• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) - Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Pengambilan Keputusan pada Perum Pegadaian Kanwil Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) - Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Pengambilan Keputusan pada Perum Pegadaian Kanwil Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan perhatian dan perlindungan yang diberikan perusahaan kepada seluruh karyawannya. Sutrisno (2010) menyatakan keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja, dan lingkungannya, serta cara-cara karyawan dalam melakukan pekerjaannya.

Husni (2005) menyatakan bahwa kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosialnya sehingga memungkinkan karyawan dapat bekerja secara optimal.

(2)

Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap karyawan ini bertujuan agar tidak terjadi kecelakaan ditempat kerja atau paling tidak mengurangi tingkat kecelakaan di tempat kerja, sehingga proses produksi dapat berjalan dengan semestinya. Anies (2005) menyatakan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja, merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara keselamatan dan kesehatan.

Perhatian pada kesehatan karyawan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaannya, jadi antara kesehatan dan keselamatan kerja bertalian dan dapat mencegah terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Yusra (2008) Keselamatan dan kesehatan kerja (K3), adalah suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dan tindakan antisipatif bila terjadi hal yang demikian.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(3)

kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja; c) menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja; d) meningkatkan kinerja". Dengan demikian maksud dan tujuan tersebut adalah bagaimana melakukan suatu upaya dan tindakan pencegahan untuk memberantas penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bagaimana upaya pemeliharaan serta peningkatan kesehatan gizi, serta bagaimana mempertinggi efisiensi dan kinerja karyawan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik.

Hasibuan (2000), Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus ditanamkan pada diri masing-masing individu karyawan, dengan penyuluhan dan pembinaan yang baik agar mereka menyadari pentingnya keselamatan kerja bagi dirinya maupun untuk perusahaan. Apabila banyak terjadi kecelakaan, karyawan banyak yang menderita, absensi meningkat, produksi menurun, dan biaya pengobatan semakin besar. Ini semua akan menimbulkan kerugian bagi karyawan maupun perusahaan bersangkutan, karena mungkin karyawan terpaksa berhenti bekerja sebab cacat dan perusahaan kehilangan karyawannya.

Perusahaan dapat melaksanakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan baik, maka perusahaan akan mendapat manfaat-manfaat mejalankan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yaitu:

1. Meningkatkan kinerja karyawan sehingga menurunnya jumlah hari kerja yang hilang.

2. Meningkatkan efektivitas dan efesiensi kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

(4)

4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung lebih rendah karena menurunnya pengajuan klaim.

5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari meningkatnya partisipasi dan rasa memiliki,

6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatnya citra perusahaan,dan

7. Meningkatkan keuntungannya secara substansial. Rivai (2004)

Tujuan dan manfaat dari kesehatan dan keselamatan kerja ini tidak dapat terwujud dan dirasakan manfaatnya, jika hanya bertopang pada peran tenaga kerja saja tetapi juga perlu peran dari pimpinan.

Ivancevich (2001) menyatakan bahwa,"top management must support safety and health with an adequate budget. Managers must give it their

personal support by talking about safety and health with everyone in the

firm. Acting on reports about safety is another way top managers can be

involved in these efforts. Without this support, the effort to ensure safety

and health is hampered. Some organizations have responded to the

environmental problems that can increase accidents, deaths, and

disabilities by placing the responsibility for employees' health and safety

with the chief executive officer of the organization".

(5)

Tabel 2.1

Tanggung Jawab Umum Perusahaan Yang Terdiri Dari Unit Sumber Daya Manusia Dan Manajer

Sumber : Mathis dan Jackson, 2003.

Menurut Siagian (2002) ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yaitu:

1. Apa pun bentuknya berbagai ketentuan formal itu harus ditaati oleh semua organisasi.

2. Mutlak perlunya pengecekan oleh instansi pemerintah yang secara fungsional bertanggung jawab untuk itu antara lain dengan inspeksi untuk menjamin ditaatinya berbagai ketentuan lain dengan inspeksi untuk menjamin ditaatinya berbagai ketentuan formal oleh semua organisasi. 3. Pengenaan sanksi yang keras kepada organisasi yang melalaikan

kewajibannya menciptakan dan memelihara Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

(6)

organisasi.

5. Melibatkan serikat pekerja dalam semua proses penciptaan dan pemeliharaan kesehatan dan keselamatan kerja.

Sistem imbalan yang efektif termasuk perlindungan karyawan ditempatnya berkarya, kiranya jelas terlihat bukan imbalan dalam bentuk uang saja hal yang sangat penting, tetapi perlindungan terhadap karyawan juga tidak kalah pentingnya.

2.1.3 Ruang Lingkup Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal yang menyangkut penyelenggaraan K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit termasuk pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja di Rumah Sakit.

(7)

Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya.

2) Kesehatan dan keselamatan kerja

Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

3) Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit.

b. Ruang Lingkup

(8)

a) Prinsip K3RS

Agar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dapat dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 komponen yang saling berinteraksi, yaitu :

(1) Kapasitas kerja adalah status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.

(2) Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus ditanggung oleh pekerja dalam melaksankan tugasnya.

(3) Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja b) Program K3RS

Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Program K3RS yang harus diterapkan adalah :

(1) Pengembangan kebijakan K3RS (2) Pembudayaan perilaku K3RS

(3) Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS

(9)

(5) Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja (6) Pelayanan kesehatan kerja

(7) Pelayanan keselamatan kerja

(8) Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair, gas

(9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya (10) Pengembangan manajemen tanggap darurat

(11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3

(12) Review program tahunan c) Kebijakan pelaksanaan K3

Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut :

(1) Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit

(2) Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit

(3) Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah sakit

(10)

(5) Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di rumah sakit

(6) Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit 2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit

Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah sakit sampai saat ini dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah sakit yang belum menerapkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan kerja (SMK3).

a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit

Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan kerja seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun 2009 dan peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI No.03/men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk pelayanan kesehatan kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut : (1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebekum kerja bagi pekerja

(2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di rumah sakit dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental terhadap pekerjanya.

(11)

(4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik pekerja

(5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja yang menderita sakit

(6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit yang akan pension atau pindah kerja

(7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja dan pasien

(8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja

(9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran terhadap faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi) (10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan

kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja Rumah Sakit

b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit

Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan kerja yang dilakukan :

(12)

(2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap pekerja

(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja (4) Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair

(5) Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja (6) Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja (7) Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan

tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan/keamanan

(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya

(9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan Kebakaran (MSPK)

(10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit

3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit

(13)

instalasi listrik, gas medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lain-lain.

4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya

Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

a) Kategori B3

Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar, Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik, Mutagenic, Arus listrik.

b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3

(1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya.

(2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi

(14)

sarana prosedur dan proses kerja yang aman, pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang.

(4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya

Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan proposal berikut company profile. Informasi yang diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari material atau produk, kapabilitas rekanan, harga, pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan serta informasi lain yang dibutuhkan oleh rumah sakit.

Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan, mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic sebagai unit pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang yang diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan melakukan proses seleksi, dibuat form seleksi yang memuat kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk masing-masing criteria yang ditentukan.

5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit Kriteria tenaga K3 terdiri dari: a) Rumah Sakit Kelas A

(15)

(2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang

(8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 2 orang b) Rumah Sakit Kelas B

(16)

(2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

(5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

(6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi

mengenai K3 RS minimal 1 orang c) Rumah Sakit kelas C

(1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS

(17)

(3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

(4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan a) Pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang. Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain dengan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu konsultasi.

Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal, yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang bersangkutan, dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh Menteri kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

b) Pencatatan dan pelaporan

(18)

wilayah Rumah Sakit. Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3, mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat dan melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan melaksanakan pelaporan kegiatan K3.

Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktu-waktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3. Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang tercakup di dalam :

(1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan lingkungan rumah sakit.

(2) Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya penanggulangan dan tindak lanjutnya.

2.1.4 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit 1. Pengertian Manajemen K3 RS

Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS, pasien, serta pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja RS yang sehat, aman dan nyaman termasuk pemukiman masyarakat sekitarnya.

(19)

SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen yang meliputi: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, prosedur, sumber daya, dan tanggungjawab organisasi. Tujuan dari SMK3 RS adalah menciptakan tempat kerja yang aman dan sehat supaya tenaga kerja produktif disamping dalam rangka akreditasi rumah sakit itu sendiri. Prinsip yang digunakan dalam SMK3 adalah AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan

dan lingkungan kerja. b. Langkah manajemen:

1) Komitmen dan Kebijakan

Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS. Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS, perlu disusun strategi antara lain :

a) Advokasi sosialisasi program K3 RS. b) Menetapkan tujuan yang jelas. c) Organisasi dan penugasan yang jelas.

d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja di lingkungan RS.

(20)

g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan.

h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala. 2) Perencanaan

RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan meliputi:

a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko. Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.

Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4 tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah bahkan tidak ada risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung pribadi (APP).

(21)

c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)

d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.

e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan dicatat serta dilaporkan.

3) Pengorganisasian

Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.

a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS

1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.

2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan prosedur.

3) Membuat program K3 RS b) Fungsi unit pelaksana K3 RS

(22)

2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.

3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.

4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.

5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.

6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.

7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai kegiatannya.

8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan gedung dan proses.

2.1.5 Struktur Organisasi K3 di Rumah Sakit

Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun 2007 bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur RS. Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan, biaya, logistik dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS. Keanggotaan:

(23)

b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta anggota.

c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS. d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3

RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3). 2.1.6 Konsep Kinerja

Kelangsungan hidup suatu organisasi salah satunya tergantung kepada kinerja atau prestasi kerja pegawainya dalam melaksanakan pekerjaan karena pegawai merupakan unsur organisasi terpenting yang harus mendapat perhatian. Pencapaian tujuan organisasi menjadi kurang efektif apabila banyak pegawainya yang tidak memiliki kinerja atau berprestasi dan hal ini akan menimbulkan pemborosan bagi organisasi. Oleh karena itu kinerja atau prestasi pegawai harus benar-benar diperhatikan.

(24)

2.1.7 Pengertian dan Manfaat Penilaian Kinerja

Prestasi kerja (kinerja) menurut Bernadin dan Russell (2003 : 378) adalah sebagai berikut :

“Perfomance is defined as the record of outcomes produced on a specified job

function or activity during a specified time periode”.

Prestasi kerja (kinerja) merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas pada fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh seseorang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi bisnis atau sosial, pada periode tertentu, yang hasilnya dapat dinikmati sendiri maupun oleh kelompoknya atau perusahaan.

Selanjutnya Pasolong (2007:176) mengatakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Menurut Sinambela dkk. (2006:136) bahwa kinerja pegawai adalah sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu dengan keahlian tertentu. Bersesuaian dengan pendapat tersebut Robbins (2001:439) mengungkapkan bahwa kinerja adalah hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dibandingkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

(25)

menurut Bernadin dan Russell (2003:379) adalah “a way of measuring the constribution of individuals to their organization”. Maksudnya yaitu suatu cara

mengukur konstribusi-konstribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasi. Jadi penilaian prestasi ini diperlukan untuk menentukan tingkat konstribusi individu atau prestasi.

Selanjutnya pengertian penilaian prestasi (kinerja) menurut Cascio (2000:267) “Performance appraisal is the sistematic description of the job relevant strengths and weaknesses of an individual or group.”

Bila dibandingkan dengan pendapat Bernaddin lebih menekankan kepada hasil dari suatu aktivitas (output) sedangkan Casio lebih menekankan proses. Menurut Walker (2000:275) adapun tujuan dilaksanakannya penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah :

“In appraising employee performance is the dua purpose of appraisals. On one

hand. Employers needs objective evaluations of past individuals performance for

use in making personel decisions. On the other hand employers needs toold to

enable managers to help indibividuals improve performance, plane future work,

develop skill and abilities for career growth, and strength the quality of their

relationship as manager and employee.”

(26)

kemampuan untuk pengembangan karier, dan kekuatan kualitas hubungan antara manajer dan pegawai.

2.1.8 Indikator Kinerja

Dalam melaksanakan tugas kedinasan sehari-hari untuk menilai dan menentukan apakah seseorang staf sudah bekerja sesuai dengan yang diharapkan atau menampilkan kinerja yang baik tentu saja dibutuhkan pengetahuan tentang indikator-indikator kinerja yang mesti diemban dan lakukan oleh staf. Secara umum ada beberapa pendapat yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan pertimbangan dalam melakukan evaluasi kinerja staf diantaranya, Selim dan Woodward dalam Nasucha (2004:108), mengemukakan bahwa ada lima dasar yang dapat dijadikan indikator kinerja yaitu: (1) pelayanan yang menunjukkan seberapa besar pelayanan yang diberikan, (2) ekonomi, yang menunjukkan apakah biaya yang digunakan lebih murah dari pada yang direncanakan, (3) efisien, yang menunjukkan perbandingan hasil yang dicapai dengan pengeluaran, (4) efektivitas, yang menunjukkan perbandingan hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai, (5) Equity, yang menunjukkan tingkat keadilan potensial dari kebijakan yang dihasilkan.

2.1.9 Metode Ukuran Penilaian Kinerja

Menurut Siagian (2001:234-241), ada delapan ukuran untuk metode penilaian kinerja yang banyak digunakan yaitu :

a) Metode skala bertingkat

(27)

diakui bahwa metode ini bersifat subyektif. Kategori penilaian dapat dinyatakan dalam bentuk ukuran amat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang.

b) Metode checklist

Metode ini sering digunakan untuk menilai prestasi kerja dimasa lalu. Dengan ukuran metode ini bagian kepegawaian mempersiapkan formulir isian yang mengandung :

1) nama pegawai yang dinilai 2) bagian mana pegawai bekerja 3) nama dan jabatan penilai 4) tanggal penilaian dilakukan

5) faktor-faktor yang dinilai dengan sorotan perhatian ditujukan pada aspek-aspek kritikal dalam mengukur keberhasilan seseorang menyelesaikan tugas.

c) Metode pilihan terarah

Metode ini mengandung serangkaian pernyataan, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif tentang pegawai yang dinilai. Pernyataan tersebut menyangkut beberapa faktor seperti kemampuan belajar prestasi kerja, hubungan kerja dan lain-lain.

d) Metode insiden kritikal

(28)

e) Metode skala peringkat yang dikaitkan dengan prilaku

Metode ini merupakan salah satu ukuran penilaian prestasi kerja (kinerja) pegawai untuk satu kurun waktu tertentu dimasa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan perilaku tertentu. Salah satu kelebihan ukuran metode ini ialah pengurangan subyektivitas dalam penilaian. Deskripsi prestasi kerja, yang baik maupun kurang memuaskan dibuat oleh pekerja sendiri, rekan sekerja dan atasan langsung masing-masing.

f) Metode evaluasi lapangan

Penggunaan metode ini meletakkan tanggung jawab utama dalam melakukan penilaian pada para ahli yang bertugas dibagian kepegawaian. Artinya ahli penilai itu turut kelapangan melakukan penilaian atas prestasi kerja pada pegawai. Hasil penilaian yang kemudian disampaikan kepada dua pihak yaitu kepada atasan lagsung pegawai yang menilai untuk diteliti, diubah atau disetujui dan kepada pegawai yang bersangkutan sendiri untuk dibicarakan, baik yang menyangkut segi-segi penilaian yang bersifat positif maupun yang negatif.

g) Metode tes dan observasi

(29)

h) Pendekatan-pendekatan yang bersifat komparatif

Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja (kinerja) seseorang dengan pegawai lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Pembanding demikian dipandang bermanfaat untk manajemen sumberdaya manusia dengan lebih rasional dan efektif, khususnya dalam hal kenaikan gaji atau upah, promosi dan pemberian berbagai bentuk imbalan kepada pegawai. Dengan perbandingan, tersebut dapat disusun peringkat pegawai dari sudut prestasi kerjanya.

(30)

Ukuran penilaian yang mengacu pada format standar absolut terdiri dari : (1) Skala rating grafik. (2) Skala rating yang diberi bobot menurut prilaku dan (3) Skala standar campuran dan skala pengamatan perilaku (BOS = Behavioral Observation Scala). Sedangkan ukuran penilaian yang mengacu kepada output

terdiri dari : (1) manajemen berdasarkan sasaran (MBO = Management by Objectiver) (2) Pendekatan standar kinerja, (3) Pendekatan indeks langsung dan

(4) Catatan prestasi.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2000:74) bahwa ukuran penilaian prestasi kerja (kinerja) terdiri dari 2 (dua) yaitu ukuran metode tradisional, antara lain rating scala, employee comparison dan ukuran metode modern, antara lain management by objective (MBO) assessment center.

2.1.10 Pengaruh Antara K3 dengan Kinerja Karyawan.

Kondisi lingkungan kerja yang aman dan nyaman dapat membuat karyawan menjadi sehat dan produktif. Semakin produktif karyawan akan meningkatkan kinerja dan semakin tinggi hasil kerja.

Perhatian yang khusus kepada keselamatan dan kesehatan kerja akan selaras dengan fungsi manajemen sumber daya manusia yaitu: mempertahankan dan atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan sikap karyawan agar mereka tetap loyal dan bekerja secara produktif untuk menunjang tujuan perusahaan (Yuli, 2005).

(31)

perusahaan dengan cermat sehingga dapat menurunkan angka kecelakaan kerja tersebut.

Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang efektif menuntut adanya komitmen perusahaan terhadap kondisi kerja yang aman. Akan tetapi, lebih penting lagi jika program keselamatan dan kesehatan kerja tersebut didesain dan dikelola dengan baik sehingga dapat mengurangi biaya yang akan dikeluarkan perusahaan yang berhubungan dengan kecelakaan kerja, misalnya kompensasi pekerja dan denda yang ditimbulkan. Respon dan usaha yang baik dari manajemen akan mengurangi tingkat kecelakaan dalam perusahaan. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja membutuhkan satu asas yang dapat dijelaskan dalam Gambar 2.1 berikut ini:

Sumber: Yuli (2005: 279)

Gambar 2.1.

Hubungan K3 Terhadap Kinerja Karyawan

(32)

penyakit akibat kerja.

Namun keselamatan dan kesehatan kerja juga memiliki tujuan yang lebih penting yaitu mewujudkan tenaga kerja yang sehat, selamat dan produktif sehingga dapat memiliki kinerja dan prestasi yang baik. Keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri ini dapat didefenisikan sebagai suatu kejadiaan yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas (Husni, 2005).

Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental maupun sosial sehingga dapat bekerja secara optimal (Husni, 2005).

Senada dengan itu Mathis dan Jhon (2002) mengatakan keselamatan kerja merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang, sedangkan kesehatan kerja merujuk pada kondisi fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.

2.2 Penelitian Terdahulu

(33)

adanya pengaruh positif dan signifikan antara keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja karyawan sebesar 52,2% secara serentak maupun parsial.

Fahmawati (2004), meneliti dengan judul "Pengaruh Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Serta Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Cahaya Surya Tunas Tapioka Wonogiri". Hasil uji F sebesar 24,120 menunjukkan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar, hasil uji t sebesar 4,260 dengan koefisien determinan sebesar 0,556 menunjukkan bahwa variabel bebas (kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan kerja) dapat menjelaskan 56,6 % terhadap variabel terikat (kinerja karyawan).

2.3Kerangka Konseptual

Keselamatan dan kesehatan adalah aset yang tidak ternilai harganya yang merupakan bagian utama kesejahteraan. Kesejahteraan tenaga kerja mustahil diwujudkan dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Kebanyakan perusahaan-perusahaan yang sukses menggunakan catatan Keselamatan dan Kesehatan sebagai pengukuran kinerja (Performance measure).

(34)

Husni (2005) menyatakan bahwa, tujuan kesehatan kerja adalah: a) meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial; b) mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja; c) menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja; d) meningkatkan kinerja". Dengan demikian maksud dan tujuan tersebut adalah bagaimana melakukan suatu upaya dan tindakan pencegahan untuk memberantas penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bagaimana upaya pemeliharaan serta peningkatan kesehatan gizi, serta bagaimana mempertinggi efisiensi dan kinerja karyawan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik.

Menurut Mathis (Yuli, 2005:211) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dapat diartikan sebagai kegiatan yang menjamin terciptanya kondisi kerja yang aman, terhindar dari gangguan fisik dan mental melalui pembinaan dan pelatihan, pengarahan, dan kontrol terhadap pelaksanaan tugas dari para karyawan dan pemberian bantuan sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dari lembaga pernerintah maupun perusahaan dimana mereka bekerja. Hal ini diselenggarakan agar terwujud suatu kinerja yang optimal dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (X)

Keselamatan Kerja (X1)

Kesehatan Kerja (X2)

Sumber : (Ely Nurachma, 2007), WHO / ILO (1995), Pasolong (2007:176) (Data diolah).

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

(35)

2.4 Hipotesis

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan K3 Terhadap Kinerja Karyawan
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Debitur yang beritikad tidak jujur atau debitur beritikad buruk, dan berbagai sebutan lainnya dengan mana yang sama, adalah debitur yang telah melakukan perbuatan

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya adalah fenomen ENSO (El Nino Southern Oscilation) dan MJO (Maden

Dari data pada Gambar 3 tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan proses menggunakan algoritma k-means sehingga akan didapatkan hasil nilai yang masuk dalam kriteria baik..

Di tengah fenomena umum maraknya tradisi penafsiran Al-Quran yang terjadi di kalangan Muhammadiyah, metodologi tafsir ternyata masih menjadi hal langka kaitannya dengan kajian

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial... Pemerintah Pusat dimaknai sebagai

 Guru menjelaskan tema dan sub tema yaitu tema Aku dan kebutuhanku dengan sub-sub tema adalah kebersihan, kesehatan dan keamanan (mencegah dari virus corona)..  Guru

Studi kepustakaan yaitu penulis membaca beberapa literatur yang bisa mendukung tulisan ini, dan bisa dipergunakan untuk membuat pertanyan yang akan dipertanyakan di lapangan,

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1984 tentang TataCara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Daerah dilingkungan Pemerintah Daerah ;a. Keputusan Menteri