BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Arsitektur Tradisional Aceh
Arsitektur tradisional Aceh banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang
merupakan kepercayaan mayoritas masyarakat Aceh ( Sahriyadi, 2012).
Kehidupan keagamaan dalam masyarakat Aceh juga terlihat dengan adanya
rumah-rumah ibadah seperti meunasah (surau/ langgar), dan meuseujid (mesjid),
yang terdapat pada setiap kampung. Sebagian besar dari bangunan-bangunan tersebut masih merupakan bangunan tradisional. Masyarakat bangsa Aceh yang
mendiami sebagian besar daerah Aceh masih memiliki bangunan tradisional.
2.1.1. Jenis Jenis Bangunan Tradisional Aceh
Jenis-jenis bangunan tradisional yang dimiliki berdasarkan kegunaannya
dapat dikelompokkan atas bangunan tempat tinggal, tempat ibadah dan beberapa
bangunan lainnya (Hadjad dkk : 1984).
2.1.1.1. Bangunan Tempat Tinggal (Rumah Tradisional Aceh)
Bangunan tempat tinggal (Rumah tradisional Aceh) disebut juga dengan
rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang terdiri atas tiga
ruang, yaitu ruang depan yang disebut (seuramoe keue) , ruang tengah yang
disebut (tungai), dan ruang belakang yang disebut (seuramoe likot). Letak ketiga
ruang itu tidak sama rata, sebab ruang tengah yang meruapak ruang sakral lebih
Gambar 2.1. Susunan Ruang pada Rumah Tradisional Aceh .
(Sumber: Sabila, 2014)
Rumah tradisional Aceh dibuat tinggi di atas tanah dibangun di atas
sejumlah tiang-tiang bulat besar yang tempat tegaknya beraturan. Bentuknya segi
empat/persegi panjang dan tinggi lantainya dari tanah antara 4-9 hasta, serta
memiliki struktur yang unik dan ornamen-ornamen khas yang melekat pada
rumah tradisional Aceh. Selain itu rumah tradisional Aceh merupakan hasil proses
yang panjang dalam sejarah yang merupakan produk karya manusia, proses
tersebut menyerap berbagai unsur didalamnya. Unsur pertama yang diserap
adalah optimalisasi dari fungsi rumah itu sendiri sebagai pelindung manusia dan
keluarganya. Rumah tradisional Aceh merupakan ekspresi keyakinan terhadap
Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung,
tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan
atapnya dari rumbiah. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak
menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi
kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumah tradisional Aceh
bisa bertahan hingga 200 tahun (Hadjad dkk : 1984).
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan
rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk dari timur ke
barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang
sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu,
pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang
penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu
ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari
keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumah
tradisional Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada rumah tradisional Aceh, maka pastilah penghuninya semakin
kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup
dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali (Hadjad dkk :
1984).
1. Jenis-Jenis Rumah Tradisional Aceh
Dari berbagai konsep filosofi tersebut akhirnya dapat membentuk beragam
bentuk rumah tradisional Aceh. Dari jenisnya, rumah tradisional Aceh sebenarnya
memiliki dua jenis rumah, yaitu rumah Aceh dan rumah santeut (datar) atau
Gambar 2.2. Rumah Tradisional Aceh di Sigli (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)
Gambar 2.4. Rumah Tradisional Aceh di Aceh Besar (Sumber : http://onlyaceh.blogspot.com)
Gambar 2.5. Rumah Tradisional Aceh di Aceh Tengah (Sumber http://onlyaceh.blogspot.com)
Pada umumnya rumah tradisional Aceh disetiap daerah memiliki bentuk
yang sama, karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh, penyebutan rumoh
panggung, hanya saja dari segi ukir-ukiran atau ornamen rumah tradisional Aceh
di tiap-tiap kabupaten di Provinsi Aceh (NAD) tidaklah sama, masing-masing
punya ragam ukiran yang berbeda (Widosari,2010).
2. Bentuk Rumah Tradisional Aceh
Bentuk menurut (Ching,1987) merupakan gabungan antara teknik dengan
keindahan. Bentuk pada sebuah bangunan dapat dilihat dari penampilan luar yang
dapat dilihat melalui struktur formal, tata susun, komposisi yang menghasilkan
gambaran nyata, massa 3 dimensi, wujud, penampilan dan konfigurasi.
Unsur-unsur utama timbulnya suatu bentuk bangunan adalah adanya titik, garis, bidang
dan ruang. Wujud dasar dari bentuk bangunan adalah berbentuk lengkungan.
bentuk lingkaran, bentuk segitiga, dan bentuk bujur sangkar. Semua bentuk dapat
dipahami sebagai hasil dari perubahan, melalui variasi-variasi yang timbul.
a. Denah Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.7. Denah Rumah Tradisional Aceh dengan 16 tiang
(Sumber : Analisis penulis, 2015 berdasarkan pengamatan rumah Aceh di Kota
Banda Aceh)
Denah rumah tradisional Aceh berbentuk persegi dan juga persegi panjang
dan terdiri dari tiga jalur lantai memanjang sejajar dengan bubungan atapnya. jalur
lantai yang tengah sengaja ditinggikan 25 sampai 40 cm. Denah Rumah Aceh
terdiri dari tiga atau lima ruang, rumah dengan tiga ruang memiliki 16
kolom/tiang, sedangkan rumah dengan lima ruang memiliki 24 tiang/kolom
seperti gambar diatas. Jalur lantai terdepan dipakai sebagai serambi suami untuk
menerima tamu-tamu laki-laki, sedangkan jalur lantai belakang adalah untuk ibu
dan keluarga dan bersifat pribadi (skaral). Keduanya diantarai oleh dinding
seketeng, yang maksudnya untuk memisahkan serambi depan yang bersifat umum
b. Tampak Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.8. Tampak Depan Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)
Gambar 2.9. Tampak Samping Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)
Rumah tradisional Aceh merupakan rumah panggung, biasanya memiliki
ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Rumah tradisional Aceh didirikan
di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri
dari serangan binatang buas dan banjir.
Tampak pada bangunan biasanya terdiri dari beberapa elemen yaitu :
Atap Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.11. Atap Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)
Atap pada rumah tradisional Aceh berbentuk atap pelana yang hanya
menggunakan satu bubungan dan menggunakan bahan penutup berbahan rumbia
yang memiliki andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat
gempa tidak mudah roboh. Fungsi yang lain pun rumbia juga menambah
kesejukan ruangan. Keburukan sifat rumbiah yang mudah terbakar pun juga sudah
ada solusinya dalam rumah tradisional Aceh. Ketika rumbiah terbakar,
pemotongan tali ijuk di dekat balok memanjang pada bagian atas dinding
mempercepat runtuhnya seluruh kap rumbiah ke samping bawah sehingga tidak
Proporsi Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.12. Proporsi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Analisis Penulis, 2015)
Rumah tradisional Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki
proporsi ketinggian beragam, biasanya memiliki ketinggian tiang kolom sekitar
2,5-3 meter dari atas tanah sedengakan proporsi dinding memiliki tinggi yang
lebih rendah yaitu berukurana 1,5 – 2 meter. Rumah tradisional Aceh memiliki
tinggi pintu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu
ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke rumah
tradisional Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan
ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi
atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis
Dinding Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.13. Dinding Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2015)
Dinding rumah tradisional Aceh terbuat dari papan kayu atau bilah bambu,
penggunaan material tersebut mempengaruhi penghawan udara yang sangat baik
karena udara dapat pengalir melalui selah selah antara atap dan dinding. Pada
bagian dinding rumah tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang
mempengaruhi unsur tradisional Aceh (Hadjad dkk,1984).
Pintu & Jendela Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.14. Pintu Rumah Tradisional Aceh
(Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2015 dan Analisis Penulis berdasarkan buku
Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat
pintu masuk yang disebut pinto rumah, yang berukuran lebih kurang lebar 0,8
meter, dan tingginya 1.8 meter. Pintu masuk ini kadang-kadang terdapat pada
dinding sebelah kanan ruangan serambi depan (Hadjad dkk,1984).
Gambar 2.15. Jendela Rumah Tradisional Aceh
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015 dan Analisis Penulis, 2015 berdasarkan
buku Arsitektur Tradisonal Aceh oleh Hadjad dkk, 1984)
Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang
berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang disebut
tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga pada dinding sisi depan.
Jendela-jendela tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan, sedangkan pada
rumah yang berdinding tepas/bamboo pada umumnya tidak memakai jendela
Warna Rumah Tradisional Aceh
Gambar 2.16. Warna Dinding Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015 dan onlyaceh.blogspot.com )
Warna pada rumah tradisional Aceh umumnya memakai warna kuning,
krem dan merah, orange, hitam yang kadang kadang di kombinasikan dengan
warna putih. Jika terdapat warna warna lain itu merupakan akibat pengaruh masa
kini ( Hadjad dkk, 1984).
Tabel 2.1. Kesan Warna Pada Rumah Tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984)
Warna Kesan
Merah Emosi yang berubah-ubah, naik turun, hidup
menggairahkan dan menyenangkan,
Kuning Memiliki karakter kuat, hangat, dan memberi
nuansa cerah. Menciptakan suasana nyaman
dan menyenangkan.
Putih Bersifat netral, tanpa perasaan dan memliki
kesan suci.
Orange Menunjukkan kehangatan, kesehatan pikiran
dan kegembiraan.
Hitam Melambangkan perlindungan.
Ragam Hias ( Ornamen) Rumah TradisionalAceh
Pada bangunan tradisional Aceh banyak dijumpai ukiran- ukiran, karena
masyarakat Aceh pada hakekatnya termasuk suku bangsa yang berjiwa seni.
Ukiran-ukiran itu terutama dijumpai pada bangunan- bangunan rumah tempat
tinggal dan bangunan-bangunan rumah ibadat seperti pada Meuseujid (mesjid)
dan meunasah (surau). Ukiran-ukiran yang terdapat pada bangunan tradisional
seperti tersebut di atas mempunyai berbagai motif atau ragam hias. Motif-motif
tersebut adalah motif yang berhubungan dengan lingkungan alam seperti : flora,
fauna, awan, bintang dan bulan. Fungsi utama dari berbagai jenis motif dan ragam
hias itu adalah sebagai hiasan semata-mata, sehingga dari ukirin tersebut tidak
mengandung arti dak maksud-maksud tertentu, kecuali motif bintang dan bulan,
yang menunjukkan simbul ke-Islaman, motif awan berarak (AWAN meucanek)
yang menunjukkan lambang kesuburan, dan motif tali berpintal (taloe meuputa)
yang menunjukkan ikatan persaudaraan yang kuat bagi masyarakat Aceh ( Hadjad
Pada rumah tradisional Aceh, ada beberapa motif hiasan ornamen yang
dipakai, yaitu: (Hadjad dkk,1984)
(1) Motif keagamaan. Hiasan Rumah Aceh yang bercorak keagamaan
merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
Gambar 2.17. Motif ornamen keagamaan (Sumber : Hadjad dkk, 1984)
(2) Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi
tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan.
Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna,
jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam
hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen,
Gambar 2.18. Motif Ornamen Flora (Sumber : Hadjad dkk, 1984)
(3) Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah
binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai, umumnya bermotifknan
binatang unggas seperti merpati, balam, perkutut.
(4) Motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di
antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang
dan laut; dan
(5) Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
3. Konstruksi /Struktur Rumah Tradisional Aceh
Rumah tradisional Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun tentunya
didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang berkualitas.
Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang
rumah tradisional Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima
ruang bertiang 24. Rumah tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau
bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan
banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai yang selalu kering, jadi
lebih sehat (Hadjad,1984).
Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena
struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada
pada hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak
dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid).
Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya
terombang-ambing ke kanan kiri yang kemudian kembali tegak atau pun
bangunan terlikuifaksi (terangkat ke atas) yang kemudian mampu jatuh kembali
ke tempat semula. Jika bangunan bergeser pun hanya beberapa centimeter saja
Gambar 2.20. Kerangka Konstruksi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Hadjad dkk, 1984)
Tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan bangunan
meliputi pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban bangunan terbesar,
kemudian tiang dan balok antar tiang (komponen badan) sebagai penyalur beban
dari atas dan dari samping, serta rangka atap (komponen kepala) sebagai
penyangga beban elemen paling atas bangunan dan dari samping atas (Widosari :
2010).
Gambar 2.21. Komponen Struktur Utama Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Analisis Penulis, 2015 berdasarkan buku Arsitektur Tradisonal Aceh
oleh Hadjad dkk, 1984)
Rangka Atap
Tiang dan Balok antar tiang
Sistim konstruksinya menggunakan tiang-tiang dan gelagar yang saling
ditusukkan dan dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk unsur-unsur bangunan
yang kecil dipakai sistim ikat, dengan tali rotan, ijuk dan lain sebagainya
Gambar 2.22. Sistim Ikat pada Konstruksi Rumah Tradisional Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)
Gambar 2.23. Pola Penyambungan dan Hubungan Tiang pada Rumah Tradisional Aceh
2.1.1.2. Bangunan Tempat Ibadah/ Mesjid Tradisional Aceh (Meuseujid)
Mesjid tradisional Aceh (Meuseujid) adalah istilah dalam bahasa Aceh,
sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut mesjid. Istilah meuseujid dalam
bahasa Aceh atau mesjid dalam bahasa Indonesia berasal dari perkataan masjid
Jari Bahasa Arab, yang berarti tempat sujud.
1. Jenis jenis Mesjid Tradisional Aceh
s
Bentuk mesjid tradisional Aceh umumnya hampir sama yang memiliki
sebuah ruangan saja, yaitu ruangan tempat salat. Ruangan tersebut merupakan
sebuah ruangan berbentuk bujur sangkar (Hadjad dkk, 1984).
Gambar 2.25. Denah Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : portalsatu.com)
2. Konstruksi/Struktur Mesjid Tradisonal Aceh
Struktur bangunan pada masjid tradisonal Aceh ditunjang oleh empat buah
tiang utama yang bersegi delapan yang disebut tameh teungoh. Keempat buah
tiang utama itu tepat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional Aceh dan
menjadi penunjang pokok atap lapisan atas yang berbentuk limas. Selain empat
buah tiang pokok yang terdapat di tengah-tengah bangunan mesjid tradisional
Aceh, maka pada keempat sisi bangunan mesjid tradisional Aceh itu terdapat juga
jumlahnya dua belas buah. Tiang-tiang itu berfungsi sebagai penunjang atap
lapisan bawah mesjid tradisional Aceh (Hadjad dkk, 1984).
Gambar 2.26. Tampak Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : portalsatu.com)
Dinding pada mesjid tradisional Aceh mengunakan dinding setengah
terbuka/setengah permanen karena dikelilingi oleh dinding tembok yang tingginya
hanya satu setengah meter. Lantai ruangan terbuat terbuat dari semen. Pada sisi
sebelah Timur (sisi depan) terdapat tangga dari beton setinggi dinding beton.
Tangga itu dipergunakan sebagai jalan untuk masuk ke dalam ruangan mesjid
Gambar 2.27. Konstruksi Mesjid Tradisional Aceh. (Sumber : Hadjad dkk, 1984)
Bentuk atap mesjid tradisional Aceh berbentuk atap tumpang yang terdiri
atas dua lapisan yaitu atap lapisan bawah dan atap lapisan atas. Atap lapisan atas
berbentuk limas, sehingga pada mesjid tradisional Aceh tidak didapati kubah
seperti yang lazim kita dapati pada mesjid-mesjid zaman sekarang. Namun
didapati juga mesjid tradisional Aceh yang sudah diubah puncak bentuk limas
dengan puncak bentuk kubah. Bangunan meuseujid itu selalu menghadap ke
Timur, sehingga sisi belakangnya berada di sebelah Barat, karena disesuaikan
dengan arah kiblat (Hadjad dkk, 1984).
3. Ragam Hias (Ornamen Mesjid Tradisional Aceh)
Ornamen pada mesjid tradisional Aceh biasanya mengunakan jenis ornamen
yang sama dengan ornamen pada rumah tradisional Aceh. Selain ragam
hias/ornemen bermotif flora, fauna, alam dan keagamaan, maka pada bangunan
a. Ragam hias/Ornamen berbentuk pintalan tali yang disebut taloe meuputa,
karena ragam ini menyerupai pintalan tali.
Gambar 2.28. Ornamen pintalan tali di Mesjid Tradisional Aceh.
(Sumber : Analisis Penulis, 2015 berdasarkan buku Arsitektur Tradisonal Aceh
oleh Hadjad dkk, 1984)
b. Ragam Hias/Ornamen Geometris
ornamen geometris termaksud kedalam ornamen keagamaan sebagai
pendukung di ornamen kaligrafi islam, pada masjid tradisional Aceh biasanya
diaplikasikan di bagian dinding saja. Pola-pola geometris yang digunakan pada
masjid tradisional Aceh umumnya berbentuk lingkaran, segitiga, persegi, dan segi
enam.
2.2. Museum
1.2.1. Pengertian Museum
Pengertian Museum berkaitan dengan warisan budaya yang merupakan
lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan
benda-benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna
menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1
ayat 1 PP. No. 19 Tahun 1995).
Keputusan (Mendikbud No.093/01/1979) menyatakan bahwa museum
adalah mengumpulkan, merawat, mengawetkan, meneliti, dan menerbitkan
hasilnya. Disamping itu museum mempunyai tugas untuk menyajikan pameran
dan memberikan bimbingan edukatif kultural, benda benda yang bernilai budaya
dan ilmiyah kepada masyarakat atau pengunjung.
Museum merupakan tempat untuk menyimpulkan, menyimpan, merawat,
melestarikan, mengkaji, mengkomunikasikan, bukti material hasil budaya
manusia, dan juga lingkungannya.
Secara umum Museum merupakan sebuah gedung atau bangunan yang
menyimpan benda benda warisan yang memiliki nilai sejarah yang pantas untuk di
simpan. Seiring perkembangan zaman , sejarah tumbuh kembangnya Museum
banyak mengalami perubahan fungsi, maka dari itu museum harus di kembangkan
dan menambah pemeliharaan, pengawetan dan penyajian.
Museum merupakan sebuah lembaga yang bersifat tetap, namun tidak
untuk mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat, dan
menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan
kesenangan. Barang barang pembuktian manusia dan lingkungannya.
(Internasional Council Of Museum,1997)
(Internasional of Museum 1997) juga menyimpulkan beberapa pengertian
museum sebagai berikut :
Museum adalah suatu lembaga atau tugas untuk menghimpun,
menyelamatkan,dan melestarikan warisan sejarah, alam, dan
budaya, untuk di wariskan kepada generasi penerus.
Museum juga merupakan sebagai lembaga ilmiah dan tempat
penelitian bagi cendikiawan dalam rangka penggalian nilai nilai
luhur budaya daerah untuk pembinaan dan pengembangan
kebudayaan.
Museum juga berfungsi sebagai pusat informasi budaya dalam
rangka penyaluran ilmu penegtahuan untuk ikut pencerdaskan
kehidupan bangsa.
Museum juga berperan sebagai objek wisata budaya yang
penting artinya bagi upaya pengembanganindustri pariwisata,
dan lain lain.
1.2.2. Fungsi Museum
Museum menurut ICOM (1997) mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Mengumpulkan dan pengaman warisan alam dan budaya.
2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah.
4. Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum.
5. Pengenalan dan penghayatan kesenian.
6. Pengenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa.
7. Visualisasi alam dan budaya.
8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.
9. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Museum berfungsi untuk melestarika warisan sejarah, alam, dan budaya,
dengan cara mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan
dan memamerkan, sehingga museum mempunyai peran untuk kepentingan
masyarakat umum, yang di manfaatkan untuk penelitian, pendidikan dan rekreasi
dalam rangka untuk mencerdaskan bangsa.
2.3. Konsep Museum Tsunami Aceh Sebagai Karya Ridwan Kamil
Museum Tsunami dibangun oleh pemerintah Kota Banda Aceh dengan
cara mengadakan lomba sayembara terbuka yang di menangkan oleh judul desain
Rumah Aceh Escape Hill yang merupakan karya arsitek Indonesia yaitu M Ridwan Kamil pada tahun 2007.
2.3.1. Ridwan Kamil Sebagai Arsitek
M. Ridwan Kamil, lahir di Bandung, 4 Oktober 1971. Beliau adalah putra
dari Dr. Atje Misbach, S.H (alm.) dan Dra. Tjutju Sukaesih. Ridwan Kamil
menempuh pendidikan nya di SDN Banjarsari III Bandung (1977-1984) . Setelah
tamat SD kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bandung
kemudian di SMA Negeri 3 Bandung pada tahun (1987 -1990). Setelah tamat
Teknik Arsitektur (1990 – 1995). Lulus dari ITB Ridwan kamil bekerja di
Amerika Serikat dan kemudian mendapatkan beasiswa di University of California,
Berkeley sambil bekerja di Departemen Perancanaan Kota Berkeley
(http://issuu.com/rk4bdg)
Gamabar 2.30. Ridwan Kamil (Sumber : news.fimadani.com)
Tahun 2002 Ridwan Kamil pulang ke Indonesia dan dua tahun kemudian
mendirikan Urbane, firma yang bergerak dalam bidang jasa konsultan
perencanaan, arsitektur dan desain. Kini Ridwan Kamil aktif menjabat sebagai
Prinsipal PT. Urbane Indonesia, Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Institut
Teknologi Bandung, serta Senior Urban Design Consultant SOM, EDAW (Hong
Kong & San Francisco), dan SAA (Singapura) dan sekarang telah menjadi Wali
Ridwan Kamil adalah arsitek muda Indonesia dengan reputasi Internasional.
Nama besar dan karya-karyanya menjadi inspirasi bagi banyak arsitek muda
lainnya di Indonesia. Ridwan Kamil juga merupakan seorang arsitek ekspresif,
banyak prestasi dan karyanya yang membuat orang kagum. Ridwan Kamil telah
menangani banyak proyek besar di mancanegara, seperti di Singapura, Thailand,
Vietnam, Cina, Hong Kong, Bahrain dan Uni Emirat Arab dan masih banyak
lainnya. Bukan hanya proyek berkelas yang di tanganinya, masih banyak
karyanya yang lain yang yang menerapkan konsep eskpresif dan mendapat
penghargaan salah satunya adalah Museum Tsunami Aceh.
2.3.2. Konsep Museum Tsunami Aceh 2.3.2.1. Konsep Denah
Gambar 2.31. Konsep Ilustrasi Bentuk Denah Museum Tsunami Aceh (Sumber : Balai Arsip Tsunami Aceh,2015 dan Tim Kajian Desain Ridwan
Kamil, 2007)
2.3.2.2. Konsep Fasad
Gambar 2.32. Konsep Ilustrasi Bentuk Fasad Bangunan Museum Tsunami Aceh (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015/archive.kaskus.co.id)
Bentuk fasad bangunan Museum Tsunami Aceh ini menganalogikan bentuk
kapal di atas rumah, kapal tersebut merupakan salah satu fenomena yang
terdampar didekat pantai di daerah lampulo baru Kota Banda Aceh pada saat
terjadi bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dan saat ini kapal tersebut telah
dijadikan sebagai museum wisata situs tsunami Aceh. Pada bangunan Museum
Tsunami Aceh dipertinggi dengan kolom-kolom dibawahnya.
Selain dari bentuk museum yang seperti kapal, terdapat bagian bentuk yang
menonjol, yaitu pada bagian yang terlihat seperti sumur silender. Bentuk tersebut
membentuk suatu ruang yang didalamnya terdapat makna, pada bagian atas sumur
tulisan arab “Allah” . Ekspresi dari bentuk tersebut sangat mengandung nilai-nilai
religi yang merupakan cerminan konsep hubungan manusia dan Allah.
2.3.2.3. Konsep Atap
Gambar 2.33. Konsep Atap Bangunan Museum Tsunami Aceh (Sumber : panduanwisata.id)
Desain atap Museum Tsunami menganalogikan sebagai bukit
penyelamatan sebagai antisipasi terhadap bahaya jika suatu saat terjadi Tsunami,
yang juga merupakan taman terbuka publik yang dapat diakses dab dipergunakan
setiap saat sebagai respon terhadap konteks urban.
2.3.2.4. Konsep Dinding
Dinding pada Museum Tsunami Aceh mengunakan konsep hubungan antar
umat manusia. Hal tersebut diterapkan pada kulit bangunan eksterior. Ukiran kulit
bangunan tersebut mengadopsi dari tari saman yang menurut sang arsiteknya
melambangkan kekompakan dan kerja sama antar manusia Aceh.
2.3.2.5. Konsep Ruang Dalam
1. Ruang Space of Fear (Lorong Tsunami)
Gambar 2.35. KonsepRuang Space of Fear (Lorong Tsunami) (Sumber : rinaldimunir.wordpress.com/ sp.beritasatu.com)
Lorong tsunami merupakan akses awal untuk memasuki Museum Tsunami
Aceh. Memiliki panjang 30 m dan tinggi mencapai 23 m melambangkan tingginya
gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004. Air mengalir di kedua sisi
dinding museum, suara gemuruh air, cahaya yang remang dan gelap, lorong yang
sempit dan lembab, mendeskripsikan ketakutan masyarakat Aceh pada saat
tsunami terjadi, atau disebut space of fear.
2. Ruang Memorial Hall
2004. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi
bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak 40 gambar yang
ditampilkan dalam bentuk slide.
Gambar 2.36. Konsep Ruang Memorial Hall
Sumber : www.bandaacehtourism.com
Ruangan ini mengingatkan kembali kenangan tsunami yang melanda Aceh
atau disebut space of memory yang tidak mudah untuk dilupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut. Memorial hall ini dilengkapi dengan pencahayaan dari lubang-lubang sebuah ‘reflecting pool’ yang berada di atasnya
dan ketinggian lantai pun berbeda-bedan level.
3. Ruang Sumur Doa
Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter
ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera disetiap
dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan
pengunjung yang memasuki ruangan ini dianjurkan untuk mendoakan para korban
Gambar 2.37. Konsep Ruang Sumur Doa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)
Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya
yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong
dengan cahaya yang mengarah ke atas langit langit dan pad berada di ruangan ini
terdengar suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Ruang Atrium Of Hope
Gambar 2.38. Konsep Ruang Atrium Of Hope
(Sumber : www.bandaacehtourism.com)
Ruangan ini adalah area berupa ruang yang besar, sebagai simbol dari
harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan
menggunakan ramp yang terlihat seperti jembatan (Jembatan perdamaian) untuk
2.4. Studi Kasus Sejenis
Tabel 2.2. Studi Kasus Sejenis
Judul, Tahun, Wilayah, Nama Peneliti
Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan
Hasil Penelitian
Studi Penerapan Arsitektur Pasundan, Pada Bangunan Selasar Seni Sunaryo, 2000. Semarang, Rosina Indah
atau kaidah arsitektur
local, khususnya
Arsietektur pasundan
pada desain bangunan
Selasar Seni Sunaryo
Metode penelitian ini
dilakukan dengan cara
melakuan survey,
study literature, dan
menggunkan metoda
deskriptif analisis
dengan pengumpulan
data fisik dan non fisik
Bangunan selasar seni ini merupakan wadah
dalam berkarya yang mencerminkan
karakteristik sunaryo sebagai perupa yang
memadukan nilai nilai budaya local khususnya
Arsitektur pasundan pada gagasan gagasan yang
cenderung dipengruhi oleh mederennitas yaitu :
1. Pemilihan tapak
3. Bentuk
4. Penataan lingkungannya.
Tradisional Bali pada Objek
Long House terdapat penerapan kelima konsep
bangunan tradisional Bali yaitu :
1. Pola Zoning
2. Elemen Struktur dan Konstruksi
3. Ragam Hias/ornament
4. Material
5. Elemen Pendukung
Penerapan House pengaplikasiannya hanya ada
pada dua aspek, yaitu :
1. aspek pola zoning dan tipologi ruang konsep
Perubahan Bentuk Bangunan
Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa telah
terjadi perubahanperubahan
yang terjadi pada bangunan Bale Tani dan Bale Bontar di Dusun Sade yaitu dari elemen :
1. Atap
2. Material
3. Bentuk
perubahan tersebut terkait. Survey Hotel Resort Teluk Lebangan, 2014, Malang, Biendra Azizi
Wedhantara.
perubahan yang telah
dilakukan, karakter
Dari hasil penelitian, eksplorasi transformasi
didapatkan 2 alternatif bentuk untuk cottage
jenis family room. Transformasi yang dipakai meliputi beberapa tahap dengan 4 modal utama
yaitu :
1. Pemecahan (break) , pengirisan (cut) , penambahan (addition), dan pertautan (meshing).
kosmologis yang
dianut
3. Perubahan ketinggian dan pelebaran