• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Islam Indonesia Dalam Memperjuangkan Penggunaan Jilbab Pada Masa Orde Baru Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gerakan Islam Indonesia Dalam Memperjuangkan Penggunaan Jilbab Pada Masa Orde Baru Chapter III IV"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Analisis Pola Gerakan Islam dalam Memperjuangkan

Jilbab

A. Hubungan Pemerintah Orde Baru Dengan Kelompok Islam.

Sebuah sistem pemerintahan yang baik pada suatu negara, harus adanya komunikasi yang baik pula dari setiap elemen-elemen di dalam membangun hubungan satu sama yang lain, termasuk kepada kelompok-kelompok yang bersifat mengawasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaan guna mewujudkan cita-cita negara tersebut. Kelompok-kelompok ini terdiri dari gerakan-gerakan sosial, politik maupun agama yang hadir ditengah-tengah susunan sistem pemerintah yang telah dibangun. Gerakan-gerakan sosial ini lahir dan muncul dikarenakan berbagai hal dan tentunya mempunyai tujuan. Didalam mekanisme gerakan sosial dikemukan oleh Peter Eisinger terdapat Political Opportunity Structure (POS) yang menjelaskan gerakan sosial terjadi disebabkan oleh tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterpurukan sehingga gerakan tersebut menginginkan perubahan dan struktur politik serta situasi ini dilihat sebagai kesempatan.132

Teori yang dikemukan oleh Peter Eisinger juga pernah dialami oleh Indonesia, pada saat penghujung kekuasaan rezim Orde Lama yang semakin terpuruk, keseimbangan politik sedang tercerai berai dan adanya perlawan-perlawan yang dilakukan oleh PKI. Sehingga pada tanggal 4 Oktober 1966 dilakukan rapat umum yang dihadirkan oleh Partai Politik dan Organisasi Masyarakat. Dalam rapat tersebut dikeluarkan kesepakatan salah satu diantaranya

132

(2)

diresmikan suatu gerakan yang baru lahir yaitu Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) Gesatapu/PKI, yang tergabung didalamnya adalah gerakan-gerakan Islam seperti NU, Muhamadiyah, Generasi Muda Islam, sekber Golkar dam PSII.133

Lahirnya Orde Baru membawa harapan besar dan semangat baru untuk kelompok-kelompok Islam terkhususnya, karena telah berjuang dalam melawan PKI maupun ketertindasan dari penguasa terdahulu. Akan tetapi dalam kenyataanya, harapan dari kelompok Islam menjadi sirna karena keinginan dari kelompok Islam bertubrukan dengan strategi pembangunan Orde Baru yaitu marginalisasi peran partai-partai politik dan melarang adanya pembicaraan masalah-masalah ideologi (selain pancasila), terutama bersifat keagamaan.

Selain itu juga lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang terdiri dari kelompok-kelompok Islam dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Gerakan KAP Gestapu dan KAMI yang bersatu untuk melahirkan sistem pemeritahan yang baru yaitu masa Orde Baru.

134

Pada awal hubungan yang terbangun antara kelompok Islam dengan Rezim Soharto dikenal dengan hubungan bersifat reprsif terjadi pada awal pemerintah Orde Baru.

Pada suatu masa umat Islam dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru dan dipenghujung masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam dijadikan mitra untuk menjaga kestabilitas negara pada saat kekuatan-kekuatan lain diluar Islam mendesak pemerintah.

A.1. Hubungan Bersifat Represif

135

133

Abdul azis thaba.Op.cit. Hal. 241. 134

Ibid.Hal. 240.

135

Bersifat represif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan menekan, mengekang, menahan, menghambat atau menindas

(3)

yang terjalin pada awal masa pemerintahan Soharto tidak begitu harmonis, hal ini diperjelas oleh pernyataan oleh Pak Ahmad Taufan dalam wawancara:

“Pada tahun 1980 an awal itu, situasi hubungan politik antara pemerintah Orde Baru dengan kelompok Islam belum harmonis. Masih situasi melanjutkan situasi politik tahun 1970-an, walaupun aneh sebetulnya, pada saat situasi politik menjatuhkan sokarno itu, Kelompok Islam paling didepan. Kelompok Islam dengan Soeharto dulunya berkoloborasi....”136

“ ...memang pada masa Orde Baru kelompok-kelompok Islam inikan mendapat perhatian spasial dari pemerintah. Dia itu dijaga sekali supaya kelompok Islam ini tidak bertindak diluar apa yang tidak diingikan pemerintah....”.

Selain itu, hubungan yang terjalin pada awalnya, Soeharto menjadikan kelompok Islam sebagai kelompok yang Istimewa dan mendapat perhatian khusus dari penguasa pada saat itu, sebagaimana yang di ungkapan Ibu Masdalifah:

137

“tentunya pada saat itu banyak sekali peraturan yang tidak sesuai dengan pedoman kita, contohnya peraturan tentang perkawainan, hak waris...”.

Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Masdalifah terlihat bagaimana Untuk menjaga tujuan yang diinginkan pemerintah pada saat itu, pemerintah harus mengeluarkan berbagai macam peraturan–peraturan yang bersifat represif. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Siti Aminah dalam wawancara yang mengatakan:

138

Pernyatan dari Ibu Siti Aminah mengenai peraturan perkawinan yang dimaksudkan itu, terdapat pada Rancangan Undang-undang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973.139

136

Taufan Damanik. Wawancara pada hari Senin, tanggal 20 Febuari 2017 pukul 11.00- 11.35 WIB di Fisip USU.

137

Masdalifah. Wawacara pada hari Jum’at, 6 Januari 2017, Pukul 11.00-12.10 WIB. Di Fisip USU.

138

Siti Aminah. Wawancara pada hari Jumat, 20 Januari 2017, Pukul 13.00-13.30WIB. di jalan kejaksaan gang mala. No 61.Tembung

139

Sabili. Op.cit. Hal.21.

(4)

umat Islam.140 Tetapi setelah terjadi lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan pejabat negara bahkan dengan presiden Soharto, hasil dari lobbying yang telah dilakukan adalah presiden memberikan jaminan bahwa beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam akan dihapuskan.141

“ Pada saat dipimpin Bapak Daud Yusuf, beliau mengeluarkan kebijakan pada bulan puasa sekolah tidak diliburkan. Padahal tahun sebelumnya sekolah diliburkan satu bulan selama puasa...”

Disisi lain Soeharto dengan para pendukungnya di hampiri rasa cemas dan khawatir jika semangat keislaman yang terjadi pada masa lalu muncul kembali disaat Soeharto baru mencicipi manisnya kursi kekuasaan, sehingga Soeharto berusaha untuk membuat peraturan dengan berkerjasama dalam membentuk kebijakan-kebijakan yang menghambat perkembangan Umat Islam dilakukan di semua sendi-sendi pemerintahan, baik itu dari bidang keagamaan sendiri bahkan dalam bidang pendidikan. Didalam bidang pendidikan siswa-siswi pada bulan ramadhan diwajibkan untuk sekolah dengan kegiatan belajar mengajar seperti biasa dan dilarang untuk libur, peraturan ini di keluarkan oleh Mentri Kebudayaan dan Pendidikan pada saat itu di jabat oleh Daoed Josoef dengan dikeluarkannya SK No. 0211/U/1978. Peraturan ini diperkuat dengan pernyataan Bapak Ahmad Taufan dalam wawancara:

142

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Josoef adanya kebijakan mengintervensi kehidupan kampus dengan dikeluarkannya SK No. 0156/U/1978 mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk upaya untuk meredam aktivitas politik kampus, dimana mahasiswa dilarang untuk ikut berpolitik, kebebasan intelektual para mahasiswa dihambat dengan dalih stabilitas politik dan

.

140

Abdul azis thaba. Op.cit.Hal. 258. 141

Ibid. Hal.261.

142

(5)

pembangunan. Pernyataan ini diperkuat oleh Bu Wilda Andriani yang mengatakan:

“....karna ada peraturannya namanya itu NKK BKK menganai normalisasi kampus, jadi mahasiswa saat itu diarahkan untuk belajar, belajar dan ya belajar...”.143

“sesuai dengan peraturan pada saat itu, organisasi ekternal tidak boleh masuk, pada zaman NKK BKK.”

Kebijakan yang sering dikenal dengan NKK BKK ini sangat menghambat para mahasiswa untuk bisa menikmati gerakan-gerakan didalam maupun diluar kampus, termasuk gerakan-gerakan Islam juga sangat sulit untuk memasuki dunia kampus. Dengan kebijakan ini mahasiswa-mahasiswi Islam sangat sulit untuk menimba ilmu agama mengenai kajian-kajian Islam termasuk kajian-kajian mengenai kewajiban Jilbab yang tentunya tidak didapatkan oleh mahasiswi Muslim. Kebijakan mengenai NKK BKK juga di sampaikan oleh Bapak Ahmad Taufan sebagai berikut:

144

“mau pergi halaqah atau pengajian-pengajian itu sulit. Saya.masih teringat bagaimana kami harus mengisi halaqah-halaqah dari rumah ke rumah dengan sembunyi-sembunyi”.

Mahasiswi-mahasiswi muslim yang ingin mengikutipengajian-pengajian, mereka harus besembunyi-sembunyi pada awalnya. Seperti hal yang pernah dirasakan oleh Ibu Wilda Adriani yang mengatakan bahwa

145

143

Wilda Adriani.wawancara pada hari kamis, 8 Januari 2017, Pukul 14.50-15.45 WIB.di Tanjung Morawa.

144

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan.. 145

Halaqah merupakan suatu kelompok yang terdiri dari 8 sampai 10 orang yang dibina oleh satu orang yang disebut Murabbi, didalam kelompok ini membahas berbagai macam persoalan agama .Di saat melakukan pengajian halaqah ia harus bersembunyi-sembunyi untuk memasuki rumah tempat peretemun halaqah yang disepakati, memasukinya secara berganti-gantian, dengan membawa masuk sendal-sendal kedalam rumah supaya tidak dicurigai.

(6)

“....Kalau untuk pengajian saat itu termasuk dihalangi-halangi, karna pada saat itu, kalau ada yang berkumpul 3 orang atau lebih itu di curigai, makanya kalau mau pengajian itu, ya kami harus sembunyi-sembunyi. jadi mau pergi ke pengajian itu saya sama kawan-kawan itu naik sadako yang sama tapi kami turun itu di tempat yang beda-beda padahal rumah yang dituju itu sama”146

“Disisi lain pemerintah cukup represtif sehingga mengakibatkan dukungan politiknya kurang bagus....”.

Tidak hanya Ibu Wilda dan Ibu Siti Aminah yang beranggapan sikap pemerintah terhadap Islam bersifat repesif sama halnya yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Taufan sebagai berikut:

147

“perempuan yang memakai Jilbab bahkan mereka sering mentertawai dengan sebutan “nenek lampir, nenek sihir” bahkan orang tua tidak membolehkan anaknya dekat dengan perempuan yang menggunakan Jilbab, mereka takut anak mereka akan diculik oleh perempuan yang menggunakan Jilbab.”

Penjelasan yang telah disampaikan oleh Ibu Wilda, Ibu Siti Aminah dan Pak Taufan memperjelas sifat represif dari pemerintahan saat itu. Sedangkan untuk Kajian mesjid yang dulunya intens dilakukan di daerah ITB tepatnya di Mesjid Salmam ITB. Didalam pengajian yang dilakukan di Mesjid Salman ITB adanya materi-materi yang membuat semangat para mahasiswa kembali, selain itu juga adanya materi mengenai kewajiban menggunakan Jilbab.

Semangat penggunaan Jilbab yang dilakukan oleh Mahasiswi maupun Pelajar di Bandung menyebar ke setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia. Inilah yang menjadikan penggunaan Jilbab ditakuti bahkan dituduh sebagai afiliasi dari sebuah gerakan radikal yang akan menentang pemerintah. Jilbab pada saat itu dianggap menjadi sebuah busana yang sangat kolot, Kuno dan bahkan “labeling (julukan)” yang buruk selalu disematkan ke pada mereka, seperti Nenek sihir, Jahula, penculikan danlainnya. Seperti halnya yang di ungkapkan oleh Ibu Wilda,

148

146

Hasil wawancara bersama Siti Aminah.. 147

Hasil wawacara bersama Bapak Ahmad Taufan. 148

(7)

Pemberian “labelling” yang diterima oleh perempuan yang menggunakan Jilbab diperjelas oleh pernyataan Ibu Siti hajar dalam wawancara yang mengatakan,

“....di masyarakatakn belum ada yang memakai Jilbab, jadi yang pakai Jilbab sering di ejek “jahula, jahula”.149

Pada tahun 1982 Mentri Kebudayaan dan Pendidikan menghasilkan sebuah kebijakan dikeluarkannya sebuah kebijakan secara tersembunyi yang menyebabkan pelarangan penggunaan Jilbab baik di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, tempat bekerja bahkan ditengah masyarakat menjadikan busana Jilbab menjadi sesuatu yang merisaukan masyarakat. Memasuki tahun 1982 hingga tahun 1985, pada periode ini umat Islam dan pemerintah Orde Baru mulai saling memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali dengan dikeluarkan kebijakan asas tunggal pancasila bagi Orsospol (organisasi sosial dan politik) ditujukan untuk semua ormas di Indonesia. Bagi umat Islam, gagasan asas tunggal menimbulkan masalah karena dikhawatirkan akan menghapuskan asas ciri Islam, dan menjadikan pancasila sebagai “agama baru”150

Pemerintah pada saat itu menerapkan asas tuggal pancasila dilandasi oleh trauma masalalu dengan jatuh bangunnya kabinet dalam sistem demokrasi, yang dikhawatirkan oleh pemerintah akan berdampak pada proses kerja pemerintah serta menganggu stabilitas politik dan keamanan Indonesia.

.

151

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan asas tunggal bermacam-macam diantaranya ada menerima tanpa syarat, menerima karena terpaksa dan menolak sama sekali.152

“....dasar semua itu pancasila, yang menjadi problamatika adalah sebagian besar kelompok-kelompok Islam tidak menyetujui itu, karena biasanya yang menjadi acuan bagi kelompok Islam adalah Al-quran dan Hadist, tetapi ketika negara hadir dan

Pernyataan ini diperjelas oleh Ibu Masdalifah dalam wawancara yang mengatakan:

149

Siti Hajar. Wawancara pada hari Minggu, 5 Febuari. Pukul 19.05-19.40 WIB di tanjung Anom. 150

Ishlah. Dinamika Politik Umat Islam di Era Orde Baru.edisi khusus tahun III , 1996. Ha 33 151

Abdul azis.Opcit.hal.263. 152

(8)

menjadikan setiap aktivitas dasarnya harus pancasila, inilah ya menjadikan hubungan pemerintah dengan kelompok Islam, yang menyebabkan disharmoni.”153

“.... Di tambah lagi dengan Asas tunggal tidak hanya terjadi dengan kelompok Islam, tetapi juga kelompok Marhein, gerakan Marhein juga dibubarkan. Gerakan yang menolak asas tunggal ada dua organisasi yaitu Maherin dan PII sedangkan HMI akhirnya menerima. Meskipun secara politik GMNI dan GMKI menerima asas tunggal tetapi mereka tidak nyaman dengan asas tunggal karna seperti sikap otoritarian pemerintah, sehingga terkesan memaksakan kepada masyatakat....”

Peraturan mengenai asas tunggal pancasila menyebabkan ketegangan antara pemerintah dengan kelompok Islam dan, tentunya peraturan ini mendapat reaksi dari kelompok-keompok Islam bahkan ada yang menolak dengan adanya asa tunggal pancasila, dan tentunya ada juga menerima, tetapi tetap saja yang menerima asas tunggal pancasila, mereka merasa peraturan itu dibuat terkesan memaksa, ini terlihat dari ungkapan Bapak Ahmad Taufan:

154

UU Keormasan inilah yang dipaksakan agar dijadikan pedoman sehingga asasnya yang semula itu memilik asas yang berbeda ada yang Islam dan lainnya. Dan mereka harus merubahnya dan taat dengan pancasila. Jadi sifatnya menyesuaikan diri dengan Undag-undang. Hanya memang ada beberapa organisasi yang tidak mematuhi peraturan itu, diantaranya ya PII.

Peraturan yang mengenai asas tunggal pancasila yang dirasakan memaksa juga dirasakan oleh Bapak Satmian yang merupakan kader PII yang menolak asas tunggal, hal ini diperjelas melalui wawancara dengan pak Satiman yang mengatakan:,

155

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat represif tidak hanya asas tunggal pancasila, didalam dunia pendidikan kebijakan yang dikeluarkan belum berpihak dengan umat Islam seperti Sk dirjen Dikdasmen no 052/C/Kep./D.82 ketentuan seragam sekolah yang disusul dengan peraturan pelaksanaan No. 18306/C/D.83 tentang pedoman Pakaian Seragam disekolah-sekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan

153

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah. 154

Hasil wawancara baersama Bapak Ahamad Taufan.. 155

(9)

agama diberlakukan secara persuasif, edukatif dan manusiawi.156 Tujuan dari diberlakukan SK 052 tentunya baik untuk dunia pendidikan yang terdapat didalam peraturan ini, pada bab 1 pasal 1 ayat 3 mengenai tujuan dari penyeragaman sekolah adalah Memperkecil rasa kebanggaan yang berlebihan-lebihan dan mengembalikan ke rasa bangga yang wajar terhadap sekolah-sekolahnya masing-masing, serta Memperkecilkan perbedaan status sosial keluarga dari mana murid atau siswa berasal.157

“....Jilbab dilihat sebagai representasi Islam garis keras, radikal, anti pancasila. Ketika itu suasana memang masih panas terkait asas tunggal pacasila. Muslim sering menjadi sasaran kecurigaan pemerintah dan di anggap memusuhi pancasila, sehingga simbol-simbol Islam tertentu termasuk Jilbab, serta menguatnya aspirasi Islam di lihat sebagai ancaman bagi pemerintah”

Hubungan yang kurang baik sudah terbangun diantara Pemerintah dan kelompok Islam, menjadikan pandangan umat Islam terhadap peraturan ini sebagai bentuk represif yang dilakukan pemerintah, agar menghalangi-halangi kelompok Islam. Seperti yang sudah pernah di jelaskan, semakin banyaknya para siswi, mahasiswi maupun muslimah yang sudah menggunakan Jilbab menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah. Stigma yang dibangun dikalangan masyarakat dimana wanita-wanita yang menggunakan Jilbab harus dijauhi karena dianggap anggota dari kelompok radikal pada saat itu. Hal ini diperjelas dengan wawancara bersama Bapak Alwi Alatas yang mengataka,:

158

Mengantisipasi semakin banyaknya siswi-siswi yang menggunakan Jilbab, maka dikeluarkanlah peraturan Sk dirjen Dikdasmen No 052/C/Kep./D.82 peraturan yang penggunaan seragam sekolah. Dimana siswa-siswi harus menggunakan seragam sekolah yang sama dan telah disepakati. Jadi disini terlihat bagaimana pemerintah membuat sebuah aturan yang tidak secara terang-terang

156

Heni yuningsih.Tarbiyah. Volume: 1. 20015.hal 188 157

Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departement Pendidilcan Dan Kebudayaanno. 052/C'/Kep/D 82 Diakses pada Senin 1 November 2016 pukul 13.00 WIB melalui:

158

(10)

melarang menggunakan Jilbab. Tapi jika ditelusuri, tentunya hasil kesepakatan yang dibuat mengenai busana sekolah adalah baju dengan rok bagi perempuan dan celana bagi laki-laki tanpa menggunkan kerudung itu menjadi sebuah pedoman yang harus dipatuhi oleh pelajar.

Dikeluarkannya peraturan untuk menggunakan seragam sekolah yang sama di sekolah negri, memberikan efek negatif bagi siswi-siswi yang mulai untuk menggunakan Jilbab. Berbagai reaksi dari kepala sekolah maupun guru di Sekolah Negri memberikan sanksi kepada siswi yang menggunakan Jilbab. Sanksi yang diterima dari teguran, diduga sebagai kelompok gerakan radikal, namanya tidak tercatat di daftar kehadiran sampai pada saksi yang berat yaitu siswi–siswi dikeluarkan untuk pindah ke sekolah swasta. Hal ini diperjelas dengan hasil wawancara Bapak Masri sitanggang yang mengatakan.:

“mahasiswa dan pelajar itu diingatkan untuk tidak memakai bahkan di beberapa daerah dijakarta “dipulangkan kerumah” artinya gak boleh sekolah.”159

Memasuki hubungan pemerintah dengan kelompok Islam yang bersifat akomodatif.

Berbagai kasus-kasus yang pelarangan Jilbab siswi-siswi SMA negri terjadi didaerah Jawa terkhususnya, bahkan di Sumatra Utara. Dari tahun setelah dikeluarkan SK ini, maka bertambah banyak kasus-kasus pelarangan Jilbab. Walaupun begitu, peristiwa ini menarik perhatian dari gerakan-gerakan Islam untuk semakin menyebar luaskan kajian mengenai Jilbab, supaya bertambah banyak wanita-wanita muslimah mengetahui hukum dari penggunaan Jilbab sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan.

A.2. Hubungan Bersifat Akomodatif

160

159

Masri Sitanggang. Wawancara pada Rabu 1 Maret 2017 pada pukul 17.00-17.45WIB Di Kantor MUI Sumatra Utara.

160

Bersifat akomodatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan bersifat dapat menyesuaikan diri.

(11)

kepentingan aspirasi umat Islam. Pemerintah sepertinya telah memahami kelompok Islam dan menjalin hubungan yang semakin dekat dengan kelompok-kelompok Islam dibuktikan dengan berbagai kebijakan rezim Orde Baru antara lain:161

“ ....memasuki awal tahun 1990-an, pemeritah mengubah arah kebijakannya menjadi lebih akomodatif terhadap kelompok Islam, ini di tandai dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh Soeharto pada saat itu yaitu didorong dengan pendirian ICMI, pendirian Amal Bakti Muslimin, Soharto mulai mengahadiri muktamar NU, mulai aktif dengan kegiatan ke agamaan dengan menggunakan simbol keagamaan dengan pakai baju kokoh dan pakai kopiah putih itu...”.

1) pada masa Mentri pendidikan dan kebudayaan Fuad Hassan, kebijakan pendidikan mulai berubah. Misalnya pemberlakukan kembali liburan puasa dan pelajar muslimah boleh memakai Jilbab di sekolah umum/ negri. 2) pendidikan yang bersesuaian dengan ajaran Islam diakomodasi dalam beberapa pasal Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional 3) Undang- undang tentang peradilan agama yang mengakui pemberlakuan syariah Islam dalam pengadilan agama di Indonesia. 4) pengiriman seribu Dai ke berbagai daerah oleh yayasan Amal Bakti Muslim pancasila sekaligus dengan pembiayaannya. 5) pengangkatan berbagai tokoh/ intektual yang dianggap dekat dengan Islam ke dalam kabinet pemerintahan maupun lembaga DPR/MPR dan 6) berdirinya Ikatan Candikiawan Muslim (ICMI) se-indonesia. Pernyataan ini diperjelas dengan hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan:

162

Hubungan yang mulai terjalin dengan harmonis, juga bisa terlihat dalam sistem pemerintahan dimana kelompok-kelompok Islam memasuki kancah politik seperti partai Golkar, sehingga bisa dikatakan kelompok Islam pada saat itu “menghijaukan Golkar”. Dengan banyak toko-tokoh Islam yang memasuki partai milik pemerintah pada saat itu, mengakibatkan meleburnya ketegangan yang selama ini terjadi antara pemerintah dengan kelompok Islam. Pernyaataan ini di

161

Djayadi hanan. 2006. Dibawah bayang-bayang negara studi kasus (pelajar islam indonesia

tahun 1980-1997). Yogyakarta: UII Press. Hal 2.

162

(12)

perjelas dalam Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan yang mengatakan:,

“...Tapi 1980an dan 1990-an awal anak muda dari NU dan HMI mulai memasuki partai politik salah satu tokohnya Akbar Tanjung. Dengan tokoh HMI dan NU yang ramai mendatangi Golkar, karna partai besar. Bahkan bisa dikatakan kelompok Islam “menghijaukan” pemerintahan Orde Baru”.163

Sejalan dengan menurunnya ketegangan antara kelompok Islam dengan Pemerintah, sehingga isu mengenai Jilbab bukan lagi menjadi persoalan yang ekstrim dan fanatik lagi. Pemerintah pada saat itu juga melihat, jika tetap mempertahankan sikap yang bersifat represif termasuk pelarangan Jilbab, maka hubungan yang mulai terjalin mesra ini akan berdampak tidak baik untuk kekuasaannya.Pada akhir tahun 1980 dan awal 1990 dimasa Orde Baru kegiatan keislaman mulai meningkat. Kajian–kaijian Islam bukan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan, bahkan kajian-kajian Islam di selenggarakan di perkantoran dan di Mesjid-mesjid kampus turut marak.

.

164

“sehingga ketegangan pemerintah dengan Islam juga menurun, sehingga sejalan dengan menurunnya itu, Jilbalisasi tidak menjadi seesuatu yang ekstrim, karna dulu dianggap

Kesadaran yangtumbuh ditengah umat Islam untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah tidak hanya itu, para mahasiswi berduyun-duyun mengenakan busana muslimah atau Jilbab yang menyebabkan kampus-kampus bagai lautan Jilbab. Selain itu penggunaan Jilbab juga merebak di perkantoran-perkantoran, baik dikota atau di daerah. Walupun tidak semudah itu penggunaan Jilbab diterima di masyarakat, bahkan walaupun dikeluarkan SK 100/C/Kep/D/1991 mengenai peraturan seragam sekolah yang baru tapi tetap saja ada hambatan-hamabatan yang harus dihadapi. Maka dapat dikatakan “suasana keagamaan juga di pengaruhi oleh suasana politik” seperti yang diungkapkan oleh Bapak Taufan Damanik, yang mengatakan:,

163

Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan. 164

(13)

panatik. susana keagamaan juga di pengaruhi oleh suasana politik. Ada kaitan dengan pewacanaan politik apa yang berkembang.”165

B. Hambatan-Hambatan dalam Memperjuangkan Jilbab

Perjuangan-perjuangan yang dilakukan gerakan Tarbiyah, PII maupun HMI dalam mensyiarkan Jilbab tentunya tidak berjalan mulus, harus menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dari berbagai pihak. Adapun tantangan ataupun hambatan yang harus dilalui adalah:

B.1 Peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Kordinator Kampus Peraturan NKK BKK merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk normalisasi kegiatan-kegiatan kampus yang mengakibatkan organsasi-organisasi Intral dan Eksternal dilarang masuk ke kampus. Dengan adanya Peraturan NKK BKK organisasi-organisasi Eksternal tidak dapat bergerak memasuki dunia kampus, termasuk HMI yang merupakan organisasi eksternal, pada awalnya HMI mendapatkan kesulitan dalam melakukan pengajian-pengajian Islam yang didalamnya disisipkan materi tentang Jilbab.

Situasi itu pernah di alami oleh HMI Komesariat Fisip USU pada tahun 1984 dengan ketua yang dipimpin oleh Bapak Ahmad Taufan Damanik membuat sebuah acara atau kajian yang pada saat itu terdapat lambang dari HMI, jelas saja itu mendapat teguran langsung oleh Dekan Fisip USU pada saat itu jabatan Dekan di pegang oleh Bapak Adam Nasution. Karna mengingat peraturan NKK BKK yang berlaku pada saat itu. Peristiwa yang di alami HMI, dapat kita melihat bagaimana organisasi-organisasi Islam internal maupun eksternal akan sulit untuk memasuki dunia kampus, apalagi untuk membuat sebuah kajian mengenai materi Islam terkhsusnya mengenai Jilbab.

165

(14)

B.2.Peraturan Mengenai Asas Tunggal Pancasila

Peraturan mengenai Asas tunggal pancasila yang dikeluarkan dalam UU No.5/1985 dan UU No 8/1985 kepada organisasi sosial dan politik di Indonesia, pendaftaran kembali Ormas-ormas diberi batas sampai tanggal 17 Juli 1987, ormas yang tidak menerima asas tunggal tidak akan didaftarkan sehingga mendapatkan konsekuensi di bubarkan. Ini lah yang dialami oleh PII pada tahn 1987 tidak menyetujui dengan adanya asa tunggal, sehingga sampai pada tanggal yang telah ditetapkan PII tidak mendaftarkan diri. Sejak saat itu PII tidak diakui lagi keberadaanya secara Formal. Pernyatan ini diperjelas dalam Hasil wawancara dengan Ibu Siti Hajar yang mengatakan

“... pada saat penerapan asas tunggal, PII menolak asas tunggal. Jadi PII ini dilarang, ya kami melakukan kegiatan sembunyi-sembunyilah dan pada saat itu training-training dilarang.”166

“Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ketika daedline itu PII tidak menyetujui dengan asas tunggal. Karna PII tidak menerima, akhirnya PII melakukan kegiatan ya

Dari pemaparan Ibu Siti Hajar, PII harus mengalami hambatan dalam pergerakannya untuk menjalankan program-program yang menjadi handalan PII pada saat itu yaitu training-training. Disaat PII Jakarta mengalami kemandekkan diikuti dengan PII di Sumatra Utara yang bergerak tidak semaksimal sebelumnya dengan menerapkan “gerakan bawah tanah” untuk tetap menjalankan kegiatan-kegiatan training dengan menggunakan nama-nama lain seperti Syiam, Usroh dan GAS (Gerakan Amal Shalih). Jelas dengan gerakan bawah tanah ini, PII menjadi lebih lambat selain itu juga mengakibatkan kepada massa yang ikut dalam training juga menurun. Saat peserta training menurun tentunya akan berdampak pada syiar penggunaan Jilbab juga mulai terhambat, dikarenakan banyak peserta yang menggunakan Jilbab pada saat setelah mengikuti training ini. Hal ini diperjelas dalam hasil wawancara bersama Bapak Satiman, yang mengatakan:,

166

(15)

terhambatlah, kita terhambat untuk bisa mengadakan training, kegiatan lainnya. 10 tahun PII Tiarap pada saat itu. Tidak bisa mengadakan kegiatan itu.”167

Sedangkan disekolah-sekolah Negri dijumpai hambatan dari pihak yang mempunyai kekuasaan yaitu kepala sekolah dan guru-guru yang memberikan berbagai macam sanksi-sanksi yang dapat menghambat siswi-siswi untuk menggunakan Jilbab dan harus melepaskan Jilbab mereka. Pada awal tahun 1982, terjadi lagi kasus pelarangan Jilbab terjadi kepada seorang siswi bernama Triwulandari, biasa dipanggil Titik yang merupakan siswi dari SMAN 1 Jember.

B.3. Pihak yang Berkuasa/Berwenang

Gerakan-gerakan ini mengalami hambatan dari pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuasaan seperti Rektor, Dekan, Kepala Sekolah dan guru-guru. Dari pihak kampus, dengan adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan Kemendikbud mengakibat Rektor dan Dekan FISIP USU tidak dekat dengan kelompok Islam. Pada saat itu Bapak Ahamd Taufan melakukan pendekatan yang intensif dan hubungan komunikasi ayah dan anak dengan Dekan Fisip USU yang bernama Pak Adam Nasution. Sehingga hasil dari komunikasi yang dijalin begitu intens, akhirnya Bapak Adam Nasution ikut hadir dalam kajian-kajian yang dibuat oleh HMI.

168

“Dikeluarkannya SK 052 ini bermula dari munculnya semangat berjilbab di sebagian siswi-siswi sekolah negri. Sehingga pemerintah melalui Dikdasmen (pendidikan dasar dan Menengah) di Kemendikbud mengeluarkan peraturan seragam nasional yang bersifat wajib dan tidak mengakomodir Jilbab di dalamnya. Itu kemudian menjadi dasar untuk melarang penggunaan Jilbab. Sejak itu terjadi konflik. Siswi-siswi yang mulai tumbuh kesadaran beragamanya tetap bertahan dengan pakaian Jilbabnya, sementara sekolah

Walaupun banyak juga siswi-siswi yang menggunakan Jilbab tetapi mereka harus memilih untuk melepaskan Jilbab selama di lingkungan sekolah. Memasuki tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82. Menurut bapak Alwi Alatas:

167

Hasil wawancara bersama Bapak satiman. 168

(16)

menekan mereka untuk ikut dengan peraturan. Banyak yang akhirnya keluar dari sekolah”.169

Kasus pelarangan Jilbab setelah SK 052 dialami sekolah Negri SMAN 68, Jakarta Pusat yang lebih ekstrim dalam memberikan sanksi kepada siswi yang mengenakan Jilbab yaitu dikeluarkan dari sekolah itu.170 Di daerah yang berbeda juga terjadi pelarangan Jilbab yang dialami oleh empat orang siswi dari SMA 1 Bogor, dimana orang tua dari mereka menerima surat pemberitahuan dari kepala sekolah SMA 1 Bogor, yang mengatakan anak-anak mereka telah di coret dari absen tidak hanya itu, tugas rumah, kuis, dan ulangan juga tidak di periksa oleh guru mereka, dengan demikian status dari empat orang siswa ini menjadi mengambang.171

“saat itu untuk pas poto STTB di sekolah Madrasah Aliyah Al Wasliyah ada siswi yang bernama Renawati sama juga di Madrasah Tsanawiyah GUPI Tebing Tinggi siswinya itu namanya Nurjannah Purba, mereka berdua ini tidak di bolehkan pas poto STTB dengan menggunakan Jilbab, ya harus membuka Jilbab, pada hal pada saat itu

Pelarangan Jilbab tidak hanya dirasakan oleh siswi-siswi di daerah pulau Jawa ternyata didaerah Sumatra Utara walaupun tidak sebegitu ekstrim jika dibandingkan dengan pulau Jawa. Pelarangan Jilbab di Sumatra Utara terjadi pada awal tahun 1990-an, bahkan pelarangan Jilbab terjadi di Sumatra Utara setelah SK Dirjen Dikdasmen NO 100/C/Kep/D/1991 yang sudah memperbolehkan penggunaan Jilbab bagi siswi-siswi sekolah Negri. Seperti contohnya yang dirasakan oleh Riris yang bersekolah di SMA Negri 1 Tebing Tingggi yang pada saat itu begitu gigih untuk mempertahankan Jilbabnya walaupun ia harus menerima hukuman seperti dijemur dilapangan sambil hormat bendera, serta tugasnya tidak diperiksa bahkan dia hampir dikelurakan dari sekolahnya. Permasalahan yang sama juga dirasakan oleh Mutarabbi dari Ibu Wilda yang mengatakan:

169

Hasil wawancara dengan Bapak Alwi Alatas. Pada tanggal 27 Januari 2017. 170

Alwi Alatas.Op.cit.Hal.24 171

(17)

kan udah keluar SK baru tahun 90-an kalau dia boleh menggunakan Jilbab dan bersedia menerima konsekwinsinya”172

Kedua siswi ini bersekolah di sekolah agama tetapi sayangnya tidak diperbolehkan menggunakan Jilbab untuk pas foto STTB, dengan alasan susah untuk dikenal nantinya. Begitu pula dengan Riris yang harus berjuang untuk bisa meyakinkan guru agamanya, supays bisa diizinkan untuk menggunakan Jilbab. Didalam koran Mimbar Umum yang ditulis oleh Drs.Bactiar pada hari Jumat tanggal 2 Noveber 1992 yang berjudul “Teliti Oknum Guru Yang Larang Siswi Berjilbab” terdapat 2 kasus pelarangan Jilbab yaitu pada tahun 1991 yang dialami oleh Rosmalinda br Kambaren siswi kelas III SMA Kabanjahe yang diusir, ditolak dan tidak diperkenankan mengkuti pelajaran oleh kepala sekolahnya karna mengenakan Jilbab.173 Permasalahan dapat diselesaikan saat Rosmalinda br Kambaren dan kepala sekolah datang ke Medan menemui Kakanwil Depdikbud Sumatra Utara Drs.H, RM.Soezetya guna mengemukakan alasan masing-masing.174

Satu tahun setelah pelarangan yang terjadi di Kaben Jahe, pelarangan Jilbab mulai muncul didaerah di kisaran merupakan Ibu kota kabupaten Asahan. Pelaranga Jilbab ini dilakukan oleh 3 guru SMPN 2 Kisaran berinisial P, LP, dan JS masing-masing guru dibidang studi Bahasa Inggris, Fisika dan PMP.

Akhirnya Kakanwil menjaminnya bisa mengikuti pelajaran sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.

175 Pernyataan yang disampaikan oleh oknum Guru bidang studi bahasa inggris berinisial P yang mengatakan bahwa “Jilbab menghalangi pelajar yang berada di belakang siswi tersebut”176

172

Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani 173

Drs. Bactiar. Telitti Oknum Guru Yang Larang Siswi Berjilbab. Jumat, 2 November 1992. Almarhum Bachtiar merupakan ketua PW PII Sumatra Utara pada tahun 1985.

174

Ibid.

175

Ibid.

176

Ibid.

(18)

siswi yang menggunakan Jilbab. Sedangkan Dalam dunia pendidikan guru tidak boleh memberikan gelar-gelar jelek pada siswa, karena guru adalah pembimbing, pelindung dan menjadi tauladan untuk siswa-siswi.

Pelarang Jilbab juga terjadi di daerah Pematang Siantar tahun 1990 yang dialami oleh Ibu Suryah Nisa yang bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pematang Siantar. Pada saat kelasa 1 SMAE, Ibu Suryah Nisa sudah menggunakan Jilbab dari rumahnya tetapi pada saat berada di lingkungan sekolah, beliau membuka Jilbab dan mengganti rok panjangnya dengan rok pendek. Sampai pada suatu hari, Sri Widiyana yang merupakan kakak senior dari Ibu Suryah Nisa, mendatangi Ibu Surya Nisa dan temannya yang bernama Fauziah, Sri Widiyana mengatakan keinginannya untuk menggunakan busana muslimah ke sekolah, serta ada panggilan dalam hati yang tidak mungkin ditunda lagi. Sebelum menggunakan Jilbab, mereka berusaha beberapa kali untuk Menemui kepala sekolah untuk meminta izin, tetapi kepala sekolah tidak bisa dijumpai, sehingga Ibu Suryah Nisa mengatakan ,

“kalau kita tidak beraksi pasti tidak ada reaksi”. Kalau kita melakukan langsung memakai jilbab, pasti kita akan tau reaksi mereka seperti apa penolakan atau menerima.”177

177

Hasil Wawancara bersama Ibu Suryah Nisa.

Maksud dari “kalau kita tidak berasksi pasti tidak ada reaksi” adalah kalau kita tidak melakukan aksi berupa menggunakan Jilbab, tentunya tidak mengetahui apa reaksi atau respon yang didapatkan.

(19)

“....Setelah itu, kepala sekolah langsung jumpai dijalan bukan disuruh ke kantor, tidak lama kami di panggillah ke kantor. Ditanyain semuanya, mungkin beliau sedikit curiga ada gerakan apa, ternyata kami tidak punya pengajian apa-apa, sebelumnya tarbiyah kan belum ada disitu, jadi kami secara pribadi menggunakan Jilbab karna dari hati, sehingga allah mempertemukanlah hati-hati ini. Jadi setelah kepala sekolah menanyakan semua, akhirnya sudah nyerah beliau tidak bisa menghalangi kami, beliau melihat kami ini betul-betul dari hati nurani, beliau membolehkan kami menggunakan Jilbab, tapi ada satu syaratnya kalian jangan mengajak teman-teman kalian”178

“Ada seorang guru sejarah dia tidak senang dengan kita sampai dia bilang begini, dia tidak mau mengajar, sampai ada orang yang berpakain berbeda keluar dari kelas ini.

Kepala sekolah telah memberi izin bagi Ibu Suryah Nisa, Sri Widiyana dan Fauziah untuk menggunakan Jilbab ke sekolah, tetapi itu tidak membuat mereka terhindar dari berbagai macam bentuk sanksi-sanksi yang diterima dari guru-guru. Sanksi ini dialami oleh Sri Widiyani, melihat kakak kelas yang tidak masuk pelajaran sejarah. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Suryah Nisa yang mengatakan,

179

“kami rata-rata siswa yang berprestai di kelas, kami tidak ikut peraturan, sehingga prestasi itu tidak kami dapatkan lagi, nilai-nilai kami turun. Walaupun kami ujian, tetapi tetap saja itu sepertinya tidak di periksa....”

Akhirnya dengan keberanian Ibu Suryah Nisa menemui kepala sekolah dan meminta bantuan, agar mereka tidak dihalangi-halangi dalam belajar dikarenakan menggunakan Jilbab. Kepala sekolah membuat surat laporan mengenai pengaduan tersebut dan menyuruh semua guru untuk menandatanganinya. Sri Widayana akhirnya diperbolehkan masuk kelas untuk belajar. Tetapi guru mempunyai kekuasaan dalam memberikan nilai kepada siswa-siswinya, Dengan kekuasaan dalam memberi nilai-nilai siswa-siswi maka guru bisa memberikan berapapun nilai siswa-siswi itu, walaupun dia termasuk yang berprestasi selama di sekolah. inilah yang di utarakan oleh Ibu Suryanisah:,

180

178

Suryah Nisa. Wawancara pada hari Selasa, 7 Febuari 2017 pada pukul 14.40-15.35WIB di jalan Balai Umum Gang Pisang tembung.

179

Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa. 180

Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa.

(20)

Pelarangaan Jilbab terjadi di dunia kerja, para pemimpin perusahaan tidak menyukai karyawan yang menggunakan Jilbab, sehingga bagi pelamar kerja lebih di utamakan yang tidak menggunakan Jilbab. Berdasarkan hasil wawancara saya bersama Ibu Masdalifah mengatakan:,

“...Di tempat bekerja juga menerapkan itu, ikut-ikutan karna mungkin disekolah dilarang, jadi di tempat kerja jadi ikutan-ikutan untuk melarang. Teman saya ada yang mengurungkan niatnya untuk tidak memakai Jilbab....”181

“saat saya melamar pekerjaan di sebuah perusahaan pemerintah (BUMN) maupun kantor pemerintah itu sangat sulit bagi saya, yang pada saat itu sudah menggunakan Jilbab”.

.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu Siti Aminah dalam wawancara yang mengatakan:

182

Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain dalam lingkup masyarakat. Respon dari masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang termasuk isu yang telah menyebar di tengah-tengah masyarakat mengenai penggunaan Jilbab sebagai sesuatu yang dianggap “aneh” sehingga stigma yang terbangun menjadikan Perempuan Islam takut dengan hambatan dan rintangan yang harus di hadapinya. Sehingga diperlukan pendekatan personal, perhatian dan selalu mengingatkan mengenai Jilbab kepada

Pemaparan yang telah disampaikan di atas, sangat terlihat jelas bagaimana pengaruh dari kekuasaan dapat melunturkan niat seseorang untuk menggunakan Jilbab, bahkan bagi yang telah berjilbab harus berjuang untuk tetap mempertahankan Jilbab walaupun berbagai bentuk sanksi-sanksi seperti mulai dari teguran, di interogasi di ruang BK, dijatuhi hukuman skors, tidak diperiksa ulangan maupun tugas rumah, dicoret namanya dari daftar hadir bahkan sampai di keluarkan dari sekolah negri dan pindah ke sekolah swasta. Maupun hambatan yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan.

B.4. Lingkungan Masyarakat

181

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah. 182

(21)

mahasiswi-mahasiswi yang mengikuti pesantren kilat. Tidak hanya itu saja, pemberian julukan kepada pengguna Jilbab, hal ini diperjelas dengan hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani yang mengatakan:

“Bagi Orang-orang agak aneh melihat orang menggunakan Jilbab, bahkan itu anak-anak takut bermain dengan orang menggunakaan Jilbab, takut di culik, bukan itu aja, sering juga perempuan yang pakai Jilbab di lempari karna dianggap sebagai nenek sihir.”183

“Pada awalnya, Diluar pun belum terlampau lazim, menjadi pemula ditengah masyarakat yang belum menganggap sesuatu yang wajib dan menjadi yang lazim di tengah masyarakat, pastinya ancam dan ejeka ninjan, di caci maki bahkan ada yang dilempar...”.

Pernyataan yang di sampaikan oleh Ibu wilda sama halnya dengan hasil wawancara bersama Bapak taufan yang mengatakan:

184

Dari hal ini, kita melihat bagaimana perempuan yang menggunakan Jilbab oleh berjuang ditengah masyarakat agar dapat diterima tanpa adanya rasa kecurigaan untuk mereka lagi. Sampai kepada labelling yang selalu tersemat bagi pengguna Jilbab seperti jaula185

“Kalau hambatan mungkin yang ada komplain, dari orang tuanya di anggap orang tuanya yang sudah berjilbab kemana-mana itu masuk gerakan radikal dan aneh, padahal

, nenek sihir, burung hantu dan lainnya juga telah

menyebar ditengah masyarakat yang mengakibatkan muslimah yang menggunakaan Jilbab harus berbesar hati dengan julukan yang diberikan.

B.5. Orang Tua

Orang tua merupakan sarana yang paling dekat dengan seorang anak. Tetapi pada saat itu, tidak jarang kita menemui orang tua yang melarang anak-anaknya untuk menggunakan Jilbab, karena ditakuti anak-anaknya akan mendapat hambatan, tantangan disekolah, pertemanan bahkan dalam mencari kerja. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Siti Hajar yang mengatakan,:

183

Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani. 184

Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan. 185

(22)

mamaknya itu seorang yang taat, tapi hanya mengasih anaknya mnggunakan Jilbab ke PII saja,kalau diluar itu dilarang pakai Jilbabnya.”186

“Kalau hambatan dari orang tua, awalnya kelihatan berat tetapi karna saya berhasil meyakinkan saya tunjukan juga dalilnya apa. Akhirnya orang tua saya, ya udah terserah kau lah”.

Orang tua pada saat itu belum memahami hukum dalam menggunakan Jilbab, sehingga pada saat itu, orang tua hanya membolehkan anaknya menggunakan Jilbab pada saat training, setelah training anak-anak mereka dilarang menggunakan Jilbab. Sangat di sayangkan pada saat itu, pelarangan yang dilakukan oleh orang tua–orang tua yang merupakan hajidan bahkan Ustadz. Hal ini dipertegas dalam wawancara bersama Bapak Taufan yang mengatakan:

“Ada yang pakai seminggu gak tahan termasuk keluarganya mempertanyakan karna itu tidak lazim. orang tuanya yang sudah berhaji pun masih khawatir dengan anaknya, gimana nantinya di kampus dan dengan temannya”.

Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Masdalifah sebagaimana yang diungkapkannya,:

187

“orang tuanya sendiri yang melarang mengggunakan Jilbab dengan berbagai alasan, pertama dikhawatirkan tidak dapat kerja karena pada masa itu tidak ada yang berjilbab, begitula posisi umat Islam pada saat itu yang memunculkan atau menampakan identitas saja sangat sulit. Payah nanti dapat kerja, dan payah dapat jodoh, Yang kedua, kalau kita berjilbab payah dapat jodoh, itu tidak benar. Adalagi yang unik, dari rumah gak berjilbab, alasan lainya yang unik, karna ibu mereka mengatakan saya saja yang sudah tua tidak pakai Jilbab, tidak berani pakai Jilbab. Jadi seolah-olah beban pakai Jilbab ini luar biasa.”

pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Pak Masri Sitanggang yang mengatakan,:

188

Sikap dari pelarangan yang dilakukan oleh Orang tua juga di dukung oleh faktor dilingkungan masyarakat yang menganggap orang yang menggunakan Jilbab itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak lazim. Selain itu orang tua juga

186

Hasil wawancara bersama Ibu Siti Hajar. 187

Hasil wawancara bersama Ibu. Masdalifah.. 188

(23)

khawatir dengan tantangan, hambatan serta pergaulan anak mereka jika menggunakan Jilbab.

Kebebasan dalam menggunakan Jilbab sebenarnya sudah diatur didalam pasal 38 E dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dari pasal-pasal ini telah dipaparkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Jilbab yang digunakan oleh wanita Muslimah ini merupakan suatu bentuk peribadatan didalam ajaran Islam, karena Jilbab merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi dan ditaati. Peraturan penggunanan Jilbab ini terdapat didalam Alquran yang merupakan petunjuk dan pedoman bagi Umat Islam yaitu didalam Qs:Al-Ahzab ayt 59 dan Qs: An-Nur ayat 31. Selain itu prinsip HAM diantaranya prinsip non diskriminasi, dimana tidak adanya pemberlakuan yang berbeda dalam pemenuhan hak seseorang. Jadi Jilbab bukanlah sesuatu yang harus dilarang bahkan harus di berikan sanksi-sanksi bagi pengguna Jilbab, dan tidak ada pemberlakuan yang berbeda terhadap wanita Muslimah yang menggunakan Jilbab, baik itu di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Berbagai kasus-kasus hambatan bahkan pelarangan yang dirasakan baik di daerah Jawa maupu di Sumatra Utara, bukan hanya dari kalangan pelajar tetapi juga dirasakan oleh perempuan-perempuan Islam pada saat itu dan inilah yang menjadikan semangat dari gerakan-gerakan Islam untuk semakin gigih dan gencar dalam memberikan pengajian-pengajian, memberikan pemahaman dan menyusun strategi dengan berbagai pola-pola yang telah dirancang untuk mensyiarkan Jilbab. Gerakan-gerakan Islam seperti PII, HMI dan Tarbiyah mempunyai cara tersendiri dalam memperjuangkan Jilbab.

C. Pola Gerakan Islam Terhadap Perjuangan Jilbab

(24)

pemerintahan tidak memberikan kesan yang membuat kelompok Islam simpati, tetapi dibuat bertanya-tanya dengan kebijakan yang dikeluarkan dari departemen pendidikan dan kebudayaan. Mereka menilai penggunaan Jilbab sebagai budaya Arab yang masuk ke Indonesia melalui gerakan–gerakan radikal, yang nantinya akan melawan pemerintah, sehingga untuk menghindari ini pemerintah mengantisipasinya dari bidang pendidikan agar para siswi-siswi menggunakan seragam sekolah (satu seragam) dan tidak memakai atribut tambahan (Jilbab). Siswi-siswi yang telah menggunakan Jilbab tidak menyerah dengan peraturan yang telah dibuat, walaupun banyak hadangan yang mereka terima dari sanksi halus sampai sanksi yang keras berupa dikeluarkan dari sekolah.

Hambatan bahkan larangan tidak hanya dirasakan oleh kalangan pelajartetapi Mahasiswi dan perempuan-perempuan Islam yang telah menggunakan Jilbab atau bahkan yang telah berniat untuk berjilbab harus berhadapan dengan berbagai persoalan dan terkadang membuat niat untuk menggunakan Jilbab luntur bahkan dengan terpaksa untuk membuka Jilbabnya kembali. Gerakan-gerakan Islam melihat kasus dari pelarangan Jilbab sebagai isu untuk membangkitkan kembali semangat pergerakan dari gerakan Islam dalam menyiarkan ajaran-ajaran keislaman terkhususnya syiar mengenai hukum memakai Jilbab gerakan-gerakan itu antara lain gerakan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Tarbiyah. Perjuangan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam tidak hanya dilakukan di pusat tetapi perjuangan dilakukan oleh cabang-cabang gerakan di daerah Sumtara Utara terkhususnya Medan.

C.1. Himpunan Mahasiswa Islam

(25)

masyarakat, sehingga memerlukan sebuah wadah yaitu organisasi untuk menampung aspirasi masyarakat. Pada saat itu didalam tubuh HMI adanya perpecahan antara HMI yang setuju dengan asas tunggal dan HMI yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas tunggal, tetapi walaupun ada konflik internal ini, tidak membuat gerakan HMI terhenti, tetapi lebih gencar lagi terutama dengan adanya isu dari pelarangan Jilbab sebagai pembangkit semangat keislaman yang semakin memudar.189

189

Dengan adanya asas tunggal membuat HMI terpecah menjadi HMI DIPO dan HMI MPO serta membuat semangat pergerakan menjadi menurun, tetapi dengan adanya Isu pelarangannya jibab, menjadikan ghirah pergerakan HMI di medan muncul kembali.

(26)

Penanaman dan pemahaman mengenai Jilbab

Mm

Bagan.3.1: Pola HMI dalam memperjuangakan Jilbab Himpunan

Mahasiswa Islam

Materi kajian tentang Jilbab dan adanya

kewajiban bagi mahasiswa untuk menggunakan Jilbab saat

mengikuti program ini.

Internal Eksternal

Training-training

Kurikulum Mata Kuliah Agama

Koprs HMI Wati Rektor USU

Pengajian Ahad Pagi (PAP)

(27)

Dari bagan yang terlihat di atas, dapat di jelaskan bahwa Pola gerakan HMI dalam memperjuangkan Jilbab ini terdiri dari 2 strategi yaitu strategi yang dilakukan di Internal HMI dan strategi yang dilakukan diluar HMI (Eksternal). Strategi yang dilakukan di Internal HMI di lakukan pada bidang Koprs HMI Wati (KOHATI), dimana kegiatan HMI wati dikelola oleh departemen keputrian yang merupakan salah satu bidang dalam struktur organisasi HMI. Hal ini diperjelas dari hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan mengatakan:

“strategi yang awalnya di mulai dari internal dengan membuat satu wacana untuk Kohati itu jadi diwajibkan pakai kerudung padahal dulunya tidak, tokoh-tokoh HMI tahun70-an itu tidak pakai Jilbab. Tapi tahun 80-an ketika HMI mendorong Jilbalisasi dibangun keadaan situasi internal, merasa berasalah dan merasah terusir sehingga terdesak untuk pakai songkok....”190

“Anak HMI bikin pengajian ke luar, salah satunya buat pengajian ke SMA-SMA bikin training-training salah satunya itu pesantren kilat”.

HMI Wati yang awalnya belum ada yang menggunakan Jilbab, dengan adanya sedikit penekanan di dalam organisasi HMI terhadap kader-kadernya untuk menggunakan Jilbabdengan adanya situasi yang merasa terdesak jika tidak menggunakan kerudung pada saat itu. Startegi ini berhasil untuk mensyiarkan penggunaan Jilbab terbukti dari hasil wawancara dengan pak taufan, dimana pada tahun 1980-an HMI Wati telah banyak menggunakan kerudung.Pada bagan terlihat arah anak panah ke kiri ini memperlihatkan bagaimana strategi eksternal yang dilakukan oleh HMI melalui training-training.Training-training ini dilakukan ke sekolah-sekolah negri dalam bentuk pesantren kilat, sebagaimana wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan yang mengatakan:,

191

Sedangkan di perguruan tinggi juga di adakan training-training atau pesantren kilat selama tiga hari. Kalau dari USU sendiri Program-program training ini, di usahakan oleh Masri Sitanggang selaku kader HMI bersama Bapak Yaqub yang merupakan Dosen Agama Fisip USU untuk melakukanlobbying

190

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan. 191

(28)

kepada Rektor USU pada bagan di perlihatkan oleh anak panah kebawah dari kolom HMI menjuju Rektor yang menandakan terjadinya komunikasi antara HMI dengan Rektor USU. Hal ini diperjelas dalam pernyataan yang disampaikan oeh Bapak Masri sitanggang yang mengatakan:

“Kita bekerja sama dengan Dosen agama, dan saya pada saat itu merupakan asisten doesen agama, itulah kita rancang kegiatan ini. Jadi prinsipnya kalau dulu matakuliah lainnya ada laboraturiumnya, kenapa matakuliah agama tidak? Jadi inilah yang menjadi laboraturium....”192

Pak A.P. Parlindungan religius tetapi dia tidak suka organisasi yang Islam, Sama seperti disini, pak Adam Nasituin dari keluarga yang religuis tapi dia tidak suka dengan kegiatan-kegiatan Islam.

Rektor USU yang menjabat pada tahun 1984 adalah Dr. A. P. Parlindungan, S.H. Pada awalnya Bapak A. P. Parlindungan bersikap apatis dengan kajian-kajian Islam.Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ahamd Taufan:,

193

“DI USU ada Bina mahasiswa Mesjid Dakwah USU, yang melakukan pengkaderan dengah nama Studi Islam Intensif,...., setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah agama di USU wajib masuk pelatihan 3 hari 3 malam. Habis training oleh pak A.P. Parlindungan memberikan Jilbab. Sehingga dulu, saya yang termasuk memberikan pelatihan sama mereka....”

Semangat serta komunikasi yang dibangun intensif antara Rektor dengan Masri sitanggang bersama Bapak Yaqub Hasibuan, menghasilkan sebuah kebijakan memasukan training-training kedalam mata kuliah Agama, sehingga terjadilah kesepakatan untuk mengadakan kajian-kajian tiap minggunya di Mesjid Dakwah USU.Hal ini diperjelas dengan hasil wawancara bersama Bapak Masri Sitanggang yang mengatakan:,

194

Pada bagan terlihat kolom “Kurikulum Matakuliah Agama Islam” terbagi dua anak panah yaitu training-training dalam bentuk pesantren kilat dan adanya

192

Masri Sitanggang pada hari Rabu, 01 Maret 2017 pukul 17.00-17.45WIB di Kantor Majelis Ulama Indonesia Sumatra Utara

193

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan. 194

(29)

Pengajian Ahad Pagi (PAP). Kedua program harus diikuti oleh Mahasiswa USU yang mengambil Matakuliah Agama di karenakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Mahasiswa dan terdapat daftar kehadiran serta ada nilainnya. Didalam kurikulum mata kuliah Agama Islam, tidak hanya proses belajar mengajar yang dilakukan didalam kelas saja, tetapi juga adanya pertemuan di luar kelas. Di USU sendiri, pertemuan yang dilakukan di mesjid Dakwah dalam Program training-training. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Masri Sitanggang, yang mengatakan:

“Di USU menjadi pusat pelatihan, dulunya itu ada namanya training-training tiga hari tiga malam setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah agama wajib mengikuti ini nanti dikasi nilai Kalau gak ikut gak ada nilainya, untuk kelulusan”195

“Ada dua kewajiban mahasiswa yang mengambil matakuliah agama yaitu training dinamakan pesantren kilat dan harus ikut PAP (Pengajian Ahad Pagi) ada absennya, itu

Program Training-training dikenal dengan Studi Islam Intensif, yang diadopsi dari program yang terdapat di Mesjid Salman ITB. Dimana pada tahap pertama diberikan pelatihan kepada calon instruktur yang nantinya menjadi Instruktur. Setelah itu Instruktur mengundang ustadz-ustadz untuk melakukan training di Mesjid Dakwah dengan memberikan materi-materi terkait keislaman. Peserta yang mendatangi tarining atau kajian ini 90% berasal dari kader-kader HMI. Pada saat itu yang menjadi Pusat kajian Islam adalah Mesjid Salman ITB, IPB dan UGM. Untuk USU yang menjadi pedomannya adalah kajian Islam dari Mesjid Salman ITB.

Pada kedua Program Training dan PAP yang diikuti oleh mahasiswi harus menggunakan Jilbab dan adanya materi mengenai Jilbab, dengan begitu ini merupakan cara penanaman pemahaman mengenai kewajiban serta hukum menggunakan Jilbab kepada Mahasiswi. Serta kegiatan-kegiatan ini menjadi sarana yang masif dalam perjuangan Jilbab, hal ini dipejelas dalam wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan yang mengataakan:

195

(30)

menjadi saran yang masif untuk gerakan Jilbab. Ditraining dia harus menggunakan Jilbab beberapa hari itu, kemudian di PAP dia juga menggunakan Jilbab. Jadi lama-lama banyak yang menggunakan Jilbab”.196

“....karna ada pesantren kilat dan kami di pesantren di campkan dengan menginap, yang menyampaikan juga menggugah hati kita, jadinya mengena, di sampaikan malam-malam. Saya masih ingat yang ngasih materi namanya zahrumzem yang memberikan ceramah”.

Kegiatan training-training dalam bentuk pesantren kilat dikelola oleh HMI selama tiga hari di mesjid Dakwah terkadang di adakan di alam bebas dengan kegiatan Camp dengan tujuan agar Pesantren Kilat yang diadakan jauh dari kebisingan. Kegiatan ini mendapat respon yang sangat baik dari Retor USU bapak A.P. Parlindungan terlihat kegiatan membagikan-bagikan Jilbab setelah kegiatan training yang dilakukan oleh Bapak A.P.Parlindungan.Kegiatan yang diadakan selama pesantren kilat juga terdapat materi mengenai Jilbab. Hal ini diperjelas dalam wawancara Ibu Masdalifah yang mengatakan:

197

“Ada satu sesi di bai’ah untuk menggunakan Jilbab. Kami di panggil satu satu. “ masdalifah bersediakah kamu meggunakan Jilbab?”. Pada saat itu saya jawab tidak. Tetapi setelah itu saya belajar serta berdiskusi dengan orang tua, awalnya memang berat....”

Pesantren kilat menjadi sarana yang masif dilakukan HMI dalam menyampaikan Syiar Jilbab, serta ada satu sesi dalam pesantren kilat yang mempertanyakan kesediaan mahasiswi dalam menggunakan Jilbab. Hal ini di perjelas dalam pernyataan Ibu Masdalifah :

198

“...setelah pulang dari kegiatan pesantren kilat itu, kita melakukan pengamatan dan mendukung bila ada yang menggunakan Jilbab. Bahkan pada saat itu, hasil dari

Strategi HMI tidak hanya berhenti di pesantren Kilat tetapi setelah dari kegiatan Pesantren kilat melakukan pendekatan personal dengan mahasiswi-Mahasiswi. Hal sama juga diperjelas dalam wawancara bersama Pak taufan yang mengatakan:

196

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan. 197

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah. 198

(31)

pemantuan kita, ada Mahasiswi yang menggunakan Jilbab tetapi tidak beberapa lama melepaskan, sehingga saya dan teman-teman melakukan diskusi mengenai mahasiswi tersebut, kenapa dia melepaskan Jilbab...”199

“Tapi kalau misalnya jika ada 100 orang yang ikut training yang pakai Jilbab 20 orang berhasil menggunakan Jilbab setelah tarining bahkan kurang. Tapikan setiap tahunnya dengan penambahan 20 orang lalu tahun depan 20 orang lagi dan seterusnya. Akhirnya ini menjadikan kampus biasa dengan Jilbab. Sehingga semakin lama semakin banyak menggunakan Jilbab. Dengan semakin banyak yang pakai Jilbab maka perempuan yang lainnya akan menggapanggan untuk mulai memakai Jilbab. Karna tidak ada lagi yang memberikan julukan, ninja, ninja...”

Bapak Ahmad Taufan dan teman-teman akhirnya mengetahui ternyata restu orang tua yang menghambatnya menggunakan Jilbab. Sehingga Bapak Taufan bersama teman-teman mendatangi rumah mahasiswi yang mengunakan Jilbab yang tidak mendapat dukungan dari orang tua, HMI berusaha untuk meyakini orang tua mahasiswi, akhirnya disetujui orang tua mahasiswi tersebut untuk menggunakan Jilbab.

Strategi HMI berhasil memberikan pemahaman kepada Mahasiswa akan hukum menggunakan Jilbab. Keberhasilan dari strategi yang dibuat oleh HMI dirasakan Ibu Masdalifah, setelah mengikuti pesantren kilat menjadi mengetahui hukum dari berjilbab bagi wanita Islam. Setelah dari kegiatan pesantren kilat, Ibu Masdalifah mencari buku-buku serta dalil mengenai Jilbab. Akhirnya pada Awal tahun 1985 Ibu Masdalifah memantapkan hatinya untuk menggunakan Jilbab. Sebelum Ibu Masdalifah ada 3 mahasiswi yang telah menggunakan Jilbab yaitu Ibu Lusi, Ibu Lina Sudarwati dan Rosmala Dewi. Pernyataan mengenai keberhasilan HMI dalam memperjuangkan Jilbab diperjelas melalui wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan yang mengatkan:

200

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh HMI sangat berpengaruh dalam perjuangan Jilbab, dikarenakan Mahasiswi yang merupakan kalangan terpelajar sudah menggunakan Jilbab. Tentunya masyarakat melihat dan menilai dengan

.

199

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan. 200

(32)

bertambah banyaknya penggunaan Jilbab dari kalangan terpelajar menjadikan sesuatu patokan atau pedoman bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi Agen perubahan dalam mengubah stigma atau pandangan masyarakat terhadap wanita yang menggunakan Jilbab.

C.2. Tarbiyah

Gerakan tarbiyah merupakan gerakan yang baru muncul pada tahun 1980 an dibandingan dengan dua gerakan lainnya HMI dan PII, gerakan tarbiyah belum menampakan jati dirinya. Hubungan komunikasi belum terjalin antara gerakan tarbiyah dengan pemerintah Orde Baru. Gerakan tarbiyah muncul dikarenakan reaksi dari sifat represi yang dilakukan oleh pemerintah kepada umat Islam. Terutama dengan adanya SK 052 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di Sekolah-sekolah Negri Gerakan yang memperjuangkan Jilbab pada masa Orde Baru salah satunya adalah gerakan Tarbiyah.201

“Banyak dari pelaku dan korban pelarangan Jilbab ketika itu dari kalangan tarbiyah. Itu setidaknya yang saya dapati selama penlitian dan juga melalui pengamatan pribadi. Dakwah aktivis tarbiyah termasuk yang muncul dan berkembang di sekolah-sekolah negri ketika itu. Mereka memahami Jilbab hal yang wajib....”

Perjuangan Gerakan Tarbiyah dalam memperjuangakan Jilbab, dikarenakan banyak dari mereka menjadi korban-korban pelarangan Jilbab. Pernyataan ini diperjelas melalui wawancara bersama Bapak Alwi Alatas mengatakan yang mengatakan:

202

201

Gerakan yang memperjuangkan Jilbab pada saat itu adalah PII Jakarta, masjid Salman ITB (Imaduddin Abdulrahim) dan juga gerakan tarbuyah (cika bakal PKS)

202

Hasil wawancara bersama Bapak Alwi Alatas.

(33)

Bagan.3.2 : Pola Tarbiyah dalam Memperjuangkan Jilbab Da’wah

Fardiyah TARBIYAH

Kepala Sekolah

Guru Agama Mutarrabbi (Adek Binaan)

Kajian Aqidah, Muslimah

(Jilbab)

Pemberian materi melalui potocopian dari

majalah dan lainnya

Pembentukan Kelompok

Halaqah

Kajian Keputrian Pemateri

Kajian Keputrian dari

(34)

Pola gerakan yang dilakukan oleh Tarbiyah dengan Internal malalui Dakwah

Fardiyah.203

“Adek-adek yang dari sekolah-sekolah yang mau mengikuti halaqah-halaqah, nah dalam halaqah ini kita pahamkan lagi mengenai Jilbab itu”

Dengancara pendekatan secara personal terhadap obyek dakwah. Pada saat itu yang menjadi objek dakwah adalah Siswi-siswi SMA. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ibu Siti Aminah melakukan pendekatan personal terhadap Aisyah, Susisanti, dan Yanti yang merupakan Siswi SMA N2 Tebing Tinggi dengan memperlihatkan sikap yang ramah, sopan, karena menjadi seorang kader dakwah dengan tingkah lakunya orang dapat menirunya sehingga secara tidaklangsung kader dakwah sudah menjalankan amanah dakwahnya, sehingga tidak jarang Ibu Siti Aminah membawa buku atau majalah untuk menjadi bacaan mereka. Dari pendekatan personal diantara mereka maka terbinanya kelompok Halaqah yang awalnya terdiri dari tiga siswi ini. Melalui Halaqah-halaqah walaupun dengan cara bersembunyi-sembunyi.Murabbi memberikan materi mengenai Jilbab kepada MutarabbinyaKegiatan halaqah ini memberikan pemahaman kedalam hati mereka akan kewajiban menggunakan Jilbab. Sehingga semakin bertambah siswi-siswi yang menggunakan Jilbab. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Wilda:,

204

“.... adek-adek yang sudah ikut halaqah, mereka mendatangi guru agama agar membuat kajian setiap jumat pada waktu shalat jumat. Guru agama inilah

.

Strategi yang dibangun setelah dari pembentukan Halaqah-halaqah juga melalui kegiatan Rohani Islam yang ada di sekolah-sekolah Umum maupun Agama. Pada Kegiatan Rohis adanya kajian keputrian yang dilakukan setiap hari Jumat, pada waktu shalat Jumat. Pembentukan Kajian keputrian datang dari inisiatif dari mutarabbi yang dibina oleh Ibu Siti Aminah. Mutarabbi mendekati guru agama untuk melakukan pengajian-pengajian khusus putri, hal ini diperjelas melalui wawancara dengan Ibu Siti Aminah yang mengatakan:

203

Dakwah fardiyah adalah dakwah antar personal yang lebih terfokus terhadap satu persatu pribadi.

204

(35)

yangmemperbincangkan dengan kepala sekolah, dan akhirnya di bentuklah kajian keputrian. Nah yang menjadi pemateri itu dari kader-kader Tarbiyah.”205

Kader-kader Tarbiyah menjadi pemateri dalam kegiatan Keputrian, didalam kegiatan keputrian ini membahas mengenai Aqidah, Al-quran dan keakhwatan diantaranya yang berkaitan dengan kewajiban menggunakan Jilbab. Pada awalnya kajian ini membuat risau guru agama, tetapi karna melihat penyampaian dari kegiatan ini tidak hanya materi, tetapi juga belajar Tahsin206

Kegiatan keputrian juga dilakukan oleh Ibu Wilda Adriani pada saat itu menjadi Pemateri di Madrasah Tsanawiyah Gupi Tebing Tinggi dan Madrasah Aliyah Al Wahliyah Tebing Tinggi yang memberikan materi-materi mengenai . Kegiatan keputrian secara tidak langsung telah membantu guru agama Islam dalam memberi materi di Kelas. Ibu Siti Aminah yang menjadi pemateri di SMA N2 Tebing Tinggi mengisi kajian keputrian pada setiap satu bulannya dengan agenda tahsin yang diadakan 3 kali dan satu kalinya diisi dengan materi-materi muslimah seperti Mandi wajib dan tentunya tentang Jilbab.

Hal yang sama juga terjadi pada daerah Pematang Siantar, dimana kegiatan Rohis baru muncul setelah adanya kasus pelarangan Jilbab yang dialami oleh Ibu Suryah Nisa. Dengan dizinkan Ibu Surya Nisa menggunakan Jilbab, maka bersama teman-teman Halaqah yang terdiri dari Ibu Surya Nisa, Sri widayana, Fauziah dan lainnya, membuat suatu kajian yang setiap hari Jumat bagi siswi-siswi yang dikenal sebagai kegiatan keputrian. Kajian ini biasanya di isi oleh Murabbi dari Ibu Surya Nisa yang bernama Erni Febrianti yang merupakan Mahasiswi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara. Sehingga tidak mengherankan setelah kegiatan, SMAE N1 Pematang Siantar semakin banyak siswi-siswi yang menggunakan Jilbab, padahal sebelumnya tidak ada yang berani untuk menggunakan Jilbab.

205

Hasil wawancara bersama Ibu Siti Aminah. 206

(36)

kajian keislaman serta materi tentang Jilbab. Kegiatan Rohis sebenarnya telah dilakukan di daerah Jakarta yang diadakan oleh kader-kader Tarbiyah. Dari kegiatan inilah menjadi cikal bakal semakin banyaknya kegiatan-kegiatan Rohis serta semakin banyak yang menggunakan Jilbab. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Bapak Alwi Alatas yang mengatakan,

“Gerakan aktivis tarbiyah termasuk yang muncul dan berkembang disekolah-sekolah Negri pada saat itu. Kader-kader yang masuk didalam gerakan tarbiyah memahami bahwa penggunaan Jilbab merupakan suatu hal yang diwajibkan oleh Allah, sehingga mereka mensyiarkan tentang Jilbab kepada siswi-siswi di sekolah Negri. Sehingga pelajar muslimah yang bersentuhan dengan dakwah ini akhirnya memakai Jilbab ke sekolah walaupun harus mananggung resiko dipanggil pihak sekolah dan bahkan dikeluarkan”.207

Strategi yang dilakukan Trabiyah akhirnya membuahkan hasil dengan semakin banyaknya siswi-siswi yang menggunakan Jilbab tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga didaerah Sumatra Utara seperti Jamur yang tumbuh di musim hujan. Keberhasilan ini mendapat hambatan dari peraturan dan pihak sekolah yang belum mengizinkan menggunakan Jilbab, seperti halnya Riris yang merupakan Siswi SMA N1 Tebing Tinggi yang medapat hambatan dan berbagai pertanyaan dari Guru Agama Islam. Guru agama mempertanyakan niat dari siswi ini menggunakan Jilbab, apakah niatnya dari hati atau karena masuk gerakan tertentu. Sampai akhir Orang tua dari Riris mendatangi sekolah serta mengatakan niat dari putrinya menggunakan Jilbab untuk menegakkan syariat Allah. Rasa cintanya ke pada Allah serta dukungan dari Murabbi dan orang tuanya menjadikan Riris kuat untuk menghadapi hambatan ini. Akhirnya Hubungan yang terjalin baik pada saat itu serta guru Agama melihat niat dari Riris merupakan niat untuk menjalankan kewajibannya seorang muslimah. Sehingga diperbolehkan untuk menggunakan Jilbab berwana hitam. 208

207

Hasil wawancara dengan Bapak Alwi Alatas pada tanggal 27 Januari 2017 208

Pada saat itu Riris diharuskan menggukan Jilbab warna hitam supaya saat berbaris sama dengan warna rambut hitam, agar tidak terlihat perbedaan diantara lainnya.

(37)

“...keluarganya ikut mendukung Riris menggunakan Jilbab. Pada saat itu Ibu dari Riris yang datang ke sekolah dan menegaskannya bahwa anaknya menggunakan Jilbab untuk menegakan syartiat Islam. Saya memberi dukungan untuk Riris dan orang tua dari luar, nanti malahan heran orang kalau saya datang kesana ”209

“Saya masuk SMA 68 di salemba, Jakarta Pusat pada tahun 1990. hanya sekitar 6 bulan sebelum Jilbab diijinkan disekolah. Senior-senior yang mengurusi siswi-siswi muslimah yang terkena kasus Jilbab adalah dari kalangan tarbiyah. Sebagaimana rohis-rohis yang berkembang di sekolah-sekolah negri ketika itu juga umumnya dari kalangan tarbiyah”

Kader-kader Tarbiyah yang lainnya melakukan hak yang sama di saat adanya pelarangan Jilbab, mereka berusaha untuk melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan permasalah seperti halnya di daerah Jakarta. Dimana kader-kader membantu mengurusi permasalahan siswi-siswi muslimah yang terkena kasus pelarangan Jilbab. Hal ini dapat terlihat dalam hasil wawancara bersama Bapak Alwi Alatas yang mengatakan;

210

Pada awal tahun1990-an sikap Orde Baru terhadap Islam mulai berubah dan lebih ramah dengan Umat Islam. Tahun 1991 akhirnya dikeluarkan peraturan baru tentang seragam sekolah yang mengakomodir Jilbab atau pakaian yang menutup aurat sebagai salah satu bentuk peraturan tentang seragam sekolah. Dengan dikeluarkannya SK No 100/c/Kep/D/1991 memberikan kebebasan bagi siswi-siswi untuk menggunakan seragam lain.211

“Di saat Jilbab telah dibolehkan di sekolah negri, Tetapi sikap antipati sebagian pihak didunia pendidikan belum sepenuhnya hilang. Mereka yang lulus SMA masih diharuskan membuka telinganya saat diambil foto untuk ijazah.”

Hal ini diperjelas dengan hasil wawancara bersama Bapak Alwi Alatas

212

Pengalaman yang dirasakan oleh Ibu Wilda Adriani saat menghadapi mutarabbinya yang bernama Nurjannah Purba yang bersekolah di madrasah Tsnawiyah GUPI Tebing tinggi tidak diboleh untuk menggunakan Jilbab pada saat pengambilan foto untuk STTB. Peraturan mengenai Pas Poto STTB untuk

209

Hasil wawancara bersama Ibu Siti Aminah. 210

Hasil wawancara bersama Bapak Alwi Alatas. 211

Yang dimaksud seragam lain adalah Jilbab dengan baju panjang. 212

(38)

siswa-siswi SD, SMP, dan SMA di Sumatra Utara baru mengalami perubahan pada tanggal 23 Juni 1992 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Propinsi Sumtra Utara kantor Tebing Tinggi nomor 1970/I05.14/ U/ 92.1 yang ditujukan kepada kepala sekolah SD/SMP/SMA se-kecamtan Tebing tinggi. Yang berisikan tentang213

A. Pas foto untuk dokumen resmi termasuk STTB dengan persyaratan sebagai berikut:

:

1. Pas foto harus menghadap lurus ke depan, 2. Kedua telinga harus kelihatan dalam foto, 3. Tidak memakai kaca mata hitam,

4. Tidak memakai tutup kepala

B. Bila pas foto siswa wanita pada STTB, memakai kerudung/Jilbab, sehingga menutup telinga, apabila dikemudian hari untuk sesuatu keperluan, diisyaratkan pas poto harus kelihatan telinga maka;

a. Sekolah tidak dapat mengganti STTB, mengingat dokumen resmi hanya dapat diberikan sekali

b. Sekolah tidak dapat memberikan surat keterangan lain yang berhubungan dengan jati diri yang bersangkutan.

Upaya yang dilakukan Ibu Wilda Adriani beserta teman-teman meyakinkan Nurjannah Purba untuk tetap mengunakan Jilbab selain itu mereka menunjukkan surat landasan hukum lalu yang keluar dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Propinsi Sumatra Utara kantor Kotamadya Tebing yang memperbolehkan poto ijazah dengan menampakkan kuping. Hasil dari usaha yang dilakukan adalah diperbolehkan Nurjannah Purba menggunakan Jilbab pada saat Pas poto STTB tetapi harus menanggung semua konsekuensi yang dikemudian harinya.

213

(39)

C.3. Pelajar Islam Indonesia

(40)

3.3: Pola Pelajar Islam Indonesia dalam memperjuangkan Jilbab (tebal, warna gelap dan

Praktis) Selebaran mengenai

Jilbab Basic Training

(memasukan materi mengani Jilbab di saat

(41)

Pola dari gerakan PII dalam memperjuangakan Jilbab dengan Training-training dilakukan selama seminggu pada saat libur semester dengan berbagai mater-materi yang disampaikan pada setiap sesinya, adanya materi mengenai ketauhidan, fiqih, akhalak dan lainnya.Walaupun didalam training yang dilakukan tidak adanya sesi khusus yang membahas mengenai Jilbab tetapi pembahasan mengenai Jilbab biasanya di masukan pada saat materi akhlak. Dari hasil wawancara dengan Ibu Siti Hajar mengatakan,

“...didalam kegiatan training ini terdapat berbagai macam sesi-sesinya, sama halnya dengan training yang dilakukan di Jakarta, adanya sesi akidah, Tauhid, Fiqih dan akhlak. Dan biasanya mengenai Jilbab tidak dimasukan pada saat materi tetapi pada saat pembahasan dan diskusi, barulah pemahaman mengenai Jilbab dimasukan dengan menerangan dalil-dalil kewajiban menggunakan Jilbab.”214

“ada satu materi didalam kegiatan Ladership Basic Training, itu namanya materi Dinul Islam, dimateri ini kita memperlihatkan mengenai Islam secara kaffah, nah disitulah dimasukan materi pertama mengenai penyadaran tentang Jilbab. Nanti ada materi tentang Fiqun Nisa’ didalam materi ini memantapkan lagi anak-anak yang terutama perempuan mengenai Jilbab. Dari training-training ini nanti dibentuklah Usroh-usroh sebagai bentuk Follow UP.”

Sama halnya yang disamaikan oleh Ibu Siti hajari, materi Jilbab juga dimasukkan kedalam materi Dinul Islam dan Fiqun Nisa’, hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Bapak Satiman, yang mengatakan,:

215

Training-training atau pelatihan yang diadakan oleh PII tidak hanya dipulau Jawa, training-training itu juga dilakukaan di daerah-daerah Sumatra Utara.216 Peserta- peserta yang ikut kegiatan training di medan terdiri dari pelajar SMP, SMA dan Mahasiswa.217

214

Instruktur yang memberikan materi pada saat tarining di daerah Medan merupakan Instrukrur yang bersal dari daerah pulau Jawa.

215

Hasil wawancara bersama Bapak Satiman. 216

Training-training juga dilakukan di kisaran, Prapat dan tarining yang diadakan di Medan sering di sebut simultan, dimana para siswi-siswi yang datang dari berbagai wilayah di sumatra utara. Melihat semangat berjilbab dari pelajar di pulau Jawa terhadap berbagai kasus pelarangan berjilbab, semakin bertamabah semangat pelajar yang mengikuti training untuk menggunakan Jilbab.

217

Peserta yang paling banyak mengikuti training ini berasal dari SMA dan sederajat.

Referensi

Dokumen terkait

Rasio kompresi file audio *.mp3 menggunakan Algoritma Huffman memiliki rata-rata 1.426% sedangkan RLE -94.44%, dan rasio kompresi file audio *.wav memiliki rata-rata 28.954

panitia-keg-soft-skills-2011 panitia-keg-soft-skills-2012 panitia-lokakarya-ppm2012 pemakalah-seminar-nasional2012 pemakalah-seminar-nasional2013

Social System Theory (Parson, 1937) penulis angkat sebagai middle range theory yang digunakan untuk mengkaji keberhasilan manajer ‘PR’ dalam upayanya menciptakan

Apabila jumlah skor lebih dari atau sama dengan 2, maka bangunan dinilai tidak rentan, namun apabila skornya kurang dari 2, maka bangunan dinilai rentan dan

Dalam data mining, perlu menemukan pengetahuan dalam bentuk pola yang nantinya akan diekstrak menjadi informasi yang akan bermanfaat untuk selnajutnya

Proses yang terjadi dalam algoritma apriori ketika memindai seluruh item yang ada di dataset, kemudian pemrosesan berlanjut untuk menghitung nilai support count

Hasil nilai safety factor dari simulasi frame sepeda Mustang dan semua frame yang sudah dimodifikasi ditampilkan pada Tabel 3. Jika dilihat dari nilai safety factor

Berdasarkan hasil penelitian di atas, kesimpulan yang dapat disampaikan berkaitan dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh Keterampilan Menyimak sebagai