BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian Analisis
“Analisis atau analisa berasal dari kata Yunani kuno analusis artinya melepaskan. Analusis terbentuk dari dua suku kata, yaitu ana artinya kembali, dan luein artinya melepas. Jika digabungkan artinya melepas kembali atau menguraikan. Kata anlusis ini diserap dalam bahasa Inggris menjadi analysis dan dalam bahasa Indonesia menjadi analisis” (Zakky:2018).
Zakky (2018) menambahkan “Arti analisis secara umum adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan maknanya”.
Menurut Satori dan Komariyah (2014:200) “Analisis adalah suatu usaha untuk mengurai suatu masalah atau fokus kajian menjadi bagian-bagian sehingga tampak dengan jelas dan karenanya bisa secara lebih terang ditangkap maknanya atau lebih dimengerti duduk perkaranya.”
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis adalah suatu usaha dalam mengamati secara detail pada suatu hal atau benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya atau menyusun komponen tersebut untuk dikaji lebih lanjut.
2. Konsep Seni Kriya
a. Pengertian Seni Kriya
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna dengan akal dan pikiran. Seiring dengan kemajuan zaman, manusia memikiran banyak hal dalam kehidupannya. Pemikiran tersebut mendorong manusia dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan fisik seperti pakaian, perabot dan lainnya maupun kebutuhan batin, seperti rasa puas.
Salah satu hasil pemikiran tersebut terwujud ke dalam suatu karya kerajinan atau karya kriya. Awalnya produk kriya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, pertanian dan lain sebagainya yang masih dibuat secara sederhana. Adanya dorongan keinginan manusia akan barang-barang yang indah membuat mereka tidak puas dengan barang yang wujudnya biasa saja. Hal ini mendorong pengrajin untuk menghasilkan karya yang tidak sekedar fungsional tetapi juga menghasilkan karya yang dapat dinikmati keindahannya.
“Kata Kriya sendiri berasal dari bahasa sansakerta yakni "Kr" yang artinya "mengerjakan" yang mana dari kata tersebut kemudian menjadi kata karya, Kriya, kerja. Dalam arti khusus pengertian seni Kriya adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau objek Dalam kamus bahasa Indonesia kata "kriya" berarti pekerjaan "kerajinan tangan". Sementara dalam bahasa Inggris Kriya berarti "Craft" yang artinya kekuatan atau energi, yang mengandung arrti lain yakni membuat sesuatu atau mengerjakan yang dikaitkan dengan keterampilah atau profesi tertentu.” (Haryono, 2012)
Seni kriya berarti sesuatu yang erat hubungannya dengan keterampilan tangan, atau kerajinan yang membutuhkan ketelitian
untuk setiap detail karya seni yang akan dihasilkan. Pada umumnya sebuah karya yang dihasilkan oleh seni kriya adalah seni pakai. Seni kriya sendiri di Indonesia sudah sangat tua sekali ada dari zaman dulu, yang mana seni kriya ini adalah yang akan menjadi cikal bakal lairnya seni rupa di Indonesia. Contoh sederhana dari seni kriya adalah, batik, relief atau ukir, keramik grafis, sulam, anyaman, cinderamata, hiasan dinding, patung, furnitur, tenun, dan lain -lain.
b. Jenis-Jenis Seni Kriya
1) Kriya tekstil merupakan kerajinan yang dibuat dari berbagai jenis kain yang dibuat dengan cara ditenun, diikat, dipres dan berbagai cara lain yang dikenal dalam pembuatan kain. Contohnya: batik, pakaian dal lain-lain,
2) Kriya kulit adalah kerajinan yang menggunakan bahan baku dari kulit yang sudah melalui proses tertentu. Contohnya: tas, sepatu, dan wayang.
3) Kriya kayu merupakan kerajinan yang menggunakan bahan dari kayu yang diproses dengan bantuan peralatan khusus seperti tatah ukir. Contohnya: mebel dan ukiran.
4) Kriya logam ialah kerajinan yang menggunakan bahan logam seperti emas, perak, dan besi.
5) Kriya keramik adalah kerajinan yang menggunakan bahan baku dari tanah liat melalui proses pembuatan dengan teknik tertentu untuk
menghasilkan benda pakai dan benda hias yang dapat dinikmati keindahannya. Contohnya: guci, vas bunga, piring dan lain-lain, 6) Kriya anyaman, kerajinan ini biasanya menggunakan bahan rotan,
atau bambu. Contohnya: dompet, keranjang, caping dan lain-lain. c. Kriya Kayu
Kriya kayu adalah salah satu jenis kriya yang dalam pembuatannya selalu menghubungkan nilai fungsional sekaligus hiasan. Kayu sangat banyak digunakan untuk membuat berbagai kerajinan seperti patung, furniture, payung geulis, topeng, wayang golek dan lain sebagainya. Seni kriya kayu ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini tidak hanya terdapat pada aspek fungsi semata tetapi berimbas pada kualitas bentuk dan bahan serta corak pada hiasannya. Pada awalnya benda yang dihasikan memiliki bentuk sederhana kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk yang beraneka ragam dan rumit. Demikian juga dengan hiasan yang semakin detail dan bervariasi.
Dalam pembutan kriya kayu terdapat dua bahan yaitu bahan pokok, dan bahan penunjang. Kayu sebagai bahan pokok seni kriya ini bermacam-macam jenisnya diantaranya kayu jati. Kayu jati termauk dalam kayu alami yang memiliki corak coklat kemudaan sampai tua kehijauan banyak pengrajin memilih kayu ini karena memiliki nilai dekoratif yang sangat indah dan menarik. Kayu mahoni juga termasuk kayu alami mempunyai sifat yang lunak dan ringan yang menjadikan
pengolahannya lebih mudah. Playwood atau kayu lapis adalah bahan kayu buatan dari beberapa lapisan finir yang ganjil, dipasang dengan arah serat bersilangan saling tegak lurus, kemudian direkatkan menjadi satu pada tekanan yang tinggi dengan perekat khusu.
Sedangkan bahan penunjang bisa menyesuaikan dengan apa yang akan dibuat seperti cat, plitur, amplas, lem, dan lain sebagainya. Payung geulis termasuk salah satu seni kriya kayu karena menggunakan kayu sebagai bahan pokoknya. Tetapi dalam kerajinan ini membutuhkan lebih dari satu bahan pokok. Bahan pokok yang digunakan dalam pembuatan payung geulis adalah kayu mahoni atau kayu lainnya sebagai gagang atau pegangan, bambu sebagai jari-jarinya atau sebagai rangka payung, dan kain atau kertas sebagai tudung atau pelindung. 3. Motif Payung Geulis Karya Utama
a. Pengertian Motif
Soedarsono dalam Salamun (2013: 7), menyatakan bahwa “Motif atau pola secara umum adalah penyebaran garis atau warna dalam bentuk ulangan tertentu, lebih lanjut pengertian pola menjadi sedikit komplek antara lain dalam hubungannya dengan pengertian simetrik. Dalam hal ini desain tidak hanya diulang menurut garis paralel, melainkan dibalik sehingga berhadap-hadapan.”
Pendapat di atas menjelaskan bahwa motif hias diperoleh dengan cara mengulang-ulang suatu motif hias yang ditempatkan secara teratur pada jarak–jarak tertentu. Penempatan motif dapat menghadap ke satu arah, dua arah atau ke semua saling berhadapan pada sebuah bidang
sehingga terlihat indah. Corak ini kemudian akan membentuk suatu motif hias yang bisa menimbulkan unsur keindahan.
Lain halnya menurut Wulandari (2011: 113) “Motif merupakan suatu dasar atau pokok dari suatu pola gambar yang merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan gambar, sehingga makna dari tanda, simbol, atau lambang dibalik motif tersebut dapat diungkap. “
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motif merupakan susunan hiasan yang warnanya mampu memberikan gambaran yang utuh serta dapat memberikan kesan indah untuk memberi hiasan yang indah, serta pemakaian motif-motif juga sering dihubungkan dengan simbol atau lambang tertentu.
b. Simbol
Kata simbol atau simbolis berasal dari bahasa Yunani Symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herususanto dalam Krisna Kurniawan, 2017:27). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, simbol atau lambang, simbolisme adalah perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide (misal sastra, seni)
Simbol bisa berarti tanda atau lambang, tanda menyatakan sesuatu hal kepada orang yang melihat atau mendengar. Tegasnya tanda yang jika dilihatkan kepada seseorang menyebabkan terbayangnya sesuatu hal tertentu dalam kesadaran orang tersebut. Sebenarnya dua definisi di atas masih dikacaukan oleh adanya dua pengertian kata, yaitu
dibedakan. Karena tanda hakekatnya merangsang subyek, si penangkap tanda untuk bertindak sesuatu, sebab simbol hanyalah menunjukkan kepada konsep.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulka bahwa Simbol dapat diartikan sama dengan lambing/tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan dan sebagainya). Misalnya warna putih adalah kesucian; gambar padi sebagi kemakmuran. Ada lagi yang mengartikan lambang sebagai isyarat, tanda, alamat, bendera lambang kemerdekaan, bunga lambang percintaan, cincin lambang pertunangan atau perkawinan.
Pengertian dari makna simbolis adalah arti yang terkandung dalam lambang atau sesuatu yang dijadikan sebagai lambang, secara khusus adalah motif Payung Geulis Kain Karya Utama.
c. Keterkaitan Motif dengan Unsur Seni Rupa dan Prinsip Seni Rupa Dalam membuat pola ragam hias apapun bentuk dasarnya, harus tetap memperhatikan unsur dan prinsip seni rupa sehingga akan menghasilkan karya yang indah dan enak dilihat. Ragam hias tidak lepas dari unsur seni rupa
1) Unsur-Unsur Seni Rupa
Unsur-unsur fisik dalam sebuah karya seni rupa pada dasarnya meliputi semua unsur fisik yang terdapat pada sebuah benda. Dengan demikian pengamatan terhadap unsur-unsur visual pada karya seni rupa ini tidak berbeda dengan pengamatan terhadap benda-benda
yang ada di sekeliling kita. Semakin baik pengenalan terhadap unsur-unsur visual ini akan semakin baik pula pengamartan seseorang terhadap segala sesuatu yang dilihatnya. Unsur-unsur seni rupa dikelompokan sebagai berikut:
a) Titik
Menurut Sanyoto (2010: 94) secara umum bahwa “Suatu bentuk disebut sebagai titik karena ukurannya yang kecil, dikatakan kecil karena objek tersebut berada pada area yang luas dan besar apabila diletakan pada area yang sempit.”
Apabila suatu titik ditarik akan menjadi suatu garis, dan titik apabila diolah secara luas akan menjadi suatu bidang. Titik mempunyai peran yang sama dengan elemen seni yang lain seperti garis dan warna. penggunaan titik biasanya pada bagian-bagian yang terkecil dalam suatu karya seni. Penggunaan titik biasanya dipakai pada bagian pohon, buah, daun, tanah dan batu-batuan.
Gambar 2.1 Unsur Seni Titik (Sumber: Saddoen, 2019)
Menurut Sanyoto (2010: 70) bahwa “Dalam seni lukis ada suatu aliran yang disebut dengan pointilis, melukis atau
menggambar dengan teknik titik-titik ini disebut dengan pointilisme.”
Suatu karya hasil susunan pecahan-pecahan kaca atau keramik yang terlihat sebagai susunan titik-titik disebut muzaik. Bisa juga membuat muzaik tiruan dengan sobekansobekan kertas pada permukaan yang mengandung lem. Kalau kita mengatur pasir, kerikil, atau batu-batu, sesungguhnya perbuatan menyusun titik-titik.
Berdasarkan urian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa titik adalah salah satu elemen dalam seni rupa yang paling kecil, dan merupakan elemen paling dasar dalam seni rupa. b) Garis (Line)
Pengertian garis menurut Iqamuddin (dalam Vindyona, Sarah Putri 2018:3) adalah
“Titik yang bergerak akan membentuk garis. Garis mempunyai panjang tanpa lebar yang mempunyai kedudukan dan arah. Garis merupakan sisi atau batas dari suatu benda, masa, warna, bidang, maupun ruang. Garis juga merupakan unsur penting dalam desain yang mempunyai arti dan melambangkan sesuatu. “
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa garis merupakan suatu bentuik memanjang yang mempunyai arah dan kedudukan serta merupakan unsur seni rupa yang memiliki makna.
Garis dapat terjadi karena titik yang bergerak dan membekaskan jejaknya pada sebuah permukaan benda. Sejak
kecil kita telah mengenal dan menggunakan garis, baik dalam bermain, menggambar maupun ketika belajar menulis dan membuat angka. Garis menjadi batas dari berbagai bentuk dan bidang. Dalam seni gambar (drawing), bentuk garis dapat segera dikenali dengan mudah karena garis dalam karya drawing bersifat aktual. Sedangkan pada karya seni lainnya seperti seni patung misalnya, garis mungkin bersifat maya yang terbentuk dari perbedaan letak dan bentuk permukaan patung tersebut. Dalam sebuah karya seni rupa garis dapat juga digunakan sebagai simbol ekspresi.
Garis tebal tegak lurus misalnya, memberi kesan kuat dan tegas, sedangkan garis tipis melengkung, memberi kesan lemah dan ringkih. Karakter garis yang dihasilkan oleh alat yang berbeda akan menghasilkan karakter yang berbeda pula. Coba bendingkan karakter garis yang dihasilkan oleh jejak spidol pada white board dan jejak kapur pada papan tulis. Karakteristik garis terdiri dari: (1) Garis Horisontal
Garis horisontal memberi karakter terkenal, damai, pasif dan kaku. Melambangkan ketenangan, kedamaian dan kemantapan.
(2) Garis Vertikal
Garis vertikal memberikan karakter keseimbangan, megah, kuat, tetapi statis, kaku. Melambangkan kestabilan/
keseimbangan, kemegahan, kekuatan, kekokohan, kejujuran dan kemashuran
(3) Garis Diagonal
Garis diagonal memberikan karakter gerakan (movement), gerak lari/meluncur, dinamik, tak seimbang, gerak gesit, lincah, kenes, menggetarkan. Melambangkan kedinamisan, kegesitan, kelincahan dan kekenesan.
(4) Garis Zig-Zag
Garis zig-zag memberi karakter gairah, semangat, bahaya, mengerikan.
(5) Garis Lengkung
Garis ini memberi karakter ringan, dinamis, kuat serta melambangkan kemegahan, kekuatan dan kedinamikaan (6) Garis Lengkung S
Garis lengkung S memberi karakter indah, dinamis, luwes. Melambangkan keindahan, kedinamisan dan keluwesan.
Gambar 2.2 Macam-macam Bentuk Garis (Sumber: Saddoen, 2019)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa garis adalah titik yang bergerak mememanjang. tanpa lebar yang mempunyai kedudukan dan arah.
c) Warna
Warna pada dasarnya merupakan kesan yang ditimbulkan akibat pantulan cahaya yang mengenai permukaan suatu benda. Pada karya seni rupa, warna dapat berwujud garis, bidang, ruang dan nada gelap terang.
Wulandari (2011:76) menyatakan bahwa “Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Dalam seni rupa, warna bisa berati pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda.”
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa warna merupakan pantulan cahaya yang berada di permukaan yang dipengaruhi oleh pigmen dan merupakan unsur yang penting sebagai salah satu elemen seni rupa.
Menurut Sanyoto (2010:108) bahwa Dalam karya seni rupa terdapat beberapa macam penggunaan warna, yaitu harmonis, heraldis dan murni.
“(1) Penggunaan warna disebut harmonis jika penerapannya sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
(2) Penggunaan warna heraldis atau simbolis adalah pengunaan warna untuk menunjukkan tanda atau simbol tertentu, seperti hitam untuk melambangkan duka cita,
merah untuk melambangkan amarah, hijau untuk melambangkan kesuburan.
(3) Penggunaan warna secara murni adalah penerapan warna yang tidak terikat pada kenyataan objek atau simbol tertentu.”
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan warna bisa dikatakan harmoni misalkan mewarnai awan dengan warna biru menggambarkan awan di pagi atau siang hari, warna merah/oranye/oren menggambarkan awan pada waktu sore/senja.
Gambar 2.3 Skema Warna
(Sumber: http://i-contcreation.blogspot.com/2012/12/teori-warna-untuk_interior, September 2019)
Kelompok warna mengacu pada lingkaran warna teori Brewster (dalam Sanyoto, 2010:109) dipaparkan sebagai berikut:
(1) Warna Primer
Warna primer adalah warna dasar yang tidak berasal dari campuran dari warna- warna lain yang tersusun atas warna merah, kuning, dan hijau
(2) Warna Sekunder
Warna sekunder merupakan hasil campuran dua warna primer dengan proporsi 1:1. Warna jingga merupakan hasil campuran merah dengan kuning.
(3) Warna Tersier
Warna tersier merupakan satu warna sekunder. Contoh, warna jingga kekuningan didapat dari pencampuran warna primer kuning dan warna sekunder jingga.
(4) Warna Netral
Warna netral adalah hasil campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1: 1: 1. Warna netral sering muncul sebagai penyeimbang warna- warna kontras di alam.
Karakter dan simbulisasi warna (bahasa rupa warna) adalah sebagai berikut
(1) Kuning : Energi dan kecerian, kejayaan, dan keindahan. (2) Jingga : Kemerdekaan, penganugrahan, kehangatan, bahaya (3) Merah : sifat nafsu primitif, marah, berani, perselisihan,
bahaya, perang, seks, kekejaman, bahaya, kesadisan. (4) Ungu : Keangkuhan, kebesaran, kekayaan.
(5) Biru : Keagunan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran, kemurahan hati, kecerdasan dan perdamaian. (6) Hijau : Kesuburan, kesetiaan, keabadian, kebangkitan,
kesegaran, kemudahan, keremajaan, keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, dan kesanggupan.
(7) Putih : Kesucian, kemurnian, kejujuran, ketulusan, kedamaian, ketentraman, kebenaran, kesopanan, keadaan tak bersalah kelembutan dan kewanitaan
(8) Hitam : Kesedihan, malapetaka, kesuraman, kemurungan, bahkan kematian, teror, kejahatan, keburukan ilmu sihir, kedurjanaan, kesalahan, kekejaman, kebusukan, dan rahasia (9) Abu-abu : Ketenangan, kebijaksanaan, mengalah, kerendahan
hati, tetapi simbul turun tahta, dan ragu-ragu. 2) Prinsip-prinsip Seni Rupa
Menurut Dosen ISI Denpasar Suparta, (2010) bahwa “Prinsip-prinsip seni rupa adalah cara penyusuan, pengaturan
unsur-unsur rupa sehingga membentuk suatu karya seni. Prinsip Seni Rupa dapat juga disebut asas seni rupa, yang menekankan prinsip desain seperti: kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan, proporsi dan keselarasan. “
Dapat disimpulkan bahwa unsur seni rupa adalah aturan yang dipakai untuk menyusun unsur-unsur seni rupa untuk menciptakan suatu karya seni.
3) Prinsip-prinsip Seni Rupa
Menurut Dosen ISI Denpasar Suparta, (2010) bahwa “Prinsip-prinsip seni rupa adalah cara penyusuan, pengaturan unsur-unsur rupa sehingga membentuk suatu karya seni. Prinsip Seni Rupa dapat juga disebut asas seni rupa, yang menekankan prinsip desain seperti: kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan, proporsi dan keselarasan. “
a) Prinsip Kesatuan
Untuk mendapatkan suatu kesan kesatuan yang lazim disebut unity memerlukan prinsip keseimbangan, irama, proporsi, penekanan dan keselarasan. Antara bagian yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh, saling mendukung dan sistematik membentuk suatu karya seni. Dalam penerapannya pada bidang karya seni rupa/kriya prinsip kesatuan menekankan pada pengaturan obyek atau
komponen obyek secara berdekatan atau penggerombolan unsur atau bagian-bagian.
b) Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot. Pada karya dua dimensi prinsip keseimbangan ditekankan pada bobot kualitatif atau bobot visual, artinya berat - ringannya obyek hanya dapat dirasakan. Pada karya tiga dimensi prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot aktual (sesungguhnya).
Keseimbangan ada dua yaitu: Simetris dan asimetris. Pencapaian keseimbangan tidak harus menempatkan obyek secara simetris atau di tengah-tengah. Keseimbangan juga dapat diperoleh antara penggerombolan dengan obyek-obyek yang berukuran kecil dengan penempatan sebuah bidang yang berukuran besar. Atau mengelompokkan beberapa obyek yang berwarna ringan (terang) dengan berwarna berat (gelap). c) Prinsip Irama
Irama dalam karya seni dapat timbul jika ada pengulangan yang teratur dari unsur yang digunakan. Irama dapat terjadi pada karya seni rupa dari adanya pengaturan unsur garis, warna, gelap-terang secara berulang-ulang. d) Prinsip Penekanan
Pada seni rupa bagian yang menarik perhatian menjadi persoalan/masalah prinsip penekanan yang lebih sering
disebut prinsip dominasi. Seperti misalnya gambar orang dewasa pada sekelompok anak kecil, warna merah di antara warna kuning. Penempatan dominasi tidak mesti di tengah-tengah, walaupun posisi tengah menunjukkan kesan stabil.
Penekan atau pusat perhatian atau juga disebut obyek suatu karya/garapan adalah karya yang dibuat berdasarkan prioritas utama. Karya yang diciptakan paling awal tersebut lebih menonjol dari berbagai segi obyek pendukungnya seperti ukuran, teknik, dan pewarnaannya. Dalam seni kriya, penciptaan suatu karya dinominasi menjadi tiga bagian, yaitu obyek ciptaan, obyek pendukung dan isian-isian.
e) Prinsip Proporsi
Proporsi adalah perbandingan antara bagian-bagian yang satu yang lainnya dengan pertimbangan seperti: besar-kecil, luas-sempit, panjang-pendek, jauh – dekat dan yang lainnya. Dalam seni rupa kriya, perbandingan ini mempertimbangkan seperti bidang gambar dengan obyeknya. Yang juga memjadi perbandingan dalam seni rupa kriya adalah skala maupun riil/aktual. Berdasarkan kondisi riil, botol lebih tinggi dari pada gelas atau piring lebih lebar dari pada mangkok. Proporsi juga digunakan untuk membedakan obyek utama (tokoh), pendukung (figuran), dan isian-isian (pendukung/latar).
f) Prinsip Keselarasan
Prinsip ini juga disebut prinsip harmoni atau keserasian. Prinsip ini timbul karena ada kesamaan, kesesuaian, dan tidak adanya pertentangan. Selain penataan bentuk, teksture, atau warna-warna yang berdekatan (analog). Kalau dalam karya ada warna-warna yang berlawanan (komplementer) harus dicarikan warna pengikat/sunggingan seperti warna putih. d. Motif Ragam Rias
“Ragam hias merupakan bentuk dasar dari hiasan, yang mana biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang terhadap suatu kerajinan ataupun dalam suatu karya seni. Ragam hias juga biasa disebut ornament, berasal dari bahasa Yunani "ornare" yang artinya hiasan atau menghias. Menghias berarti mengisi kekosongan suatu permukaan bahan dengan hiasan, sehingga permukaan yang semula kosong menjadi tidak kosong lagi karena terisi oleh hiasan. “(Giri, 2014:4).
Jadi, dapat dismpulkan bahwa ragam rias adalah hiasan yang dipakai untuk nenghiasi kekosongan pada suatu permukaan yang menjadikan suatu karya seni yang indah untuk dipandang.
Macam-macam ragam rias adalah sebagai berikut: 1) Geometris
Motif geometris sering juga disebut motif ilmu ukur. Pada dasarnya motif ini dikatakan geometris lebih disebabkan oleh cara atau teknik yang digunakan dalam pembuatan ragam hias. Pada teknik-teknik tertentu motif geometris merupakan motif yang paling mudah dibuat, misalnya teknik anyam, tenun, sulam, atau teknik lain yang selalu menggunakan pakan dan fungsi.
2) Non Geometris
a) Motif Realistis atau Natural (Alami)
Merupakan motif yang menggambarkan benda yang alami, natural dan nyata, yaitu flora/tumbuhan. Ragam hias tumbuhan, yaitu motif yang mengambarkan tumbuh-tummbuhan seperti bunga, daun, pohon, dan lain-lain yang bias juga disederhanakan bentuknya tanpa meninggalkan karaktek bentuk aslinya. Jenis motif natural jenis bunga yang dilukis di antaranya bunga kamboja dan bunga sakura.
Bunga Kamboja adalah bunga yang cantik. Kelopaknya besar memiliki aroma yang wangi. Warna bunga macam-macam, tergantung jenisnya. Tetapi umunya berwarna putih dengan bagian dalam berwarna kuning. Pohon kamboja merupakan tanaman yang tahan terhadap penyakit dan tahan terhadap perubahan cuaca. Bunga kamboja merupakan tanaman yang bisa hidup hingga ratusan tahun. Pohon kamboja bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika bagian tengah. Diduga tanaman dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda dan Portugis. Sekarang pohon kamboja ditemukan di mana-mana, yaitu di halaman rumah sebagai tanaman hias, di makam sebagai penanda, juga di pura-pura di Bali. Bunga kamboja digunakan untuk hiasan di rambut, untuk obat, juga hiasan ruangan.
Bunga sakura adalah salah satu bunga nasional negara Jepang. Berdasarkan nama, “sakura” berasal dari kata “saku”, yang memiliki arti “mekar,” sementara “ra” adalah akhiran jamak. Dari segi warna, bunga ini sangat berpengaruh dalam jenisnya. Beberapa warna bunga sakura berwarna kuning pucat, merah muda, merah terang dan hijau muda. Berdasarkan susunan kelopak Sakura dibagi menjadi beberapa kategori:
1) Bunga tunggal yang hanya memiliki satu daun
2) Bunga ganda mekar dengan beberapa lapisan mahkota 3) Bunga semi ganda
Berikut ini contoh motif realistis pada bunga kamboja dan bunga sakura.
Stalasi Bunga Kamboja
Gambar 2.4 Contoh Motif Realistis pada Bunga Kamboja dan Bunga Sakura
b) Motif Fauna/Binatang
Ragam hias fauna merupakan bentuk gambar motif yang Bunga Kamboja Asli
Bunga Kamboja Asli
ornamen sebagian besar merupakan hasil gubahan/stilirisasi, jarang berupa binatang secara natural, tapi hasil gubahan tersebut masih mudah dikenali bentuk dan jenis binatang yang digubah, dalam visualisasinya bentuk binatang terkadang hanya diambil pada bagian tertentu dan dikombinasikan dengan motif lain. Jenis binatang yang dijadikan obyek gubahan antara lain, burung, singa, ular, kera, gajah dan merak.
Gambar 2.5 Motif Fauna Kupu-kupu dan Garuda (Sumber: Giri, 2014:10)
c) Motif Ragam Hias Figuratif
Ragam hias dari bentuk dasar manusia dengan penggayaan sehingga menghasilkan motif ragam hias yang indah. Ragam hias figuratif mengacu pada inspirasi bentuk figur manusia, baik secara keselurahan atau sebagian. Seperti ragam hias topeng merupakan ragam hias figuratif yang mengacu bentuk manusia bagian wajah.
Gambar 2.6 Motif Figuratif (Sumber: Iskandar, 2017:4)
e. Pola Motif Ragam Rias
Pola-pola ragam hias menurut penempatannya sebagai berikut: 1) Pola simetris terbentuk dari susunan motif-motif ragam hias dengan
keseimbangan dan bentuk yang sama dalam susunannya.
2) Pola a-simetris terbentuk dari komposisi yang tidak berimbang, namun memiliki proporsi, komposisi dan kesatuan yang harmoni. 3) Pola ragam hias tepi. Terbentuk dari pengulangan bentuk
sebelumnya dan digunakan untuk menghias bagian tepi.
4) Pola ragam hias menyudut. membentuk pola segi tiga dan umumnya memiliki bentuk ragam hias yang berbeda dan disesuaikan dengan bentuk ragam hias yang sudah ada
5) Pola ragam hias gabungan merupakan pola ragam hias memusat bentuk coraknya berdiri sendiri dan biasanya gabungan dari beberapa ragam hias dan membentuk ragam hias baru.
6) Pola ragam hias beraturan terbentuk dari bidang dan corak yang sama yang susunan polanya merupakan pengulangan dari bentuk sebelumnya dengan ukuran yang sama.
7) Pola ragam hias tidak beraturan, pola ini lebih bervariasi karena terdiri dari beberpa motif yang berbeda dan tidak mengikuti pola proporsi dan komposisi yang seimbang
4. Payung Geulis Tasikmalaya a. Jejak Sejarah Payung
sampai akhirnya digunakan secara umum diseluruh dunia. Menurut Huang Dada (2011) bahwa:
“Jika menggunakan payung (umbrella) itu berarti sedang menggunakan ciptaan bangsa Tiongkok.Wang Mang, penguasa Dinasti Xin menggunakan payung dalam kendaraan roda empat di abad 2 M payung yang digunakan oleh Wang Mang memiliki sambungan yang dapat dibengkokkan yang memungkinkan payung itu untuk dipanjangkan dan ditarikde dari penciptaan payung ini diturunkan dari pembuatan tenda.. Payung digunakan untuk orang yang berpangkat tinggi yang digunakan saat pergi berburu. Fungsi lain adalah melindungi dari sinar matahari.”
Gambar 2.7 Penguasa Dinasti Xin Menggunakan Payung (Sumber: Dada, Huang::2012)
Tipe awal pembuatan payung terbuat dari sutera, digunakan untuk penutup dan pelindung dari cuaca seperti hujan dan terik matahari selama berabad-abad. Selain menggunakan sutera, juga menggunakan sejenis kertas minyak yang terbuat dari kulit kayu mulberry. Sebagaimana produk budaya Tiongkok yang lain, ide tentang payung dari Tiongkok itu kemudian masuk ke Korea dan Jepang. Dan masuk ke Eropa. melalui Jalur Sutera. Kemudian keberadaan payung menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Keberadaan payung di Indonesia diawali pada Masa Hindu-Buddha pada abad VIII Masehi terbukti bukan hanya tergambarkan
pada relief candi, namun juga disebutkan dalam sumber data tekstual, baik prasasti ataupun susustra lama.
“Pada masa lampau, payung bukan marupakan benda yang boleh dipunyai dan dipergunakan oleh bukan sembarang orang, melainkan untuk lapisan sosial tertentu. Dalam sumberdata prasasti, khususnya prasasti yang berisi ‘penetapam status sima (perdikan)’, diperoleh siratan informasi bahwa jenis payung tertentu yang dinamai ‘pajeng wlu (payung bulat)’, hanya boleh dikenakan oleh kalangan bangsawan atau orang tertentu diluar bangswan yang memperoleh hak-hak istimewa.” (Citralekha, 2017)
Jadi, payung jenis tertentu tidak dipakai oleh sembarang orang, hanya dipakai oleh kalangan bangsawan dan orang yang memeperoleh hak istimewa.
Gambar 2.8 Payung pada Zaman Sejarah
(Sumber: Citralekha, 2017)
Jenis payung khusus lainnya adalah payung berwarna keemasan, yang dalam Kakawin Bharattayuddha dinamai ‘pajeng mas’. Dalam sumber data prasasti maupun susastra Masa Hindu-Buddha, istilah dalam Bahasa Jawa Kuno dan Jawa Tengahan untuk penyebut payung adalah ‘pajeng’, yang kemudian vokal ‘e’ diganti dengan ‘u’ dan konsonan ‘j’ dengan ‘y’ di dalam bahasa Jawa Baru dan bahasa
Indonesia. Kata jadian ‘apajeng’ berarti: berpayung, dan ‘pinajengan’ berarti: melindungi dengan payung (memayungi).
Gambar 2.9 Bagian Utama Payung (Sumber: pusatpayunghias.com, 2019)
Payung yang terdiri atas dua bagian utama, yaitu: (a) bagian tangkai, dan (b) bagian atap yang mengembang, diilhami oleh bentuk tanaman, yaitu jamur, sebagaimana tergambar pada jenis dan bentuk jamur ‘jamur payung’. Bentuk dasar rumah pun ada yang diilhami bentuk jamur, utamanya rumah sederhana bertiang tunggal (bangunan soko tunggal), yang di dalam istilah Jawa Kuna disebut ‘patani jamur’. Bentuk bangunan demikian acap tampil di relief candi Masa Hindu-Buddha dan ukir kayu cungkup makam Islam Periode Kewalian. Bentuk payung nampaknya juga menginspirasi sebutan jenis paku yang bagian atasnya mengembang, yang dinamai ‘paku payung’, yang menyerupai paku pines namun berukuran jauh lebih besar.
Menurut Citralekha, (2017) bila dilihat dari bentuk dan bahannya, terdapat kategori:
”(1)payung kertas, dan (2) payung mutho’. Payung kertas menggunakan tangkai, poros tancap bagi jeruji-jeruji maupun kemuncak (pengunci atas) dari bahan kayu, jeruji-ketuji dari bambu, dan pelapis atap dari kertas. Bahan yang berupa kertas
inilah yang nampaknya menjadi dasar penyebutannya sebagai ‘payung kertas’. Sedangkan ‘payung mutho’ jerujinya dari logam dan pelapis atap dari kain, sehingga bila dimekarkan mampu menghasilan bentuk atap kubah (mutho).”
Payung mutho hadir lebih awal, sebagai pengaruh Payung Eropa pada Masa Kolonial. Oleh karena itu, ada cukup alasan untuk mempredkati payung kertas yang telah meniti perjalanan sejarah panjang tersebut sebagai ‘payung tradisional’. Meski hadir lebih belakangan, namun payung mutho, yang telah berabad-abad hadir di Nusantara dan telah diadaptasi dengan budaya lokal, dapat pula dipredikati ‘payung tradisional’.
Apabila payung diposisikan sebagai ‘benda praktis’, maka payung hanya dilihat sebagai barang yang hanya ‘penting sesaat’. Artinya, dipandang penting jika tengah dibutuhkan dan dipergunakan. Orang menghadapi kesulitan untuk dapat melalukan mobilitas ketika hujan sementara dirinya tidak membawa payung. Fungsi non-praksis payung tak mengenal pengaruh waktu dan musim. Misalnya, payung sebagai simbol kebesaran dimekarkan untuk menangungi singgasana, meskipun lokasinya di dalam ruang.
b. Sejarah Payung Geulis Tasikmalaya
Payung geulis masuk ke Kota Tasikmalaya dibawa oleh etnis China. Orang China membawa payung dari daerahnya dan dikenalkan kepada masyarakat Tasikmalaya. Masyarakat Tasikmalaya sangat menyukai payung yang dibawa oleh orang China tersebut. Kemudian
masyarakat Tasik-pun mengembangkannya menjadi kerajinan Tasikmalaya.
Menurut Sofyan dkk (2018:395) bahwa:
“Dalam konteks historis, payung geulis pertama kali ditemukan oleh salah seorang tokoh masyarakat wilayah Panyingkiran yang bernama H. Muhyi. H. Muhyi merupakan salah seorang yang memiliki kondisi ekonomi yang cukup memadai. Sekitar tahun 1962, H. Muhyi berpikir untuk membuat payung yang bisa digunakan ketika pergi ke ladang pada saat hujan atau panas. Pada akhirnya, H. Muhyi membuat sendiri payung yang terbuat dari bahan kertas untuk digunakan pada saat pergi ke ladang. Apa yang dilakukan oleh H. Muhyi ternyata menginspirasi warga lainnya untuk membuat payung yang sama. Hingga akhirnya, beliau memutuskan untuk menjadi perajin payung.”
Keberadaan industri kerajinan payung geulis berada di Kecamatan Indihiang khususnya di Kelurahan Panyingkiran, hampir seluruhnya merupakan pengrajin payung geulis. Payung geulis mengalami masa kejayaan pada 1975 sampai 1985. Namun masa kejayaan itu berangsur-angsur surut setelah pemerintah pada tahun 1990 menganut politik ekonomi terbuka. akibat kebijakan tersebut payung produksi luar negeri masuk ke Indonesia. Hal ini berdampak buruk pada usaha kerajinan payung geulis di Tasikmalaya. Usaha kerajinan ini mulai bersinar kembali sejak tahun 2003. Pengrajin payung geulis mulai membuka kembali usaha pembuatan payung geulis meskipun dalam jumlah kecil.
Pada awalnya pengrajin payung geulis yang terdapat di Tasikmalaya berjumlah tiga puluh dua pengrajin namun saat ini pengrajin yang masih memproduksi payung geulis hanya tujuh
pengrajin. Pengrajin terdiri dari penyulam rangka, pelukis, sampai pencetak gagang.
c. Pengertian Payung Geulis Tasikmalaya
Payung geulis terdiri dari dua kata, yaitu payung dan geulis. Payung atau umbrella dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin "umbra", yang berarti bayang-bayang. Sedangkan geulis memiliki arti elok atau molek, sehingga Payung Geulis memiliki arti payung cantik yang bernilai estetis. Payung geulis termasuk dalam kategori ‘seni kriya’. Dilihat dari bahannya payung geulis termasuk pada seni kriya kayu. Payung geulis Tasikmalaya terbuat dari kayu dan kertas bukan payung biasa yang terbuat dari besi dan plastik yang mempunyai makna estetika. Sejalan dengan pendapat Haryono (2012) bahwa
“Kriya kayu merupakan salah satu jenis seni kriya/ kerajinan yang dalam pengerjaannya selalu menggabungkan antara nilai kegunaan atau fungsi sekaligus nilai keindahan/ hias menggunakan bahan dari kayu. Tidak semua orang dapat membuat payung. Oleh karena itu, payung adalah hasil karya dari para perajin khusus dan ahli.”
Payung geulis Tasikmalaya merupakan sebuah ornamen hiasan yang menonjolkan keindahan. Salah satu sentra kerajinan payung geulis terletak di Desa Panyingkiran, Indihiang. Pada masa keemasan payung geulis hampir semua warga di daerah Panyingkiran memproduksi kerajinan yang telah ada sejak zaman Belanda.
Sofyan, et al (2018:391) menambahkan bahwa:
“Payung geulis Tasikmalaya merupakan payung yang memiliki ciri khas tersendiri di antara payung-payung yang dipasarkan di Jawa Barat, yakni payung geulis ini hanya diproduksi di
Tasikmalaya. Kerajinan tangan tradisional ini telah menyimpan nilai historis yang cukup tinggi. Secara historis, jenis payung ini pada zaman dahulu merupakan payung yang sangat diminati oleh penduduk Tasikmalaya dan sekitarnya. Kerajinan tangan tradisional ini juga merupakan satu di antara jenis kerajinan tangan yang memiliki fungsi dan nilai estetis sekaligus.”
Cara pembuatan payung geulis sendiri cukup sederhana mulai dari pembuatan rangka kayu menggunakan benang yang kemudian di pasang kertas, kain atau plastik menggunakan lem. Proses yang paling rumit adalah saat membuat rangka diperlukan keahlian khusus dalam pembuatannya dan belum cukup banyak tenaga kerja yang ahli dalam melakukannya.
Setelah selesai pembuatan rangka dan pemasangan kertas, payung geulis diberi motif untuk mempercantik terdapat dua motif yang dipakai geometris dan non geometris. Ciri dari lukisan payung geulis yang bermotif geometris adalah menonjolkan ornamen lukisan berbentuk bangun seperti garis lurus, lengkung dan patah sedangkan motif non geometris diinspirasi dari alam seperti lukisan manusia, hewan dan tanaman. Sering perkembangan dan permintaan pasar saat ini motif lukisa mulai dipadukan dan dikembangkan dengan lukisan cat minyak, batik atau bordir.
d. Fungsi Payung Geulis
Zaman Belanda payung geulis digunakan kaum bangsawan untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Kini payung geulis bagi masyarakat Tasikmalaya, merupakan salah satu warisan kultural dan sekaligus menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari. Itu artinya,
payung geulis bagi masyarakat Tasikmalaya memiliki nilai kultural, ekonomis, dan estetis.
Seiring dengan perkembangan zaman, payung geulis telah beralih fungsi dari yang semula sebagai benda yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai pelindung pada saat panas dan hujan, sekarang berubah menjadi sebuah kerajinan tangan yang dikhususkan untuk upacara adat, pernikahan, acara-acara seserehan, dan elemen hiasan di hotel, perkantoran serta rumah makan yang ada di wilayah Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya. Berikut beberapa gambar fungsi dari payung geulis.
Gambar 2.10 Fungsi Payung Geulis (Sumber: google.com, 2019)
Gambar di atas menunjukkan bahwa payung geulis dapat digunakan untuk berbagai kegiatan misalnya upacara adat pernikahan, seni tari, kegiatan Tasik Oktober Festival (TOF), dan media edukasi
para pelajar dalam melukis payung, tujuannya untuk melestarikan keberadaan payung geulis sebagai ikon KotaTasikmalaya.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis motif antara lain:
1. Hasil Penelitian Nova Juwita (2014)
Judul penelitian “Analisis Estetik Payung Geulis Tasikmalaya.” Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembuatan payung geulis Tasikmalaya ini terbagi menjadi empat tahap yaitu: 1) pembuatan bola-bola atas dan bawah, 2) pembuatan jari-jari (Rurusuk) dan Penyangga (Sangga), 3) pembuatan pegangan dan kuncung, dan 4) pembuatan payung geulis. Pada proses pembuatan paying geulis ada teknik anyam. Teknik ayam yang digunakan tidak sama dengan Teknik anyam pada umumnya. Pola anyam yang digunakan adalah pola anyam buatan pekriya payung sejak zaman dahulu yang dibuat secara turun temurun. Sedangkan untuk hiasan pada tudung payung kebanyakan berupa motif motif hias bunga. Persamaan dengan penelitian ini adalah objek penelitian yaitu payung geulis, sedangkan perbedaannya adalah tempat penelitian dan bukan analisis motif tetapi analisis estetikanya. 2. Hasil Penelitian Toifful Aman (2014)
Judul penelitian “Analisis Motif Batik Gebleg Renteng sebagai Motif Batik Khas Kabupaten Kulon Progo” Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta. Rumusan masalah adalah mengkaji latar belakang, bentuk motif, makna simbolis, arah motif, dan fungsi Batik Gebleg Renteng Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui teknik triangulasi. Analisis data menggunakan teknik model Miles dan Huberman yang melalui tiga proses yaitu proses reduksi data, proses penyajian data dan proses menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk motif Gebleg Renteng dibagi atas motif utama terdiri dari gebleg, motif logo Binangun bersayap, motif bunga kuncup dan bunga mekar. Makna simbolis Batik Gebleg Renteng adalah gambaran potensi kekayaan alam Kulon progo, nilai luhur budaya, dan doa/harapan bagi Kulon Progo agar menjadi daerah yang lebih maju. Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian yaitu analisis motif sedangkan perbedaannya adalah tempat penelitian dan objek penelitian bukan payung geulis tetapi motif batik. 3. Hasil Penelitian Pratiwi Kusumowardhani (2017)
Judul penelitaian “Identifikasi Unsur Visual Bentuk dan Warna yang Menjadi Ciri Khas Motif Ragam Hias Batik Betawi Tarogong Jakarta”. Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana unsur visual yang terdapat pada ragam hias motif batik Betawi khususnya Batik Betawi Wilayah Tarogong. Metodelogi Desain Nate Burgon & Adam Kallis diadaptasi dalam penelitian ini, yaitu konsep divergen dan konvergen, sampai menemukan detail masalah. Detail masalah yang dikembangkan dengan mengadaptasi
teori unsur visual oleh Marvin Bartel yaitu analisis unsur visual bentuk dan warna motif yang sering muncul sehingga menjadi identitas awal motif ragam hias Batik Betawi Tarogong Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dasar yang sering muncul pada Batik betawi Tarogong yang telah dianalisis dan diturunkan pada bab sebelumnya. Terdapat dua tema bentuk, yaitu tema motif ragam hias flora dan motif kreasi yang sering dimunculkan, walaupun masing-masing memiliki gambar bentuk yang berbeda satu sama lain. Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian yaitu analisis motif sedangkan perbedaannya adalah tempat penelitian dan objek penelitian bukan payung geulis tetapi motif batik.
4. Hasil Penelitian Pratiwi Kusumowardhani (2018)
Judul penelitaian “Analisis Motif Ragam Hias Batik Jawa Tengah Berbasis Unsur Visual Bentuk dan Warna (Studi Kasus Batik Semarang dan Pekalongan). Penelitian ini memfokuskan pada menganalisis unsur visual yaitu bentuk dan warna pada batik Jawa Tengah. Metodelogi analisis menggunakan desain Nate Burgon & Adam Kallis, yaitu divergen dan konvergen, sampai menemukan detail desain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna-warna alam yang sering muncul dalam batik Jawa Tengah merupakan salah satu ciri atau identitas warna batik daerah tersebut. Warna yang sering muncul, yaitu merah kecoklatan, ungu, dan kuning. Motif dari Jawa Tengah sebagian besar adalah motif flora dan fauna. Bentuk yang sering muncul, yaitu bunga, Kupu-kupu, dan burung
merak. Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian yaitu analisis motif sedangkan perbedaannya adalah tempat penelitian dan objek penelitian bukan payung geulis tetapi motif batik.
5. Hasil Penelitian Grenita Indah Susanti (2018)
Kajian Estetik Batik Sekar Jagad Motif Mancungan Kebumen. Program Studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Rumusan masalah adalah karakteristik motif dan warna batik Sekar Jagad motif mancungan Kebumen menurut Teori Estetika Monroe Beardsley Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data diperoleh dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunnjukkan bahwa unsur kesungguhan dalam motif dan warna terdapat pada karakter bentuk mancungan yang rumit dengan mempertimbangkan kualitas dari berbagai sifat yang ada pada nilai/filosofi bermakna keuletan, kesabaran dan ketelatenan. Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian yaitu analisis motif sedangkan perbedaannya adalah tempat penelitian dan objek penelitian bukan payung geulis tetapi motif batik.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian relevan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti karena berhubungan dengan analisis motif. Meski demikian, penelitian tersebut memiliki variasi yang berbeda, seperti penggunaan media motif yang berbeda, lokasi penelitian berbeda, dan tahun yang berbeda.