• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Budaya Organisasi Dan Pola Aliran Komunikasi Organisasi Dalam Efektivitas Komunikasi Pimpinan Dengan Karyawan (Studi Kasus PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Corporate Communications)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Budaya Organisasi Dan Pola Aliran Komunikasi Organisasi Dalam Efektivitas Komunikasi Pimpinan Dengan Karyawan (Studi Kasus PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Corporate Communications)"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli. Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.. Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP.

(2) Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(3) Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(4) Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(5) Lembar Observasi 1. Apa yang akan diobservasi? Peneliti akan melakukan observasi budaya organisasi dan pola aliran komunikasi organisasi. antara. pimpinan. dengan. karyawan. di. Divisi. Corporate. Communications PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 2. Tujuan observasi Untuk mengetahui apa saja kegiatan-kegiatan yang menjadi kebiasaan atau budaya dan lingkungan kerja yang menjadi pendukung budaya organisasi, serta bagaimana proses komunikasi antara pimpinan dengan karyawan saat bekerja sehari-hari di Divisi Corporate Communications PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 3. Siapa yang akan diobservasi? Peneliti akan melakukan observasi terhadap lingkungan kerja, seperti ruang kerja dan beberapa karyawan Divisi Corporate Communications PT Indofood Sukses Makmur Tbk., yakni 3 manajer dari Bagian dan Departemen yang berbeda serta 4 supervisor yang bekerja di bawahnya. Terdiri dari Internal Relations, Media Relations, Government Relations, dan CSR Social & Community Development. 4. Tempat observasi Kantor PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Divisi Corporate Communications Sudirman Plaza – Indofood Tower, lantai 9. 5. Waktu observasi Observasi dilakukan selama dua minggu (Senin - Rabu) mulai dari 12 Juni 2017 hingga 21 Juni 2017 pada saat jam kerja, yakni pukul 08.00 – 17.00. 6. Bagaimana melakukan observasi? Peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera yang akan mendokumentasikan sebagai bukti-bukti hasil observasi dan mencatatkan hal-hal penting yang terjadi selama observasi berlangsung.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(6) Subjek Observasi 1. Budaya Organisasi Tingkat pertama dari budaya organisasi adalah artefak yang merupakan halhal kasat mata, seperti lingkungan kerja dan kegiatan-kegiatan unik. Pada Selasa, 13 Juni 2017 pukul 16.30, yakni menjelang selesainya waktu kerja, seluruh karyawan Divisi Corporate Communications Indofood melakukan surprise terhadap salah satu karyawan yang berulangtahun, Lucy Nurtriani. Ketika kegiatan tersebut berlangsung, seluruh karyawan berhenti melakukan pekerjaannya masing-masing dan berkumpul bersama. Supervisor yang bekerja di bawahnya, Verinna Pranoto membawa kue ulang tahun yang disertai lilin ke meja kerja Lucy Nurtriani dengan iringan nyanyian lagu selamat ulang tahun oleh seluruh karyawan. Setelah kue ulang tahun diberikan kepada Lucy Nurtriani dan lilin sudah ditiup, seluruh karyawan memakan kue ulang tahun tersebut bersama-sama. Sekitar pukul 16.45, ada beberapa karyawan yang membawa kue tersebut ke meja kerja dan kembali bekerja, serta ada pula yang memakan kue tersebut sambil berbincang-bincang dengan sesama karyawan menghabiskan waktu kerja. Kemudian, di minggu kedua pada Rabu, 21 Juni 2017, peneliti melakukan observasi pukul 08.00 – 09.00 saat Rapat Month of Reviews. Meskipun rapat ini berlangsung selama satu hari penuh, yakni pukul 08.00 – 17.00, peneliti hanya diberikan kesempatan untuk melakukan observasi dengan waktu yang singkat terkait isi rapat yang membahas masalah internal perusahaan. Pembukaan rapat pada pukul 08.00 disambut oleh pimpinan Corporate Communications atau Head of Corporate Communications dengan bahasa yang cukup formal tetapi tetap dalam suasana yang cenderung santai. Suasana santai ini didukung dari tersedianya makanan ringan dan minum yang terletak di atas meja. Para karyawan juga diperkenankan untuk membawa makanan. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(7) ringan atau pun minum sendiri pada saat rapat MOR tersebut. Setelah pembukaan singkat, rapat dilanjutkan dengan presentasi dari tiap divisi diawali dengan manajer divisi tersebut. Sekitar pukul 08.50 sebelum peneliti meninggalkan ruang rapat, sesekali terlihat beberapa karyawan mengambil makanan ringan yang telah disediakan tersebut tanpa rasa sungkan. Pada Rabu, 14 Juni 2017, pukul 12.00 pada saat jam istirahat, peneliti mengambil. foto. ruang. kerja. dan. ruang. rapat. Divisi. Corporate. Communications Indofood. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu para karyawan selama bekerja. Selama kurang lebih satu jam hingga pukul 13.00, peneliti mengamati. seberapa besar ruang kerja karyawan Indofood, dan. bagaimana bentuk meja dan kursi yang ditata di ruang rapat. 2. Pola Aliran Komunikasi Organisasi Saat menjalankan observasi selama dua minggu setiap Senin – Rabu, peneliti melakukan observasi terbuka. Peneliti melakukan observasi tentang kegiatan sehari-hari yang dilakukan antara pimpinan dengan karyawan, yakni komunikasi antara kedua pihak tersebut yang terbagi dari komunikasi ke bawah dan komunikasi ke atas. Pertama, komunikasi ke bawah atau komunikasi dari pimpinan (manajer) kepada supervisor yang bekerja di bawahnya. Pada Senin,12 Juni 2017, pukul 09.00, Manajer Internal Relations, Patricia Lamidin, mendatangi meja kerja Gumilang Adiputra selaku Supervisor Internal Relations yang bekerja di bawahnya. Isi pesan yang disampaikan adalah pertanyaan mengenai persiapan acara internal, yakni Food Insight yang akan dilaksanakan pada Selasa, 13 Juni 2017. Acara internal ini memang dikelola oleh Bagian Internal Relations, dibantu dengan beberapa karyawan bagian lain dari Divisi Corporate Communications.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(8) Komunikasi ke bawah yang dilakukan oleh Patricia Lamidin menunjukan sikap yang tidak otoriter, yakni tidak menampilkan sikap kekuasaan yang dimilikinya sebagai pimpinan atau manajer dengan mendatangi meja kerja supervisor yang bekerja di bawahnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi juga terbilang santai, seperti “Eh, Gum. Gimana buat hari Rabu, udah beres semua?” Pertanyaan tersebut kemudian juga dibalas dengan bahasa yang santai oleh supervisor, “Oh, udah kok Bu. Semuanya udah oke, tinggal bahan presentasi dari pembicara aja nanti akan dikirimkan.” Komunikasi ke bawah ini berupa informasi pekerjaan dan berlangsung dengan waktu yang relatif singkat dan berakhir pada 09.15. Selain menggunakan komunikasi langsung, pada Senin, 12 Juni 2017, pukul 15.15, dan Rabu, 14 Juni 2017, pukul 10.15 serta Selasa, 20 Juni 2017 pukul 09.05, Patricia Lamidin menggunakan telepon kantor untuk menghubungi supervisor yang bekerja di bawahnya terkait informasi pekerjaan. Keseluruhan dari isi komunikasi melalui telepon tersebut terhitung kurang lebih lima menit. Pada Selasa, 13 Juni 2017, pukul 15.00, peneliti melihat bahwa Manajer Government Relations & CSR Social & Community Development, Bimantoro Panji Triadi melakukan komunikasi kepada supervisor yang bekerja di bawahnya, yaitu Santo Elman. Komunikasi dilakukan secara verbal atau langsung dengan menggunakan suara yang sedikit besar, dengan jarak meja kantor di depannya yang kurang lebih 4 meter. Komunikasi ini dilakukan secara terbuka oleh Bimantoro Panji Triadi, meskipun masih dalam waktu kerja, tidak ada rasa sungkan untuk berkomunikasi dengan Santo Elman. Sekitar pukul 09.00 pada Rabu, 14 Juni 2017, Lucy Nurtriani juga melakukan komunikasi ke bawah kepada supervisor yang bekerja di bawahya, Verinna Pranoto. Komunikasi yang dilakukan berupa memberi salam ucapan selamat pagi dan menanyakan mengenai pekerjaan pada hari tersebut. Begitu juga pada Selasa, 13 Juni 2017, sekitar pukul 17.00, Lucy Nurtriani. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(9) melakukan komunikasi kepada Verinna Pranoto dengan topik yang lebih informal, seperti “Erin belum pulang? Belum dijemput?” Pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan penggunaan bahasa yang juga santai dan informal, “Belum nih, Bu. Supir aku lama banget.” Komunikasi ini kemudian semakin menjadi informal dan membahas mengenai hal-hal yang lebih bersifat personal. Kemudian, yang kedua adalah komunikasi ke atas atau komunikasi yang dilakukan oleh karyawan atau supervisor kepada pimpinan atau manajer yang bekerja di bawahnya. Pada Senin, 12 Juni 2017, pukul 13.30, Gumilang Adiputra, Supervisor Internal Relations melakukan kepada manajer yang bekerja di atasnya, Patricia Lamidin. Komunikasi ini dilakukan dengan mendatangi meja kerja manajer tersebut, dengan bahasa yang cukup formal dan sedikit lebih serius. Komunikasi tersebut berlangsung dengan singkat dan berakhir sekitar pukul 13.40 dan Gumilang Adiputra kembali ke meja kerjanya. Selain mendatangi langsung, Gumilang Adiputra juga melakukan komunikasi dengan menggunakan telepon secara cukup sering, seperti yang terlihat pada Senin, 12 Juni 2017, pukul 11.00, Rabu, 14 Juni, pukul 16.00 serta Senin, 19 Juni 2017, pukul 15.30. Komunikasi ke atas yang dilakukannya menggunakan telepon tersebut berisi mengenai pertanyaan dan juga update untuk informasi pekerjaan. Hal tersebut dilakukan dalam waktu yang cukup singkat sekitar lima menit dengan bahasa yang cenderung formal. Lalu, Sandra Yuanita selaku Supervisor Government Relations lebih sering melakukan komunikasi kepada manajer yang bekerja di atasnya, Bimantoro Panji Triadi, secara langsung atau tatap muka dikarenakan meja kerja yang berdekatan, membelakangi meja kerja manajernya tersebut. Pada Rabu, 14 Juni 2017, pukul 15.00, Sandra Yuanita melakukan komunikasi kepada manajernya, Bimantoro Panji Triadi secara langsung tanpa. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(10) memalingkan wajah ke belakang dengan suara yang cukup keras, “Pak, Pak Bima. Emang minggu depan Bapak cuti seminggu?” Bahasa yang digunakan cenderung sangat informal dan santai. Bimantoro Panji Triadi menjawab pertanyaannya juga dengan bahasa yang informal dan santai, “Iya minggu depan, tapi cuma tiga hari nggak seminggu.” Komunikasi yang dilakukan oleh Sandra Yuanita memang hanya dalam waktu yang singkat, terpaut waktu kurang lebih lima menit. Pada Selasa, 20 Juni 2017, pukul 11.00, Verinna Pranoto selaku Supervisor Media Relations melakukan komunikasi kepada manajer yang bekerja di atasnya, yakni Lucy Nurtriani. Komunikasi yang dilakukan menjelang jam makan siang ini berupa komunikasi yang cenderung informal dan personal. Penggunaan bahasa sehari-hari yang lebih informal tersebut digunakan oleh Verinna Pranoto. Komunikasi tersebut berlangsung selama kurang lebih 30 menit secara tatap muka dengan mendatangi meja manajernya tersebut. Hasil observasi di atas menyimpulkan bahwa komunikasi ke bawah yang dilakukan oleh manajer cenderung lebih singkat dan berupa masalah pekerjaan dibandingkan dengan masalah personal atau urusan pribadi. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ke atas maupun komunikasi ke bawah cenderung banyak menggunakan bahasa yang lebih informal atau santai. Lalu, komunikasi ke atas yang dilakukan oleh supervisor cenderung lebih lama karena membutuhkan lebih banyak feedback dari manajer yang bekerja di atasnya.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(11) Foto bersama Supervisor Internal Relations, Gumilang Adiputra (12/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Foto bersama Manajer Internal Relations, Patricia Lamidin (12/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(12) Foto bersama Manajer Government Relations dan CSR Social & Community Development, Bimantoro Panji Triadi (13/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Foto bersama Supervisor Government Relations, Sandra Yuanita (14/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Foto bersama CSR Social & Community Development, Santo Elman Putra Hura (13/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(13) Foto bersama Manajer Media Relations, Lucy Nurtriani (14/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Foto bersama Supervisor Media Relations, Verinna Pranoto (14/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(14) Transkrip Wawancara. Narasumber: Patricia Lamidin Jabatan: Manajer Internal Relations Indofood WAWANCARA 1 Tempat: Ruang kerja Corporate Communications Indofood Waktu: Senin, 12 Juni 2017, pukul 10.15-11.50 Selamat pagi, Bu. Bisa memberitahukan nama, tempat tanggal lahir, jabatan, dan sudah berapa lama kerja di PT Indofood Sukses Makmur Tbk.? Pagi. Namanya Patricia Lamidin, tanggal lahirnya Jakarta, 4 Maret 1966, jabatannya Internal Relations Manager di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. dan saya sudah bekerja selama 22 tahun. Oke, Bu. Nah, saya mau nanya, Bu. Kalau menurut Schein, budaya organisasi merupakan suatu sistem makna yang dianut bersama oleh setiap anggota sehingga membedakan nilai sebuah organisasi dengan organisasi lainnya. Dengan kata lain, bisa dikatakan kalau Indofood memiliki nilai perusahaan tersendiri ya, Bu. Nah, menurut Ibu, apa saja budaya organisasi yang diterapkan oleh Indofoood dan kalau ada dalam bentuk apa saja? Bisa kasih contoh ringan atau berat. Kalau budaya Indofood, kita sih memang ada yang kita sebut dengan nama nilai atau culture, value kalau dalam bahasa inggrisnya. Jadi kita di Indofood ini, kita punya enam value, yaitu disiplin, integrity, excellence, disiplin, respect sama satu lagi unity. Ya itu, budaya perusahaan itu sebagai fondasi perusahaan atau pembentuk culture perusahaan di mana diharapkan setiap dari kita ini, dari para pekerja atau karyawan bukan diminta ya, diharapkan dapat menjadi pelaku dari value-value itu. Oke. Lalu kira-kira contoh ringan dan beratnya seperti apa ya, Bu? Ringan ya, kalau ringan sih ini semua kalau enam value ini saling berkaitan dan kalau menurutku ini sih tidak bisa dikelompokkan dalam kategori ringan karena kalau dilihat tadi kan ada value, ada integrity, respect, unity gitu. Mungkin kalau menurut saya, yang bisa dianggap yang paling bottom atau dasar itu adalah integrity. Kenapa kita sebut integrity, karena di mana pun kita berada, kita harus menunjukkan integrity kita, demikian juga ketika kita berada dalam perusahaan. Contohnya lah, katakan lah kalau integrity, ketika pertama kali masuk kerja, gitu kan ya. Ketika kita join dalam company suatu perusahaan, maka yang contohnya adalah misalnya harus datang jam kerja, datang jam 8, gitu kan. Terus ada istirahat jam 12 sampai jam 1, lalu pulang. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(15) jam 5. Nah, ketika jam 8 itu, berarti kita harus mematuhi, istilahnya, memperlihatkan lah ya, integrity-nya kita, gitu ya. Lalu kita datang jam 9, atau setengah 9 atau apa, itu di situ kan keliatan kan bahwa dia tidak mempunyai integrity. Itu sih yang dasar aja sih kalau aku lihat. Kalau yang lain kan excellence, unity, itu udah yang ke tahap berikutnya. Jadi disiplin dan integrity yang major, yang utama kalau menurut saya, bukan maksudnya ringan ya, tapi dasarnya. Lalu, Bu. Bagaimana upaya menanamkan nilai tersebut atau budaya tersebut dan bagaimana respon dari para karyawannya, Bu? Cara menilainya, kembali lagi ke individu ya, ketika individu dari karyawan masingmasing. Ketika si karyawan misalnya yang tadi saya sebutkan, baru masuk ke Indofood ya, join. Nah di situ kan harus diperlihatkan kan komitmennya dia, ketika dijelaskan dari HR gitu, dari Human Resources, personalia, bahwa nih kita punya value ini, ini, ini. Nah itu di sana, ketika join pasti kita memperlihatkan komitmen kita ketika kita mulai kerja. Oke, Bu. Lalu apakah budaya organisasi tersebut dilakukan oleh seluruh karyawan Indofood, menurut Ibu? Atau hanya berlaku di kalangan karyawan atau dengan jabatan tertentu? Oh, gak. Semua itu berlaku all, menyeluruh. Jadi ketika masuk pertama kali, gabung dengan Indofood, berarti kita harus menyesuaikan diri kita, harus menjadi melebur dalam value atau culture-nya Indofood. Oke. Menurut pandangan Ibu terhadap budaya organisasi Indofood sebagai karyawan itu seperti apa, Bu? Kalau boleh dikatakan ya, budaya organisasi itu sebetulnya seperti nafas kehidupan, seperti nafas kehidupan seseorang atau darah, gitu ya. Ketika kita, hidup, pasti kan seluruh yang mengendalikan adalah harus mempunyai kayak nafas atau darah kehidupannya itu. Jadi, tanpa value maka karyawan itu. Perusahaan tentunya ya, karyawan ke perusahaan langsung akan berdampak ke bisnis perusahaan ke visi misi perusahaan. Jadi, itu saling berkaitan dan ada relevansinya, ada targetnya. Oke, Ibu. Lalu, Bu. Ada perbedaan gak sih Bu, dari budaya organisasi Indofood yang menjadi ciri khas Indofood dengan perusahaan lain? Mungkin di tempat sebelum Ibu bekerja di Indofood. Kalau value di setiap perusahaan mereka pasti punya tapi tetap yang value-value mendasar ya. Misalnya, seperti harus unggul dalam untuk menghadapi persaingan terus harus ada disiplin, integrity, saya rasa itu sama, unity juga sama ya. Cuma kalau di Indofood, menurut saya sih yang diunggulkan adalah value innovation, kenapa kita bilang innovation, karena kita sebagai perusahaan makanan kita harus compete, harus bersaing sama perusahaan makanan lainnya. Maksudnya, kalau kita gak banyak. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(16) inovasi, gak berinovasi, maka kita akan banyak tertinggal gitu dengan perusahaan lainnya. Itu juga nanti bukan hanya bersaing aja, jadi untuk terus menerus secara berkelanjutan berinovasi, gitu. Sustain. Lalu, apakah budaya organisasi Indofood menjadikan karyawan Indofood memiliki rasa identitas sebagai bagian dari Indofood gak sih, Bu? Kalau sejauh ini sih kami belum pernah melakukan survei terkait value Indofood, seberapa penyerapannya terhadap karyawan. Tapi, bisa sebetulnya dilihat dari. Kenapa banyak karyawan Indofood yang sudah senior-senior, yang sudah umur, itu kan menunjukkan bahwa itu dia loyal terhadap perusahaan. Nah balik lagi, kenapa dia loyal, karena dia merasa memiliki Indofood, jadi bagian dari Indofood, jadi dia tuh kayak sense of belonging of Indofood, proud of Indofood, gitu. Lalu, seluruh karyawan terdiri dari individu yang berbeda-beda ya, Bu. Menurut Ibu, budaya organisasi sendiri memberikan perubahan pada diri Ibu gak? Ketika sebelum dan sesudah Ibu bekerja di Indofood, ada perubahan gitu, Bu? Ya, betul. Ketika join pertama kali di Indofood itu saya sekitar 22 tahun yang lalu, di mana saya juga masih ya dikatakanlah junior. Jadi, saya belum terlalu mendalami untuk value ini. Bukannya belum terlalu mendalami, hanya tau di luarnya dan ikutinlah. Misalnya, disiplin kerja harus ini, ini, ini, peraturan perusahaan tetap kayak maintain. Tapi lambat laun, saya juga terus belajar bagaimana saya harus menghargai setiap value perusahaan di mana saya bekerja. Nah, belajar, kenapa saya harus belajar, saya harus belajar terutama dalam hal respect, saya harus menghargai sesama, baik sesama karyawan, sesama teman, ke bawahan, ke atasan, saya tetap respect, gitu. Jadi tidak ada yang membedakan. Nah, terus juga selain respect juga saya juga tetap menjunjung tinggi untuk integritas dan untuk kesatuan, jadi team work, unity. Nah, kenapa, karena kan saya rasa kalau misalnya tanpa itu, kita gak mungkin bersatu untuk maju. Tetap harus respect pertama kuncinya, menghargai setiap orang, setiap karyawan mempunyai hak yang sama dalam memberikan ide, saran. Nah kedua, kita harus bekerjasama, sama-sama membangun Indofood, gitu sih. Terus yang ketiga, perlihatkan integritas dalam setiap aspek kerjaan yang kita lakukan.Pekerjaan dan relasi dengan sesama atasan maupun bawahan. Jadi hubungannya horizontal sama vertikal, gitu. Oke, Bu. Lalu, apakah budaya organisasi menjadi pengendali atau penentu standardisasi perusahaan Indofood gak, Bu? Iya. Sebetulnya sih kalau seperti yang tadi saya jelaskan di awal, bahwa budaya organisasi atau culture atau yang kita sebut dengan nilai-nilai perusahaan ini, sebetulnya ya memang merupakan fondasi. Ibarat kalau kita mau bangun rumah, kita harus bangun fondasi rumahnya, ya kan. Mulai dari tiang-tiang panjangnya, atau. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(17) cakar-cakar ayamnya. Nah terus kenapa, itu yang akan membentuk culture, ya kan. Yang mengarahkan setiap perilaku kita nih sebagai karyawan untuk berjalan dalam rel nya kita, dalam batasan kita, hak dan kewajiban. Hak nya kita apa, kewajiban kita apa. Nah, itu value-nya perusahaan yang harus kita. Nah itu tentunya ujung-ujungnya akan berpengaruh, pertumbuhan dan kelangsungan perusahaan. Baik, Bu. Lalu menurut Ibu, apakah budaya organisasi Indofood turut membentuk cara berkomunikasi antarkaryawan gak, Bu? Kalau menurut saya sih iya. Sangat, sangat menentukan. Ketika seseorang, dia sudah mengerti, memahami dan menjalankan value, yang value tuh ibaratnya ya, ketika kita tau ada value, kita mengenal value, kita mencoba menjalankannya. Terus akan menjadi habitual, menjadi kebiasaan dan berulang-ulang. Jadi ya, pasti. Dan ketika kita berubah pasti tutur kata kita, perbuatan, tingkah laku kita itu mencerminkan value yang membentuk cara kita bagaimana. Baik kita berhubungan maupun kita berkomunikasi dengan sesama, dengan internal sendiri atau eksternal stakeholder Indofood. Oke, Bu. Selanjutnya, Ibu sebagai manajer atau pimpinan, apakah Ibu menularkan budaya organisasi Indofood terhadap karyawan atau bawahan Ibu? Dan kalau iya, bagaimana Anda, Ibu menularkan budaya ini dalam bentuk contoh atau perilaku? Pasti. Itu kan, itu merupakan kewajiban kita sebagai, kita sebut sebagai leader atau kita sebagai tim leader dari bawahan. Kita gak sebut bawahan, kenapa, kita anggapnya sebagai tim. Jadi, yang bawahan kita itu sama-sama, kita bergandengan tangan, kita sama-sama menjadi satu tim, gitu. Nah, caranya adalah dengan cara kita menunjukkan karena kalau kita cuma ngomong doang tapi kalau tanpa perbuatan, tanpa kita tunjukin perbuatan kita, apa yang kita sudah lakukan. Sama aja bohong kan, istilahnya cuma teori atau ‘omdo’ kalau menurut kalangan kita suka bilang, gitu. Lalu, saya mau nanya juga, Bu. Dalam bentuk apa saja sih budaya organisasi Indofood yang ditularkan terhadap karyawan perusahaan? Apa Ibu langsung mempraktekan itu dan biar karyawan atau bawahan Ibu melihat atau bagaimana? Jadi gini, kita sih, menularkannya ya pasti kita memberi contoh, yang tadi seperti yang saya sudah bilang. Bahwa kita, jadi bukan cuma teori aja tapi kita memperlihatkan, kita show kepada tim kita, pada sesama kita atau bawahan kita. Terutama itu kan, bahwa, kita kasih contoh misalnya, contohnya yang paling gampang sekali ya, misalnya datang pagi lah ya atau datang tepat waktu, jam 8 misalnya. Nah, kita kasih liat terus, karena kalau misalnya kita, remind, kita tetep kita akan remind, ya kan. Tapi kalau ketika dia masih belum berubah, tentunya ada sanksi dari perusahaan kan untuk itu. Nah, kenapa kita memperlihatkan itu, dengan lihat dia. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(18) juga, karena karyawan itu sendiri tentunya udah, kalau karyawan kan udah 17 tahun, udah dewasa, dan kita gak mungkin seperti anak-anak, “Hey!” atau yang model kayak zaman dulu gitu kan, yang senior-senior. Saya dulu nih terutama yang, “Elo lo, ya!” ngomelin gitu kan, kan saya gak mau seperti itu. Saya cuma ngomong, saya kasih lihat aja, jadi kita, dia juga udah dewasa dan tau bagaimana untuk merubah diri sendiri, dan dia pasti tentu, kalau dia sudah dewasa, dia melihat contoh yang baik, tentu dia akan malu sendiri. Tapi, ya gak tau juga sih, kalau misalnya ada yang bandel atau gimana, nah itu nanti biarlah urusannya ke Human Resources yang akan menindaklanjuti, misalnya budaya perusahaan, ya. Ini, ini terkait sama budaya perusahaan untuk yang ke disiplin, nilai disiplin. Oke, Bu. Lalu, kalau boleh tahu. Bagaimana budaya organisasi Indofood membentuk Ibu sebagai pimpinan atau manajer di perusahaan ini? Kalau saya sih, kalau saya pribadi sih, saya dulu mulai dari junior, gitu. Jadi, saya istilahnya kayak learning by doing, jadi kan saya belajar dari apa yang saya lakukan. Ketika saya salah, saya akan bangkit, saya akan betulin, ya akan revisi, ya akan merubah, membetulkan, menjadi yang benar, gitu. Berusaha untuk memperbaiki. Nah terus, kalau saya juga, experience, pengalaman itu adalah guru. Guru yang sangat berarti bagi saya, kenapa, karena walaupun, jadi kita pengalaman itu baik jelek, buruk itu tetap kita anggap sebagai, jelek, baik. Tetap sebagai pengalaman yang sebagai guru kita. Yang senantiasa mengingatkan, menjadi kita bertambah matang, bertambah dewasa. Dan, untuk ujung-ujungnya nih, akhirnya memberikan hasil yang terbaik. Jadi, Ibu menerapkan budaya organisasi Indofood dan budaya organisasi itu jadi membentuk Ibu gitu ya, Bu? Awal sebelum kita join ke perusahaan, budaya atau nilai, value dari diri kita sendiri itu di mulai dari keluarga. Keluarga kita masing-masing, itu adalah pembentuk culture atau nilai kita. Ketika misalnya, seseorang nih. Dia dilahirkan, ya kan kita gak bisa memilih dilahirkan dari keluarga kaya atau miskin. Ketika dia dilahirkan dalam keluarga yang kurang mampu atau misalnya pengemis, pasti dia akan mempunyai sikap, mempunyai sifat, ya seperti itu lah maksudnya. Karena kurang sekolah karena ekonomi lemah, maka dia akan jadi urakan, berandal dan sebagainya. Tapi, ketika kita, budaya keluarga kita menganut sistem yang model disiplin, katakan lah, kalau saya dulu karena keluarga besar, jadi mama saya tuh adil. Modelnya sistemnya adil. Semua makanan dibagi rata, semua pakaian kalau beli satu beli semua, kalau gak, gak ada semua. Nah, di situ kan kita belajar disiplin, kita harus mengakui kejujuran kita, kalau kita melakukan, kita harus mengakui, melakukan yang kurang baik. Nah, sebetulnya itu adalah awal, berawal dari keluarga. Lalu, apakah adanya budaya organisasi Indofood mempengaruhi Anda dalam menentukan cara berkomunikasi dengan bawahan Ibu?. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(19) Iya sih, sebetulnya ya. Jadi, budaya oganisasi itu, memperkuat lah istilahnya, untuk cara kita berkomunikasi ini. Ketika kita, kalau kadang kita kan suka, masih dalam batas normal ya. Kadang kita misalnya, kalau kita gak punya integrity atau kita gak punya, apa ya, intinya, kayak EQ-nya kita sama IQ-nya kita harus seimbang. Ketika ada masalah dalam kantor, yang atau memicu kemarahan, kita akan berusaha untuk maksudnya bukan berusaha. Kita akan seolah-olah ikut gitu, terbawa. Tapi kita ingat lagi, bahwa kita nih dengan, kapasitas kita sebagai leader, gitu. Terus kita juga punya, kan harus tau gitu, mengimbangi IQ dan EQ-nya kita. Nah maka, ya kita harus bisa mem-balance, menyeimbangkan, antaraYa, kita mau marah cuma kita gak boleh, kita harus show our proud, bukan our proud ya sebetulnya, our, identity. Jangan seperti yangcepet tersulut kayak sumbu, sumbu pendek. Iya. Lalu, Bu, apa saja aspek budaya organisasi Indofood yang membentuk ciri khas Ibu sebagai pimpinan atau manajer perusahaan? Kalau saya pribadi sih, saya lebih menjunjung tinggi integrity. Integrity, disiplin. Respect udah pasti. Tapi, eh… Di akhirnya adalah saya pengen berkontribusi, baik terhadap perusahaan dengan cara memperlihatkan hasil karya saya yang maksimal, yang menunjukkan excellence. Bahwa diusahakan dalam setiap karya saya itu, yang tanpa cacat atau tanpa kekurangan. Intinya gitu… Oke, Bu. Lalu, saya akan berbicara tentang aliran komunikasi organisasi ke bawah ya, Bu. Nah, Ibu sebagai pimpinan atau Manajer pasti berkomunikasi dengan bawahan Ibu selama proses kerja. Hal ini dapat berupa instruksi tugas untuk dilaksanakan oleh bawahan Ibu. Bisa diceritakan gak, Bu, kira-kira bagaimana cara Ibu berkomunikasi dengan bawahan Ibu sehari-hari? Kalau saya sih, berkomunikasi dengan bawahan itu, kalau saya penganut yang bukannya memerintah. Tapi, layaknya, “Yuk!” maksudnya kita bersama, “Yuk, kita kerjakan.” Jadi, kita bersama-sama sebagai tim, maksudnya bukan “Eh, lo harus kerjain ini, ya! Lo harus gini, ya!” Tapi, kalau misalnya dia salah juga, kita mengarahkan “Bukan seperti ini tapi sebaiknya akan seperti ini…” Jadi kita bukan aliran, bukan aliran yang apa ya, kalau yang senior-senior saya dulu tuh, aliran, bukan aliran keras, tegas. Maksudnya, kita gak mau seperti yang dianggapnya sebagai ‘bad man’, gitu yang orang atasan yang, leader yang jelek gitu maksudnya… Lalu bagaimana Ibu memaknai komunikasi dengan bawahan Ibu? Kalau saya sih memaknai komunikasi dengan bawahan itu.Nah, kalau seperti kita ketahui, kalau komunikasi adalah hubungan dua arah, gitu kan. Jadi, apa yang, jadi masing-masing ada yang ditanya, ada yang menjawab, atau ada sekedar cuma, kita tukar pendapat. Nah, memaknai komunikasi itu, kalau saya sih, harus sesering mungkin. Jadi, dengan komunikasi itu harus sesering mungkin. Ya, maksudnya jangan rewel, bukannya bawel tapi masih dalam batas-batas pekerjaan yang memang. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(20) patut atau layak untuk ditanyakan, di-communicate, gitu. Bukan yang ‘ngegosip’ atau menjelekkan, seperti itu sih. Dan saya menganggap komunikasi itu adalah tools atau channel untuk, menunjang, pekerjaan. Baik, Bu. Lalu menurut Ibu, apakah tujuan komunikasi yang dilakukan oleh Ibu dengan bawahan Ibu? Misalkan, tujuan komunikasinya agar tugas yang diberikan dapat dilaksanakan dengan baik atau begitu, Bu? Tujuan komunikasi itu adalah supaya kita tahu arah, arah dan apa yang akan kita diskusikan bersama. Kalau, jadi ada si penanya, ada si penjawab. Jika saya perlu dengan bawahan, maka saya akan nanya. Demikian juga dengan dia akan memberikan jawaban. Nah, ketika saya perlu untuk sharing, kita akan mendiskusikan atau solve the problem atau masalah yang timbul. Maka kita akan sama-sama berkomunikasi, adalah tujuannya itu. Ujung-ujungnya tetap sih, ujung-ujungnya ya untuk pekerjaan, untuk hasil yang maksimal, untuk kontribusi kepada perusahaan, untuk mencapai excellence, nilainya perusahaan. Oke. Lalu, bagaimana sikap dan perilaku Ibu ketika Ibu berkomunikasi dengan bawahan Ibu? Mungkin contohnya Ibu lebih tegas atau lebih santai? Komunikasi bisa dalam berbagai macam. Ketika saatnya yang urgent, saat yang penting maka saya akan langsung komunikasi. Ketika kita perlu yang ada data yang harus tertulis, maka saya akan, kenapa, supaya bisa ditembuskan kepada yang lain, supaya yang lain tahu, concern. Concern bahwa ada yang harus didiskusikan bersama atau sebagai for info atau reference ke Dept. Head kita misalnya, atau ke Wakadiv kami, gitu. Maka saya akan melakukan by e-mail. Supaya tau, jadi bukan saya aja yang tahu tapi yang lainnya juga tahu, statusnya, misalnya status progresnya atau ada hal-hal yang memang perlu mereka kasih input atau saran. Selain komunikasi tatap muka atau verbal, ada bentuk komunikasi lain gak Bu, dalam menyampaikan informasi atau pesan kepada bawahan Ibu? Sebetulnya tadi kan bisa ya, yang tadi tatap muka, bisa dengan e-mail, bisa juga kita kan punya communication channel yang lain nih, misalnya SameTime yang lebih cepat, yang misalnya dia kan bisa sambil telfon, bisa sambil SameTime juga, atau kalau memangnya pas lagi gak di tempat, satu di mana, kita bisa by WA (WhatsApp) atau apa gitu. Baik, Bu. Lalu, apakah komunikasi dengan bawahan Ibu hanya sebatas soal pekerjaan atau Ibu juga sering berkomunikasi mengenai hal-hal di luar pekerjaan selama proses kerja berlangsung? Kebetulan, saya, kita, kami lebih banyak ke soal pekerjaan. Jadi, yang dibahasnya yang ke pekerjaan. Tapi, kadang kala, ketika misalnya pas lagi break gitu, atau menjelang pulang atau apa, kita ada komunikasi yang sebagai pelepas atau bercanda. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(21) lah ya, gitu kan. Tapi, dalam semuanya itu dilakukan adalah dalam batas-batas, dalam koridor istilahnya, maksudnya kita juga gak mau memperlihatkan. Nanti tim kita, bukannya mau menganggap mereka menjadi kurang ajar tapi kita tetap masih dalam batasan koridor. Nah, kita sendiri juga, kita mau memperlihatkan kepada mereka bahwa maksudnya ada koridor masing-masing. Tapi, ya tapi, gak yang model kakukaku atau bagaimana begitu kan tapi tetap membaur tetap menyatu. Oke. Lalu, apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam proses komunikasi Ibu dengan bawahan Ibu? Kira-kira ada gak, Bu? Kalau pendukung sih, faktor pendukung berkomunikasi, ya mungkin yang tadi melalui channel-channel yang tadi saya sebutkan, ya misalnya bisa dengan e-mail blast, SameTime, HP, WA dan sebagainya. Tapi kalau hambatan, kalau menurut saya, hambatan sepertinya itu tergantung. Tergantung tim mengintepretasikan ya, mungkin juga bisa saya yang salah meng-communicate, atau bisa juga dia salah menerima atau persepsi. Nah, itulah hambatannya. Jadi, ketika berkomunikasi, kan memang kita harus jelaskan ya, harus clear, jelas, singkat, padat. Oke. Lalu, Bu. Bagaimana cara Ibu meminimalisir hambatan yang tadi Ibu bilang, ketika berkomunikasi dengan bawahan Ibu? Kan, kalau tadi Ibu bilang beda interpretasi, kira-kira Ibu cara meminimalisirnya seperti apa? Eh, paling gini. Paling saya re-confirm. Lebih memperjelas lagi. Jadi, apa yang sudah saya sampaikan saya perjelas lagi dan kita sepakati bersama dan jalan. Baik, Bu. Lalu, apakah Ibu mengelola waktu Ibu sebagai pimpinan atau manajer untuk berkomunikasi dengan bawahan Ibu? Misalkan, setiap pagi Ibu meninggalkan pesan gitu di meja bawahan Ibu atau gak ada waktu tertentu? Gak sih, saya sih jarang sekali untuk menaruh notes kecuali yang pekerjaan, ya kamu pernah tahu kan, kalau Media Indofood ada revisi-revisi gitu, paling notes-notes revisi. Tapi kalau untuk pekerjaan lain, saya jarang pakai notes. Kadang kita kan udah zaman serba simple ini, jadi kita by WA (WhatsApp) yang secara tidak formal, kita melakukan seperti itu. Jadi, sebetulnya kita tuh gak ada gap, gak ada gap antara atasan-bawahan. Tapi kita sebagai tim, gitu. Jadi komunikasinya kapan aja ya, Bu? Gak ada jadwal tertentu gitu, ya? Kapan aja. Iya, kapan aja. Jadi ketika saya mau communicate sama tim, maka malam pun tetap saya lakukan. Demikian juga mereka, misalnya mau cuti mendadak, dengan gampangnya mereka “Saya cuti besok ya, mendadak…” “Oh, yaudah” Gitu. Oh, iya… Lalu… Ada batasan gak sih, Bu? Atau aturan tertentu yang Ibu terapin ke bawahan Ibu dalam berkomunikasi?. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(22) Hm… Kalau saya sih, dalam komunikasi dengan bawahan, ketika kita melihat tim kita nih ya atau bawahan kita, kita kan juga tahu kan, dia berkomunikasi, misalnya dengan orang lain masih dalam batasan normal atau tidak. Tapi kalau masih dalam batasan wajar, ya… Boleh-boleh aja, gitu. Tapi kalau misalnya ada sesuatu yang ini, maka dengan, sesuatu yang kurang gitu, kurang… Eh, karena saya kan juga, kita mau dihargai orang, maka kita juga harus menghargai orang, saya punya prinsip seperti itu. Jadi, demikian juga kalau tim saya melakukan hal-hal yang tidak atau belum menghargai orang, maka saya, eh… Akan mencoba untuk mengingatkan, gitu… Baik, Bu… Menurut Ibu sebagai pimpinan, gimana sih Bu komunikasi yang efektif terhadap bawahan Ibu? Eh, kalau menurut saya sih, komunikasi efektif seperti yang tadi sudah saya jelaskan. Di zaman yang serba modern ini, serba era udah teknologi yang canggih, maka komunikasi gak mesti harus yang, hm… Bertemu atau harus surat menyurat atau pakai notes atau apa… Di mana pun, di… Kapan pun, tetap bisa kita lakukan, gitu kan komunikasinya. Jadi… Ya, tapi kita juga dalam batasan yang tidak teriak-teriak manggilnya kayak manggil apa gitu, misalnya… Nah, tapi itu, eh… Jadi kita lebih, lebih fleksibel ya, melakukan komunikasi, gitu. Baik, Bu. Lalu, eh… Apakah Anda melakukan hal-hal tertentu yang jadi ciri khas Ibu sebagai pimpinan atau manajer selama proses komunikasi dengan bawahan Ibu gak? Misalkan, ciri khas Ibu selalu straight to the point, gitu. Jadi saya memang yang gak mau muter-muter ngomongnya, tapi saya langsung, gitu... Dan gak yang bertele-tele lah intinya gitu. Maunya yang langsung, supaya bisa cepat diselesaikan, gitu… Oh, iya. Baik, Bu. Kira-kira bisa diceritakan gak Bu, bagaimana komunikasi dengan bawahan Ibu, cenderung bersifat netral, positif atau negatif? Hm, kalau komunikasi, kalau kita sih netral aja ya. Maksudnya, biasa aja gitu kan, yang kalau memang yang kaitannya ke pekerjaan, ya kita ngomong sesuai yang harus kita diskusikan. Tapi kalau ketika saat sedang, ya itu yang tadi saat break misalnya, kita bisa bercanda tapi yang, maksudnya bukan yang negatif kayak gimana lah, bercanda kan ya iseng-isengan, kayak gitu kan. Cenderung netral, sih… Tanpa, eh… tanpa maksud menjatuhkan dia, gitu. Atau menjelekkannya, gitu. Hm, iya… Lalu, apakah sebagai pimpinan Ibu memberikan kebebasan berpendapat atau bertukar pikiran dengan bawahan Ibu? Oh, ya pasti… Karena saya maunya, setiap orang kan, yang tadi saya bilang, setiap orang kan mempunyai hak kan sebagai manusia, ya kan. Dia punya hak untuk mengutarakan pendapat, gitu kan. Apapun dapat kita terima, eh maksudnya kita bukan terima aja, bukan kita telan aja. Tapi kita menerimanya pendapat itu, baik. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(23) bagus atau tidak, dan kita anggap misalnya saya kasih contoh aja nih, konkretnya. Ketika kita dalam mendiskusikan suatu masalah. Jadi ada tim beberapa, mereka kasih pendapat, maka kita akan anggap pendapat-pendapat mereka itu, kita bahas bersama, mana yang bagus. Nah, yang bagus itu nanti kita akan spesifikin lagi. Misalnya, lima pendapat, maka kita akan kerucutkan lagi menjadi kecil. Nah, itu yang akan menjadi titik akhirnya. Oh, iya, better kita begini, kita sempurnakan bersama. Jadi setiap orang punya, punya usulan, punya pendapat. Jadi bukan yang “Ngga, menurut saya gini!” Saya tuh jarang seperti itu, kalau memang menurut mereka bagus, dan itu memang kalau saya melihatnya juga bagus. Ya udah, kenapa gak. Gak, jangan sebagai “Ya, harus gini. Harus A, harus B!” gitu, gak sih… Baik, Bu. Eh… Lalu, menurut Ibu, apakah pesan atau informasi yang Ibu berikan itu dapat disampaikan dengan tepat sehingga dapat dipahami oleh bawahan Ibu? Hm… Sejauh ini sih, sejauh ini sih mereka, kita jarang miss-comm, ya. Jadi selama ini, eh… Good aja sih. Baik-baik aja… Baik, Bu.Eh, lalu apakah bawahan Ibu memberikan feedback atau respon seperti yang diharapan Ibu? Jika tidak atau iya, bisa diberikan alasannya ya, Bu. Hm… Sebetulnya sih ya, mungkin… Mereka kan akan memberikan respon, tapi mungkin aja, eh… Misalnya usulan yang saya nih, belum sesuai dengan mereka, maka mereka akan memberikan, eh… Memberikan usulan. Tapi, tentunya setelah saya mempelajari lagi, dengan logika gitu kan, oh ya memang benar. Maka, ya kita, maksudnya sih ya kita terima aja sih feedback-feedback mereka itu, gitu… Baik, Bu. Yang terakhir nih, Bu. Apakah Ibu memberikan penghargaan atau reward atas keberhasilan atau pencapaian kerja bawahan Ibu, gitu? Jadi gini. Kalau untuk hasil kerja, di Indofood ini kita ada setiap tahun itu, kita penilaian namanya… Sebelum mencapai penilaian itu kan di awal tahun kita setting KPI (Key Performance Indicators), apa aja program kerja yang harus dijalankan selama satu tahun. Nah, di akhir tahun ini, yang tadi saya sebut itu, bahwa kita menilai, apa saja yang sudah dikerjakan selama satu tahun itu, sesuai gak dengan, karena kan ketika kita put atau ketika kita taruh program kerja itu dan ada targetnya… Ketika tidak tercapai, maka itu kan tentu berpengaruh terhadap penilaian yang tadi, di akhir tahun itu… Nah, penilaian-penilaian itu, kita akan setting bersama, jadi si karyawan itu, eh… Menaruh sendiri dulu, terus nanti kita ada proses, jadi itu ada tahapannya, jadi ada prosesnya, kan. Udah, setelah dia taruh, maka kita adakan coaching, kita tentukan bersama nilainya itu. Kalau menurut saya nih, mungkin, mungkin aja dia menaruh cuma nilainya biasa aja atau sedang, tapi kalau menurut saya, saya suka dengan hasil kerjanya dia, maka dengan tanpa ragu saya akan. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(24) menambahkan. Tentunya kan kalau karyawan kan senang kalau ditambahkan. Demikian juga kalau ketika karyawan taruh tinggi, tapi kenyataan, actual-nya ngga, ya pasti akan kita sesuaikan lagi dengan kita memberi alasan, kenapa kita taruh, kita beri angka ini… Dan sekarang ini, tahun ini kita udah punya program atau sistem yang online. Jadi langsung, ketika kita, jadi ada atasan 1 atasan 2, sampai ke paling tinggi, gitu kan. Nah, jadi ketika atasan 1 menilai, melihat ada feedback gitu, nanti ada final-nya atasan 2 bisa melihat dan ikut mengini (menilai) juga, seperti itu… Mungkin selain itu, kalau apresiasi pada karyawan, paling kita makan barenglah, gitu misalnya… Tapi itu, gak mesti, maksudnya bukan suatu keharusan yang ini, gitu… Misalnya di akhir tahun, di awal tahun, kita menutup tahun atau memulai tahun baru, kita barengan makan, gitu. Untuk setting-setting goals ke depannya supaya lebih bagus, lebih terarah, sesuai target, gitu… Baik, Bu. Kalau gitu terima kasih banyak Bu Pat atas waktunya. Oke, sama-sama… Semoga bisa membantu ya dalam proses kamu membuat skripsi. Amin, makasih ya, Bu…. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(25) WAWANCARA 2 Tempat: Ruang kerja Corporate Communications Indofood Waktu: Jumat, 7 Juli 2017, pukul 15.00-15.35 Kemarin kita membicarakan budaya organisasi ya, Bu. Budaya sendiri merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi suatu budaya dalam organisasi atau perusahaan. Nah, apa saja hal-hal yang mencerminkan budaya organisasi di CorpComm Indofood? Hm, kalau kebiasaan yang di CorpComm lakukan biasanya handling, contoh konkretnya adalah internal event. Misalnya baru selesai kemarin nih buka puasa bersama dan Halal Bi Halal, kita lakukan hampir di-support oleh semua anggota CorpComm, terutama yang muslim, agama Islam. Jadi, teamwork yang dianut di CorpComm ini. Kalau biasanya sih ulang tahun, kita biasanya makan bersama sih. Terutama kalau pimpinan kita ulang tahun, pasti kita makan bareng. Terus kalau akhir tahun kita biasanya juga makan-makan, gitu. Lalu, kemarin ada 6 corporate values di Indofood. Bisa dijelaskan apa makna di setiap corporate values tersebut? Makna disiplin ya sebenernya kalau disiplin adalah suatu aturan yang harus kita ikutin, jadi kita ada di dalam koridor aturan yang sudah ditentukan oleh perusahaan. Contohnya, ya kita datang harus jam 8 masuk, ada jam istirahat dari jam 12 sampai jam 1, gitu. Jadi, disiplin itu adalah satu habit yang akan menjadi culture, seperti itu. Kalau integrity sih lebih ke kejujuran sih. Misalnya kerja, kita gak harus diawasin, ya ada atau tidak ada atasan kita, kita tetap profesional kerja, tetap bekerja. Bukan ketika kita gak ada pimpinan kita, kita nyantai-nyantai duduk, atau kita datang siang dan sebagainya. Di situ integrity kita yang kita harus memperlihatkannya. Lalu, contoh kejujuran dalam hal lain lagi adalah, misalnya ketika, kita kalau ada kegiatan. Kita CorpComm biasanya banyak kegiatan yang dilakukan. Ya, kita berhubungan sama pihak ketiga, ya hal-hal atau celah untuk melakukan sesuatu atau menaikan mark up gitu memungkinkan, jadi bisa di sini dituntut kejujuran dari integrity karyawan, gitu. Lalu, respect mah menghargai ya, kalau itu menghormati. Jadi, kita bukan hanya, yang pasti kita menghargai atasan, menghormati atasan, tapi kita juga menghargai sesama rekan kerja kita, ke bawahan kita, as a team bukan dia sebagai bawahan kita, nggak. Seperti itu… Unity, ya tentunya di perusahaan Indofood walaupun banyak Divisi dan Unit itu kita tetap bersatu. Eh… Apa, kalau bersatu kan istilahnya lebih kuat daripada satu, kan bisnis Indofood berbeda-beda, bermacam-macam, terus kita. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(26) dengan karyawan yang beragam, latar belakang, ras, suku bangsa, agama, kan. Untuk apa, untuk bersatu untuk kemajuan dan kejayaan Indofood lah secara berkelanjutan, gitu. Lalu excellence, nah. Kalau excellence kan sesuatu pekerjaan apapun yang kita lakukan itu kita maunya hasil yang terbaik. Demikian juga kalau berkarya, kerja, kita ingin memperlihatkan hasil yang excellence gitu, gak mau yang ketika kita sampaikan hasil, “Yah, masih salah. Yah, gak benar.” Gitu, Jadi kita maunya jangan sampai ada keluhan dari atasan kita, kerjanya gak benar gitu. Kemudian innovation, nah. Kalau di Indofood sendiri, Indofood nih tidak henti-hentinya melakukan inovasi, baik dalam product-nya. Nah, jadi sama seperti kita. Kita kerja nih bukan kerjaan yang, ya udah kita melakukan yang ini, ini aja. Tapi kita melakukan pekerjaan yang kalau bisa, kalau ada yang challenging, bisa untuk melakukan pekerjaan lain, ya kita melakukan. Kalau, eh, terkhusus untuk yang dipabrik ya, untuk yang product-product development, pasti mereka akan terus coba melakukan inovasi dalam berbagai rasa varian dalam product-nya, gitu. Oke, Bu. Kalau kemarin budaya organisasi di CorpComm Indofood itu teamwork, kekeluargaan, seperti itu. Nah, budaya organisasi ini pasti menentukan budaya komunikasi organisasi di Indofood. Lalu, bagaimana komunikasi organisasi di sini? Hm… Kalau menurut saya sih, budaya komunikasi di kita sih, kita sih gak terlalu kaku untuk berinteraksi satu dengan lainnya tapi kita tetap berjalan dalam koridor kita. Di mana, misalnya kita sebagai bawahan, maka kita akan tetap dalam koridor kita sebagai bawahan. Nah, walaupun kita sama-sama, ketika joking-joking gitu, kita tetap jalan, terus kita tetap masih ada respect lah terhadap atasan gitu, dan bawahan. Budaya organisasi di sini pasti memberikan pengaruh terhadap Ibu sebagai karyawan di sini. Apakah timbul asumsi dasar mengenai budaya organisasi di sini? Kalau bagi saya sih, eh… Dengan berkarya di Indofood, jadi saya banyak belajar sih. Bukan hanya belajar satu hal tapi kita bisa banyak ke yang lain. Tempat pembelajaran, tempat menambah experience, gitu. Dan kita juga gak jemu-jemu untuk itu ya, bukan jadi suatu beban untuk expand kita punya, tapi kita mau majumaju dan maju lagi, gitu. Nah, lalu Bu, apa aja sih yang membentuk budaya komunikasi di CorpComm Indofood sendiri?. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(27) Hm… Sebetulnya sih lebih ke leader ya. Jadi, ketika ada sinyal-sinyal dari leader yang secara tidak langsung memberi kode seperti itu. Maka ya, kan beda dari yang dulu, ketika leader-nya cenderung kaku dan lebih bukan birokrasi ya, lebih otoriter gitu, maka akan seperti gitu. Lalu Bu, apa saja bentuk komunikasi ke bawah yang biasanya Ibu lakukan ke karyawan yang menjadi bawahan Ibu? Hm… Kalau saya sih lebih cenderung ke arahan ya, kalau instruksi kerja kan memang sudah dicanangkan dalam KPI yang sudah kita rencanakan di awal tahun. Jadi, ketika dia perlu arahan supaya jalan dalam, dia udah bagus nih tapi dia perlu jalan dalam arahan dan masih belum sesuai track-nya, maka kita akan arahkan supaya mencapai target. Saya lebih beragam sih, arahan iya, info juga, kadang suka ada kerjaan yang terlupa akan saya ingatkan lagi, reminder gitu ya. Lalu, biasanya komunikasi ke bawah yang Ibu lakukan itu langsung atau tidak langsung? Saya sih langsung, jadi gak yang lama gitu. Saya maunya yang cepat jadi langsung dikerjakan, gitu. Lalu, Ibu sering menggunakan media komunikasi seperti telfon, intranet SameTime atau mungkin e-mail gitu, Bu? Hm… Saya lebih banyak datang langsung ke yang bersangkutan. Nah, kalau memang kerjaannya masih jauh dari deadline lewat e-mail. Khawatirnya, dia gak baca e-mail jadi saya lebih suka langsung datengin. Tapi kebanyakan saya langsung, langsung mendatangi. Kalau lewat telfon, apa bedanya dengan komunikasi langsung? Kalau lewat telfon sih untuk yang segera ditindaklanjuti, atau ketika juga lagi hectic, daripada aku harus jalan agak jauh, ya mending kita telfon aja. Ya sama sih, memberikan arahan, kita berikan pekerjaannya, seperti itu. Campur juga sih tapi, kadang ada reminder, ada kayak instruksinya kayak, “Tolong ya dikerjakan…” Gitu. Pokoknya mix dari reminder sama yang harus dilakukan. Lalu kalau e-mail apa bedanya, Bu? Kalau e-mail lebih ke… Formal, lebih ke instruksi, “Ini permohonan dari ini nih, tolong ditindaklanjuti.” Seperti itu… Kalau dari e-mail lebih menekankan. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(28) pembuktian. Misalnya, ada permohonan dari ini, nah lampirannya tuh di situ, gitu. Pokoknya lebih ke pembuktian sih, bahwa ini sudah dikirim, gitu. Oh, lalu juga misalkan by e-mail, bedanya adalah pesan berantai yang dari Divisi lain yang ditanyakan ke kita. Misalnya ada berita duka cita, kita bantu blast, gitu. Infonya pertama dari orang lain gitu, kita tindaklanjuti. Jadi sekalian ngingetin sekalian instruksi tugas. Lalu kapan saja Ibu melakukan komunikasi ke bawah dengan karyawan yang menjadi bawahan Ibu? Saya mah anytime, gak anywhere sih. Pokoknya dalam jam kerja ini, kita lakukan. Kadang juga kalau di rumah, kalau memang ada yang perlu, kita WA-WA juga kan. Jadi gak ada, anytime, anywhere lah. Lalu, apa kelebihan dari komunikasi langsung dengan menggunakan media komunikasi lainnya? Kalau saya sih lebih efektif dibandingkan dengan harus by e-mail atau telfon, kenapa, karena kalau komunikasi langsung kita bisa berinteraksi langsung. Jadi semacam, bisa tahu ekspresi muka, ekspresi benar atau tidaknya, misalnya seperti itu. Lalu, Ibu lebih memilih menggunakan media-media dalam komunikasi ke bawah tadi atau komunikasi langsung? Kalau saat ini, saya lebih suka yang langsung. Kalau tidak dalam jam kantor, akan by WA. Oke. Kalau menurut Ibu, Ibu sudah cukup terbuka belum dalam melakukan komunikasi ke bawah dengan karyawan yang menjadi bawahan Ibu? Hm… Kalau menurut aku sih terbuka sih. Karena aku gak ada layer-layer, istilahnya zaman dulu kan lebih otoriter, kasih kerjaan langsung panggil orangnya, soalnya saya pernah melakukan, “Eh, sini!”, saya malah mendatangi orangnya langsung, gitu. Kalau ada yang pakai lampiran pasti saya akan e-mail, terus saya samperin lagi, “Eh, tadi saya udah e-mail. Tolong dilakukan ya.” Gitu. Oke, Bu. Nah, lalu kalau dari bawahan Ibu sendiri, sudah cukup terbuka belum menurut Ibu? Hm… Udah sih, udah cukup terbuka. Cuma ya, menurut saya lebih ke pekerjaan sih. Tapi dia lebih juga ada koridornya juga sih, dia melakukan komunikasi masih dalam. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(29) koridor-koridornya gitu. Dia juga, kalau terhadapku sih, dia masih bercanda iya, tapi personal dia masih, kalau orang Indonesia dia masih menjunjung maner-maner-nya, gak yang, “Hey, Bu Gendut!” Gak ada sih… Lalu menurut Ibu sendiri, apakah keterbukaan dalam komunikasi ke bawah dengan bawahan Ibu mempengaruhi komunikasi tersebut? Oh, iya, mempengaruhi sih. Itu seperti yang tadi saya bilang, komunikasi efektif adalah komunikasi dua arah kan, jadi ada timbal balik, yang kita sampaikan diterima oleh penerima pesan, maka dia juga akan respon balik gitu. Ketika dia merespon balik berarti apa yang dikatakan sudah benar, gitu. Jadi kita gak kaku-kaku atau gimana gitu. Lalu Ibu lebih percaya kepada tulisan atau pesan yang tertulis? Sebetulnya sih gini, saya sih percaya, sepanjang ini saya percaya. Masih dalam trust ya. Tapi kalau lewat e-mail itu lebih trusting ya, sudah ada ininya, jadi sebenernya lebih penekanan aja, juga sebagai bukti reference buat dia, gitu. Oke, Bu, hm… Sebagai Manajer atau pimpinan, Ibu pasti memiliki tanggungjawab dalam mengarahkan karyawan yang bekerja di bawah Anda selama bekerja. Apakah Anda memiliki kepercayaan kepada karyawan Anda dalam berkomunikasi? Hm… Sejauh ini saya masih trust itu ke bawahan itu, masing-masing orang beda ya. Kalau ke Gumi, saya kasih trust-nya masih sekitar 80 gitu, jadi 20 nya masih in doubt, gitu. Eh… Mungkin aja saya masih ada keraguan dalam trust gitu. Lalu, kepercayaan menjadi faktor efektivitas dalam komunikasi ke bawah yang Ibu lakukan dengan karyawan Ibu gak? Kalau aku iya. Jadi, ketika karena dia baru, jadi kepercayaan kepada dia masih segitu, tapi kepercayaan ini kita perlu juga untuk melihat kenyataannya, gitu kan. Kalau misalnya dalam prakteknya, teorinya dia bilang iya, padahal tidak dilakukan, kita liatkan hasil kerjanya, berkurang trust terhadap dia, gitu. Pernah terjadi misscomm dalam komunikasi ke bawah terhadap bawahan Ibu gak? Hm… Pernah sih, pernah. Sebenernya bukan dibilang misscomm ya. Ketika saya melakukan, ketika saya kasih arahan mungkin dia pada saat saya minta itu mungkin dia menolak karena gak enak, maka dia pada saat itu dia cuma bilang iya-iya aja. Padahal, ketika saya menemukan satu hal, “Loh, kemarin kan saya bilangnya ini. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(30) Gum?”, “Oh, iya Bu. Lebih baik sih kayak gini.” Jadi, dia tidak menolak karena masih enggan, tapi udahannya ada sesekali dia seperti itu. Menurut saya sih ini, tapi setelahnya… Sementara ini, apa yang kita instruct dia iya-iya dulu, tapi kenyatannya nggak. Jadi, menurut Ibu, pesan yang Ibu sampaikan kepada bawahan Ibu sudah cukup dimengerti oleh mereka atau belum? Dia ngerti, cuma sesekali doang kalau menurut dia gak cocok, gak enak untuk menolaknya, baru seperti tadi. Kalau Ibu sendiri, Ibu mengerti pesan yang disampaikan oleh bawahan Ibu? Ngerti, ngerti. Cuma kadang gitu, kita trust-nya masih 80%, jadi kita belum tahu yang 20% itu kadang meleset, gitu. Selama melakukan komunikasi ke bawah apakah ada masalah psikologis yang mungkin Ibu alami, seperti bad mood, atau semacamnya? Ada sih, kalau badmood kadang kita kayak, “Ah, ya udahlah.” Komunikasinya jadi cuma e-mail doang, terus kalau misalnya dari lingkungan, kayak suasana sekarang ini nih, berisik, gitu kan. Jadi terganggu kan dalam menyampaikan informasi dan komunikasi itu. Lalu, menurut Ibu bagaimana cara mengurangi hambatan-hambatan itu? Hm… Kalau untuk lagi badmood, ini sih saya yang lebih membuang badmood itu, mengusahakan untuk membuang badmood itu. Namun, kalau kegaduhan atau ramerame kayak gini kan susah, komunikasi terganggu dengan noise-noise. Lalu, apakah Ibu pernah mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan bawahan Ibu? Hm… Pernah kali ya, bukan kayak gimana ya, misalnya ya, pekerjaan yang sudah saya jelaskan dua kali. Tapi dia belum sempet atau gak tau ya belum sempet atau gimana, belum dikerjakan, gitu. “Aduh, kok ini belum dikerjain…” Ketika saya lihat, kalau misalnya bukan pekerjaan juga, misalnya soal kehadiran. Saya juga udah bilang berapa kali, “Tolong, datang lebih awal…” Gitu. Tapi udah berapa kali, saya juga udah jadi males gitu ngomongnya, untuk mengingatkan lagi, saya pikir kan dia udah dewasa, ya gak seperti anak TK yang harus diingetin gitu-gitu kan… Tapi sementara, saya akan singgung lagi dan akan saya tegur lagi, gitu. Oh… Lalu, menurut Ibu, komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang seperti apa?. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(31) Komunikasi efektif seperti yang tadi saya bilang. Satu, bahwa jangan ada jarak, “Oh, lo bawahan gue.” Tapi kita tetap bekerja sama as a team, gitu. Kita sama-sama melakukan. Kedua, komunikasi yang dua arah, jadi kita dapat feedback gitu. Oke, Bu. Lalu, komunikasi ke bawah yang Ibu lakukan dengan bawahan Ibu sudah efektif atau belum? Sejauh ini sih masih efektif sih yang saya bilang. Apa yang kita inginkan masih dijalankan. Eh, lalu bagaimana Ibu memberikan feedback terhadap karyawan Ibu dan bagaimana sebaliknya, apakah sudah sesuai dengan harapan dan tujuan komunikasi tersebut? Eh… Mungkin masih ada pasti beberapa yang belum sesuai dengan harapan saya. Ketika saya nih sebenernya pengen yaudah lo kerjain kerjaan nih secepatnya, gitu. Kenapa, karena pasti besok ada pekerjaan lagi yang harus dituntut deadline-nya. Maksudnya, lo harus pinter-pinter time management-nya lah. Yang mana priority, yang mana yang itu. Sejauh ini saya sih, saat ini, mudah-mudahan, masih bisa bertahan dalam kemarahan saya. Karena saya, dan gak pernah bentak-bentak atau gimana. Cuma saya hanya, “Nih, kalau bisa tolong deh…” Saya di setiap ini selalu menggunakan kata tolong, “Tolong diusahakan, tolong diubah, tolong…” Nah, seperti itu sih. Selama ini saya belum pernah memperlihatkan anger dari saya. Lalu, selama ini ada faktor-faktor pendukung dalam komunikasi ke bawah dengan karyawan yang menjadi bawahan Ibu gak? Ya… Sebetulnya, kalau ruang kerjanya lebih dekat, komunikasi jadi lebih efektif ya saya rasa. Karena misalnya duduk di sana tinggal, “Eh, Gum,” nah, ini berpengaruh sih ya sebenarnya dalam komunikasi sedikit banyak. Mungkin ada telfon juga jadi lebih melancarkan sih… Menurut Ibu, apakah feedback penting dalam komunikasi dengan bawahan Ibu? Penting, kalau menurut saya. Kan namanya kita sama-sama manusia, kan saya juga mau mungkin bisa salah, bisa bener. Jadi, feedback-nya diharapkan gitu, supaya kita bisa evaluasi, bisa lebih baik lagi, gitu. Oke, Bu. Lalu dalam decision making, mengutamakan jabatan Ibu sebagai Manajer untuk mengambil keputusan? Hm… Sebetulnya sih kadang kala, kalau misalkan ramai-ramai, ya biasanya kita brainstrom gitu kan, ada feedback masing-masing, ada saran. Tapi, eh… Di luar itu kita juga ada langsung yang, “Bikin seperti ini deh.” Gitu.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(32) Oke, Bu. Biasanya informasi atau pesan apa saja yang Ibu dapatkan dari bawahan Ibu? Ya, kayak laporan kerja, kayak minta assitant atau support dari kita, seperti itu sih… Misalnya mereka udah terpojok dalam ini, jadi gitu. Lalu, bagaimana cara bawahan Ibu menyampaikan pesan atau informasi kepada Ibu? Hm… Beda-beda sih, ada yang langsung ini, ada yang masih dalam batas-batasnya. Kalau Ibu sendiri memberikan batasan-batasan kepada bawahan Ibu dalam berkomunikasi gak sih, Bu? Nggak, langsung aja. Mereka bisa bebas memberikan pendapat. Lalu, bagaimana kepercayaan di dalam CorpComm, apakah diperhitungkan dan diterapkan dalam komunikasi satu sama lain?. cukup. Hm… Kalau secara general sih, kan kita gak semua berinteraksi dengan semuanya. Kalau sebatas teman yang netral-netral aja. Kepercayaan adalah dasar dari segala sesuatu, baik dari pertemanan atau profesional, kalau orang udah percaya akan ada trust, ada kepercayaan terus. Namun, ketika itu sirna, maka ya susah ya, “Ah males deh, gak mau deh karena orangnya gini, gini,” gitu. Lalu, di setiap tingkatan apakah decision making style di sini lebih kolektif hasil diskusi atau lebih individual dari pimpinan saja? Hm… Lebih banyak yang itu sih, yang kolektif. Hm… Lalu, mengenai esensi kejujuran, bagaimana CorpComm memaknai esensi kejujuran itu sendiri? Jadi, kejujuran misalnya yang tadi. Misalnya ada terkait sama biaya, terkait sama event. Orang akan dituntut untuk menjadi jujur, bisa aja kan mark up atau apa, cuma kan lebih dilihat dari tingkat kejujurannya. Menurut aku, orang yang udah gak jujur, udah gak apa, akan susah, nama baik kita juga akan tercoreng gitu lah. Lalu Bu, sebagai pimpinan apakah Ibu pernah mendapatkan pesan yang tidak benar atau menjatuhkan diri Ibu, baik sengaja ataupun tidak dari bawahan Ibu? Lalu, apakah dari Ibu sendiri pernah, Bu? Hm… Ada sih, contohnya sih ada sih gini aja. Jadi bisa aja, ‘su’uzon’ atau apa, ngomongin dari belakang. Yang kita tahu sendiri dari orang lain, “Oh…” Gitu. Ya, banyakan tentang kerjaan lah. Ya, mungkin kerjaan. Paling saya cuma denger dari teman-teman kalau dia tuh bisik-bisik dari belakang, cuma gak yang langsung gitu.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(33) Hm… Iya sih, aku lebih disampaikan dari orang lain, misalnya si A nih, ngomongin kamu nih. Sebetulnya sih nggak ya, paling becandaan. Paling, “Ah, masa sih? Gak ah menurutku, iya emang iya? Gak ah emang iya?” gitu sih paling sambil becanda… Oke, Bu. Lalu, bawahan Ibu pernah gak memberikan informasi yang berlebihan? Hm… Pernah sih, tapi mengalihkan pembicaraan gitu, mengalihkan diskusi gitu. Kadang kan pekerjaan kita meluas ke mana-mana, kadang kita lari dari yang seharusnya kita omongin harus ke mana. Oke, Bu. Lalu Ibu pernah mendapatkan pesan yang ambigu atau kontrafiktif gak dari bawahan Ibu? Ya itu yang seperti saya bilang. Dia sementara bilang iya, tapi udahannya apa yang dikerjakannya beda, kadang gitu. Lalu, apakah Ibu menggunakan bahasa atau jargon tertentu dalam berkomunikasi dengan bawahan Ibu? Hm… Kalau saya sih gak musti harus terlalu formal kayak gitu, tapi ya jangan yang gimana sih. Kayak anak ngomong sama orangtua kita gitu kan. Nah, gak yang menyuruh atau gitu-gitu. Kalau bawahan, so far sih mereka masih dalam koridorkoridornya, di luar mereka kalau moody atau apa. Oke, Bu. Kalau kedekatan personal dengan bawahan Ibu bagaimana? Apakah kedekatan tersebut berpengaruh dalam komunikasi antara Ibu dengan bawahan Ibu? Hm… Kalau di office kita cenderung agak kayak ini ya. tapi kalau kita WA di rumah ya lebih santai, gak kaku-kaku kayak gitu. Contohnya, kalau aku ke Yudhi yang dulu udah agak lama ya, dia lebih deket ke aku, biasanya dia nanya tentang anak-anak, aku nanya bagaimana pelayanan di gereja, gitu-gitu kan. Kalau dengan Gumi, jadi dia masih dalam koridor, masih dalam kayak itu, kayak… Ya, seperti masih jaga jarak sih, masih sungkan, segan. Sebenernya sih aku pengennya, kalau kita deketkan kita gak kaku-kaku lagi, lebih fleksibel. Aku kan udah lebih tekankan ke mereka, “So… Kalau ada apa-apa, please do not hesitate, kita discuss bersama.” Tapi kan kalau orang Asia kan, seperti itu, kalau ke atasan suka segan. Kayak aku ke GM, gitu juga. Jadi, lumayan berpengaruh, jadi kita gak kaku-kaku Kalau gitu, itu aja sih Bu. Terima kasih atas waktunya ya, Bu. Okay! Terima kasih, semoga membantu ya… Iya, makasih ya Bu.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(34) Nama: Gumilang Adiputra Jabatan: Supervisor Internal Relations Indofood WAWANCARA 1 Tempat: Ruang rapat Corporate Communications Indofood Waktu: Senin, 12 Juni 2017, pukul 15.50-16.30 Selamat sore, Kak Gumi. Eh… Bisa disebutkan nama lengkap, tempat tanggal lahir, jabatan, dan sudah berapa lama kerja di PT Indofood Sukses Makmur Tbk.? Eh… Saya Gumilang Adiputra, lahir di Bogor, 27 Oktober 1987, sekarang saya Internal Relations Supervisor. Sudah bekerja dari 4 Januari 2016, berarti sudah 18 bulan. Oke. Tentunya di sebuah perusahaan terdapat budaya organisasi ya, Kak. Nah, menurut Schein, budaya organisasi merupakan suatu sistem makna yang dianut bersama oleh setiap anggota sehingga membedakan nilai sebuah organisasi dengan organisasi lainnya. Nah, menurut Kak Gumi, apakah ada budaya organisasi yang diterapkan oleh Indofoood dan jika ada dalam bentuk apa saja? Bisa diberi contoh ringan atau berat, Kak. Ya, eh… Pastinya ada, Indofood punya itu corporate values, itu memang belum terlalu lama disusunnya, secara detail dan tertulis, dibukukan gitu ya. Itu salah satu yang membuatnya adalah Wakadiv kami, Wakadiv Corporate Communications dengan tim dari CHR (Corporate Human Resources). Nah, akhirnya terbentuklah beberapa poin-poin yang akhirnya menjadi, bisa dikatakan kayak apa ya, tuntunan bagaimana perusahaan ingin karyawannya terlihat di luar gitu, dan juga pasti di dalam. Itu ada beberapa poin, ada disiplin, ada integritas, ada respect, ada unity, ada keunggulan sama ada inovasi. Nah, hm… Contohnya, contohnya kalau dari, nih. Itu inovasi, udah pasti. Indofood tiap tahun pasti ngeluarin varian baru atau product baru, gitu. Itu, salah satu yang ingin kita tonjolkan, bahwa kita akan terus berinovasi, untuk apa, untuk memenuhi keinginan pasar, gitu product. Contoh lainnya, misalnya integrity. Tidak hanya karyawan sih, menurut saya. Kalau integrity tuh kayaknya semua orang sudah harus berintegritas, kenapa, karena dengan integritas kita bisa jadi dipercaya sama orang, apa yang kita pikirkan, apa yang kita perbuat, apa yang kita ucapkan tuh memang satu line dengan semuanya. Jadi, kita bisa dipercaya sama orang, gitu. Kalau yang lain-lainnya, ya pastilah disiplin, kemudian juga kesatuan, gitu ya. Mungkin di Indofood sendiri dengan jumlah karyawan 90 ribu, seluruh Indonesia, itu bener-bener dari sabang sampai merauke, kan. Itu bener-bener, kesatuan, gitu kan. Emang gak ada yang dibeda-bedakan, kita semua sama, gitu… Kemudian keunggulan, itu ya excellence. Ya, pasti setiap oranng kan pengen hasil kerjanya unggul, memang ingin menghasilkan sesuatu yang terbaik. Tidak hanya untuk ke perusahaan sebagai pihak yang memang menggaji kita, tetapi secara. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(35) individu itu kan menjadi hal apa ya, menjadi sesuatu yang memang memuaskan diri kita sendiri, kan. Gitu… Ya… Oke, Kak. Menurut Kak Gumi, bagaimana upaya menanamkan nilai atau budaya tersebut? Lalu, bagaimana respon dari para karyawannya, menurut Anda sendiri? Hm… Walaupun saya masih terbilang sangat baru, jika dibandingkan dengan orangorang yang mungkin sudah dari tahun awal-awal 90-an yang ada di Indofood, gitu ya. Hm… Si corporate value ini, mungkin kalau zaman dulu, saya cukup kaget sih. Ketika masuk, ketika mungkin banyak, eh… Banyak unit-unit atau divisi yang tidak tahu bahwa kita punya corporate values dan poin-poinnya apa-apa saja. Tapi itu pun tidak bisa disalahkan, karena mungkin saking besarnya dan saking banyaknya unit yang dipunyai Indofood, gitu ya. Eh… Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa, jangankan mengubah orang, jangankan mengubah sifat orang untuk menjadi sesuai dengan corporate value gitu, untuk orang tahu aja itu juga cukup butuh waktu, gitu. Karena kita punya dari ujung Barat sampai ujung Timur Indonesia, dari Utara sampai Selatan, gitu. Jadi, gak bisa secepat itu. Tapi, mungkin beberapa tahun terakhir juga sudah mulai banyak nih, gitu ya. Kita sudah mulai menyamakan persepsi kita tentang corporate value ke unit-unit. Kita sudah mulai sebar-sebarin bahwa ini loh, sebenarnya yang sudah dibukukan, yang sudah secara resmi, corporate value dari Indofood. Nah, salah satunya adalah udah mulai, dalam satu tahun, semua kegiatan internal itu mengambil tema besarnya adalah dari corporate value dan seluruh, eh… Jadi di tahun itu, seluruh kegiatan akan temanya sama. Misalnya, di tahun ini tentang inovasi, gitu. Jadi mulai dari acara, eh… 17-an, mulai dari acara keagamaan, acaraacara yang lainnya, itu akan tema besarnya inovasi, nanti baru diturunin lagi jadi sub tema masing-masing, gitu. Jadi, mulai dari hal-hal kecil lah, minimal mereka sudah mulai terbiasa mendengar “Oh, ada corporate value tentang inovasi, ada excellence, ada respect,” gitu. Jadi, dikit-dikit dimasukin gitu, kalau secara masif, ya mungkin secara masif bisa dilakukan tapi apakah itu efektif. Nah, jadinya kita mendingan dari pelan, pelan, pelan tapi itu bisa sampai ke seluruh unit yang ada di Indofood. Oh, gitu… Baik, Kak. Lalu apakah budaya organisasi tersebut dilakukan oleh seluruh karyawan Indofood? Atau hanya berlaku di kalangan karyawan dengan jabatan-jabatan tertentu saja, Kak? Ya, harapannya pasti di seluruh karyawan. Cuma itu tadi, nampaknya memang masih butuh, eh… Masih butuh ditingkatkan lagi, gitu ya. Terutama untuk, eh… Corporate Communications, memang ini Corporate Communications dan HR sebenarnya untuk dapat mentransfer ini sampai ke semuanya, gitu. Mungkin ya sekarang, eh… Mungkin di daerah di Sumatra sana, OB-nya juga belum tahu tentang corporate value, gitu… Tapi mungkin untuk level Supervisor atau Manajer sudah tahu di sana. Jadi memang sudah sampai sih ke titik-titik itu, cuma kurang tersebar lagi kayaknya.. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(36) Oh,… Oke, Kak. Lalu bagaimana pandangan Kak Gumi terhadap budaya organisasi Indofood sebagai karyawan? Eh… Ini sudah cukup jelas dan sudah cukup, eh… Detail sih menurut saya. Maksudnya sudah cukup, apa ya, dari segala aspeknya itu sudah terpagari dengan baik, gitu. Ya, itu tadi, kita mau menghubungkan ke semuanya bisa, gitu. Kalau inovasi kita bisa menghubungkan ke product, ke excellence kita bisa memperlihatkannya dengan kita ingin selalu mau menghasilkan yang terbaik, gitu. Untuk, eh… Kesatuan atau unity-nya itu bisa terlihat dari kita tidak memandang siapa, agama, suku, ras, apa pun untuk menjadi bagian dari Indofood dan lain-lain. Oke, Kak. Eh… Lalu, ada gak Kak, perbedaan dalam budaya organisasi Indofood yang menjadi ciri khas Indofood dengan perusahaan lain? Mungkin di tempat Kak Gumi bekerja sebelumnya, sebelum di Indofood. Eh, pasti ada sih. Karena setiap perusahaan pasti kan punya. Setiap perusahaan pasti punya visi dan misi, eh… Yang berbeda-beda juga. Jadi, pasti itu juga akan berpengaruh terhadap cara mereka untuk mencapai si visi dan misinya itu, gitu kan. Nah, salah satunya, gerbongnya adalah si corporate value. Jadi, pasti akan ada bedanya. Oh, gitu. Oke, Kak. Eh… Apakah budaya organisasi Indofood menjadikan karyawan Indofood memiliki rasa identitas sebagai bagian dari Indofood? Itu tujuannya. Cuma sampai sejauh mana, kita masih menuju ke sana, gitu. Karena setiap orang pasti punya, punya presentase yang berbeda-beda, melihat si corporate values ini, gitu. Tapi, tujuan kita adalah itu, diharapkan ketika keluar, gitu ya. Ketika kita ada di public, ada di masyarakat umum, dengan apa yang kita lakukan, itu bisa, eh… Memperlihatkan bahwa “Iya, dia Indofood banget!” Gitu… Dan itu tidak mudah, tidak hanya butuh 5 atau 10 tahun, itu bisa bertahun-tahun, gitu. Mungkin bisa masih 30 tahun lagi, bisa terlihat sampai seperti itu, gitu. Nah, kan seperti yang tadi Kak Gumi bilang. Individu karyawan berbeda-beda. Tapi menurut Kak Gumi sendiri, ada gak sih Kak, perubahan pada diri Kak Gumi? Sebelum dan sesudah bekerja di Indofood yang terpengaruh dari budaya organisasi? Hm… Pasti. Mungkin, bukan dipengaruhi ya, kalau dipengaruhi mungkin, bisa dilihat mungkin, karena kalau terpengaruh tuh saya belum punya sama sekali, gitu. Hm, halhal ini memang itu tadi gitu, balik lagi sebagai individu, manusia, ini adalah poinpoin positif, kan. Poin-poin yang semua orang sebenarnya harus punya, sih. Gak cuma orang-orang Indofood, gitu. Tapi dengan di sini kan itu semakin diasah, gitu. Untuk respect, mungkin ada sebagian kantor gitu ya, yang anak buahnya bisa ngebentak-bentak atasannya gitu, misalnya… Tapi kan itu tadi, respect itu kan kita. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

(37) harus ingat lagi lah, gitu. Kalaupun kita ngerasa bener tapi ada cara berkomunikasi yang baik untuk menyampaikan hal itu tanpa harus menyakiti, misalnya gitu… Jadi, adanya corporate value di Indofood, membuat semakin mengasah sih sebenernya, gitu ya. Nilai-nilai yang sebenarnya juga sudah ada di diri saya, gitu. Jadi, ini ya baguslah corporate value di Indofood. Hm, hm... Oke, Kak. Lalu, apakah budaya organisasi menjadi pengendali atau penentu standardisasi perusahaan Indofood? Ya, itu tadi, balik lagi. Karena kalau menurut saya pribadi ini adalah poin-poin positif yang memang sebenarnya tanpa harus masuk Indofood orang-orang harus punya ini… Pasti ini juga menjadi salah satu standar dong, gitu. Gak ada lah orang yang gak mau ketika ditanya, misalnya di-interview orang baru, eh tapi “Maaf, Pak. Tapi saya tuh males loh orangnya. Gak suka berinovasi. Udah gitu saya gak hormat lah sama orangtua. Kalau menurut saya itu benar, saya akan bentak-bentak!” Kan gak mungkin juga kan. Jadi, ya pasti ini akan jadi salah satu pertimbangan gitu, untuk menjadi standar di Indofood. Oke, Kak. Eh… Lalu menurut Kak Gumi, budaya organisasi Indofood itu membentuk cara berkomunikasi antarkaryawan gak sih, Kak? Harusnya. Walaupun, balik lagi. Mungkin saya kadang suka melihat gitu ya, ada sisi gini, eh… Ada sisi, ketika kok seharusnya dia tidak seperti ini, tidak berkomunikasi seperti itu, gitu. Itu tadi, kok tidak memperlihatkan respect-nya ya, gitu. Itu juga ada… Atau, orang yang ngomongnya ‘mencla-mencle’ atau orang yang gak jujur, gitu. Kok dia gak berintegritas sih… Gitu. Tapi itu balik lagi kan, gitu. Perusahaan membuat ini sebagai gerbong untuk menuju ke satu titik, si visi itu. Tapi, siapa aja kah orang yang, eh… Mau dengan sukarela naik atau siapa aja orang yang harus dipaksa dulu, gitu. Dengan kasih SP 1, SP 2, SP 3 misalnya, gitu. Jadi, hm… Ya, itu tadi, eh… Ya, pastinya akan membentuk sih. Diharapkan akan membentuk. Oke, Kak. Eh, lalu apakah sebagai karyawan, Kak Gumi mendapatkan panutan budaya organisasi Indofood dari pimpinan? Bisa diberikan contoh satu atau dua budaya organisasi yang dianut selama bekerja di Indofood ini, Kak. Ya, hm… Kebetulan di atasnya kan ada beberapa bagian, gitu ya. Ada Manajer, kemudian juga ada Kepala Departemen, dan ada GM-nya langsung, eh Wakadiv sekarang. Hm… Semua orang saya percaya, semua orang itu pasti punya hal positif yang bisa diambil. Hm… Dan semua orang juga punya hal yang tidak bagus untuk diambil. Jadi, kalau di sini, hm… Pasti ada panutan, ada saya adore someone di sini, itu pasti, gitu. Contohnya, misalnya, hm… GM saya. Saya masuk ke sini tuh emang amazed banget sama dia. Eh, dia selalu ingin berusaha, hm…. Excellence, menghasilkan sesuatu kerjaan tuh, bagus gitu. Dia ingin Divisi di bawahnya dia itu terlihat bagus dan memang bagus. So, ketika ada divisi lain yang minta bantuan dari. Peran Budaya Organisasi..., Theresia Livinka, FIKOM UMN, 2017.

Gambar

Foto bersama Supervisor Internal Relations, Gumilang Adiputra  (12/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood
Foto bersama Manajer Government Relations
Foto bersama Manajer Media Relations, Lucy Nurtriani  (14/06/17) Ruang Kerja Corporate Communications Indofood

Referensi

Dokumen terkait

Tahap pembersihan ini dilakukan untuk memisahkan biji gandum dari impurities atau benda asing yang memiliki ukuran lebih besar dari biji gandum dan tidak

Pembatasan-pembatasan perlu dilakukan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian, yaitu : (1) Penelitian dilakukan pada PT Indofood Sukses Makmur Tbk divisi

Tujuan jangka panjang yang dilakukan perusahaan untuk mempertahankan para pelanggan setia agar tetap loyal dengan produknya, antara lain dengan produk yang inovatif,

Pada jenis ini diamati apakah bahan baku yang akan digunakan untuk produksi sudah sesuai dengan standar mutu yang ditentukan atau belum.. Ketika bahan baku yang

Untuk analisa fisik, dilakukan pemeriksaan seperti ada tidaknya cacking (penggumpalan), berat brutto yang sudah sesuai dengan standar atau belum, ada tidaknya

Selain faktor stress adalah motivasi kerja, karena di dalam motivasi kinerja seorang karyawan akan baik apabila kebutuhannya untuk berprestasi (achievement),

Cacat lakban lepas pada karton di line 2 lebih besar dari line yang lain dengan hasil analisa diagram pareto, pengamatan untuk perbaikan dapat dilakukan dengan memfokuskan

terdahulu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh stres kerja dan kompensasi terhadap komitmen individu dan