• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Peran Budaya dalam Arsitektur

Pandangan terhadap budaya sangatlah luas, budaya dapat berupa tangible

dan intangible, dimana budaya merupakan adat atau aturan yang di bentuk dan disepakati bersama oleh sebuah kelompok yang dilakukan turun temurun dan dapat dijadikan sebuah panutan kelompok tersebut sebagai gaya hidup, pola fikir, adat, ritual, makanan dan lain - lain.

Istilah budaya bersifat multi-diskursif, dapat disimpulkan secara logika berfikir yang berfungsi dalam setiap wacana yang berbeda, hal ini berarti bahwa istilah budaya sangat luas dan tidak bisa di pakai sebagai definisi tetap dalam konteks yang berbeda. (Loebis, 2002)

Budaya adalah hal yang menceritakan tentang sebuah kelompok orang atau populasi yang memiliki nilai, kepercayaan dan pandangan hidup serta system simbol, yang dipelajari dan disebarkan. Ini menciptakan sebuah system aturan dan kebiasaan, yang merefleksikan idealisme pada kelompok tersebut dan menjadikannya sebagai gaya hidup, tata cara dan aturan hidup, peran, kelakuan, makanan, bahkan sebuah bentuk buatan misalnya arsitektur dilihat dari faktor – faktor kebutuhan dari sebuah kelompok (Parson and Shils: 1962, Rapoport: 1977 dalam Loebis, 2002). Ada banyak kecenderungan kesamaan yang lebih besar di dalam budaya. Keteraturan di dalam budaya berhubungan dengan gaya hidup dan

(2)

lingkungan binaan. Selanjutnya, suatu peraturan menjadi terwujud dalam suatu lingkungan dengan membedakan lingkungan satu dengan lingkungan lainnya.

Perubahan budaya didefinisikan sebagai proses alami berkaitan dengan perubahan struktur dan perubahan fungsi dari sistem sosial di dalam masyarakat. Struktur ini adalah pola budaya yang digunakan sebagai dasar bagi ukuran sistem sosial tertentu, sementara fungsi ini merupakan implikasi integrasi struktur dengan yang lain dalam sistem baru.

Dalam bahasa, transformasi adalah aturan sintaktis tertentu atau pola dasar kata dalam kalimat yang mengambil satu kategori sintaksis atau simbol dan merubahnya ke dalam string lain oleh proses penambahan, penghapusan atau permutasi yang dispesifikasikan oleh aturan transformasional. Catatan dapat diperluas untuk hikayat dan mitos atau tujuan arsitektur dengan heterogenitas yang telah ada sebagai hasil dari transformasi yang dicapai.

2.2 Transformasi Arsitektur 2.2.1 Definisi Transformasi

Transformasi adalah salah salah satu insting dasar manusia yang dapat didefinisikan sebagai suatu set transisi pada masyarakat dalam usahanya untuk mengadakan adaptasi dalam perubahan dunia. Misi dan tujuan budaya tertentu dapat diperoleh melalui suatu strategi yang merefleksikan materi budaya misalnya gaya arsitektur dan bentuk hunian. Karena arsitektur ditentukan berdasarkan budaya (Rapoport, 1969 dalam Loebis, 2002), maka transformasi arsitektural dan

(3)

prosesnya juga ditentukan oleh budaya, akibatnya perubahan dan transformasi budaya akan berdampak pada arsitektur.

Transformasi adalah perubahan budaya yang relatif cepat dengan hasil yang besar. Transformasi khususnya pada perubahan susunan teknis dan moral mengacu pada organisasi perasaan manusia dalam menghakimi hal yang benar pada ikatan antar manusia daripada kategori konten dari kultur itu sendiri (Redfield, 1953 dalam Loebis, 2002) . Selanjutnya Redfield menyatakan bahwa susunan teknis adalah susunan yang dihasilkan oleh pemaksaan yang disengaja, atau dari pemanfaatan dengan maksud yang sama.

Perubahan fisik disebabkan oleh adanya kekuatan non fisik yaitu perubahan budaya, sosial, ekonomi & politik.

2.2.2 Asal-usul Perubahan

Perubahan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kejadian dalam kurun waktu, yang melahirkan suatu modifikasi atau pergantian suatu elemen dari pola budaya yang mengarah pada pergerakan pola dalam waktu dan ruang dan menghasilkan pola kultural lain (Loebis, 2002). Perubahan kultural berkaitan dengan waktu. Perubahan kultural bersifat historis dan berhubungan dengan urutan kejadian dan pergerakan ruang dan waktu. Oleh karena itu, perubahan kultural hanya bisa dipelajari melalui catatan historis.

Struktur dan proses perubahan budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian yang saling bergantung, setiap bagian ini memiliki fungsi masing-masing dan berperan dalam sistem (Durkheim dalam Loebis, 2002). Dalam teori ini,

(4)

sistem adalah gerakan kekal, suatu titik keseimbangan dimana bagian dari sistem tersebut terus menerus menyesuaikan satu sama lain dan untuk merubah subsistem yang membentuk bagian baru. Maka dari itu, dalam suatu sistem terdapat penggerak untuk mencapai kondisi baru.

Adaptasi

Sesuai dengan pandangan evolutionism, adaptasi adalah suatu proses dan sistem yang menghubungkan sistem kebudayaan dan alam semesta. Proses ini terjadi apabila misi kultural tercapai, dengan demikian masyarakat menggerakkan sumber daya dan menjaga pola budayanya sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan.

Maka dari itu, kondisi ini tidak dapat ditetapkan sebagai kondisi statis, hal ini dikarenakan sistem memiliki potensi yang tinggi untuk merangsang dan melaksanakan perubahan dan adaptasi, dalam menjaga tujuan misi kultural bagi masyarakat, oleh (Parson dan Shills, 1962 dalam Loebis, 2002).

Adaptasi adalah faktor yang penting, tetapi dalam analisis proses perubahan dan transformasi adaptasi tidak mencukupi, karena tidak dipertimbangkan sebagai faktor yang memiliki peran aktif dalam faktor eksternal.

Pencapaian Kebutuhan Budaya

Dalam Loebis, 2002 beberapa peniliti memaparkan pencapaian kebutuhan budaya terdiri atas beberapa hal antara lain, kebutuhan biologis seperti yang diungkapkan (Malinowski, 1944) dan (Mallmann, 1973), hasrat (Kemenetsky, 1992), keinginan (Max-Neef, 1992), dan kebutuhan sosial (Radcliffe-Brown, 1922). Dengan kata lain kebutuhan budaya adalah semacam interaksi dari

(5)

kebutuhan biologi dan material ideologi. Kebutuhan budaya dapat dilaksanakan melalui pencapaian misi kultural dengan cara mengaplikasikan strategi budaya. Oleh karena itu, kebutuhan budaya bergantung pada perubahan dan mentransformasikan suatu upaya untuk melakukan adaptasi demi kelangsungan hidup manusia.

2.2.3 Mekanisme Transformasi

2.2.3.1 Struktur dan proses perubahan

Budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian yang saling bergantung, setiap bagian ini memiliki fungsi masing-masing dan berperan dalam sistem (Durkheim dalam Loebis, 2002) Dalam teori evolutionism, proses perubahan budaya menunjukkan keteraturan dan gejala asli dalam setiap pola kultur untuk mengalami perubahan. Gejala ini dideskripsikan dalam teori dialektik Hegel yang menyatakan bahwa pendekatan dialektik menekankan kepentingan produk mental dan pikiran dari pada material seperti yang diaplikasikan pada definisi sosial pada dunia fisik dan materi.

Menuruth Smith (1976), perubahan disebabkan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah kumpulan minat materi masyarakat, yang kedua adalah ideologi yang menanamkan pandangan hidup, dan yang ketiga adalah ketertarikan suatu kelompok budaya.

Perubahan dalam evolutionism dipandang sebagai pertumbuhan, yang mungkin terganggu, namun selalu mencapai kemajuan dan terus naik, bertransformasi dari bentuk simpel ke bentuk yang lebih rumit dan fleksibel.

(6)

Meskipun demikian hanya perubahan tertentu yang mengikuti pola ideal ini. Faktanya, hasil dari dampak faktor eksternal banyak yang berubah dan dalam keadaan tertentu keadaan pola kultural menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan penyaluran dampak eksternal.

Kegagalan dalam evolutionism adalah ketidak mampuan paham ini untuk menyuguhi proses terputus yang radikal dan serangkaian kejadian yang diungkapkan dalam catatan sejarah.

Pertukaran Eksternal (difusionisme)

Difusi adalah respon dari sumber perubahan internal seperti yang diusulkan oleh teori evolutionism. Difusi disini dapat diartikan sebagai perpindahan elemen budaya dari satu budaya ke budaya lainnya. Menurut Smith, 1976 proses difusi tidak membedakan elemen perpindahan dari kultur penyumbang dan terjadi secara tidak sengaja dalam perpindahan elemen ke kultur penerima. Dari sisi kultur penyumbang, perubahan dapat diarahkan maupun tidak diarahkan tetapi elemen budaya asing tidak akan bisa menembus budaya lain kecuali elemen budaya tersebut disetujui oleh kultur penerima. Budaya penerima kemudian akan memodifikasi elemen budaya yang mereka terima dengan cara yang lebih kompleks, modifikasi budaya inilah yang nantinya akan menjadi bentuk hybrid. Malinowski sepend, 1945 dalam Loebis 2002 sependapat dengan teori ini, Ia menyatakan bahwa dampak misi kultur penyumbang, berpengaruh.

Paham difussionism meyakini bahwa perubahan terbesar berasal dari luar kultur penerima, dan tugas para peneliti adalah untuk mencari keanehan, terulang,yang tersalur dimana perubahan mendesak pengaruhnya pada kultur

(7)

penerima. Perubahan dalam diffusionism memiliki relevansi dan atraksi yang besar dalam proses sejarah masa kini dibandingkan dengan masa lalu.

Diffusionism juga memiliki kekurangan yaitu, yang pertama paham ini cenderung berasumsi bahwa semua perubahan bersifat kualitatif. Yang kedua

diffusionism cenderung menolak peran seleksi aktif oleh individu dan kelompok yang ditemukan oleh Malinowski. Yang ketiga, paham ini gagal menyediakan kriteria untuk membedakan jenis rangkaian kejadian historis eksternal yang dapat menghasilkan perubahan yang signifikan.

2.2.4 Jenis-jenis Transformasi

Menurut Laseau, 1980 dalam Loebis, 2002 transformasi dikategorikan menjadi 4 bagian:

Transformasi topologikal (geometri)

Perubahan bentuk geometri dengan jenis bentuk dan fungsi ruang yang sama.

Transformasi gramatika hiasan (ornamental)

Perubahan yang dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, melipat, dll.

Tranformasi reserval (kebalikan)

Memutar pandangan terhadap objek yang ditransformasikan, dimana nilai objek yang dipandang diubah sebaliknya.

Transformasi distortion (tidak seimbang)

(8)

2.3 Bentuk

Bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa pengertian. Bentuk dapat dihubungkan pada penampilan luar yang dapat dikenali seperti sebuah kursi atau tubuh seseorang yang mendudukinya (Ching, 1999). Hal ini juga menjelaskan kondisi tertentu dimana sesuatu dapat mewujudkan keberadaanya, misalnya bila kita bicara mengenai air dalam bentuk es atau uap. Dalam seni dan perancangan seringkali dipergunakan istilah tadi untuk menggambarkan struktur formal sebuah pekerjaan cara dalam menyusun dan mengkoordinasi unsur – unsur dan bagian – bagian dari suatu komposisi untuk mengasilkan suatu gambaran nyata.

Namun bentuk dapat dihubungkan baik dengan struktur internal maupun garis eksternal serta prinsip yang memberikan kesatuan secara menyeluruh. Jika bentuk lebih dimaksudkan sebagai pengertian massa atau isi – dimensi, maka wujud secara khusus lebih mengarah pada aspek penting bentuk yang mewujudkan penampilannya konfigurasi atau peletakan garis atau kontur yang membatasi suatu bentuk.

Secara geometri kita ketahui wujud – wujud beraturan seperti lingkaran dan sederetan segi banyak beraturan (yang memiliki sisi – sisi dan sudut – sudut yang sama) yang tak terhingga banyaknya dapat dilukiskandidalam lingkaran tersebut. Dari hal diatas yang paling penting adalah wujud – wujud dasar; lingkaran, segitiga dan bujur sangkar.

(9)

Lingkaran adalah sederetan titik – titik yang disusun jarak yang sama dan seimbang sebuah titik tertentu didalam. Menurut (Ching, 1999) lingkaran adalah sesuatu yang terpusat, berarah kedalam dan pada umumnya bersifat stabil dengan sendirinya menjadi pusat. Penempatan lingkaran pada sebuah bidang akan memperkuat sifat dasarnya sebagai poros. Sedangkan bujur sangkar merupakan sebuah bidang datar yang mempunyai empat buah sisi yang sama panjang dan empat buah sudut siku – siku. Menurut (Ching, 1999) bujur sangkar menunjukkan sesuatu yang murni dan rasional. Bentuk ini merupakan bentuk yang statis dan netral serta tidak memiliki arah tertentu.

2.4 Tinjauan Bentuk Atap Kubah Pada Bangunan Masjid Al – Osmani 2.4.1 Sejarah Masjid Al- Osmani

Menurut Sinar, 1996 sebuah Masjid tertua yang sangat lekat dengan budaya Kesultanan Deli yang terdapat di Kota Medan inipun sering di beri julukan dengan sebutan Masjid Labuhan dimana letak posisinya yang berada di daerah Medan Labuhan yang berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota Medan.

Sekitar tahun 1854 oleh Sultan Deli yang Ke- 7, dimana mulai didirikannya Masjid ini, yakni Sultan Osman Perkasa Alam, Beliau memilih bahan material kayu yang kokoh dan pilihan sebagai material utama pada Masjid ini yang didatangkan langsung dari Kota Penang, Malaysia. Masjid Al – Osmani berada di Jalan K L Yos Sudarso, Pekan Labuhan karena pada masa kejayaan Kesultanan Deli, disinilah titik letak kekuasaan Kejayaan Kesultanan Deli seperti perdagangan, perkebunan, dan kehidupan sehingga Masjid ini merupakan Masjid yang berperan penting terhadap perkembangan dan sejarah Kota Medan.

(10)

Sinar, 2001 menjelaskan bangunan Masjid Al- Osmani ini dibangun dengan tenaga arsitektur berdarah Belanda dan beberapa pekerja yang berupa pedagang dan kuli dan berasal dari Tiongkok dan pulau seberang Malaysia. Karena mesjid ini menggunakan material seperti kayu yang telah ditaksir usia dari material ini tidak akan sampai satu abad, dengan tujuannya agar Masjid tetap megah dan kokoh , Kemudian pada tahun 1870, masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi megah secara permanen oleh Sulthan Mahmud Perkasa Alam yang pada saat itu menduduki Singgasana Raja Deli di Kesultanan Deli sebagai Raja Ke 8 .

Pada tahun 1870 semasa kekuasaan Sultan Mahmud Perkasa Alam, dilakukan renovasi besar pada masjid ini. Proyek renovasi ini dikepalai oleh arsitek Jerman GD Langereis. Setelah renovasi Masjid ini menjadi bangunan permanen. Material yang digunakan pun berasal dari Eropa dan Persia. Secara arsitektural setelah renovasi tampilan Masjid Al Osmani berubah total. Arsitektur Masjid Al Osmani merupakan gabungan dan pengaruh sentuhan dari beberapa Gaya Arsitektur dunia.

Sampai pada saat ini, Masjid Al- Osmani ini selain digunakan sebagai tempat beribadah seperti fungsi awalnya. Masjid ini juga digunakan sebagai tempat para penduduk dan rakyat Deli pada masa lalu dan masa sekarang merayakan hari besar keagamaan dan tempat bersilaturahmi dan berziarah ke Makam Sultan. Adapun di halaman Masjid ini terdapat lima makam raja Deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja

(11)

Gambar 2.1 Kubah Islam

Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam. Ini dikarenakan letak Masjid Al- Osmani yang dapat menampung sebanyak sekitar 500 Jamaah ini berhadapan langsung dengan Istana Kerajaan Deli.

2.4.2 Kubah

Bentuk kubah telah dikembangkan selama ratusan tahun oleh banyak kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Garis sejarah mengenai perkembangan dari bentuk kubah beserta fungsinya sangat luas dan kaya makna bahkan telah menjadi symbol semiotik yang khas bagi berbagai agama, budaya dan peradaban tertentu. Hampir mustahil untuk membedakan kubah Islam (Gambar 2.1), Kubah Kristen (Gambar 2.2), Kubah Yahudi (Gambar 2.3), Kubah yang Pagan, karena pada dasarnya tradisi membangun sebuah bangunan dengan menggunakan kubah telah dimulai sejak era Romawi Kuno. Konon bentuk kubah dapat diinterpretasi “mengandung” makna universal sebagai benda buatan manusia yang meniru bentang langit. (Sopandi 2013).

Gambar 2.2 Kubah Kristen

Sumber : www.republika.id

(12)

Seperti yang telah dipaparkan oleh Alamsyah, Wahid 2013, kubah merupakan salah satu unsur arsitektur mendasar yang dapat disebut sebagai bentuk bangunan dan selalu digunakan di tempat tertinggi di atas bangunan (sebagai atap). Bentuk dari kubah tidak hanya memiliki permukaan luar tetapi juga memiliki ruang dalam dan organisasi ruang, dimana arsitektur berada pada potensi paling tinggi ketika eksterior dan interior dipahami dalam satu kesatuan. Bahkan, dalam penjelasan Pope 1965;Wilber 1969; Michell 1978; Stierlin 2002 juga menyatakan, bahwa orang – orang terlalu sering memperhatikan kesamaan bentuk kubah Islam, meskipun terdapat perbedaan antara bentuk konseptual. Para peneliti sering menggunakan kedua istilah bentuk onion dan bulbous (Gambar 2.4).

2.4.3 Sejarah Kubah

Seperti yang dijelaskan oleh Sopandi dalam buku Sejarah Arsitektur, Perkembangan arsitektur di Eropa Timur dan Timur Tengah banyak mewarisi beragam inovasi yang dikembangkan pada masa kejayaan Romawi. Selain karena

Gambar 2.4 Kubah Onion

(13)

perkembangan teknologi membangunnya, Romawi sangat berpengaruh dalam peradaban dunia karena kekuasaan politiknya yang sangat luas, mencakup daratan yang mengelilingi Laut Mediterania yakni Italia, Yunani, semenanjung Eropa Barat, sebagian Britania, delta muara Sungai Nil, semenanjung Arab, dan Asia kecil. Pada puncak kejayaannya, yang dimulai dari abad ke- 4 SM sampai dengan 400 M, bahkan Roma juga sempat melakukan pengembangan dalam infrastruktur kota yang sangat canggih di daerah – daerah kekuasaannya. (Gambar 2.5)

Setelah Roma mengalami banyak masalah yang menyebabkannya ketidak kondusifan Roma sebagai ibukota, maka ibukota kekaisaran dipindahkan ke bagian Timur, yakni ke Kota Bizantium. Kaisar Konstantin merupakan Kaisar pertama yang memeluk agama Kristen pada tahun 313 M, bahkan beliau telah menjadikan Agama Kristen menjadi sebuah agama yang resmi pada Kekaisaran Romawi. Kekaisaran Romawi Timur (Kekaisaran Bizantium) telah mengembangkan peradaban yang maju di Eropa Timur dan sebagiannya di Timur Tengah. Bagi sejarah perkembangan arsitektur Eropa, perpecahan ini penting

Gambar 2.5 wilayah kekuasaan Byzantium tahun 476 Masehi.

(14)

karena menentukan tradisi dalam perkembangan monument – monumen arsitektur, terutama pada bangunan peribadatan.

Arsitektur religius di Bizantium sangat identik dengan menggunakan elemen kubah dan bentuk denah yang terpusat. Hagia Sophia merupakan sebuah karya agung Bizantium yang di bangun pada kurun waktu sekitar 532-537 M. Inovasi geometri yang dihasilkan pada Hagia Sophia adalah bidang segitiga melengkung yang disebut dengan pendentive. Kebanyakan interpretasi sejarah arsitektur menghubungkan arsitektur Bizantium sebagai pengembangan lanjut dari yang telah dicapai oleh monumen Patheon, yaitu berusaha menciptakan ruang simbolis yang merepresentasikan cakrawala dan semesta lewat konstruksi kubah.

Menurut Sumalyo (2006) dalam buku Arsitektur Mesjid, Mesjid dapat diartikan sebagai tempat dimana saja untuk bersembahyang orang Muslim. Kata mesjid disebut sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran, berasal dari kata Sajada-Sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakkan dahi, kedua tangan ke tanah adalah bentuk nyata dari arti kata tersebut di atas. Oleh karena itu bangunan dibuat khusus untuk salat disebut mesjid yang artinya : tempat untuk sujud.

Zaman Bizantium merupakan zaman perkembangan arsitektur yang berpengaruh besar dalam Arsitektur Mesjid terutama dalam penggunaan berdasarkan bentuknya. Dimana Konstantinopel (sekarang Istanbul) di bangun sebuah gereja sangat besar pada waktu itu yang disebut Hagia Sophia. Pada gereja

(15)

inilah dibuat kubah, kemudian kubah menjadi ciri dari arsitektur Bizantium (Gambar 2.6).

Arsitektur zaman Bizantium (330-1453) bersamaan dengan jaman Kristen Awal dan Islam Awal, keduanya banyak menggunakan kubah. Struktur kubah yang kekuatannya justru karna bentuk, mulanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ruang lebar tanpa kolom, dan dapat mendengungkan suara sebagai pengeras suara. Namun karena keindahannya kemudian banyak diambil hanya pada elemen bentuknya saja. Pada zaman Bizantium banyak pula dibangun gereja dengan kubah sebagai mahkota di bagian atas bangunan, kadang – kadang hanya majemuk seperti antara lain gereja S. Marko (1063-85) (Gambar 2.7).

Gambar 2.6 Hagia Sophia

Sumber : www.wikipedia.com

(16)

Era Renaissance merupakan masa peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern. Arsitektur Renaissance menggambarkan perjuangan lepas dari doktrin gereja. Ornamen-ornamen organis muncul sebagai bagian dari keindahan bangunan. Cahaya masih menjadi bagian dari keindahan bangunan, namun unsur-unsur duniawi juga muncul dalam bentuk detail-detail yang indah. Detail yang bersifat duniawi pada era pertengahan sangat dibatasi. Kemunculan detail ini dilandasi oleh ideologi untuk melepaskan diri dari doktrin gereja. Kubah pada gereja ini biasanya tidak lebar, menggunakan kerangka kayu. Tidak sedikit gereja lain sejaman memakai “kubah palsu” majemuk, bahkan memodifikasi menjadi bentuk bawang, yaitu kubah yang runcing di atas, menggelembung di tengah seperti bawang (onion).

Bahkan bentuk kubah tidak sedikit hanya dipakai sebagai hiasan dan hanya kecil, misalnya pada amortizement dan puncak dari sebuah minaret, misalnya pada banyak mesjid dan makam muslim Kuno di India. Pada mesjid-mesjid kuno dan baru di Arab, Mesir dan lain-lain, kubah selain menjadi penghias juga menjadi tanda memperkuat arah kiblat, diletakkan di depan-atas dari mihrab. Keberadaan kubah pada mesjid, juga seperti adanya banyak kolom dalam haram,

menjadi polemik berkepanjangan.

2.4.4 Arsitektur Hindu

Seperti yang dipaparkan oleh Mangunwijaya,1995. Bahwa Agama Hindu dibawa oleh para pedagang dari india sekkitar abad ke-4 ke kepulauan Indonesia pada umumnya dan ke pulau Jawa pada khusunya. Permulaan inilah yang

(17)

mengakhiri zaman prasejarah di Jawa. Bukti-bukti mengenai keberadaan kerajaan Hindu-Jawa berupa prasasti-prasarti dari batu yang ditemukan di pantai utara Jawa Barat, kurang lebih 60 kilometer sebelah timur Kota Jakarta di lembah sungai Cisedane.

Pada prasasti tersebut dapat dilihat bentuk dan gaya huruf india Selatan. Dari Prasasti tersebut dapat dilihat mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh seorang raja yang merayakan peresmian bangunan irigasi dan bangunan keagamaan. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang budayanya dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pada daerah ini pula ditemukan beberapa candi Hindu. Salah satu candi Hindu yang terkenal dan cukup besar adalah candi Larajonggrang. Sejarah kebudayaan Jawa hingga abad ke-15 yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India, pada periode inilah sejarah Jawa dimasukkan kedalan periode Hindu Jawa.

a. Kebudayaan Hindu

Mangunwijaya, 1995 memaparkan bahwa masyarakat India menganggap bahwa alam semesta merupakan benua berbentuk lingkaran, yang dikelilingi oleh beberapa samudera dengan pulau pulau besar di empat penjuru yang merupakan tempat tinggal keempat penjaganya yang keramat. Di pusat terletak Gunung Mahameru yakni gunung para Dewa.

Alam semesta yang bermacam-macam itu pada hakikatnya hanyalah semu atau tipuan belaka. Mereka memandang segala yang ia lihat dan yang mereka alami sebagai sesuatu yang kosmos atau yang agung. Dengan kata lain manusia

(18)

menurut pandangan orang India harus melakukan perjalanan penuh perjuangan dan pengekangan diri untuk pergi dari keadaan maya yang semu ini dan semakin membersihkan diri, semakin menghening, sehingga bersih bebas tanpa rupa tanpa nafsu ataupun hasrat, meniadakan diri. Jalan peniadaan diri (dari yang maya) kedalam keheningan mumi mutlak (nirvana) itulah hakikat pandangan India beserta ungkapan-ungkapan kebudayaannya.

b. Ciri-ciri Arsitektur Hindu

Banyak peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan pada jaman Hindu antara lain berupa satu kota dimana terdapat Istana Kerajaan, mempunyai beberapa kompleks candi yang didirikan untuk berbagai aspek kehidupan. Candi merupakan salah satu peninggalan Hindu yang bersifat arsitektural yang masih dapat kita lihat sampai saat ini.

Candi berfungsi sebagai tempat tinggal dewa-dewa yang terbuat dari batu. Bangunan batu yang tinggi itu melambangkan kekuasaan dan sifat abadi dari dewa yang bersangkutan.

Untuk Candi Hindu dan Candi Budha mempunyai persamaan dan perbedaan dalam pemakaian bentuk, pola dan orientasinya tetapi pada dasarnya adalah sama dengan memandang alam semesta.

Penggunaan bentuk-bentuk dasar dari candi menggunakan citra dasar “gunung”. Gunung dalam penghayatan religius masyarakat kuno di India (dapat juga ditemukan pada daerah daerah lain di dunia, misalnya Olimpia) dihayati

(19)

Gambar 2.8 Candi satu ruangan

sebagai tanah yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas, yang dikaitkan dengan segala yang mulia, yang ningrat, yang aman.

A. Tata Bentuk

Pada puncak-puncak gunung itulah dibayangkan para dewata hidup. Hal ini sangat mempengaruhibentuk-bentuk arsitektur Hindu. Bentuk candi terbagi menjadi beberapa tipe. Pembagian tipologi candi ini dapat dilihat dari jumlah ruang pada candi, yaitu :

1. Bangunan candi dengan satu ruang ( One roomed building) (Gambar 2.8).

2. Bangunan candi dengan tiga ruang (Three roomed Building)(Gambar 2.9).

(20)

3. Bangunan candi bertingkat dua dengan enam ruang (Two storied building with six room)(Gambar 2.10)

4. Bangunan candi masif tanpa ruang.

Pembagian candi secara vertikal terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu:

1. Kaki (Bhurloka)

Pada bagian ini disebut juga sebagai dasar atau base dari sebuah candi. Bagian ini merupakan bagian yang paling luas dari keseluruhan candi. Pada tahap ini menunjukkan makna dimana manusia masih dipenuhi oleh hawa nafsu.

2. Badan (Bhuvarloka)

Menggambarkan keadaan manusia didunia fana ini. Sadar tetapi masih sadar semu. Pada bagian ini merupakan bagian dimana manusia sudah mulai sadar untuk meninggalkan nafsu duniawi. Biasanya terdapat patung yang mempunyai makna sebagai perantara atau petunjuk jalan untuk mencapai tahap kesempurnaan hidup. Ukuran pintu sengaja dibuat

Gambar 2.10 Candi senam ruangan

(21)

kecil agar orang yang masuk merundukkan kepala sebagai tanda penghormatan dewa yang berada didalamnya. Bagian atas pintu biasanya terdapat kepala kala yang dipercaya sebagai penjaga pintu candi. Pada bagian atas dari badan (body) terdapat molding (upper molding) yang membatasi antara badan dan kepala (roof).

3. Kepala (roof)

Merupakan bagian dimana manusia memasuki tahap kesempurnaan hidup dan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Pada bagian atap terdapat 3 tingkatan yang terdiri dari:

a. Tingkatan 1

Merupakan tingkatan paling bawah dari bagian kepala. Bagian ini merupakan tahap awal manusia memasuki tahap kesempurnaan.

b. Tingkatan 2

Mempunyai skala yang lebih kecl dari tingkatan pertama yang menandakan manusia sudah berada pada tahapan yang semakin tunggi dan semakin kecil.

c. Tingkatan 3

Merupakan tahap dimana manusia akan memasuki kesempurnaan hidup. Semakin kecil dan semakin suci.

(22)

Merupakan tahap puncak dimana manusia menjadi sempurna dan suci. Pada tingkatan ini yang paling atas merupakan tahap keberhasilan manusia melewati paradaksina (perjalanan) hidup hingga mencapai kesempurnaan hidup.

Gambar

Gambar 2.1 Kubah Islam
Gambar 2.4 Kubah Onion
Gambar 2.5 wilayah kekuasaan Byzantium tahun  476 Masehi.
Gambar 2.6 Hagia Sophia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya Multi E-Commerce yang dibangun menggunakan Framework Codeigniter ini dapat membantu pengrajin atau penjual kerajinan gerabah untuk memperluas pemasaran

Sumber itu asli atau salinan dan sudah dirubah (Ismaun, 2005, hlm. Kritik internal atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber terhadap aspek dari dalam

Dosis konsentrasi insektisida Decis yang akan digunakan untuk perlakuan pada uji toksisitas sangat toksis terhadap ikan nila merah galur Cangkringan, maka dari data

Pemahaman bahwa  berjalannya bank syari‟ah adalah tidak hanya untuk mencapai profitabilitas duniawi, tetapi juga berusaha menjalankan prinsip yang sesuai dengan

• Aerasi & agitasi merupakan hal yg penting dlm memproduksi sel-sel khamir dan bakteri. • u/ pertumbuhan secara aerobik, suplai oksigen merupakan faktor terpenting

Ekstrak minyak hasil ekstraksi soxhlet dengan pelarut n-heksan lebih gelap dibanding dengan maserasi karena mengalami pemanasan selama beberapa hari pada temperatur

a. menyimpulkan kelajuan dan kecepatan, serta persamaan kelajuan dan kecepatan rata-rata serta kelajuan dan kecepatan sesaat. merefleksi perbedaan kelajuan dan kecepatan,

BENER MERIAH ACEH 772 10111605 SMP NEGERI TERPADU SEUMAYOEN NUSANTARA KAB. BENER