• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Arsitektur Tradisional Aceh - Penerapan Arsitektur Tradisional Aceh pada Museum Tsunami Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Arsitektur Tradisional Aceh - Penerapan Arsitektur Tradisional Aceh pada Museum Tsunami Aceh"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Arsitektur Tradisional Aceh

Arsitektur tradisional Aceh banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang

merupakan kepercayaan mayoritas masyarakat Aceh ( Sahriyadi, 2012).

Kehidupan keagamaan dalam masyarakat Aceh juga terlihat dengan adanya

rumah-rumah ibadah seperti meunasah (surau/ langgar), dan meuseujid (mesjid),

yang terdapat pada setiap kampung. Sebagian besar dari bangunan-bangunan tersebut masih merupakan bangunan tradisional. Masyarakat bangsa Aceh yang

mendiami sebagian besar daerah Aceh masih memiliki bangunan tradisional.

2.1.1. Jenis Jenis Bangunan Tradisional Aceh

Jenis-jenis bangunan tradisional yang dimiliki berdasarkan kegunaannya

dapat dikelompokkan atas bangunan tempat tinggal, tempat ibadah dan beberapa

bangunan lainnya (Hadjad dkk : 1984).

2.1.1.1. Bangunan Tempat Tinggal (Rumah Tradisional Aceh)

Bangunan tempat tinggal (Rumah tradisional Aceh) disebut juga dengan

rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang terdiri atas tiga

ruang, yaitu ruang depan yang disebut (seuramoe keue) , ruang tengah yang

disebut (tungai), dan ruang belakang yang disebut (seuramoe likot). Letak ketiga

ruang itu tidak sama rata, sebab ruang tengah yang meruapak ruang sakral lebih

(2)

Gambar 2.1. Susunan Ruang pada Rumah Tradisional Aceh .

(Sumber: Sabila, 2014)

Rumah tradisional Aceh dibuat tinggi di atas tanah dibangun di atas

sejumlah tiang-tiang bulat besar yang tempat tegaknya beraturan. Bentuknya segi

empat/persegi panjang dan tinggi lantainya dari tanah antara 4-9 hasta, serta

memiliki struktur yang unik dan ornamen-ornamen khas yang melekat pada

rumah tradisional Aceh. Selain itu rumah tradisional Aceh merupakan hasil proses

yang panjang dalam sejarah yang merupakan produk karya manusia, proses

tersebut menyerap berbagai unsur didalamnya. Unsur pertama yang diserap

adalah optimalisasi dari fungsi rumah itu sendiri sebagai pelindung manusia dan

keluarganya. Rumah tradisional Aceh merupakan ekspresi keyakinan terhadap

Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap

lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung,

tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan

atapnya dari rumbiah. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak

menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi

(3)

kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumah tradisional Aceh

bisa bertahan hingga 200 tahun (Hadjad dkk : 1984).

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan

rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk dari timur ke

barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang

sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk

membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu,

pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang

penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu

ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari

keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumah

tradisional Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin

banyak hiasan pada rumah tradisional Aceh, maka pastilah penghuninya semakin

kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup

dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali (Hadjad dkk :

1984).

1. Jenis-Jenis Rumah Tradisional Aceh

Dari berbagai konsep filosofi tersebut akhirnya dapat membentuk beragam

bentuk rumah tradisional Aceh. Dari jenisnya, rumah tradisional Aceh sebenarnya

memiliki dua jenis rumah, yaitu rumah Aceh dan rumah santeut (datar) atau

(4)

Gambar 2.2. Rumah Tradisional Aceh di Sigli (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

(5)

Gambar 2.4. Rumah Tradisional Aceh di Aceh Besar (Sumber : http://onlyaceh.blogspot.com)

Gambar 2.5. Rumah Tradisional Aceh di Aceh Tengah (Sumber http://onlyaceh.blogspot.com)

Pada umumnya rumah tradisional Aceh disetiap daerah memiliki bentuk

yang sama, karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh, penyebutan rumoh

(6)

panggung, hanya saja dari segi ukir-ukiran atau ornamen rumah tradisional Aceh

di tiap-tiap kabupaten di Provinsi Aceh (NAD) tidaklah sama, masing-masing

punya ragam ukiran yang berbeda (Widosari,2010).

2. Bentuk Rumah Tradisional Aceh

Bentuk menurut (Ching,1987) merupakan gabungan antara teknik dengan

keindahan. Bentuk pada sebuah bangunan dapat dilihat dari penampilan luar yang

dapat dilihat melalui struktur formal, tata susun, komposisi yang menghasilkan

gambaran nyata, massa 3 dimensi, wujud, penampilan dan konfigurasi.

Unsur-unsur utama timbulnya suatu bentuk bangunan adalah adanya titik, garis, bidang

dan ruang. Wujud dasar dari bentuk bangunan adalah berbentuk lengkungan.

bentuk lingkaran, bentuk segitiga, dan bentuk bujur sangkar. Semua bentuk dapat

dipahami sebagai hasil dari perubahan, melalui variasi-variasi yang timbul.

a. Denah Rumah Tradisional Aceh

(7)

Gambar 2.7. Denah Rumah Tradisional Aceh dengan 16 tiang

(Sumber : Analisis penulis, 2015 berdasarkan pengamatan rumah Aceh di Kota

Banda Aceh)

Denah rumah tradisional Aceh berbentuk persegi dan juga persegi panjang

dan terdiri dari tiga jalur lantai memanjang sejajar dengan bubungan atapnya. jalur

lantai yang tengah sengaja ditinggikan 25 sampai 40 cm. Denah Rumah Aceh

terdiri dari tiga atau lima ruang, rumah dengan tiga ruang memiliki 16

kolom/tiang, sedangkan rumah dengan lima ruang memiliki 24 tiang/kolom

seperti gambar diatas. Jalur lantai terdepan dipakai sebagai serambi suami untuk

menerima tamu-tamu laki-laki, sedangkan jalur lantai belakang adalah untuk ibu

dan keluarga dan bersifat pribadi (skaral). Keduanya diantarai oleh dinding

seketeng, yang maksudnya untuk memisahkan serambi depan yang bersifat umum

(8)

b. Tampak Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.8. Tampak Depan Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

Gambar 2.9. Tampak Samping Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

(9)

Rumah tradisional Aceh merupakan rumah panggung, biasanya memiliki

ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Rumah tradisional Aceh didirikan

di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri

dari serangan binatang buas dan banjir.

Tampak pada bangunan biasanya terdiri dari beberapa elemen yaitu :

Atap Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.11. Atap Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Atap pada rumah tradisional Aceh berbentuk atap pelana yang hanya

menggunakan satu bubungan dan menggunakan bahan penutup berbahan rumbia

yang memiliki andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat

gempa tidak mudah roboh. Fungsi yang lain pun rumbia juga menambah

kesejukan ruangan. Keburukan sifat rumbiah yang mudah terbakar pun juga sudah

ada solusinya dalam rumah tradisional Aceh. Ketika rumbiah terbakar,

pemotongan tali ijuk di dekat balok memanjang pada bagian atas dinding

mempercepat runtuhnya seluruh kap rumbiah ke samping bawah sehingga tidak

(10)

Proporsi Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.12. Proporsi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Analisis Penulis, 2015)

Rumah tradisional Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki

proporsi ketinggian beragam, biasanya memiliki ketinggian tiang kolom sekitar

2,5-3 meter dari atas tanah sedengakan proporsi dinding memiliki tinggi yang

lebih rendah yaitu berukurana 1,5 – 2 meter. Rumah tradisional Aceh memiliki

tinggi pintu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu

ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke rumah

tradisional Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan

ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi

atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis

(11)

Dinding Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.13. Dinding Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2015)

Dinding rumah tradisional Aceh terbuat dari papan kayu atau bilah bambu,

penggunaan material tersebut mempengaruhi penghawan udara yang sangat baik

karena udara dapat pengalir melalui selah selah antara atap dan dinding. Pada

bagian dinding rumah tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang

mempengaruhi unsur tradisional Aceh (Hadjad dkk,1984).

Pintu & Jendela Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.14. Pintu Rumah Tradisional Aceh

(Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2015 dan Analisis Penulis berdasarkan buku

(12)

Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat

pintu masuk yang disebut pinto rumah, yang berukuran lebih kurang lebar 0,8

meter, dan tingginya 1.8 meter. Pintu masuk ini kadang-kadang terdapat pada

dinding sebelah kanan ruangan serambi depan (Hadjad dkk,1984).

Gambar 2.15. Jendela Rumah Tradisional Aceh

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015 dan Analisis Penulis, 2015 berdasarkan

buku Arsitektur Tradisonal Aceh oleh Hadjad dkk, 1984)

Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang

berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang disebut

tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga pada dinding sisi depan.

Jendela-jendela tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan, sedangkan pada

rumah yang berdinding tepas/bamboo pada umumnya tidak memakai jendela

(13)

Warna Rumah Tradisional Aceh

Gambar 2.16. Warna Dinding Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015 dan onlyaceh.blogspot.com )

Warna pada rumah tradisional Aceh umumnya memakai warna kuning,

krem dan merah, orange, hitam yang kadang kadang di kombinasikan dengan

warna putih. Jika terdapat warna warna lain itu merupakan akibat pengaruh masa

kini ( Hadjad dkk, 1984).

Tabel 2.1. Kesan Warna Pada Rumah Tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984)

Warna Kesan

Merah Emosi yang berubah-ubah, naik turun, hidup

menggairahkan dan menyenangkan,

(14)

Kuning Memiliki karakter kuat, hangat, dan memberi

nuansa cerah. Menciptakan suasana nyaman

dan menyenangkan.

Putih Bersifat netral, tanpa perasaan dan memliki

kesan suci.

Orange Menunjukkan kehangatan, kesehatan pikiran

dan kegembiraan.

Hitam Melambangkan perlindungan.

Ragam Hias ( Ornamen) Rumah TradisionalAceh

Pada bangunan tradisional Aceh banyak dijumpai ukiran- ukiran, karena

masyarakat Aceh pada hakekatnya termasuk suku bangsa yang berjiwa seni.

Ukiran-ukiran itu terutama dijumpai pada bangunan- bangunan rumah tempat

tinggal dan bangunan-bangunan rumah ibadat seperti pada Meuseujid (mesjid)

dan meunasah (surau). Ukiran-ukiran yang terdapat pada bangunan tradisional

seperti tersebut di atas mempunyai berbagai motif atau ragam hias. Motif-motif

tersebut adalah motif yang berhubungan dengan lingkungan alam seperti : flora,

fauna, awan, bintang dan bulan. Fungsi utama dari berbagai jenis motif dan ragam

hias itu adalah sebagai hiasan semata-mata, sehingga dari ukirin tersebut tidak

mengandung arti dak maksud-maksud tertentu, kecuali motif bintang dan bulan,

yang menunjukkan simbul ke-Islaman, motif awan berarak (AWAN meucanek)

yang menunjukkan lambang kesuburan, dan motif tali berpintal (taloe meuputa)

yang menunjukkan ikatan persaudaraan yang kuat bagi masyarakat Aceh ( Hadjad

(15)

Pada rumah tradisional Aceh, ada beberapa motif hiasan ornamen yang

dipakai, yaitu: (Hadjad dkk,1984)

(1) Motif keagamaan. Hiasan Rumah Aceh yang bercorak keagamaan

merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;

Gambar 2.17. Motif ornamen keagamaan (Sumber : Hadjad dkk, 1984)

(2) Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi

tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan.

Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna,

jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam

hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen,

(16)

Gambar 2.18. Motif Ornamen Flora (Sumber : Hadjad dkk, 1984)

(3) Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah

binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai, umumnya bermotifknan

binatang unggas seperti merpati, balam, perkutut.

(17)

(4) Motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di

antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang

dan laut; dan

(5) Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

3. Konstruksi /Struktur Rumah Tradisional Aceh

Rumah tradisional Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun tentunya

didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang berkualitas.

Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang

rumah tradisional Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima

ruang bertiang 24. Rumah tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau

bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan

banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai yang selalu kering, jadi

lebih sehat (Hadjad,1984).

Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena

struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada

pada hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak

dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid).

Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya

terombang-ambing ke kanan kiri yang kemudian kembali tegak atau pun

bangunan terlikuifaksi (terangkat ke atas) yang kemudian mampu jatuh kembali

ke tempat semula. Jika bangunan bergeser pun hanya beberapa centimeter saja

(18)

Gambar 2.20. Kerangka Konstruksi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Hadjad dkk, 1984)

Tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan bangunan

meliputi pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban bangunan terbesar,

kemudian tiang dan balok antar tiang (komponen badan) sebagai penyalur beban

dari atas dan dari samping, serta rangka atap (komponen kepala) sebagai

penyangga beban elemen paling atas bangunan dan dari samping atas (Widosari :

2010).

Gambar 2.21. Komponen Struktur Utama Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Analisis Penulis, 2015 berdasarkan buku Arsitektur Tradisonal Aceh

oleh Hadjad dkk, 1984)

Rangka Atap

Tiang dan Balok antar tiang

(19)

Sistim konstruksinya menggunakan tiang-tiang dan gelagar yang saling

ditusukkan dan dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk unsur-unsur bangunan

yang kecil dipakai sistim ikat, dengan tali rotan, ijuk dan lain sebagainya

Gambar 2.22. Sistim Ikat pada Konstruksi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Gambar 2.23. Pola Penyambungan dan Hubungan Tiang pada Rumah Tradisional Aceh

(20)

2.1.1.2. Bangunan Tempat Ibadah/ Mesjid Tradisional Aceh (Meuseujid)

Mesjid tradisional Aceh (Meuseujid) adalah istilah dalam bahasa Aceh,

sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut mesjid. Istilah meuseujid dalam

bahasa Aceh atau mesjid dalam bahasa Indonesia berasal dari perkataan masjid

Jari Bahasa Arab, yang berarti tempat sujud.

1. Jenis jenis Mesjid Tradisional Aceh

s

(21)

Bentuk mesjid tradisional Aceh umumnya hampir sama yang memiliki

sebuah ruangan saja, yaitu ruangan tempat salat. Ruangan tersebut merupakan

sebuah ruangan berbentuk bujur sangkar (Hadjad dkk, 1984).

Gambar 2.25. Denah Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : portalsatu.com)

2. Konstruksi/Struktur Mesjid Tradisonal Aceh

Struktur bangunan pada masjid tradisonal Aceh ditunjang oleh empat buah

tiang utama yang bersegi delapan yang disebut tameh teungoh. Keempat buah

tiang utama itu tepat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh dan

menjadi penunjang pokok atap lapisan atas yang berbentuk limas. Selain empat

buah tiang pokok yang terdapat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional

Aceh, maka pada keempat sisi bangunan mesjid tradisional Aceh itu terdapat juga

(22)

jumlahnya dua belas buah. Tiang-tiang itu berfungsi sebagai penunjang atap

lapisan bawah mesjid tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984).

Gambar 2.26. Tampak Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : portalsatu.com)

Dinding pada mesjid tradisional Aceh mengunakan dinding setengah

terbuka/setengah permanen karena dikelilingi oleh dinding tembok yang tingginya

hanya satu setengah meter. Lantai ruangan terbuat terbuat dari semen. Pada sisi

sebelah Timur (sisi depan) terdapat tangga dari beton setinggi dinding beton.

Tangga itu dipergunakan sebagai jalan untuk masuk ke dalam ruangan mesjid

(23)

Gambar 2.27. Konstruksi Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : Hadjad dkk, 1984)

Bentuk atap mesjid tradisional Aceh berbentuk atap tumpang yang terdiri

atas dua lapisan yaitu atap lapisan bawah dan atap lapisan atas. Atap lapisan atas

berbentuk limas, sehingga pada mesjid tradisional Aceh tidak didapati kubah

seperti yang lazim kita dapati pada mesjid-mesjid zaman sekarang. Namun

didapati juga mesjid tradisional Aceh yang sudah diubah puncak bentuk limas

dengan puncak bentuk kubah. Bangunan meuseujid itu selalu menghadap ke

Timur, sehingga sisi belakangnya berada di sebelah Barat, karena disesuaikan

dengan arah kiblat (Hadjad dkk, 1984).

3. Ragam Hias (Ornamen Mesjid Tradisional Aceh)

Ornamen pada mesjid tradisional Aceh biasanya mengunakan jenis ornamen

yang sama dengan ornamen pada rumah tradisional Aceh. Selain ragam

hias/ornemen bermotif flora, fauna, alam dan keagamaan, maka pada bangunan

(24)

a. Ragam hias/Ornamen berbentuk pintalan tali yang disebut taloe meuputa,

karena ragam ini menyerupai pintalan tali.

Gambar 2.28. Ornamen pintalan tali di Mesjid Tradisional Aceh.

(Sumber : Analisis Penulis, 2015 berdasarkan buku Arsitektur Tradisonal Aceh

oleh Hadjad dkk, 1984)

b. Ragam Hias/Ornamen Geometris

ornamen geometris termaksud kedalam ornamen keagamaan sebagai

pendukung di ornamen kaligrafi islam, pada masjid tradisional Aceh biasanya

diaplikasikan di bagian dinding saja. Pola-pola geometris yang digunakan pada

masjid tradisional Aceh umumnya berbentuk lingkaran, segitiga, persegi, dan segi

enam.

(25)

2.2. Museum

1.2.1. Pengertian Museum

Pengertian Museum berkaitan dengan warisan budaya yang merupakan

lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan

benda-benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna

menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1

ayat 1 PP. No. 19 Tahun 1995).

Keputusan (Mendikbud No.093/01/1979) menyatakan bahwa museum

adalah mengumpulkan, merawat, mengawetkan, meneliti, dan menerbitkan

hasilnya. Disamping itu museum mempunyai tugas untuk menyajikan pameran

dan memberikan bimbingan edukatif kultural, benda benda yang bernilai budaya

dan ilmiyah kepada masyarakat atau pengunjung.

Museum merupakan tempat untuk menyimpulkan, menyimpan, merawat,

melestarikan, mengkaji, mengkomunikasikan, bukti material hasil budaya

manusia, dan juga lingkungannya.

Secara umum Museum merupakan sebuah gedung atau bangunan yang

menyimpan benda benda warisan yang memiliki nilai sejarah yang pantas untuk di

simpan. Seiring perkembangan zaman , sejarah tumbuh kembangnya Museum

banyak mengalami perubahan fungsi, maka dari itu museum harus di kembangkan

dan menambah pemeliharaan, pengawetan dan penyajian.

Museum merupakan sebuah lembaga yang bersifat tetap, namun tidak

untuk mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat, dan

(26)

menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan

kesenangan. Barang barang pembuktian manusia dan lingkungannya.

(Internasional Council Of Museum,1997)

(Internasional of Museum 1997) juga menyimpulkan beberapa pengertian

museum sebagai berikut :

 Museum adalah suatu lembaga atau tugas untuk menghimpun,

menyelamatkan,dan melestarikan warisan sejarah, alam, dan

budaya, untuk di wariskan kepada generasi penerus.

 Museum juga merupakan sebagai lembaga ilmiah dan tempat

penelitian bagi cendikiawan dalam rangka penggalian nilai nilai

luhur budaya daerah untuk pembinaan dan pengembangan

kebudayaan.

 Museum juga berfungsi sebagai pusat informasi budaya dalam

rangka penyaluran ilmu penegtahuan untuk ikut pencerdaskan

kehidupan bangsa.

 Museum juga berperan sebagai objek wisata budaya yang

penting artinya bagi upaya pengembanganindustri pariwisata,

dan lain lain.

1.2.2. Fungsi Museum

Museum menurut ICOM (1997) mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Mengumpulkan dan pengaman warisan alam dan budaya.

2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah.

(27)

4. Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum.

5. Pengenalan dan penghayatan kesenian.

6. Pengenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa.

7. Visualisasi alam dan budaya.

8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.

9. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Museum berfungsi untuk melestarika warisan sejarah, alam, dan budaya,

dengan cara mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan

dan memamerkan, sehingga museum mempunyai peran untuk kepentingan

masyarakat umum, yang di manfaatkan untuk penelitian, pendidikan dan rekreasi

dalam rangka untuk mencerdaskan bangsa.

2.3. Konsep Museum Tsunami Aceh Sebagai Karya Ridwan Kamil

Museum Tsunami dibangun oleh pemerintah Kota Banda Aceh dengan

cara mengadakan lomba sayembara terbuka yang di menangkan oleh judul desain

Rumah Aceh Escape Hill yang merupakan karya arsitek Indonesia yaitu M Ridwan Kamil pada tahun 2007.

2.3.1. Ridwan Kamil Sebagai Arsitek

M. Ridwan Kamil, lahir di Bandung, 4 Oktober 1971. Beliau adalah putra

dari Dr. Atje Misbach, S.H (alm.) dan Dra. Tjutju Sukaesih. Ridwan Kamil

menempuh pendidikan nya di SDN Banjarsari III Bandung (1977-1984) . Setelah

tamat SD kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bandung

kemudian di SMA Negeri 3 Bandung pada tahun (1987 -1990). Setelah tamat

(28)

Teknik Arsitektur (1990 – 1995). Lulus dari ITB Ridwan kamil bekerja di

Amerika Serikat dan kemudian mendapatkan beasiswa di University of California,

Berkeley sambil bekerja di Departemen Perancanaan Kota Berkeley

(http://issuu.com/rk4bdg)

Gamabar 2.30. Ridwan Kamil (Sumber : news.fimadani.com)

Tahun 2002 Ridwan Kamil pulang ke Indonesia dan dua tahun kemudian

mendirikan Urbane, firma yang bergerak dalam bidang jasa konsultan

perencanaan, arsitektur dan desain. Kini Ridwan Kamil aktif menjabat sebagai

Prinsipal PT. Urbane Indonesia, Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Institut

Teknologi Bandung, serta Senior Urban Design Consultant SOM, EDAW (Hong

Kong & San Francisco), dan SAA (Singapura) dan sekarang telah menjadi Wali

(29)

Ridwan Kamil adalah arsitek muda Indonesia dengan reputasi Internasional.

Nama besar dan karya-karyanya menjadi inspirasi bagi banyak arsitek muda

lainnya di Indonesia. Ridwan Kamil juga merupakan seorang arsitek ekspresif,

banyak prestasi dan karyanya yang membuat orang kagum. Ridwan Kamil telah

menangani banyak proyek besar di mancanegara, seperti di Singapura, Thailand,

Vietnam, Cina, Hong Kong, Bahrain dan Uni Emirat Arab dan masih banyak

lainnya. Bukan hanya proyek berkelas yang di tanganinya, masih banyak

karyanya yang lain yang yang menerapkan konsep eskpresif dan mendapat

penghargaan salah satunya adalah Museum Tsunami Aceh.

2.3.2. Konsep Museum Tsunami Aceh 2.3.2.1. Konsep Denah

Gambar 2.31. Konsep Ilustrasi Bentuk Denah Museum Tsunami Aceh (Sumber : Balai Arsip Tsunami Aceh,2015 dan Tim Kajian Desain Ridwan

Kamil, 2007)

(30)

2.3.2.2. Konsep Fasad

Gambar 2.32. Konsep Ilustrasi Bentuk Fasad Bangunan Museum Tsunami Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015/archive.kaskus.co.id)

Bentuk fasad bangunan Museum Tsunami Aceh ini menganalogikan bentuk

kapal di atas rumah, kapal tersebut merupakan salah satu fenomena yang

terdampar didekat pantai di daerah lampulo baru Kota Banda Aceh pada saat

terjadi bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dan saat ini kapal tersebut telah

dijadikan sebagai museum wisata situs tsunami Aceh. Pada bangunan Museum

Tsunami Aceh dipertinggi dengan kolom-kolom dibawahnya.

Selain dari bentuk museum yang seperti kapal, terdapat bagian bentuk yang

menonjol, yaitu pada bagian yang terlihat seperti sumur silender. Bentuk tersebut

membentuk suatu ruang yang didalamnya terdapat makna, pada bagian atas sumur

(31)

tulisan arab “Allah” . Ekspresi dari bentuk tersebut sangat mengandung nilai-nilai

religi yang merupakan cerminan konsep hubungan manusia dan Allah.

2.3.2.3. Konsep Atap

Gambar 2.33. Konsep Atap Bangunan Museum Tsunami Aceh (Sumber : panduanwisata.id)

Desain atap Museum Tsunami menganalogikan sebagai bukit

penyelamatan sebagai antisipasi terhadap bahaya jika suatu saat terjadi Tsunami,

yang juga merupakan taman terbuka publik yang dapat diakses dab dipergunakan

setiap saat sebagai respon terhadap konteks urban.

2.3.2.4. Konsep Dinding

(32)

Dinding pada Museum Tsunami Aceh mengunakan konsep hubungan antar

umat manusia. Hal tersebut diterapkan pada kulit bangunan eksterior. Ukiran kulit

bangunan tersebut mengadopsi dari tari saman yang menurut sang arsiteknya

melambangkan kekompakan dan kerja sama antar manusia Aceh.

2.3.2.5. Konsep Ruang Dalam

1. Ruang Space of Fear (Lorong Tsunami)

Gambar 2.35. KonsepRuang Space of Fear (Lorong Tsunami) (Sumber : rinaldimunir.wordpress.com/ sp.beritasatu.com)

Lorong tsunami merupakan akses awal untuk memasuki Museum Tsunami

Aceh. Memiliki panjang 30 m dan tinggi mencapai 23 m melambangkan tingginya

gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004. Air mengalir di kedua sisi

dinding museum, suara gemuruh air, cahaya yang remang dan gelap, lorong yang

sempit dan lembab, mendeskripsikan ketakutan masyarakat Aceh pada saat

tsunami terjadi, atau disebut space of fear.

2. Ruang Memorial Hall

(33)

2004. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi

bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak 40 gambar yang

ditampilkan dalam bentuk slide.

Gambar 2.36. Konsep Ruang Memorial Hall

Sumber : www.bandaacehtourism.com

Ruangan ini mengingatkan kembali kenangan tsunami yang melanda Aceh

atau disebut space of memory yang tidak mudah untuk dilupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut. Memorial hall ini dilengkapi dengan pencahayaan dari lubang-lubang sebuah ‘reflecting pool’ yang berada di atasnya

dan ketinggian lantai pun berbeda-bedan level.

3. Ruang Sumur Doa

Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter

ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera disetiap

dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan

pengunjung yang memasuki ruangan ini dianjurkan untuk mendoakan para korban

(34)

Gambar 2.37. Konsep Ruang Sumur Doa

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya

yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong

dengan cahaya yang mengarah ke atas langit langit dan pad berada di ruangan ini

terdengar suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an.

4. Ruang Atrium Of Hope

Gambar 2.38. Konsep Ruang Atrium Of Hope

(Sumber : www.bandaacehtourism.com)

Ruangan ini adalah area berupa ruang yang besar, sebagai simbol dari

harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan

menggunakan ramp yang terlihat seperti jembatan (Jembatan perdamaian) untuk

(35)

2.4. Studi Kasus Sejenis

Tabel 2.2. Studi Kasus Sejenis

Judul, Tahun, Wilayah, Nama Peneliti

Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan

Hasil Penelitian

Studi Penerapan Arsitektur Pasundan, Pada Bangunan Selasar Seni Sunaryo, 2000. Semarang, Rosina Indah

atau kaidah arsitektur

local, khususnya

Arsietektur pasundan

pada desain bangunan

Selasar Seni Sunaryo

Metode penelitian ini

dilakukan dengan cara

melakuan survey,

study literature, dan

menggunkan metoda

deskriptif analisis

dengan pengumpulan

data fisik dan non fisik

Bangunan selasar seni ini merupakan wadah

dalam berkarya yang mencerminkan

karakteristik sunaryo sebagai perupa yang

memadukan nilai nilai budaya local khususnya

Arsitektur pasundan pada gagasan gagasan yang

cenderung dipengruhi oleh mederennitas yaitu :

1. Pemilihan tapak

3. Bentuk

4. Penataan lingkungannya.

(36)

Tradisional Bali pada Objek

Long House terdapat penerapan kelima konsep

bangunan tradisional Bali yaitu :

1. Pola Zoning

2. Elemen Struktur dan Konstruksi

3. Ragam Hias/ornament

4. Material

5. Elemen Pendukung

Penerapan House pengaplikasiannya hanya ada

pada dua aspek, yaitu :

1. aspek pola zoning dan tipologi ruang konsep

(37)

Perubahan Bentuk Bangunan

Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa telah

terjadi perubahanperubahan

yang terjadi pada bangunan Bale Tani dan Bale Bontar di Dusun Sade yaitu dari elemen :

1. Atap

2. Material

3. Bentuk

(38)

perubahan tersebut terkait. Survey Hotel Resort Teluk Lebangan, 2014, Malang, Biendra Azizi

Wedhantara.

perubahan yang telah

dilakukan, karakter

Dari hasil penelitian, eksplorasi transformasi

didapatkan 2 alternatif bentuk untuk cottage

jenis family room. Transformasi yang dipakai meliputi beberapa tahap dengan 4 modal utama

yaitu :

1. Pemecahan (break) , pengirisan (cut) , penambahan (addition), dan pertautan (meshing).

(39)

kosmologis yang

dianut

3. Perubahan ketinggian dan pelebaran

Gambar

Gambar 2.3. Rumah Tradisional Aceh di Banda Aceh
Gambar 2.6. Denah Rumah Tradisional Aceh dengan 24 tiang
Gambar 2.12. Proporsi Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.13. Dinding Rumah Tradisional Aceh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesipulan penelitian ini menunjukkan bahwa Gorga adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bagian luar dan bagian depan rumah-rumah adat

Permainan ini menjadi suatu hal yang sangat menarik karerna di dalamnya terdapat unsur kerjasama, pemenang, dan kompetisi yang tidak bisa ditebak; (2) Permainan

Kesenian tradisional adalah kesenian yang diciptakan oleh masyarakat banyak yang mengandung unsur keindahan yang hasilnya menjadi milik bersama (Alwi, 2003 : 1038). Berdasarkan

Pada bagian dalam bangunan Masjid Mesir terdapat kolom dengan jumlah yang. banyak, pada bagian atas kolom terdapat dinding yang dihiasi dengan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Iswinarti (2010) bahwa permainan tradisional seperti engklek memiliki nilai-nilai terapi meliputi: (1) Nilai deteksi dini pada

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk dari timur ke barat, yaitu bagian

Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutu- han hidup sehari-hari, juga untuk menampung kegiatan upacara agama Hindu dan adat, memiliki landasan filosofi hubungan

Pengaruh lingkungan kerja adalah segala sesuatu hal atau unsur-unsur yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisasi yang akam memberikan dampak baik