Ujian Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Publik
Abstrak:
Tuntutan terhadap mutu pendidikan menjadi syarat penting guna menjawab tantangan perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan.
untuk mendukung terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Salah satu Kebijakan Pemerintah yang dianggap
standar Pendidikan adalah Ujian Nasional yang sejak tahun 2005 pelaksanaan pernah lepas dari berbagai permasalahan
yang lazim terjadi pada tataran normativ kenyataan dengan harapan (
Ujian yang dimaksudkan untuk mengukur standar kelulusan dengan pencapaian target nilai yang telah ditetapkan , senyatanya bukan justeru mampu
lebih menjadi ajang berbagai kepentingan. Anehnya lagi semua kritikan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional justeru datang dari akademisi
langsung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya hajat besar nasional tersebut. Sementara masyarakat
kebijakan yang ditempuh.
Ujian Nasional juga sering tergiri lokomotif kendaraan politik.
ditetapkan. Karena hasil akhir menjadi begitu penting dan menggambarkan suksesnya pendid
provinsi, kabupaten/kota bahkan sekolah tertentu. Performance proses pendidikan pun terabaikan bahkan isu meredup seiring lemahnya kompetensi mutu lulusan.
kesempatan bekerja. Nyata sudah plus min
puncak kekisruhan persoalan teknis seperti kesiapan
mengakibatkan ujian tak dapat dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia yang justeru menjadi syarat dalam Prosedur Operasional Standar (POS) UN. “ruh”
mutu pendidikan pun serasa sirna. Lantas mengapa Ujian Nasional sebuah kebijakan yang harus kita lihat.
Kata Kunci :
A. Periode Perubahan Kebijakan Pada bab II Pasal 3, Undang disebutkan, bahwa Pendidikan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mah
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Apa yang tertuang pada pasal
Pemerintah ikut bertanggungjawab
dapat diukur secara komprehensif meliputi seluruh unsur baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang membentuk watak dan kepribadian manusia Indonesia yang cerdas dan b
implementasinya, sasaran Ujian Nasional lebih pada tujuan akhir memperoleh standar nilai yang diatas kertas terukur hanya secara akademis.
Untuk mencapai standar kelulusan yang ditetapkan, Pemerintah prinsipnya merupakan evaluasi dari hasil/proses belajar
Ujian nasional, Pemerintah yang telah 1. Pada periode
1950-1960-nasional. Soal-soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.
2. Pada periode1965-1971 semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat.
Ujian Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Publik
Nurul Hidayah
Tuntutan terhadap mutu pendidikan menjadi syarat penting guna menjawab tantangan perubahan dan berbagai aspek kehidupan. Karenanya dibutuhkan kebijakan dan strategi yang tepat untuk mendukung terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Salah satu Kebijakan Pemerintah yang dianggap strategis dan mudah dalam memetakan dan standar Pendidikan adalah Ujian Nasional yang sejak tahun 2005 pelaksanaan
pernah lepas dari berbagai permasalahan dan memicu isu kontraversi. Hal ini kita fahami sebagai fenomena yang lazim terjadi pada tataran normative, dimana permasalahan selalu timbul manakala
kenyataan dengan harapan (das sein das sollen).
Ujian yang dimaksudkan untuk mengukur standar kelulusan dengan pencapaian target nilai yang senyatanya bukan justeru mampu mendongkrak dan memotivasi kualitas lulusan, namun lebih menjadi ajang berbagai kepentingan. Anehnya lagi semua kritikan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional justeru datang dari akademisi, praktisi pendidikan dan berbagai kalangan yang notabene secara ung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya hajat besar nasional Sementara masyarakat menanti kepastian sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas langkah kebijakan yang ditempuh.
Nasional juga sering tergiring dalam ranah yang memancing isu popular
lokomotif kendaraan politik. Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meraih mencapai target nilai yang ditetapkan. Karena hasil akhir menjadi begitu penting dan menggambarkan suksesnya pendid
provinsi, kabupaten/kota bahkan sekolah tertentu. Performance proses pendidikan pun terabaikan bahkan isu meredup seiring lemahnya kompetensi mutu lulusan. Apatah lagi menilik peluang
Nyata sudah plus minus UN dalam masa trial and error sejak 2005 hingga 2013, diwarnai persoalan teknis seperti kesiapan dan terlambatnya pendistribusian
mengakibatkan ujian tak dapat dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia yang justeru menjadi
syarat dalam Prosedur Operasional Standar (POS) UN. “ruh” Kebijakan strategis terhadap peningkatan mutu pendidikan pun serasa sirna. Lantas mengapa Ujian Nasional tetap dilaksanakan
yang harus kita lihat.
Kebijakan Pemerintah terkait evaluasi/ujian akhir sekolah.
ab II Pasal 3, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mah
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Apa yang tertuang pada pasal tersebut secara implisit dapat dimaknai bahwa melalui proses pendidikan
gungjawab pada upaya meningkatkan kemampuan peserta didik dalam konteks yang komprehensif meliputi seluruh unsur baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang membentuk watak dan kepribadian manusia Indonesia yang cerdas dan b
implementasinya, sasaran Ujian Nasional lebih pada tujuan akhir memperoleh standar nilai yang diatas kertas terukur hanya secara akademis.
Untuk mencapai standar kelulusan yang ditetapkan, Pemerintah membuat kebijakan Ujian Nasional prinsipnya merupakan evaluasi dari hasil/proses belajar. Namun, jauh sebelum evaluasi hasil akhir siswa bernama
yang telah melaksanakan dalam beberapa periode kebijakan sebagai berikut: -an disebut dengan ujian penghabisan. Ujian ini diadakan
soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.
semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan
Ujian Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Publik
Tuntutan terhadap mutu pendidikan menjadi syarat penting guna menjawab tantangan perubahan dan Karenanya dibutuhkan kebijakan dan strategi yang tepat
strategis dan mudah dalam memetakan dan mengukur standar Pendidikan adalah Ujian Nasional yang sejak tahun 2005 pelaksanaannya digulirkan hampir tak . Hal ini kita fahami sebagai fenomena e, dimana permasalahan selalu timbul manakala berbenturan antara Ujian yang dimaksudkan untuk mengukur standar kelulusan dengan pencapaian target nilai yang mendongkrak dan memotivasi kualitas lulusan, namun lebih menjadi ajang berbagai kepentingan. Anehnya lagi semua kritikan terhadap pelaksanaan Ujian dan berbagai kalangan yang notabene secara ung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya hajat besar nasional menanti kepastian sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas langkah
isu popular yang ditempatkan pada Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meraih mencapai target nilai yang ditetapkan. Karena hasil akhir menjadi begitu penting dan menggambarkan suksesnya pendidikan disuatu provinsi, kabupaten/kota bahkan sekolah tertentu. Performance proses pendidikan pun terabaikan bahkan peluang untuk mendapatkan sejak 2005 hingga 2013, diwarnai dan terlambatnya pendistribusian soal yang mengakibatkan ujian tak dapat dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia yang justeru menjadi salah satu Kebijakan strategis terhadap peningkatan dilaksanakan adalah sisi lain dari
Pemerintah terkait evaluasi/ujian akhir sekolah.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional asional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. secara implisit dapat dimaknai bahwa melalui proses pendidikan pada upaya meningkatkan kemampuan peserta didik dalam konteks yang komprehensif meliputi seluruh unsur baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang membentuk watak dan kepribadian manusia Indonesia yang cerdas dan beradap. Meskipun pada implementasinya, sasaran Ujian Nasional lebih pada tujuan akhir memperoleh standar nilai yang diatas kertas
kebijakan Ujian Nasional yang . Namun, jauh sebelum evaluasi hasil akhir siswa bernama sanakan dalam beberapa periode kebijakan sebagai berikut:
disebut dengan ujian penghabisan. Ujian ini diadakan dan dilaksanakan secara soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal-soal yang diujikan semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan
3. Pada periode 1972-1979,
menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum. 4. Pada periode 1980-2001, merupakan awal
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu Ebtanas untuk mata pelajaran umum dan Ebta untuk mata pelajaran non
pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga. 5. Periode 2002-2004, sebutan
kelulusan tiap tahun berbeda
- Pada UAN 2002 kelulusan
- Pada UAN 2003 standar kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata
6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya.
- Pada UAN 2004, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan tidak ada nilai
rata-tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masyarakat, akhirnya diadakan ujian ulang.
Tonggak perubahan signifikan pada kebijakan pelaksanaan Evaluasi belajar siswa ini dimulai pada p hingga sekarang (2013). Dimana
nilai yang berubah setiap tahunnya.
- Ujian Nasional tahun 2005
lulus pada tahap I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus.
- Ujian Nasional tahun 2006
dan rata-rata nilai harus lebih dari 4.50
- Ujian Nasional tahun 2007
a. Nilai rata-rata minimal 5.00 untuk seluruh mata pelajaran de
b. Jika nilai minimal 4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata pelajaran lainnya adalah 6.00.
- Ujian Nasional tahun 2007 tidak ada ujian ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk m paket c untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan
- Ujian Nasional 2008 mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini menjadi enam. Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria yang hampir
saja terdapat penambahan nilai rata
ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata pelajaran yang di-UN-kan dan ya
- Ujian Nasional 2009 standar untuk mencapai kelulusan, nilai rata
pelajaran yang di-UN-kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya
- Pada Ujian Nasional tahun
a. Memiliki nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
b. Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Proses perubahan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional yang demikian panjang, pada hakikatnya merupakan langkah evaluasi kebijakan yang dilakukan pem
mutu dan kompetensi lulusan. Akan tetapi, kebijakan ini seolah belum menyentuh hasrat banyak pihak dalam mewujudkan mutu pendidikan sebagaimana diharapkan.
pendidikan ini bernama Ujian Nasional
kepentingan dan memiliki pengaruh pada kebijakan politis. K
sedang berada di puncaknya. Dimana seluruh Provinsi dan kabupaten/kota sedang berada dan memperoleh kesempatan untuk berinovasi terhadap kebijakan pendidikan di daerahnya masing
nilai Ujian Nasional disamakan diseluruh wilayah Indonesia seolah Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan
daerah.
1979, pemerintah memberi kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing
kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
2001, merupakan awal diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu Ebtanas untuk mata pelajaran umum dan Ebta untuk mata pelajaran non-ebtanas.
pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus
ata seluruh mata pelajaran yang diujikan adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga. , sebutan Ebtanas diganti dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standar kelulusan tiap tahun berbeda-beda;
kelulusan ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
standar kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata
6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya.
, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan -rata minimal. Pada mulanya UAN 2004 ini tidak ada ujian ulan
tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masyarakat, akhirnya diadakan ujian ulang. sumber:http://uniqpost.com/16503/ujian-nasional-dan
Tonggak perubahan signifikan pada kebijakan pelaksanaan Evaluasi belajar siswa ini dimulai pada p . Dimana UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional (UN) d
setiap tahunnya.
2005 minimal nilai untuk setiap mata pelajaran adalah 4.25. para siswa yang belum lulus pada tahap I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus.
Ujian Nasional tahun 2006 standar kelulusan minimal adalah 4.25 untuk tiap mata pelajaran yang diujikan rata nilai harus lebih dari 4.50 dan tidak ada ujian ulang.
2007 terdapat dua kriteria kelulusan yaitu;
rata minimal 5.00 untuk seluruh mata pelajaran dengan tidak ada nilai di bawah 4.25.
Jika nilai minimal 4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata pelajaran innya adalah 6.00.
007 tidak ada ujian ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk m paket c untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan.
mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini menjadi enam. Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria yang hampir sama dengan tahun 2007 hanya saja terdapat penambahan nilai rata-rata minimal menjadi 5.25. Penambahan mata pelajaran pada UN 2008 ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata
kan dan yang tidak.
standar untuk mencapai kelulusan, nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
tahun 2010 standar kelulusannya adalah;
rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
untuk SMK, nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk rata UN.
Proses perubahan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional yang demikian panjang, pada hakikatnya merupakan langkah evaluasi kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam menetapkan standar nilai
mutu dan kompetensi lulusan. Akan tetapi, kebijakan ini seolah belum menyentuh hasrat banyak pihak dalam mewujudkan mutu pendidikan sebagaimana diharapkan. Berbagai persoalan muncul ketika evaluasi ter
jian Nasional terutama memasuki periode 2010 hingga 2013. Periode ini menjadi sarat kepentingan dan memiliki pengaruh pada kebijakan politis. Kebijakan pusat itu hadir justeru disaat ephoria otonomi Dimana seluruh Provinsi dan kabupaten/kota sedang berada dan memperoleh kesempatan untuk berinovasi terhadap kebijakan pendidikan di daerahnya masing-masing, sehingga ketika standar nilai Ujian Nasional disamakan diseluruh wilayah Indonesia seolah tidak dikorelasikan
Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan secara merata dan kondisi maupun potensi beragaman yang dimiliki tiap beri kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu Ebtanas Ebtanas dikoordinasi oleh pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus
ata seluruh mata pelajaran yang diujikan adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga. Ebtanas diganti dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standar ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
standar kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya.
, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan ada ujian ulangan bagi yang tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masyarakat, akhirnya
dan-sejarahnya/
Tonggak perubahan signifikan pada kebijakan pelaksanaan Evaluasi belajar siswa ini dimulai pada periode 2005 UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional (UN) dengan penetapan standar minimal nilai untuk setiap mata pelajaran adalah 4.25. para siswa yang belum lulus pada tahap I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus.
minimal adalah 4.25 untuk tiap mata pelajaran yang diujikan
ngan tidak ada nilai di bawah 4.25. Jika nilai minimal 4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata pelajaran
007 tidak ada ujian ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk mengambil mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini menjadi sama dengan tahun 2007 hanya rata minimal menjadi 5.25. Penambahan mata pelajaran pada UN 2008 ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata rata minimal 5.50 untuk seluruh mata kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal
rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
untuk SMK, nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk
Proses perubahan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional yang demikian panjang, pada hakikatnya standar nilai untuk memetakan mutu dan kompetensi lulusan. Akan tetapi, kebijakan ini seolah belum menyentuh hasrat banyak pihak dalam Berbagai persoalan muncul ketika evaluasi terhadap proses periode 2010 hingga 2013. Periode ini menjadi sarat ebijakan pusat itu hadir justeru disaat ephoria otonomi Dimana seluruh Provinsi dan kabupaten/kota sedang berada dan memperoleh masing, sehingga ketika standar dengan tersedianya Standar secara merata dan kondisi maupun potensi beragaman yang dimiliki tiap
Berbagai kritik, saran dan upaya perubahan kebijakan yang disuarakan berbagai kalangan seakan m
meninjau kembali kebijakan ini. Ujian Nasional terus dilaksanakan, standar nilai makin meningkat namun mutu pendidikan tidak serta merta menjadi dampak ikutan dari kebijakan yang kian melangit. Karenanya, meski telah melalui proses panjang, kebijakan menghentikan, melanjutkan atau merubah pelaksanaan Ujian Nasional perlu evaluasi dalam perspektif kebijakan publik
2.Ujian Nasional dalam berbagai aspek kepentingan;
Ujian Nasional sepertinya merupakan jalan yang dianggap mudah oleh
indikator dan standar mutu. Komponen UN yang melibatkan banyak kepentingan terkadang menjadi pemicu dari hilangnya arah sebuah kebijakan. Ujian Nasional memiliki mekanisme jejaring dan komponen multi system. Mulai dari perencanaan, pengadaan soal/logistik ujian
karenanya dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena melibatkan berbagai kepentingan. Tahun 2013, UN menyerap APBN hingga mencapai 600 Milyar lebih
Digunakan untuk apakah dana ini semua jika ternyata hasil yang dicapai belum mampu meningkatkan mutu pendidikan dan menjadi standar yang sesungguhnya dalam mengukur wajah pendidikan Indonesia?. Hal ini dibuktikan dari tidak semua siswa yang lulus UN dapat diterima pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, demikian pula tidak semua yang tidak lulus UN tergolong siswa yang lemah secara akademik maupun keunggulan bakat lainnya. Karena esensi dari indikator
namun terkait pula dengan nilai-nilai (
Mencari penyebab rendahnya mutu pendidikan yang dihadapi sekaligus menemukan
lebih sering mengulang kesalahan dan mengevaluasi unsur yang tidak substantif untuk dilakukan evaluasi. William N. Dunn; bahwaEvaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas public, karenanya kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi akuntabilitas tersebut, yakni:
1. Memberikan Eksplanasi yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah program/kebijakan. Apakah selama ini kita pernah melakukan studi eva
pencapaian nilai peserta UN dengan kualitas pendidikan secara umum. Adakah hasil menjadi tolok ukur dalam kompetisi mutu lulusan?
2. Mengukur Kepatuhan,
Sejauhmana Ujian Nasional dilaksanakan berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) Mengapa terjadi kebocoran soal, penyebarluasan kunci ja
kualitas kertas jawaban yang buruk, pinsil yang mudah patah, penghapus yang mengotori lembar jawaban dan sebagainya yang mengganggu proses dan berdampak pada output yang ter ukur.
3. Melakukan Auditing untuk
Adakah siswa yang lulus UN benar
tanpa harus berkompetisi secara tidak fair. Mengapa yang nilai UN nya tinggi justeru Tinggi.?Apakah ada kebocoran dan penyimpangan pada penggunaan anggaran melibatkan terlalu banyak unsur yang kurang berkepentingan?.
pada pelaksanaan program?
4. Akunting; untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan
Adakah pelaksanaan Ujian nasional yang menyerap anggaran demikian besar mampu benar mutu pendidikan dan berdampak pada meningkatnya sumberdaya manusia atau juster memberi dampak buruk dan meresahkan masyaraka?.
Fenomena menarik setiap tahun kita lihat ketika “gong” hari pertama ujian Nasional yang dilakukan secara serentak diseluruh Indonesia mampu secara serentak pula menggerakkan para peja
bupati/walikota, kepala dinas dan seluruh jajaran terkait melakukan aksi meninjau hajat besar Nasional tersebut. Puluhan pengawas ditempatkan pada tiap sekolah yang jumlahnya mencapai ribuan di seluruh Indonesia. Ini semua hanya rutinitas protap yang tidak menghasilkan apa
sedikit. Semestinya para pejabat yang ditugaskan memantau Ujian Nasional memiliki fungsi evaluasi yang dapat mengukur kemajuan, menunjang penyusunan rencana d
selanjutnya.
Berbagai kritik, saran dan upaya perubahan kebijakan yang disuarakan berbagai kalangan seakan m
meninjau kembali kebijakan ini. Ujian Nasional terus dilaksanakan, standar nilai makin meningkat namun mutu pendidikan tidak serta merta menjadi dampak ikutan dari kebijakan yang kian melangit. Karenanya, meski telah
ng, kebijakan menghentikan, melanjutkan atau merubah pelaksanaan Ujian Nasional perlu dalam perspektif kebijakan publik.
Ujian Nasional dalam berbagai aspek kepentingan;
Ujian Nasional sepertinya merupakan jalan yang dianggap mudah oleh pemerintah dalam menentukan Komponen UN yang melibatkan banyak kepentingan terkadang menjadi pemicu dari hilangnya arah sebuah kebijakan. Ujian Nasional memiliki mekanisme jejaring dan komponen multi system. Mulai /logistik ujian, penetapan nilai, distribusi soal sampai pada monitoring dan evaluasi, karenanya dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena melibatkan berbagai kepentingan. Tahun 2013, UN menyerap APBN hingga mencapai 600 Milyar lebih ditambah dengan dukungan Anggaran Pemerintah Daerah. Digunakan untuk apakah dana ini semua jika ternyata hasil yang dicapai belum mampu meningkatkan mutu pendidikan dan menjadi standar yang sesungguhnya dalam mengukur wajah pendidikan Indonesia?. Hal ini ibuktikan dari tidak semua siswa yang lulus UN dapat diterima pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, demikian pula tidak semua yang tidak lulus UN tergolong siswa yang lemah secara akademik maupun keunggulan bakat lainnya. Karena esensi dari indikator standar mutu pendidikan tidak hanya penilaian terhadap pengetahuan (
nilai (afektif) dan ketrampilan (psikomotorik) yang dimiliki siswa.
Mencari penyebab rendahnya mutu pendidikan sesungguhnya tidaklah sulit. Yang sulit adalah mengatasi masalah sekaligus menemukan solusi penyelesaiannya. Namun kita tidak terbiasa belajar dari kesalahan tetapi lebih sering mengulang kesalahan dan mengevaluasi unsur yang tidak substantif untuk dilakukan evaluasi.
Evaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas public, karenanya kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi akuntabilitas tersebut, yakni:
yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah program/kebijakan.
Apakah selama ini kita pernah melakukan studi evaluasi yang mengkaji adakah hubungan kausalitas antara target pencapaian nilai peserta UN dengan kualitas pendidikan secara umum. Adakah hasil
menjadi tolok ukur dalam kompetisi mutu lulusan?
ejauhmana Ujian Nasional dilaksanakan berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP)
Mengapa terjadi kebocoran soal, penyebarluasan kunci jawaban melalui sms, keterlambatan distribusi soal, kualitas kertas jawaban yang buruk, pinsil yang mudah patah, penghapus yang mengotori lembar jawaban dan sebagainya yang mengganggu proses dan berdampak pada output yang ter ukur.
melihat apakah output kebijakan sampai pada sasaran yang dituju?
Adakah siswa yang lulus UN benar-benar terjamin mampu meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa harus berkompetisi secara tidak fair. Mengapa yang nilai UN nya tinggi justeru
Apakah ada kebocoran dan penyimpangan pada penggunaan anggaran? Mengapa Ujian Nasional melibatkan terlalu banyak unsur yang kurang berkepentingan?.apakah ada penyimpangan tujuan program, dan
untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan.
Adakah pelaksanaan Ujian nasional yang menyerap anggaran demikian besar mampu benar mutu pendidikan dan berdampak pada meningkatnya sumberdaya manusia atau juster memberi dampak buruk dan meresahkan masyaraka?.
Fenomena menarik setiap tahun kita lihat ketika “gong” hari pertama ujian Nasional yang dilakukan secara serentak diseluruh Indonesia mampu secara serentak pula menggerakkan para pejabat mulai menteri, gubernur, bupati/walikota, kepala dinas dan seluruh jajaran terkait melakukan aksi meninjau hajat besar Nasional tersebut. Puluhan pengawas ditempatkan pada tiap sekolah yang jumlahnya mencapai ribuan di seluruh Indonesia. Ini semua ya rutinitas protap yang tidak menghasilkan apa-apa namun mengeruk kocek APBN dan APBD yang tidak sedikit. Semestinya para pejabat yang ditugaskan memantau Ujian Nasional memiliki fungsi evaluasi yang dapat mengukur kemajuan, menunjang penyusunan rencana dan merekomendasikan perbaikan dan rencana program Berbagai kritik, saran dan upaya perubahan kebijakan yang disuarakan berbagai kalangan seakan menafikan keharusan meninjau kembali kebijakan ini. Ujian Nasional terus dilaksanakan, standar nilai makin meningkat namun mutu pendidikan tidak serta merta menjadi dampak ikutan dari kebijakan yang kian melangit. Karenanya, meski telah ng, kebijakan menghentikan, melanjutkan atau merubah pelaksanaan Ujian Nasional perlu kita
pemerintah dalam menentukan Komponen UN yang melibatkan banyak kepentingan terkadang menjadi pemicu dari hilangnya arah sebuah kebijakan. Ujian Nasional memiliki mekanisme jejaring dan komponen multi system. Mulai distribusi soal sampai pada monitoring dan evaluasi, karenanya dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena melibatkan berbagai kepentingan. Tahun 2013, UN ditambah dengan dukungan Anggaran Pemerintah Daerah. Digunakan untuk apakah dana ini semua jika ternyata hasil yang dicapai belum mampu meningkatkan mutu pendidikan dan menjadi standar yang sesungguhnya dalam mengukur wajah pendidikan Indonesia?. Hal ini ibuktikan dari tidak semua siswa yang lulus UN dapat diterima pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, demikian pula tidak semua yang tidak lulus UN tergolong siswa yang lemah secara akademik maupun keunggulan bakat standar mutu pendidikan tidak hanya penilaian terhadap pengetahuan (kognitif),
) yang dimiliki siswa.
ng sulit adalah mengatasi masalah solusi penyelesaiannya. Namun kita tidak terbiasa belajar dari kesalahan tetapi lebih sering mengulang kesalahan dan mengevaluasi unsur yang tidak substantif untuk dilakukan evaluasi. Menurut Evaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas public, karenanya sebuah
yang mengkaji adakah hubungan kausalitas antara target pencapaian nilai peserta UN dengan kualitas pendidikan secara umum. Adakah hasil Ujian Nasional dapat
ejauhmana Ujian Nasional dilaksanakan berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. waban melalui sms, keterlambatan distribusi soal, kualitas kertas jawaban yang buruk, pinsil yang mudah patah, penghapus yang mengotori lembar jawaban dan
melihat apakah output kebijakan sampai pada sasaran yang dituju?
benar terjamin mampu meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak bisa masuk Perguruan ? Mengapa Ujian Nasional apakah ada penyimpangan tujuan program, dan
Adakah pelaksanaan Ujian nasional yang menyerap anggaran demikian besar mampu benar-benar meningkatkan mutu pendidikan dan berdampak pada meningkatnya sumberdaya manusia atau justeru menjadi sesuatu yang
Fenomena menarik setiap tahun kita lihat ketika “gong” hari pertama ujian Nasional yang dilakukan secara bat mulai menteri, gubernur, bupati/walikota, kepala dinas dan seluruh jajaran terkait melakukan aksi meninjau hajat besar Nasional tersebut. Puluhan pengawas ditempatkan pada tiap sekolah yang jumlahnya mencapai ribuan di seluruh Indonesia. Ini semua apa namun mengeruk kocek APBN dan APBD yang tidak sedikit. Semestinya para pejabat yang ditugaskan memantau Ujian Nasional memiliki fungsi evaluasi yang dapat an merekomendasikan perbaikan dan rencana program
3. Dampak Standarisasi Nilai Ujian
Dampak ujian yang distandarkan menurut hasil penelitian 3 dampak serius ujian yang distandarkan dan tersentralisasi:
1) berkurangnya waktu untuk pengajaran,
2) diabaikannya materi kurikulum yang tidak diujikan, dan
3) meningkatnya pemakaian materi persiapan yang mirip dengan tes.
Ujian yang distandarkan sering menjadi
menjadikan ujian tersebut sebagai indikator yang dapat diukur. Bahkan di negara maju yang secara sistem telah terbangun dengan baik seperti
pertentangan dan dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa, serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas bawah yang mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan sumber
Lebih jauh Dale E. Margheim (2001), seorang ma
State University dalam disertasinya, mengungkapkan sebuah contoh dampak buruk juga terjadi di Indonesia, dan negara
SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan melakukan perhitungan matematis dengan bilangan pecahan,
belajar musik di Universitas Incarnate Word. Alhasil, siswi bersuara sopran itu pun tak diterima belajar di universitas dimaksud. Padahal, bilangan pecahan hampir pasti tak akan pernah digunakannya untuk belajar musik!
menduga bahwa bilangan pecahan
Mengutip disertasi McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang menyebutkan bahwa sebagian besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (
asumsi bahwa semua siswa mampu mencapai standar akademik tinggi Semua siswa diperlakukan seolah
intelektual, daya serap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru mereka. Siswa yang bersekola
mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah dengan fasilitas belajar yang baik
peluang lebih besar untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah pedalaman. Bagaimana mungkin siswa
dengan standar yang sama?
Dari beberapa penelitian diatas kita dapat menganalisis betapa sesungguhnya ujian yang distandarkan justeru mempersempit gerak kreatifitas terhadap kemampuan siswa disamping dukungan fasilitas yang beragam.
4. Evaluasi Kebijakan Pelaksanaan Uj
Evaluasi pada prinsipnya adalah sebuah langkah pertanggungjawaban atas perencanaan program yang telah dilakukan untuk mengukur sejauhmana pencapaian hasil dalam rangka perbaikan pelaksanaan selanjutnya.
dalam perspektif alur proses/siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah ke
apakah kebijakan dapat dilanjutkan
Kita selalu menyaksikan dampak pra, ketika dan pasca dilaksanakannya Ujian Nasional, di
stress/tekanan yang begitu besar dalam mempersiapkan diri menuju UN. Berbagai les tambahan, remedial di sekolah, pembahasan soal dan sebagainya. Bahkan tak sedikit orangtua yang menyediakan guru “
mengintensifkan anak belajar khusus pada mata pelajaran yang di UN kan. Rasa tidak puaspun muncul, ketika hasil UN umumnya tidak seperti yang diduga. Bagi yang lulus mungkin tidak menjadi persoalan dan tidak pernah meninjau lagi ke belakang, apa mengapa dan bagaimana hasil UN dim
suatu petaka yang tiada habisnya disesalkan. Seolah nasib harus berakhir hanya karena evaluasi yang dilakukan selama tiga hari saja. Meski ada kebijakan ulang, tetap saja ada rasa seolah proses belajar ya
memberi nilai apapun. Prinsip “SKS” (sistim kebut semalam) sepertinya menjadi ideal jika hanya mengejar sasaran nilai yang ditargetkan. Belum lagi persoalan teknis yang dilakukan mulai kesalahan entry data, lembar soal yang ti berkualitas, lembar jawaban yang tidak terbaca sampai pada kesalahan operator system.
Apa yang dapat kita harapkan dari hasil ujian dimana siswa dalam kondisi tekanan psikologis? Ujian bagaikan “hantu” Dampak Standarisasi Nilai Ujian bagi siswa
Dampak ujian yang distandarkan menurut hasil penelitian Lomax (1991) dan kawan-kawan menyebutkan 3 dampak serius ujian yang distandarkan dan tersentralisasi:
berkurangnya waktu untuk pengajaran,
diabaikannya materi kurikulum yang tidak diujikan, dan
meningkatnya pemakaian materi persiapan yang mirip dengan tes.
Ujian yang distandarkan sering menjadi pemicu ketika sistem yang dibangun belum memenuhi syarat untuk menjadikan ujian tersebut sebagai indikator yang dapat diukur. Bahkan di negara maju yang secara sistem telah terbangun dengan baik seperti Amerika Serikat pun, pemberlakuan ujian yang distand
dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa, serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas bawah yang mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan sumber-sumber belajar.
Dale E. Margheim (2001), seorang mahasiswa program doktoral di Virginia Polytechnic Institute and alam disertasinya, mengungkapkan sebuah contoh dampak buruk standardized tests
juga terjadi di Indonesia, dan negara-negara lain yang menerapkannya. Natalie J. Martinez, seorang siswi kelas XII SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan melakukan perhitungan matematis dengan bilangan pecahan, padahal ia telah dinyatakan
ajar musik di Universitas Incarnate Word. Alhasil, siswi bersuara sopran itu pun tak diterima belajar di universitas . Padahal, bilangan pecahan hampir pasti tak akan pernah digunakannya untuk belajar musik!
han dari matematika telah mengubur impian dan harapan Natalie.
McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang menyebutkan bahwa sebagian besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di dalamnya ujian yang distandarkan, didasarkan pada bahwa semua siswa mampu mencapai standar akademik tinggi tampa melalui hasil kajian yang mendalam emua siswa diperlakukan seolah-olah sama. Padahal faktanya, mereka sangat beragam dalam kemampuan
rap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan guru mereka. Siswa yang bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang ekonomi kuat mempunyai kesempatan
sekolah dengan fasilitas belajar yang baik. Karenanya siswa te
peluang lebih besar untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran, pedesaan, apalagi daerah pedalaman. Bagaimana mungkin siswa-siswa yang sangat beragam ini diukur prestasi akademik dan kelulusannya
Dari beberapa penelitian diatas kita dapat menganalisis betapa sesungguhnya ujian yang distandarkan justeru mempersempit gerak kreatifitas terhadap kemampuan siswa disamping dukungan fasilitas yang beragam.
Evaluasi Kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional;
Evaluasi pada prinsipnya adalah sebuah langkah pertanggungjawaban atas perencanaan program yang telah dilakukan untuk mengukur sejauhmana pencapaian hasil dalam rangka perbaikan pelaksanaan selanjutnya.
proses/siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan.
Kita selalu menyaksikan dampak pra, ketika dan pasca dilaksanakannya Ujian Nasional, di
stress/tekanan yang begitu besar dalam mempersiapkan diri menuju UN. Berbagai les tambahan, remedial di sekolah, pembahasan soal dan sebagainya. Bahkan tak sedikit orangtua yang menyediakan guru “
jar khusus pada mata pelajaran yang di UN kan. Rasa tidak puaspun muncul, ketika hasil UN umumnya tidak seperti yang diduga. Bagi yang lulus mungkin tidak menjadi persoalan dan tidak pernah meninjau lagi ke belakang, apa mengapa dan bagaimana hasil UN dimaksud. Sementara bagi yang tidak lulus akan menjadi suatu petaka yang tiada habisnya disesalkan. Seolah nasib harus berakhir hanya karena evaluasi yang dilakukan selama tiga hari saja. Meski ada kebijakan ulang, tetap saja ada rasa seolah proses belajar yang dilakukan selama ini tidak memberi nilai apapun. Prinsip “SKS” (sistim kebut semalam) sepertinya menjadi ideal jika hanya mengejar sasaran nilai yang ditargetkan. Belum lagi persoalan teknis yang dilakukan mulai kesalahan entry data, lembar soal yang ti berkualitas, lembar jawaban yang tidak terbaca sampai pada kesalahan operator system.
Apa yang dapat kita harapkan dari hasil ujian dimana siswa dalam kondisi tekanan psikologis? Ujian bagaikan “hantu” kawan menyebutkan bahwa;
pemicu ketika sistem yang dibangun belum memenuhi syarat untuk menjadikan ujian tersebut sebagai indikator yang dapat diukur. Bahkan di negara maju yang secara sistem telah Amerika Serikat pun, pemberlakuan ujian yang distandarkan menuai banyak dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa, serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas
hasiswa program doktoral di Virginia Polytechnic Institute and standardized tests yang barangkali Martinez, seorang siswi kelas XII SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan telah dinyatakan menerima beasiswa untuk ajar musik di Universitas Incarnate Word. Alhasil, siswi bersuara sopran itu pun tak diterima belajar di universitas . Padahal, bilangan pecahan hampir pasti tak akan pernah digunakannya untuk belajar musik! Siapa pernah
telah mengubur impian dan harapan Natalie.
McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang menyebutkan bahwa sebagian besar ujian distandarkan, didasarkan pada tampa melalui hasil kajian yang mendalam. aktanya, mereka sangat beragam dalam kemampuan rap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan h di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang ekonomi kuat mempunyai kesempatan . Karenanya siswa tersebut tentu memiliki sekolah di pinggiran, pedesaan, apalagi daerah siswa yang sangat beragam ini diukur prestasi akademik dan kelulusannya
Dari beberapa penelitian diatas kita dapat menganalisis betapa sesungguhnya ujian yang distandarkan justeru mempersempit gerak kreatifitas terhadap kemampuan siswa disamping dukungan fasilitas yang beragam.
Evaluasi pada prinsipnya adalah sebuah langkah pertanggungjawaban atas perencanaan program yang telah dilakukan untuk mengukur sejauhmana pencapaian hasil dalam rangka perbaikan pelaksanaan selanjutnya. Evaluasi proses/siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan bijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan.
Kita selalu menyaksikan dampak pra, ketika dan pasca dilaksanakannya Ujian Nasional, dimana siswa mengalami stress/tekanan yang begitu besar dalam mempersiapkan diri menuju UN. Berbagai les tambahan, remedial di sekolah, pembahasan soal dan sebagainya. Bahkan tak sedikit orangtua yang menyediakan guru “Privat” untuk jar khusus pada mata pelajaran yang di UN kan. Rasa tidak puaspun muncul, ketika hasil UN umumnya tidak seperti yang diduga. Bagi yang lulus mungkin tidak menjadi persoalan dan tidak pernah meninjau aksud. Sementara bagi yang tidak lulus akan menjadi suatu petaka yang tiada habisnya disesalkan. Seolah nasib harus berakhir hanya karena evaluasi yang dilakukan selama ng dilakukan selama ini tidak memberi nilai apapun. Prinsip “SKS” (sistim kebut semalam) sepertinya menjadi ideal jika hanya mengejar sasaran nilai yang ditargetkan. Belum lagi persoalan teknis yang dilakukan mulai kesalahan entry data, lembar soal yang tidak
peserta ujian yang pada gilirannya memiliki konsekwensi pada hasil ujian. Hal ini sepertinya tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Yang terpikir hanya siswa lulus
telah ditetapkan.
Mengutip apa yang disampaikan Iwan Syahril dari rujukan
selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di bawah kondisi yang sama. menjamin para peserta berada dalam kondisi psikologis yang sama?
tes yang distandarkan menyebabkan penelitian Smith dan Rottenberg (1991)
pengajaran kreatif dan inovatif karena materi itu tidak akan diujikan. mengajar. Sementara sebelum kurikulum 2013 Pemerintah telah menerapka (KTSP) yang memberi keleluasaan bagi guru untuk berinovasi dalam
kreatif dan atraktif, memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tingg mengembangkan model pendidikan yang lebih holistik.
Contoh konkrit bahkan dapat kita lihat mulai tingkat SD, SMP dan SMA, siswa kelas VI, IX dan XII 80 % menghabiskan proses belajar dengan membahas soal
semester efektif yang semestinya menambah bekal pengetahun baru bagi siswa. Gurupun demi tes. Tujuan pendidikan menjadi semakin sempit.
kebijakan evaluasi seperti tahun 90 an, dimana hasil penilaian menjadi otoritas sekolah. Karena sekolah lah yang tahu bagaimana perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa sejak o hari hingga menamatkan sekolah tersebut. 5. Kesimpulan
Sebuah Kebijakan tidak selamanya berda dalam waktu yang lama dan berulang
Proses penilaian evaluasi adalah upaya yang dilakukan untuk menilai
prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak. Disadari atau tidak, pemberlakuan Ujian Nasional yang telah distandarkan dan berlaku secara tersentralisasi menimbulkan dampak ikutan yang pada akhirnya menjauh dari harapan, tujuan dan sasaran pendidikan Nasional dalam mewujudkan insan manusia yang cerdas dan mampu bersaing dalam tataran nasional maupun global. Ujian lebih menekankan pada hasil akhir dan man
kecurangan dilakukan ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses.
Nasib seakan dipertaruhkan dalam tiga hari saja, melemahkan kreatifitas dan ketajaman analisis siswa maupun guru. Masyarakatpun ikut terkena dampak dari keresahan seluruh kalangan yang terlibat dalam Ujian Nasional. Upaya upaya pintas untuk lulus dengan ni
pada langkah-langkah tidak terpuji yang mereduksi makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Karenanya layak kita menepis pernyataan Mendiknas Mohd Nuh bahwa setiap kekisruhan
mereka yang menolak pelaksanaan UN. Pengambil Kebijakan semestinya tidak menjawab sinis teguran masyarakat. Karena ini menjadi anti tesis manakala kualitas mutu lulusan tidak mampu bersaing, peringkat pendidikan maki terpuruk, siswa tidak memiliki motivasi belajar, gemar tawuran, kasar dan kurang santun. Gurupun menjadi kurang bertanggung jawab dalam menyiapkan bahan ajar. Segala upaya dilakukan untuk meluluskan siswa karena hasilnya menjadi potret reputasi sekolah, hingga nilai akhir yang dipertaruhkan sebagai komoditas politik.
Dibutuhkan i’tikad baik dan keseriusan Pemerintah dan Pihak terkait untuk melakukan evaluasi yang dapat memberikan jawaban dan menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat a
masyarakat. Sehingga kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan Pemerintah benar yang secara normatif menjadi bentuk pertanggungjawaban Publik.
Kita berharap kedepan pelaksanaan Ujian Nasional tidak lagi dijad
evaluasi penetapan standar dalam memetakan kualitas dan mutu pendidikan secara Nasional dengan tidak menafikan adanya keberagaman fasilitas sekolah, kemampuan siswa dan dukungan prasarana, sarana serta kemuda
diseluruh Indonesia. Sehingga hasil pemetaan ini benar
melaksanakan program dan kegiatan yang mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia. Jikapun Ujian Nasional harus dipertahankan, te
advantage dalam dunia yang semakin kompetitif. Sehingga dimanapun anak didik kita dapat bersaing dan bersanding dalam memenuhi hak nya sebagai warga dalam mendapatkan kesempatan memperoleh pe
peserta ujian yang pada gilirannya memiliki konsekwensi pada hasil ujian. Hal ini sepertinya tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Yang terpikir hanya siswa lulus
Mengutip apa yang disampaikan Iwan Syahril dari rujukan Oak dan Lipton (2007), bahwa ujian yang distandarkan selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di bawah kondisi yang sama.
menjamin para peserta berada dalam kondisi psikologis yang sama? Sebagaimana oleh Michael Phillips (2007) bahwa tes yang distandarkan menyebabkan kecemasan pada peserta ujian. Demikian pula dampaknya terhadap guru.
erg (1991) menunjukkan bahwa Guru-guru merasa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif karena materi itu tidak akan diujikan.sehingga guru kehilangan
mengajar. Sementara sebelum kurikulum 2013 Pemerintah telah menerapkan Kurikulum tingkat Satuan Pendididkan (KTSP) yang memberi keleluasaan bagi guru untuk berinovasi dalam merancang
kegiatan-kreatif dan atraktif, memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tingg mengembangkan model pendidikan yang lebih holistik.
Contoh konkrit bahkan dapat kita lihat mulai tingkat SD, SMP dan SMA, siswa kelas VI, IX dan XII 80 % menghabiskan proses belajar dengan membahas soal-soal yang akan di UN kan. Sehingga kita ham
semester efektif yang semestinya menambah bekal pengetahun baru bagi siswa. Gurupun
demi tes. Tujuan pendidikan menjadi semakin sempit. Alih-alih masyarakat memilih mengapa tidak menggunakan tahun 90 an, dimana hasil penilaian menjadi otoritas sekolah. Karena sekolah lah yang tahu bagaimana perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa sejak o hari hingga menamatkan sekolah tersebut.
Sebuah Kebijakan tidak selamanya berdampak baik bagi masyarakat meskipun kebijakan itu telah dilakukan dalam waktu yang lama dan berulang-ulang selama kebijakan tersebut belum mengalami penilaian evaluasi.
Proses penilaian evaluasi adalah upaya yang dilakukan untuk menilai keterkaitan antar
prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai dengan yang Disadari atau tidak, pemberlakuan Ujian Nasional yang telah distandarkan dan berlaku secara si menimbulkan dampak ikutan yang pada akhirnya menjauh dari harapan, tujuan dan sasaran pendidikan Nasional dalam mewujudkan insan manusia yang cerdas dan mampu bersaing dalam tataran nasional maupun global. Ujian lebih menekankan pada hasil akhir dan mangabaikan nilai proses. Akibatnya segala cara dan praktek kecurangan dilakukan ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses.
Nasib seakan dipertaruhkan dalam tiga hari saja, melemahkan kreatifitas dan ketajaman analisis siswa maupun guru. Masyarakatpun ikut terkena dampak dari keresahan seluruh kalangan yang terlibat dalam Ujian Nasional. Upaya upaya pintas untuk lulus dengan nilai terbaik menimbulkan praktek-praktek yang menyeret sekolah, guru dan siswa
langkah tidak terpuji yang mereduksi makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Karenanya layak kita menepis pernyataan Mendiknas Mohd Nuh bahwa setiap kekisruhan terkait UN menimbulkan rasa senang bagi mereka yang menolak pelaksanaan UN. Pengambil Kebijakan semestinya tidak menjawab sinis teguran masyarakat. Karena ini menjadi anti tesis manakala kualitas mutu lulusan tidak mampu bersaing, peringkat pendidikan maki terpuruk, siswa tidak memiliki motivasi belajar, gemar tawuran, kasar dan kurang santun. Gurupun menjadi kurang bertanggung jawab dalam menyiapkan bahan ajar. Segala upaya dilakukan untuk meluluskan siswa karena hasilnya
hingga nilai akhir yang dipertaruhkan sebagai komoditas politik.
Dibutuhkan i’tikad baik dan keseriusan Pemerintah dan Pihak terkait untuk melakukan evaluasi yang dapat menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat a
Sehingga kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan Pemerintah benar-benar mengandung nilai evaluasi yang secara normatif menjadi bentuk pertanggungjawaban Publik.
Kita berharap kedepan pelaksanaan Ujian Nasional tidak lagi dijadikan penentu kelulusan siswa namun sebagai alat evaluasi penetapan standar dalam memetakan kualitas dan mutu pendidikan secara Nasional dengan tidak menafikan adanya keberagaman fasilitas sekolah, kemampuan siswa dan dukungan prasarana, sarana serta kemuda
diseluruh Indonesia. Sehingga hasil pemetaan ini benar-benar dapat dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan yang mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.
Jikapun Ujian Nasional harus dipertahankan, tentunya tetap dalam koridor membentuk standar sebagai
dalam dunia yang semakin kompetitif. Sehingga dimanapun anak didik kita dapat bersaing dan bersanding dalam memenuhi hak nya sebagai warga dalam mendapatkan kesempatan memperoleh pe
peserta ujian yang pada gilirannya memiliki konsekwensi pada hasil ujian. Hal ini sepertinya tidak pernah menjadi pertimbangan kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Yang terpikir hanya siswa lulus dengan standar nilai yang
bahwa ujian yang distandarkan selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di bawah kondisi yang sama. Sementara siapa bisa oleh Michael Phillips (2007) bahwa Demikian pula dampaknya terhadap guru. Hasil guru merasa tidak ada gunanya merancang guru kehilangan kreatifitas dalam n Kurikulum tingkat Satuan Pendididkan -kegiatan pembelajaran yang kreatif dan atraktif, memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan
Contoh konkrit bahkan dapat kita lihat mulai tingkat SD, SMP dan SMA, siswa kelas VI, IX dan XII 80 % soal yang akan di UN kan. Sehingga kita hampir kehilangan 2 semester efektif yang semestinya menambah bekal pengetahun baru bagi siswa. Gurupun mengajar semata-mata alih masyarakat memilih mengapa tidak menggunakan tahun 90 an, dimana hasil penilaian menjadi otoritas sekolah. Karena sekolah lah yang tahu bagaimana perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa sejak o hari hingga menamatkan sekolah tersebut.
mpak baik bagi masyarakat meskipun kebijakan itu telah dilakukan ulang selama kebijakan tersebut belum mengalami penilaian evaluasi.
keterkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai dengan yang Disadari atau tidak, pemberlakuan Ujian Nasional yang telah distandarkan dan berlaku secara si menimbulkan dampak ikutan yang pada akhirnya menjauh dari harapan, tujuan dan sasaran pendidikan Nasional dalam mewujudkan insan manusia yang cerdas dan mampu bersaing dalam tataran nasional maupun global. gabaikan nilai proses. Akibatnya segala cara dan praktek
Nasib seakan dipertaruhkan dalam tiga hari saja, melemahkan kreatifitas dan ketajaman analisis siswa maupun guru. Masyarakatpun ikut terkena dampak dari keresahan seluruh kalangan yang terlibat dalam Ujian Nasional.
Upaya-praktek yang menyeret sekolah, guru dan siswa langkah tidak terpuji yang mereduksi makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Karenanya layak terkait UN menimbulkan rasa senang bagi mereka yang menolak pelaksanaan UN. Pengambil Kebijakan semestinya tidak menjawab sinis teguran masyarakat. Karena ini menjadi anti tesis manakala kualitas mutu lulusan tidak mampu bersaing, peringkat pendidikan makin terpuruk, siswa tidak memiliki motivasi belajar, gemar tawuran, kasar dan kurang santun. Gurupun menjadi kurang bertanggung jawab dalam menyiapkan bahan ajar. Segala upaya dilakukan untuk meluluskan siswa karena hasilnya
hingga nilai akhir yang dipertaruhkan sebagai komoditas politik.
Dibutuhkan i’tikad baik dan keseriusan Pemerintah dan Pihak terkait untuk melakukan evaluasi yang dapat menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau tidak bagi benar mengandung nilai evaluasi
ikan penentu kelulusan siswa namun sebagai alat evaluasi penetapan standar dalam memetakan kualitas dan mutu pendidikan secara Nasional dengan tidak menafikan adanya keberagaman fasilitas sekolah, kemampuan siswa dan dukungan prasarana, sarana serta kemudahan akses benar dapat dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan yang mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.
ntunya tetap dalam koridor membentuk standar sebagai comparative dalam dunia yang semakin kompetitif. Sehingga dimanapun anak didik kita dapat bersaing dan bersanding dalam memenuhi hak nya sebagai warga dalam mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan, tanpa dipandang
sebelah mata karena berasal dari daerah atau provinsi yang dianggap bermutu pendidikan rendah. Disinilah standarisasi menjadi kata kunci menuju pendidikan Indonesia yang cerdas dan berkualitas.
1. Haryati, Mimin. Model&Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta 2007. 2. Sudijono, Anas.Pengantar Evaluasi Pendidikan,Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2006 3. Anderson, James E; Public Policy Making, Reinhart and Wiston, New York; 1970. 4. Dunn, William N. Public Policy Analysis
5. Dye, Thomas R. Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1978.
sebelah mata karena berasal dari daerah atau provinsi yang dianggap bermutu pendidikan rendah. Disinilah standarisasi menjadi kata kunci menuju pendidikan Indonesia yang cerdas dan berkualitas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Model&Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan,Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2006
Public Policy Making, Reinhart and Wiston, New York; 1970.
Public Policy Analysis – An Introduction; Pearson education; New jersey; 1981. Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1978.
sebelah mata karena berasal dari daerah atau provinsi yang dianggap bermutu pendidikan rendah. Disinilah standarisasi menjadi kata kunci menuju pendidikan Indonesia yang cerdas dan berkualitas.
Model&Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta 2007.