• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai pesan moral di Program Studi Bahasa Arab Fakultas

Sastra Universitas Sumatera Utara sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Saudari Hayati Rohimah (97070412) dengan judul ”Analisis Penokohan dan Amanat

Kisah /ilaz wa bilaz wa-irakhta/ dalam kitab Kalilah wa

Dimnah karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti (Tinjauan Struktural)”. Kemudian oleh Saudara Devix Wilson (98074004) dengan judul "Nilai Religius Syair Al-Hikmah Karya Zuhair Bin Abi Sulma (Tinjauan Struktural Semiotik)”. Sedangkan di dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada pembahasan Pesan Moral Pada Kisah Nabi Sulaiman a.s. Dalam Al-Qur’an. Moral berasal dari Bahasa Latin yakni Mores. Mores berasal dari kata mos

yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakukan. Dengan demikian, moral juga dapat diartikan dengan kesusilaan memuat ajaran tentang baik-buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Dan moral juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar yang sedalam-dalamnya yang di

peroleh dengan akal budi manusia (Burhanuddin Salam, 2000: 2). Perkataan susila atau kesusilaan dapat berarti adab yang baik, kelakuan yang

bagus, harus sepadan dengan kaidah-kaidah, norma-norma atau peraturan kehidupan yang sudah ada. Dalam Agama Islam istilah etika merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, akan tetapi mencakup hal-hal yang lebih luas yaitu meliput i bidang akidah, ibadah dan syariah, yang cakupannya sangat luas meliputi: Etos, Etis, Moral dan Estetika, seperti: a. Etos: mengatur hubungan seseorang dengan khaliknya.

b. Etis: mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.

c. Moral: mengatur hubungan dengan sesamanya menyangkut kehormatan individu d. Estetika: rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan

(2)

Dari kesimpulan diatas bahwa akhlak adalah ilmu yang membahas perbuatan

manusia dan mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, sesama manusia dan lingkungannya sesuai dengan nilai-nilai moral (Suhrawardi, 1994: 3). Moral berasal dari bahasa Latin merupakan istilah manusia yang mengacu

kepada tindakan nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral dapat didefinisikan sebagai hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia baik secara eksplisit atau yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral merupakan nilai keabsolutan dalam kehidupan masyarakat secara utuh.

/http://id.wikipedia.org/wiki/.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti

ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban meliputi: akhlak, budi pekerti, dan susila. Sedangkan moral mempunyai pertimbangan baik-buruk dan berakhlak mulia. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992) moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin terhadap penyesuaian dengan aturan dari luar, baik berupa hukum negara, agama atau adat-istiadat. Sedangkan kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya kepada hatinya sendiri. Moralitas merupakan pelaksanaan kewajiban kepada hukum baik hukum yang tertulis dalam hati manusia sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati seseorang yang didasari sebagai kewajiban mutlak. Moral sesorang dapat ditinjau dari pandangan subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/ hati nurani) dan kombinasi pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi dan orang lain/ tatanan nilai masyarakat). http://

tumoutou.net/3-sem1-012/ke5-012.htm.

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. tanpa bahasa, sastra tidak mungkin ada, melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan dan tertulis (Aftaruddin, 1990: 31) dalam (Jamaluddin, 2003: 31). Karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision de monde) sebagai subjek kolektifnya. Keseimbangan subjek individual terhadap realitas sosial disekitranya menunjukkan karya sastra berakar pada kultur tertentu

(3)

Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan

suatu pesan kepada orang lain sebagai komunikasi (Nyoman, 2004: 298). Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi

maupun afirmasi jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Nyoman, 2004: 334). Sastra didefinisikan sebagai suatu ciptaan, suatu kreasi yang merupakan luapan emosi spontan dan sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya dan mampu mengungkapkan aspek estetik baik didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna (Fananie, 2000 : 60). Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah

masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi. dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan. Oleh sebab itu sastra dapat dipandang sebagai institusi sosial yang menggunakan medium (sarana) bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan produk sosial sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrer. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan suatu kenyataan sosial. Bagaimana pun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang menjadi subject matter karya sastra adalah refleksi hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Sapardi Djoko Damono, 1978) dalam (Jabrohim, 2001: 157). Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia sangat luas

dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, artinya hal itu akan di alami oleh setiap orang di mana pun dan kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Misalnya: hal-hal yang berkaitan dengan masalah cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius dan lain-lain. Novel yang dapat dipandang sebagai hasil dialog mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi, subjektif dan diolah dengan daya imajinatif- kreatif oleh pengarang. Pengarang memilih dan mengangkat masalah kehidupan itu menjadi tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Melalui karya itulah pengarang menawarkan makna kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan dengan cara memandang permasalahan

(4)

Umumnya karya sastra mempunyai isi yang bersifat kronologis dan logik.

Walaupun isinya bersifat kronologis, namun kenisbian masalah isi justru cukup menonjol. Untuk menghindari adanya kenisbian isi yang berlarut-larut, maka isi sastra dapat digolongkan berdasarkan urutan historik. Pembagian tersebut tidak saja memudahkan pemahaman isi, namun sekaligus berguna untuk mempelajari gejala-gejala sejarah. Misalnya: pada sastra lama dapat di lihat pada cerita Panji, Hikayat Raja-raja Melayu, Malin Kundang, Hikayat Hang Tuah serta cerita rakyat lainnya. Model tersebut jelas berbeda dengan sastra-sastra pada periode sekarang yang umumnya bersifat imajinatif, dinamis, multi interpretatif. Dengan demikian, untuk memahami sastra masa kini adanya perbedaan penafsiran isi yang terjadi antara

penelaah yang satu dengan penelaah lainnya (Fananie, 2000: 14). Sastra sebagai hasil imajinasi, kreatifitas dengan berbagai media yang di

gunakan untuk menampilkannya. Kebenaran-kebenaran yang akan dihasilkan yang kemudian keseluruhan berasal dari hakikat tersebut. Sebagaimana kebenaran keyakinan yang dihasilkan oleh agama dan kebenaran pembuktian oleh ilmu pengetahuan secara ilmiah. Imajinasi didasarkan atas kenyataan dalam ruang dan waktu tertentu seperti sejarah. Hubungan inilah disebutkan bahwa kenyataan dalam

karya sastra sebagai kenyataan yang ‘mungkin’ terjadi (Nyoman, 2005: 11) Karya sastra dihasilkan secara individual tetapi perlu di sadari bahwa

pengalaman tersebut digali di dalam dan melalui kompetensi masyarakat, dalam konstruksi transindividual yang dalam kaitannya selalu berhubungan dengan masyarakat sehingga karya sastra bersifat sosial, sehingga sastra milik masyarakat,

maknaynya berkembang apabila dimanfaatkan oleh masyarakat (Nyoman, 2005: 18). Karya sastra mengutamakan sifat dulce et utile artinya, bila dilihat dari segi

bentuk karya sastra merupakan sesuatu yang dapat menyenangkan hati, sedangkan bila dilihat dari segi isi, karya sastra memiliki nilai kegunaan bagi siapa saja yang mampu mengapresiasi. Karya sastra bukan sekedar dibaca dan dihayati sebagai pengisi waktu, melainkan di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupan (Nursisto, 2000: 1). Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, tanpa

memperhatikan sistem tanda-tanda maknanya konvensi tanda dan struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal (Pradopo, 2003: 118). Di dalam karya sastra terdapat unsur-unsur yang pembangun yang secara

bersamaan membentuk sebuah totalitas karya sastra. Di samping unsur bahasa masih banyak lagi unsur-unsur yang dapat membentuk sebuah karya sastra seperti unsur

(5)

Instrinsik

/al-‘anāsiru ad-dākhilīyyatu/, dan unsur Ekstrinsik

/al-‘anāsiru al-kharijiyyatu/. Unsur Instrinsik adalah unsur yang

membangun karya sastra, unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir, unsur Instrinsik yang secara langsung turut membangun cerita seperti: 1. Peristiwa /al-hādisatu/

Peristiwa atau kejadian merupakan suatu hal yang amat esensial dalam

pengembangan sebuah plot cerita. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Peristiwa terbagi kepada bagian yakni: - Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan atau

mempengaruhi perkembangan plot

- Peristiwa kaitan adalah adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita

- Peristiwa acuan adalah peristiwa yang secara tidak langsung berpengaruh atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur lain. Misal: berhubungan dengan masalah perwatakan yang meliputi batin seorang tokoh.

2. Cerita /al-fikratu/

Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat

esensial. Ia memiliki peranan sentral dari awal hingga akhir suatu karya sastra. Cerita erat kaitannya dengan berbagai unsur pembangun yang lain. Kelancaran cerita akan ditopang oleh kekompakan dan kepaduan unsur pembangun cerita. Abrams (1981: 61) memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu. Dan Kenny (1966: 12) memberi definisi sebagai peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya. 3. Plot /al-habkatu/

Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu di

hubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu di sebabkan terjadinya peristiwa yang lain 4. Penokohan /as-sakhsiyyatu/

(6)

Penokohan adalah pelukisan watak seseorang yang ditampilkan dalam cerita

seperti sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh tokoh tersebut. Dengan demikian karakter berarti perilaku cerita dan dapat di artikan sebagai perwatakan. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang di milikinya merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu tidak jarang langsung mengisyaratkan kepada perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Datuk Meringgih dengan sifat jahatnya dan lain-lain. 5. Tema /al-maudū'u/

Tema (theme) menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20) adalah

makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. 6. Latar /al-makanu wa az-zamanu/

Latar (setting) disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian

tempat, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang di ceritakan. 7. Sudut Pandang /al-wajhatu nazrin/

Sudut pandang (point of view) mengacu pada sebuah cerita yang dikisahkan.

Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik dan siasat yang secara sengaja dipilih

pengarang untuk menemukakan gagasan dan ceritanya. 8. Bahasa dan Gaya Bahasa /al-lugatu al - balāgatu/

Gaya bahasa (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau

(7)

Dengan ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti: pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif dan penggunaan kohesi. Sedangkan unsur Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra atau secara kahusus dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi cerita sebuah karya sastra tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas

bangun cerita yang dihasilkannya (Nurgiyantoro, 1995: 23). Melalui karya sastra baik cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah

pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau yang diamantkan. Dan moral dalam suatu karya sastra dapat di pandang sebagai amanat, pesan message. Bahkan unsur amanat itulah yang sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia yang bersifat universal dan biasanya akan di terima kebenarannya secara universal pula (Nurgiyantoro, 1995: 321- 322).

Berbicara dengan moral berarti berhubungan dengan tema. Tema (theme)

menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial-budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan (Fananie, 2000: 84).

2.1 PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL A. Pesan Religius dan Keagamaan

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu

keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun keduanya selalu menyaran pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Sedangkan religius bersifat mengatasi, lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak, formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982 :11- 2). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu misalnya, seperti terlihat dalam KTP namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius.

(8)

Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia

(Nurgiyantoro, 1995: 326- 327).

B. Pesan Kritik Sosial

Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik.

Biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang baik dalam kehidupan sosial dan masyarakat (Nurgiyantoro, 1995: 331).

C. Jenis dan Wujud Pesan Moral

Jenis dan wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan tergantung pada keyakinan, keinginan dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis dan wujud pesan moral mencakup seluruh persoalan hidup, serta menyangkut

harkat dan martabat manusia.

2.2 PENYAMPAIAN PESAN MORAL A. Penyampaian Langsung

Penyampaian pesan moral secara langsung di sebut komunikatif, artinya

untuk memudahkan pembaca memahami makna suatu karya sastra. Hubungan komunikasi yang terjadi antara pengarang (addresser) dengan pembaca (addresse)

pada penyampaian pesan moral ini merupakan hubungan langsung seperti terlihat pada bagan di bawah ini :

B. Penyampaian Tidak Langsung

Penyampaian pesan moral tidak langsung, di mana pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur –unsur cerita yang lain seperti peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa

Pengarang (Addresser) Amanat (Message) Pembaca (Addresse)

(9)

tersebut, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik maupun yang terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung atau tersirat seperti yang terlihat pada

bagan di bawah ini :

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3Sekilas Tentang Surat An-Naml

Surat An-Naml terdiri atas 93 ayat dan termasuk golongan surat Makkiyah

yang diturunkan sesudah surat Asy-Syuaraa. Dinamai dengan An-Naml karena pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan “An-Naml” (semut), di mana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk sarangnya masing-masing, agar tidak terinjak oleh nabi Sulaiman a.s dan tentaranya yang akan lewat di tempat itu.

Pengarang Amanat Amanat Amanat Pembaca T E K S Dituangkan ke dalam Ditafsirkan oleh

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap analisa sistem, akan dilakukan analisa dari suatu sistem yang sedang berjalan pada SMP Muhammadiyah 03 Medan untuk mengetahui permasalahan yang ada, kemudian akan

Macam – macam fungsi peran perawat di unit gawat darurat menurut Aryatmo ( 1993 ) yaitu : a) Mengkaji kebutuhan perawatan penderita, keluarga dan masyarakat,

sistem informasi global dan bagaimana manajemen menyelesaikan tantang-tantangan tersebut - Menjelaskan isu-isu dan alternatif tekonoogi yang menjadi pertimbangan

Gambar 3.23 Perbandingan hasil pengujian membran PVDF dengan uap bensin Seperti yang telah dijelaskan pada bagian 3.5 bahwa diasumsikan kandungan pada sampel hasil pengujian

Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan erosi yaitu : iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia.. Faktor iklim

Menghasilkan DOKTER yang mampu menguasai dan mengembangkan ilmu kedokteran dengan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, bermoral Pancasila, mentaati Undang-Undang

Sistem pengambilan keputusan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode Electre (Elimination and Choice Translation Reality), yang diharapkan dapat

7 Analisis yang dilakukan hanya pada tahun-tahun tertentu yaitu pada tahun dengan curah hujan sedang (1999), tahun dengan curah hujan tinggi (2005) dan tahun dengan