BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarahnya, konsep perlakuan yang “setara” (equitable) pertama kali muncul dalam Havana Charter for an International Trade Organization tahun 1948. Pasal 11 Ayat (2) piagam tersebut menyatakan bahwa 1 International Trade Organization (ITO) dapat:
1. make recommendations for and promote bilateral or multilateral agreements on measures designed…
2. to assure just and equitable treatment for the enterprise, skills, capitals, arts and technology brought from one Member country to another. 2
Havana Charter menjadi dasar bagi International Trade Organization (ITO) untuk memberikan rekomendasi dan mempromosikan perjanjian, baik
bilateral maupun multilateral, untuk menjamin perlakuan yang adil dan setara
terhadap investasi yang dilakukan oleh negara anggota, dalam bentuk keahlian,
kesenian, teknologi, bahan dan peralatan lain untuk kepentingan seluruh negara
anggota. Selain itu, negara anggota juga mengakui hak setiap negara untuk
menentukan peraturan mengenai masuknya investasi asing ke dalam wilayah
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Working 1
Papers on International Investment 2004/03: Fair and Equitable Treatment Standard in International Investment Law (September 2004), hlm. 3-4.
Interim Commission for the International Trade Organization, Final Act and 2
negaranya, serta untuk memberlakukan peraturan yang bersifat adil bagi
kepemilikan investasi saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Namun, 3
beberapa negara maju tidak meratifikasi piagam tersebut dikarenakan adanya
beberapa kendala. Akibatnya, upaya pertama untuk merumuskan perjanjian
multilateral dalam bidang perdagangan dan investasi pasca Perang Dunia II gagal
diberlakukan. 4
Pada tingkat regional, konferensi negara-negara benua Amerika
mengadopsi Economic Agreement of Bogota pada tahun 1948, dimana Pasal 22 perjanjian tersebut menyatakan bahwa:
“Foreign capital shall receive equitable treatment. The States therefore agree not to take unjustified, unreasonable or discriminatory measures that would impair the legally acquired rights or interests of nationals of other countries in the enterprises, capital, skills, arts or technology they have supplied”. 5
Selain itu, perjanjian tersebut juga mengatur kewajiban negara anggota
untuk tidak bertindak secara tidak adil, tidak beralasan, ataupun tindakan
diskriminatif lain yang dapat melanggar hak dan kepentingan hukum para investor
asing. 6
Meskipun ketentuan ini berlaku sebagai preseden, namun tidak memiliki
3
kekuatan untuk menjamin suatu standar perlakuan bagi para investor; ketentuan ini hanya memberi wewenang kepada ITO untuk merekomendasikan pencantuman standar ini dalam perjanjian-perjanjian yang akan datang.
OECD Working Papers on International Investment,op. cit. 4
Organization of American States (AOS), Economic Agreement of Bogota, 5
(1948), Pasal 22.
Meskipun perjanjian-perjanjian tersebut di atas tidak sepenuhnya berlaku,
beberapa tahun kemudian, negara-negara yang tergabung dalam United States’ treaties on Friendship, Commerce and Navigation (FCN), mulai menerapkan istilah “equitable” dan “fair and equitable treatment”. 7
Pada tahun 1959, Draft Convention on Investments Abroad dikembangkan oleh Herman Abs, Dirjen Bank Nasional Belanda, dan Lord Shawcross, Jaksa
Agung Inggris. Pasal 1 konvensi tersebut mewajibkan negara anggota untuk
menjamin fair and equitable treatment terhadap properti yang dimiliki oleh warga negara negara anggota lain. Upaya ini menjadi awal usulan Jerman kepada 8
OECD agar dirancangnya suatu konvensi internasional yang mengatur
perlindungan atas properti asing.
Dimulailah diskusi intensif pada awal tahun 60-an dan akhirnya pada
tanggal 12 Oktober 1967, Dewan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengadopsi Draft Convention on the Protection of Foreign Property, yang mewajibkan negara anggota untuk memberikan perlakuan yang adil dan sejajar terhadap properti warga negara negara anggota yang lain. 9
Rancangan konvensi ini, meskipun tidak terbuka untuk penandatanganan,
mewakili pandangan kolektif dan tren yang dominan bagi negara-negara anggota
Misalnya, perjanjian FCN antara Amerika Serikat dengan Belgia (1963),
7
Ethiopia (1952), Jerman (1954), Perancis (1960), Yunani (1954), Irlandia (1950), Luksemburg (1962), Belanda (1956) dan Pakistan (1961).
Abs dan Shawcross, The Proposed Convention to Protect Foreign Investment: A 8
Round Table: Comment on the Draft Convention by its Authors, Journal of Public Law, 9 (1960), hlm. 119-124.
OECD, Draft Convention on the Protection of Foreign Property, (1967), Pasal 1
9
OECD dalam isu investasi, serta memengaruhi pola perundingan investasi asing
pada masa itu. Kewajiban negara untuk “menjamin fair and equitable treatment” dalam konvensi tersebut telah berhasil menegaskan posisi standar tersebut apabila
dibandingan dengan instrumen-instrumen terdahulunya.
Konsep Fair and Equitable Treatment (FET) juga dapat ditemukan dalam sejumlah perjanjian multilateral. Salah satunya, the Convention Establishing the Multilateral Investment Agency (MIGA Convention) tahun 1985 yang mewajibkan FET sebagai prasyarat untuk jaminan investasi. 10 North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA) tahun 1992 juga mengandung prinsip FET yang tercermin pada Pasal 1105 Ayat (1) yang berbunyi “Each Party shall accord to investments of investors of another Party treatment in accordance with international law, including fair and equitable treatment and full protection and security.” 11
Seiring meningkatnya hubungan ekonomi antar negara di dunia, prinsip
FET mulai dicantumkan dalam beberapa perjanjian bilateral. Secara khusus,
prinsip FET telah menjadi fitur yang umum dalam Perjanjian Investasi Bilateral
atau Bilateral Investment Treaties (BITs). Sebagian besar BITs yang dibuat dan berlaku pada saat ini mencantumkan standar ini. Meskipun hampir seluruh 12
ketentuan BITs menggunakan terminologi yang sama yaitu “fair and equitable
Convention Establishing Multilateral Investment Agency (MIGA Convention),
10
(1985), Pasal 12.
North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA), (1993), Pasal 1105 Ayat (1).
11
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Fair and 12
treatment”, ketentuan yang mengaturnya tidaklah seragam. Secara khusus, terdapat beberapa variasi yang menyatakan keterkaitan standar FET dengan
hukum kebiasaan internasional. 13
Akibat luasnya pengertian dan cakupan FET, telah muncul perdebatan
apakah standar FET hanya mencakup standar minimum internasional
sebagaimana diatur dalam hukum kebiasaan internasional, atau merupakan suatu
standar mandiri yang melengkapi hukum internasional. Perdebatan ini mencapai 14
puncaknya dalam upaya untuk menafsirkan Pasal 1105(1) dari NAFTA yang
mengkaitkan FET dengan minimum standar internasional. Salah satu kajian
tentang FET yang dilakukan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memberikan perhatian khusus terhadap isu apakah FET merupakan standar yang dapat berlaku secara otomatis (sebagaimana hukum
kebiasaan internasional) atau hanya dapat berlaku apabila dideklarasikan oleh para
pihak. Secara spesifik, UNCTAD menyimpulkan bahwa “apabila negara dan
investor menginginkan bahwa standar FET dapat berlaku secara bergantian
dengan standar minimum internasional maka hal tersebut harus dinyatakan secara
jelas dalam instrumen hukum yang mengatur investasinya”. 15
Sementara itu, berkembang pula pemahaman yang menunjuk pada arah
yang berlawanan. Prinsip FET dikatakan sebagai ekuivalen dengan standar
R. Dolzer dan M. Stevens, Bilateral Investment Treaties, (Leiden: Brill, 1995)
13
hlm. 58-60.
C. Yannaca-Small, Fair and Equitable Treatment Standard in International 14
Investment Law, Working Papers on International Investment Number 2004/3, OECD, Directorate for Financial and Enterprise Affairs, (2004), hlm. 8-25.
UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm. 13.
minimum internasional yang diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Salah
satu dukungan terhadap konsep ini diberikan oleh OECD dalam Draft Convention on the Protection of Foreign Property tahun 1967 yang menyatakan bahwa standar FET yang diberikan host state terhadap investor asing haruslah setara dengan ‘standar minimum’ menurut hukum kebiasaan internasional. 16
Terlepas dari perbedaan tersebut, prinsip FET ternyata tidak hanya
diterapkan pada substansi dari kegiatan investasi saja tetapi juga diterapkan pada
tahap prosedural penyelesaian sengketa investasi yang melibatkan investor asing
dan negara. Bahkan, mahkamah arbitrase melalui putusannya dalam beberapa
sengketa investasi internasional, berlomba-lomba untuk merumuskan definisi FET
yang luas dan dapat diterima secara umum. Dalam beberapa putusannya, 17
mahkamah arbitrase beranggapan bahwa standar FET sebagaimana diatur dalam
Pasal 1105 Ayat (1) NAFTA tidaklah terbatas kepada hukum kebiasaan
internasional. Salah satunya adalah putusan mahkamah arbitrase UNCITRAL
dalam kasus S.D. Myers v. Canada18 yang memutus bahwa adanya pelanggaran terhadap aturan hukum internasional tidak membuktikan adanya pelanggaran
terhadap prinsip FET terhadap investor. Mahkamah menyatakan bahwa:
OECD, Draft Convention, op. cit., hlm. 120.
16
Upaya untuk merumuskan definisi umum FET dapat ditermukan dalam: S. D.
17
Myers v. Canada, UNCITRAL, First Partial Award, 13 November 2000, para. 263; Alex Genin, Eastern Credit Limited, Inc. and A.S. Baltoil v. Estonia, ICSID Case No. ARB/ 99/2, Award, 25 Juni 2001, para. 367; Tecmed v. Mexico, ICSID Case No. ARB/00/2, Award, 29 Mei 2003, para. 154; Waste Management v. Mexico, ICSID Case No. ARB/ 00/3, Final Award, 30 April 2004, para. 98; MTD v. Chile, ICSID Case No. ARB/01/7, Award, 25 Mei 2004, para. 113; Saluka v. Czech Republic, UNCITRAL, Partial Award, 17 Maret 2006, para. 309.
S. D. Myers v. Canada, op. cit., para. 264.
“264. …the breach of a rule of international law by a host Party may not be decisive in determining that a foreign investor has been denied “fair and equitable treatment”, but the fact that a host Party has breached a rule of international law that is specifically designed to protect investors will tend to weigh heavily in favour of finding a breach of Article 1105.”
Pada tahun 2007, Mahkamah dalam PSEG v. Turkey menegaskan bahwa standar FET merupakan sebuah standar terkemuka yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk membawa sengketa investasi ke hadapan Mahkamah Arbitrase. 19
Putusan mahkamah tersebut, yang juga berlaku sebagai salah satu sumber hukum
internasional berdasarkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, semakin 20
memantapkan posisi standar FET dalam hukum investasi internasional, khususnya
dalam BITs. Sebuah studi empiris menunjukkan meningkatnya gugatan sengketa
investasi argumen FET sebagai pembelaan di International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) membuat prinsip FET tumbuh menjadi suatu wacana yang mungkin tidak diantisipasi satu dekade yang lalu. 21
Secara konsep, penting untuk diketahui bahwa kewajiban untuk
memberikan perlakuan yang adil dan sejajar merupakan kewajiban yang
PSEG Global Inc. v. Republic of Turkey, ICSID Case No. ARB/02/5, Award,
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Peradilan pertama yang menerapkan dan mendefinisikan standar FET adalah
21
mencakup seluruh aspek persoalan. Klausa FET tidak mengkaji pentingnya suatu
sektor ekonomi bagi host state maupun bagi investor, melainkan mengkaji perlakuan yang diberikan host state terhadap investor. 22
Cara terbaik untuk memutuskan apakah standar FET telah dengan benar
diterapkan dalam perjanjian-perjanjian investasi dan dalam proses arbitrase
investasi adalah dengan menilik kepada hasil putusan arbitrase internasional.
Dalam memutus sengketa investasi internasional yang melibatkan prinsip FET,
Mahkamah arbitrase biasanya menggunakan konsep-konsep umum investasi
seperti investor’s basic expectations, transparansi, stabilitas, non-diskriminasi, keadilan, pemenuhan kewajiban kontraktual, standar prosedural dan due process of law, itikad baik, dan lain-lain. Yang menjadi masalah dengan bentuk pendekatan ini adalah kecenderungan untuk menghasilkan suatu definisi yang
terlalu luas sehingga sulit diterapkan dalam praktik, ataupun definisi yang terlalu
sempit sehingga sulit untuk ditetapkan sebagai suatu standar yang akan diterapkan
dalam kasus-kasus serupa. 23
Terdapat banyak putusan mahkamah arbitrase dalam kasus sengketa
investasi yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan poin ini. Dalam Metalclad
Lihat misalnya, Occidental Exploration and Prod. Co. v. Republic of Ecuador,
22
LCIA Case No. UN 3467, Award, 1 July 2004, para. 191, dimana tribunal membahas penerapan dari Pajak Pertambahan Nilai, dan bukan membahas sah tidaknya pajak tersebut; PSEG Award, op. cit., para. 246-247, dimana tribunal memutuskan bahwa prosedur negosiasi yang dilakukan telah melanggar standar FET.
Christoph Schreuer, Fair and Equitable Treatment in Arbitral Practice, 6
23
v. Mexico,24 isu transparansi menjadi peran utama dimana pemerintah Meksiko mewajibkan adanya izin untuk konstruksi dan operasi proyek TPA milik investor.
Investor yakin bahwa ia telah memenuhi seluruh syarat yang diperlukan untuk
mendapatkan izin tersebut. Akan tetapi pemerintah setempat menolak untuk
menerbitkan izin konstruksi. Mahkamah memutus bahwa investor berhak untuk
melanjutkan konstruksi TPA, dan bahwa tindakan negara melalui pemerintah 25
setempatnya merupakan pelanggaran terhadap standar FET.
Dalam MTD v. Chile, 26 Respondent menandatangani kontrak pembangunan dan perencanaan kota (planned community) dengan Komisi Penanaman Modal Asing di Chile. Proyek tersebut gagal karena kemudian
dianggap tidak sesuai dengan regulasi tata ruang. Mahkamah berpendapat bahwa
telah terjadi pelanggaran terhadap standar FET akibat adanya “inkonsistensi
dalam tindakan pemerintah yang sama vis-à-vis investor yang sama”. 27
Dalam CMS Gas Transmission Company v. Argentina, pemerintah 28 Argentina berjanji akan melakukan penyesuaian harga untuk transportasi gas bumi
melalui penetapkan regulasi dan penerbitan izin. Akan tetapi, kemudian berlaku
hukum darurat yang menangguhkan dan menghapuskan jaminan tersebut.
Mahkamah menegaskan bahwa kondisi hukum dan bisnis yang stabil merupakan
Metalclad Corp. v. Mexico, ICSID Case No. ARB/97/1, Award, 30 Agustus
24
2000.
Ibid., para. 89.
25
MTD v. Chile, op. cit.
26
Ibid., para. 163.
27
CMS Gas Transmission Company v. Argentina, ICSID Case No. ARB/01/8,
28
elemen yang penting dalam FET dan memutus bahwa tindakan Argentina telah
melanggar standar FET. 29
Sebagian besar sengketa investasi yang melibatkan negara dan investor
menyangkut dugaan pelanggaran prinsip FET. Mahkamah arbitrase dalam
sejumlah kasus memutuskan bahwa pelanggaran FET dapat terjadi sebagai
konsekuensi atas pelanggaran kewajiban yang yang muncul dari kontrak. Tetapi, 30
mahkamah lain juga berpendapat bahwa kegagalan negara dalam memenuhi
kewajiban berdasarkan kontrak tidak serta merta merupakan pelanggaran standar
FET. Hanya penolakan langsung isi kontrak akibat pelaksanaan hak prerogatif
negara yang berpotensi memiliki efek terhadap pelanggaran FET. 31
Perbedaan dalam penafsiran dan penerapan prinsip FET dalam
penyelesaian sengketa investasi internasional ini menuai berbagai kontroversi dan
perdebatan baik dari Mahkamah arbitrase dalam memutus sengketa investasi yang
berkaitan dengan dugaan pelanggaran prinsip FET, maupun dari negara-negara
yang berposisi sebagai negara pihak dalam perjanjian investasi bilateral (BITs).
Maksud dan tujuan negara umumnya memang telah diejawantahkan dalam BITs
pada saat perumusannya. Namun ketiadaan satu definisi dan aturan tentang FET
Ibid., para 274-276.
29
Lihat Mondev v. USA, ICISD Case No. ARB/99/2 Award, 11 Oktober 2002,
30
para. 134; SGS Société Générale de Surveillance S.A. v. Republic of the Philippines, ICSID Case No. ARB/02/6, Decision on Jurisdiction, 29 Januari 2004, para. 162; Noble Ventures v. Romania, ICSID Case No. ARB/01/11, Award, 12 Oktober 2005, para. 182.
Lihat Consortium RFCC v. Morocco, ICSID Case No. ARB/00/6, Award, 22
31
dalam dunia investasi internasional saat ini menyebabkan tidak adanya satu
patokan yang dapat dijadikan rujukan dalam hal terjadi sengketa investasi
internasional. Oleh karena itu, perlu kajian yang lebih mendalam secara hukum
internasional untuk melihat bagaimana pengaturan mengenai prinsip FET di
bidang investasi menurut hukum internasional serta penerapannya dalam sengketa
investasi internasional apabila dilihat dari keputusan pengadilan arbitrase
internasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, sebagaimana berikut:
1. Bagaimana pengaturan prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) di bidang investasi menurut hukum internasional?
2. Bagaimana hubungan antara standar Fair and Equitable Treatment (FET) dengan standar minimum internasional?
3. Bagaimanakah penerapan prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) dalam penyelesaian sengketa-sengketa investasi antara investor dengan negara
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan yang ada di dalam
penelitian ini maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) menurut hukum internasional.
2. Untuk mengkaji hubungan antara standar Fair and Equitable Treatment (FET) dengan standar minimum internasional.
3. Untuk mengkaji penerapan prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) dalam penyelesaian sengketa investasi antara investor dengan negara dilihat
dari keputusan pengadilan arbitrase internasional.
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan
perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam
kaitannya dengan hukum investasi internasional terutama dalam prinsip-prinsip
perlindungan yang wajib dilaksanakan dan dijamin oleh negara tempat
bentuk perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment treaties (BITs) antar negara.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan
pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta
aparat-aparat hukum yang terkait di setiap negara mengenai hukum investasi
internasional, khususnya bagi pemerintah Republik Indonesia berkenaan dengan
prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) yang diharapkan dapat berguna dalam perumusan perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment treaties (BITs) antara pemerintah dengan negara lain di masa depan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair
and Equitable Treatment dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui
Arbitrase Internasional yang Berasal dari Bilateral Investment Treaties” ini dapat dijamin orisinalitasnya. Gagasan awal penelitian ini lahir sebagai refleksi
dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi
arbitrase internasional Foreign Direct Investment Arbitration Moot 2015. Penuangan setiap ide dari keseluruhan konsep penelitian ini juga didukung dengan
adanya perspektif netral atau objektif, membuat analisa yang komprehensif dari
kontra yang ditinjau dari bilateral investment treaties (BITs), konvensi internasional, serta putusan arbitrase internasional.
Jika dilihat dari keberadaannya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, karya tulis berjudul sama belum pernah ditulis sebelumnya.
Hanya saja, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa penelitian yang
menyinggung mengenai hukum investasi internasional, namun tidak dalam
pembahasan salah satu prinsip nya secara komprehensif. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya penegasan serupa dari pihak administrasi baik di bagian
perpustakaan maupun di departemen hukum internasional.
F. Tinjauan Kepustakaan
Menurut Rebecca M. Wallace, hukum internasional adalah
peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan
lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti
misalnya organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan
yang lainnya. Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan hukum 32
internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara negara
dengan negara; negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek
hukum bukan negara satu sama lain. Dalam skema hukum internasional, dikenal 33
Rebecca M. Wallace, Pengantar Hukum Internasional, diterjemahkan oleh
32
Bambang Arumanadi, S.H., M.Sc., (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993), hlm. 1. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:
33
juga cabang ilmu hukum perjanjian internasional, hukum ekonomi internasional,
dan hukum investasi internasional.
Prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) merupakan salah satu prinsip utama dalam hukum investasi internasional, dimana negara tempat investasi
ditanamkan (host state) berkewajiban untuk menjamin perlakuan yang adil dan setara terhadap investasi yang dilakukan oleh investor asing. Dalam
perkembangannya, terdapat perdebatan dalam mendefinisikan prinsip FET. Hal ini
disebabkan FET tercantum dalam perjanjian investasi bilateral (BITs) antar negara
dimana penggunaan kata-kata dalam BITs kerap berbeda satu dengan yang
lainnya.
Beberapa ahli berusaha untuk memberikan gambaran akan konsep FET. F.
A. Mann menggambarkan prinsip FET sebagai:
“Suatu perlakuan yang melampaui standar minimum dan memberikan perlindungan dalam tingkat yang lebih besar berdasarkan standar yang jauh lebih objektif dibandingkan bentuk standar lainnya. Sebuah mahkamah memiliki kewajiban untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu merupakan tindakan yang adil atau tidak adil. Tidak ada suatu standar yang didefinisikan hanya dengan kalimat dan frasa tertentu yang dapat berlaku. Terminologi FET seyogyanya dapat dimengerti dan diterapkan secara bebas dan mandiri.” 34
R. Dolzer dan M. Stevens, dalam kajiannya tentang BITs, juga
memaparkan hasil yang sama:
“Fakta bahwa para pihak dalam BITs telah menganggap standar ini sebagai suatu kewajiban daripada keharusan untuk bergantung pada referensi hukum internasional yang akibatnya memunculkan konsep yang bias seperti
F. A. Mann, British Treaties for the Promotion and Protection of Investments,
34
standar minimum, membuktikan bahwa standar FET merupakan standar yang mandiri (self-contained). Selain itu, beberapa perjanjian juga merujuk kepada hukum internasional ketika menetapkan FET, sehingga menegaskan kembali bahwa standar berdasarkan hukum internasional dan ketentuan dalam BITs adalah sesuai dan saling melengkapi.” 35
Pada Notes and Comments terhadap Pasal 1 Ayat (a) dari OECD Draft Convention on the Protection of Foreign Property tahun 1967 mengindikasikan FET sebagai:
“Suatu standar yang diatur oleh hukum internasional mengenai perlakuan negara terhadap properti yang dimiliki oleh warga negara asing di dalam teritori negara nya. Standar ini mewajibkan diberikannya perlindungan kepada properti asing sebagaimana perlindungan yang diberikan kepada warga negara nya sendiri, dengan catatan bahwa standar yang diberlakukan dalam hukum nasional negara harus memenuhi standar minimum perlakuan berdasarkan hukum kebiasaan internasional.” 36
FET mencakup sekumpulan prinsip-prinsip lainnya antara lain
transparansi, stabilitas, legitimate expectations, non diskriminasi, pemenuhan kewajiban kontraktual, standar prosedural dan due process of law, itikad baik, serta kebebasan dari paksaan dan ancaman.
Bilateral Investment Treaties (BITs) adalah perjanjian di antara dua negara untuk mendorong hubungan timbal balik atas promosi dan perlindungan investasi
di negara masing-masing oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di salah satu
negara. 37
R. Dolzer dan M. Stevens, op. cit., hlm. 60.
35
OECD Draft Convention, op. cit., para. 120.; Dissenting Opinion of arbitrator
36
Asante to AAPL v. Sri Lanka, Award, 21 Juni 1990, para. 639.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Investment
37
Sengketa investasi internasional adalah sengketa yang berasal langsung
dari investasi, antara Contracting State (atau subdivisi atau suatu badan yang berasal dari Contracting State) dan warga negara atau perusahaan dari Contracting State lain. Mahkamah Arbitrase ICSID juga telah menetapkan 38 kriteria-kriteria yang membedakan investasi dari transaksi perdagangan pada
umumnya. Kriteria tersebut antara lain terdapatnya: (a) jangka waktu tertentu; (b)
asumsi resiko; (c) komitmen yang substantif; dan (d) keuntungan terhadap
perkembangan host state. 39
G. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuannya dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka metode penelitian yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan
yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis
merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil
langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis-normatif merupakan
pendekatan dengan data sekunder yang berasal dari hukum positif tertulis maupun
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
38
Convention on The Settlement of Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID Convention), Pasal 25. Yang dimaksud dengan Contracting State di sini adalah negara anggota dari ICSID Convention.
tidak tertulis. Bentuk penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah 40
pendekatan yuridis-normatif. Penulis akan meneliti sumber-sumber hukum positif
dalam hukum internasional yang mengatur tentang prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) di bidang investasi internasional, antara lain: perjanjian-perjanjian internasional, khusunya Bilateral Investment Treaties (BITs), hukum kebiasaan internasional, putusan arbitrase internasional dan ajaran para sarjana
hukum internasional.
2. Data Penelitian
Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder, yakni yang berasal
dari penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai 41
macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis,
yaitu: 42
c. Bahan Hukum Primer (primary resources atau authoritative records), yaitu:
Berbagai dokumen peraturan internasional dan nasional tertulis, bersifat
mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini, antara
lain adalah teori hukum, perjanjian-perjanjian internasional seperti Bilateral Investment Treaties (BITs), Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan
40
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.
Ibid, hlm. 28.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan
42
OECD Draft Convention on Protection of Foreign Property 1967, North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA) 2001, serta berbagai putusan arbitrase internasional dalam beberapa kasus hukum yang terkait dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini.
d. Bahan Hukum Sekunder (secondary resources atau non authoritative records), yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan
hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang isu investasi internasional serta perdebatan dalam penerapan prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) dalam perjanjian internasional dan praktik arbitrase penyelesaian sengketa investasi yang ditinjau dari sudut pandang hukum
internasional seperti literatur, jurnal ilmiah dan laporan-laporan organisasi
internasional.
e. Bahan Hukum Tersier (tertiary resources), yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus
hukum dan kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk
menerjemahkan beberapa literatur asing, serta berbagai bahan lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak
maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan
kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat dan bukan angka
sebagaimana dalam pendekatan kuantitatif. Selain itu, pendekatan kualitatif lebih
mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data. Oleh karena itu,
penelitian ini akan memfokuskan pada bahan hukum primer dan bahan hukum
sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai
berikut: 43
a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus
(sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan
(pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun
data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan
diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.
b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal
yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru)
yang bersifat lebih khusus.
c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi)
antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.
H. Sistematika Pembahasan
Demi kemudahan dalam memahami setiap pembahasan dalam penelitian
ini, penulis membagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan
lainnya. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar 43
Bab I - Pendahuluan
Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penulisan, perumusan
masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan penelitian ini.
Bab II - Prinsip Fair and Equitable Treatment di Bidang Investasi Menurut Hukum Internasional
Bab II menguraikan mengenai pengaturan prinsip FET di bidang investasi
menurut hukum internasional dilihat dari instrumen hukumnya. Kemudian
dibahas secara komprehensif prinsip-prinsip perlindungan dalam FET yang terdiri
dari prinsip substantif yang mencakup kedaulatan, legitimate expectations, non diskriminasi, dan pembangunan berkelanjutan; serta prinsip prosedural yang
mencakup transparansi dan due process of law.
Bab III - Hubungan Antara Standar Fair and Equitable Treatment dengan Standar Minimum Internasional (Miminum Standard of Treatment)
Bab III membahas mengenai pengaturan hukum internasional mengenai
standar minimum internasional. Dimulai dengan membahas definisi standar
minimum internasional, instrumen hukum yang mengaturnya, antara lain
serta praktik negara dalam Bilateral Investment Treaties (BITs) dan Model BITs. Selain itu, dibahas pula mengenai hubungan antara prinsip FET dengan standar
minimum yang diakui dalam hukum internasional.
Bab IV - Penerapan Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam Penyelesaian Sengketa Investasi antara Investor dengan Negara Melalui Arbitrase
Bab IV akan membahas tren penyelesaian sengketa serta klausa
penyelesaian sengketa investasi melalui arbitrase dalam BITs. Kemudian
menganalisis beberapa putusan pengadilan dan mahkamah arbitrase internasional
atas kasus-kasus yang meliputi penerapan prinsip FET dalam penyelesaian
sengketa investasi antara negara dengan investor. Di samping itu, bab ini juga
akan membahas mengenai limitasi penerapan prinsip FET dalam penyelesaian
sengketa investasi.
Bab V - Penutup
Sebagai penutup, dalam bab ini akan diuraikan hal-hal yang menjadi
kesimpulan dari tujuan penelitian hingga akhir pembahasan dilanjutkan dengan
saran-saran yang timbul selama penelitian yang dianggap perlu bagi permasalahan