• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan pihak yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang diberikan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak. Hal inilah yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekitar lingkup sosial masyarakat Indonesia.

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan berbagai variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelentaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan.1

Sekolah tempat anak-anak menimba ilmu pun dianggap bukan merupakan tempat yang aman bagi anak-anak. Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan dilakukan oleh orang disekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.2

1

Merry Magdalena. Melindungi Anak dari Seks Bebas (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hal. 40

2

(2)

Sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), menemukan—meski sebatas kasus yang sempat diekspos media massa— secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak. Pada 1994 misalnya, tercatat 172 kasus, dan 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada 1996 melonjak lagi menjadi 476 kasus. Walaupun dari tahun ke tahun berita tentang tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak terus meningkat, tetapi bila dibandingkan dengan negara-negara maju angka yang berhasil direkam Indonesia umumnya masih tergolong sangat minimal. Di Amerika Serikat, misalnya diperkirakan ada kurang lebih 500 ribu anak yang diperlakukan secara destruktif setiap tahunnya. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kasus child abuse dapat terdeteksi dengan cukup baik karena hukum di negara itu mewajibkan dokter dan guru untuk melaporkan kasus child abuse kepada aparat yang berwenang. Kasus child abuse sendiri sudah mulai dikenal publik sekitar 1960-an, yaitu sebanyak 302 kasus di 71 rumah sakit— dimana 33 anak meninggal dan 85 anak mengalami kerusakan otak yang permanen.3

Perlindungan terhadap hak-hak anak sebenarnya sudah dijamin permerintah Indonesia dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini sudah memiliki sederet instrumen hukum, baik yang berasal dari hasil ratifikasi instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum dalam negeri. Dimana instrumen hukum tersebut bertujuan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Beberapa peraturan pemerintah yang telah mengatur tentang hak-hak anak Indonesia, diantaranya:4

- Undang-Undang Dasar 1945

- Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak - Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA - Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3 Ibid.

mengutip Henry Kempe, “The Battered Child Syndrome (Perlakuan Salah yang Dialami Anak),” Journal of American Medical Association, 1962, hal. 1.

4

(3)

Selain itu, dari data Komisi Perlindungan Anak, masih terdapat beberapa instrumen hukum untuk perlindungan anak, yaitu:5

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak

- Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

- Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For The Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)

- Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour (Konvensi Ilo Mengenai Penghapusan Kerja Paksa)

- Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak

Pengaturan hukum tertulis yang jelas tentang perlindungan anak sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah, namun tindak kekerasan terhadap anak masih terus terjadi. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat setiap Tahunnya. Sekjen Komnas PA Samsul Ridwan memaparkan, dari 1.424 kasus kekerasan anak selama Januari-Oktober 2013, 452 merupakan kasus kekerasan fisik, 730 kasus kekerasan seksual, dan 242 kekerasan psikis.6

Kasus kekerasan pada anak akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi, kurangnya keharmonisan dalam

5

http://www.kpai.go.id/kanal/hukum/

6

Isnaini, “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”,

(4)

rumah tangga, dan juga rendahnya rasa sosial dalam masyarakat.7

Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk diekspos keluar secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo (1998), bahwa rendahnya kasus tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah satunya disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal, kalau mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.

Tindakan kekerasan terhadap anak kebanyakan dilakukan orang dewasa yang berada di sekitar lingkungan anak tersebut yang tak terelakkan menimbulkan dampak negatif pada anak berupa trauma atau bahkan sampai menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, perlu ada perhatian yang lebih serius dari aparat penegak hukum untuk lebih serius memberantas dan menjerat pelaku kriminalitas terhadap anak di bawah umur.

Sesungguhnya tidak sedikit anak-anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak pidana yang profesional— seperti preman, tukang perkosa, perampok, dan sebagainya— maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Perhatian terhadap masalah ini masih kalah jika dibandingkan dengan maraknya kasus anak yang kurang gizi atau busung lapar, atau kasus tingginya angka kematian anak yang secara faktual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat.

8

7

Indah Mutiara Kami, “Hingga Oktober 2013 Separuh Kekerasan Pada Anak Adalah

Kejahatan Seksual”, 2013,

November 2013 , jam 10.15

8

(5)

Tindakan kekerasan terhadap anak semakin banyak yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Tidak peduli apakah itu di kota besar ataupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di lingkungan sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa, sehingga tindakan kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada Tahun 2011, dikatakan bahwa 3 (tiga) dari 100 anak Indonesia adalah korban kekerasan, 87% nya adalah kekerasan seksual dan 5% kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian dan 25% nya menyebabkan cacat fisik (WHO).9

Menurut Seto Mulyadi (akrab dipanggil Kak Seto), anak Indonesia berada dalam bayang-bayang. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama Tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus Tahun 2004, dimana 221 kasus merupakan kekerasan seksual 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.10

Berdasarkan rekapitulasi data surat kabar, anak korban kekerasan di wilayah Jawa Barat Tahun 2002 oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung, menunjukkan bahwa sebagian besar anak korban kekerasan di wilayah ini adalah remaja. Dari 450 anak korban kekerasan jumlah remaja sebanyak 65%, sama dengan penelitian di Jawa Timur yang dalam penelitian Tahun 1994-1997 ditemukan 103 kasus kekerasan dengan 65%-nya adalah remaja. Kemudian, pekerja anak (di sektor berbahaya) dan fenomena anak jalanan, perdagangan, dan

9

“Puskesmas Mampu Tata Laksana Kekerasan terhadap Anak”, tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43

10

(6)

penculikan termasuk di dalamnya child trafficking juga merupakan bentuk kekerasan pada remaja. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Jawa Barat dari berbagai sumber sampai dengan Juli 2003, terdapat 1.281 pekerja anak dan 15.208 anak jalanan di Jawa Barat. Banyaknya remaja yang terlibat konflik dengan hukum juga menunjukkan tingginya anak yang beresiko mendapatkan perlakuan kekerasan, sehubungan di Indonesia belum terdapat sarana Pengadilan khusus anak. Survei nasional BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 1997 menemukan sebanyak 4079 anak di bawah 16 Tahun masuk penjara dan Jawa Barat menduduki tempat kedua tertinggi secara nasional.11

Komnas Perlindungan Anak memandang perlu kerjasama pemerintah lintas sektoral dan partisipasi masyarakat untuk menanggulangi masalah anak di Indonesia yang cakupannya sangat luas. Dari laporan-laporan yang didapatkan Komnas Perlindungan Anak, tampak pemerintah dan stakeholder lainnya bekerja terbata-bata secara kolektif.12

11 Ibid.

hal. 44, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak,” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dan Anak, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, hal. 58.

12

Adi Dwijayadi, Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak”, 2010, (http://nasional.kompas.com/read/2010/12/21/11575989/Inilah.8.Sebab.Kekejaman.terhadap.Anak ), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.47

Bila permasalahan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan korban kekerasan anak ini akan semakin meningkat.

Tindakan kekerasan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(7)

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan kematian ini tidak mendapat tindakan tegas dari penegak hukum, bahkan tidak mendapatkan kejelasan dari kelanjutan kasus tersebut. Beberapa contoh kasus tersebut diantaranya adalah :

Kasus Reza Eka Wardana (16), siswa SMA Dominikus Wonosari, Korban pengeroyokan oleh oknum Polisi, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada pukul 15:00 WIB, tanggal 3 November 2012 setelah koma dan berjuang melawan maut selama sembilan hari di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. 13

Kasus penganiayaan lainnya terjadi pada 2 balita di Jalan Mulawarman, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 10 Oktober 2013 oleh 2 orang perampok yang menyebabkan matinya 2 balita tersebut akibat Sampai sekarang kasus tersebut tidak menemui kejelasan walaupun pelakunya sudah dinyatakan sebagai tersangka Tahun 2012 lalu.

13

(8)

kepala yang dipukul dengan menggunakan linggis, akhirnya diancam dengan Pasal berlapis pencuriaan dan pembunuhan. 14

14

Parwito, “Perampok Pembunuh 2 Balita di Semarang Terlacak Berkat HP”, 2013,

Terlepas dari kasus-kasus di atas masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, terutama yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu kalangan keluarga sendiri seperti ayah atau ibunya sendiri, walaupun tidak semuanya terekspos media. Beberapa kasus di atas dapat menjadi cerminan dimana perlindungan hukum terhadap anak dari tindakan kekerasan sebenarnya masih sangat kurang, bahkan terhadap yang berakibat kematian anak tersebut ada yang tidak menemui kejelasan terhadap penyelesaian kasusnya.

Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri dirasakan masih belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan dirasakan masih kurang memberikan hukuman yang cukup setimpal dari perbuatannya tersebut dibandingkan ancaman hukuman terhadapnya yang seharusnya memberatkannya, karena seharusnya sebagai pihak yang lebih dewasa dari segi usia yakni sebagai orang tua, keluarga, pihak sekolah ataupun lingkungan masyarakat seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang masih di bawah umur, dan bukan dengan melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan apalagi sampai menyebabkan luka berat ataupun kematian. Penegakan hukum yang tegas dan peran serta masyarakat sekitar adalah unsur yang paling penting demi terciptanya pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang maksimal demi tercapainya kesejahteraan anak Indonesia.

(9)

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar balakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum Pidana Indonesia?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak (Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM)? C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan yang dapat diberikan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM

D. Manfaat Penulisan

1. Menfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi anak sebagai objek kekerasan.

(10)

terhadap anak-anak Indonesia agar terhindar dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak manapun terhadapnya dan terhadap setiap pihak yang sudah tergolong dalam kategori dewasa agar senantiasa memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak sebagai masa depan bangsa tanpa adanya kekerasan dan tindak nyata pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap anak Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul ” Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/Pn.Sim)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulis sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian untuk skripsi ini adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana

(11)

“delict” itu (sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan yang lain, seperti:15

a. Tindak Pidana (antara lain dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);

b. Peristiwa Pidana (Prof. Mulyatnmo, dalam Pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI pada Tahun 1955 di Yogyakarta);

c. Pelanggaran Pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Pidana,Penerbit Fasco, Jakarta 1955);

d. Perbuatan yang boleh dihukum (Mr. Karni, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959);

e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No. 12/Drt Tahun 1951, Pasal 3 tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere Strafbepalingen).

Beberapa ahli hukum telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana itu. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialaj kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht memanfang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi :16

a. Diancam dengan pidana oleh hukum, b. Bertentangan dengan hukum,

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Van Hamel merumuskan delik (strafbaar feit) itu sebagai berikut : eene wetteleijke omschreven en aan schuld te witjen (kelakuan manusia yang

15

C.S.T Kansil, Engelien R. Palendeng dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Perundang-undangan Indonesia.(Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009), Hal. 1

16

.Jur.Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya

(12)

dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan).17

Selanjutnya jika menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.18

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah setiap perbuatan-perbuatan seseorang yang melanggar hukum baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan saksi pidana terhadap perbuatan tersebut. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenal adanya delik aduan, yang mana delik tersebut juga ada dua jenis, yaitu:19

1. Delik aduan yang absolut

Yaitu tiap delik yang dalam keadaan apapun hanya dapat dilakukan penuntutan apabila telah adanya pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana

2. Delik aduan yang relatif

Yaitu tiap delik yang memberikan kesempatan kepada pemerintah dalam melakukan penuntutan apabila tidak adanya pengaduan.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu :

1) Melawan hukum; 2) Merugikan masyarakat; 3) Dilarang oleh aturan pidana; 4) Pelakunya diancam dengan pidana.

Pada butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan yang memastikan perbuatan itu menjadi suatu perbuatan pidana adalah butir 3) dan 4). Jadi suatu perbuatan yang bersifat 1) dan 2) belum tentu

17

Ibid.hal. 120-121

18

Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi. (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), Hal. 307

19

(13)

merupakan pidana sebelum dipastikan adanya butir 3) dan 4) (legalitas hukum pidana).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan unsur tindak pidana yaitu :20

a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahanuntuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Tindak pidana terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar larangan yang diancam dengan hukuman. Larangan dan ancaman tersebut terdapat hubungan yang erat, oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit yaitu :21

1) Adanya kejadian yang tertentu serta

2) Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.22

20 Ibid.

hal. 82.

21

Frans H. Winarta, loc.cit.

22

(14)

2. Kekerasan Terhadap Anak

Pengertian violence harus terlebih dahulu dipahami sebelum membahas pengertian kekerasan terhadap anak. Neil Alan Weiner menyatakan bahwa terminology violence (kekerasan) menunjuk pada gabungan beberapa elemen, yaitu: ”... threat, attempt, or use of physical force by one or more person that result in physical or nonphysical harm to one or more other person.”23

Kekerasan berdasarkan uraian di atas mempunyai dua elemen. Pertama, ancaman untuk menggunakan kekuatan fisik, dalam hal ini kekuatan fisik belum digunakan. Kedua, penggunaan kekuatan fisik itu sendiri yang berarti perbuatan telah dilaksanakan oleh pelaku. Kedua elemen ini (ancaman dan penggunaan kekuatan fisik) menghasilkan akibat berupa kerusakan baik secara fisik, maupun non-fisik. Korban sendiri bisa perorangan atau kelompok orang.24

Secara umum pengertian kekerasan adalah:25

Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang...” Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.

“Perihal bersifat, berciri keras: Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan atau barang orang lain: Paksaan”

26

Menurut Collins Dictionary of Sociology, kata violence dimaknakan penggenaan derita/luka/kerusakan fisik terhadap tubuh manusia atau harta benda, atau properti, dengan kekuatan fisik, menggunakan anggota tubuh, senjata atau benda lain. Kalau dalam ajang perjuangan politik ide penggunaan

23

Neil Alan Weiner, et. Al. (Ed.) Violence: Pattern, Causes, Public Policy. USA: Harcourt Brace Jovanovich (HBJ) Publisher, hal. Xiii.

24

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka bangsa Press, 2008. Hal. 29

25

Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, edisi ketiga, 2001, hal. 425

26

(15)

kekerasan dimulai dengan “anarcho syndicalism” dari pemikiran Geoge Sorel. Dalam hubungan sosial, kekerasan adalah permainan kekuasaan dan otoritas.27

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuseand neglect berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar 1946, Caffrey—seorang radiologist— melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah

tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognize trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Kasus yang ditemukan Caffey di atas makin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe pada tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Mecal Association,dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia teliti, ternyata

terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry Kempe, menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child

Syndrome yaitu : “Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan

perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.” Di sini diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual.28

27

Maksud Kempe dengan istilah yang dramatik “the battered child syndrrome” tersebut adalah untuk menarik perhatian

tanggal 16 Februari 2014, jam 09.51, mengutip Erlyn Indarti, Dr., S.H., “Demokrasi dan

Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat

Huku

28

(16)

orang yang bergerak dibid. ang kesehatan (dokter anak, psikolog, psikiater), sosial dan hukum.29

Selain Batered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome—-dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan emosi anak dan adanya akibat asuh yang tak memadai. Istilah Child Abuse sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak di bawah usia 16 Tahun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannya.

30

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak—yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami oleh anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan (Scrapes/scratches). Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).31

Kekerasan di sini didefinisikan sebagai perilaku yang disengaja seorang individu yang ditujukan pada individu lain dan memungkinkan menyebabkan kerugian fisik dan psikologis. Definisi ini merupakan pembentukan ulang dengan berbagai perubahan.32

Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan

29

Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995), ed. Prof.dr.IG.N. Gde Ranuh, DSAK, hal. 165

30Ibid.

hal. 27-28

31

Ibid. hal. 28-29

32

(17)

“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 Pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. Definisi kekerasan tentu saja mempunyai pengertian yang lebih luas daripada salah perlakuan dan hal ini signifikan karena definisi umum salah perlakuan terhadap anak tidak meliputi berbagi bentuk kekerasan yang membahayakan anak. Lantas, ini memberi penekanan yang besar terhadap hak anak untuk integritas fisik yang juga sejalan dengan pandangan KHA. Hal ini berarti bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan mental dan fisik. 33

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:

34

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,

penganiayaan, penyiksaan, atau perilaku salah. Abuse didefinisikan sebagai: 1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga

basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

35

33Ibid.

“Improper behavior intended to cause physical, phsycological, or

financial harm to an individual or group”

(Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok).

34

Letezia Tobing, Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, diakses tanggal 14 februari 2014, pukul 22.59

35

(18)

Istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. child abuse dapat diartikan sebagai:36

Barker kemudian mendefinisikan child abuse, yaitu :

“Intentional acts that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at a child’s basic needs”

(Kekerasan terhadap anak adalah perbuataan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).

37

(Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan pernamen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak).

“The recurrent infliction of physical or emotional injury on a dependent minor, through intentional beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicule and degradation, or sexual abuse, usually commited by parents or others in charge of the child’s care”

38

Secara teoritis, anak-anak yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami penganiayaan yaitu:39

- Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya meliputi anak-anak hiperaktif sampai gangguan perkembangan; - Anak yang tidak dikehendaki;

- Lahir muda/prematur;

- Penderita penyakit kronis atau lama masuk rumah sakit; - Retardasi mental;

- Lahir cacat;

36 Ibid.

mengutip Gelles, Ricard J., “Child Abuse”, Dalam Encyclopedia Article from Encarta.

37 Ibid.

mengutip Robert L Barker, The Social Work Dictionary, (Maryland Silver Spring: National Association of Social Workers, 1987), hal 23.

38Ibid. 39

(19)

- Gangguan tingkah laku atau kenakalan;

- Anak-anak yang diasuh oleh keluarga yang bermasalah. 3. Tindak Pidana Pembunuhan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu

pembunuhan.40

Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan

meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus

ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.41

Kiranya sudah jelas bahwa tidak dikehendaki oleh undang-undang itu sebenarnya ialah kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain. Akibatnya yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang seperti itu di dalam doktrin juga disebut sebagai constitutief-gevolg atau sebagai akibat konstitutif.42

Tindak pidana pembunuhan berdasarkan uraian di atas itu merupakan suatu delik materiil atau suatu meterieel delict ataupun yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai suatu delict met materiele omschrijving yang artinya delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sebagimana dimaksud diatas43

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengemukakan bahwa “Membunuh artinya membuat supaya mati, menghilangkan nyawa, sedangkan pembunuhan

.

40

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Hal. 1

41Ibid. 42Ibid.

43

(20)

berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh”. Dengan demikian, orang belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya orang lain itu sendiri belum timbul. 44

Mengenai opzet dari seorang pelaku yang harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain, yakni agar tindakannya itu dapat disebut

sebagai suatu pembunuhan sebagaimana yang dimaksud di atas, Prof. Simons berpendapat, bahwa apakah pada seorang pelaku itu terdapat opzet seperti itu atau tidak, hal mana masih digantungkan pada kenyataan, yakni apakah orang

dapat menerima adanya lembaga voorwardelijk opzet atau tidak.45

Melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, segera dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang itu dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.46

Tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, dapat dibagi beberapa jenis, yaitu:47

a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338)

44 Ibid.

mengutip W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka, 2006), hal 194.

45

Ibid. hal. 2, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 202

46Ibid.

hal. 11

47

(21)

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.

Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b. Pembunuhan dengan Pemberatan

Pembunuhan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 339 KUHP. Pasal 339

Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

c. Pembunuhan Berencana

Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

(22)

direncanakan lebih dahulu yang telah disebutnya moord. Doodslag diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord diatur dalam Pasal 340 KUHP.48

Memorie van toelichting (MvT) mendefinisikan bahwa pidana pada

umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil).49

Menurut pengertian lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur – unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende

bestandelen).50

48

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, hal. 13

49

Denico Doly, loc.cit.

50

Ibid.

Ditinjau dari rumusan-rumusannya ataupun ditinjau dari penempatannya dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP, yakni dalam hal undang-undang telah tidak menyatakan secara tegas bahwa unsur opzet itu juga harus dipandang sebagai telah disyaratkan bagi suatu tindak pidana pembunuhan yang telah disebutkan di atas itu, undang-undang telah mensyaratkan adanya unsur opzet atau unsur kesengajaan pada diri pelakunya. Artinya para pelaku itu harus

(23)

yang tidak dikehendaki oleh undang-undang berupa hilangnya nyawa orang lain.51

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM).”

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu berupa hasil wawancara terhadap salah satu majelis hakim yang menangani perkara untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara tersebut dan data sekunder yang diperoleh dari :

51

(24)

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana kekerasan terhadap anak meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Simalungun (Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM), buku-buku karya illmiah dan beberapa sumber ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Metode Pengumpulan Data

(25)

melakukan studi lapangan dengan mewawancarai hakim Pengadilan Negeri Simalungun.

4. Analisis data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data skunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan terhadap anak. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai pengertian dari kekerasan terhadap anak, dan membahas tentang bentuk atau klasifikasi kekerasan yang di alami anak serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan terhadap anak. Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas

(26)

pidana di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan kematian serta analisis kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana pengaruh siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan minat belajar rendah terhadap hasil belajar pada Standar Kompetensi Memperbaiki Unit Kopling dan

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

RTH Kota dapat didefinisikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka ( open spaces ) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemic, introduksi)..

Hubungan jenis kelamin dengan kepuasan kerja, pada penelitian ini dapat dinyatakan tidak ada, karena dari 7 responden laki-laki 5 responden menyatakan puas, hal ini

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Thomas Engel has taught chemistry for more than 20 years at the University of Washington, where he is currently Professor of Chemistry and Associate Chair for the Undergraduate

(1) Kesimpulan dari pengujian-pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut untuk pengujian pertama bahwa pada periode 2001-2003, fenomena day of the week

Adaptasi Model Cropsyst pada Tanaman Kedelai dalam Menghadapi Perubahan Iklim / Aminah..... Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Pengutipan atau memperbanyak sebagian atau