BAB II
LANDASAN TEORI
A. Preferensi pemilihan pasangan
A.1 Definisi Preferensi pemilihan pasangan
Preferensi pemilihan pasangan merupakan salah satu topik yang sudah
pernah diteliti oleh beberapa peneliti. Tokoh yang aktif meneliti ini adalah David
Buss. Adapun pengertian preferensi pemilihan pasangan adalah kecenderungan
individu memilih seseorang untuk dinikahi yang memiliki kesamaan di beberapa
aspek (Buss, 1985). Menurut Towsend (1990) preferensi pemilihan pasangan
adalah proses selektif untuk memilih pasangan hidup. Buss (1985) telah
melakukan penelitian pada 37 negara dengan melihat preferensi pemilihan
pasangan antara laki-laki dan perempuan, yang mana laki-laki lebih tertarik pada
daya tarik fisik dibanding perempuan, sedangkan perempuan lebih memilih
laki-laki yang berpenghasilan baik. Berdasarkan perspektif evolutionary theory bahwa
preferensi pemilihan pasangan lebih menekankan pada bagian reproduksi..
Menurut Lykken dan Tellegen (1993) preferensi pemilihan pasangan
merupakan proses memilih siapa yang akan menjadi teman hidup, orang yang
akan memberikan setengah kontribusinya dalam gen untuk melahirkan dan
menjadi orang tua bagi anak-anak mereka.
Menurut Good (dalam Buss, 2011) berdasarkan konsep evolutionary
genetika sudah diatur untuk melakukan strategi, taktik untuk bertahan hidup,
bertumbuh, dan bereproduksi. Gender yang dapat memberikan atau mendapatkan
genetik yang baik, dipandang sebagai yang paling selektif dalam memilih
pasangan.
Berdasarkan definisi di atas, maka preferensi pemilihan pasangan
merupakan proses individu memilih seseorang yang mirip dengannya untuk
dijadikan sebagai teman hidupnya yang akan memberikan kontribusi gen dan
sebagai orang tua untuk anak-anak mereka.
B. Dimensi Preferensi Pemilihan Pasangan
Shackelford, Schmitt, dan Buss (2005) melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi beberapa dimensi preferensi pemilihan pasangan. Untuk
mengidentifikasi dimensi umum dalam preferensi pemilihan pasangan pada
pasangan jangka panjang, mereka menggunakan database peringkat preferensi
yang telah diberikan kepada beberapa ribu partisipan dari berbagai budaya.
Mereka mengidentifikasi ada empat dimensi yaitu :
1. Love vs Status Resource
Munculnya dimensi “love vs status resource” menunjukkan bahwa orang
secara psikologis kecenderungan memilih pasangan dengan dasar cinta dan
adanya rasa saling mencintai dan mencari seseorang dengan status dan sumber
2. Dependeble/Stabel vs Good Looks/Health
Munculnya dimensi “dependable/stabel vs good looks/health”
menunjukkan bahwa seseorang secara psikologis memilih pasangan hidup
berdasarkan penampilan fisik, kesehatan, dan kepribadian yang stabil.
3. Education/Intelligence vs Desire for Home/Children
Munculnya dimensi “education/intelligence vs desire for home/children”
menunjukkan bahwa seseorang cenderung melihat faktor pendidikan dan
keinginan memiliki rumah dan anak dalam memilih pasangan. Semakin seseorang
berkompetensi, maka semakin besar individu tersebut mempunyai daya tarik.
4. Socialbility vs Similar Religion
Munculnya dimensi “socialbility vs similar religion” menunjukkan bahwa
seseorang cenderung memilih pasangan yang mudah bergaul dan lebih memilih
seseorang yang memiliki agama yang sama. Seseorang cenderung lebih memilih
individu yang memiliki banyak kesamaan dengannya dalam hal agama maupun
latar belakang yang sama.
C. Pengukuran Preferensi Pemilihan Pasangan
Pengukuran preferensi pemilihan pasangan pada penelitian ini
menggunakan alat ukur yang diperkenalkan oleh Buss (1985). Buss telah meneliti
berbagai penelitian terkait preferensi pemilihan pasangan. Pada bagian pertama
alat ukur adalah data biografi. Pada bagian data biografi ini partisipan penelitian
diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat sebagai informasi
Pada bagian kedua dari alat ukur Buss (1985) adalah bagian evaluasi
preferensi pemilihan pasangan. bagian ini terdiri dari 18 karakteristik preferensi
pemilihan pasangan. partisipan merespon dengan 5 jawaban yang mempunyai
skor bergerak dari nol (0) sampai (4).
Pada bagian ketiga atau bagian terakhir alat ukur subjek diminta untuk
merangking 13 karakteristik preferensi pemilihan pasangan.
D. Mahasiswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan orang
yang belajar di perguruan tinggi. Secara umum, orang yang namanya terdaftar
belajar di perguruan tinggi. Pengertian mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI
No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan
tinggi tertentu. Mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk
mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
E. Dewasa Awal
Dilihat dari perkembangan usia mahasiswa, dapat dikatakan bahwa
mereka sudah memikirkan tentang pasangan hidup. Hurlock (1999) pada dewasa
awal tugas perkembangan dalam mencari pasangan hidup sudah ada. Hurlock
(1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai
umur 40 tahun, dan saat itu juga perubahan-perubahan fisik dan psikologis mulai
mengalami penurunan berkurangnya kemampuan reproduktif. Dilihat dari rentang
usia dewasa awal menurut Hurlock (1999), maka dapat dikatakan bahwa
Hurlock (1999) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal,
antara lain:
a. Sudah memulai untuk bekerja
b. Mencari dan memilih pasangan
c. Memulai untuk membina keluarga
d. Dapat mengasuh anak
e. Mengelola rumah tangga
f. Dapat mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
g. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan
Santrock (2002) mengatakan masa dewasa muda adalah masa untuk
bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dewasa awal sudah
memikirkan tentang pernikahan. Untuk itu dalam hal memilih pasangan, dewasa
awal sudah matang untuk membuat keputusan kriterita yang cocok untuk dirinya.
F. Suku Karo
Suku Karo adalah salah satu suku bangsa dari banyak etnis yang ada di
Kepulauan Nusantara. Masyarakat karo persebarannya dapat dikatakan luas.
Daerah suku Karo antara lain, Kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang,
Simalungun, dan Dairi. Suku Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan
alam, suku Karo termasuk suku pedalaman dan melintas agraris. Suku Karo
sendiri memiliki lima marga yaitu, Karo-Karo, Ginting, Tarigan, dan
harus mengacu pada tradisi yang ada di kabupaten Karo. Daerah suku Karo
identik dengan “Taneh Karo” hal ini dikarenakan suku Karo masih menjalani
kebudayaan Karo secara ketat dan menjadi standar/ideal untuk ditiru
(Koentjaraningrat, 1984). Sebagai masyarakat yang terisolir di pedalaman dataran
tinggi, ternyata adanya sebuah komunitas yang membentuk sebuah budaya yang
menjadi patron bagi masyarakat Karo (Tarigan, 2009).
Pada suku Karo sistem kekerabatan dan perkawinan begitu menentukan
keberlangsungan tatanan adat-istiadat serta struktur sosialnya secara harmonis.
Mereka berupaya menjaga perkawinan ideal dalam tradisi Karo, yakni si pemuda
atau gadis wajib menikahi impal-nya (seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibunya) sebagai pasangan idealnya (Tarigan, 2009).
Suku Karo mempertahankan anggota keluarga satu suku, suku Karo
sendiri khususnya orangtua dan keluarga masih memegang peranan yang besar
dalam penentuan pasangan hidup seseorang. Di dalam masyarakat Karo itu
sendiri, perkawinan terjadi bukan hanya antara kedua individu yang akan
menikah, tetapi juga perkawinan antar dua keluarga, di sinilah berkembang suatu
ikatan kekeluargaan dan keluarga inti. Makna perkawinan yang sakral membuat
perkawinan pada suku Karo secara filosofi mengadakan pesta yang dibuat oleh
orang tua kedua mempelai. Kedua calon mempelai tidak dibebani tanggung jawab
untuk mengadakan pesta, namun yang bertanggung jawab adalah kedua orang tua
F.1. Sifat-Sifat Masyarakat Karo
Menurut Bangun (2006) adapun sifat-sifat masyarakat Karo pada
umumnya adalah sebagai berikut :
A. Percaya Diri
Masyarakat Karo pada umumnya percaya akan kekuatannya sendiri.
Berkaitan dengan sikap percaya dirinya, masyarakat Karo bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak jarang masyarakat Karo
dengan kekuatannya sendiri mencapai banyak karir karena usahanya.
B. Tidak Serakah
Masyarakat Karo mendambakan hidup yang sejahtera, namun mereka
tidak melaluinya dengan berperilaku serakah atau tamak. Masyarakat Karo
gigih dalam mempertahankan haknya, mereka tidak serakah jika itu bukan
haknya.
C. Sopan
Masyarakat Karo memliki sikap yang sopan. Mereka berbicara dengan
nada suara yang lembut dan cenderung tidak keras. Masyarakat Karo juga
tidak memonopoli, bagi masyarakat Karo sikap sopan santun merupakan
satu modal pokok dalam kehidupan bermasyarakat
D. Mudah Menyesuaikan Diri
Masyarakat Karo mudah menyesuaikan diri di tempat baru mereka
berdomisili. Masyarakat Karo memiliki tenggang rasa sehingga dalam
G. Preferensi pemilihan pasangan Mahasiswa Karo Universitas
Sumatera Utara
Preferensi pemilihan pasangan adalah kecenderungan individu memilih
seseorang untuk dinikahi yang memiliki kesamaan di beberapa aspek (Buss,
1985). Lykken dan Tellegen (1993) juga mengatakan bahwa preferensi pemilihan
pasangan merupakan proses memilih siapa yang akan menjadi teman hidup, orang
yang akan memberikan setengah kontribusinya dalam gen untuk melahirkan dan
menjadi orang tua bagi anak-anak mereka. Dalam dimensinya preferensi
pemilihan pasangan memiliki empat dimensi, yaitu love vs status resource yang
mana secara psikologis seseorang akan memilih pasangan atas dasar cinta dan
sumber daya yang baik, dependeble/stabel vs good looks/health yang mana secara
psikologis seseorang memilih pasangan yang memiliki emosi stabil dan
berpenampilan menarik dan sehat, education/intelligence vs desire for
home/children yang mana seseorang akan memilih pasangan dari faktor
pendidikan dan mempunyai keinginan memiliki rumah dan anak, dan socialbility
vs similar religioun yang mana secara psikologis seseorang memilih pasangan
yang mudah bergaul dan dari latar belakang agama yang sama (Shackelford,
Schmitt, dan Buss, 2005).
Bagi orang Karo secara turun-temurun perkawinan ideal dalam tradisi
Karo, yakni laki-laki atau perempuan wajib menikahi impal-nya sebagai pasangan
idealnya (Manalu, 2013). Untuk itu pada saat anak-anak Karo masih kecil, mereka
sering dibawa oleh orang tuanya untuk mengikuti kegiatan adat atau pesta adat
anak-anak Karo tertanam nilai-nilai moral budaya karo dan cenderung akan memilih
pasangan dari latar budaya yang sama (Meliala, 2007). Begitu juga ada beberapa
dimensi hasil dari penelitian Shackelford, Schmitt, dan Buss pada tahun 2005,
mengatakan bahwa dalam hal memilih pasangan, hal yang diperlukan adalah
mempunyai cinta dan status sosial yang baik, fisik yang menarik, pendidikan, dan
latar belakang agama dan budaya yang sama. Beberapa hal tersebut akan selalu
menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan.
Preferensi pemilihan pasangan ini jika dikaitkan pada mahasiswa Karo,
maka terlihat adanya pertimbangan seperti budaya yang tidak terlalu penting
dalam memilih pasangan. Menurut DeGenova (2008) pasangan akan lebih merasa
puas dan mendapatkan kehidupan pernikahan yang baik apabila pasangannya
dapat membagi harapan yang sama mengenai peran gender dan apabila dapat
saling bertoleransi mengenai kebiasaan–kebiasaan dari pasangan. Oleh karena itu,
perilaku dan karakter menjadi lebih penting Hal ini dapat diindikasikan karena
mahasiswa Karo sudah memiliki interaksi antar budaya dan mengadaptasi
nilai-nilai yang bagi mereka baik untuk dilakukan. Bagi mereka selain budaya,
kepribadian menjadi hal yang utama, sehingga komposisi budaya menjadi hal