A. Pendahuluan
Pernikahan sejatinya membawa misi
yang mulia yakni sebagai penyempurna
agama seseorang. Pernikahan merupakan
sarana pelegalan hubungan antara suami istri serta pengakuan hubungan keduanya
baik secara agama maupun hukum normatif
Negara. Tidak hanya itu pernikahan
memberikan makna yang dalam bahwa dalam hubungan suami istri yang terjalin,
mereka mempunyai satu tujuan yang sama
yakni mencapai kehidupan yang bahagia,
jauh dari pelanggaran dan penyimpangan.
Pernikahan menurut Wahbah al-Zuhaily adalah bersetubuh, berkumpul dan akad, yakni akad yang telah ditetapkan
oleh Syar’i agar seorang laki-laki dapat
mengambil manfaat untuk melakukan
istimta’ dengan seorang wanita atau
sebaliknya.1 Sedangkan menurut Sayuti Thalib pernikahan adalah suatu perjanjian
yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram
dan bahagia.2
Lebih dari itu, pernikahan menyentuh pada aspek sosial masyarakat, dimana
ketika dua orang menikah maka terdapat 1 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz VII, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989). H. 39
2 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam:
Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), H. 2
PENGARUH KETIMPANGAN PENDAPATAN SUAMI ISTRI TERHADAP
TINGGINYA KASUS CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1B
KABUPATEN PONOROGO
¹Arlinta Prasetian Dewi, ²Budi Setiawan
Institut Agama Islam Riyadlatul Mujahidin Ngabar Ponorogo
¹arlinta_prasetiandewi@yahoo.com ²setiaone433@gmail.com
Abstract
Ponorogo is a city that has a high rate of divorce cases. From the divorce cases, the majority of submissions come from female workers who work as migrant workers, the implication is that the wife has a far greater income than her husband giving rise to a shift in the role of husband and wife which also results in a shift in rights and obligations. Although Islam allows a wife to work (in the context of helping her husband), it is expected that the husband and wife have considered together the good and bad consequences that may arise from the decision. Income gap or income inequality between husband and wife if not interpreted wisely can have an impact on the disharmony of the relationship between the two can even reach the stage of divorce. This research will explain an analyze the effect of income inequality between husbnad and wife on the high cases of divorce in Ponorogo. For that, researcher will examine this income inequality in the view of the sociology of Islamic law in the Ponorogo community in particular and driving factors the rise of female workers in Ponorogo and things that arise when the wife’s income is greater than her husband. The paradigm of this research is used a qualitative paradigm with emphasis on case studies in teh field. The result of the research stated that income inequality where the wife has a greater income than the husband is not a main problem in divorce cases, but there are other factors as a trigger such as the inability of the husband in managing finances, the wife’s takings is only for consumptive activities and even tends to spree, the interference from the husband’s family, especially in financial matters, lack of understanding of religion, and infidelity. This hiigh financial ability of the wife ultimately makes the wife dare to sue for divorce of her husband.
penyatuan dua keluarga juga. Oleh karena itu dari sudut pandang sosiologi pernikahan yang semula hanya perpaduan dua insan dapat menjadi sarana pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.3
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sebatas pada pemenuhan
nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial,
psikologi dan agama.4 Tujuan tersebut dapat dijabarkan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan
keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia.harmonis dalam menggunakan
hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera dalammewujudkan terciptanya
ketenangan lahir dan batin. Keduanya dapat dicapai jika keperluan hidup lahir
dan batinnya dapat terpenuhi dengan baik,
sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.5
Dalam sebuah pernikahan secara
otomatis melahirkan kesadaran bahwa
antara suami dan istri mempunyai
tanggungjawab yang berbeda, perbedaan tersebut diwujudkan dengan adanya
batas-batas pembagian tugas antara keduanya. Seorang istri bertugas mengurusi dan
mengatur rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak, menyiapkan suasana
sehat bagi suaminya untuk istirahat guna melepas lelah dan memperoleh kesegaran badan kembali. Sementara suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga. Dengan pembagian yang adil maka masing-masing menunaikan tugasnya yang alami
sesuai dengan keridloan Ilahi, dihormati
3 Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi
Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan), cet. 1, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2004), H. 17.
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat alih bahasa, Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH, 2009), H. 39.
5 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), H. 22.
oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang menguntungkan.6
Pemenuhan kebutuhan jasmani untuk
keluarga merupakan syarat penting
sekaligus menjadi kewajiban seorang
suami yang harus dipenuhi. Karena itu seyogyanya laki-laki yang memutuskan
akan meminang seorang wanita harus siap dengan konsekuensi ini. Bila seorang laki-laki yang sadar tidak mampu menafkahi
istrinya atau tidak membayar maharnya dan tidak memenuhi hak-hak calon istrinya yang lain maka tidak boleh dia menikah sebelum ia menjelaskan keadaannya pada calon istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak
calon istrinya. Begitu pula kalau ia karena hal menjadi lemah, tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan
dengan terus terang agar perempuannya
tidak menyesal kelak, sebaliknya sang
perempuan bila ia sadar dirinya tak mampu untuk memenuhi hal-hak suaminya atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak
bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta dan lain-lain maka keduanya wajib menerangkan aibnya termasuk ekonomi, agama dan nasabnya.7
Pengaruh perkembangan zaman sedikit banyak membuat wanita dengan
kemampuannya mampu menduduki sektor-sektor penting di masyarakat.
Wanita kini bekerja di pabrik-pabrik,
pertambangan, mengarungi udara,
dokter, pengacara, bidang kesusasteraan, jurnalistik, bahkan percaturan politik
tingkat tinggi.8 Allah SWT menetapkan
bahwa wanita mempunyai hak
dan kewajiban layaknya laki-laki, kecuali dalam satu hal, yaitu masalah
kepemimpinan dalam rumah tangga. 6 Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah,alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1997) H. 18-21.
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,, H. 24.
8 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan
Masyarakat, alih bahasa M.Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), H. 119.
Laki-laki memang fitrahnya mempunyai kelebihan dibandingkan wanita. Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap
laki-laki mempunyai kelebihan atas setiap
wanita. Sebab, banyak kejadian dimana
seorang istri lebih pintar dari suami. Sanggup melaksanakan suatu pekerjaan
yang tidak mampu dikerjakan oleh suami,
bahkan banyak juga istri yang lebih mampu dan lebih sukses mencari rizki dibandingkan suaminya. Tentunya dalam menentukan siapa yang akan bekerja atau keikutsertaan istri dalam mencari
nafkah harus diperbincangkan matang
antara kedua belah pihak.9Mengingat ada akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan
dari keputusan tersebut. Pasangan yang
mempunyai penghasilan lebih banyak cenderung ingin mendikte prioritas
pengeluaran. Berubah sikap menjadi
sombong dan kurang menghargai perasaan
pasangan. Umumnya ini terjadi jika yang
berpenghasilan lebih kecil adalah suami.10 Hal inilah yang kemudian menumbuhkan benih-benih perselisihan yang memuncak pada gugatan perceraian.
Fenomena seperti ini banyak juga terjadi di Kabupaten Ponorogo. Banyak pasangan yang karena faktor himpitan
ekonomi mengajukan permohonan
perceraian. Keputusan wanita untuk pergi merantau ke Luar Negeri menjadikan wanita menjadi lebih mapan secara finasial
dari suaminya. Keadaan suami yang tidak
mampu memikul tanggung jawab dengan
mudahnya akan dijadikan alasan untuk menuntut cerai. Namun demikian ada pula kasus yang menjadikan posisi istri terzolimi seperti suami yang tidak bisa 9 Nurseffi Dwi Wahyuni, “Pendapatan Istri Lebih Besar Dari Suami”, liputan6.com/bisnis diakses pada
tanggal 3 Juni 2019.http://www.liputan6.com/bisnis/ read/06
10 Abdulrahman, “Menyiasati Ketimpangan Pendapatan Suami Istri”,finance.detik.com/
perencanaan keuangan diakses pada tanggal 3 Juni
2019.http://finance.detik.com/perencanaan keuangan/
menyiasati-ketimpangan-pendapatan-suami- istri
menjaga tugas dan tanggung jawab dan memanfaatkan istrinya yang bekerja
dengan mengeksploitasi penghasilannya
untuk kepentingan dirinya sendiri,
dengan demikian kehidupan rumah tangga menjadi bermasalah. Hal ini nyatanya menjadi perhatian khusus
pemerintah Ponorogo.Pemerintah
Daerah sejak tahun 2015 telah menyusun
raperda tentang laranga perceraian TKW di Ponorogo, meski ini termasuk raoerda
yang unik namun hal ini ditujukan untuk meminimalisir kasus perceraian yang
didominasi oleh TKW.
Tujuan utama seorang wanita memutuskan untuk menjadi TKW adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sehingga diharapkan setelah permasalahan finansial tercukupi maka
keluarga dapat hidup bahagia dan
sejahtera, namun ternyata tujuan tersebut
berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Kepergian seorang istri
untuk mencari nafkah kemudian malah
menyebabkan timbulnya permasalahan baru yang menyebabkan keadaan keluarga
terpecah. Perpecahan bisa terjadi karena banyak faktor. Kemandirian finansial yang dipunyai wanita seringkali memberikan
angin segar pada mereka untuk berani menuntut cerai gugat kepada suaminya.
Ini juga yang terjadi di Ponorogo.
Dari latar belakang di atas, maka
penelitian ini ingin mengkaji lebih dalam tentang sejauh mana pengaruh ketimpangan pendapatan antara suami dan istri terhadap tingginya kasus cerai
gugat yang ada di Ponorogo. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka akan peneliti kaji lebih lanjut tentang bagaimana ketimpanga pendapatan ini dalam
pandangan Sosiologi Hukum Islam Pada Masyarakat Ponorogo. Selain itu peneliti
juga akan mengkaji secara mendalam
faktor-faktor yang menyebabkan tinginya angka TKW di Ponorogo serta hal-hal apa
saja yang akan timbul jika pendapatan istri jauh lebih besar dari pendapatan suami.
Perceraian memang dibolehkan dalam Islam, namun ini merupakan perbuatan
yang dibenci Allah. Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan talak.11 Menurut fuqaha, khulu’ kadang dimasukkan kedalam
makna umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh
yang diberikan istri kepada suami untuk menebus dirinya agar terlepas dari ikatan
pernikahan, baik dengan kata khulu’
mubara’ah maupun talak. Terkadang khulu’ juga dimasukkan dalam makna
khusus yaitu talak atas dasar iwadh sebagai
tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan).12
Khulu’ sendiri secara bahasa
artinya tanggal, menurut istilah berarti
perceraian yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain. Khulu’ disamakan denga talak yang dibeli oleh istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istri.
Ada beberapa hal yang menyebabkan diperbolehkannya salah satu pasangan
menuntut perceraian, diantaranya: Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya,
salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
11 Abdul rahman Al-ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) H. 220.
12 Ibn Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazdhab Syafi’i (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007). H.384.
perkawinan berlangsung, salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain,
salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri, antara suami dan istri terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.13Meski masalahan
ketimpangan finansial tidak dikemukaan secara tegas dalam larangan perceraian,
namu akibat yang ditimbulkan dari ketimpangan tersebut menyebabkan
beberapa faktor yang membolehkan untuk
pasangan menuntut cerai.
Dalam Kompilasi Hukum Islam
Hak dan Kewajiban suami istri telah
dijelaskan dengan sangat gamblang.
Suami sebagai Kepala Keluarga wajib
melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga
sesuai dengan kemampuannya, suami juga diwajibkan memberikan pendidikan
agama, memberikan kesempatan
belajar ilmu pengetahuan yang berguna
serta menanggung nafkah, kiswah, tempat kediaman, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi
istri dan anak-anaknya serta biaya pendidikan.14Sedangkan istri mempunyai
kewajiban utama berbakti secara lahir
dan batin kepada suami sesuai yang disyariatkan agama serta bertugas dalam menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.15
Maka sudah jelaslah bahwa finansial pada dasarnya adalah kewajiban yang harus
dipenuhi suami untuk keluarganya. Segala konsekuensi yang akan terjadi jika istri
13 Pasal 116 Bagian Kesatu BAB XVI Kompilasi Hukum Islam Tentang Putusnya Perkawinan.
14 Pasal 80 Bagian ketiga BAB XII Kompilasi Hukum Islam Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri.
15 Pasal 83 Bagian Keenam BAB XII Kompilasi Hukum Islam Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri.
lebih memilih bekerja seyogyanya dapat
difikirkan bersama, karena bagaimanapun
perceraian menimbulkan banyak dampak
negatif , baik bagi pasangan itu sendiri
maupun bagi anak keturunan mereka.
Meski di satu sisi masalah keduanya
akan terselesaikan namun menimbulkan
dampak negatif yang tidak dapat
terlelakkan pada pembangunan ekonomi
rumah tangga, rusaknya hubungan
individu dan sosial antar dua keluarga dan yang lebih berat adalah perkembangan psikologis anak yang akan mempengaruhi
perilakunya, kepribadian anak menjeadi
terbelah karena harus dihadapkan dalam
dua pilihan, ayah atau ibunya.16 B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif kualitatif yang menghasilkan data berupa kata-kata, gambar, perilaku, mementingkan segi
proses dari pada hasil dan manusia
sebagai alat atau instrumen.Penelitian
ini termasuk dalam penelitian lapangan
dengan studi kasus terhadap fenomena maraknya perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo. Penelitian ini dipilih atas wujud keprihatinan peneliti terhadap kasus cerai gugat yang ada, bahwa sesuai
dengan data yang diperoleh menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Ironisnya
Ponorogo merupakan kota santri yang
seharusnya masyarakatnya jauh bisa lebih sadar terhadap hukum keluarga.
Adapun sumber data didapatkan
melalui objek primer, sekunder dan tersier.
Sumber data primer didapatkandengan
mendatangi Pengadilan Agama Ponorogo
secara langsung dan melakukan
wawancara terstruktur dengan hakim dan panitera setempat serta wawancara dengan sejumlah ex TKW yang bercerai
16 T.O Ihrami, Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), H. 161.
hal ini untuk mengetahui motivasi mereka menjadi buruh migrant.Sedangkan
sumber data yang sifatnya sekunder didapatkan melalui dokumentasi foto, buku referensifiqih munakahat, jurnal,KHI, arsip perceraian, website resmi Pengadilan
Agama dan segala bentuk dokument lainnya. Sedangkan sumber data yang
sifatnya tersier melalui teknik snowball
sampling yakni teknik pengambilan sampel
sumber data. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap.17 Maka mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data
pelengkap. Seperti wawancara dengan pihak Badan Pusat Statistik daerah Ponorogo untuk mengetahui sensus penduduk Ponorogo yang bekerja sesuai
dengan jenis kelaminnya.
Teknik pengumpulan data yang
peneliti lakukan adalah dengan observasi, inter view dan dokumentasi.Dalam obser-vasi ini, peneliti terlibat dengan ke-giatan sehari-hari di Pengadilan untuk
mengamati proses perceraian sekaligus
mencari informasi tentang data yang peneliti perlukan. Pada tahap interview atau wawancara, dilakukan peneliti dengan
face to face maupun yang menggunakan
pesawat telpon atau media penghubung
lainnya. Interaksi secara langsung lebih banyak peneliti lakukan dengan para penggugat dan tergugat selama hari
sidang yakni dari Senin sampai Rabu. Data yang disampaikan hakim lewat wawancara
berdasarkan laporan pertanggung
jawaban Pengadilan AgamaPonorogoKelas 1B, menjadi rujukan terpenting peneliti. Wawancara pun peneliti lakukan terhadap pihak keluarga yang terlibat konflik
perceraian.
Setelah memperoleh data-data
sebagaimana peneliti kumpulkan, maka
17 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2015). H. 300.
selanjutnya adalah proses mengolah data-data tersebut dengan cara editing,
organizing dan interpretasi data.
C. Pembahasan
1. Ketimpangan Pendapatan Suami Dan Istri Dalam Pandangan Sosiologi Hukum Islam Pada Masyarakat Ponorogo
Dalam Islam, kebiasaan dan
kebudayaan masyarakat dapat menjadi dasar hukum dan hal tersebut tidak dapat
dinafikan, artinya pengaruh kebiasaan dan
budaya masyarakat terhadap hukum Islam
dan ajaran Islam adalah hal yang fitrah.
Sebab hukum pada mulanya adalah bagian dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang kemudian mengatur masyarakat
secara mengikat dan memaksa. Lalu pada
akhirnya muncullah ilmu tentang sosiologi
hukum Islam, dimana Islam diamati dan
dipelajari dari segi sosiologi hukumnya atau gejala-gejala sosial hukumnya.
Sebelum Islam datang, masyarakat
Arab dan Non Arab tidak membolehkan
wanita memilki harta atau membatasi secara ketat aktivitas wanita dalam mengelola hartanya. Para suami menguasai
harta yang dimiliki istri-istri mereka secara penuh. Islam datang mengikis habis
semua adat istiadat tersebut. Menetapkan bahwa wanita berhak memiliki harta sebagaimana kaum laki-laki. Mereka juga
berhak menggunakan hartanya sesuai dengan ketentuan yang diizinkan syari’ah. Di dalam Islam kita mengenal harta
tambahan untuk wanita selain warisan yakni mahar yang menjadi kewajiban laki-laki, bahwa seorang istri berhak mendapatkan nafkah dari suami sekalipun
dia dikelilingi harta yang melimpah.18
Islam menetapkan bahwa kaum wanita sebagaimana laki-laki boleh berdagang,
18 Rasyid Ridha, Aduhai Kaum Hawa Beginilah
Seharusnya Wanita Bersikap, alih bahasa Luqman Junaidi (Jakarta: Sanabil Pustaka, 2006), H. 40.
berbisnis, melakukan transaksi jual beli,
menghibahkan atau menyedekahkan harta yang dimilikinya. Jika terjadi sengketa
dengan pihak lain, dalam Islam wanita
diberi hak mempertahankan harta yang dimilikinya melalui jalur pengadilan.19
Beberapa ulama berpendapat
bahwa wanita diperbolehkan untuk
bekerja dengan beberapa ketentuan
seperti: menutup aurat, menghindari fitnah, mendapat izin dari suami, tetap menjalankan kewajibannya di rumah dan
pekerjaannya tidak menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki.20Secara konvensional,
dalam fiqh atau hukum perkawinan Indonesaia, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan keluarganya.
Namun pada dasarnya hal itu bukan menjadi pesan utama dari moralitas
ajaran kewajiban memberi nafkah.Dalam norma dasar hukum, Islam membebankan pertanggungjawaban/ kewajiban terhadap
orang yang memiliki kelebihan di atas
individu yang dia tanggung. Pendefisinian kewajiban suami untuk memberi nafkah mengacu pada segrasi dikotomis tentang fungsi suami istri dalam rumah tangga. Dalam pendekatan fungsional ini, setiap anggota dalam institusi sosial seperti keluarga misalnya, tidak boleh memerankan fungsi ganda sementara peran dan fungsi lainnya mengalami
kekosongan.
Dalam konteks kewajiban menafkahi
pada akhirnya terjadi pembagian tugas
dan kewajiban, atas dasar sosial-kultural tertentu, suami dibebani memberi nafkah sementara istri ditugasi untuk menjalankan peranan domestik.kewajiban
suami dan istri tersebut mengacu pada
modal/kapital sosial-kultural, dunia
laki-19 Rasyid Ridha, Aduhai Kaum Hawa Beginilah
Seharusnya Wanita Bersikap. H. 42.
20 Afitri Aidah, “Wanita Bekerja Dalam Islam”,
dalamislam.com diakses pada tanggal 25 Juli 2019.
laki lebih luas dan lebih menguntungkan
dibandingkan gerak wanita, akibatnya
laki-laki lebih mudah dalam mencari
nafkah. Atas dasar kemudahan tersebut menjadi logis jika suami diberi kewajiban memberi nafkah pada keluarganya.
Dalam pandangan sosial, peran manusia bisa saja berubah-ubah, artinya
di dalam sebuah rumah tangga suami dan
istri secara kolektif mempunyai kewajiban menafkahi keluarganya sesuai dengan
tingkat kemampuan masing-masing. Karena rumah tangga adalah hajat hidup
bersama yang wajib diperjuangkan
bersama pula.21
Maraknya kasus perceraian karena ketimpangan pendapatan di Ponorogo
mayoritas dialami oleh keluarga pasangan
TKI.Menurut data BPS terhitung sejak 2016 Kabupaten Ponorogo menjadi penyumbang terbanyak TKI di Jawa Timur,
dengan TKI laki-laki 2.388 dan perempuan
4.209 jiwa.Menurut Abdullah Shofwandi selaku humas hakim di PA Ponorogo,
jumlah perceraian TKI meningkat 200 %
dari tahun 2017 sampai tahun 2018.Untuk tahun 2019 tercatat 1777 kasus pernikahan,
1633 adalah kasus perceraian dengan 1162 adalah kasus cerai gugat dan 471 adalah kasus talak. Dari data yang ada 70% crai
gugat adalah dari TKW. Kemudahan menguruskan perceraian hanya lewat seorang pengacara juga menjadi faktor maraknya cerai gugat dikalangan TKW. 22
Budaya religi yang masih rendah
turut memberi sumbangsih perselisihan yang terjadi antara pasangan suami istri.
Baik kurangnya komunikasi maupun kurangnya kesadaran akan tanggungjawa masing-masing pihak, selain dari faktor
utamanya yaitu ekonomi.
21 Rizha S, “Tanya jawab tentang Keluarga”, Unhas. ac.id/rhizadiakses pada tanggal 3 Juli 2019. https:// www.unhas.ac.id/rhiza/tarbiyah3/qa-islam/QA189.txt.
22 Misnan Mualana, Wawancara, Pengadilan Agama Ponorogo tanggal 9 Juli 2019
Fenomena maraknya perceraian
karena perbedaan pendapatan sudah tidak
lagi tabu pada masyarakat Ponorogo. Meski
secara agama perceraian diperbolehkan tetapi ini merupakan sesuatu yang dibenci
oleh Allah SWT. Perempuan dengan
kemandirian ekonomi memang telah
membudaya di Ponorogo, banyak kantor-kantor Pemerintahan yang karyawannya
adalah perempuan demikian pula
pertokoan-pertokoan besar di Ponorogo, warung-warung kecil, supermarket dan juga tenaga kependidikan. Bagi yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga pun
tak luput dari usaha untuk mencapai kemandirian ekonomi dengan berbisnis online.
Dorongan untuk mencapai
keman-dirian ekonomi inilah yang pada awalnya
memotivasi ibu rumah tangga untuk
ikut membantu suami mencari nafkah. Tentunya motivasi lainnya juga ada,
misalnya karena ketidakpuasan dengan
penghasilan suami, tekanan dan tuntutan kehidupan, gaya hidup yang tinggi dan
lain sebagainya.
Kondisi yang terjadi pada Tenaga Kerja
Wanita adalah adanya hubungan LDR (Long
Distance Relationship) dalam waktu cukup
lama. Hal ini membutuhkan keteguhan kedua pasangan karena tidak jarang
LDR ini justru mendatangkan banyak permasalahan, seperti perselingkuhan baik
dari pihak suami yang di rumah maupun
istri, karena telah merasa mandiri secara financial maka istri tidak segan menggugat cerai suaminya.Pemerintah Ponorogo
telah mengambil sikap atas maraknya
perceraian ini, wacana peraturan daerah
tentang perceraian bagi tenaga kerja luar negeripun telah dipertimbangkan adanya.
Dalam kajian sosiologi Hukum Islam
istri sebagai pencari nafkah nyatanya mendatangkan banyak manfaat, hal ini
yang menjadi perubahan tatanan sosial
tatanan ini masih akan tetap sesuai dengan Hukum Islam jika terjalin timbal balik diantara keduanya. Dalam kasus
tenaga kerja wanita yang bekerja ke luar negeri di Ponorogo, istrilah yang menjadi tulang punggung utamanya, ketika istri menjadi pencari nafkah utama maka akan terjadi pergeseran peran dan fungsi antara
suami dan istri dan itupula yang akan menimbulkan akibat hukum tersendiri bagi masyarakat.
Dalam pandangan sosiologi hukum
Islam pergeseran peran dan fungsi
suami dan istri menyebabkan pula pada
pergeseran hak dan kewajiban. Inilah
yang kemudian menjadi titik persoalan yang lebih mendalam. Kedua pasangan baik suami maupun istri tidak menyadari akan adanya hal itu. Didukung dengan
kurangnya pemahaman terhadap agama,
menjadikan permasalahan semakin rumit ssehingga memicu pada pengajuan perceraian atau perpisahan.
2. Faktor Penyebab Maraknya TKW Di Ponorogo Dan Akibat Yang Ditimbulkan Dari Pendapatan Istri Yang Lebih Tinggi Dari Suami
Faktor ekonomi menjadi faktor penting
dalam sebuah rumah tangga. Keadaan ekonomi yang tidak bisa dicukupi oleh suami kemudian mendorong istri turut
andil dalam mencari nafkah. Mengambil
pekerjaan di luar negeri bukanlah
keputusan mudah bagi seorang wanita. Banyak resiko berat yang menghadang,
mulai dari kekerasan yang mungkin
dialami di tempat kerja, pelecehan seksual, kejahatan dan lain-lain. Perasaan
berat berpisah dari keluarga utamanya buah hati yang mungkin saja masih
balita, serta perasaan takut jika suami berbuat selingkuh dan lain sebagainya,
namun kembali lagi tuntutan ekonomi
yang membuat wanita kemudian tegar
dan memutuskan untuk mengambil jalan
iniagar dapat mendapatkan uang banyak
dalam waktu singkat.
Menurut data BPS tahun 2015 jumlah TKI/TKW yang berangkat ke luar negeri
mencapai 4.723 orang terdiri dari 1.097 tenaga kerja laki-laki dan 3.626 merupakan
tenaga kerja perempuan. Menyusul di tahun 2016 jumlah pekerjayang terdaftar
adalah 6.704 orang yang terdiri dari laki-laki 2.355 orang dan perempuan 4.349 orang.23
Diantara motivasi TKW Ponorogo untuk
bekerja ke luar negeri adalah: kebutuhan
finansial yang besar dan mendesak, seperti biaya sekolah anak, keinginan mandiri secara finansial tidak bergantung pada orang tua maupun mertua, dan
pendapatan suami tidak bisa cukup untuk memenuhi keinginan tersebut. Keinginan untuk membantu ekonomi
keluarga kemudian diwujudkan dengan menjadi TKW karena untuk mendapatkan pekerjaan di daerah asal susah, kalaupun ada gaji yang ditawarkan tidak terlalu besar. Banyaknya PT pembawa TKW juga turut menyumbangkan andil, jika dulu masyarakat kesulitan untuk menjadi TKW
sekarang keadaan itu berbalik.24
Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi alasan utama untuk menjadi
TKW. Di Ponorogo untuk mendapatkan
pekerjaan minimal harus memiliki
ijazah SMA, namun gaji pada pekerjaan taraf SMA juga dirasa tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari apalagi beberapa diantara TKW
ada juga yang terlilit hutang dan sulit
untuk melunasinya, sebagian lagi tergiur kesuksesan TKW lainnya yang lebih dahulu
berangkat.25
23 BPS, Kabupaten Ponorogo Dalam Angka (Ponorogo: BPS Kabupaten Ponorogo, 2016). H. 34
24 Misnan Maulana, Wawancara, Pengadilan Agama Ponorogo, 9 Juli 2019
25 Iman Nurdin, Wawancara, Kepala Desa Wonoketro,
Keputusan untuk menjadi tenaga
migrant wanita tentunya menimbulkan
dampak yang tidak sedikit baik bagi individu perempuan tersebut maupun keluarga yang ditinggalkannya. Dari hasil pengamatan yang ada dampak tersebut jelas terlihat pada psikologis masing-masing pasangan dan anak. Istri yang dalam stereotype masyarakat
adalah dibawah suami kedudukannya,
dengan pendapatannya yang lebih
tinggi menumbuhkan sifat kemandirian
yang tidak jarang berkembang menjadi keangkuhan bahkan terhadap suaminya sendiri. Suami yang notabene dalam rumah
tangga adalah Kepala rumah tangga,
dengan ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan rumah tangga menjadikan
kepercayaan dirinya turun, sehingga
terkadang melampiaskan kepada hal-hal
yang negative. Bagi anak yang ditinggalkan juga menyisakan permasalahan tersendiri, seperti kekurangan kasih sayang ibunya,
merasa tercukupi keinginannya sehingga menggampangkan segala sesuatu yang menjadikan anak menjadi manja.
Akibat lain yang terjadi jika ketimpangan pendapatan antara suami
dan istri, dimana pendapatan istri
lebih dominan dari pada suami yakni:
kecemburuan sosial, karena tugas rumah
menjadi terbengkalai jika keduanya bekerja
di luar rumah, anak kurang diperhatikan karena sibuk bekerja, keharmonisan dan
rasa kasih sayang keluarga berkurang
karena lebih mementingkan uang,
tidak ada kebahagiaan dalam rumah
tangga karena merasa lebih, istri akan
bersikap seenaknya karena mampu
memiliki penghasilan lebih dari suami, perselisihansuami, istri dan keluarga
karena menjadi buah bibir keluarga
maupun masyarakat, perselisihan yang
berlanjut akan mengakibatkan perceraiaan karena hilangnya kepercayaan antara
keduanya, menyalahgunakan kepercayaan
dan suami memanfaatkan istri yang bekerja dan hasilnya untuk berfoyah-foya,begitupun istri akan bersikap keras
dan tidak patuh kepada suami.
3. Analisis Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Suami Istri Terhadap Peningkatan Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Ponorogo Kelas 1B Kabupaten Ponorogo.
Pengadilan Agama Ponorogo berdiri
dengan payung hukumnya yakni Stbd 1820 No 20 jo Stbd 1835 No 58 dengan
perubahan nama dan wilayah hukum serta lokasi Pengadilan Agama Ponorogo berdasarkan Stld 1828 No 55, Stbd 1854No
128dan Stbl 1882 No 152. 26Terhitung
pada tahun 2018 Pengadilan Agama Ponorogo telah memprosesperkaracerai gugatsebanyak 1.902 perkara. Ceraigugat
yang disebabkan ketimpangan ekonomi sebanyak 1.430 perkara. Dan di tahun 2019 tercatat 1162 kasus cerai gugat dari
1777 perkara perkawinan yang masuk ke Pengadilan Aagama dengan 70% penggugat adalah Tenaga Kerja Wanita. Mayoritas perceraian karena faktor utama ketimpangan ekonomi suami dan istri, kemudian berkembang kepada faktor
lain yang menyebabkan ketidakadanya keharmonisan dalam keluarga.Seperti
pada laporan faktor-faktor perceraian yang telah terjadi di Pengadilan Agama Ponorogo pada tahun 2018 sebagai
berikut:27
1. Faktor zina : 26 perkara 2. Faktor mabuk : 17 perkara
3. Faktor meninggalkan salah satu pihak
:239 perkara
4. Faktor dihukum penjara : 1 perkara 5. Faktor KDRT :18 perkara
26 Ihsan, sejarah PA Ponorogo, Pa-Ponorogo.go.id diakses tanggal 9 Juli 2019, http://www.pa-ponorogo. go.id/index.php/sejarah,
27 Dokumentasi Laporan Perceraian Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2018 dikutip tanggal 19 Juni
6. Faktor cacat badan : 4 perkara 7. Faktor perselisihan terus menerus
: 166 perkara
8. Faktor kawin paksa : 1 perkara 9. Faktor ketimpanganekonomi : 1.430
perkara
Faktor yang paling dominan adalah
ketimpangan ekonomi yang belum
tercukupi, sehingga berdampak pada nafkah yang belum terpenuhi. Pendapatan ekonomi suami yang kekurangan, istri akan berinisiatif untuk membantu keaadan keluarga lewat ijin suami pergi
meninggalkan rumah dan bekerja diluar daerah bahkan keluar negeri. Suami yang mengingkari kepercayaan istri dengan mudah mengeksploitasi penghasilan istri yang lebih besar dan lebih berpengaruh
dalam memenuhi nafkah keluarga untuk berpoyah-poyah. Maka terjadilah
ketimpangan pendapatan dan tugas diantara keduanya yang berakibatcerai.28
Kurangnya ekonomi keluarga menjadi semakin memperparah hubungan
rumahtangga. Pada akhirnya keluarga yang kurang keimanannya dalam agama, kurang bertanggungjawab dan kurang usaha, mengalami stres dalam menjalani
28 Abdullah Shofwandi, Wawancara, Pengadilan Agama Ponorogo, 9 Juni 2019.
hidup. Stres dalam masalah ekonomi mengakibatkan salah satu pihak dapat
menimbulkan faktor-faktor perceraian sebagai berikut: Mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, poligami atau nikah lagi karena ditinggal pergi, KDRT dan perselisihan terus menerus. Walaupun tidak semua faktor yang ada
karena adanya pemicu ketimpangan
ekonomi dalam keluarga, tapi kita bisa
melihat tabel laporan perkara cerai
Pengadilan Agama Ponorogo di atas. Masalah perbedaan pendapatan istri
lebih dominan dari suami masuk dalam katagori ketimpangan ekonomi yang
bisa menjadi faktor utama perceraian,
tapi ada sebuah alasan tersendiri istri
menggugat cerai suaminya. Meskipun
tidak secara pasti dapat dikatakan istri yang berpendapatan lebih dari suaminya itu sering menimbulkan percekcokan dan
pertengkaran, karena keduanya kurang baik mengelola rumah tangga. Faktor
ketimpangan ekonomi sangat dominan
sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo Kelas 1B.29
Berikut beberapa contoh keluarga yang bercerai karena factor perbedaan
29 Abdullah Shofwandi, Wawancara, Pengadilan Agama Ponorogo, 9 Juni 2019, pukul; 13.30
NO ISTRIINISIALSUAMI ISTRIPEKERJAAN SUAMI ISTRIPENDAPATANSUAMI
1 Y (44) M (46) TKW Hongkong Pedagang B K 2 Q (26) A (32) TKW Hongkong Wiraswasta B K 3 W(32) P (35) TKW Taiwan Petani B K 4 J (45) M (51) TKW Hongkong Swasta B K 5 T (35) K (32) TKW Hongkong Swasta B K 6 L (30) B (31) TKW Hongkong Swasta B K 7 T (44) S (45) TKW Hongkong Wiraswasta B K 8 S (29) O (31) TKW Taipe supir B K 9 S (33) S (39) TKW Taipe supir B K 10 S (29) E (32) TKW Hongkong Swasta B K
NB: Nama bersifat privasi menggunakan Inisial.
K = Pendapatan lebih kecil. B = Pendapatan lebih besar. (52) = Umur.
pendapatan antara suami dan istri, ketika
pendapatan istri lebih besar dan berperan
dalam kehidupan nafkah keluarga:30
Islam telah mengatur manusia dalam
menentukan pasangan hidupnya, yakni
melihat dari kemumpunian agamanya.
Hal ini sangatlah ironis, karena faktor
pemahaman agama sangat menentukan kepribadian seseorang begitu juga perlakuannya terhadap pasangan.
Pernikahan yang didasarkan harta,
kecantikan dan nasab mempunyai
batas waktu yang singkat, karena harta, kecantikan dan nasab tidak bisa dibawa mati. Pernikahan yang berdasakan harta membawa kebahagian keluarga ketika
dimasa kayanya. Dimana ketika harta itu hilang keluarga yang sebelumnya menikah dalam tujuan membentuk rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, menjadi tergoyahkan keimanan mereka karena harta. Pada saat yang
sama kurangnya harta rumah tangga berdampak pada kurang nya kebutuhan. Susahnya kebutuhan yang diperoleh
setiap keluarga, mengakibatkan hak dan kewajiban suami-istri tidak sesuai pada
proporsi tugasnya masing-masing.
Hak dan kewajiban suami-istri yang
tidak semestinya dijalankan berakibat pada ketimpangan pendapatan antara suami dan istri. Istri yang ikut berperan
mencari nafkah keluarga, dengan alasan
ingin membantu kehidupan rumah
tangga, harus melalui ijin sang suami. Bekerjanya istri memproleh uang demi
memenuhi kebutuhan rumah tangga sudah menyalahi aturan-aturan dan tugas
keluarga, walaupun istri boleh melakukan
pekerjaan diatas suami.
Pekerjaan yang diproleh istri melebihi pendapatan suami, boleh digunakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga
tapi atas dasar ijin suami. Perbedaan
30 Dokumentasi Putusan Pengadilan Agama Ponorogo Januari Tahun 2018 dikutip tanggal 10 Juli 2019 pukul 19.30 WIB.
pendapatan antara suami dan istri,
dimana pendapatan istri lebih dominan dan berpengaruh dalam keluarga akan berdampak pada tekanan batin dan
psikologis keduanya, maupun keluarga
sang suami dan keluarga sang istri.
Menurut hasil laporan perkara di Pengadilan AgamaPonorogoKelas 1Bkasus
perceraian berjumlah 1.902 pada tahun
2018, dan 1.430 ceraigugatkarenaketimpan ganekonomi. Faktor yang paling dominan adalah ekonomi atau nafkah yang tidak
tercukupi.Ketimpangan pendapatan yang dominan adalah ketika istri bekerja diluar negeri. Hasil jerih payah istri bekerja diluar negeri demi mencari
nafkah sering dimanfaatkan oleh suami.
Suami berpesta pora dengan hasil kerja istri selama diluar negeri.Sehinggatimbu
llahpenyebabceraikarena suami mabuk, anak dirumah tidak diurus, selingkuh, zina, KDRT, penghasilannya belum
mencukupi kebutuhan rumah tangga
karena hanya memanfaatkan penghasilan istri, dan melakukan tindakan yang tidak semestinya. Pada akhirnya pihak keluarga istri mengetahui sifat suami dan menjadi
buah bibir dipihak keluarga
masing-masing, dan berakhir pada keinginan
cerai.
Permasalahan sebagaimana di atas
sebenarnya dapat diatasi apabila kedua belah pihak kembali sadar akan tujuan
mulia sebuah pernikahan, pernikahan
adalah mistaqan galidzan, yang ikatannya
suci dan dipertanggungjawabkan
kelak di akhirat. Hukum Islam tidak
melarang istri mencari nafkah selama tidak keluar dari syariat Islam, bahkan
membolehkan membantu suami mencari
nafkah keluarga, selama tidak melalaikan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah
tangga karena pencapaian kebahagiaan dalam keluarga sangat membutuhkan peran keduanya.Kesepadanan dalam
dilakukan istri atas ijin suami karena alasan ingin membantu meringankan keadaan suami. Tapi tentunya istri tidak boleh menyalah gunakan ijin suami dan meminta cerai dari suami karena merasa
mampu mencari nafkah sendiri.
Maka perbedaan pendapatan harus
menjadi renungan peningkatan dan pendidikan menurut tauladan kita
Rasulullah Saw, akan tetapi apabila hal
tersebut berakibat terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
dan tidak dapat bersatu lagi, maka hal
tersebut yang dapat dijadikan alasan cerai
sebagaimana huruf (f) PP No. 9 Th 1975,
dan KHI (116).
Sesuai dengan firman Allah Swt
dalam(Q.S. An-Nisa 4:34) dan hadis nabi
tentang nafkah, menjelaskan bahwa
laki-laki adalah pemimpin keluarga dan seharusnya berperan penuh dalam keluarga. Karena suami adalah sebagai
kepala rumah tangga yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarga. Ketika hal tersebut tidak tercapai, istri boleh bekerja
diluar atas seijin suami. Sepanjang tidak melanggar syari’at dan kepercayaan keduanya. Dalam hal ketimpangan pendapatan Islam tidak memperbolehkan seorang istri menuntut cerai dari suaminya.Keduanya harus berupaya mencari jalan keluar sebaik-baiknya. Ketika istri kemudian mendapatkan
penghasilan yang lebih , tidak seharusnya
istri mengambil alih peran kepala
keluarga. Wanita boleh saja bekerja diluar rumah sepanjang tidak melanggar syariat,
akan tetapi bagaimanapun laki-laki tetap sebagai pemimpin rumah tangga.31
Dengan harmonisasi yang baik walaupun
keduanya berperan dalam memenuhi
kebutuhan kelaurga, maka akan tercapai tujuan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah.
31 Abdullah Shofwandi, Wawancara, Pengadilan Agama Ponorogo, 9 Juni 2018, pukul 13.30
D. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa memang ada hubungan yang kuat
antara adanya ketimpangan pendapatan suami dan istri dengan tingginya kasus cerai gugat yang ada di Kabupaten
Ponorogo, utamanya pada keluarga tenaga migrant wanita atau TKW. Namun demikian faktor ketimpangan pendapatan
ini sejatinya bukan yang utama namun ada
faktor pemicunya, seperti pemahaman
agama yang rendah sehingga masing-masing pasangan kurang mampu menghormati dan menghargai satu sama lain. Disamping itu ketidakmampuan suami dalam mengelola keuangan menjadikan istri merasa kerja kerasnya
selama menjadi TKW tidak ada artinya,
ditambah lagi dengan campur tangan
keluarga suami dalam hal keuangan, ketidakmampuan mengurus anak, suami
atau istri yang tergoda untuk melakukan perselingkuhan karena tidak cukup kuat mengahadapi hubungan jarak jauh dalam
waktu lama menjadikan adanya pertikaian
yang tidak berkesudahan. Kemandirian yang dipunyai istri pada akhirnya menjadikannya berani untuk menuntut cerai dari suaminya.
Hal tersebut dapat dihindari dengan
saling menumbuhkan rasa percaya,
saling menghormati dan menghargai antar pasangan agar tidak terjadi
kesalahfahaman. Dalam masa tunggu istri di Luar Negeri hendaknya suami
dapat memproduksikan dirinya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang
didakan oleh Pemerintah maupun swasta
untuk mengasah skill nya guna berusaha meningkatkan ekonomi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hadad, Al-Thahir. Wanita Dalam Syariat
dan Masyarakat, alih bahasa M.Adib Bisri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Abdulrahman, “Menyiasati Ketimpangan
Pendapatan Suami Istri”,finance.detik. com/perencanaan keuangan/diakses pada tanggal 3 Juni 2019.http:// finance.detik.com/perencanaan keuangan/menyiasati-ketimpangan-pendapatan-suami-istri,
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
DI Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Aida, Afitri “Wanita Bekerja Dalam Islam”,
dalamislam.com diakses pada tanggal
25 Juli 2019.http//www.dalamislam. com/wanita-bekerja-dalam-islam. BPS, Kabupaten Ponorogo Dalam Angka.
Ponorogo: BPS Kabupaten Ponorogo,
2016.
Dokumentasi Laporan Perceraian
Pengadilan Agama Ponorogo bulan Januari – Desember 2018 Tentang Laporan Penyebab Perceraian
Dokumentasi Putusan Pengadilan Agama Ponorogo Januari 2018 dikutip tanggal
10 Juli 2019
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2003. Ihrami, T.O. Sosiologi Keluarga. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004.
Ihsan, sejarah PA Ponorogo, pa-ponorogo. go.id/index, diaksestanggal 9 Juli 2019.http://www.pa-ponorogo.go.id/ index.php/sejarah,
Muhammad Azzam, Abdul Aziz, Abdul
Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat alih bahasa Abdul Majid Khon, Jakarta: AMZAH, 2009.
Nasution, Khairuddin. Islam Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan), cet.
1. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa,
2004.
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1996.
Ridha, Rasyid. Aduhai Kaum Hawa Beginilah
Seharusnya Wanita Bersikap, alih bahasa
Luqman Junaidi. Jakarta: Sanabil Pustaka, 2006.
Rhiza S, Tanya Jawab Hukum Bekerja Bagi Wanita, Unhas.ac.iddiakses pada tanggal 3 Juli 2019. https://www. unhas.ac.id/rhiza/tarbiyah3/qa-islam/QA189.txt.
Sabiq, Sayyid.Fiqih Sunnah, alih bahasa
Moh. Tholib. Bandung: PT al-Ma’arif,
1997.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: Alfabeta, 2015.
Wahyuni, Dwi dan Nurseffi. “Pendapatan Istri Lebih Besar Dari Suami”,liputan6.
com/bisnisdiakses pada tanggal 3 Juni 2019.http://www.liputan6.com/
bisnis/read/06/pendapatan-istri-lebih-besar-dari-suami.
Zainal Abidin Ibn Mas’ud, Fiqh Mazdhab
Syafi’i .Bandung: CV Pustaka Setia,
2007.
Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuhu, juz VII. Damsyik: Dar
al-Fikr, 1989.