• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIVASI DAN LINGKUNGAN BELAJAR MAHASISW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MOTIVASI DAN LINGKUNGAN BELAJAR MAHASISW"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MOTIVASI DAN LINGKUNGAN BELAJAR MAHASISWA DENGAN KEMANDIRIAN BELAJAR PADA JURUSAN SASTRA INGGRIS DI PERGURUAN TINGGI

DI SURABAYA

Yulius Kurniawan (michael_yulius@yahoo.com)

Nopita Trihastutie (nophia2002@yahoo.co.uk)

Universitas Widya Kartika

Jalan Sutorejo Prima Utara II/ 1 Surabaya

Abstrak: Semakin besarnya posisi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional utama membuat semakin banyak institusi perguruan tinggi di Indonesia yang menawarkan gelar dalam bidang sastra atau pendidikan Bahasa Inggris. Namun, pada kenyataannya, banyak mahasiswa, termasuk dari jurusan Sastra Inggris, yang kurang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melihat aspek masukan dari proses pembelajaran tersebut, dengan asumsi bahwa masukan yang baik cenderung berujung pada luaran yang baik pula. Mengingat bahwa bahasa Inggris bukanlah bahasa sehari-hari di Indonesia, maka mahasiswa haruslah mengupayakan waktu belajar mandiri di luar jam kuliah. Kapasitas untuk melakukan hal inilah yang disebut dengan kemandirian belajar.Namun, karena kapasitas ini lebih bukanlah sesuatu yang alami ada pada mahasiswa, maka diperlukan suatu upaya untuk melihat lebih lanjut profil mahasiswa yang mempunyai kapasitas tersebut.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil mahasiswa dengan kemandirian belajar dari dua aspek, yaitu motivasi dan lingkungan belajar.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan kemandirian belajar cenderung termotivasi secara intrinsik dan memiliki keluarga dengan pola asuh otoritatif. Hasil ini penting bagi para guru dan sekolah untuk dapat merancang proses yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kapasitas kemandirian belajar. Hasil ini juga penting bagi orangtua untuk dapat menggunakan pola asuh yang kondusif bagi pengembangan kapasitas kemandirian belajar.

(2)

PENDAHULUAN

Hingga dewasa ini, bahasa Inggris tetap kukuh berperan sebagai bahasa internasional utama di dunia (Kirkpatrick, 2007).Globalisasi dan kemajuan teknologi membuat peran bahasa Inggris menjadi semakin signifikan karena berperan sebagai bahasa pengantar utama. Hal ini membuat pembelajaran bahasa Inggris menjadi semakin penting untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia suatu negara , termasuk Indonesia, dalam dunia global. Penguasaan bahasa Inggris diyakini menjadi kunci penting dalam bagi sumber daya manusia Indonesia untuk dapat mengambil peran dan posisi dalam keseluruhan proses ekonomi dunia.

Namun, sebagaimana jamak terjadi, ternyata masih cukup banyak siswa Indonesia, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang kurang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris, termasuk juga para mahasiswa dari jurusan Bahasa Inggris yang seharusnya sudah mempunyai dasar penguasaan bahasa Inggris yang cukup baik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melihat kembali konsep pembelajaran mandiri (autonomous learning). Renandya (2011) menekankan relevansi pembelajaran mandiri sebagai alternatif untuk peningkatan kompetensi bahasa Inggris siswa; dengan belajar secara mandiri, siswa akan berinteraksi lebih banyak dengan materi pembelajaran, dalam hal ini bahasa Inggris, karena mendaya-gunakan waktu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Perspektif ini sejalan dengan teori Ellis (1997) tentang masukan (input): masukan yang tepat (secara kualitas maupun kuantitas) dibutuhkan untuk dapat berhasil dalam proses pembelajaran bahasa. Dalam konteks mahasiswa jurusan bahasa Inggris, mereka yang mempraktekkan pembelajaran mandiri mempunyai kemungkinan lebih besar untuk dapat menguasai bahasa yang dipelajari (dalam hal ini bahasa Inggris), karena memiliki interaksi yang cukup dengan materi pembelajaran tersebut.

Namun, pada prakteknya, mempromosikan pembelajaran mandiri tidaklah mudah. Sebagaimana dikatakan oleh Holec (1981), yang dikenal sebagai ‘Bapak Pembelajaran Mandiri’, seluruh tanggung jawab dalam pembelajaran mandiri terletak pada siswa itu sendiri: dalam konteks ini, mahasiswa sendiri yang merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil pembelajarannya sendiri. Hal seperti ini sangat membutuhkan motivasi dari mahasiswa itu sendiri, yang pastinya tidaklah sama untuk tiap individu; motivasi yang cukup kuat untuk membuat siswa itu mau melakukan keseluruhan proses itu tanpa ada paksaan atau pengawasan dari pihak lain. Ini sejalan dengan hakekat pembelajaran mandiri sebagai suatu kapasitas; tergantung dari mahasiswa tersebut apakah akan merealisasikannya atau tidak. Tidak heran bila kemandirian mahasiswa berbeda satu sama lain.

Mengingat hal tersebut, perlulah kiranya untuk mengetahui jenis motivasi yang dimiliki oleh mahasiswa dengan kemandirian belajar dan situasi lingkungan belajar mereka yang kondusif untuk mengembangkan kapasitas tersebut.Dengan mengetahui dua hal tersebut, dapat diketahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi para mahasiswa mandiri tersebut.

Kemandirian Belajar

(3)

Holec (1981, hal. 3), pemimpin dari CRAPEL, mendefinisikan kemandirian sebagai the ability to take charge of one’s own learning (kemampuan untuk mengendalikan proses belajarnya sendiri). Kemandirian di sini adalah kemampuan mengambil keputusan dan bertanggung jawab untuk semua keputusan tentang semua aspek pembelajaran, termasuk penentuan tujuan, materi dan kemajuan pembelajaran, pemilihan metode dan teknik yang digunakan, serta penentuan prosedur penguasaan dan evaluasi akan apa yang telah dikuasai. Singkatnya, siswa adalah pihak yang membuat keputusan, mengatur dan mengevaluasi aktivitas pembelajaran mereka sendiri (Holec, 1981, hal. 3). Maka, siswa yang mandiri dikenali dari tindakan mereka, yaitu menentukan (sendiri) tujuan pembelajaran, menentukan (sendiri) materi dan kemajuan pembelajaran, memonitor (sendiri) prosedur serta mengevaluasi (sendiri) hasil dari proses pembelajaran.

Walaupun penting sebagai fondasi bagi pengembangan teori kemandirian belajar, ada dua ahli yang memandang perlunya menambahkan beberapa aspek pada definisi tersebut. Little (1991, dalam Benson, 2001, hal. 49) menekankan pentingnya ‘aspek psikologis’ dari kemandirian, yaitu sebagai hasil dari proses berpikir yang terjadi sebelumnya. Ia berpendapat bahwa kemandirian bukanlah tentang bagaimana suatu proses belajar disusun, (melainkan) hubungan psikologis terhadap proses dan materi pembelajaran, (sehingga) kapasitas akan kemandirian akan ditunjukkan baik dalam cara siswa belajar maupun dalam cara bagaimana ia menggunakan apa yang telah ia pelajari dalam konteks yang lebih luas. Di sini dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar seorang siswa merupakan hasil pilihan siswa yang terkait erat dengan persepsi mereka terhadap materi atau proses pembelajaran. Di sinilah terjadi hubungan antara kemandirian belajar dan motivasi belajar dari siswa.

Berikutnya, Benson (2001) menekankan pentingnya aspek sosial kemandirian belajar.Ia berpendapat bahwa kemandirian belajar bukanlah sesuatu yang terjadi secara individual, melainkan terjadi dalam konteks sosial; diperlukan suatu kesepakatan bersama di antara para siswa tentang materi pembelajaran (Benson, 2001, hal. 49). Maka, proses pembelajaran, terutama proses pembelajaran bahasa, memerlukan sekelompok siswa untuk belajar bersama, seperti halnya pembelajaran onlinedi Live Mocha yang sangat mengandalkan kerjasama antar anggotanya dalam mempelajari suatu bahasa. Ini berujung pada sifat politis dan transformatif kemandirian (Dewey, Freire dan Illich dalam Benson, 2001, hal. 50).Maka dapat disimpulkan bahwa siswa mandiri tidaklah terlepas dari lingkungan, namun justru terbuka terhadap pengaruh lingkungan sekitar mereka.Di sinilah terjadi hubungan antara kemandirian belajar dan lingkungan belajar.

Secara singkat, konsep kemandirian belajar dalam kaitannya dengan aspek perilaku, psikologis dan sosial dapat digambarkan sebagai berikut:

(4)

Konsep kemandirian belajar ini relevan dengan peningkatan kemampuan siswa dalam berbahasa asing, dalam hal ini kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris. Menurut Renandya (2011), salah satu penyebab utama kurangnya kemampuan siswa Indonesia berbahasa Inggris terletak pada kurangnya inputdalam bahasa Inggris yang memadai. Ini sejalan dengan teori Ellis (1997, hal. 6-7), yaitu bahwa input adalah salah satu faktor eksternal yang diperlukan untuk penguasaan bahasa (asing), yakni contoh-contoh dari penggunaan bahasa (asing) tersebut. Input ini akan diproses siswa dengan menggunakan Language Acquisition Device (LAD), bagian yang disebut alat pemerolehan bahasa dalam otak manusia. Input ini berperan sebagai pemicu berfungsinya LAD, seperti ditunjukkan dalam model komputasi Ellis berikut ini (1997, hal. 35):

Gambar 2 – Model Komputasi Pemerolehan Bahasa Kedua

Dalam model tersebut, input pertama kali akan disimpan dalam memori jangka pendek berupa intake. Setelah beberapa lama, intake ini akan tersimpan dalam memori jangka panjang sebagai L2 knowledge. Proses pengubahan menjadi intake dan L2 knowledge ini terjadi dalam LAD. Akhirnya, siswa akan menggunakan L2 knowledge untuk menghasilkan output (luaran) secara lisan maupun tertulis. Maka, merujuk kepada model di atas, kemandirian belajar akan dapat meningkatkan input bagi para siswa karena mereka akan menggunakan baik waktu di dalam maupun waktu di luar kelas untuk mempelajari bahasa asing tersebut, dalam hal ini bahasa Inggris.

Motivasi Belajar

Secara definisi, motivasi berasal dari kata latin ‘movere’ yang berarti ‘bergerak’ (Ushioda, 2008, dalam Griffiths (Ed), 2008, hal. 19). Secara ringkas, Ushioda (2008) kemudian mendefinisikan motivasi sebagai sesuatu yang menggerakkan orang untuk membuat pilihan tertentu, melakukan sesuatu, atau untuk tetap melakukan sesuatu. Definisi ini sejalan dengan definisi Santrock (2009, hal. 460) tentang motivasi: proses yang memberi energi, mengarahkan dan mempertahankan suatu tindakan. Keduanya, Ushioda dan Santrock, sama-sama menekankan pada dorongan yang memicu atau mempertahankan suatu tindakan. Maka, secara ringkas, motivasi dapat dikatakan sebagai suatu dorongan yang membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan. Terkait dengan penelitian ini, motivasi adalah sesuatu yang mendorong siswa untuk belajar mandiri.

Dalam proses pembelajaran, ada dua jenis utama motivasi: intrinsik dan ekstrinsik (Santrock, 2009, hal. 463). Motivasi intrinsik didefinisikan sebagai melakukan sesuatu karena hal itu sendiri, atau mempunyai tujuan dalam hal itu sendiri.Misalnya, seorang siswa mempelajari bidang yang disukainya, yang bertujuan untuk semakin memahami atau menguasai bidang tersebut. Motivasi ekstrinsik didefinisikan sebagai melakukan sesuatu untuk memperoleh sesuatu yang lain, misalnya saat seorang siswa belajar untuk memperoleh nilai yang tinggi. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Lepper, Corus dan Iyengar (2005, dalam Santrock, 2009, hal. 463-464) menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berkorelasi positif dengan nilai dan tes terstandarisasi.

(5)

Lingkungan Belajar

Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan di mana siswa banyak menghabiskan waktunya: keluarga, rekan sebaya, dan sekolah (universitas).

A. Keluarga (Orang Tua)

Mengingat perannya yang sangat besar, maka pembicaraan tentang keluarga pada penelitian ini dibatasi pada orang tua siswa. Terkait dengan itu, Baumrind (1971, 1996, dalam Santrock, 2009, hal. 80-81) memaparkan empat bentuk utama pola asuh orang tua, yaitu:

1. Pola Asuh Otoritarian

Orang tua bertipe ini cenderung bersikap membatasi dan menghukum.Mereka membuat serangkaian aturan dan mengharuskan anak-anak mereka untuk menaatinya.Orang tua memberikan batasan-batasan yang tegas dengan hampir tidak ada negosiasi.Anak-anak dengan orang tua seperti ini cenderung untuk menjadi kurang (bahkan tidak) kompeten dalam interaksi sosial, mudah khawatir dibanding-bandingkan, pasif dan memiliki kemampuan komunikasi yang buruk.Pola asuh ini bersifat negatif terhadap pengembangan kemandirian anak-anak.

2. Pola Asuh Otoritatif

Orang tua bertipe otoritatif cenderung untuk mendorong anak-anaknya untuk mandiri, namun masih memberikan batasan-batasan untuk mengendalikan tindakan mereka.Interaksi mereka bersifat saling memberi di mana orang tua mendidik dan mendukung anak-anaknya.Anak-anak dengan orang tua seperti ini cenderung menjadi kompeten secara sosial dan menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi.Baumrind sendiri sangat menyarankan pola asuh ini karena melihat dampak positif yang dihasilkan.Pola ini bersifat positif bagi pengembangan kemandirian belajar.

3. Pola Asuh Pengabaian (Neglectful)

Orang tua bertipe ini cenderung tidak terlibat dalam kehidupan anak-anaknya. Anak-anak ini seringkali merasa bahwa ada sisi lain dari kehidupan orang tuanya yang lebih penting daripada mereka. Anak-anak yang berasal dari pola asuh seperti ini cenderung kurang (bahkan tidak) kompeten secara sosial.Mereka cenderung mengalami kesulitan saat berinteraksi atau membangun relasi dengan teman-teman sebayanya.Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung mengalami kesulitan untuk mengembangkan kemandirian, karena mereka cenderung kekurangan inisiatif untuk memulai sesuatu dan kreativitas yang dibutuhkan untuk belajar secara mandiri.

4. Pola Asuh Pemanjaan (Indulgent)

Orang tua bertipe ini cenderung sangat terlibat dengan anak-anaknya, namun tidak memberikan batasan-batasan bagi tindakan anak-anaknya. Mereka cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang diinginkan karena berpikir bahwa dukungan dan minimnya batasan akan membuat anak-anak mereka menjadi kreatif dan percaya diri. Walaupun hal itu mungkin saja benar, anak-anak tetap saja tidak mempunyai kendali diri untuk mengendalikan tindakan mereka.Terkait dengan kemandirian belajar, anak-anak ini mungkin dapat belajar mandiri secara individu, namun cenderung bermasalah saat belajar atau bekerja dalam kelompok.

(6)

anak-anaknya akan berdampak positif bagi capaian si anak dalam belajar, sebagaimana disebutkan oleh Anguiano (2004, dalam Santrock, 2009, hal. 86) data dari National Center for Education Statistics di Amerika (1997, dalam Santrock, 2009, hal. 86) Epstein (2005), serta Sheldon dan Epstein (2005, dalam Santrock, 2009, hal. 88).

B. Rekan Sebaya

Santrock (2009, hal 88) mendefinisikan rekan sebaya sebagai “anak-anak yang mempunyai usia atau tingkat kematangan yang sama”. Walaupun sekilas hanya dibatasi pada anak-anak, hal ini juga berlaku hingga pada tingkat universitas, dalam hal ini mahasiswa pada angkatan yang sama.

Ada dua hal penting terkait dengan rekan sebaya: status rekan sebaya dan pertemanan. Santrock (2009, hal 88-89) membagi status rekan sebaya menjadi lima: anak yang populer, anak yang biasa saja, anak yang diabaikan, anak yang ditolak, dan anak yang kontroversial. Anak yang populer banyak disukai temannya dan jarang dibenci.Anak yang biasa saja disukai dan tidak disukai secara biasa saja.Anak yang diabaikan adalah mereka yang jarang disukai temannya, tapi juga tidak dibenci.Anak yang ditolak adalah mereka yang seringkali tidak disukai oleh temannya.Anak yang kontroversial adalah anak yang seringkali disukai atau tidak disukai oleh teman-temannya.

Untuk pertemanan, Santrock (2009, hal. 89) menekankan pentingnya membangun hubungan pertemanan antar teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh Wentzel, Barry dan Caldwell (2004, dalam Santrock, 2009, hal. 89) menunjukkan bahwa siswa tingkat enam yang tidak mempunyai teman akan kurang dapat mengembangkan perilaku prososial (bekerjasama, berbagi, membantu orang lain), mempunyai nilai yang lebih rendah, dan lebih mudah stres secara emosional dibandingkan mereka yang mempunyai satu atau dua orang teman. Karenanya, Santrock (2009, hal. 89) berpendapat bahwa akan lebih menguntungkan bila anak berteman dengan anak-anak yang berorientasi akademik, punya kemampuan secara sosial, dan mendukung. Sebaliknya, pertemanan dengan anak-anak yang nakal akan meningkatkan peluang bagi si anak-anak untuk juga menjadi anak-anak nakal.

Status rekan sebaya dan pertemanan tampaknya akan mempengaruhi pengembangan kemandirian belajar. Mahasiswa yang mandiri cenderung untuk mempunyai teman-teman yang juga mandiri.Perlu ditekankan juga bahwa kecenderungan ini tidak lantas berarti ada hubungan sebab-akibat, tapi lebih menunjukkan kemungkinan untuk mengembangkan kemandirian belajar anak.

C. Sekolah

(7)

kata lain, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu tinggi cenderung mendorong perkembangan kedewasaan secara positif (Fredricks & Eccles, 2006, dalam Santrock, 2006, hal. 96).

Bagi siswa di Indonesia, permasalahan yang ada juga kurang lebih sama. Peneliti mendapati mahasiswanya cenderung untuk berorientasi nilai daripada berorientasi kemampuan.Artinya, mahasiswa cenderung mencari nilai yang tinggi tanpa mempedulikan kemampuan mereka.Keterangan dari sesama rekan dosen memberikan masukan bahwa hal ini sudah jamak terjadi. Tidak jarang mahasiswa menggunakan segala cara untuk memperoleh nilai yang baik, mulai dari mencontek hingga menyuap. Tidak heran bila cukup sering didapati siswa yang lulus dengan kemampuan yang tidak memadai.

Data di atas mengindikasikan minimnya dukungan dari universitas di Indonesia untuk mendorong kemandirian mahasiswa.Namun, ada indikasi awal bahwa universitas tertolong karena adanya kegiatan ekstra kurikuler.Selain itu, penting juga untuk melihat sejauh mana dosen dalam mengajar menggunakan aktivitas yang bersifat mendorong kemandirian mahasiswa.

Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian sebelumnya menjadi rujukan bagi penelitian ini.Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2009). Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk melihat kemandirian mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Inggris di salah satu universitas swasta di Surabaya, sejauh apakah kemandirian mereka dalam belajar, faktor apa yang mempengaruhi pembelajaran mandiri mereka dan korelasi antara tingkat kemandirian dengan prestasi akademik mereka. Kontribusi utama dari penelitian ini adalah kuesioner yang nantinya diadaptasi menjadi Learning Autonomy Questionnaire (LAQ).

Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2012).Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk melihat motivasi dan lingkungan belajar mahasiswa jurusan sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.Hasil penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi tingkat kemandirian mahasiswa, motivasinya semakin bersifat intrinsik.Selain itu juga didapati bahwa mahasiswa yang mandiri cenderung mempunyai orang tua dengan pola asuh otoritatif.Penelitian oleh Kurniawan ini memberikan kerangka dasar yang dibutuhkan untuk menyusun penelitian kali.

(8)

METODE PENELITIAN

Penelitianini pada dasarnya dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan berikut: a. Jenis motivasi apa yang mendorong mahasiswa untuk mandiri? (MOTIVASI) b. Lingkungan belajar apa yang dimiliki mahasiswa mandiri ini? (LINGKUNGAN)

Mengingat untuk menjawab dua pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman mendalam tentang motivasi dan lingkungan belajar mahasiswa mandiri, desain yang dipilih adalah studi kasus.Untuk identifikasi mahasiswa mandiri, peneliti menggunakan LAQ.Dari mahasiswa mandiri ini, peneliti mewawancari beberapa orang untuk menggali motivasi dan lingkungan belajar mereka. Model desain penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 3 - Model Desain Penelitian

Partisipan Penelitian

Peserta penelitian adalah para mahasiswa jurusan sastra Inggris dari berbagai universitas di Surabaya, Indonesia. Untuk meningkatkan fokus penelitian, maka jurusan sastra Inggris yang dipilih adalah jurusan yang minimal terakreditasi B dan dapat diakses oleh peneliti. Ada 4 universitas dengan kategori tersebut yang akhirnya terlibat dalam penelitian ini, yaitu Universitas Widya Kartika, Universitas 17 Agustus, Universitas Dr. Soetomo dan Universitas Airlangga.

Instrumen Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Table 3 – Instrumen Penelitian

Hal Data Sumber Data Instrumen Penelitian KEMANDIRIAN Opini Students LAQ

MOTIVASI Opini Students Interview Protocol

LINGKUNGAN Opini Students Interview Protocol

a. Learning Autonomy Questionnaire (LAQ)

LAQ diadaptasi dari kuesioner yang dikembangkan oleh Wahyudi (2010), yang didesain dan telah digunakan untuk menentukan tingkat kemandirian mahasiswa, terdiri dari 20

KEMANDIRIAN

Mahasiswa mana yang mandiri?

YA

Mahasiswa ini mandiri

WAWANCARA BEBERAPA DARI MEREKA

MOTIVASI

Motivasi jenis apa yang mereka miliki?

LINGKUNGAN

Lingkungan belajar macam apa yang

mereka miliki?

TIDAK

Mahasiswa ini tidak

mandiri

(9)

item pertanyaan skala Likert dengan 4 pilihan: sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), setuju (3) dan sangat setuju (4). Interpretasi dilakukan dengan membandingkan rata-rata skor dengan tabel berikut ini:

Tabel 4 – Kriteria Interpretasi LAQ Tingkat Kemandirian

Mahasiswa Interpretasi

Tingkat 1 (rata-rata: 1 – 1.999)

Tidak Mandiri – Pembelajaran sangat dipengaruhi faktor eksternal

Tingkat 2 (rata-rata: 2 – 2.999)

Kurang Mandiri - Pembelajaran sebagian besar dipengaruhi faktor eksternal

Tingkat 3 (rata-rata: 3 – 3.999)

Mandiri - Pembelajaran sebagian besar dipengaruhi faktor internal

Tingkat 4 (rata-rata: 4)

Sangat Mandiri – Pembelajaran sepenuhnya dipengaruhi faktor internal

b. Penggalian Motivasi: Wawancara Partisipan

Peneliti mewawancarai partisipan mandiri untuk menggali motivasi mereka. Bentuk wawancara adalah semi-structured menggunakan interview protocol, yang dikembangkan dengan teori motivasi sebagai dasar utama guna melihat tipe motivasi mahasiswa: motivasi intrinsik atau ekstrinsik. Karena keterbatasan waktu, wawancara yang sedianya direkam menjadi dicatat dengan field notes.

c. Penggalian Lingkungan Belajar: Wawancara Partisipan

Wawancara akan dilakukan hanya pada para partisipan mandiri, termasuk tentang dosen dan orang tua. Ini dilakukan karena semua pertanyaan ini adalah pertanyaan yang memang dapat dijawab oleh partisipan.Interview protocol dikembangkan dengan teori tentang lingkungan belajar dari Santrock sebagai dasar utama. Wawancara akan direkam sebagai bukti dengan seijin partisipan.

Prosedur Pengumpulan Data

Pertama, peneliti menggunakan LAQ untuk menentukan kelompok mahasiswa yang mandiri.Kemudian peneliti berfokus pada kelompok mahasiswa mandiri ini untuk mengumpulkan data tentang motivasi dan lingkungan belajar mereka.Sedianya, peneliti hendak mewawancarai mahasiswa mandiri dengan skor LAQ tertinggi dan terendah dari tiap universitas.Namun, sehubungan adanya partisipan yang tidak dapat dikontak atau tidak bersedia, akhirnya peneliti mewawancarai mahasiswa mandiri yang bersedia diwawancarai dan yang dapat dikontak.

Prosedur Analisa Data

Analisa dilakukan terhadap dua jenis data yang diperoleh dari penelitian ini: data kuantitatif dari LAQ dan data kualitatif dari hasil wawancara dengan prosedur berikut:

a. Analisa Data Kuantitatif

Data dari LAQ akan dihitung untuk mencari rata-rata dengan kuantifikasi pilihan peserta (Sangat Tidak Setuju=1, Tidak Setuju=2, Setuju=3, Sangat Setuju=4). Norma interpretasi dari nilai rata-rata sesuai dengan Tabel 4.

b. Analisa Data Kualitatif

(10)

Gambar 4– Adapatasi Model Analisa Data Kualitatif dari Creswell

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap pertama penelitian ini adalah dengan mengidentifikasi para mahasiswa dengan kemandirian belajar melalui aplikasi Learning Autonomy Questionnaire (LAQ).Tahap kedua adalah dengan mewawancarai sejumlah mahasiswa tersebut sebagai sampel untuk mengetahui seperti jenis motivasi dan lingkungan belajar yang mereka miliki.Perijinan untuk pelaksanaan penelitian di masing-masing universitas dilakukan pada bulan Agustus 2014.Tahap pertama dilaksanakan pada bulan September dan awal Oktober 2014.Tahap kedua dilakukan pada bulan Oktober 2014.

a. Penyebaran LAQ

Kuesioner disebarkan di 4 universitas di Surabaya dengan jurusan Sastra Inggris, yaitu Universitas Widya Kartika, Universitas 17 Agustus, Universitas Dr. Soetomo, dan Universitas Airlangga. Secara keseluruhan ada 223 mahasiswa yang mengisi LAQ.Dari jumlah tersebut, 124 mahasiswa mempunyai kemandirian belajar, 91 mahasiswa kurang memiliki kemandirian belajar, dan 8 kuesioner tidak valid. Keterangan detil dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5 – Hasil Penyebaran LAQ

Universitas Mandiri Kurang Mandiri

Tidak

Valid Total

Ratio Kemandirian

Widya Kartika Sby 20 16 0 36 56%

17 Agustus Sby 41 31 5 77 53%

Dr. Soetomo Sby 29 18 0 47 62%

Airlangga Sby 34 26 3 63 54%

Total/ Average 124 91 8 223 56%

b. Wawancara

Dari mahasiswa dengan kemandirian belajar, total 20 mahasiswa telah diwawancarai, dengan rincian 6 mahasiswa dari Universitas Widya Kartika, 5 mahasiswa dari Universitas 17 Agustus, 6 mahasiswa dari Universitas Dr. Soetomo dan 3 mahasiswa dari

Pengumpulan data (rekaman wawancara)

Coding teks untuk tema dalam laporan penelitian

Membaca data secara keseluruhan (untuk memperoleh gambaran umumnya)

Menyiapkan data untuk dianalisa (transkripsi data rekaman wawancara)

Coding data Coding teks untuk deskripsi

dalam laporan penelitian

Iterative

(11)

Universitas Airlangga. Wawancara ini dilakukan dengan menyesuaikan kesediaan serta jadwal mahasiswa yang bersangkutan.

Dari hasil analisa wawancara, didapati bahwa mahasiswa dengan tingkat kemandirian yang lebih tinggi cenderung mempunyai motivasi yang lebih bersifat intrinsik.Motivasi-motivasi seperti ingin meneruskan studi, menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk lebih mengembangkan usaha hingga menyukai bahasa Inggris itu sendiri merupakan motivasi yang mempunyai kecenderungan lebih berasal dari dalam.Hal ini menunjukkan konsistensi dengan ciri-ciri motivasi intrinsik (Santrock, 2009).

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang konsisten dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa dengan kemandirian belajar adalah orangtua yang dengan pola asuh otoritatif.Dalam hal ini, orangtua memberi ruang bagi anak-anaknya untuk memilih dan bertindak, namun tetap memberikan batasan-batasan yang jelas.Hal ini sesuai dengan ciri-ciri orangtua otoritatif (Santrock, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dari laporan ini dapat simpulkan bahwa jenis motivasi utama bagi mahasiswa yang mempunyai kemandirian belajar adalah motivasi intrinsik.Untuk lingkungan belajar, dapat disimpulkan bahwa lingkungan belajar yang konsisten mempengaruhi adalah orangtua dengan pola asuh otoritatif.

Mengingat sulit untuk memastikan kesediaan partisipan untuk wawancara dan membuat janji wawancara dengan partisipan, maka disarankan untuk penelitian sejenis berikutnya untuk mengatur waktu sedemikian rupa sehingga wawancara dapat dilakukan pada hari itu juga. Pilihan lain adalah menghilangkan wawancara dan mengembangkan kuesioner yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebanyak mungkin sehingga wawancara tidak diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, P. (2001). Teaching and Researching Autonomy in Language Learning. Essex, UK: Pearson Education, p.7-8, 47-58.

Cotterall, S. (2008). Autonomy and Good Language Learner. In C. Griffiths (Ed.), Lessons from Good Language Learner (pp. 110-120). Cambridge, UK: Cambridge University: 110 - 120.

Creswell, J.W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Fourth Edition. MA: Pearson, p.206-210, 236-264.

Ellis, R. (1997). Second Language Acquisition.Oxford Introductions to Language Study. Oxford, UK: Oxford University, p.3-6, 31-35, 43-49, 66, 73-74, 83-86.

(12)

Kirkpatrick, A. (2007). World Englishes: Implications for International Communication and English Language Teaching. Cambridge, UK: Cambridge University.

Kurniawan, Y. (2012). Motivation and Learning Environment of Autonomous Learners of an English Department.Unpublished Thesis.

LiveMocha Community (www.livemocha.com)

Myartawan, I P.N.W., Latief, M.A. & Suharmanto (2013).The Correlation between Learner Autonomy and English Proficiency of Indonesian EFL College Learners.TEFLIN Journal, Vol. 24, Number 1, January 2013. Malang, Indonesia

Santrock, J.W. (2009). Educational Psychology.Fourth Edition. NY: McGraw-Hill, p.80-97, 122, 458-499.

Renandya, W.A. (2011). A General Lecture. Surabaya, Indonesia: WIdya Mandala Catholic University

Ushioda, E. (2008). Motivation and Good Language Learner. in C. Griffiths (Ed.), Lessons from Good Language Learner (pp. 19-34). Cambridge, UK: Cambridge University: 19 - 38.

Gambar

Gambar 1 – Model Kemandirian Belajar (Benson, 2001)
Table 3 – Instrumen Penelitian
Tabel 4 – Kriteria Interpretasi LAQ
Tabel 5 – Hasil Penyebaran LAQ

Referensi

Dokumen terkait

495 Restare di stucco: la decorazione del soffitto del Tepidarium delle Terme dei Cisiarii ad

Menurut Anda apakah sistem komunikasi melalui Website Intranet Bank Indonesia, apakah lebih rumit atau tidak bila dibandingkan media yang lain.. Ya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Muhammadiyah 3 Jakarta mengenai hubungan antara kegiatan ekstrakurikuler Rohis dengan prestasi belajar, dapat

Dari hasil pengamatan diperoleh 36 pernyataan identitas data (PID). Data-data tersebut didapatkan melalui kegiatan pengamatan, wawancara, dan studi

justru berasal dan diciptakan oleh anggota profesi sendiri, sehingga merupakan pengaturan sendiri �self regulation). Karena kalau di ciptakan dari luar �instansi atau pemerintah),

Tesis ini terdiri dari enam bab yaitu: Bab I Pen- dahuluan, yang berisi tentang latar belakang, rumus- an masalah dan tujuan serta manfaat yang diperoleh dari

Sebagai mana penelitian yang telah dilakukan oleh Khoiriyah 2014 penentuan waktu inkubasi optimum terhadap aktivitas bakteriosin dari Lactobacillus sp RED4 terdeteksi pada

Temuan Unsur Visual Motif Batik Payung Priangan di Berbagai Perajin Kelurahan Nagarasari Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya .... Pembahasan Unsur Visual Batik Payung Priangan