`BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Preeklampsia
Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan adanya penurunan perfusi organ yang diakibatkan vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakan jika didapati hipertensi disertai proteinuria atau/dan edema pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Dalam hal ini seorang pasien dikatakan proteinuria jika terdapat 300 mg atau lebih
protein dalam urin per β4 jam atau hasil disptik test menunjukan angka ≥ +1secara
menetap pada sampel acak urin (Angsar, 2010).
2.2 Etiologi dan Patogenesis Preeklampsia
Penyebab pasti preeklampsia belum diketahui sampai saat ini. Namun, beberapa teori terkait faktor yang diduga menyebabkan preeklampsia telah dikemukakan. Faktor tersebut ialah genetik, keadaan vaskular, hormonal, nutrisional, dan faktor perilaku.
Adanya gangguan pada vakularisasi plasenta pada preeklampsia menyebabkan plasenta iskemik atau hipoksia. Kelainan ini terjadi karena kegagalan sitotrofoblas menginvasi arteri spiralis secara adekuat serta rendahnya resistensi sirkulasi uteroplasenta dibandingkan dengan kehamilan normal. Plasental iskemik juga dapat terjadi karena adanya penyakit vaskular bawaan ibu misalnya hipertensi kronik atau keadaan imunologi yang menyebabkan kerusakan plasenta. Selain hal tersebut, peningkatan kebutuhan metabolik pada kehamilan ganda dan janin besar juga dapat menyebabkan iskemik (Hacker et al, 2010).
menghalangi kerja reactive oxygen species (ROS) dan menurunkan kerja oksidan dalam sel. Dismutase mengkonversi superoksida oksigen menjadi hidrogen peroksida. Suatu penelitian telah membuktikan pemberian antioksidan bermanfaat untuk menentralkan oksidatif stress yang tidak seimbang tersebut sehingga memperlampat onset perburukan preeklampsia (Vijayalakshmi, 2013).
Disfungsi endotelial menyebabkan ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator lokal. Preeklampsia berhubungan dengan gangguan produksi prostaglandin dengan penurunan rasio vasodilator prostaglandin E2 (PGE2) dan vasokonstriktor prostasiklin dan thromboksan. Perubahan endotelial menunjukan adanya defisiensi nitrit oksida, vasodilator dan inhibitor dari agregasi platelet, sedangkan endotelin-1 meningkat. Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor poten dan aktivator platelet. Keadaan vasokonstriksi ini dapat menyebabkan respon pada penekanan hormon. Efek dari proses-proses tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi yang memicu hipoksia dan iskemik pada vaskular bed yang lainya, sistemik hipertensi, HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelet count) sindrom atau DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation) dan plasenta iskemik yang lebih buruk (Hacker et al, 2010).
merupakan mediator yang paling berperan dalam proses inflamasi. Pada preeklampsia trofoblas mengekspresikan sitokin inflamasi seperti interleukin (IL)
1 , β,4,6,8,10,1β dan 18, transforming growth factor (TGF)- 1, IFN- -inducible protein 10 (IP-10), tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon (IFN)- , monosit kemotactic factor (MCP)-1, intercellular adhesion factor (ICAM)-1, dan vaskular cell adhesion molecule (VCAM)-1 (LaMarca, 2007; Szarka, 2011).
Pada preeklampsia ditemukan bahwa ada peningkatan konsentrasi IP-10 dan IL-6 pada serum maternal dibandingkan dengan kehamilan normal (Gotsch, 2007; Molvarec, 2011). IP-10 memiliki potensi proinflamasi dan antiangiogenesis pada preeklampsia serta mempromosikan adhesi, migrasi, dan invasi trofoblas. Sedangkan IL-6 terlibat dalam invasi, proliferasi, dan stress oksidatif yang memiliki peranan dalam patogenesis preeklampsia (Lockwood, 2008). Peningkatan IP-10 dan IL-6 pada hipertensi yang diinduksi kehamilan ini terjadi karena adanya peranan dari IL-27. Interleukin ini menginduksi ekspresi IP-10 dan IL-6 pada sel trofoblas via aktivasi JAK/STAT, p38MAPK, dan PI3K signaling pathway (Nanlin Yin et al, 2014).
Penelitian yang mencari efek ICAM-1 gen K469E sebagai risiko preeklampsia sudah banyak dilakukan namun belum banyak yang menunjukan adanya hubungan kedua hal ini (Lim et al, 2008). Penelitian pertama kali mengenai hal ini dilakukan di United Kingdom dilakukan oleh Freedman et al (2004) menunjukan bahwa tidak ada hubungan ICAM dengan preklampsia. Kemudian pada populasi di Korea juga dilakukan hal yang sama namun belum juga menunjukan hubungan yang signifikan (Lim et al, 2008). Penelitian terbaru yang dilakukan Tabatabai (2014) menyatakan bahwa ICAM-1 gen K469E bukan merupakan faktor risiko pada patogenesis preeklampsia pada populasi di Iran.
yang normal. Perbedaan antara genom ibu dan janin ini di duga mengakibatkan konflik gen antara ibu dan janin namun ibu tidak mampu mengatasi konflik genetik fisiologis tersebut (Dekker dan P.Y.Robillard, 2005).
2.3 Faktor Risiko Preeklampsia 2.3.1 Faktor Maternal
Faktor risiko preeklampsia tidak hanya terkait faktor maternal namun juga faktor paternal dan faktor eksternal. Shamsi et al (2013) menyimpulkan dari berbagai sumber bahwa faktor risiko penyakit ini yang terkait faktor maternal adalah usia, paritas, sosioekonomi yang rendah, body mass index, riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, jenis kehamilan (tunggal atau ganda), riwayat keluarga diabetes dan hipertensi.
1. Usia
Banyak sumber yang mengaitkan hubungan antara usia dan preeklampsia. Namun masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada penelitian yang menyatakan adanya hubungan usia dengan preeklampsia khususnya pada usia yang lebih tua, yakni diatas 35 tahun, sedangkan kelompok penelitian lain menyatakan adanya hubungan pada usia yang lebih muda (Duckitt & Deborah, 2005). Pada penelitian multicenter yang dilakukan Shamsi et al (2010) bahkan tidak menunjukan adanya hubungan antara usia dengan preeklampsia.
2. Paritas
3. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi menyangkut pekerjaan dan pendidikan memiliki peran terhadap kejadian preeklampsia ini. Hal ini dipertimbangkan sebagai faktor risiko karena dengan pendidikan yang baik maka dimungkinkan pengetahuan ibu tentang kehamilan dan kesadaran akan pentingnya antenatal care akan lebih baik sehingga dapat dilakukan pencegahan preeklampsia (Langelo et al, 2013). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penemuan Direkvand-Moghadam et al (2012). Status ekonomi yang rendah memungkinkan kurangnya asupan energi, protein, dan kalsium. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia (Nuryani et al, 2013). Selain itu dari data distribusi pasien preeklampsia kebanyakan adalah pasien yang tidak bekerja (Djannah & Ika, 2010)
4. Status Gizi
Obesitas merupakan faktor risiko pada kebanyakan penyakit. Sama halnya pada keadaan preeklampsia obesitas juga memicu timbulnya keadaan ini. Hal ini ditunjukan oleh beberapa penelitian Marviel (2008) dan Bodnar (2005) bahwa obesitas memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian preeklampsia. Data lain menunjukan hal yang tidak sejalan dengan penelitian tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Direkvand-Moghadam et al (2012) dinyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara obesitas dengan preeklampsia 5. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Wanita dengan kehamilan pertama mengalami preeklampsia maka wanita tersebut memiliki risiko tujuh kali lebih tinggi mengalami preeklampsia pada kehamilan kedua. Sama halnya jika preklampsia tersebut terjadi pada kehamilan kedua, risiko berulang pada kehamilan ketiga juga tinggi yakni tujuh kali (Duckitt, 2005).
6. Jenis kehamilan
kehamilan ganda akan meningkatkan risiko sebesar 1,52 kali lebih besar dibandingkan kehamilan tunggal.
7. Jenis Kelamin Janin
Jenis kelamin laki-laki di dalam kandungan mengakibatkan terjadinya peningkatan testosteron. Sehingga hal ini pun diduga sebagai salah satu faktor terjadinya preeklampsia (Saftlas et al,2004). Pada kehamilan dengan jenis kelamin laki-laki di temukan adanya penurunan ekspresi aromatase yang berfungsi untuk memetabolisme testosteron menjadi esterogen. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan testosteron. Selain itu dugaan adanya disregulasi dari signal androgen bersama dengan overekspresi androgen reseptor pada plasenta terlibat dalam perkembangan kelainan perkembangan dan transport plasenta yang akhirnya meningkatkan frekuensi komplikasi terkait preeklampsia pada ibu dan janin (Sathishkumar et al, 2012).
8. Riwayat Keluarga diabetes dan hipertensi
Pada wanita dengan riwayat keluarga hipertensi sebaiknya dilakukan screening untuk mengidentifikasi siapa saja yang perlu monitoring gejala dan tanda preeklampsia pada awal kehamilan. Riwayat keluarga memiliki keterkaitan positif dengan berbagai penyakit termasuk dalam kasus ini (Sanchez, 2003).
2.3.2 Faktor Sehubungan dengan Kehamilan
1. Infeksi Saluran Kemih
Adanya infeksi saluran kemih dapat meningkatkan sitokin yang mempengaruhi fungsi endotelial sehingga individu yang mengalaminya dapat menderita preeklampsia. Adanya hubungan infeksi ini dengan preeklampsia ditunjukan oleh penelitian Conde-Agudelo et al (2008). Namun hal yang berbeda didapati pada penelitian Shamsi (2010). Pada penelitian tersebut jumlah wanita dengan keadaan preeklampsia yang mengalami infeksi saluran kemih lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak preeklampsia. Namun perbedaannya tidak signifikan.
2. Fetal malformation
Risiko preeklampsia meningkat pada adanya kelainan struktural bayi. Kelainan yang dimaksud ialah congenital anomalie, polyhidroamnion, hydrop fetalis, kelainan kromosom dan kehamilan mola hidatidosa (Angsar, 2010) 3. Pembatasan pemaparan sperma
Paternal antigen akan menimbulkan respon imun dengan mengaktivasi sel T. hal ini telah didemonstrasikan dengan penggunaan model MHC kelas I, antigen H-Y dan OVA, sebagai antigen paternal (Erlebacher, 2007). Pemaparan antigen konsepsi akan membangkitkan toleransi sel T CD8+. Aktivasi sel ini tidak hanya untuk menginduksi toleransi antigen paternal tetapi juga untuk meregulasi populasi leukosit. Kekurangan maternal CD8+
dengan antibodi α-CD8 akan menginduksi aborsi spontan dan mereduksi perkembangan plasenta. Hal ini menununjukan pentingnya sel ini untuk kelangsungan hidup fetus dan toleransi imun (Moldenhauer, 2008).
Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa penggunaan barier kontrasepsi menyebabkan berkurangnya pemaparan antigen paternal dan faktor imuno-modulating pada semen akan meningkatkan terjadinya preeklampsia
konsepsinya lebih sering. Hal ini menunjukan bahwa penting adanya pemaparan cairan seminal yang lama untuk mengoptimalisasi luaran kehamilan dan menjadi faktor pelindung terjadinya preeklampsia.
4. Faktor paternal (primipaternitas)
Adanya pemaparan sperma dalam jangka watu yang lama akan mengurangi risiko terjadinya preeklampsia. Namun hal tersebut hanya berlaku jika hanya ada satu jenis antigen sperma yang terpapar. Dengan kata lain hanya dari satu paternal antigen. Hal ini terbukti pada kehamilan berikutnya dengan pasangan baru risiko preeklampsia kembali seperti kehamilan pertama karena faktor protektif dari pasangan pertama sudah hilang (Dekker dan P.Y.Robillard, 2005).
5. Usia suami >35 tahun
Jika dilakukan perbandingan antara usia suami 25-34 tahun dan 35-44 tahun, maka akan didapati risiko preeklampsia meningkat 24% dan jika dibandingkan dengan usia lebih dari 45 tahun maka risikonya meningkat hingga 80%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kerusakan sperma karena adanya mutasi genetik yang dipengaruhi oleh penuaan atau radiasi lingkungan, panas dan pestisida. Segala penyebab kerusakan tersebut meningkatkan risiko preeklampsia (Harlap et al, 2002).
2.3.3 Faktor Eksternal
Faktor eksternal juga mempengaruhi preeklampsia ini. Hal tersebut ialah merokok, stress dan status pekerjaan wanita. Merokok dianggap sebagai faktor yang dapat menurunkan risiko preeklampsia. Namun, merokok selama masa kehamilan tidak dianjurkan karena luaran perinatalnya buruk. Sedangkan faktor stress dan pekerjaan dapat meningkatkan risiko preeklampsia (Saftlas, 2004). 1. Merokok
2. Stress
Semakin besar skor stress seorang wanita hamil selama masa kehamilanya maka akan terjadi peningkatan risiko preeklampsia. Score stress tersebut didapat dengan menggunakan Perceived Stress Scale (PSS). Dalam PSS tersebut digunakan sepuluh item untuk melihat kondisi yang menimbulkan stress beberapa bulan terakhir. Skor total yang didapat antara 0-40. Skor yang semakin tinggi menunjukan semakin besar stress yang diterima (Shamsi et al, 2010).
3. Status pekerjaan wanita
Status pekerjaan berkaitan dengan faktor stress yang diterima di dalam menjalankan pekerjaan tersebut (Saftlas, 2004).
2.4 Diagnosis Preeklampsia
Kriteria diagnostik menurut American College of obstetricians and Gynecologists (ACOG) (2013) untu diagnostik kriteria preeklampsia ialah:
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik untuk Preeklampsia
Tekanan Darah Sistolik lebih tinggi atau sama dengan 140 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 90 mmHg pada dua kali pengukuran pada minimal jarak pengukuran 4 jam setelah kehamilan 20 minggu pada wanita dengan tekanan darah sebelumnya normal. Sistolik lebih tinggi atau sama dengan
160 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg, hipertensi dapat dikonfirmasi dengan interval waktu yang singkat (menit) dengan pemberian terapi hipertensi. Dan
mg per urine 24 jam atau
Protein/creatinine ratio lebih besar atau sama dengan 0,3*
Pembacaan dipstick 1+ (jika metode yang lain tidak tersedia)
Jika proteinuria tidak ditemukan maka digunakan onset baru hipertensi dengan onset baru hal berikut:
Thrombositopenia Hitung platelet kurang dari 100.000/microliter
Renal Insufisiensi Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dl atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak ditemukannya kelainan ginjal. Gangguan fungsi hati Meningkat konsentrasi liver
transaminase dua kali normal Edema Paru
Simptom cerebral atau visual *setiap penghitungan dalam mg/dl
Menurut ACOG (2013) sebutan untuk preeklampsia ringan tidaklah sesuai karena angka kematian dan kesakitan pada kasus ini juga tinggi. Sehingga termonologi bahasa untuk preeklampsia ringan ubah menjadi preeklampsia ciri-ciri pemberat. Ciri-ciri pemberat yang dimaksud ialah:
Tabel 2.2 Ciri-ciri pemberat preeklampsia
Tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg pada dua kali pengukuran pada minimal jarak pengukuran 4 jam saat pasien berada di tempat tidur (kecuali diberi terapi antihipertensi sebelumnya).
kali normal), nyeri hebat kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium yang tidak berespon dengan pengobatan dan tidak dapat diberikan penjelasan dengan alternatif diagnosis atau keduanya.
Renal insufisiensi progresif (Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dl atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak ditemukannya kelainan ginjal).
Edema paru
Gangguan serebral atau visual.
Penelitian untuk mendeteksi preeklampsia lebih awal telah dilakukan yaitu dengan penelitian biomarker. Namun marker yang didapatkan sebagai prediksi preeklampsia belum konsisten. Oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian multicenter untuk mendapatkan kombinasi marker terbaik yang akan digunakan secara rutin di tempat praktek (Grill et al, 2009).
2.5 Penatalaksanaan Preeklampsia
Penanganan preeklampsia dilakukan mulai dari terdiagnosis sampai persalinan. Saat kehamilan, kontrol tekanan darah sangat penting dilakukan untuk mencegah kelainan serebrovaskular (biasanya pada tekanan darah lebih dari atau sama dengan 170/120). Persalinan pada wanita dengan preeklampsia tanpa ciri pemberat disarankan setelah usia kehamilan cukup (>35-36 minggu), pada preeklampsia dengan pemberat kriteria tekanan darah persalinan dilakukan kurang dari 32 minggu. Kebanyakan kasus persalinan dilakukan dengan bedah sesar. Persalinan pervaginam pada kehamilan jauh dari cukup bulan dengan serviks yang tidak mendukung berkisar 15-20%. Saat intrapartum dan 24 jam setelah melahirkan diberi Magnesium sulfat untuk mencegah eclampsia (Norwitz dan Schorge, 2008).
dapat digunakan pada preeklampsia. IL-27 dapat digunakan sebagai target untuk penanganan preklampsia (Nanlin Yin et al, 2014)
Pada penelitian yang dilakukan Jin et al (2013) ditemukan bahwa pada preeklampsia respon sistolik dari cicin aorta torakalis meningkat sedangkan respon diastoliknya menurun terhadap Ach (acetylcholine) dan SNP (sodium nitroprusside). Sehingga intervensi yang dapat diberikan untuk mengatasi hal
tersebut adalah dengan pemberian losartan dan grup HSYA (Hydroxysafflor Yellow A). Penggunaan obat ini dapat meningkatkan respon diatolik aorta terhadap Ach dan SNP. Ketika respon meningkat diharapkan berkurangnya kontraksi vaskuler karena preeklampsia dapat menjadi lebih baik. Efek farmakologi dari kedua obat ini berbeda namun keduanya dapat melindungi vascular endothelial cells (VEC) dan VSMC melawan kerusakan vaskular yang di induksi AT1-Ab.
2.6 Komplikasi Preeklampsia