• Tidak ada hasil yang ditemukan

BARA DI TANAH RAJA Proses dan Mekanisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BARA DI TANAH RAJA Proses dan Mekanisme"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

“BARA DI TANAH RAJA”

Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta

Dian Yanuardy

Awal

Akhir Juli 2014. Sebuah pamflet mencolok terpasang di pinggir Jalan Daendels, tepatnya di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Ditempel pada sebuah tugu, pamflet itu terbuat dari papan kayu dengan warna dasar putih dan huruf-huruf tegas berwarna merah. Kalimat yang tertulis di pamflet itu sangat keras dan menantang: To Sultan HB X, Jangan Kau Jual Tanahku, Jual Saja Istrimu!. Pamflet itu bukan satu-satunya. Terdapat puluhan pamflet di sepanjang desa pesisir Kulon Progo yang berisi kecaman terhadap pertambangan pasir besi. Rentetan kalimat perlawanan seperti “Selamatkan Pesisir Kulon Progo dari Rakusnya Tambang Besi”, “Bertani atau Mati” dan “Kita Lebih Merdeka tanpa Tambang Pasir Besi” berjajar bak karnaval pamflet di sepanjang desa-desa pesisir Kulon Progo. Sebuah organ yang terhubung dengan kesultanan, Paguyuban Seksi Keamanan Keraton (Paksi Katon), melaporkan anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo atas pamflet yang dianggap mencemarkan nama baik keluarga Sultan HB X itu.

Pertentangan PPLP terhadap Kesultanan Yogya---yang dalam tulisan ini berarti keluarga Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta, yang seringkali saya gunakan secara bertukaran juga dengan istilah Swapraja---bukan peristiwa yang baru. Sejak tahun 2007, pemerintah provinsi Yogyakarta berupaya untuk membuat investasi skala besar dalam pertambangan pasir besi yang dilakukan oleh Indomines, Ltd, sebuah perusahaan berbasis di Australia dan PT. Jogja Magasa Internasional yang sahamnya dimiliki oleh keluarga kesultanan Yogya. Wilayah konsesi pertambangan pasir itu meliputi area seluas 2.900 ha, sepanjang 22 kilometer dari sungai Bogowonto hingga kali Progo dan masuk ke arah pemukiman sejauh 1, 8 kilometer dari garis pantai. Rencana pertambangan itu berpotensi menggusur sejumlah wilayah, seperti desa Jangkaran dan Palihan di kecamatan Temon; Desa Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates; desa Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan; dan desa Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur. Termasuk, menggusur lahan-lahan pertanian yang telah dikelola oleh ribuan para petani pesisir selama beberapa tahun. Salah satu klaim vital yang digunakan oleh pihak kesultanan untuk memuluskan rencana pertambangan pasir besi ini adalah dengan menyatakan bahwa wilayah pesisir tersebut merupakan tanah milik Pakualaman atau Paku Alaman Ground (PAG) berdasarkan berdasarkan Rikjsblaad Kasultanan 1918. Isi peraturan jaman kolonial ini menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah hak milik keraton..

Tentu saja, proyek pertambangan pasir besi ini mendapatkan perlawanan yang keras dari masyarakat pesisir Kulon Progo. Mendirikan sebuah organisasi yang bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, masyarakat pesisir seringkali mengkombinasikan perlawanan anti-tambang pasir besi dengan kecaman yang keras terhadap klaim swapraja atas tanah. Babak-babak dari pertarungan agraria di tanah para raja ini masih belum memasuki ronde-ronde terakhir. Pertarungan membara untuk merebut dan mempertahankan tanah masih berlangsung. Karena itulah, tulisan ini menyebut pertarungan tersebut sebagai “proyek perampasan tanah”, karena perampasan tanah secara aktual terhadap seluruh tanah di tapak proyek belum terjadi.1

(2)

Tulisan ini berupaya untuk memeriksa proses dan mekanisme proyek perampasan tanah pada kasus pertambangan pasir besi di Yogyakarta. Proses, dalam studi ini, merujuk pada “diagnostic events”, suatu istilah yang ditemukan oleh Sally Falk Moore, yang merujuk pada "momen-momen tertentu yang memiliki kontradiksi yang kuat yang membedah logika kultural, mengidentifikasi berbagai macam pemangku kepentingan dan menyingkapkan genealogi dari ide-ide yang menghubungkan berbagai institusi dalam suatu kejadian konflik sosial” (Moore 1987: 727-736). Sementara yang disebut dengan mekanisme dalam penelitian ini diambil dari tradisi critical realist, merujuk pada pola dari “suatu peristiwa tertentu yang secara reguler terus terjadi…dan merupakan produk dari interaksi dan relasi kekuasaan tertentu dan mengambil tempat dalam suatu konteks geo-historis tertentu” (Sayer 2000: 15). Dengan meletakkan konteks geo-historis tertentu sebagai suatu yang penting, maka dalam penelitian ini mekanisme tidak dipandang sebagai suatu yang stabil, tetap dan tak tergoyahkan atau tak terlumpuhkan. Mekanisme juga tidak dipandang sebagai pola yang tetap dari peristiwa tertentu, melainkan hasil dari relasi spasio-temporal dengan obyek-obyek yang lain yang memiliki kekuasaan tertentu yang dapat memicu, memblokir atau memodifikasi mekanisme tersebut.

Karena itu, dalam hubungannya dengan proyek pertambangan pasir besi, studi ini akan menempatkan proses perampasan tanah dalam hubungannya dengan diskursus-diskursus yang membentuknya; inisiatif-inisiatif untuk memuluskan dan membuatnya natural dan dapat diterima; hingga proses-proses kebijakan yang menopangnya yang merupakan hasil dari berbagai macam kekuatan-kekuatan dan produk dari relasi kekuasaan yang bersifat konjungtural. Sementara, mekanisme dalam studi ini akan dilakukan dengan membedah dan menganalisis pola kekuasaan kesultanan dalam membuat kasus ini bekerja secara progresif.

Proses-proses Kebijakan

(3)

Peta 1: Proyek pertambangan pasir besi di Indonesia. Disusun dari berbagai sumber berita. Peta dibuat oleh Didi Novrian.

Salah satu argumen yang mendorong dan menjadi basis dan landasan bagi bertumbuh pesatnya proyek pertambangan pasir besi yang berkembang luas di Indonesia adalah meningkatnya harga pasir besi dan biji besi di dunia. Ini terjadi seiring dengan permintaan pasar yang semakin meningkat akibat industrialisasi yang cepat di negara-negara seperti China dan India, sementara Krakatau Steel, sebuah perusahaan BUMN, dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional akan bahan baku biji besi dan baja selama beberapa tahun (Majalah Tambang Online, 2010). Dalam kasus proyek pertambangan pasir besi di Yogyakarta, argumen itu didasarkan pada hasil penelitian yang menyebutkan di sepanjang pantai selatan Jawa, utamanya di Kulon Progo, terdapat kandungan pasir besi yang terbaik di dunia dengan kualitas vanadium yang tinggi. Karena itu, beberapa pendukung proyek ini menyebut bahwa potensi pasir besi di Kulon Progo adalah “emas hitam”. (Kompas, 8 Oktober 2007).

Untuk membuat proyek tersebut lancar, dalam presentasi untuk sosialisasi tambang ke pihak pemerintah yang berjudul “Industri Baja Terpadu: Aktivitas Penambangan Berwawasan Lingkungan”, calon investor penambangan pasir besi, Jogja Magasa International, secara memikat memulai argumennya dengan menyatakan bahwa “yang membedakan peradaban zaman batu dengan zaman modern adalah ditemukannya pemanfaatan besi dan baja oleh manusia. Karena itu, besi dan baja merupakan elemen yang tak terpisahkan dari peradaban manusia modern dan merupakan elemen vital dan tulang punggung dari industri”. Presentasi itu lalu menyebutkan bahwa “industri baja di Indonesia 100% sangat tergantung pada impor, sementara diperkirakan terdapat 1300 juta ton potensi biji besi di Indonesia yang belum dieksploitasi…jika ini kondisinya, maka kapan Indonesia bisa mandiri?”. Selanjutnya, dalam presentasi tersebut dinyatakan bahwa pertambangan pasir besi di Yogyakarta menjadi tak terelakkan. Ini karena melalui pertambangan pasir besi itulah ketersediaan 50% dari stok nasional atas besi dan baja dapat terpenuhi. Selain itu, melalui pertambangan juga pendapatan negara dan peningkatan kualitas hidup manusia dapat terjamin.

Untuk membuat proyek tersebut menjadi dapat diterima oleh masyarakat, pihak investor menyebutkan bahwa: (1) pihak perusahaan akan memberikan kompensasi ganti rugi atas tanaman tumbuh, bangunan dan infrastruktur yang berada di atas lahan yang terkena aktivitas pertambangan dengan harga yang layak dan wajar; (2) Memberikan kompensasi penghasilan selama dua tahun, atas tidak beroperasinya lahan garapan; (3) Mengembalikan kondisi lahan eks-tambang dalam kondisi yang layak dan dapat dimanfaatkan pada tahun ketiga sejak penambangan dimulai; (4) Memberi prioritas kesempatan kerja kepada penduduk yang terkena aktivitas operasi penambangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

(4)

industri konstruksi dan agrowisata.

Potensi pasir besi di Kulon Progo telah diketahui melalui penelitian oleh Aneka Tambang pada tahun 1970an dan studi geologis yang dilaksanakan oleh AMDEL pada 1973. Namun momen sesungguhnya yang membuat potensi tersebut bergerak menjadi rencana investasi adalah diadakannya suatu studi oleh Lurgi dan Davey McKee pada tahun 1985 yang melakukan test-work dan kemudian menemukan bahwa terdapat potensi deposit pasir besi yang mengandung titani-ferrous magnetite di sepanjang 22 kilometer garis pesisir Kulon Progo. Proses itu berlanjut ketika sebuah perusahaan konsultan geologi, Mackay & Schnellmann, mengestimasi bahwa eksplorasi target di Kulon Progo dapat mencapai 336 hingga 560 juta ton pasir besi. Mengetahui bahwa sejak penelitian tersebut potensi pasir besi tersebut ditelantarkan dan tidak diolah---dengan menggunakan istilah “the deposits at Yogyakarta have lain idle since that time”---AKD Ltd, perusahaan investor asal Australia, kemudian berencana untuk melakukan: (1) perubahan nama menjadi Indo Mines Ltd; (2) konsolidasi modal untuk 10 basis; (3) meningkatkan permodalan sebesar 2.2 juta USD, dan (4) perekrutan jaringan pemegang saham (shareholders).2

Sejak tahun 2005, PT Jogja Magasa Iron, yang dimiliki oleh keluarga Hamengku Buwono X, gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga merupakan Sultan Yogyakarta, mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikutnya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo berdasar surat No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005. Kemudian karena bermitra dengan Indo Mines. Ltd. dan dikategorikan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA), maka Kuasa Pertambangan dikonversi menjadi Kontrak Karya (KK) sesaui dengan UU. No. 1/1967 dan UU. No.11/1967. Kontrak Karya ini kemudian mendapat persetujuan Pencadangan Wilayah dari otoritas tertinggi di Kabupaten Kulon Progo, berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral/ESDM No. 1614 tahun 2004, dengan syarat menyetorkan uang jaminan kesungguhan sebagai syarat mendapat Persetujuan Prinsip Aplikasi KK (Keputusan Menteri ESDM No. 1603/40/MEM/2003).

Adapun Butir-butir kontrak karya yang penting adalah sebagai berikut : Masa operasi : 30 tahun

Luasan : 2.987 Ha (22 x 1,8 km)

Investasi : 1,7 M US$., 600 Juta US$ untuk Penambangan dan 1,1 M US $ untuk Infrastruktur

Pajak : 20 Juta US $ per tahun

Pendanaan Lokal : 7 Juta US $ per tahun selama 10 tahun dan selanjutnya 2 persen.

Royalti : 11,25 Juta US $ per tahun

Penambangan : 2011

Produksi besi : 2012

Volume : 1 juta ton per tahun.

Rasio investasi : JM 30 persen dan IM Ltd. 70 persen.

2

Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005. Dapat juga dibandingkan dengan Indomines Limited. 2006. Annual Report, tidak diterbitkan.

9 Untuk kajian mengenai politik kebijakan Sumber Daya Alam dari kasus ini, tesis karya Kus Sri Antoro merupakan tulisan yang detail mengamati proses-proses kebijakan. Selengkapnya, Antoro, Sri Kus. 2008. Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Tesis Master di Institut Pertanian Bogor, tidak diterbitkan.

(5)

Luas konsesi pertambangan direncanakan sekitar 3,000 ha, atau 22 kilometer sepanjang sungai Bogowonto hingga sungai Progo selama 25 tahun. Proyek ini akan mencakup tiga kecamatan, yang juga akan mencakup pertanian lahan pasir milik petani dan pemukiman sepanjang 1,8 kilometer dari pantai. Secara khusus, proyek tersebut akan menggusur pertanian lahan pantai di enam desa: Karangwuni, Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu, dan Banaran. (Lihat Peta 2)

Peta 2: Area Proyek Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo, Yogyakarta. Sumber: Bahan Presentasi PT. JMI, 2007.

Sebagaimana disebut dalam Kontrak Karya, Indomine, Ltd akan menguasai 70% saham dari proyek ini, sementara Jogja Magasa Iron akan memiliki sisa saham sekitar 30%. Investasi pada proyek pertambangan pasir besi ini berkisar antara 6000 juta USD. Selain pertambangan pasir besi, proyek ambisius ini direncanakan akan juga membangun kompleks industri pasir besi, termasuk empat pabrik pemrosesan sehingga tidak hanya pasir besi yang dihasilkan melainkan juga pig iron, biji besi dan produk-produk ikutan lainnya.

Salah satu titik kunci penting dalam setiap proyek adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang juga merupakan landasan bagi pelaksanaan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten dan kota. Sifat RTRW adalah hierarkis, dalam pengertian bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi payung bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan yang terakhir juga menjadi payung bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

(6)

Wates, Panjatan, dan Galur. Pasal ini kemudian dapat menjadi menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL.

Sementara, untuk mendukung proyek pertambangan ini, maka diperlukan aspek yang lain, yaitu berkaitan dengan kepemilikan dan kepenguasaan atas tanah. Untuk mendukung klaim tersebut, maka dinyatakan bahwa sekitar 80% tanah yang diduduki oleh masyarakat pesisir untuk lahan pertanian, merupakan tanah yang dikuasai oleh Pakualaman Ground, berdasarkan pada Rikjsblaad Kesultanan 1918. Karena itu, sembari melarang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat untuk mengukur kembali tanah milik Kasultanan Yogyakarta (SG) dan Puro Paku Alaman (PAG), Sultan HB X juga menyatakan bahwa pengukuran terhadap tanah milik Kesultanan dan Pakualaman sudah pernah dilakukan BPN Provinsi DIY. Dalam pengukuran tersebut, BPN Provinsi DIY mencatat, tanah SG dan PAG teridentifikasi ada sekitar 3 ribu hektar lebih dan membutuhkan identifikasi selama 11 tahun. Mengutip pernyataan Sultan HB X:

“Kalau BPN sini kan sudah. Itu saja ngukurnya, identifikasinya 11 tahun. Isunya kan Kraton Yogya ini punya tanah di luar Yogya. Kapan ada, Kraton tidak punya, yang ada ya hanya di sini. Jadi sekarang BPN Pusat mengakui enggak BPN Yogya yang sudah mengukur, itu saja. Yogya kan tidak punya tanah di luar Yogya.”3

Untuk meneguhkan alas dan klaim penguasaan dan kepemilikan untuk proyek pertambangan pasir besi tersebut, maka Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta kemudian mengeluarkan sebuah peta yang menyatakan bahwa seluruh wilayah pesisir Kulon Progo yang di dalamnya termasuk rencana pertambangan pasir besi Kulon Progo adalah milik Pakualaman Ground. (lihat tanda kuning di bawah, peta 4)

Peta 3: Peta Pakualaman Ground di Kulon Progo

Sumber: Presentasi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 2009. Pengembangan dan Pemantapan Kebijakan Pertanahan Pulau Jawa Bagian Selatan di Kabupaten Kulon Progo.

3

(7)

Proses kebijakan lain yang menentukan adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)---yang menjadi penentu apakah suatu proyek dapat dilaksanakan atau tidak. Kajian AMDAL meliputi aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat, sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha atau untuk kegiatan. AMDAL terdiri atas Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) serta Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Otoritas penentu kelayakan dokumen AMDAL berada di tangan Gubernur. Pengumuman dokumen AMDAL dilakukan pada Agustus 2009, sedangkan konsultasi publiknya dilakukan pada September 2009, sedangkan pelaksanaan AMDAL dilakukan pada Januari 2010.

Meskipun mendapat pertentangan oleh masyarakat, pada tahun 2012, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DIY kemudian memberikan izin terkait penambangan pasir besi tersebut. BLH berkesimpulan proyek pertambangan dengan operator PT Jogja Magasa Iron (JMI) telah memenuhi prosedur terkait Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hasil kajian Amdal BLH di pesisir pantai kawasan Kulon Progo menyebutkan bahwa proyek tersebut memenuhi persyaratan untuk didirikan kegiatan pertambangan.4

Mekanisme-mekanisme Yang Memuluskan dan Memungkinkan: Peranan Spesifik Kekuasaan Swapraja

Bagian ini akan menyoroti tentang mekanisme-mekanisme yang memungkinkan dan memuluskan (enabling and smoothening mechanisms) bekerjanya proyek akumulasi dengan perampasan. Sebagaimana diuraikan di atas, berbagai proses-proses kebijakan yang terentang mulai dari pemegang saham perusahaan, perubahan kebijakan tata ruang, pemberian alas hak penguasaan dan pemilikan semuanya berjangkar pada peranan spesifik dari kekuasaan Swapraja---dalam hal ini merujuk pada kekuasaan Kesultanan dan Pakualaman. Memahami bahwa proyek ini didukung oleh Kesultanan, Australian Indomine Ltd menyatakan bahwa prospek berjalannya investasi pasir besi ini akan berjalan lancar dan menyebut bahwa Sultan Yogyakarta yang sekaligus Gubernur sebagai “strong and well-connected local power” (Kompas, 10April 2008).

Sebagaimana dicatat oleh Anderson (1988) dan Case (2003) seringkali kekuasaan lokal tampil sebagai kelas sosial yang dominan yang memiliki akses dan kontrol atas tanah memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah-arah perubahan agraria. Kekuasaan lokal tersebut juga dapat mengalihkan akumulasi kekayaan berbasis kontrol dan akses tanah tersebut ke dalam ranah-ranah kekuasaan lain seperti ranah politik dan budaya. Sementara, studi lain yang dilakukan oleh Christian Lund (2012) tentang kekuasaan lokal dan pertarungan untuk akses dan kontrol atas di Ghana menyebutkan bahwa pertarungan tersebut seringkali melalui mekanisme kekuasaan yang saling berkait-kelindan (interdigitating power) dengan cara yang kompleks untuk mengkonstruksi tradisi, sejarah atau adat dan mengkombinasikannya dengan proyeksi masa depan mengenai tanah sebagai teritori politik dan properti.

Dalam bagian ini, penulis berpendapat salah satu mekanisme yang memungkinkan dan membuat proyek pertambangan pasir besi menjadi berjalan lancar adalah moda kekuasaan Swapraja5

4

http://www.cybernasonline.com/cybernas/index.php?content=news&news=984, diakses tanggal 20 Oktober 2012. 5 Kekuasaan Swapraja dalam hal ini secara spesifik merujuk pada Kesultanan Yogyakarta, yang direpresentasikan oleh

(8)

yang persisten yang saling berkelindan dalam cara kompleks dalam hubungannya dengan tiga posisi sosial yang berlainan yang menubuh dalam suatu tindakan sosial dalam peranannya sebagai pemegang kekuasaan kultural (Sultan), pemegang otoritas dan kekuasaan juro-politik (Gubernur) dan pemilik kapital (pebisnis). Sebagai Sultan, berarti terdapat kekuasaan kultural yang besar dimana seorang Sultan pada umumnya dipercaya sebagai pelindung bagi masyarakat, memiliki kekuatan magis dan religius dan memiliki tempat di puncak struktur sosial masyarakat (Laksono 1990: 13; Soemardjan 1981: 18); sebagai Gubernur berarti terdapat kekuasaan juro-politik dalam menentukan kebijakan, regulasi dan peraturan untuk mengelola, mengatur dan menentukan akses dan kontrol atas sumberdaya serta merancang, mengatur dan menentukan rencana-rencana pembangunan (Li 2005; Scott 1998); sementara sebagai pebisnis, maka ia tampil sebagai kekuatan sosial (social force) yang terikat dengan hukum besi kapital, yaitu telos untuk mendapatkan keuntungan, dan drive untuk menciptakan kondisi-kondisi baru agar dapat mengakumulasi tanpa henti, serta conatus untuk membuat upayanya tersebut lestari dan berkelanjutan, atau self-preservation (de Angelis 2007: 39-41).

Namun, bagaimana persisnya hal itu dilakukan dalam hubungannya dengan kasus ini? Bagian berikut ini akan berupaya menjelaskan mekanisme-mekanisme untuk memungkinkan dan memuluskan proyek pertambangan pasir besi. Mekanisme-mekanisme di bawah ini, tentu saja, tidak boleh dimengerti sebagai sebuah aksi tunggal seorang perencana ulung, melainkan merupakan hasil dari serangkaian bentuk-bentuk dan pola-pola tindakan sosial yang muncul sebagai hasil dari interaksi multirupa dari beragam aktor, kepentingan, dan konteks-konteks tertentu yang spesifik. (Lihat tabel 2)

Kait-kelindan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta

Sarana Kekuasaan Adat dan budaya Politik Ekonomi

Tabel 1: Kait-kelindan Kesultanan Yogyakarta

Dari tabel tersebut, terdapat gambaran mengenai berbagai tindakan-tindakan sosial dari kekuasaan Swapraja yang muncul dalam hubungannya sebagai pemegang kekuasaan kultural, pemegang kekuasan juro-politik, dan pemilik kapital. Dalam hubungannya dengan tanah, misalnya, sebagai pemegang kekuasaan kultural tanah lebih dipandang sebagai teritori. Dalam hal ini, tindakan sosial yang diterapkan oleh kekuasaan Swapraja adalah meneguhkan eksistensi Sultan Ground dan Pakualaman Ground berdasarkan Rikjsblaad Kasultanan 1918. Isi peraturan ini lebih dikenal sebagai domeinverklaring, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah hak milik keraton. Meskipun Sultan Hamengku Buwono IX pernah berupaya untuk mengintegrasikan tanah SG dan PAG ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dalam kenyataannya pihak Kesultanan masih menjaga dan memelihara kontrol atas tanah dengan tidak sama sekali menghapuskan istilah Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Untuk menghindari penghapusan

(9)

tanah bekas swapraja sebagaimana tertuang dalam UUPA 1960, maka dinyatakan bahwa Sultan Ground dan Pakualaman Ground merupakan tanah-tanah adat yang dilindungi keberadaannya oleh UUPA 1960. Dengan mendasarkan diri sebagai tanah adat yang dilindungi oleh UUPA 1960, maka masyarakat yang menduduki atas tanah-tanah SG dan PAG secara yuridis diperlakukan sebagai pemakai tanah kesultanan yang diberikan akses pada tanah tersebut dalam bentuk pemanfataan dan penggunaan, tetapi tidak dapat mengubah akses menjadi properti. Dengan cara semacam ini, maka tampak tanah diperlakukan sebagai teritori kekuasaan sebagaimana lazim digunakan dalam kekuasaan-kekuasaan adat di berbagai tempat. 6

Sementara, tindakan sosial yang dihasilkan dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan juro-politik adalah memperlakukan tanah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Salah satu aspek yang menarik, karena keberjalinan aspek kekuasaan di Yogyakarta, meskipun di satu sisi diperlakukan sebagai teritori tetapi di sisi lain, akses terhadap tanah SG dan PAG diperlakukan sama seperti properti privat pada umumnya, yaitu dikenakan pajak dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan.7 Sebagai

pemilik kapital, tentu saja, utamanya yang masuk dalam kategori tanah kesultanan dan pakualaman adalah menjadikan tanah tersebut sebagai basis dari akumulasi kekayaan (land-based wealth accumulation).

Dalam aspek yang berhubungan dengan proyek pertambangan pasir besi, tindakan sosial kekuasaan Swapraja sebagai pemegang kekuasaan kultural adalah dengan menyatakan bahwa proyek ini merupakan proyek yang diadakan di atas tanah milik keluarga kesultanan dan pakualaman. Karena itu, merupakan hal yang absah untuk melakukan eksplorasi dan menjalankan bisnis eksplorasi di atas lahan tersebut. Hal semacam ini ditandaskan oleh keluarga Kesultanan yang lain dengan menyatakan bahwa penambangan pasir besi itu sebenarnya merupakan pesan almarhum Sultan HB IX dan PA VIII yang sudah lama mengetahui potensi pasir besi di pesisir selatan. Karena itu tugas, para penguasa swapraja itu saat ini adalah melaksanakan mimpi tersebut (Kedaulatan Rakyat, 04 Januari 2011).

Selain itu, tindakan lain yang digunakan adalah dengan mengukuhkan klaim legal atas tanah dalam suatu upaya reorganisasi kekuasaan ekonomi dan politik dengan mendorong UU Keistimewaan Yogyakarta. Berhadapan dengan kondisi baru ini, utamanya liberalisasi politik dan ekonomi, pada umumnya penguasa swapraja yang tersisa di Indonesia mengalami krisis yang serius. Krisis itu berupa krisis itu berupa krisis ekonomi dan krisis legitimasi politik. Dalam hal ekonomi, krisis itu selain berupa ketidakcukupan bantuan negara untuk biaya operasional keraton, juga diakibatkan mulai menurunnya surplus yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang selama ini menopang pembiayaan keluarga keraton, seperti industri gula dan turisme. Hal ini ditegaskan oleh salah satu kerabat Kesultanan yang menyebutkan bahwa pangkal krisis ekonomi di tubuh kesultanan adalah keterbatasan biaya. Bantuan pemerintah pusat Rp. 205 juta pertahun dan dari pemerintah daerah 36 juta pertahun dianggap masih jauh dari memadai. Begitu juga dengan pemasukan dari sektor turisme dan beberapa unit usaha keraton, seperti Pabrik Gula Madukismo dan Hotel Ambarukmo tidak memadai lagi. (Gatra, 28 November 2002)

Sementara, krisis legitimasi politik dikarenakan hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai status kepemimpinan politik di Yogyakarta yang selama masa Orde Baru menjadi hak privilese bagi Kesultanan dan Paku Alaman. Karena itulah, pada masa kurun waktu sebelum UU Keistimewaan diberlakukan, kepastian apakah Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta tetap dijabat oleh keluarga Kesultanan dan Pakualaman masih kabur. Sebabnya, instrumen hukum yang selama ini dianggap sebagai “payung hukum” Keistimewaan Yogyakarta, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, menimbulkan masalah setelah adanya amandemen UUD 1945.

Lalu, salah satu jalur yang digunakan untuk mereorganisasikan dan mengkonsolidasikan 6

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/03/22/m16m57-tanah-sultan-di-yogya-tinggal-12-persen. 7

(10)

kembali kekuasaan ekonomi dan politik dari kekuasaan swapraja adalah dengan menghidupkan kembali wacana keistimewaan Yogyakarta serta legalisasinya, melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta. Untuk menyukseskan rencana tersebut, Rancangan pertama dari Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh petinggi keraton. Rancangan yang pertama ini menyebutkan bahwa Sultan dan Paku Alam mesti ditunjuk langsung sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta, tanpa perlu ada pemilihan umum kepala daerah langsung. Setelah melalui berbagai proses, akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan dengan mengabaikan konsep pararadhya yang bersifat moderat dan diusung oleh para scholar-activist di Yogyakarta. Pengesahan ini berarti selain menetapkan bahwa gubernur dan wakil gubernur diangkat langsung dari pihak kesultanan dan pakualaman, juga sekaligus mengesahkan kekuasaan swapraja memiliki hak legal atas tanah-tanah Sultan Ground dan Paku Alaman Ground.

Sebagai pemegang kekuasaan politik-legal, dalam proyek ini salah satu tindakan terpenting dari kekuasaan Swaparaja, selain melakukan perubahan RTRWP dan mendorong percepatan AMDAL, adalah dengan mengintegrasikan proyek ini ke dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi lain yang lebih besar, yaitu Zona Ekonomi Khusus dan ke dalam MP3EI (Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Dengan mengintegrasikan program ini ke dalam proyek pembangunan lain yang lebih besar, seperti Zona Ekonomi Khusus berarti membuat proyek ini mendapatkan rekognisi yang lebih luas secara nasional dari berbagai lembaga pemerintah. Sementara, dengan mengintegrasikan proyek ini ke dalam MP3EI, maka proyek ini akan mendapatkan kemudahan perizinan, karena salah satu program dari MP3EI adalah debottlenecking terhadap segala regulasi yang menghambat investasi.8

Sebagai pemilik kapital, kekuasaan swapraja juga berupaya untuk membuat proyek ini berjalan, utamanya dengan beberapa hal berikut: dengan menggandeng investor dari Australia; lalu mengundang Bank Dunia untuk mempermudah pendanaan atas proyek;9 memperbesar dan memperluas rencana

proyek yang membutuhkan tambahan 700 hektar tanah lagi (Harian Jogja, Rabu, 22 Februari 2012); mengadakan serangkaian pertemuan bisnis dengan sejumlah investor dari Cina.

Gerakan Perlawanan Petani Pesisir Kulon Progo

Pada dasarnya gambaran umum dari kemiskinan pedesaan Yogyakarta telah muncul sejak jaman kolonial sebagai akibat penguasaan tanah di tangan kekuasaan swapraja yang dikombinasikan dengan munculnya perkebunan swasta. Sebagai gambaran, di Yogyakarta yang luas wilayahnya terhitung kecil dan penduduknya padat pernah berdiri 33 pabrik gula yang menghabiskan tanah baik untuk sentra penanaman, pabrik dan perumahan, sebagai akibatnya tanah garapan yang digarap oleh para petani sangatlah kecil. Rata-rata keluarga tani hanya memiliki 1/4-1/3 ha. Kondisi semacam itu terus berlanjut bahkan ketika beberapa pabrik gula itu sudah dikuasai oleh pemerintah Indonesia (Tauchid, 2007: 77). Bagi masyarakat pesisir Kulon Progo, hal ini bertambah parah karena kondisi gurun pasir tepi pantai Kulon Progo pada mulanya adalah gersang dan tandus. Segala yang tumbuh tidak ada yang bisa dimakan dan layak dijual: rumput duri, pandan duri, dan sidaguri. Bahkan, sejak zaman VOC Belanda, warga pesisir Kulon Progo telah dilarang untuk menghimpun garam dari lautan untuk menyambung hidup.

Kondisi kemiskinan melekat pada kehidupan penduduk pesisir selatan, terutama sepanjang sebelah selatan Jalan Deandels jalur selatan. Masyarakat setempat dijuluki sebagai Wong Cubung, yang merujuk pada tanaman kecubung beracun yang tumbuh merambat di sekitar lahan pantai. Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan pengembala kambing. Sebagian yang lain bekerja sebagai rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sumur, atau 8

http://mp3ei.info/a/content/86, diakses pada 20 Oktober 2012.

(11)

pencari batu apung di pantai. Tempat tinggal mereka masih berupa anyaman bambu dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas penghidupan warga adalah buruh tani dan tuna kisma yang hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa (non lahan pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di musim kemarau seperti; kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci namun, tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian. Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati.

Berikut gambaran yang diungkapkan oleh salah satu penduduk mengenai kehidupan mereka sebelum inisiatif pertanian lahan pasir itu muncul:

Dahulu kala desaku adalah desa yang sangat tertinggal, desa yang identik dengan asumsi keterbelakangan. Di antaranya yaitu kehidupan yang sangat kekurangan. Semisal dulu makan saja penduduk di sini masih 1 kali sehari yaitu pada siang hari dan sarapan kuingat hanya makan sepotong ubi jalar yang dicampur dengan parutan kelapa dan pada waktu malam hari aku juga Cuma makan ubi. Sedang untuk urusan tidur kami sekeluarga memakai ranjang panjang yang di situ muat untuk tidur 4 orang, yaitu bapak, emak, adikku dan aku sendiri karena pada waktu itu adik terkecilku belum terbuat. Dan kadang aku sendiri sering tidur di lantai yang tidak rata karena waktu itu lantai masih berupa tanah yang diratakan, dibasahi dan dipadatkan, itu dinamai lantai jagan. Beralaskan tikar yang sangat usang tanpa selimut dan selalu dimakan dan digigit nyamuk karena pada waktu itu belum kenal dengan apa yang dinamakan obat nyamuk dan sejenisnya sehingga kami sangat rentan terserang penyakit. Juga karena asupan gizi yang kurang, mungkin juga karena kondisi alam yang sangat tidak bersahabat.

Semisal seperti ketika musim kemarau datang karena memang tanah di sini adalah tanah pasir, dan karena desaku adalah desa pinggir pantai yang secara otomatis angin menjadi besar dan iklim yang selalu panas sehingga pasir-pasir di sini akan menjadi kering dan ringan sehingga ketika angin kencang datang maka berterbanglah debu-debu tersebut ke udara. Dan secara proses alam juga maka debu-debu tersebut akan dihirup untuk bernafas, menempel di kulit, sehingga pada waktu itu orang-orang di sini sangat sering terkena penyakit kulit terutama anak-anak begitu pula aku. Dan juga penyakit yang lain seperti batuk, sesak nafas. Yang berhubungan dengan penyakit kulit biasanya kudis, kurap dan borok. Bahwa intinya dari semua itu adalah jorok dan kotor sehingga ketika orang luar itu mendengar kata “wong cubung” maka yang terlintas di pikiran mereka adalah penyakitan. Itu sedikit cerita tentang tingkat kesehatan, terus berlanjut tentang bagaimana kemiskinan yang membelenggu masyarakat pesisir pantai selatan Kulon Progo.

Kuingat ketika itu sangat jarang sekali bahkan bisa kukatakan tidak ada bangunan yang permanen seperti rumah yang pakai semen dan batu bata. Dulu ketika itu yang ada cuma rumah berdinding perak (getepe blarak) yaitu dinding yang dibuat dari anyaman daun dan pelepah kelapa, dan beratapkan welitan. Welitan itu sendiri terbuat dari anyaman daun kelapa ataupun jerami dan bisa juga anyaman dari rumput ilalang. Dan terkadang ketika terjadi angin agak kencang sedikit dinding-dinding ataupun atap rumah kami kabur terbawa angin. Di sisi lainnya ketika aku mau melihat dan menonton TV seingat saya dulu di dusun kami cuma ada dua yaitu di tempat Mbah Rono dan Mbah Kasan Dahono yang kebetulan ketika aku menulis buku ini beliau-beliau sudah meninggal dunia alias mati. Dan yang hari ini selalu kuingat ketika dulu aku sakit sedikit, aku dibawa ke tempat seorang dukun untuk di-suwuk atau istilah sekarang diobati.10

(12)

Gambaran ini menunjukkan kondisi mengenai kemiskinan kronik (Mosse, 2007). Sebagaimana dijelaskan oleh Mosse dalam kasus masyarakat asli Bhil di India, kemiskinan kronik ini terjadi dari sejarah panjang akumulasi primitif, penjarahan, marginalisasi suku serta pemiskinan produksi komoditi kecil dan diferensiasi pedesaan hingga terciptanya pengangguran dan cadangan tenaga kerja yang tinggi pada masyarakat adat Bhil di India. Dalam kasus ini, kemiskinan kronik tercipta karena proses akumulasi primitif sejak masa kolonial, dan marginalisasi masyarakat pesisir karena dalam beberapa hal mereka dianggap sebagai masyarakat terbelakang, wong cubung, yang memiliki hubungan dengan pemberontakan Diponegoro, dan juga merupakan hasil dari diferensiasi sosial yang tinggi antara masyarakat desa yang menggantungkan hidupnya dengan pertanian padi sawah yang relatif makmur di beberapa desa sebelahnya dengan masyarakat pesisir yang hidup dalam kemiskinan kronik.

Keluar dari Kemiskinan Kronik: Inisiatif-inisiatif dari Bawah

Pada tahun 1985 setelah berbagai upaya untuk mengubah lahan pasir sebagai lahan pertanian tidak berhasil, seorang petani kemudian menemukan teknik pertanian lahan pasir pantai dengan menggunakan berbagai teknik pengairan: mulai dari sumur renteng (sumur induk yang dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang dihubungkan dengan pipa), hingga penggunaan hidrolik. Setelah bekerjasama dengan para peneliti dari Universitas Gajah Mada, maka ditemukanlah juga tekik penutup tanah menggunakan jerami dan pelapisan tanah liat untuk membuat tanaman lebih subur. 11

Proses ini kemudian meningkatkan produktivitas pertanian lahan pasir. Dan membuat harapan penduduk sekitar mulai tumbuh. Reintegrasi masyarakat desa terhadap tanah dan lahan pasir dimulai dari titik ini. proses ini kemudian dilanjutkan dengan proses pembagian penguasaan tanah dari masyarakat sendiri: mengatur penguasaan atas tanah. Ini dilakukan pertama-tama dengan memberi akses kepada petani tak bertanah dan para penggembala yang biasanya mengambil manfaat dari lahan tersebut. Pada umumnya luas lahan garapan disebut dengan “kotakan” (satu kotak), dengan luasan antara 2000-3000 M2, sementara yang terluas adalah 7000 m2.

Dengan menggunakan pemetaan yang sederhana, para petani juga melakukan pemetaaan atas tanah dengan membagi status tanah menjadi dua kategori, yaitu, pertama: tanah pemajekan: tanah yang bersertifikat dan wajib pajak, berada di sebelah dalam setelah tanah garapan (sekitar 400-500 m dari bibir pantai) dan dekat dengan perumahan warga. Tanah Pemajekan rata-rata bukan lahan pasir 100%, dan telah bisa ditanami sejak dulu, baik tanaman pangan utama; padi jagung, ubi maupun buah-buahan, meski tidak sesubur sekarang. Kepemilikan tanah pemajekan ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya dan bersertifikat legal; kedua: tanah garapan adalah lahan pasir yang berbatasan langsung dengan bibir pantai yang dulunya berupa bukit (gumuk) pasir yang kering dan tandus. Setelah ditemukan teknologi pertanian lahan pasir kemudian tanah terlantar ini diolah dan digarap digarap petani pesisir menjadi lahan subur dengan tanaman holtikutur: cabe, semangka, melon, palawija, dan sebagian kecil padi. Langkah maju invensi teknologi petani ini kemudian berlanjut dengan ditemukannya teknik penanggulangan hama uret pada cabe keriting melalui penggunaan teknik-teknik sederhana yang tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi. Belakangan, petani pelopor invensi pertanian ini juga mulai berupaya untuk mengembangkan dan memuliakan bibit cabe sendiri, sehingga tidak bergantung pada produksi bibit cabe pabrik.

Proses selanjutnya adalah penemuan sistem lelang.12 Latar belakang munculnya sistem lelang

ini dipicu oleh keresahan para petani pesisir yang selalu dirugikan oleh tengkulak dan sering terjadinya konflik antar petani sendiri karena ketidaksamaan harga yang seringkali diterapkan oleh tengkulak. Sistem lelang ini dilakukan dengan cara petani mengumpulkan hasil panen cabe di Kelompok Tani. Para pembeli cabe kemudian diminta untuk memasukkan penawaran harga terteinggi melalui kertas yang dimasukkan dalam kotak tertutup. Harga tertinggi dari pembeli cabe inilah yang menjadi patokan utama untuk harga cabe di daerah tersebut. Sistem lelang ini kemudian direplikasi di berbagai tempat 11

(13)

dan membuat keuntungan petani cabe lahan pasir semakin meningkat.

Para petani pesisir ini kemudian berupaya untuk menjadikan penemuan lahan pasir besi ini sebagai pengetahuan sosial kolektif. Mereka menyadari bahwa pengetahuan tersebut harus disebar agar masyarakat pesisi yang selama ini hidup dalam kemiskinan dapat memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran seperti mereka. Karena itu mereka meremajakan tradisi sosial mereka yang berupa “endong-endongan”, awalnya merupakan tradisi berkumpul dan bersilaturahmi, menjadi suatu forum lokal untuk berbagi pengetahuan. Pada gilirannya, organisasi petani memanfaatkan forum tersebut sebagai sarana untuk memutuskan kapan musim tanam dan panen bisa dimulai secara serentak untuk menghindari hama; bagaimana mengatasi ketergantungan terhadap sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida, dan pembasmi hama; pada musim apa jenis tanaman tertentu ditanam dan sebagainya; dan termasuk membicarakan bagaimana pilihan dan strategi yang memungkinkan untuk gerakan perlawanan dan sebagainya.

Tabel 2: Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inovasi Pertanian Lahan Pasir

Proses inovasi atas lahan pasir ini, sebagaimana diklaim oleh para petani pesisir merupakan pengetahuan sosial kolektif yang didapatkan melalui pengalaman bertani di lahan pasir dan proses reintegrasi mereka pada tanah. Seluruh pengetahuan kolektif ini juga direproduksi dan disebarkan kepada kelompok-kelompok petani lahan pasir di berbagai wilayah. Proses-proses ini, setidaknya, memunculkan perubahan-perubahan pada masyarakat pesisir Kulon Progo. Di antara perubahan tersebut adalah: pertama, terjadi reintegrasi masyarakat dengan tanahnya. Karena lahan pasir dianggap sebagai lahan yang mampu memenuhi keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, maka juga terjadi arus balik ke pedesaan. Seorang informan pemuda, misalnya, menyatakan bahwa ia memilih untuk pulang ke desa dan menjadi petani setelah ia menghabiskan hidup di kota sebagai buruh.13 Kedua,

semakin meningkatnya kesejahteraan petani. Dari hasil participatory poverty assessment misalnya ditemukan bahwa kesejahteraan petani semakin meningkat diukur dari semakin beragamnya dan 13 Wawancara Widodo, koordinator aksi dan juru bicara PPLP, 10 Maret 2009.

(14)

meningkatnya indikator kesejahteraan seperti kepemilikan terhadap bangunan rumah, luasan lahan, jumlah modal bertani dan perhiasan. (Shohibuddin & Savitri [eds], 2009: 87). Pada tahun 2012, pada sebuah acara yang disebut Panen Raya yang berjudul “Merayakan Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati”, organisasi petani mengklaim bahwa panenan di setiap desa pesisir berkisar antara 8-9 ton/hari dengan nilai sekitar Rp 15.000/kg, dan menyatakan bahwa mereka memiliki Rp. 130 juta rupiah dalam setiap kali panen.

Ketiga, salah satu konsekuensi akibat inovasi pertanian lahan pasir ini adalah meningkatnya martabat dan harkat penduduk pesisir. Ini terjadi bukan hanya karena akumulasi berbasis pertaniannya, melainkan juga karena kebanggan dan martabat mereka yang meningkat karena mereka kini dikenal sebagai inovator dan penemu teknik pertanian lahan pasir. Pada gilirannya ini membuat para petani tersebut diundang menjadi pembicara dan pemateri ke dalam forum-forum ilmiah di kampus, organisasi masyarakat sipil, media massa atau gerakan sosial dengan tema-tema yang beragam mulai teknologi pertanian lahan pasir, sistem lelang lokal, dan organisasi perlawanan.

Jejak-jejak Perlawanan

Setelah kejatuhan Orde Baru terdapat sinyal yang kuat atas kebangkitan gerakan sosial pedesaan yang mengkombinasikan strategi okupasi di satu sisi dengan berbagai macam bentuk perjuangan untuk perubahan undang-undang di level nasional, yang menghasilkan TAP MPR No. 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Lucas and Waren 2003; Affiff, et, al, 2005). Meski demikian, terdapat juga tanda-tanda gerakan-gerakan agraria yang gagal tampil secara terbuka untuk melawan perampasan tanah; beberapa gerakan mengalami fragmentasi; sebagian yang lain mengambil pilihan-pilihan dan jalur yang lebih lunak untuk menuntut kompensasi dan lain sebagainya (Noteboom and de Joong, 2010; Peluso, et al, in Borras, Kay and Edelman [eds] 2010: 220).

Namun, dalam kasus pertambangan pasir besi Kulon Progo, salah satu yang menonjol adalah munculnya gerakan-tanding dari petani pesisir terhadap proyek perampasan pasir besi tersebut. Dalam rangka untuk melawan proyek pertambangan pasir besi, pada 1 April 2007, berbagai kelompok tani berkumpul dan membentuk Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) untuk mengkonsolidasikan perjuangan melawan pertambangan pasir besi ini. Dari tahap awal pendiriannya, sebagaimana dikisahkan oleh salah satu aktivis PPLP, tujuan organisasi ini untuk melawan proyek pertambangan:

“Selanjutnya pada tanggal 1 April 2007 terbentuklah sebuah wadah petani yang bernama “Paguyuban Petani Lahan Pantai” (PPLP) Kulon Progo. Seorang petani mencoba memberanikan diri dan sekarang sudah dianggap sebagai petani pemberani yang bernama Sukarman dari desa Bugel yang juga merupakan salah satu desa di pesisir Kulon Progo. Mengundang seluruh kelompok tani yang berada di pesisir Kulon Progo, yang notabene akan menjadi korban pembantaian tambang untuk berkumpul di rumahnya, membahas semua kejadian-kejadian terkait dengan situasi pesisir saat itu terutama tentang rencana penambangan yang pasti menggusur tempat mereka hidup dan menghidupi keluarganya. Pada hari itu muncul tiga opsi untuk dipilih oleh peserta rapat, yaitu:

1. Menerima tambang besi 2. Menerima dengan syarat

3. Menolak harga mati dengan berbagai alasan

(15)

bisa meredam kemurkaan alam juga cuma alam itu sendiri. Mereka tidak selalu berpikir bahwa kekayaan adalah segala-galanya. Kehidupan yang tenteram damai dan sejahtera itu cita-cita mereka”14

Basis sosial yang paling utama dari gerakan PPLP adalah para petani penanam lahan pasir yang utamanya menggantungkan hidupnya dari pertanian lahan pasir di sepanjang pesisir Yogyakarta. Bertransformasi dari kelompok miskin pedesaan, para petani ini tampil sebagai produsen skala kecil (petty commodity producers) yang meskipun memiliki lahan tidak dalam skala luas, tetapi menghasilkan komoditi untuk dijual ke pasar. Tenaga kerja dalam usaha tani lahan pasir, pada umumnya didapat melalui buruh tani, pekerja musiman, perempuan yang bekerja di rumah tangga di desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada usaha tani persawahan. Dengan proses semacam ini, ciri penting yang menandai transformasi pedesaan di pesisir adalah “akumulasi kekayaan yang didapatkan melalui pengelolaan sumber daya bersama beserta reproduksinya terus-menerus”. Akumulasi kekayaan ini pada gilirannya menjadikan para petani lahan pasir besi menimbang trade-off yang dihasilkan dari munculnya pertambangan dengan usaha tani lahan pantai yang sejauh ini mereka kerjakan. Karena itu, sangat mudah bagi PPLP untuk memutuskan untuk sama sekali menolak proyek pertambangan pasir besi tersebut.

Keberadaan PPLP bukan saja sebagai wadah pengorganisasian massa untuk menolak pertambanan, tetapi lebih dari itu juga sebagai otoritas untuk membangun kesepakatan-kesepakatan sosial melalui forum yang disebut endong-endongan, menyangkut putusan-putusan dan pilihan-pilhan strategi yang akan digunakan oleh organisasi. Berdasarkan berbagai pengalaman mereka sendiri, salah satu yang diatur adalah bagaimana wewenang, peranan dan tugas di antara mereka diatur. Termasuk, salah satu di antara yang terpenting, adalah bagaimana mengatur, mengelola, melarang atau membatasi pihak-pihak dari luar maupun dalam yang boleh dan tidak boleh terlibat, beraliansi dan bergabung dalam barisan mereka. Dengan kata lain PPLP juga berperan sebagai satu-satunya ‘pintu masuk’ bagi orang ‘luar’ untuk mengetahui dan berhubungan dengan gerakan perlawanan petani pesisir Kulon Progo. Hal ini dianggap penting, menurut beberapa aktivis PPLP, karena beberapa kali organisasi ini disusupi orang-orang ‘titipan' yang bertujuan untuk mengendurkan perlawanan kelompok penolak penambangan pasir besi. Selain itu, merea juga bersikap tegas dan selektif terhadap kalangan NGO/LSM lokal, nasional maupun internasional yang hendak telibat dan ‘membantu’ mereka. Sejauh ini PPLP tidak menerima kelompok LSM/NGO secara penuh jika mulai masuk pada wilayah pengorganisiran warga. Sikap dan kesadaran politik yang tinggi ini dimungkinkan karena hingga saat ini PPLP masih menghadapi situasi konflik dan ketegangan.

Seperti cerita gerakan sosial pada umumnya, tentu saja tak mudah bagi PPLP untuk menyatukan seluruh petani pesisir untuk tergabung dalam organisasi petani yang langsung terlibat dalam aksi kolektif untuk menantang proyek akumulasi dengan perampasan tersebut. Pada tahap awal, konsolidasi gerakan tersebut dibantu oleh kehadiran sekelompok aktivis-seniman teater yang dengan cara yang cair mengajak anggota PPLP bermain teater. Melalui beberapa protokol dan koridor yang disepakati akhirnya ditemukan bahwa mereka akan memainkan format teater yang disebut sampakan. Pilihan atas format sampakan dilakukan karena format inilah yang memungkinkan bagi para penduduk untuk menjadi aktornya: membuat alur cerita; menentukan dekorasi panggung; memilih aktor dan dialog. Sampakan juga memungkinkan terjadi dialog yang cair, bebas dan jenaka. Para pemain duduk bersama di antara penonton dan penonton bebas memberi komentar, mengkritik atau mengubah jalannya cerita. Teater ini pertama kali dimainkan bukan di kampus-kampus, melainkan di desa-desa penduduk dan bercerita tentang nasib meteka sehari-hari; perjalanan mereka dari Wong Cubung menjadi petani pesisir; dan mempersepsi atau mengkerangkakan musuh yang mereka tantang.15

Dalam pertunjukan teater tersebut, banyak ditemui penduduk desa, kebanyakan ibu-ibu yang 14

(16)

menangis, tertawa, atau geram dan marah bersama-sama. Cara semacam ini, pada gilirannya, dengan cepat mengaduk-aduk emosi dan persepsi dan kesadaran kritis secara individual dari penduduk setempat tentang bagaimana mereka mesti terlibat aktif di dalam gerakan, tanpa instruksi, komando, ataupun keputusan organisasi.16 Tak hanya itu, pertunjukan teater ini juga sangat efektif dalam

mempertemukan, mengorganisasikan kekuatan-kekuatan sosial antar desa di sepanjang pesisir yang pada dasarnya telah memulai proses pengorganisiran dan merekonsiliasi fragmentasi-fragmentasi yang sempat muncul di awal-awal pertumbuhan gerakan.

Corak dan pendekatan semacam ini sangat berbeda dengan pola-pola aktivisme gerakan agraria di dekade-dekade akhir masa Orde Baru. Pada masa itu, kecenderungan yang muncul adalah transmutasi gerakan agraria yang difasilitasi oleh sejumlah kelompok kelas menengah dari aktivis-berbasis di kota, seperti aktivis gerakan mahasiswa dan aktivis NGO yang turun ke desa-desa menjalankan berbagai macam pelatihan-pelatihan kritis mengenai kesadaran hukum kritis, advokasi, pembaruan agraria atau pengorganisiran massa yang pada gilirannya mengubah corak aktivisme rakyat dari gerakan protes atas konflik menjadi gerakan reforma agraria.17 Cara transmutasi ini meskipun

dalam beberapa hal secara efektif sangat berperan dalam mengubah dan memajukan jalannya tuntutan dan model aksi dari gerakan rakyat, namun juga tak terlepas dari masalah-masalah yang mengikutinya: munculnya para aktivis baru tersebut yang menjadi elit gerakan; kelelahan para aktivis (activist fatigue) yang mengakibatkan mereka ingin berada dalam lingkungan politik yang lebih luas dan berupaya menjadi elit politik; sumber perpecahan karena fragmentasi di antara mereka; atau justru meningkatkan ketergantungan organisasi rakyat pada aktivis terdidik tersebut yang seringkali berujung pada penurunan skala perlawanan gerakan rakyat.

Belajar dari berbagai pengalaman tersebut dan berbagai pengalaman mereka sendiri, PPLP berupaya untuk membentuk suatu model pergerakan yang berciri otonomis dengan membayangkan para petani sendiri sebagai aktor dari gerakan sosial. Bentuk organisasi PPLP yang mereka jalankan terdiri dari suatu strukur organisasi yang terdiri dari beberapa desa dan menunjuk satu orang sebagai jurubicara. Juru bicara ini juga bertindak sebagai penghubung (linker) antara organisasi petani dengan aktivis-berbasis di kota (urban-based activists) yang berupaya membangun aliansi dengan mereka. Perubahan-perubahan struktur organisasi dan kepemimpinan juga cenderung cair dan fleksibel, meskipun tetap mengenal struktur organisasi pada umumnya. Poros utama PPLP terletak pada individu-individu yang mengorganisir dan berperan penting di setiap desa. Ini dilakukan untuk tidak menyurutkan gerakan ketika pimpinan gerakan tertangkap atau terfragmentasi. Setiap desa membuat unit-unit PPLP yang dianggap otonom, dengan strukturnya sendiri. Seluruh keputusan PPLP diputuskan dalam forum rutin “endong-endongan”. PPLP juga memutuskan untuk tidak membangun suatu sekretriat atau markas sebagai suatu strategi untuk tidak terjadi penyerangan terhadap markas tunggal tersebut, sebagai respon dari aksi pembakaran terhadap tempat pertemuan PPLP sebelumnya oleh pihak pendukung tambang, dan menyerukan bahwa setiap rumah di pesisir adalah markas PPLP dan mereka bisa melakukan pertemuan dimana saja.

Berbagai pilihan dan strategi aksi kolektif untuk membuat pengakuan mereka atas lahan pesisir dan penolakan terhadap tambang dilakukan. Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perundingan yang akhirnya gagal, PPLP kemudian mengambil bentuk aksi kolektif yang lebih terbuka: demonstrasi, 16

Sebagai konfirmasi dari pernyataan tersebut, dapat dilihat dalam suatu wawancara mereka mengenai bagaimana energi gerakan mereka tumbuh. “Karena ini perlawanan rakyat, bukan PPLP, bukan siapa-siapa. Mereka merasa akan dibunuh maka mereka melawan. Mereka merasa dipaksa, maka mereka berontak. Mereka itu takut kehilangan sandang pangan, maka mereka berjuang habis-habisan… Tahu nggak, semua komponen rakyat pesisir itu, sadar dan tahu menempatkan dirinya pada posisinya dan tugasnya masing-masing, dalam perjuangan ini tanpa komando. Yang tua dimana, yang muda ngapain, perempuan dimana dan mereka harus berteriak apa, itu semua mereka lakukan secara sadar dan bersemangat”. Selengkapnya lihat, h ttp://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/, diakses pada 20 Oktober 2012.

17

(17)

kampanye, diskusi publik, aksi pementasan teater, hingga sabotase langsung pada pilot project pertambangan. Pada perkembangan lebih lanjut, dalam kerangka untu memperluas kampanye dan gerakan perlawanan, PPLP mencoba mengembangkan pesan-pesan penindasan atas nasib warganya melalui media. Beberapa kali, PPLP berkampanye dan menghadiri undangan dari beberapa staisiun radio di Yogyakarta. Membuat film dokumenter dan website dan bermain teater agar masuk menyampaikan pesan mereka ke kampus-kampus besar di Indonesia untuk ‘mengepung’ dan merebut opini melawan pendukung pembangunan pasir besi Kulon Progo. Permainan teater ini menjadi penting mengingat kampanye terbuka di Yogyakarta dianggap berisiko tinggi.

Salah satu aksi massa besar-besaran dilakukan di Universitas Gadjah Mada dengan melibatkan ribuan warga Kulon Progo terjadi pada 21 Juli 2008, PPLP memprotes keras akademisi kampus yang turut melegitimasi kepentingan perusahaan penambangan pasir besi Kulon Progo dengan Analisis Masalah Dampak Lingkungan. Menurut petani keterlibatan UGM menunjukkan kalanga kampus telah kehilangan kekuatan moral dan independensinya sebagai lebaga pendidikan tinggi.

Selain bentuk aksi massa, petani pesisir yang telah tergabung dalam PPLP, juga menggalang kekuatan di kalangan kelompok agamawan dan ilmuwan. Pada tanggal 14 agustus 2008 diadakan saresehan dan rapat akbar di Balai Desa Karangwuni, Wates Kulon Progo, dengan topik “Perjuangan Rakyat Tani Menolak Penambangan Biji Besi”. Rapat itu selain sebagai media konsolidasi kekuatan petani juga upaya melihat lebih dalam bagaimana proses penambangan pasir besi tersebut ditinjau dari segi yuridis, melalui tinjauan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Karena itu hadir pula pada kesempatan itu pakar hukum agraria dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Kesepakatan yang diperoleh adalah petani masih menolak rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Selain melanggar keadilan agraria juga mengancam kerusakan ekologis bagi daerah di sekitar penambangan pasir besi.18

Dalam beberapa hal, PPLP tampak tampil sebagai gerakan anti-enclosure yang berbeda dari sekedar untuk tuntutan atas kompensasi. Gerakan ini juga memiliki artikulasi yang sangat kuat untuk melawan proyek pertambangan dan berjuang untuk kedaulatan atas tanah. Dengan sangat jelas PPLP mengidentifikasi identitasnya sebagai petani inovator lahan pasir besi yang sedang diancam kehidupannya:

Kami adalah warga pesisir yang puluhan tahun mengubah tanah kritis pasir pantai selatan menjadi tanah subur sumber kehidupan… Kami adalah para petani holtikultura yang mempertahankan alam dan merawatnya demi kehidupan… Kami sekarang terancam diusir dari tanah hidup kami oleh rencana Penambangan Bijih Besi di Pesisir Selatan Kulon Progo… Kami adalah warga petani yang menciptakan wadah mandiri bernama PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai)19

Kampanye yang paling terkenal dari gerakan ini adalah Menanam adalah Melawan. Mempertahankan usaha tani pesisir bagi mereka menjadi elan vital dan urat nadi kehidupan mereka. Salah satu alasan mereka memilih ungkapan ini adalah20:

Karena kami tahu, persis tahu, apa yang kami perjuangkan. Tanah pesisir seluas 1.500 hektar itu, lahan yang diberikan Tuhan untuk ummatnya, dan jika pemerintah lupa akan hal itu, akan kami ingatkan dengan cara melawan…Kami melawan karena mempertahankan hidup. Lahan pasir itu urat nadi kami. Lahan itu, dari semula tandus, dihijaukan selama puluhan tahun, dirawat turun temurun dan konkritnya telah menjadi sumber penghidupan pokok bagi ribuan rakyat pesisir…Maka kalau terus diogrek-ogrek, dipaksa untuk menyerahkan lahan untuk 18 Lihat Kompas, 14 Agustus 2008, Petani Kulon Progo Tolak Pembangunan Pasir Besi.

19

http://petanimerdeka.tk/siapa-kami/, diakses pada 20 Oktober 2012. 20

(18)

investor, berarti Pemda akan memecat kami sebagai rakyat. Jika pegawai dipecat, masih bisa kembali jadi rakyat, nah kalau rakyat dipecat mau jadi apa? Itu sama saja dengan membunuh kami. Nah, satu-satunya jalan menghadapi ancaman pembunuhan adalah dengan melawan!

Mempertahankan usaha tani lahan pantai dengan demikian berurusan dengan sumber kehidupan dan martabat para petani ini. Karena itulah, gerakan ini juga memiliki slogan yang berbeda, yaitu Bertani atau Mati sebagai manifestasi dari upaya mereka untuk mempertahankan usaha tani pesisir dengan berbagai cara, metode, dan model perjuangan apapun:

Chaos! Bertempur! Kami sudah membayangkan, bagaimana harus menghadapi mereka (investor maupun Pemda), dan bayangan itu sudah tersusun dalam sebuah skema pertempuran antara rakyat dengan pemerintah yang semestinya bertugas melindungi dan mensejahterakan rakyat… Siapa Bupati? Siapa TNI? Siapa Polisi? Kami rakyat pesisir tahu persis posisinya. Dan kami tahu persis, apa tugas yang mereka emban. Jadi kalau suatu hari kelak kami harus bertempur dengan mereka, kami sangat mengerti kapan kami menyerang dan kami juga tahu resikonya, termasuk resiko yang akan dihadapi oleh mereka… Sederhana saja! Kami akan menemui momentum dimana investor memasukkan alat berat untuk penambangan, dikawal oleh Polisi Anti Huru Hara atau TNI. Nah, saat itu, kami rakyat pesisir atau yang selama ini dikenal dengan masyarakat cubung, akan berhadapan dengan senjata laras panjang, pentungan dan panser… Tetapi kami juga berhitung, dengan strategi penyerangan ala rakyat. Mungkin akan memainkan rojong, Molotov, dan untuk jarak dekat kami tentu hanya punya parang, pedang dan bambu runcing serta keyakinan bahwa tidak pada tempatnya rakyat diserang oleh TNI atau polisi… Maka kalau itu terjadi, dunia akan mencatat, bahkan akan menertawakan TNI dan Polri, dan menempatkan Pemda pada posisi yang sangat hina di mata dunia.21

Para petani juga dikenal sebagai penantang yang tangguh dengan mempertanyakan hak konstitusional dari klaim atas tanah oleh kekuasaan swapraja. Menurut gerakan ini:

Siapa bilang! Sejak kapan lahan itu menjadi milik Puro Pakualaman? Puro, kraton atau Pemda itu siapa? Kalau dengan cara berfikir orang Cubung, dulu mana antara rakyat dan pemerintah?... Memang kemudian kamu harus bicara Tata Negara. Dan sesuai Tata Negara, maka UUPA menyatakan, 20 tahun menggarap lahan maka itu menjadi hak rakyat, kalau Puro mau menguasai, dengan cara menstatus magersari, dasarnya apa?... Pemerintah, Puro, Kraton mau melawan hukum Tata Negara, mau melawan UUPA? Ingat, Pemda Yogyakarta, juga bagian Indonesia. Harus taat dengan hukum Indonesia.22

Secara umum, terdapat tiga argumen utama yang dikembangkan oleh PPLP dalam rangka menolak proyek pertambangan pasir besi. Pertama, ancaman atas penghancuran ruang hidup, dalam pengertian ini bukan saja soal kehilangan lahan sebagai basis produksi dan subsistensi warga pesisir yang telah bertahun-tahun berhasil mengolah lahan pasir kering menjadi lahan subur yang terancam, namun semua dimensi ekologis seperti air, udara, dan dimensi sosial dan kebudayaan kehidupan warga pesisir juga terancam hancur seperti kekerabatan, budaya pertanian, ingatan kolektif atas kampung halaman.

Kedua, ancaman bagi rusaknya keberlangsungan layanan alam. Proyek pertambangan bagi mereka akan mengakibatkan pada bencana ekologis yang tak terkira. Terutama berkaitan dengan 21 http://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/, diakses pada

20 Oktober 2012. 22

(19)

polusi, degradasi pesisir dan erosi pesisir sebagai pertahanan untuk menghadapi tsunami. Kehancuran alam juga berpotensi terjadi karena pertambangan dapat menghilangkan warisan gunung-gunung pasir yang selama ini tak tersentuh oleh pertanian lahan pasir. Ketiga, ancaman hilangnya pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan sumber daya lahan pasir, yang sebelumnya telah selaras dengan keberlangsungan ekologis lahan pasir. Temuan jenis tanaman palwija dan buah- buahan, model irigasi, teknologi pengoalahan lahan pasir dengan pupuk, dan penanganan hama model petani pesisir serta pengelolaan pertanian lahan pasir lainnya tidak akan punya tempat lagi, ketika proyek penambangan pasir besi dalam skala besar terjadi.

Tetapi gerakan agraria manapun selalu menghadapi respon balik dari musuh yang ditantangnya. Salah satu teror dan kekerasan yang dilakuakan pendukung pembangunan pertambangan pasir besi, terjadi pada hari Senin, 27 Oktober 2008. Puluhan preman dengan bersenjata pentungan dan senjata tajam, dengan ganas merusak dan membakar beberapa pos ronda, pos komando warga, dan beberapa rumah tokoh warga penolak pertambangan pasir besi di Kulon Progo. Intimidasi dan kriminalisasi berlanjut pada Minggu, 1 Mei 2011ketika 9 polisi berpakaian preman mendatangi ladang Tukijo, pemimpin PPLP, di Gupit, Karangsewu. Polisi menangkap Tukijo dengan tuduhan perampasan kemerdekaan orang dan perbuatan tidak menyenangkan. Kasus itu bermula dari suatu peristiwa dimana Tukijo berupaya untuk menyelamatkan para karyawan PT. JMI yang berupaya untuk memasuki lahan pesisir dari penduduk setempat dan menghubungi Polres untuk mengamankan kasus tersebut. Namun, pada akhirnya, Pengadilan Negeri Wates justru memutuskan bahwa Tukijo terjerat dalam kasus penyanderaan tujuh karyawan lepas PT Jogja Magasa Iron (JMI) dijatuhi vonis hukuman 3 tahun penjara. Meskipun terjadi kriminalisasi terhadap salah satu pemimpin penting dalam PPLP, namun gerakan PPLP terus melanjutkan perjuangan dan kampanye anti pertambangan pasir besi.

Dalam beberapa hal, tampak bahwa kampanye anti proyek pertambangan pasir besi yang seringkali dikombinasikan dengan perlawanan terhadap kekuasaan Swapraja, baik dalam hal klaim atas tanah maupun UU Keistimewaan Yogyakarta. Namun kampanye semacam ini tidak mudah untuk mendapatkan resonansi dan pengaruh yang luas di Yogyakarta. Berupaya untuk mengatasi hal itu, lalu pada beberapa waktu belakangan, PPLP dan para pendukungnya berupaya untuk terlibat penuh dalam pengorganisasian terhadap masyarakat lain yang juga mengalami konflik agraria di sepanjang Jawa bagian selatan. Dari Lumajang, Banyuwangi, Kebumen, Cilacap, Tasikmalaya dan Ciamis. Beberapa kasus dari konflik agraria ini juga diakibatkan oleh proyek pertambangan pasir besi.

Berupaya untuk membangun suatu jaringan perlawanan berbasis-petani yang lebih luas, maka PPLP and jaringan pendukungnya mengadakan suatu pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Petani Jawa dan menyusun suatu organisasi jaringan yang disebut sebagai FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris) yang terdiri dari berbagai organisasi seperti JMPPK (Pati); FOSWOT (Lumajang); FPPKS (Kebumen); Serikat Tani Merdeka (SeTAM) (Cilacap); PPLP (Kulon Progo); SITAS DESA (Blitar); LPMB (Banten); Bale RUHAYAT (Tasikmalaya dan Ciamis) Forum Warga Cilacap dan Korban Lumpur LAPINDO Porong Sidoarjo. Deklarasi Petani Jawa ini menghasilkan berbagai tuntutan di antaranya:

1. Siap melawan ketidakadilan yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan negara-korporasi. 2. Siap mempertahankan hak rakyat atas tanah karena tanah adalah ruang hidup dan sumber

penghidupan tak tergantikan.

3. Siap melawan pelaku kejahatan perundang-undangan yang menjadikan hukum sebagai alat dan pembenaran bagi penghancuran tatanan sosial; tatanan ekonomi; tatanan kebudayaan dan lingkungan masyarakat.

4. Menyerukan pada aparat negara untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, represi, dan kriminalisasi atas petani dan masyarakat yang mempertahankan haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia, karena aparat negara adalah pelayan rakyat bukan pelayan pemodal.

(20)

senasib sepenanggungan baik itu di Mesuji Lampung, Takalar Sumatera Utara, Pesisir Kulon Progo Jogjakarta, Pesisir Kebumen Jawa Tengah, Korban Lumpur LAPINDO Porong Jawa Timur, Kaum Tani di Pandarincang Banten Jawa Barat, Sedulur SIKEP di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah, Pesisir Wotgalih Lumajang Jawa Timur, Pesisir Kalipucang dan Cimerak Ciamis Jawa Barat, dan di tempat-tempat lain yang tengah berhadapan dengan kejahatan korporasi.

Sebagai catatan akhir, pada akhirnya kita mendapati bahwa gerakan ini mencirikan suatu gerakan petani sebagaimana diungkapkan oleh Borras dan Franco (2011: 4) , yaitu perjuangan untuk kedaulatan atas tanah yang mengambil bentuk perjuangan ‘counter-enclosure movement’. Sayangnya, kajian mengenai gerakan kedaulatan atas tanah dan gerakan anti-perampasan jarang sekali mengemukakan bagaimana suatu gerakan tersebut dapat muncul, organizable dan powerfull, sebagai perkecualian Huizer (1999) yang menyatakan organizability dari gerakan agarria sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dan aliansi yang dibangun. Berdasar pada kasus di Kulon Progo, saya berargumen bahwa akar-akar dari organizability dari PPLP bukan semata-mata berangkat dari kepemimpinan dan kualitas aliansi, melainkan berakar dari inisiatif dan praktik sosial terus-menerus dari petani dan gerakan petani dalam mengatasi berbagai ancaman dan tantangan yang muncul dari waktu ke waktu. Ini dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

(21)

Tabel 3. Akar-akar kemampuan organisasi (organizability) PPLP.

Akhir

Bagian ini menjelaskan bagaimana watak, bentuk dan proses pembentukan gerakan-tanding dari masyarakat pesisir Kulon Progo yang terwadahi dalam organisasi yang bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Sejak awal kehadirannya, gerakan masyarakat pesisir ini bersifat suatu gerakan anti-enclosure, iatau gerakan yang melawan proyek perampasan tanah. sifat dan watak semacam ini dimungkinkan karena tanah dan pertanian lahan pantai merupakan sumber penghidupan utama mereka, sumber martabat dan ruang hidup. Watak anti-enclosure ini juga dimungkinkan akibat dari transformasi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang memungkinkan mereka untuk menjadi produsen komoditas skala kecil (petty commodity producers) sehingga membuat penolakan terhadap proyek pertambangan pasir besi memungkinkan. Proses pembentukan dan konsolidasi gerakan ini juga relatif berbeda dengan tumbuhnya gerakan agraria di berbagai tempat yang umumnya difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat dengan pelatihan-pelatihan. Dalam kasus PPLP Kulon Progo, proses pembentukan dan konsolidasi gerakan terjadi melalui pementasan teater dan juga disemai melalui forum dan tradisi endong-endongan, yang sekaligus menjadi media rekonsiliasi dari berbagai faksi gerakan.

Sementara, strategi aksi kolektif yang dikembangkan oleh PPLP bervariasi, mulai dari aksi massa, kampanye, diskusi publik, aksi pementasan teater, hingga sabotase langsung pada pilot project pertambangan. Sementara artikulasi yang dikembangkan oleh PPLP juga bervariasi antara membangun diskursus penolakan tambang hingga perlawanan dan pengecaman terhadap kekuasaan swapraja. Gerakan PPLP ini pada dasarnya mencerminkan apa yang disebut oleh Borras dan Franco (2011: 4) sebagai perjuangan untuk kedaulatan atas tanah yang mengambil bentuk perjuangan ‘counter-enclosure movement’. Salah satu aspek yang menonjol dari gerakan ini adalah bahwa ia bersifat organizable karena memiliki inisiatif yang terus berkembang.

Hingga kini pertarungan untuk proyek pertambangan pasir besi ini masih berlangsung. Hasil akhir dari pertarungan ini tak dapat dengan mudah diramalkan, melainkan bergantung pada bagaimana praktik-praktik sosial dengan pertarungan sosial dan kontestasinya berlangsung. Meskipun terdapat upaya untuk terus meresonansikan perjuangan ini, tetapi upaya gerakan sosial pedesaan itu berhadapan dengan rencana-rencana, rongrongan dan desakan yang gencar dan massif dari pihak yang akan memuluskan proyek pertambangan pasir besi. Bagi gerakan PPLP, masa depan perjuangan mereka sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan tersebut memperoleh rekognisi dan resonansi yang lebih luas dan bergantung pada upaya mereka untuk membangun nodal points (Laclau dan Mouffe, 1999) bagi perjuangan-perjuangan lain, baik di Yogyakarta maupun di luarnya. Bara di tanah raja ini tampaknya belum akan usai.

Bahan Bacaan

Atmakusumah [ed] (1982). Tahta untuk Rakyat. Gramedia Utama. Jakarta.

Artha, Arwan Tuti (2009). Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Galang Press, Yogyakarta.

Akram-Lodhi, Haroon and Cristobal Kay [eds] (2009). Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation, and The Agrarian Question. New York: Routledge.

Anderson, Benedict, (1988) “The Cacique Democracy in The Philippines: Origins and Dreams”. New Left Review I/169, May-June.

Gambar

Tabel 1: Kait-kelindan Kesultanan Yogyakarta
Tabel  2: Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inovasi Pertanian Lahan Pasir

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dilakukannya kebijakan stock split , maka harga saham yang tidak terlalu tinggi akan meningkatkan minat investor untuk membeli saham tersebut sehingga akan

Pengumpulan data dilakukan de- ngan cara: (1) pembacaan secara cermat atas satuan cerita yang terdapat dalam novel: (2) mengidentifikasi bagian-ba- gian cerita yang

Percobaan pertama yaitu perlakuan berupa pemberian ekstrak segar teripang yang baru diformulasikan pada media pemeliharaan larva udang galah dan percobaan kedua yaitu

Bahagian pertama kajian berkenaan pengujian aktiviti antikulat ekstrak etanol sirih menggunakan kaedah resapan cakera pada empat kepekatan yang berbeza (5, 25, 50, 100

5). Suasana ruang sama dengan Masjid Quha, yaitu kesederhanaan tidak menampilkan ornamen. Ada keseimbangan adanya simetri bentuk dan ukuran pada ruang shalat, orien-. tasi mengarah

Tanah dengan bahan organik yang tinggi sangat baik untuk tanaman panili karena.. sifat perakarannya yang dangkal dan peka terhadap

KCl fertilizer use showed also significantly affect to rice yields, where each 1 kg KCl fertilizer used is able to increase rice yields amounted to 2.31 kg, while NPK Phonska

sajak atau puisi yang isinya sindiran mengancam, mengejek secara kasar terhadap kepincangan sosial atau ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.. 12 Sektet Sajak yang terdiri