• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Nilai Anak - Pengaruh Nilai Anak terhadap Keikutsertaan Keluarga Berencana pada Ibu PUS di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Nilai Anak - Pengaruh Nilai Anak terhadap Keikutsertaan Keluarga Berencana pada Ibu PUS di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2012"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Nilai Anak

Berry (1999) dalam Kartino (2006) menyatakan bahwa nilai merupakan

sesuatu yang dianut oleh masyarakat secara kolektif ataupun individu. Anak

mempunyai nilai yang sangat penting dalam kehidupan seseorang atau suatu keluarga

melebihi nilai harta kekayaan. Nilai anak bagi orangtua dalam kehidupan sehari-hari

dapat diketahui antara lain adalah dengan adanya kenyataan bahwa anak menjadi

tempat orangtua mencurahkan kasih sayang dan sumber kebahagian keluarga. Nilai

jika dilihat dari segi sosial merupakan kualitas suatu objek yang menyebabkan objek

tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga.

Nilai anak dinilai berhubungan dengan kuatnya nilai budaya yang mengikat

dalam kehidupan responden. Sesuai pendapat Koentjaraningrat (2004), nilai adalah

gambaran apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi

perilaku sosial dari seseorang yang memiliki nilai tersebut. Pada suku Bonai

menyimpulkan nilai anak yang tinggi cenderung tidak mendukung responden untuk

mengikuti program KB. BKKBN (2000) menyimpulkan semakin tinggi nilai anak

yang di anut dalam keluarga maka semakin sulit untuk memberikan motivasi agar

berpartisipasi dalam program KB.

Nilai anak merupakan fungsi anak dalam melayani atau mememenuhi

(2)

Nauck 2005). Menurut Hoffman dan Hoffman (1973), diacu dalam Santrock (2007),

nilai anak adalah harapan orang tua terhadap anak yang terdiri dari nilai psikologi

(anak sebagai sumber kepuasan), nilai sosial (anak sebagai pencegah perceraian dan

meningkatkan status sosial keluarga), dan anak sebagai nilai ekonomi yaitu sebagai

investasi jangka panjang untuk meningkatkan ekonomi keluarga dimasa yang akan

datang. Presepsi dan harapan orang tua pada anak berbeda di berbagai budaya. Anak

merupakan sumberdaya yang utama dan berharga, anak merupakan representasi

orang tua di masa depan. Secara alami orang tua menganggap anak merupakan nilai

investasi yang paling efisien pada masa yang akan datang yang meliputi nilai

psikologis dan nilai materi. Investasi yang ditanamkan orang tua pada anak

diwujudkan dalam proses pengasuhan yang baik, perawatan, pendidikan di sekolah,

dan pemenuhan gizi seimbang yang terdapat dalam menu makanan sehari-hari demi

perkembangan anak yang maksimal (Becker & Murphy 1995).

Nilai anak bagi orang tua juga sekaligus menentukan pilihan, apakah ia harus

memiliki anak atau tidak. Bila ingin memiliki anak berapa jumlah yang diinginkan?

Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau

cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari

keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua tiga dan seterusnya. Dengan demikian

keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan

tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap

(3)

barang konsumsi tahan lama seperti mobil, rumah, televisi dan sebagainya, yang

dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang lama. Setiap orang (dalam hal ini

orang tua), telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha semaksimal

mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih antara berbagai barang,

termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Dengan pendekatan ini sulit

diterangkan mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya

fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan,

orang tua ingin agar anaknya bependidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih

memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990).

Nilai memiliki karakterisik yang berbeda-beda berdasarkan ciri-ciri tertentu.

Dilihat dari segi kestabilan nilai, nilai dibedakan menjadi :1) nilai absolut, 2) nilai

normatif, 3) nilai relatif. Nilai absolut merupakan nilai yang tertanam kuat dalam diri

seseorang yang memiliki kecenderungan tidak dapat berubah karena faktor

lingkungan. Nilai normatif merupakan acuan-acuan tertentu yang digunakan oleh

kelompok sosial tertentu. Nilai relatif merupakan nilai yang dianut oleh seseorang

dan berbeda bagi individu maupun kelompok tergantung dari keadaan dan lingkungan

tempat tinggal (Deacon & Firebaugh 1988).

Menurut Joshi dan Mac Clean (1997) dalam Putri (2006), nilai anak

merupakan persepsi dan harapan orangtua terhadap anak berdasarkan potensi yang

dimiliki oleh anak. Hal ini terkait dengan persepsi nilai anak oleh orangtua

merupakan respon dalam memahami akan adanya anak yang berwujud

(4)

Becker (1955) dalam Hernawati (2002) menyebutkan bahwa anak dipandang

sebagai sumberdaya yang sangat berharga dan tahan lama. Anak secara alami

memiliki nilai psikis dan materi. Oleh karena itu, orangtua beranggapan bahwa anak

merupakan nilai investasi di masa depan. Dalam hal ini, orangtua beranggapan bahwa

anak dapat memberikan kebahagiaan dan merupakan jaminan di hari tua serta

membantu perekonomian keluarga. Penilaian orangtua diwujudkan dengan

pengasuhan yang baik, perawatan, sekolah dan pemenuhan makan anak. Hal ini akan

mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anak. Cara orangtua

memperlakukan anak akan mempengaruhi penilaian anak terhadap orangtua. Pada

intinya bahwa hubungan orangtua dengan anak akan bergantung pada penilaian

orangtua (Hurlock 1977). Menurut Hartoyo (2004) investasi pada anak merupakan

usaha atau alokasi keluarga untuk meningkatkan kualitas anak sehingga pada saat

dewasa menjadi produktif.

Beberapa batasan mengenai nilai yang dikemukakan oleh Nicholas Roscher

dalam Srisoeprapto (1998) sebagai berikut : (1) Suatu benda atau barang yang

memiliki nilai atau bernilai, apabila orang menginginkannya kemudian berusaha atau

menambah keinginan untuk memilikinya, (2) Nilai adalah sesuatu yang mampu

menimbulkan penghargaan, (3) Nilai adalah dorongan untuk memperhatikan objek,

kualitas atau keadaan yang dapat memuaskan keinginan, (4) Nilai merupakan suatu

objek dari setiap keinginan, (5) Nilai adalah harapan atau setiap keinginan atau dipilih

(5)

atau kelompok, keinginan mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan

perbuatan. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu

konsep yang di dalamnya terdapat ide, gagasan yang mengandung kebenaran yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat serta dihargai dan dipelihara. Dengan

demikian, nilai mengandung harapan atau keinginan yang dijadikan oleh manusia

sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Mengenai nilai anak bagi

orang tua juga sekaligus menentukan pilihan, apakah ia harus memiliki anak atau

tidak. Bila ingin memiliki anak berapa jumlah yang diinginkan?

Dasar pemikiran yang utama dari teori transisi demografi adalah bahwa

sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan

mempunyai anak lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi

(Robinson dalam Lucas dkk, 1990). Teori ekonomi fertilitas yang dikemukakan oleh

beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran

anak yang diinginkan perkeluarga di antaranya adalah berapa banyak kelahiran yang

dapat dipertahankan hidup (survive). Tekanan yang utama adalah cara bertingkah

laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan

perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang diinginkannya.

Perhitungan-perhitungan demikian itu tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau

kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan kelahiran seorang anak, baik

berupa keuangan maupun psikis (Caldwell, 1983). Menurut Robinson (1983) ada tiga

(6)

1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya

sebagai sumber hiburan.

2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni

dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu

pekerjaan tertentu yang menambah pendapatan keluarga.

3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada

hari tua maupun sebaliknya

Sementara itu jika dilihat dari segi ekonomi, nilai dijadikan sebagai nilai tukar

(harga) dan nilai guna (utilitas). Pembentukan nilai pada anak paling efektif dan

intensif terjadi dalam keluarga. Artinya bahwa nilai merupakan faktor keturunan yang

dibawa sejak lahir dan dibentuk oleh lingkungan (Deacon & Firebaugh 1988).

Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara

berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktiva ekonomi. Orang tua

berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan nampak jika

anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau memberikan

sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu keuangan orang tua

(Lucas dkk, 1990). Sesuai dengan keadaan di negara berkembang, anak dianggap

sebagai barang investasi atau aktiva ekonomi. Orang tua berharap kelak menerima

manfaat ekonomi dari anak (Lucas dkk, 1990).

Bila anak dianggap sebagai barang konsumsi yang tahan lama atau barang

(7)

1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang

dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan dan

perawatan kesehatan anak.

2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang

dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak.

3. Apabila seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil,

maka orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri

bekerja. Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan

anak dan ini juga merupakan biaya alternatif.

Karena fertilitas tidak dapat hanya diterangkan dengan menggunakan ukuran

ekonomi, keuntungan dan kerugian ‘bukan ekonomi’, kiranya juga perlu dihitung.

Nilai anak dapat diartikan sebagai ‘koleksi benda-benda bagus’ yang diperoleh orang

tua karena mempunyai anak (Espenshade dalam Lucas dkk, 1990). Hoffman dan

Hoffman dalam Lucas dkk (1990) menghasilkan suatu sistem nilai yang meliputi

Sembilan kategori, yakni delapan nilai bukan ekonomi (misalnya status kedewasaan,

imortalitas, kebahagiaan, kreativitas) dan satu nilai yang menyangkut manfaat

ekonomi. Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan

mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari kerangka

kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya kebutuhan

masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara lain untuk

memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial dan ekonomi,

(8)

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, umumnya anak laki-laki mempunyai

arti khusus sehingga anak lelaki paling banyak dipilih. Orang tua dari golongan

menengah lebih memilih anak perempuan yang dapat menjadi kawan bagi ibu.

Perbedaan tanggapan yang relatif kecil antara suami dan istri ada hubungannya

dengan peranan mereka dan pembagian tugas dalam keluarga. Misalnya, wanita yang

lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak, mempunyai lingkungan

kehidupan sosial yang lebih sempit, menitikberatkan anak sebagai teman dan

kebutuhan emosional serta fisik dari pengasuhan anak. Di lain pihak, agaknya para

suami lebih mementingkan kebutuhan akan keturunan untuk melanjutkan garis

keluarga dan lebih prihatin terhadap biaya anak (Oppong, 1983).

Menurut Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan

menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel lain.

Seorang dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi tentu saja dapat

mempertimbangkan berapa keuntungan financial yang diperoleh seorang anak

dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkannya.

Hubungan antara pendidikan dan nilai anak juga terlihat pada diri wanita.

Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, bukan saja semakin rasional, akan tetapi

semakin besar peluangnya untuk memasuki pasar kerja. Sementara itu waktu bagi

seorang wanita yang bekerja sangat sedikit, dengan demikian untuk mengasuh dan

membesarkan anak semakin berkurang. Itulah sebabnya nilai anak baginya mungkin

(9)

luar rumah (peran publik), terutama yang tidak berpeluang untuk bekerja di luar

rumah (peran publik) (Lucas, 1990).

Menurut Bellante dan Jackson (1990) anak-anak memberikan utilitas dan jasa

pelayanan yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang

berpenghasilan rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak

dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi

keluarga. Selain itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas

ekonomi yang dapat disimpan di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan

positif antara penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan

yang tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka

menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan

maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun.

Selanjutnya terdapat perbedaan pula antara usia, usia kawin pertama dan

kondisi pemukiman terhadap persepsi nilai anak. Hasil Survai Prevalensi Indonesia

1987 menunjukkan bahwa berdasarkan perbedaan umur dan daerah, terdapat range

yang cukup besar dalam jumlah anak yang diinginkan. Apabila diambil kelompok

umur 25-29 tahun sebagai pedoman kasar, yakni kelompok umur yang relatif muda,

golongan muda ini masih mempunyai jumlah anak ideal (anak yang diinginkan) yang

cukup tinggi, yakni 3,1 di Jawa, di luar Jawa dan Bali malah sebesar 3,6. Selanjutnya,

penduduk perkotaan mempunyai jumlah anak ideal lebih rendah daripada penduduk

(10)

Orang tua di desa lebih menitik beratkan manfaat ekonomi dan kegunaan

praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anak malah sebesar 3,6. Selanjutnya,

penduduk perkotaan mempunyai jumlah anak ideal lebih rendah daripada penduduk

pedesaan dan pesisir (Singarimbun, 1996). Orang tua di desa lebih menitikberatkan

manfaat ekonomi dan kegunaan praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anakanak,

sedangkan orang tua di kota (terutama yang berpendidikan tinggi) menekankan aspek

emosional dan psikologisnya (Bongaarts, 1983).

2.1.1 Kategori Nilai Anak

Hoffman (1973) mengatakan bahwa anak memiliki nilai psikologis, ekonomi

dan sosial. Secara psikologis, dengan adanya anak dalam keluarga, muncul seseorang

yang dapat disayangi dan dilindungi. Ada rasa bahagia dari orang tua melihat anak

tumbuh dan berkembang. Dan secara sosial, anak merupakan penerusan nama

keluarga dan peningkat reputasi.

Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang diajukan

oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini, dengan

memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal

yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat

kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan nilai

(11)

A. Nilai Positif Umum (Manfaat)

1. Manfaat Emosional

Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam hidup orang tuanya.

Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat bagi orang tuanya.

2. Manfaat Ekonomi dan Ketenangan

Anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau di

perusahaan keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan upah yang mereka

dapat di tempat lain. Mereka dapat mengerjakan banyak tugas di rumah

(sehingga ibu mereka dapat melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang)

3. Pengembangan Diri

Memelihara anak adalah suatu ”pengalaman belajar” bagi orang tua. Anak

membuat orang tuanya lebih matang, lebih bertanggung jawab. Tanpa anak,

orang yang telah menikah tidak selalu dapat diterima sebagai orang dewasa

dan anggota masyarakat sepenuhnya.

4. Mengenali Anak

Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan dari mengawasi

anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka hal- hal baru. Mereka bangga

kalau bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

5. Kerukunan dan Penerus Keluarga

Anak membantu memperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan

mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga,

(12)

B. Nilai Negatif Umum (Biaya)

1. Biaya Emosional

Orang tua sangat mengkhawatirkan anak-anaknya, terutama tentang perilaku

anak-anaknya, keamanan dan kesehatan mereka. Dengan adanya anak-anak,

rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-kadang anak-anak itu

menjengkelkan.

2. Biaya Ekonomi

Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan dan pakaian anak-anak

dapat besar.

3. Keterbatasan dan Biaya Alternatif

Setelah mempunyai anak, kebebasan orang tua berkurang.

4. Kebutuhan Fisik

Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang diperlukan untuk mengasuh

anak. Orang tua mungkin lebih lelah.

5. Pengorbanan Kehidupan Pribadi Suami Istri

Waktu untuk dinikmati oleh orang tua sendiri berkurang dan orang tua berdebat

tentang pengasuhan anak.

C. Nilai Keluarga Besar (alasan mempunyai keluarga “Besar”)

1. Hubungan Sanak Saudara

Anak membutuhkan kakak dan adik (sebaliknya anak tunggal dimanjakan dan

(13)

2. Pilihan Jenis Kelamin

Mungkin orang tua mempunyai keinginan khusus untuk seorang anak lelaki

atau anak perempuan, atau suatu kombinasi tertentu. Orang tua ingin paling

tidak mempunyai satu anak dari masing-masing jenis kelamin atau jumlah

yang sama dari kedua jenis kelamin.

3. Kelangsungan Hidup Anak

Orang tua membutuhkan banyak anak untuk menjamin agar beberapa akan

hidup terus sampai dewasa dan membantu mereka pada masa tua.

D. Nilai Keluarga Kecil (alasan mempunyai keluarga “Kecil”)

1. Kesehatan Ibu

Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu.

2. Beban Masyarakat

3. Dunia ini menjadi terlalu padat. Terlalu banyak anak sudah merupakan beban

bagi masyarakat. Sebagai barang ekonomi, anak-anak mengandung suatu arus

keuntungan atau utilitas bagi orang tua mereka. Orang tua juga mengeluarkan

biaya dalam memiliki dan membesarkan anak-anak mereka. Dalam

memutuskan untuk memiliki seorang anak, berapa jumlah anak yang

diinginkan, orang tua diasumsikan mempertimbangkan

keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak-anak dibandingkan secara

relatif dengan biaya-biaya yang diperkirakan akan dikeluarkan. Terutama

sekali, keuntungan yang diberikan anak-anak telah menurun sedangkan

(14)

Pengambilan keputusan mengenai jumlah anak mencakup dan

mempertimbangkan dua nilai anak positif dan negatif, walaupun anak merupakan

buah kasih sayang dari dua orang (laki-laki dan perempuan) yang terkait dalam

perkawinan yang sah. Robinson dan Hrbinson (1983) yang dikutip oleh Hajar (1992)

mengaktegorikan nilai anak yaitu :

(1) Nilai psikologis : anak sebagai sumber hiburan bagi orang tua

(2) Nilai ekonomis : anak sebagai tenaga kerja atau sarana produksi untuk

meningkatkan pendapatan keluarga.

(3) Nilai sosial : anak sebagai sumber ketentraman, baik di hari tua dan

sebaliknya.

1. Nilai psikologis

Keluarga akan mempunyai kebahagiaan tersendiri jika telah mempunyai anak.

Seorang suami akan lebih pantas disebut bapak atau ayah apabila sudah mempunyai

anak dan seorang istri juga akan sempurna sebagai stri jika telah mempunyai anak.

Kehadiran anak dalam keluarga juga memberi kesempatan kepada siami-istri untuk

mendidik dan membimbing anak-anaknya mulai dari bayi hingga dewasa kelak

nantinya. Kehadiran anak juga sering kali mempertimbangkan jumlah dan

kelengkapan jenis kelamin. Pada masyarakat dengan sistim kekerabatan patrilineal

maka kehadiran anak laki-laki merupakan kebahagiaan yang “lebih” dibandingkan

dengan anak perempuan. Sebaliknya pada masyarakat dengan sistim kekerabatan

(15)

Kehadiran anak pada dua jenis sistim kekerabatan di atas dapat menyebabkan

seseorang dinilai lebih terhormat atau dihargai oleh masyarakatnya. Hali ini tentu saja

berkaitan dengan masyarakat tradisional. Hasil penelitian Astiti (1994)

mengemukakan orang tua di Bali kelihatannya tidak begitu khawatr apabila anaknya

tidak memberikan jaminan di hari tuanya. Orang tua lebih merasa khawatir, apabila

mereka tidak mempunyai anak yang akan meneruskan keturunannya, karena anak

(keturunan) mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang tua,

baik dunia maupun akhirat.

2. Nilai Ekonomi

Di daerah Jawa anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat

muda yaitu umur 7 sampai 9 tahun, bahkan juga pada usia 5 sampai 6 tahun. Anak

laki-laki biasanya mengumpulkan rumput dan mengambil air (White, 1982 dikutip

Ihromi, 1999). Semakin besar usia mereka semakin berat pekerjaan yang harus

mereka lakukan. Hal ini sejalan dengan sosialisasi kerja yang dilakukan oleh orang

tua mereka. Dalam kasus ini orang tua mengharapkan anak membantu pekerjaan ayah

dan keuangan keluarga. Bahkan White dan Tjandraningsih (1991) anak-anak di

daerah Jawa Barat tidak saja dilibatkan untuk membantu orang tua, maka mereka

kerja upahan baik dalam pertanian maupun industri skala besar dan kecil juga tampak

menjadi lazim.

Masyarakat mempunyai keyakinan tentang anak. Konsep “banyak anak,

banyak rejeki” dan “anak mempunyai dan membawa rejeki sendiri-sendiri”

(16)

jumlah banyak. Jumlah anak yang banyak ini dapat dijadikan sebagai modal kerja

untuk mengelola lahan pertanian mengingat peralatan dan teknologi pertanian yang

digunakan masih relatif maju sehingga kehadiran anak mempunyai arti penting.

(Tjandraningsih, 1991)

Arti penting nilai anak tersebut dalam menunjang ekonomi keluarga berkaitan

dengan besarnya biaya yang dibutuhkan orang tua dalam membesarkan, mendidik

dan menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak menjadi harapan utama untuk

mengingkatkan pendapatan terutama bag masyarakat kalangan ekonomi menengah

kebawah. Berbeda dengan kalangan ekonomi menengah ke atas yang relatif lebih

mampu untuk membesarkan, mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya tanpa

menuntut lebih jauh nilai positif anak-anaknya. Namun sepenuhnya tergantung

kemauan anak-anaknya (Tjandraningsih, 1991).

3. Nilai sosial

Orang tua mempunyai makna dan tujuan hidup melalui kehadiran anak.

Kehadiran anak dalam keluarga dapat meningkatkan status sosial seseorang. Seperti

hasil penelitian Sihaloho (2000) pada masyarakat Batak Toba, seseorang akan lebih

dihargai apabila telah mempunyai keturunan laki-laki maupun perempuan. Juga

kekayaan dan kehormatan.

Orang tua akan memiliki kebahagiaan tersendiri jika mereka mempunyai anak

yang akan menggantikan generasi mereka. Akan bahagia lagi apabila anak-anaknya

(17)

kehidupan masyarakat. Terlebih jika dihari tuanya mendapat perlindungan dan rasa

aman dalam hidupnya (Sihaloho, 2000).

Kehadiran anak dalam sebuah keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang

menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz

(1985), Suparalan (1998), Zinn dan Eitzen (1990) dikutip Ihromi 1999). Faktor yang

menguntungkan tersebut adalah :

(a) Anak dapat lebih mengikat tali perkawinan

(b) Orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka

melalui kegiatan anak mereka

(c) Anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu.

(d) Orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan anaknya

(e) Anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian

(f) Anak dapat meningkatkan status seseorang

(g) Anak merupakan penerus keturunan

(h) Anak merupakan pewaris harta pusaka

(i) Anak mempunyai nilai ekonomis yang penting.

3.2.Tinjauan Tentang Permintaan Anak

Gerakan Keluarga Berencana yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak

Pelita I merupakan program yang secara langsung diarahkan untuk mengatasi

masalah pertumbuhan penduduk di Indonesia. Gerakan Keluarga Berencana bertujuan

(18)

Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat

yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran. Nilai dan jumlah anak sangat

mempengaruhi dalam mencapai terwujudnya NKKBS dimana salah satu Norma

dalam NKKBS adalah norma tentang jumlah anak yang sebaiknya dimiliki yaitu 2

anak cukup, dan laki-laki atau perempuan sama saja. Hambatan dalam pelaksanaan

program pembudayaan NKKBS dimasyarakat adalah adanya pandangan orang tua

terhadap anak dalam keluarga, dimana anak selain merupakan kebanggaan orangtua

juga sebagai tenaga kerja yang membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Selain itu

adanya kebiasaan dari suatu kelompok masyarakat yang memberi nilai lebih pada

satu jenis kelamin tertentu (Siregar, 2003).

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua.

Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai tertentu

serta mentutut dipenuhinya beberapa konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang

sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan

suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan,

menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak (Siregar, 2003).

Konsep nilai anak berkaitan erat dengan jumlah anak bagi orang tua, tau

kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhi oleh anak. Demikian juga

Mulyaningsih (1998), mengemukakan mengemukakan bahwa nilai anak merupakan

gagasan yang mendorong tingkahlaku individu dalam memberikan makna terhadap

(19)

Nilai anak akan dapat mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan atau

dimiliki. Sebagian orang berpendapat bahwa jumlah anak banyak dapat merupakan

asset keluarga yang menguntungkan karena dapat diharapkan untuk membantu

keluarga, khususnya di bidang ekonomi. Akan tetapi sebagian orang lain berpendapat

sebaliknya, yaitu anak banyak hanyalah merupakan beban ekonomi keluarga yang

tidak ringan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya jumlah anak akan

menyebabkan juga banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan sebagai

kewajiban dan rasa tanggung jawab orang tua (Fawcet, 1984).

Pada masa yang lalu banyak terdapat pandangan masyarakat tentang jumlah

anak yang tidak sepenuhnya benar. Pendapat tradisional bahwa "Banyak Anak

Banyak Rezeki" dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap

masyarakat telah diganti dengan pendapat bahwa banyak anak banyak susah dan

melahirkan banyak anak adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap

anak dan masyarakat. Perubahan telmologi, perubahan ekonomi dan perubahan nilai,

semuanya terlibat dalam perubahan besarnya jumlah anggota keluarga. Anak

memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor

sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud dengan persepsi nilai anak oleh orang tua

adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu

pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal

yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Pandangan orang

tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga dapat merupakan hambatan

(20)

Fertilitas merupakan proses pengambilan keputusan oleh individu-individu

atau pasangan-pasangan suami-istri untuk mempunyai anak. Dalam proses

pengambilan keputusan ini ada dua ciri yaitu : pertama keputusan aktual dalam

masalah fertilitas tidak selalu diambil secara sadar dan tidak selalu merupakan

tindakan yang diambil dalam waktu singkat saja, ciri kedua dalam proses

pengambilan keputusan ini adalah bahwa keputusan untuk mempunyai anak jarang

hanya dibuat sekali saja, akibat paling akhir adalah proses yang panjang atau suatu

seni keputusan-keputusan yang lebih kecil (Kemmeyer, 1981 dikutip Subagio, 1991).

Teori fertilitas mengasumsikan bahwa permintaan untuk mendapatkan

sejumlah anak ditentukan oleh preferensi keluarga itu sendiri atas jumlah anak yang

dianggap ideal (biasanya yang lebih mereka inginkan adalah anak laki-laki). Anak,

bagi masyarakat miskin, dipandang sebagai investasi ekonomi yang nantinya

diharapkan akan mendatangkan suatu “hasil” baik dalam bentuk tambahan tenaga

kerja maupun sebagai sampiran finansial orang tua di masa usia lanjut.

Menurut Kuznets bahwa penduduk di negara-negara berkembang mudah

sekali beranak pinak karena kondisi sosial dan ekonomi (Todaro, 2000). Selain faktor

sosial ekonomi, antara lain pendidikan dan penghasilan, dijumpai pula faktor penentu

yang bersifat kultural dan psikologis yang sangat mempengaruhi keputusan keluarga

dalam menentukan jumlah anak sehingga dua atau tiga anak yang pertama harus

dianggap sebagai “barang konsumsi” yang tingkat permintaannya tidaklah begitu

(21)

Keinginan seseorang untuk mempunyai sejumlah anak dan memilih sejumlah

jenis kelamin anak tertentu, berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan.

Pada tahap pembentukan keluarga, pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tekanan

budaya umum untuk mempunyai anak pada tahap-tahap berikutnya, pengambilan

keputusan dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan khusus, dan akhirnya faktor-faktor

keadaan khusus inilah yang menentukan besarnya keluarga akhir bagi pasangan

suami-istri (Kemmeyer, 1981 dikutip Subagio, 1991)

Robinson dan Harbinson (1983), menyimpulakn bahwa pembuatan keputusan

tentang fertilitas dalam hal ini jumlah anak adalah dorongan ekonomi, dorongan

non-ekonomi serta dorongan kegunaan anak. Kekuatan non-ekonomi, budaya sosial, dan

psikologis semuanya berinteraksi menentukan pengambilan keputusan fertilitas oleh

pasangan-pasangan suami-istri.

Menurut Easterlin dalam Robinson (1983) bahwa permintaan akan anak

sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang seperti agama, kondisi

pemukiman, pendidikan, umur dan tipe keluarga. Setiap keluarga mempunyai

norma-norma dan sikap-sikap fertilitas yang berdasarkan atas karakteristik tersebut di atas.

Demikian juga dengan pendapatan, pendapatan yang lebih besar cenderung

menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi. Pendapatan tertinggi oleh kebanyakan

keluarga dikonsepsikan berdasarkan atas perbandingan dengan tingkat pendapatan

orang tua atau pendapatan keluarga sekitarnya (pergaulan). Suatu variasi lain yang

dikemukakan oleh Turchi. Ia berpendapat bahwa pendapatan mempunyai pengaruh

(22)

Menurut Hull (1995), ada lima konsep dasar untuk studi-studi tentang ukuran

jumlah anak adalah :

(a) Harga seorang anak : mengarah pada apa yang harus dibayar orang tua pada

standart yang berbeda

(b) Biaya seorang anak : mengarah pada apa yang sebenarnya dibayar

(c) Masukan orang tua : mengarah pada aliran sumberdaya dari pembayaran

pembuatan biaya

(d) Keuntungan seorang anak : bagian dari seluruh pendapatan orang tua sebagai

hasil dari usaha atau kualitas anak.

(e) Nilai seorang anak : keuntungan bersih setelah dikurangi biaya.

Menurut Ehlirch (1981) beberapa dari organisasi KB dan perserikatan untuk

pemandulan dan sukarela mendesak ide dua anak sebagai cita-cita dan mengambil

tindakan yang lebih tegas dari pada sebelumnya. Sejalan dengan hal di atas,

keinginan memiliki anak sedikit sebagai jumlah anak ideal dapat diartikan sebagai

penerimaan norma dua anak sebagai norma keluarga dan hal ini berpengaruh dalam

terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (Tampubolon, 1995).

Dalam pernyataan Easterlin baru-baru ini mengenai “kerangka ekonomi

dalam analisa fertilitas”, mengungkapkan bahwa pembentukan kemampuan potensial

dari anak tergantung pada fertilitas alami dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap

hidup hingga dewasa. Fertilitas alami tergantung pada antara lain pada faktor-faktor

(23)

faktor biologis lainnya. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai akan anak dalam

suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai anak mempunyai pengaruh

dengan fertilitas. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pengaruh nilai anak dalam

menentukan keinginan memiliki anak mengenai jumlah anak dan kelengkapan jenis

kelamin

2.3 Program Keluarga Berencana 2.3.1 Pengertian Keluarga Berencana

Menurut UU NO 52 tahun 2009 Keluarga Berencana adalah upaya mengatur

kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui

promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan

keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu

pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak,

dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan cara, alat, dan

obat kontrasepsi.

Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan

yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang

ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi

keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan

(24)

hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.

Keluarga berencana dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami isteri

dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung

jawab tentang, usia ideal perkawinan, usia ideal melahirkan, jumlah anak ideal, jarak

kelahiran anak dan penyuluhan kesehatan reproduksi.

Program Keluarga Berencana diselenggarakan oleh pemerintah dengan tujuan

mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yang nantinya diharapkan dapat

berkontribusi dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Sesuai dengan hasil

Konferensi Internasional Population and Developtment ( ICPD ) di Kairo tahun 1994,

serta visi dan misi BKKBN yaitu pendekatan Keluarga Berencana (KB) ke arah

pendekatan kesehatan reproduksi. Program KB dan Kesehatan Reproduksi saat ini

tidak hanya ditujukan untuk penurunan angka kelahiran namun dikaitkan pula pada

dengan tujuan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi, pencegahan,

penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual serta menjaga

kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi dan anak (Dinkes Banyuwangi, 2012).

Target pemerintah Indonesia mengenai kesehatan reproduksi yang akan

dicapai sampai pada tahun 2015 yang terangkum dalam indikasi keberhasilan

program Millenium Development Goals (MDGs) adalah cakupan layanan KB pada

pasangan usia subur (PUS) 70%, penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu”

mencapai 50%, penurunan kejadian komplikasi KB serta penurunan angka drop out

(25)

Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi wanita merupakan dari konsep hak

asasi manusia. Baik dalam Intenational Conferention of Population and Developtment

(ICPD) 1994 mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan

hak yang paling mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual. Kondisi reproduksi

sehat dapat tercapai bila masyarakat dan negara memberikan penghormatan terhadap

pemenuhan hak-hak reproduksi. Hak reproduksi yang dimaksud adalah hak bagi

setiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menentukan

jumlah,jarak waktu untuk mempunyai keturunan, hak untuk mendapatkan informasi

kesehatan reproduksi dan sarana untuk mewujudkan, hak untuk memperoleh standar

kesehatan reproduksi dan seksual tertinggi, dan hak untuk mengambil untuk

mengambil keputusan tentang reproduksi tanpa diskriminasi, tekanan dan kekerasan.

Setiap tahun, di Indonesia rata-rata mencapai 6 juta – 6,5 juta peserta KB baru,

namun demikian capaian tersebut hanya mampu mempertahankan tingkat

Contraceptive Prevalensi Rate (CPR) karena peserta baru yang diperoleh belum

memberikan kontribusi yang kuat terhadap pencapaian peserta KB Aktif (Dinkes

Banyuwangi, 2012).

2.3.2 Asas, Prinsip dan Tujuan Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Menurut UU NO 52 Tahun 2009, Asas, Prinsip dan Tujuan Perkembangan

(26)

a. Asas

Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berasaskan norma

agama, perikemanusiaan, keseimbangan, dan manfaat.

b. Prinsip

Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berdasarkan prinsip

pembangunan kependudukan yang terdiri atas:

1) Kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan;

2) Pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam pembangunan sosial

budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup;

3) Partisipasi semua pihak dan gotong royong;

4) Perlindungan dan pemberdayaan terhadap keluarga sebagai unit terkecil

dalam masyarakat;

5) Kesamaan hak dan kewajiban antara pendatang dan penduduk setempat;

6) Perlindungan terhadap budaya dan identitas penduduk lokal; dan

7) Keadilan dan kesetaraan gender.

c. Tujuan

1) Perkembangan kependudukan bertujuan untuk mewujudkan keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran

penduduk dengan lingkungan hidup.

2) Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar

(27)

2.3.3 Keluarga Berencana (UU No. 52 Tahun 2009)

Untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan

program keluarga berencana. Kebijakan keluarga berencana dilaksanakan untuk

membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan

mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang:

a. Usia ideal perkawinan

b. Usia ideal untuk melahirkan;

c. Jumlah ideal anak;

d. Jarak ideal kelahiran anak;

e. Penyuluhan kesehatan reproduksi;

f. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak;

g. Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan

pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi;

h. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga

berencana; dan

i. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak

kehamilan.

Kebijakan keluarga berencana mengandung pengertian bahwa dengan alasan

apapun promosi aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang. Kebijakan keluarga

berencana dilakukan melalui upaya:

(28)

b. Pembinaan keluarga; dan

c. Pengaturan kehamilan dengan memperhatikan agama, kondisi perkembangan

sosial ekonomi dan budaya, serta tata nilai yang hidup dalam masyarakat.

Upaya – upaya tersebut dilaksanakan disertai dengan komunikasi, informasi

dan edukasi. Kebijakan keluarga berencana diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi,

pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara:

a. Menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri

dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan

norma agama;

b. Menyeimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan;

c. Menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang

efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi, termasuk manfaatnya

dalam pencegahan penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan

tubuh dan infeksi menular karena hubungan seksual;

d. Meningkatkan keamanan, keterjangkauan, jaminan kerahasiaan, serta

ketersediaan alat, obat dan cara kontrasepsi yang bermutu tinggi;

e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia petugas keluarga berencana;

f. Menyediakan pelayanan ulang dan penanganan efek samping dan komplikasi

pemakaian alat kontrasepsi;

(29)

h. Melakukan promosi pentingnya air susu ibu serta menyusui secara ekslusif

untuk mencegah kehamilan 6 (enam) bulan pasca kelahiran, meningkatkan

derajat kesehatan ibu, bayi dan anak; dan

i. Melalui pemberian informasi tentang pencegahan terjadinya ketidakmampuan

pasangan untuk mempunyai anak setelah 12 (dua belas) bulan tanpa

menggunakan alat pengaturan kehamilan bagi pasangan suami isteri.

2.3.4 Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi

Sesuai dengan UU Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, membawa perubahan pada visi dan misi

Program KB Nasional. Visi “Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera” menjadi

Visi baru, yaitu “Keluarga Berkualitas 2015” suatu keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan kedepan, bertanggung

jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misi yang diemban

oleh Program KB Nasional untuk mencapai visi baru tersebut adalah :

1) Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas,

2) Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan

ketahanan keluarga,

3) Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi,

4) Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak

reproduksi,

5) Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan

(30)

6) Mempersiapkan sdm berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai

dengan lanjut usia.

7) Menyediakan data dan informasi keluarga berskala mikro untuk pengelolaan

pembangunan, khususnya menyangkut upaya pemberdayaan keluarga miskin.

Visi dan misi yang baru ini memberikan gambaran yang jelas bahwa Program

KB Nasional mencakup aspek Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi,

Kesejahteraan Keluarga dan Pemberdayaan Keluarga. Secara operasional visi dan

misi baru dijabarkan dalam berbagai kegiatan, dimulai dengan pengembangan

kebijakan di tingkat pusat. Pada pelaksanaan di lapangan diharapkan secara teknis

operasional perubahan paradigma, perubahan visi dan misi, perubahan strategi

Program KB Nasional, dapat diterapkan, dilaksanakan dan dimantapkan melalui

berbagai kegiatan operasional dengan tetap mempertimbangkan keberhasilan maupun

kendala yang ditemukan pada pelaksanaan.

2.3.5 Kegiatan Program Keluarga Berencana a. Program Pemberdayaan Keluarga

Program Pemberdayaan Keluarga diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Keberhasilan program ini ditandai oleh

menurunnya jumlah keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya,

meningkatnya jumlah keluarga yang dapat mengakses informasi dan sumber daya

ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya, meningkatnya kemampuan

(31)

program Peningkatan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga yang bertujuan untuk

menumbuhkan dan meningkatkan minat, semangat serta ketrampilan keluarga dalam

bidang usaha ekonomi produktif, melalui upaya perluasan dan cakupan program dan

sekaligus meningkatkan kualitas UPPKS, melalui upaya, Pembinaan kelompok

UPPKS, bertujuan untuk terselenggaranya kemandirian kelompok UPPKS, sebagai

kelompok usaha ekonomi produktif yang beranggotakan keluarga (istri) akseptor KB

dalam usaha mereka untuk meningkatkan pendapatan keluarga, pembinaan

permodalan skim Kukesra dan Kukesra Mandiri, sebagai bagian usaha, fasilitasi

keluarga dalam mengakses permodalan, perluasan cakupan informasi dan akses

sumberdaya ekonomi khususnya terhadap, keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I,

yang meliputi usaha fasilitasi akses pemasaran produksi hasil kelompok usaha

ekonomi produktif keluarga ke pasar. Dilakukan melalui kerjasama dengan pihak

BUMN dan swasta.

b. Program Keluarga Berencana

Program Keluarga Berencana bertujuan untuk memenuhi permintaan

pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas serta mengendalikan angka

kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan

keluarga-keluarga kecil berkualitas. Pelaksanaan Program Keluarga Berencana yang

akan dilaksanakan pada tahun 2002 ini, mencakup perlindungan hak-hak reproduksi

dalam penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria,

penanggulangan masalah-masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu,

(32)

1) Perlindungan Hak-hak Reproduksi,mencakup pengambilan keputusan tentang

proses reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaaan dan kekerasan,

seperti hak-hak azasi manusia pada umumnya.

2) Penyelenggaraan Jaminan dan Pelayanan KB, diarahkan untuk memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB & KR. Setiap pelayanan

KB & KR baik yang diselenggarakan melalui jalur pemerintah maupun swasta

dan LSOM.

3) Peningkatan Partisipasi Pria, bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas pelayanan informasi dan pelayanan KB & KR yang

lebih berwawasan kesetaraan dan keadilan gender.

4) Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, bertujuan untuk meningkatkan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi melalui

penanggulangan HIV/AIDS, Penyakit Menular Seksual serta pningkatan

kesehatan seksual dan penanggulangan keluarga infertile (tidak subur).

5) Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi Dan Anak, dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu,

bayi dan anak. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan pengetahuan,

sikap dan perilaku keluarga tentang perencanaan kehamilan.

c. Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB

1) Pengembangan Kegiatan Advokasi, Komunikasi, Informasi dan Edukasi,

(33)

Nasional, agar setiap keputusan, peraturan, perundang-undangan dalam

bentuk kebijakan publik dapat menguntungkan dan mendukung terhadap

upaya mewujudkan keluarga berkualitas.

2) Peningkatan Institusi dan Peranserta Masyarakat, Peningkatan institusi dan

peranserta masyarakat diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

terwujudnya keluarga berkualitas melalui peningkatan kepedulian, peranserta

masyarakat dan kemandirian dalam Program KB Nasional.

3) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, kegiatan guna menunjang peningkatan kinerja operasional program melalui kegiatan penelitian dan pengembangan,

pendidikan dan pelatihan (termasuk pengarua utaman gender dalam program

KB nasional.

4) Pengelolaan Keuangan dan Perencanaan Anggaran, Pengelolaan Keuangan

dan Perencanaan Anggaran, diarahkan untuk mendukung keberhasilan

pelaksanaan program KB & KR dan KS & PK dengan memfokuskan pada

usaha-usaha terselenggaranya pengelolaan keuangan, inventarisasi kekayaan

negara dan penyusunan serta perencanaan program KB Nasional secara

searah, terkendali dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai peraturan

perundang-undangan.

5) Pencatatan dan Pelaporan Program KB Nasional, termasuk kegiatan pengembangan cakupan jaringan dan sistem teknologi informasi keluarga

(34)

2.4 Macam-macam Persepsi

Terdapat dua macam persepsi, yaitu External Perception, yaitu persepsi yang

terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri individu dan Self

Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal dari

dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. Dengan

persepsi, individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan lingkungan

yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu (Sunaryo, 2004).

2.4.1 Proses Persepsi

Persepsi merupakan bagaian dari keseluruhan proses yang menghasilkan

tanggapan setelah rangsangan diterapakan kepada manusia. Persepsi dan kognisi

diperlukan dalam semua kegiatan kehidupan (Sobur, 2009).

Rasa dan nalar bukan merupakan bagaian yang perlu dari situasi rangsangan

tanggapan, sekalipun kebanyakan tanggapan individu yang sadar dan bebas terhadap

satu rangsangan atau terhadap satu bidang rangsangan sampai tingkat tertentu

dianggap dipengaruhi oleh akal atau emosi atau kedua-duanya (Sobur, 2009).

Dalam proses persepsi terdapat 3 komponen utama yaitu :

1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,

intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga

mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai factor

(35)

untuk mengadakan pengkategorian informasi yang di terimanya, yaitu proses

mereduksi informasi yang komplek menjadi sederhana.

3. Interpretasi dan persepsi kemudian deterjemahkan dalam bentuk tingkah laku

sebagai reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah di serap

yang terdiri dari reaksi tersembunyi sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka

sebagai tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi

(pembentukan kesan) (Sobur, 2009).

Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi. Dua faktor menentukan

seleksi rangsangan itu, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Sobur, 2009).

1) Faktor internal

a) Kebutuhan psikologis, Kebutuhan psikologis seseorang mempengaruhi

persepsinya.

b) Latar belakang, Latar belakang mempengaruhi hal-hal yang dipilih dalam

persepsinya.

c) Pengalaman, Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari

orang-orang, hal-hal, dan gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman

pribadinya.

d) Kepribadian, Kepribadian mempengaruhi persepsi, seseorang yang intovert

mungkin akan tertarik kepada orang-orang yang sama sekali berbeda.

e) Sikap dan kepercayaan umum, Sikap dan kepercayaan umum juga

(36)

f) Penerimaan diri, Penerimaan diri merupakan sifat penting yang

mempengaruhi persepsi. Beberapa telah menunjukkan bahwa mereka yang

lebih ikhlas menerima kenyataan diri akan lebih tepat menyerap sesuatu

daripada mereka yang kurang ikhlas menerima realitas dirinya.

2) Faktor eksternal

Beberapa faktor yang dianggap penting pengaruhnya terhadap seleksi

rangsangan ialah:

a) Intesitas, Pada umumnya rangsangan yang lebih intensif mendapatkan lebih

banyak tanggapan daripada rangsangan yang kurang intens.

b) Ukuran, Pada umumnya benda-benda yang lebih besar lebih menarik

perhatiannya.

c) Kontras, Hal lain yang biasa kita lihat akan cepat menarik perhatian.

d) Gerakan, Hal-hal yang bergerak lebih menarik perhatian dari pada hal-hal

yang diam.

e) Ulangan, Hal-hal yang berulang dapat menarik perhatian. Ulangan

mempunyai nilai yang menarik perhatian selama digunakan dengan hati-hati.

f) Keakraban, Hal-hal yang akrab atau dikenal lebih menarik perhatian. Hal ini

terutama jika hal tertentu tidak diharapkan dalam rangka tertentu.

g) Sesuatu yang baru bertentangan dengan faktor keakraban, akan tetapi hal-hal

baru juga menarik perhatian

(37)

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

1) Faktor fungsional, faktor fungsional dihasilkan dari kebutuhan, kegembiraan

(suasana hati), pelayanan dan pengalaman masa lalu seorang individu.

2) Faktor struktural, faktor struktural berarti faktor yang timbul atau dihasilkan

dari bentuk stimuli dan efek-efek netral yang ditimbulkan dari sistem saraf

individu.

3) Faktor situasional, faktor ini banyak berkaitan dengan bahasa nonverbal.

Petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, dan petunjuk

paralinguistik.

4) Faktor personal, faktor personal terdiri atas pengalaman, motivasi, dan

kepribadian (Sobur, 2009).

Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara

kontekstual artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul. Sementara

menurut Walgito (2002) dalam persepsi individu mengorganisasikan dan

menginterpretasikan stimulus mempunyai arti individu yang bersangkutan dimana

stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan

dengan hal itu faktor-faktor yang berperan dalam persepsi yaitu : Adanya objek yang

diamati. Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor

stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dan dapat

datang dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima (sensori) yang bekerja

(38)

1. Alat indera atau reseptor

Alat indera (reseptor) merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping

itu harus ada syaraf sensori sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima

reseptor ke pusat syaaf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk

mengadakan respon diperlukan syaraf sensori.

2. Adanya perhatian

Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam suatu

persepsi. Tanpa adanya perhatian tidak akan terbentuk persepsi.

2.4.3 Pengukuran Persepsi

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi

yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur,

dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan, dalam sistem angka. Dua metode

pengukuran sikap terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary

Behavior.

Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat

menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak

menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau

sikapnya.

Involuntary Behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat

dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap

(39)

sikap dapat dipakai atau dimodifikasi untuk mengungkap persepsi sehingga dapat

diketahui apakah persepsi seseorang positif, atau negatif terhadap suatu hal atau

obyek.

Mar'at (1981) mengatakan persepsi adalah proses pengamatan seseorang yang

berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dihubungani oleh faktor pengalaman,

proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Selanjutnya Rakhmat (1985)

mengatakan persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Dengan demikian, persepsi merupakan penggambaran tentang lingkungan

yang menarik perhatian individu yang diolah dalam suatu proses dalam pemikiran

atau akal sehingga diperoleh suatu gambaran baru dengan pengertian yang baru.

Faktor-faktor yang memhubungani persepsi menurut Baltus (1983) adalah :

1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat memhubungani

persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen.

2. Kondisi lingkungan.

3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan

atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa

lalunya.

4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan atau

menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan

(40)

5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan

menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama

dengannya. Sedangkan prasangka dapat menimbulkan bias dalam

mempersepsi sesuatu.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai persepsi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang melibatkan aspek kognitif dan

afektif individu untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman serta

penginterpretasian rangsang-rangsang indrawi menjadi suatu gambar obyek tertentu

secara utuh.

Menurut Mar'at (1981) ada empat dalil tentang persepsi, antara lain:

1. Persepsi bersifat selektif secara fungsional

2. Obyek dan peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu yang sama

cenderung ditanggapi dari struktur yang sama.

3. Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti.

4. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur pada umumnya ditentukan oleh

sifat-sifat struktur secara keseluruhan.

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian,

fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya

disebut sebagai variabel penelitian (Sugiono, 2009).

(41)

Pernyataan Positif/ Pernyataan Negatif

1) Sangat Setuju: SS

2) Setuju: S

3) Ragu-ragu: R

4) Tidak Setuju:TS

5) Sangat Tidak Setuju:STS

Kriteria pengukuran persepsi yakni :

2. Persepsi positif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner > T

mean.

3. Persepsi negatif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner < T

mean.

Ada sejumlah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam mempersepsikan

suatu stimulus/objek tertentu. Kesalahan persepsi tersebut antara lain :

a) Stereotyping, adalah mengkategorikan atau menilai seseorang hanya atas

dasar satu atau beberapa sifat dari kelompoknya. Stereotip seringkali

didasarkan atas jenis kelamin, keturunan, umur, agama, kebangsaan,

kedudukan atau jabatan.

b) Hallo effect, adalah kecenderungan menilai seseorang hanya atas dasar salah

satu sifatnya. Misalnya anak yang lincah/banyak bermain dianggap lebih

mudah terkena penyakit daripada anak yang lebih banyak diam atau santai.

(42)

c) Projection, merupakan kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain

atas dasar perasaan atau sifatnya. Oleh karenanya projection berfungsi sebagai

suatu mekanisme pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih

mampu menghadapi yang dilihatnya tidak wajar (Azzahy, 2008 ).

2.5.Landasan Teori

Pada penelitian ini, landasan teori yang digunakan adalah teori-teori relevan,

yang disusun untuk menjelaskan tentang variabel-variabel yang akan diteliti dalam

penelitian ini, (Riduwan, 2005). Keikutsertaan dalam program KB adalah ikut

sertanya PUS dengan menggunakan alat-alat yang direkomendasikan dalam program

KB tersebut. Dalam hal ini keikutsertaan tersebut merupakan suatu tindakan nyata

untuk menerima dan atau menggunakan alat-alat KB dalam mengikuti program KB

tersebut.

Menurut Hoffman dan Hoffman (1973), diacu dalam Santrock (2007), nilai

anak adalah harapan orang tua terhadap anak yang terdiri dari nilai psikologi (anak

sebagai sumber kepuasan), nilai sosial (anak sebagai pencegah perceraian dan

meningkatkan status sosial keluarga), dan anak sebagai nilai ekonomi yaitu sebagai

investasi jangka panjang untuk meningkatkan ekonomi keluarga dimasa yang akan

datang.

Dengan demikian, keinginan keluarga untuk memiliki anak yang disebabkan

(43)

perilaku keluarga dalam mengatur jumlah kelahiran anak dengan mengikuti program

KB. Dengan tingginya pengaruh nilai anak tersebut, akan menjadi suatu pendorong

atau penghambat dalam mengambil suatu tindakan, dalam hal ini keikutsertaan dalam

program KB.

2.6.Kerangka Konsep

Keikutsertaan dalam program KB merupakan hasil keputusan Ibu Pasangan

Usia Subur baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dengan suami atau

keluarga. Keikutsertaan ini bukan merupakan suatu keputusan yang diambil begitu

saja oleh wanita usia subur, tertapi dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berada di

dalam lingkungan maupun luar lingkungan pasangan usia subur.

Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini, dikumpulkan

dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan

penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian.

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Nilai Anak :

a. Budaya b. Ekonomi c. Sosial d. Psikologi

Variabel Terikat

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Peran sebagai Mu’addib menjadi tanggung jawab yang besar, karena apa yang harus dilakukan guru tidak hanya sebatas memahamkan mengenai pendidikan akhlak, namun

Xenograft merupakan bahan graft yang dapat diambil dari spesies yang berbeda dan biasanya berasal dari kerbau atau babi, yang nantinya akan dipergunakan

konvensional sebesar 77,25 dengan skor rata- rata aktivitas belajar 6,55. Hasil belajar posttest rata-rata kelompok ekperimen dan kelompok kontrol juga memiliki

[r]

Bakteri Lactobacillus sp yang secara alami terdapat pada sayuran sangat berperan dalam pembuatan sayur asin melalui proses fermentasi. Sayur asin yang dihasilkan

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka yang dapat diambil bahwa taraf signifikan 5% nilai t tertera bilangan 2,000 oleh bilangan yang diperoleh 6,577 lebih besar dari

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat