• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASRAT, MEDIA, DAN GAYA HIDUP. Audifax 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASRAT, MEDIA, DAN GAYA HIDUP. Audifax 1"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

HASRAT, MEDIA, DAN GAYA HIDUP Audifax1

Modernisme, tak pelak telah menjerat kehidupan manusia di awal milenium kedua ini. Salah satu yang paling terlihat dominan adalah perkembangan modernisme di bidang media komunikasi. Tiga hal dalam media komunikasi, yaitu: televisi, internet, dan selular, menyeruak menjadi komponen penting dalam kehidupan banyak orang. Begitu banyak orang yang sedemikian bergantung pada ketiga hal itu, sehingga tanpanya keseimbangan hidup akan terganggu.

Televisi, internet, dan selular, kemudian bukan hanya menjadi komponen penting yang menunjang aktivitas kehidupan, melainkan telah tumbuh menjadi sesuatu yang mengkerangkai (framing) kehidupan manusia. Manusia bukan hanya tak bisa hidup tanpa sejumlah screen (layar-layar) yang ada pada perangkat layar televisi, monitor komputer dan layar handphone, melainkan sudah hidup dalam screen-screen tersebut. Semua screen dari televisi, internet, dan selular itupun, kemudian men-screening manusia sehingga kemanusiaanya tereduksi menjadi subjek yang terkerangkai. Dalam kerangka itulah individu terdikte oleh apa yang ada dalam kerangka.

Modernisme-Yang-Melampaui-Modernisme

Modernisme yang berkembang hari ini, adalah akselerasi yang berawal dari sejarah pemikiran manusia. Salah satu tonggak penting modernisme adalah akhir masa Renaissance yang merupakan inisiasi memasuki fajar rasio di era Pencerahan (Aufklarung). Pada era itu, kekuatan pikiran (rasio) memperoleh tempat tertinggi. Sejumlah pemikir dalam filsafat mengintroduksi pemikiran yang di kemudian hari menjadi tonggak penting pengembangan modernisme hingga apa yang ada di masa sekarang.

Modernisme yang awalnya berpusat pada rasio, pada akhirnya berkembang melampaui apa yang rasional. Inilah titik di mana modernisme kemudian melampaui modernisme itu sendiri. Pelampauan yang bukan hanya mengarah ke depan atau ke atas, melainkan ke segala arah, sehingga di sini arahpun menjadi tiada. Titik inilah yang menjadi cermatan Friedrich Nietzche

(2)

sekitar 100 tahun sebelum manusia memasuki milenium kedua. Apa yang menjadi cermatan Nietzche inilah yang menjadi cikal-bakal pemikiran posmodern.

Posmodern, bukanlah era yang bisa ditemukan dalam rentang waktu. Posmodern bukanlah era lanjutan dari era modern, melainkan sebuah pembacaan atas modernisme-yang-melampaui-modernisme. Modernisme-yang-melampaui-modernisme inilah yang saat ini menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat yang menyebut dirinya modern. Gaya hidup yang sudah terkerangkai oleh layar-layar yang mendiktekan citra pada manusia di dalamnya. Layar-layar yang dalam pembahasan saya ini merupakan perangkat dari televisi, internet dan selular. Gaya hidup ini adalah dialektika antara hasrat dan media komunikasi.

Hasrat dan Media Komunikasi

Ketika manusia rasional melampaui apa yang rasional, lalu apa yang tersisa untuk diletakkan sebagai penjelasan eksistensi manusia? Di sinilah kita berhutang pada apa yang pernah dikemukakan oleh dua ‘anak haram’ zaman, yaitu: Friedrich Nietzche dan Sigmund Freud. Kedua pemikir itu menggeledah apa yang ada di balik kesadaran rasional (dan rasionalisasi) dan menemukan mengalirnya hasrat di setiap tindak manusia.

Hasrat beroperasi di luar kesadaran. Hasrat bukan logos yang berlaku sama bagi semua orang, namun selalu hadir dalam bentuk yang sangat personal bagi masing-masing manusia. Hasrat “murni” merupakan ketidaksadaran yang mempresentasikan diri pada kesadaran. Hasrat bahkan menjadi jangkar referensi rasio. Segala yang rasional ternyata mengandung hasrat sehingga yang irasional sekalipun bisa dirasionalisasi.

Hasrat inilah yang mengalir dalam arteri-arteri kehidupan manusia, bahkan menggerakkan arteri yang satu untuk bertemu yang lain. Dalam konteks ini, seperti yang dikatakan Nietzche, hidup kemudian menjadi persoalan Will-to-Power. Ketika hasrat di arteri yang satu bertemu hasrat di arteri yang lain, maka terjadi pertemuan antara dua Will-to-Power. Pertemuan antara manusia dan layar televisi, adalah pertemuan antara dua arteri hasrat yang memuat Will-to-Power. Demikian pula pertemuan manusia dengan layar komputer dan handphone.

Mengalirnya hasrat inilah yang membuat kesejatian hidup layaknya sebuah ‘peperangan’. Ini adalah gambaran sebuah ketakpastian kaotik yang muncul dari silang-sengkarut arteri hasrat yang saling bertemu dan memisahkan diri. Gilles Deleuze dan Felix Guattari, secara jenial

(3)

menjelaskan ini dalam konsepnya mengenai rhizome dan mesin hasrat (desiring-machine). Menurut mereka, dunia ini adalah pertemuan antara mesin dengan mesin. Manusia pun adalah mesin karena memiliki mekanisme tertentu. Mulut misalnya, adalah mesin yang berjumpa dengan mesin lain, yang bisa: gelas, payudara, mulut lain, dan sebagainya, yang intinya memiliki mekanisme tertentu. Pertemuan antara mesin dengan mesin ini merupakan pertemuan aliran hasrat yang mengalir satu sama lain.

Di sinilah lantas menjadi mungkin untuk menjelaskan bagaimana ad-diksi (diksi/ gaya ber-advertising) berubah menjadi adiksi bagi audience-nya. Ini karena hasrat yang ada dalam iklan, disalurkan melalui mesin hasrat, misalnya: televisi. Mesin ini berjumpa dengan mesin lain, yaitu mata manusia. Mata inipun merupakan mesin lain yang terhubung dengan otak, tangan, kaki, kepala dan sebagainya. Dalam kesalingterhubungan inilah mengalir hasrat. Maka, ketika manusia terkerangkai dalam layar televisi, maka ia tak lebih dari bayi yang menyusu pada sebuah mesin hasrat untuk terus-menerus di-supply citraan-citraan yang memberi ilusi akan hidup yang lebih baik.

Suatu ketergantungan (adiksi) pada sesuatu juga tak lebih dari masalah Will-to-Power. Mereka yang hidup (dan gaya hidupnya) telah terkerangkai dalam layar-layar televisi, internet dan selular, adalah mereka yang tertaklukkan sehingga ‘harus’ mengalir dan hidup melalui arteri dari televisi, internet, dan selular. Tanpa kehadiran arteri yang menjadi adiksinya ini, kehidupan mereka akan kehilangan stabilitas. Inilah modernisme yang memerangkap manusia dan mencerabutnya melampaui modernisme itu sendiri. Suatu kondisi di mana manusia bukan lagi mengonsumsi utilitas melainkan citraan-citraan. Suatu kondisi di mana realitas telah melampaui realitas itu sendiri.

Membaca Ulang Modernisme

Postmodernisme pada dasarnya merupakan sebuah pembacaan ulang pada apa yang sudah tak dipersoalkan lagi. Suatu kondisi di mana orang sudah begitu saja mengonsumsi citraan-citraan yang membuatnya teralineasi dari dirinya sendiri. Sebagian orang telah secara salah melakukan perlawanan (antitesis) terhadap kondisi (tesis) yang telah ada tersebut. Perlawanan seperti ini jelas tak mungkin dilakukan, karena yang dilawan adalah sesuatu yang telah begitu kuat mengakar dan tak jelas arahnya. Perlawanan dengan menghadirkan antitesis

(4)

bahkan kerap menjebak untuk jatuh pada tesis yang sama dengan apa yang dilawannya, yaitu tercerabutnya manusia dari apa yang riil.

Apa yang paling mungkin dilakukan adalah membaca ulang modernisme-yang-melampaui-modernisme. Membaca ulang semua yang taken-for-granted sehingga muncul kemungkinan hadirnya Yang-Lain. Dengan cara pembacaan seperti ini, keyakinan akan sebuah kebenaran akan selalu tertunda dan tak pernah mencapai kesudahan, sehingga apapun yang dikonsumsi akan disadari kerelativannya. Pembacaan seperti ini bukan untuk menghentikan sesuatu yang telah menjadi adiksi, melainkan membiarkan Yang-Lain menampak sehingga dalam mengonsumsi sesuatu tetap disadari kemungkinan adanya Yang-Lain yang meluruhkan apa yang diyakininya sebagai ‘harus’. Yang-Lain inilah sebuah penyingkapan ‘Ada’ yang menggeledah hasrat yang mengalir namun tertutup konstruksi rasional.

Dengan kemampuan membaca ulang modernisme-yang-melampaui-modernisme, maka manusia dimampukan untuk lebih luwes dalam menyikapi arus modernisme yang menjebak dalam sebuah dunia yang terus berlari. Dunia yang terperangkap oleh percepatan perkembangan media. Dunia yang memerangkap dan mendiktekan pilihan-pilihan melalui hasrat yang ada dalam layar-layar televisi, internet, dan selular. Apa yang menjadi ouput dari pembacaan ulang ini pada dasarnya adalah sesuatu yang sederhana, yaitu bagaimana orang mampu “Membuat Keputusan” dan tak sekedar “Mengambil Keputusan”. Bagi sebagian orang, kedua hal itu tampak tipis, namun bagi mereka yang memahami esensi dari hidup, maka akan ditemukan perbedaan antara terseret dalam keputusan-keputusan yang telah dipilihkan oleh budaya, atau berjalan tegak menuju keputusan-keputusan yang memang sepenuhnya merupakan tanggung-jawabnya.

Nama: Audifax

Pekerjaan: Peneliti di IISA Surabaya dan Penulis buku (Mite Harry Potter (2005) dan Imagining Lara Croft (2006), keduanya diterbitkan Jalasutra)

No Rekening: a/n Audifax Prasetya

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

rasionaliti dengan kebebasan ekonomi akan memanfaatkan masyarakat, melalui pasaran bebas akan menentukan tahap produksi dan tingkat harga yang wajar.  Rasionaliti sistem

16 Firginia Mega Sari SMP Negeri 2 44. 17 Amilia Krisda Maulida SMP Saljul

Raditya Designer Art Merupakan Jasa Lukis Dinding Terbaik Di Indonesia Dengan Desain – Desainnya Yang Unik, Berbeda, Simple, Dan Menarik Yang Akan Menarik Pelanggan Agar Datang

Mengingat pentingnya hal ini perlu kiranya melakukan penelitian secara mendalam mengenai dampak penerapan sistem Continous Quality Improvement, yang dilihat

perbedaan n₁ dan n₂ adalah signifikan • Bila Z hitung < Z tabel, maka perbedaan. perbedaan n₁ dan n₂ adalah tidak

This research aimed to investigate how Lego can support student’s understanding of equivalent fraction concept with area model in fourth grade. This study was based PMRI

Nilai Tolerance motivasi, kemampuan pegawai, dan kualitas pelayanan publik adalah lebih besar dari 0,1 ( Tolerance > 0,1), ini berarti tidak terdapat multikolinearitas