderung untuk memberikan semacam patokan
pada sifat sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut.73
Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat.
Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat
tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini maka penerima
gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu
waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat
melakukan paling sedikit 2 (dua) tindakan, yakni :74
1. Menganakgadaikan (onderverpanden), di mana penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai pertama dengan penerima gadai pertama dan kedua antara penggadai kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan pihak ketiga (sebagai penerima gadai yang kedua).
2. Memindahgadaikan (doorverpanden), yakni suatu tindakan di mana penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga dan pihak ketiga tersebut
72Hermayulis, Keberadaan Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di dalam UUPA,Jurnal Hukum Bisnis, Vol.9, 1999, hlm28 - 29
73
Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 192
menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara penggadai dengan penerima gadai yang baru.
Pada gadai jangka waktu, biasanya dibedakan antara gadai jangka waktu
larang tebus dengan gadai jangka waktu wajib tebus. Deskripsinya adalah, sebagai
berikut :75
1. Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan penerima gadai ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai dilarang untuk menebus tanahnya. Dengan demikian maka apabila jangka waktu tersebut telah lalu gadai ini menjadi gadai biasa.
2. Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan penerima gadai ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah harus ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas.
Dalam hukum adat, tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi
masyarakat sebagai harta kekayaan yang dapat memberikan kehidupan bagi
masyarakat dan sekaligus barang yang bernilai ekonomis, yang pada saat-saat tertentu
dapat dipertukarkan dengan keperluan lain yang bermanfaat bagi kehidupan
sehari-hari dan dilakukan transaksi-transaksi yang ada hubungan dengan tanah.76
Pengalihan tanah untuk memperoleh uang kontan seketika itu juga dapat
dilakukan dengan cara menjual. Pengertian jual dalam hukum adat meliputi jual
lepas, jual tahunan dan jual gadai.
Gadai merupakan transaksi atas tanah dan benda-benda lain yang
dipersamakan dengan tanah yang dilakukan oleh pemiliknya, dengan pihak lain untuk
75Ibid, hlm. 193
jangka waktu sementara. Jadi hak milik sementara atas tanah dan benda berharga
lainnya yang digadaikan tidak untuk dilepaskan selama-lamanya kepada orang lain,
yang dalam jangka waktu tertentu akan diperoleh kembali dengan cara menebusnya.
Menurut R. Subekti, dalam kertas kerjanya yang berjudul perkembangan
lembaga-lembaga jaminan di Indonesia dewasa ini, pada seminar hipotik dan lembaga
jaminan lainnya tahun 1977 mengatakan bahwa transaksi gadai tanah mempunyai
ciri-ciri penting yaitu : Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa, sipenerima gadai
berhak untuk mengulang gadaikan (hervenpanden), oleh karenanya ia tidak boleh
menuntut supaya tanahnya ditebus dan barang yang digadaikan tidak bisa secara
otomatis menjadi milik sipenerima gadai apabila tidak ditebus, meskipun itu
diperjanjikan tetapi selalu diperlukan transaksi lagi (penambahan uang).77
Dari pendapat di atas dapat ditarik suatu asas hukum dari gadai tanah adat
adalah sebagai berikut:
1. Hak menuntut pengembalian uang gadai dari pemberi gadai tidak dapat
dipaksakan.
Dalam hukum adat, selama transaksi gadai berlangsung, si penerima gadai
tidak dapat memaksa si pemberi gadai untuk segera menebus benda gadai. Berkaitan
dengan kapan gadai itu akan ditebus tergantung dari kehendak si pemberi gadai,
sembarang waktu ia dapat menebus gadai itu dan hak menebus ini beralih kepada ahli
warisnya sipemberi gadai, dengan demikian penebusan benda
77
gadai tergantung kepada kemauan sipemberi gadai.
Hilman Hadikusuma, mengatakan bahwa waktu penebusan kembali itu akan
dilakukan oleh penggadai terserah pada kehendak dan kemampuan si penggadai.
Pemegang gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada penggadai agar
tanahnya ditebus dan hak gadai dapat beralih kepada ahli warisnya.78
A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa pemegang gadai tidak dapat
menuntut hutang gadai itu dalam hal tidak ditebus oleh pemberi gadai, sebab pokok
transaksi disini adalah tanah bukan uang. Namun demikian sarjana menambahkan
bahwa walaupun ada ketentuan tersebut tidak berarti bahwa setiap waktu dapat
dilakukannya sehingga dapat mengakibatkan merugikan pemegang gadai, kecuali
untuk tanah yang tidak diusahakan, kalau tanah yang diusahakan harus diperhatikan
bahwa untuk tanah sawah jika yang mengerjakan sawah pemegang gadai, maka
penggadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah selesai dipanen,
untuk tebat tanah perikanan harus menunggu hasil ikan semusim atau mengambil
kembali bibit ikannya.79
2. Hak menebus tidak hilang karena lewat waktu.
Menurut hukum adat Indonesia, hak menebus dalam transaksi gadai tanah
tidak mungkin hilang karena pengaruh lewat waktu (verjaring). Selama uang gadai
belum dibayar/ditebus kembali kepada pemegang gadai, maka sipemegang gadai
78
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 127.
79
tetap menguasai benda gadai tersebut. Demikian juga kalau dalam transaksi gadai
yang di perjanjikan/ditentukan tidak berarti bahwa dengan habisnya waktu kemudian
secara otomatis benda gadai menjadi milik sipemegang gadai akan tetapi harus
ditempuh suatu tindakan hukum lain yakni dengan cara meminta kepada pemberi
gadai agar tanah tersebut ditebus atau dijual, dari hasil harga jual diberikan kepada
pemegang gadai sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai atau dengan perantaraan
pengadilan.
Untuk diambil keputusan sesuai kebijaksanaannya, dengan adanya keputusan
hakim tersebut maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemberi gadai saja tetapi
sama-sama memikul kerugian. Hal ini dapat dilihat dari keputusan beberapa
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain :
a. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 33/K/SIP/1952 tanggal 21 September
1955 yang berbunyi: Gadai tanah tidak ada batas waktu untuk menebus
kembali tanah itu.80
b. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 18/K/SIP/1956 tanggal 10 Januari
1957 yang berbunyi menurut hukum adat seluruh Indonesia hak menebus
tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu.81
c. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret
1960 yang berbunyi : Jual gadai tanah sawah dengan perjanjian bahwa apabila
lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya
80Abdurrahman, Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria VI,
(Bandung: Alumni, 1980), hlm. 750
sipemegang gadai untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu
tindakan hukum lain.82
d. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 45/K/SIP/1960 jo Putusan Mahkamah
Agung R.I. Nomor: 30/K/SIP/1961 tanggal 17 Mei 1961 yang berbunyi
apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana
tanah harus ditebus ini tidak berarti bahwa setelah waktu itu lampau tanpa
tebusan tanahnya dengan sendirinya menjadi milik sipemegang gadai
melainkan harus ada suatu penegasan yang konkrit.83
e. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 116/K/SIP/1962 tanggal 30 Mei
1962 yang berbunyi : Dalam hal gadai tanah hak menebus menurut hukum
adat tidak dapat lenyap secara daluarsa.84
f. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 420/K/SIP/1969 yang berbunyi gadai
tanah tidak tunduk pada kadaluarsa.85
3. Pemegang gadai tidak dapat secara otomatis menjadi pemilik benda gadai.
Adakalanya dalam transaksi gadai, para pihak menentukan waktu penebusan
gadai. Dengan batas waktu ini sipemberi gadai berkewajiban menebus benda gadai
dari tangan pemegang gadai, maka benda gadai menjadi milik pemegang gadai. Kalau
hal demikian telah diperjanjikan para pihak, maka menurut S.A. Hakim isi perjanjian
82Ibid,hlm. 773 83Ibid, hlm. 783
84Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, Jilid II, (Yogyakarta: Bina
Cipta, 1981), hlm. 32
itu tidak boleh diartikan secara leterlek (menurut kata-kata). Dengan perkataan lain isi
perjanjian itu tidak berlaku secara
otomatis.86
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut harus ada tindakan hukum yang lain,
berupa perbuatan kongkrit agar pemegang gadai dapat menjadi pemilik benda gadai.
Hal ini dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam keputusannya Nomor:
45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret 1960 yang berbunyi sebagai berikut: Jual gadai
tanah dengan perjanjian bahwa apabila lewat waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu
akan menjadi milik sipemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang
ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan sawah itu dengan sendirinya
menjadi miliknya sipemagang gadai. Untuk mendapatkan milik tanah itu masih
diperlukan suatu tindakan hukum lain.87
Berdasarkan pendapat para sarjana dan didukung oleh putusan Mahkamah
Agung maka dapat dipahami bahwa berakhirnya batas waktu gadai tidak
mengakibatkan pemegang gadai menjadi pemilik benda secara otomatis, pendapat ini
didasarkan kepada rasio transaksi gadai itu sendiri yang pada hakekatnya bukan untuk
melepaskan tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya melainkan bersifat
sementara.
Ini berarti sipemberi gadai memiliki keamanan untuk memiliki kembali benda
gadai tersebut. Oleh karena itulah kalau sipenerima gadai ingin memiliki benda gadai
86
S.A. Hakim,Jual Lepas, Jual Gadai, Jual Tahunan, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1960), hlm. 23
maka ia harus menempuh cara lain yaitu adanya perbuatan hukum lain secara konkrit
yang dikenal dengan istilah jual lepas.
Dari putusan Mahkamah Agung dapat disimpulkan bahwa gadai tanah ini bisa
meliputi tanah secara umum dan gadai tanah khusus tanah sawah. Baik gadai atas
tanah sawah atau tanah pada umumnya, hak menebusnya tidak hapus karena
pengaruh lampau waktu (daluarsa).
Dalam masyarakat hukum adat, transaksi gadai tanah ini dapat dilakukan
secara lisan dan tertulis. Walaupun transaksi dilakukan secara tertulis dengan janji
bahwa sipemberi gadai akan menebusnya pada waktu yang ditentukan itu, ternyata
sipemberi gadai tidak memenuhi janjinya, maka sipenerima gadai tidak dapat
memaksa sipemberi gadai untuk menebus benda gadai dengan alasan waktu gadai
telah berakhir. Berakhirnya waktu gadai juga tidak membawa akibat hukum bahwa
sipemegang gadai dapat menjual atau memiliki benda gadai.
Hak menebus benda gadai ini suatu hal yang patut dicontoh adalah kebiasaan
yang terjadi di Minangkabau yang dikenal dengan istilah “pitungguh gadai” yaitu
bahwa pihak penerima gadai setiap tahun memberi kiriman nasi kepada pihak
pemberi gadai. Perbuatan ini merupakan suatu pertanda bahwa pihak pemberi gadai
mempunyai hak untuk menebus kembali benda gadai tersebut.
Hal ini berbeda dengan pand yang dikenal KUHPerdata bahwa jika waktu
pand berakhir dan debitur tidak melaksanakan kewajibannya yakni membayar hutang
(melelang). Dari hasil penjualan barang ini, kreditur berhak atas piutangnya dan
sisanya dikembalikan kepada kreditur.
4. Penerimaan dan pengembalian uang gadai harus dilakukan sekaligus.
Transaksi harus dilakukan secara tunai dan pembayaran gadai ini tidak boleh
sebahagian demi sebahagian melainkan harus dibayar sekaligus. Yang dimaksud
dengan uang gadai adalah jumlah uang yang telah dibayar oleh sipemegang gadai
kepada si pemberi gadai, tidak merupakan hutang yang dapat ditagih.88
Apabila dalam transaksi gadai, pembayaran dilakukan secara mencicil, maka
perbuatan ini sudah tidak sesuai dengan sifat transaksi gadai itu sendiri, yang
menghendaki adanya perbuatan tunai. Merupakan hal yang sukar di lingkungan
hukum adat bahwa sipemberi gadai telah menyerahkan tanahnya dan sipenerima
gadai membayar uang gadai sebahagian saja, sebahagian lagi akan dibayar pada
waktu yang lain.
Hal ini juga ditegaskan oleh Ter Haar, bahwa pengembalian uang gadai harus
dilakukan sekaligus tidak boleh sebahagian demi sebahagian, apabila pengembalian
ini dilakukan sebahagian demi sebahagian harus diartikan bahwa sebahagian dari
uang gadai diserahkan lebih dulu kepada sipemegang gadai sedangkan baru ada
penebusan bila pembayaran sebahagian terakhir telah terlaksana.89
5. Hak gadai dapat dipindahkan oleh sipemegang gadai kepada pihak ketiga.
88Van Dijk,Pengantar Hukum Adat Indonesia,Terjemahan A. Soehardi, Verkink, Van Hove
(Bandung: S. Groven Hage, Tanpa Tahun), hlm. 52
89
Apabila sipemegang gadai memerlukan uang maka ia boleh memindahkan
hak gadai kepada orang lain. Cara melakukan pemindahan gadai ini dapat dilakukan
dengan dua cara :90
a. Antara sipenjual gadai semula dengan pemerima gadai semula
(terang-terangan).
b. Antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang
menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kalau sipemegang gadai
membutuhkan uang tunai misalnya tidak ingin lagi menguasai tanah itu ia dapat
berbicara denga si pemilik, apakah si pemilik menebus kembali tanah itu, kalau tidak
maka sipemegang gadai akan mencari orang lain yang dapat menolongnya dengan
pemberian uang tunai, apabila pihak ketiga itu sudah ada yang bersedia, ada dua jalan
yang dapat dilalui oleh si pemegang gadai, ia dapat menggadaikan lagi tanah itu
kepada orang ketiga ini dengan menyerahkan tanah itu kepadanya dan menerima
sejumlah uang tunai dengan perjanjian, sewaktu-waktu berhak menebus tanah itu
kembali dari seorang ketiga itu tersebut (onder verpanding), jalan kedua ia
mengoperkan hak gadainya kepada seorang ketiga artinya ia menyerah juga tanah itu
kepada orang ketiga dan menerima sejumlah uang tunai dari seorang itu tetapi dengan
catatan sipemegang gadai menarik diri dari hubungan hukum terhadap tanah itu.91
90Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 30
91 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: Intermasa,
Sementara itu A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa sipemegang gadai
dapat memperoleh uang kembali dengan 3 (tiga) jalan yang dapat ditempuh antara
lain :92
1. Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain (doorverpanding), ini perlu
tahu sipemberi gadai juga memerlukan kepala persekutuan, dengan begini
kedudukan pemegang gadai lama digantikan oleh pemegang gadai baru dan
dia inilah sekarang yang mempunyai hubungan gadai dengan pemberi gadai
semula.
2. Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain, tetapi tetap atas nama
dirinya sendiri sebagai pemegang gadai terhadap pemberi gadai
(onderverpanding) ini tidak memerlukan bantuan kepala persekutuan dan
pemberi gadai hanya mempunyai hubungan gadai dengan pemegang gadai
artinya dengan menebus hutang gadai kepadanya saja maka ia berhak
menerima kembali tanahnya.
3. Ia dapat mengikat pemberi gadai, dengan janji supaya tebusan dibayar pada
waktu yang ditentukan, jika lewat waktu ia maka tanah itu akan menjadi milik
si pemegang gadai. Ini berarti jika waktu yang ditentukan itu telah lewat, ia
dapat menuntut supaya hubungan gadai diputuskan serta diganti dengan
transaksi jual lepas. Dengan transaksi inilah pemegang gadai dapat memiliki
tanah itu, jika tidak ada persesuaian maka diminta putusan hakim supaya
tanah menjadi hak miliknya dengan pembayaran harga tanah yang
ditetapkan/ditentukan dalam putusan ini.