BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia
seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan
sedini mungkin sejak anak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan yang
dilakukan sejak anak masih dalam kandungan sampai lima tahun pertama
kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus
meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik
fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai
dengan potensi genetiknya (Depkes, 2007).
Fase terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah ketika
masa bayi dan balita, karena pada masa itulah saat yang paling vital bagi orang tua
dalam membangun fondasi pertumbuhan dan perkembangan buah hati. Proses
pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi dan balita merupakan proses yang
teramat penting dalam menentukan masa depan anak baik secara fisik, mental
maupun perilaku (Sunartyo, 2007).
Menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan
pertama sejak dilahirkan bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, karena ASI
dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung
protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping
Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi
usia 0-2 bulan yang mulai diberi makanan pendamping cairan sebesar 21,2%;
makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berusia 3-5
bulan, yang mulai diberi makanan pendamping cairan sebesar 60,2%; lumat/lembik
66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes-BPS, 1992).
Menurut World Health Organization (WHO) / United Nations Children’s
Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan
kurang gizi, dan dua pertiga diantara kematian tersebut terkait dengan praktik
pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan
inisiasi menyusu dini dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI
yang terlalu cepat atau terlambat diberikan. Keadaan ini akan membuat daya tahan
tubuh lemah, sering sakit dan gagal tumbuh. Oleh karena itu upaya mengatasi
masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi
dan anak yang baik dan benar, menjadi agenda penting demi menyelamatkan
generasi masa depan.
WHO, UNICEF, dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui SK
Menkes No.450/Men.Kes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004 telah menetapkan
rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Dalam rekomendasi
tersebut, dijelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan
kesehatan yang optimal, bayi harus diberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama.
Selanjutnya, demi tercukupinya nutrisi bayi, maka ibu mulai memberikan makanan
pendamping ASI dan ASI hingga bayi berusia 24 bulan atau lebih (Prasetyo, 2009).
Penyebab gangguan pertumbuhan pada anak usia muda, antara lain dalam
tepat, kurang memenuhi zat gizi baik macam maupun jumlahnya (Hadju, 1997).
Hasil penelitian Rahmani menyatakan hampir semua anak diberi makanan tambahan
pada usia dibawah empat bulan di Kelurahan Gunung Sitoli yaitu sebesar 79,31%.
Alasan ibu memberikan anak cepat makanan tambahan adalah karena faktor
pekerjaan (Rahmani, 1997).
Masa penyapihan selama usia enam bulan sampai 24 bulan adalah masa
berbahaya bagi anak karena risiko tidak mendapat energi dan zat gizi cukup bila
anak tidak mendapat cukup makanan pendamping ASI, dan berhenti menyusui
sebelum usia 24 bulan misalnya karena ibunya hamil lagi, anak akan sering
menderita diare bila makanan pendamping ASI atau minuman terkontaminasi
kuman. Pemberian makanan sapihan sebaiknya berangsur-angsur mulai dari yang
paling lembut sampai yang lebih keras. Pada saat penyapihan yang terpenting adalah
pemberian ASI masih terus diberikan yang dapat diteruskan sampai usia anak 24
bulan, selain anak diuntungkan oleh pemberian susu terbaiknya, sekaligus sebagai
salah satu cara ikut Keluarga Berencana, karena selama masih tetap menyusui bayi,
sel telur tidak gampang terbentuk (Samsudin, 1999).
Keputusan penyapihan yang dilakukan oleh ibu biasanya dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kesibukan ibu yang bekerja, pengetahuan ibu, status kesehatan
ibu dan bayi, status gizi anak, anak dalam keadaan sakit, sedang tumbuh gigi, feeling
saat yang tepat untuk penyapihan. Tetapi terkadang keputusan penyapihan dapat
terjadi kesulitan, hal ini disebabkan karena ketidakmampuan anak menghadapi
penyapihan, dimana kemampuan anak menghadapi amat bervariasi, ada yang mudah
dan ada pula yang sulit. Untuk itu perlu suatu stategi dalam memutuskan penyapihan
diantaranya lakukan secara berlahan, hindari penyapihan disaat anak menyusu
mengenali tingkat kemampuan anak menghadapi proses penyapihan, pastikan sang
anak mendapat perhatian eksklusif setiap hari serta batasi kegiatan menyusui dengan
penunjuk waktu, maka dapat disimpulkan bahwa jika proses penyapihan dilakukan
dengan baik, maka anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, sehat, dan
berakhlak baik karena sang ibu mendidiknya melalui masa menyusu dan masa
menyapih dengan penuh perhatian dari kedua orangtua dan keluarga (Uci, 2007).
Dewasa ini di Indonesia 80-90% ibu di daerah pedesaan masih menyusui
bayi sampai usia lebih dari 12 bulan, tetapi di kota-kota ASI sudah banyak diganti
dengan susu botol. Banyak faktor yang menyebabkan penurunan penggunaan ASI.
Di perkotaan ibu-ibu ikut bekerja untuk mencari nafkah, sehinggga tidak dapat
menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Sebelum tahun 1970-an pemberian ASI
turun hingga tingkat terendah dan pada tahun 1970-an pemberian ASI semakin
meningkat. Pada tahun 2001, pemberian ASI mencapai tingkat tertinggi yaitu hampir
70 %. Pada saat itu banyak ibu mulai memberikan ASI dan terus memberikannya
selama enam bulan. (WHO, 2006).
Sehubungan dengan fenomena di atas permasalahan yang juga ditemui pada
masyarakat Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi adalah adanya 23 anak dari
56 anak, atau sekitar 41% anak yang memiliki status gizi kurang, penyapihan yang
terlalu dini (< 24 bulan), pemberian makanan padat terlalu dini dan kualitas makanan
tambahan yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan. Menurut salah satu pegawai
di Puskesmas Kelurahan Tanjung Marulak, Ibu TH, mayoritas ibu-ibu di daerah
tersebut adalah ibu rumah tangga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Para
ibu juga kurang memahami penyapihan yang baik, sehingga cara penyapihan yang
dilakukan kepada anak tidak sesuai dengan usia anak. Bahkan hanya sedikit ibu yang
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas penulis ingin meneliti lebih
tentang “Hubungan Pola Penyapihan dengan Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di
Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut : bagaimanakah gambaran pola penyapihan dan status gizi
bayi usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola
penyapihan dan status gizi anak usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak,
Tebing Tinggi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan
masukan bagi daerah yang diteliti khususnya bagi perencanaan program baik
ditingkat kabupaten maupun kecamatan dalam melakukan perbaikan gizi dan bagi
petugas kesehatan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi, diharapkan dapat