• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Knowledge management

Menurut Polanyi tahun 1996 Knowledge terbagi atas 2 yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge dimana tacit knowledge adalah pengetahuan yang tersimpan pada orang yang sulit untuk dibahasakan, dan di rangkai dalam bentuk kata-kata, atau tulisan atau gambar. Explicit knowledge adalah pengetahuan yang di tangkap dan ditranslasikan kedalam bentuk seperti kata-kata, rekaman audio atau gambar. (Dalkir, 2005, p8)

Menurut Pasternack tahun 1999 Knowledge management adalah kegiatan yang tersusun secara sistematis untuk menangkap, menyusun struktur, mengelola, dan menyebarkan pengetahuan pada seluruh bagian dari organisasi agar organisasi tersebut dapat bekerja lebih cepat, menggunakan kembali best practice, dan mengurangi usaha untuk pengerjaan kembali suatu proyek. (Dalkir, 2005, p.3)

2.2 Komponen dasar penyusun KM

Banyak pada literatur-literatur yang mengidentifikasikan komponen terpenting dari KM yaitu manusia, proses dan teknologi informasi..

Manusia adalah salah satu elemen pondasi, mereka bertanggung jawab dalam membuat, membagikan dan mengaplikasikann pengetahuan di dalam organisasi. Proses yang berhubungan dengan KM berfungsi untuk mendapatkan,

(2)

7

menghasilkan, mengorganisasikan dan mendistribusikan dari pengetahuan di dalam perusahaan. Dan pada bagian teknologi informasi berperan dalam pengumpulan dan membuat pengetahuan tersebut dapat di akses oleh pengguna, dan setiap elemen yang dinyatakan diatas saling berhubungan satu dengan yang lainnya untuk keefektifannya. (Fong P. a, 2004, p1-43)

1. Manusia

Manusia bertanggung jawab dalam memilih kepada siapa saja ia akan berbagi, menentukan topiknya, menentukan metodenya dan akhirnya bagaimana memberdayakan pengetahuan tersebut. jadi kesuksesan dari program KM ini berada pada level penerimaan dan kemauan dari orang untuk membagikan dengan orang lain. Pembagian pengetahuan dapat menciptakan lingkungan yang positif dalam ide pertukaran dimana orang yang memberikan dapat melakukan antisipasi dalam mendapatkan pengetahuan yang sesuai di masa depan, mendapatkan penghargaan sebagai ahli dan sebagai pemenuhan dari pencapaian dan kepuasan pribadi.

Menurut Dyer ada 4 tantangan utama dalam implementasi knowledge management diantaranya adalah : (1) karyawan tidak mempunyai waktu untuk knowledge management; (2) budaya organisasi pada saat ini tidak mendorong karyawan untuk berbagi pengetahuan; (3) kurang pemahaman tentang knowledge management dan keuntungannya bagi organisasi; (4) ketidakmampuan untuk mengukur keuntungan keuangan dari implementasi knowledge management.

(3)

8

Penghalang pada pembagian pengetahuan adalah ketakutan pada berkolaborasi pada orang yang salah dan pengetahuan digunakan tanpa adanya pengakuan ataupun penghargaan.

Salah satu alasan keengganan seseorang untuk membagikan apa yang diketahuinya dapat termasuk tidak yakin kepada siapa ia akan berkerjasama atau bagaimana menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai budaya dapat juga menjadi penghalang.

Pondasi utama dalam membangun sebuah budaya berbagi pengetahuan adalah kepercayaan pada level personal dan level organisasi yang didukung dengan lingkungan yang mendorong dan memberi penghargaan kepada orang yang membagi dan memberikan penolakan bahkan hukuman kepada orang yang tidak berpartisipasi.

CEO dan dewan direksi memegang peranan tentang bagaimana pandangan organisasi terhadap Knowledge Management. Pemimpin harus mendorong tentang pentingnya program KM (DeTienne et al. 2004).

Untuk memimpin program KM, organisasi perlu menunjuk senior manajemen baru, yaitu CKO (Chief Knowledge Officer). CKO bertanggung jawab dalam pengembangan KM pada Organisasi, CKO diharapkan melakukan penyeimbangan pada aspek dari sosial dan aspek teknis dari KM.

2. Proses

Mengungkapkan, mendapatkan, menterjemahkan, mengorganisasikan dan membagi pengetahuan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, dan

(4)

9

kemudian memotivasi orang untuk menggunakannya adalah perjalanan yang berkelanjutan.

Pengetahuan dan pengeloaannya adalah sesuatu yang dinamis dan membutuhkan proses yang terus-menerus dalam mengakumulasi dan mengeksploitasi dari pengetahuan yang belum diketemukan. Untuk menggambarkan proses dari konversi dari pengetahuan dari 1 tahapan ke tahapan lainnya. Model proses socialization, externalization, combination, internalization (SECI). (Nonaka, 2005)

Model konversi dari knowledge manjadi 4 cara yang dijelaskan sebagai berikut :

1. Tacit knowledge ke Explicit knowledge, disebut dengan proses Externalization.

2. Tacit knowledge ke Tacit Knowledge, disebut dengan proses Socialization.

3. Explicit knowledge ke Explicit knowledge, disebut dengan proses Combination.

4. Explicit knowledge ke Tacit knowledge, disebut proses Internalization.

3. Teknologi

Walaupun teknologi mempunyai koneksi yang sedikit terhadap pengetahuan, pengumpulan data dan komunikasi membuat individu, menjadi tidak terbatas pada wilayah geografisnya, secara cepat dan mudah membagi

(5)

10

pengetahuan mereka melalui metode seperti e-mail, internet, videoconfrencing, dan intranets. Teknologi memampukan perusahaan untuk menyebarkan pengetahuan secara cepat dan lancar ke seluruh organisasi.

Baru-baru ini organisasi melihat teknologi sebagai salah satu dasar tantangan dalam mendesign maupun mengimplementasikan Knowledge Management System(KMS) dialam perusahaan dan mulai meluncurkan proyek KM yang berfokus pada teknologi informasi untuk mendapatkan, mengumpulkan, akses dan membagikan explicit knowledge. walaupun teknologi merupakan salah satu fasilitator dalam mengelola dan menyebarkan pengetahuan, banyak riset yang menunjukkan bahwa individu tidak secara langsung mau membagikan pengetahuan yang disebabkan oleh beragam alasan yang membuat penghalang dalam sebuah implementasi dari KMS yang sukses.

Banyak pengadopsi awal dari prinsip KM melakukan pendekatan awal pada teknologi informasi dalam jangka waktu yang pendek, perbaikan-perbaikan yang cepat dalam perspektif informasi, daripada mengakui nilai-nilai jangka panjang dari keunggulan kompetitif.

Implementasi knowledge management system memerlukan berbagai tools cukup beragam yang ikut terlibat dalam sepanjang siklus knowledge management. Teknologi digunakan untuk memfasilitasi terutama komunikasi, kolaborasi, dan konten manajemen untuk knowledge capture, sharing, dissemination, and application. (Dalkir Kimiz, 2005, p.219).

(6)

11

2.3 Budaya Organisasi

Budaya organisasi menjelaskan tentang cara pandang secara kolektif mengenai kepercayaan, nilai-nilai yang dianut oleh karyawan pada tempat kerja. Karyawan belajar mengenai budaya organisasi pada hari pertama mereka bekerja di tempat barunya. Menurut Edgar H. Schein, isu-isu yang termasuk ke dalam budaya Organisasi, adalah :

2.3.1 Isu mengenai kelangsungan hidup organisasi

Untuk bertahan dan berkembang, setiap organisasi harus mengembangkan asumsi yang bersemangat di dalam organisasinya, tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Ada beberapa komponen yang ada pada isu kelangsungan hidup organisasi di antaranya adalah :

1. Misi, strategi, goals

Untuk dapat bertahan dan bertumbuh setiap organisasi harus mengembangkan asumsi yang layak tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Ketika organisasi pertama kali berdiri, pendirinya dan para pemimpin yang pertama memimpin mempunyai insting yang kuat mengenai identitas dan misinya, apa yang mereka ingin capai, produk atau pasar yang mereka akan kembangkan, siapa mereka dan bagaimana cara menjangkaunya.

(7)

12

2. Tujuan : struktur, sistem dan proses

Bagaimana organisasi memutuskan untuk mencapai strategi dan tujuannya adalah level kedua dari isi budaya. Organisasi dapat mengembangkan struktur organisasi yang formal, dimana hirarki dari organisasi mungkin bertingkat-tingkat, ataupun mengembangkan hirarki organisasi yang flat/rata.

3. Pengukuran : Pendeteksian kesalahan dan cara mengkoreksinya.

Isu ketiga pada budaya , adalah bagaimana organisasi mengukur dirinya sendiri, mendeteksi kesalahan, dan cara mengkoreksi kesalahan. Pada banyak organisasi indikator performa keuangan merupakan salah satu indikator utama dalam mendeteksi kesalahan, tetapi biasanya asumsi dari budaya mendominasi bagaimana informasi tersebut di terjemahkan pada organisasi.

2.3.2 Isu Integrasi dalam organisasi

Organisasi terdiri dari orang-orang yang bekerjasama dengan tujuan yang sama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam isu integrasi dalam organisasi tertera di bawah ini :

1. Bahasa umum dan konsep

Perwujudan dari budaya yang paling jelas adalah bahasa umum dan cara berfikir yang sama. Pada suatu organisasi ketika seorang karyawan mencoba mencari tahu bagaimana kode etik berpakaian, ataupun berbicara dengan atasan mereka, atau pun cara berlaku pada pertemuan

(8)

13

group, bagaimana menguraikan berbagai jargon, ataupun berapa lama mereka harus tetap berada di kantor adalah perwujudan dari bahasa umum dan konsep yang ada di organisasi.

2. Batas kelompok dan identitas

Setiap organisasi mengembangkan cara bagaimana mengidentifikasikan tingkat dari keanggotaan, mulai dari cara berpakaian, lencana, ataupun slot tempat parkir, bagian dari saham, dll. Penerimaan dari keanggotaan dari anggota baru ialah ketika orang tersebut diberikan informasi rahasia tentang apa yang terjadi, siapa saja didalam anggota tersebut dan siapa saja diluar anggota tersebut.

3. Hubungan antara relasi dan kekuasaan

Setiap organisasi berbeda asumsinya mengenai relasi kekuasaan dan tingkat keakraban yang dianggap wajar diantara anggotanya. Beberapa organisasi mungkin juga menerapkan sistem egaliter dimana organisasi percaya bahwa setiap orang sederajat.

4. Penghargaan terhadap kerja dan status

Setiap organisasi mengembangkan sistem penghargaan dan status. Hal yang paling nyata adalah meningkatnya gaji sesuai dengan promosi jabatan. Salah satu hal yang sulit bagi karyawan baru dalam organisasi adalah dalam menterjemahkan sistem status dan penghargaan. Apa saja kelakuan yang diharapkan, bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengerjakan hal yang benar atau salah, kelakuan apa yang dihargai

(9)

14

dan kelakuan apa yang mendapat hukuman, bagaimana kita dapat mengetahui ketika kita dihargai atau dihukum.

2.3.3 Asumsi yang lebih dalam

Budaya organisasi paling utama terkandung dalam budaya nasional dimana organisasi berada. Asumsi yang mendalam tentang budya nasional akan direfleksikan dalam organisasi melalui latar belakang budaya para pendiri, pemimpin dan anggotanya. Asumsi yang lebih dalam dapat dikategorikan dalam list di bawah ini :

1. Asumsi mengenai relasi manusia pada lingkungannya

Budaya berbeda pada mereka yang percaya bahwa manusia seharusnya dominan, atau bersimbiosis, atau mempunyai relasi yang pasif terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam komunitas di benua asia asumsi yang diperoleh adalah manusia seharusnya menyatu dengan alam, ataupun manusia harus menurut terhadap alam.

2. Asumsi mengenai sifat dasar dari manusia

Budaya berbeda dalam tingkatan jika mereka mengasumsikan nilai manusia pada hakikatnya adalah baik atau jahat, ataupun pada tingkatan mereka dapat mengasumsikan bahwa sifat manusia dapat diperbaiki atau dirubah. Beberapa mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia adalah malas dan hanya bekerja bila mendapatkan

(10)

15

insentif dan kontrol dikatakan sebagai teori X. beberapa manajer berasumsi bahwa pada dasarnya manusia mempunyai motivasi untuk bekerja dan hanya memerlukan sumber daya dan kesempatan yang sesuai atau teori Y.

3. Asumsi mengenai relasi manusia

Apakah masyarakat biasanya terorganisasi dari group atau komunitas atau masyarakat terorganisasi dari individu. Jika terjadi konflik antar individu, siapa yang diharapkan untuk melakukan pengorbanan. Organisasi mencerminkan dari apa yang dikemukakan diatas, pada perusahaan yang paternalistic, perusahaan akan mengurus anda jika anda terbukti loyal kepada perusahaan.

4. Asumsi mengenai sifat dari realitas dan kebenaran

Pada tempat kita tumbuh, akan menumbuhkan kepercayaan dan asumsi mengenai sesuatu yang dapat dianggap nyata dan benar. Moral dan prinsip-prinsip religius mungkin akan mendominasi keputusan bisnis pada beberapa organisasi. Pada beberapa organisasi mungkin sikap berbohong dapat diterima sebagai konsekuensi politik, tetapi pada organisasi lain sikap seperti ini dapat menghasilkan hukuman yang serius karena mereka menekankan pada moral yang kuat.

5. Asumsi dari waktu

Ada 2 asumsi yang mendasari dari sifat waktu, yaitu monochronic time oleh Edward Hall yaitu konsep yang menyatakan pada satu waktu

(11)

16

hanya satu hal saja yang dapat terjadi. Waktu juga dapat dilihat sebagai Polychronic time yaitu kita dapat mengerjakan beberapa hal pada waktu yang sama.

6. Asumsi mengenai tempat/ruang

Tempat mempunyai arti simbolis yang sangat penting. Tata ruang kantor yang terbuka akan berakibat pada orang dapat dengan mudah berkomunikasi dengan yang lainnya, sedangkan kantor yang tertutup dengan pintu akan membuat simbol bahwa mereka harus berpikir untuk mereka sendiri. Asumsi mengenai ruang merefleksikan asumsi mengenai konsep individualistis atau bekerja dalam group. Terkadang ruang kerja juga menandakan status dan jabatan. Makin tinggi ruang kerja, makin tinggi juga status dan jabatan orang tersebut.

7. Hal-hal yang tidak diketahui

Elemen yang terpenting dari budaya adalah asumsi untuk berkembang untuk menyediakan kenyamanan ketika berhubungan dengan sesuatu yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi.

2.4 Pengembangan budaya organisasi yang mendukung KM

Menurut Debowski tahun 2006 ada beberapa tahapan dalam merencanakan perencanaan pengembangan budaya organisasi yang mendukung program KM.

(12)

17

Tabel 2.1 pengembangan budaya organisasi (Debowski, 2006, p.96 – 97) Proses Strategi/ hal yang harus dilakukan

Mengidentifikasi tujuan utama yang akan dicapai

• Mengembangkan pernyataan yang secara jelas menyatakan tujuan utama yang akan dicapai Mengidentifikasikan

sponsor utama

• Menjelaskan kebutuhan dari sponsor utama • Mendiskusikan sejauh mana sponsor ingin

dilibatkan dalam proses

• Menjelaskan ekspetasi yang diharapkan Mengidentifikasi ruang

lingkup dari program

• Menjelaskan hasil yang akan dicapai

• Menyiapkan pernyataan berapa lama program itu akan berjalan dan apa yang dicapai

Mengidentifikasi orang yang berkontribusi

• Menempatkan orang-orang yang dapat

menampung feedback untuk diteruskan kepada stakeholder

• Menjelaskan tugas dan tanggung jawab dari tiap orang yang berkontribusi

Mengumpulkan informasi tentang budaya organisasi dan aktifitas pengetahuan yang ada sekarang ini

• Melakukan analisa terhadap umpan balik yang didapatkan

• Apakah ada program sejenis yang sedang berjalan, apakah sukses atau gagal • Mencari tahu isu budaya apa yang harus

(13)

18

Proses Strategi/ hal yang harus dilakukan Mempertimbangkan

konteks/ penerimaan dari organisasi

• Dengan mempertimbangkan budaya yang ada sekarang, apakah konsekuensi ataupun kekhawatiran bila program dijalankan

• Melakukan identifikasi individu, atau group yang berkontribusi pada proses perubahan ini.

Menentukan tujuan kunci pengembangan utama

• Memecahkan tujuan menjadi kepada sesuatu yang lebih spesifik, terukur dan dapat tercapai dalam waktu tertentu

Mengidentifikasi seluruh aktifitas yang

berhubungan dengan KM

• Melakukan identifikasi pada setiap pekerjaan yang akan dilakukan

• Menempatkan kontributor pada setiap tugas, untuk dapat memonitor perkembangannya

Mengidentifikasi anggota yang sesuai untuk menjadi kontributor dan diberikan tugas dan tanggung jawabnya

• Dengan mempertimbangkan kemampuan dan kapabilitas dari tiap orang, baru kemudian diberikan tugas dan tanggungjawabnya

Perencanaan untuk mengkomunikasikan dan melakukan sosialisasi program

• Mengembangkan perencanaan komunikasi, termasuk waktu dan isi dari program

Perencanaan untuk mengevaluasi dan memonitor penerimaan pada organisasi

• Merencanakan bagaimana mengevaluasi dan memonitor hasil

• Merencanakan bagaimana umpan balik dapat dikumpulkan

Menyiapkan waktu yang dibutuhkan dan

komitmen pelaksanaan.

• Meninjau rencana secara keseluruhan apakah mempunyai cukup sumber daya untuk dilaksanakan

(14)

19

2.5 Lokasi penyimpanan pengetahuan

Gambar 2.1 Lokasi penyimpanan pengetahuan (Irma Becerra,2010,p33)

Didalam organisasi tempat penyimpanan pengetahuan dapat di kategorikan pengetahuan yang tersimpan dalam People, Artifacts, Organizational Entities.

2.5.1 People

Tidak sedikit jumlah pengetahuan yang tersimpan pada individu ataupun pada group. Contohnya pada penyedia layanan profesional misalnya firma hukum, cukup banyak pengetahuan yang tersimpan pada pikiran dari tiap individu anggota dari firma hukum tersebut.

2.5.2 Artifacts

Seiring dengan berkembangnya organisasi, pengetahuan yang cukup banyak juga dapat tersimpan dalam bentuk artifacts, beberapa pengetahuan tersimpan dalam praktek, rutin organisasi, atau pola-pola interaksi yang

(15)

diulang-20

ulang. Pada kasus ini pengetahuan dimasukkan kedalam prosedur, aturan-aturan dan norma-norma yang dikembangkan melalui pengalaman dan waktu.

2.5.3 Knowledge in organizational entries

Pengetahuan juga tersimpan di dalam organizational entities. Entitas dalam organisasi dapat dikelompokkan menjadi organizational unit (pengetahuan yang terdapat pada satu bagian dari organisasi), entire organization, dan interorganizational relationship (Contohnya relasi antara organisasi dengan pelanggannya)

2.6 Process KM

Dalam proses KM ada 4 proses utama yang harus diperhatikan yaitu Knowledge Discovery, Knowledge Capture, Knowledge Sharing dan Knowledge Application yang dibahas dibawah ini :

2.6.1 Knowledge Discovery

Didefenisikan sebagai pengembangan dari pengetahuan tacit atau explicit dari data dan informasi atau dari hasil sintesa dari pengetahuan yang sebelumnya. Knowledge Discovery biasanya didapatkan melalui proses combination dan socialization.

• Combination

Dalam proses combination, dimana pengetahuan-pengetahuan yang ada diatur ulang, di kategorikan kembali dan di beri konteks baru untuk menghasilkan explicit knowledge yang baru contoh nya pada

(16)

21

pembuatan proposal baru kepada client, explicit data, informasi dan pengetahuan yang sebelumnya terkandung pada proposal yang sebelumnya dapat dikombinasikan menjadi proposal yang baru.

• Socialization

Penyampaian dari tacit knowledge kepada individu, biasanya dilakukan dengan melakukan aktifitas yang dilakukan bersama daripada dengan menggunakan instruksi yang lisan atau tertulis. Misalnya dengan melakukan transfer ide dan gambaran. Magang membantu pendatang baru untuk melihat bagaimana orang lain berpikir.

2.6.2 Knowledge Capture

Proses dari pengambilan dari explicit atau tacit knowledge yang tersimpan pada orang, artifacts, atau organizational entities. Proses capture knowledge dilakukan oleh 2 subproses dari KM yaitu externalization dan Internalization.

• Externalization

Mengkonversi tacit knowledge menjadi bentuk explicit seperti kata-kata, konsep-konsep bentuk, gambar-gambar, atau metaphor, analogi, dan narasi.

• Internalization

Melakukan konversi dari explicit knowledge kepada tacit knowledge. Hal ini merepresentasikan dari proses tradisional belajar. Explicit knowledge dapat masukkan ke dalam praktek dan latihan-latihan,

(17)

22

supaya individu memperoleh pengetahuan dan dapat merasakan apa yang individu lain telah alami.

2.6.3 Knowledge Sharing

Adalah suatu proses dimana explicit atau tacit knowledge dikomunikasikan kepada individu lain. 2 subproses KM yang dilakukan pada knowledge sharing adalah exchange dan socialization.

• Exchange.

Yang membedakan dengan socialization adalah pada fokus dari pembagian explicit knowledge. exchange digunakan untuk mengkomunikasikan atau melakukan transfer explicit knowledge diantara individu, group dan organisasi

2.6.4 Knowledge Application

Pengetahuan didalam organisasi berkontribusi pada performa dari organisasi dalam pengambilan keputusan dan melakukan tugas-tugas. Semakin baik proses yang dilakukan pada knowledge discovery, capture, dan sharing. Maka semangkin besar kemungkinan pengetahuan yang diperlukan itu ada untuk pengambilan keputusan dan melakukan tugas-tugas.

Pada proses dari aplikasi pengetahuan yang sudah ada maka ada 2 subproses dari KM yang menyangkut pemberdayaan dari pengetahuan yaitu direction dan routines.

(18)

23

• Direction

Proses dimana individu yang memiliki pengetahuan mengarahkan kerja kepada individu lain tanpa melakukan transfer pengetahuan kepada individu alasan yang mendasari arahan tersebut. Arahan hanya melibatkan transfer dari instruksi atau keputusan tapi tidak dari pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan tersebut.

• Routines

Melibatkan utilisasi dari pengetahuan yang tersimpan didalam prosedur, peraturan dan norma-norma yang mengarahkan kepada prilaku di masa depan.

Gambar 2.2 Process KM (Irma Becerra, 2010, p57)

2.7 Core Knowledge Analysis

Core knowledge adalah pengetahuan yang bersifat strategis atau operasional yang menyumbangkan hasil yang besar kepada proses dan hasil yang dilakukan oleh suatu organisasi.

(19)

24

Gambar 2.3 Developing core knowledge framework (Debowski, 2006, p.171-185)

2.7.1 Phase 1 Clarify core knowledge scope

• Identify core business and its knowledge requirements

Setiap organisasi mempunyai ciri khas yang unik, beragam faktor dapat mempengaruhi bagaimana organisasi itu beroperasi. Langkah pertama yang paling penting dilakukan adalah untuk mengenal organisasi kita secara utuh, berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan yang dapat membantu mengenal core business kita, yaitu :

• Apa saja aktifitas-aktifitas yang utama yang dilakukan oleh organisasi?

• Arahan dari organisasi untuk masa depan dan prioritas-prioritas yang diambil oleh organisasi tersebut?

• Apa saja pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendukung fungsi-fungsi dari organisasi atau prioritas-prioritas yang telah ditetapkan? Core Knowledge Analysis

Phase 1 Clarifying the core

knowledge scope

Phase 2 Define core knowledge

param eter

Phase 3 Develop core knowledge

structure

M anage Core Knowledge 1. Identify core business and

its knowledge requirem ent 2. Define the knowledge

dom ain

3. Review knowledge capabilities

4. Define core knowledge 5. Develop the core

knowledge policy

6. M ap core knowledge 7. Build the know ledge

(20)

25

• Apakah ada unsur-unsur pengetahuan lain yang unik atau special yang dibutuhkan organisasi?

2.7.1.1 Define the knowledge domain

Tahap berikutnya setelah mendefenisikan dari core knowledge adalah melakukan investigasi tentang area-area pengetahuan apa saja secara spesifik yang perlu ditumbuhkan di lingkungan organisasi. Knowledge domain mungkin mempunyai 2 level :

Pengetahuan yang harus dimiliki oleh seluruh anggota dibagikan dan digunakan sebagai pemenuhan utama penyelesaian pekerjaan.

Pengetahuan yang bersifat strategis yang dikembangkan terus-menerus.

Informasi dari knowledge domain dapat disimpulkan dari deskripsi pekerjaan yang harus dilakukan, proyek, dan rencana-rencana unit kerja, performance indicator, dll

2.7.1.2 Review knowledge capabilities

Pengembangan KM dipengaruhi oleh kemampuan dan kebutuhan dari karyawan. Untuk membuat system knowledge management yang efektif maka harus di teliti apakah pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan dan pengetahuan apa yang karyawan harus ketahui. Pertanyaan utama yang biasanya ditanyakan pada tahapan ini adalah :

• Apa yang benar-benar diketahui oleh karyawan kita? • Apa yang seharusnya mereka ketahui?

(21)

26

• Bagaimana mereka dapat mendapatkan pengetahuan ini?

2.7.2 Phase 2 Define core knowledge parameter 2.7.2.1 Defining core knowledge

Core knowledge adalah pengetahuan yang bersifat strategis atau operasional yang berkontribusi besar terhadap proses dan hasil yang terjadi di organisasi.

Penulisan core knowledge ke dalam bentuk yang explicit akan mendorong pengembangan dari core knowledge dan pengintegrasian ke dalam struktur proses dan aktifitas pengetahuan yang sedang berjalan.

Kategori dari core knowledge dibagi menjadi 3 level : • Basic core knowledge

Adalah pengetahuan yang utama yang dihasilkan, dibagikan dan diakses ataupun dikelola oleh seluruh karyawan. Basic core knowledge adalah dasar bagi pengetahuan yang dibutuhkan pada saat ini.contoh dari knowledge objects disini adalah pelanggan, pangsa pasar, dll.

• Strategic core knowledge

Adalah pengetahuan yang penting bagi pencapaian hasil dari organisasi, pengetahuan ini berkembang secara pesat dan mungkin tidak dapat diakses oleh seluruh anggota pada organisasi. Contoh knowledge objects adalah ide-ide dari pihak manajemen, akses kepada arahan dari para ahli, dll.

(22)

27

• Developmental core knowledge

Berhubungan dengan pengetahuan yang secara potensial akan bermanfaat bagi organisasi, tetapi masih dipelajari dan di teliti manfaatnya.

2.7.2.2 Develop the core knowledge policy

Organisasi perlu menyampaikan defenisi core knowledge yang disetujui dan yang diharapkan kepada seluruh anggota dari organisasi. Pengembangan knowledge policy adalah salah satu cara untuk mendukung proses Knowledge management dalam organisasi. Dalam penerapannya core knowledge policy harus bersifat stabil, dengan kata lain tanpa banyak adanya perubahan-perubahan yang besar dan diterapkan secara konsisten untuk jangka waktu yang lama.

Dilema yang harus dijawab dalam penerapan core knowledge adalah :

• Apa dan bagaimana dan kapan pekerja akan membagikan core knowledge mereka ?

• Siapa yang bertanggung jawab dalam menjalankan policy ini? • Bagaimana policy ini di integrasikan kedalam proses dan sistem pada

organisasi?

(23)

28

2.7.3 Phase 3 Develop the core knowledge structure 2.7.3.1 Map Core knowledge

Menjelaskan tentang kategori pada core knowledge dan area-area yang dianggap penting oleh organisasi. Peta dari core knowledge dapat berupa relational knowledge map yang berupa pengkategorian pengetahuan berdasarkan topik dari subjek atau operational knowledge map yang mendokumentasikan aktifitas-aktifitas fungsional dari suatu organisasi.

Gambar 2.4 Relational knowledge map of pharmaceutical firm. (Debowski, 2006, p.185) Patents and licences

Registered patents

IP legislation

Royalties

Licence management Research and development

Techniques

Trials

Results

Competitor Products

Marketing

Customer relations management

Budget projects campaigns Pharmaceutical products Product Characteristic Facts sheets Customer feedback Trial evaluations Litigation Contributor profiles Staff Partners Client Education Client services Previous strategies Online education Facts sheets

(24)

29

Gambar 2.5 Relational and operational knowledge map of a pharmaceutical firm (Debowski, 2006, p.185)

2.7.3.2 Build the knowledge repository

Knowledge repository adalah unsur yang penting dalam strategi knowledge management, repository dapat berisi tentang sumber daya utama yang terdapat dalam organisasi. Dalam penyusunan isi dari sumber daya, pengelolaan repository dapat dibagi menjadi 2 :

Structured repository management strategies, adalah metode untuk mengorganisasikan core knowledge pada penyusunan yang umun dan terstruktur dengan rapi dengan judul dan penjelasan dari isi.

Unstructured repository management strategies, memungkinkan pengelolaan core knowledge lebih kearah pengaturan yang lebih individual/ sesuai dengan keinginan pengguna.

Pharmaceutical division

Product units

Customer Services

Financial group

Marketing services

Research and development

Legal unit

Management services

Account management

Human resources management

Planning and asset management

Customer service

Knowledge management services

(25)

30

Prinsip utama dari design core repository, adalah :

1. Repository harus dapat mengatur bentuk dan isi dari pengetahuan yang direkam.

2. Level dari control ditentukan oleh organisasi

3. System harus memberikan kemudahan dalam pengaksesan informasi

2.8 Knowledge Management Goal

Menurut Probst dalam (Wu, K., 2011) mengusulkan 3 level knowledge goals:

1. Normative Knowledge Goals, berhubungan dengan visi umum dari kebijakan organisasi dan semua aspek dari budaya organisasi

2. Strategic Knowledge Goals, serangkaian program jangka panjang yang membantu realisasi visi

3. Operational Knowledge Goals, membantu untuk memastikan bahwa program tujuan strategic dilaksanakan dalam aktivitas sehari-hari perusahaan.

Idealnya, tiga level knowledge goals diatas melengkapi satu sama lain dan seharusnya berkontribusi untuk merealisasikan tujuan organisasi.

(26)

31

2.9 Fishbone Diagram

Gambar 2.6 Fishbone diagram

Fishbone diagram (diagram tulang ikan) atau dikenal juga dengan Ishikawa diagram diperkenalkan oleh Khoru Ishikawa pada tahun 1960, yang pada saat itu mempelopori proses manajemen mutu di galangan kapal Kawasaki Jepang dan menjadi salah satu pendiri manajemen modern. Diagram tulang ikan ditunjukkan seperti gambar 2.7. Penyebab (Cause) biasanya dikelompokkan dalam beberapa kategori utama untuk menidentifikasi sumber – sumber yang bervariasi.

Kategori –kategori biasanya meliputi:

1. People; Siapa saja yang terlibat dalam proses.

2. Methods; Bagaimana proses dilakukan dan persyaratan khusus untuk melakukan, misanya prosedur, kebijakan, aturan dan lain –lain.

3. Machines; Peralatan pendukung proses.

(27)

32

5. Measurment; Data yang digunakan untuk mengukur suatu proses. 6. Environment; Kondisi, budaya kerja dan iklim.

Dengan membuat daftar penyebab seperti pada kategori penyebab diatas maka akan dapat dicarikan solusi dari efek / permasalahan suatu proses. Hal ini tentu memudahkan bagi analis untuk menentukan mana yang menjadi faktor utama dan faktor sekunder.

2.10 Flowchart diagram

Flowchart diagram adalah diagram yang merepresentasikan sebuah proses yang ditunjukkan melalui langkah-langkah yang dilambangkan dalam berbagai macam bentuk bangun ruang yang disusun dalam alur urutan tertentu yang dihubungkan oleh tanda panah. Diagram ini dapat memberikan langkah-langkah pemecahan sebuah masalah. Flowchart dapat digunakan untuk menganalisa, mendesain, dokumentasi atau mengatur sebuah proses atau program seperti yang ditunjukan pada gambar 2.7

(28)

33

Gambar 2.7 Contoh flowchart

2.11 KM Metrics Categories

Salah satu cara pengukuran dari kesuksesan KM di dalam organisasi adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode kuantitatif dapat menghilangkan kelemahan dari penilaian subjektif dari metode kualitatif. Pada KM pendekatan ini digunakan untuk mengukur explicit knowledge dan mengkaitkan dampaknya baik dalam pengambilan keputusan dan performa pelaksanaan kerja.

Pendekatan kuantitatif menggunakan matriks. Matriks adalah alat ukur baik input maupun output yang berhubungan dengan kinerja KM dalam organisasi. Input adalah faktor pendorong yang memungkinkan KM dapat dilaksanakan dan output adalah hasil dari KM.

(29)

34

Tidak ada standard yang digunakan dalam pengukuran kinerja KM, tetapi pengukuran dari non financial dapat secara umum dikelompokkan menjadi 4 kategori – customer, structural, human, and development (Von Krough et al, 2005).

(30)

35

2.12 Komponen Knowledge Management System

Tabel 2.3 Komponen KMS ( Debowski, 2006, p.144)

1. Business process management

Secara strategis business process management mengarahkan dan mempertajam pembangunan KMS dengan membangaun strategi perusahaan untuk knowledge management. Hal ini secara langsung berpengaruh pada KMS dan aspek lain knowledge management yang menentukan akses terhadap knowledge tertentu, knowledge yang memiliki prioritas tinggi dan bagaimana dukungan terhadap akses knowledge.

(31)

36

2. Content management system

Terdapat banyak sumber pengetahuan yang ditemukan dalam organisasi. Namun sulit untuk mengidentifikasi, mengelola dan mengakses secara efisien. Terdapat sumber yang terstruktur dan tidak terstruktur, official, dinamis dan archive content. content management system memastikan effective content dan document management sehingga KMS secara efektif menghubungkan end user dengan banyak sumber Intelectual Content baik dalam maupun luar organisasi.

3. Web content management system

Web management system mengoperasikan platform teknologi KMS. Pada level dasar, ini menyediakan kapasitas teknologi untuk menghubungkan KMS dengan user dan sumber knowledge yang lain yang berada didalam dan diluar organisasi. Adanya server, interface dan KMS portal yang mendukung web content mangement system.

4. Knowledge applications management

Knowledge application management menyediakan pengguna dengan kemudahan dan efektivitas knowledge tools. Fungsi utamanya adalah memfasilitasi pembentukan knowledge, kolaborasi dan komunikasi. Efektivitas KMS sebagian tergantung pada kapasitas user untuk menciptakan knowledge baru dan mengelola workflows menggunakan teknologi yang ada dan manajemen aplikasi knowledge yang mendukung hal ini.

(32)

37

Ada tiga (3) kriteria yang harus diraih agar implementasi KMS berhasil (Debowski, 2006, p.151):

1. Sistem merefleksikan dan responsif terhadap kebutuhan perusahaan. 2. Sistem merefleksikan prinsip-prinsip KM, terutama pendorong untuk

kolaborasi dan komunikasi.

3. Sistem merefleksikan perhatian yang dalam terhadap individual diseluruh fase pengembangannya.

2.13 Knowledge Management System Development

Dalam tahapan pengembangan sistem KMS, tahapan-tahapan yang dilalui adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan kebutuhan tentang KMS

Tidak semua KMS sesuai untuk kebutuhan organisasi, beberapa hal yang harus di pertimbangkan adalah nilai dari sistem kepada bisnis, apakah gap dalam hal struktur teknologi yang akan KMS penuhi, kemungkinan mengintegrasikan KMS dengan sistem lainnya, kebutuhan untuk melakukan hubungan dengan rekan kerja dan lokasi yang berbeda, potensial pengguna yang akan menggunakan sistem.

2. Mengidentifikasikan kebutuhan dari KMS

Identifikasi kebutuhan adalah tahapan dimana mencari dukungan dari sponsor untuk pengembangan KMS, apa saja kebutuhan dari pengguna, melakukan riset tentang KMS yang ada.

(33)

38

3. Mengklarifikasi kebutuhan KMS

Melakukan defenisi dari kriteria pengguna dan pengetahuan yang akan digunakannya, vendor yang yang menyediakan aplikasi, prioritas dari aplikasi, dan biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan aplikasi.

4. Memilih KMS dan komponen yang ada

Berdasarkan hasil dari evaluasi dari sistem KMS yang sudah dilakukan maka dilakukan pemilihan terhadap sistem KMS yang paling sesuai dengan kebutuhan.

5. Melakukan implementasi dari KMS

implementasi sistem KMS dilakukan pada group yang kecil terlebih dahulu untuk memudahkan memonitor evaluasi.

6. Melakukan Evaluasi

Melakukan evaluasi terhadap KMS yang ada dan fitur-fiturnya, biaya yang harus dikeluarkan, pengembangan untuk kedepan.

2.14 Value Discipline Model

Model dari value dicipline (Wiersema, 1993) adalah sebuah strategic tools, untuk membantu organisasi dalam menempatkan posisinya tentang proposisi nilai di mata pelanggannya.

(34)

39

Ada 3 model yang diajukan yaitu : • Operating Excellence • Product Leadership • Customer Intimacy

Tabel 2.4 Principles of Value Diciplines

Product Leadership Operational Excellence Customer Intimacy

• Penekanan pada inovasi – budaya yang mendukung eksperimen dan inovasi dan penghargaan produk/ pembaharuan jasa • Manajemen resiko Berorientasi pada resiko – manajemen yang memungkinkan organisasi untuk mengambil resiko dan mengambil keuntungan dari resiko tersebut • Pengelolaan SDM yang efisien – pekerja dilatih dengan cara yang paling efisien dan biaya terendah untuk mengerjakan sesuatu.

• Pengelolaan transaksi yang efisien –

memaksimalkan efisiensi dari setiap bagian dari transaksi, termasuk supply chain dari organisasi tersebut.

• Mempunyai jasa yang lengkap yang

bertujuan untuk melayani permintaan pelanggan – dapat melibatkan berbagai layanan yang berasal dari supplier lain dengan sistem pengaturan kontrak

(35)

40

Product Leadership Operational Excellence Customer Intimacy

• Pengakuan bahwa kesuksesan organisasi saat ini dan masa depan terletak di tangan orang-orang yang berbakat • Pengakuan akan kebutuhan untuk mengedukasi dan memimpin pasar pada penggunaan produk atau jasa baru

• Pencarian pada sistem pengukuran –

memastikan ketelitian pada kualitas dan kontrol biaya, dengan tujuan pengukuran untuk mencari cara untuk mengurangi biaya

• Pengelolaan pada ekspetasi pelanggan – menyediakan produk atau jasa yang bervariasi untuk mengelola ekspetasi dari pelanggan. • Filosifi dari organisasi yang menghasilkan praktek-praktek bisnis yang mendorong pada pengetahuan yang dalam mengenai apa yang diinginkan oleh pelanggan dan pemikiran-pemikiran bagaimana

meningkatkan kepuasaan pelanggan

(36)

41

Tabel 2.5 Dimensions of value diciplines

Product Leadership Operational Excellence Customer Intimacy

• Kematangan dalam kemampuan – mempertahankan tingkat dari

penyampaian produk / jasa kepada pelanggan dan berusaha untuk memperbaiki terus menerus kemampuan penyampaian produk / jasa tersebut. • Memanfaatkan kemampuan intelektual dari SDM – Mengembangkan dan menggunakan aset intelektual untuk meningkatkan penyampaian dari produk atau jasa. • Responsif –

meminimalkan waktu respon dan reproduksi dari penyampaian suatu produk /jasa.

• Performa organisasi – meningkatkan efisiensi melalui pembaharuan proses dan kecepatan dari penyampaian produk/ jasa • Kualitas – mendekteksi, memahami dan menghilangkan masalah-masalah pada proses, produk atau jasa yang berdampak pada efisiensi sebelum dan sesudah

penyampaian dari produk/ jasa tersebut • Biaya – menganalisa

dan menyesuaikan proses dan produk untuk mendapatkan biaya yang paling efektif dalam

penyampaian produk / jasa.

• Jangkauan dan luas cakupan –

meningkatkan lokasi-lokasi/ akses dimana pelanggan dapat menghubungi organisasi. • Waktu silus – meningkatkan waktu penyampaian kepada pelanggan antara kebutuhan dan pengiriman dari produk / jasa tersebut. • Identifikasi produk –

kemampuan untuk mengidentifikasi produk / jasa yang dibutuhkan oleh pelanggan.

(37)

42

2.15 Studi kasus Edmonton Public School dalam penerapan Knowledge Management

Sebagai perbandingan studi kasus, maka untuk studi kasus pembanding diambil dari white paper aplikasi alfresco yang diimplementasikan di bidang pendidikan pada Edmonton Public School.

Edmonton Public School adalah sekolah terbesar di kanada pada propinsi Alberta, yang menyediakan jasa pendidikan kepada lebih dari 80,000 murid dan mempunyai 200 cabang sekolah yang tersebar. Hasil audit pada tahun 2006 ditemukan bahwa sekolah hanya dapat memenuhi 60% dari persyaratan dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh murid-murid berkebutuhan khusus. Sekolah mengalami 40% kehilangan hasil-hasil ujian dari murid-murid yang dilakukan secara individu oleh guru-guru, masalah ini disebabkan karena dokumen tidak ditemukan atau hilang ketika murid ada yang dipindahkan. kejadian ini menimbulkan beberapa laporan harus dibuat kembali dan membutuhkan biaya sekitar $1000 sampai $1500 per laporan.

Sekolah per wilayah juga menyimpan dan mengelola dokumen dari karyawan-karyawan, sekitar 12,000, dokumen karyawan. sekolah mengalami penambahan dari tempat penyimpanan untuk dokumen-dokumen dan sistem dokumen yang berbentuk kertas-kertas membuat proses penerimaan karyawan menjadi tidak efisien. Setiap manajer harus berpergian ke kantor pusat untuk melakukan review terhadap aplikasi - dan beberapa manajer juga menginginkan untuk melihat aplikasi yang sama.

(38)

43

2.15.1 Solusi

Dengan guru yang berjumlah 12,000 dan beberapa staff administrator membutuhkan untuk mengakses ke bagian laporan dari murid-murid. Aplikasi Alfresco menyediakan biaya yang murah untuk biaya kepemilikan dari aplikasi. Alfresco mendukung Open Standard, sehingga memudahkan untuk melakukan integrasi alfresco dengan sistem yang sudah ada, termasuk sistem informasi murid yang mengelola proses penerimaan siswa dan menghasilkan laporan rapor dari siswa. Sekarang ketika siswa mendaftar masuk atau ketika hasil rapor dibuat, dokumen ini secara otomatis tersimpan di alfresco.

Bagian IT juga membuat arsitektur informasi dan struktur pengelompokan di alfresco dengan menggunakan folder dan tipe dokumen untuk membantu mengelola dan mengkategorikan mereka. sekolah per wilayah dapat mendefenisikan secara unik metadata yang mereka perlukan untuk setiap dokumen untuk mendukung kebutuhan mereka. Bagian IT juga menambahkan kebijaksanaan untuk mengelola dokumen untuk memastikan sekolah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.

Tim dari project mengembangkan antarmuka untuk melakukan proses scan dokumen untuk kebutuhan memasukkan ujian dari siswa kedalam sistem dari lokasi tempat scan dokumen yang berbeda dari sekolah. Metadata diambil dari Sistem Informasi Siswa dan ketika dokumen di scan secara otomatis akan disimpan di dalam repository Alfresco. Sekolah kemudian dapat menyimpan hasil dari ujian secara elektronik yang diselesaikan dan menyediakan hasil cetakan kertas untuk sekolah.

(39)

44

Dengan data siswa tersimpan secara elektronik , tim project bekerja melakukan scan dan mengkonversi data pekerja ke dalam format elektronik dan menyimpannya di dalam Alfresco. Sistem pendataan pekerja telah merampingkan proses penerimaan karyawan baru dengan membuat informasi bagi pekerja yang melamar tersedia secara online, menghilangkan biaya untuk menyewa manajer untuk berpergian ke kantor pusat untuk mereview aplikasi dan data-data.

2.15.2 Kesimpulan

• Edmonton Public School menyediakan catatan siswa yang konsisten kedalam sistem yang dapat diakses oleh banyak pengguna, dari wilayah yang berbeda melalui portal wilayah.

• Edmonton Public School dapat menghemat pengeluaran lebih dari 1 miliar dollar dengan mengurangi waktu yang diperlukan untuk administrasi, mengurangi biaya pencetakan dan biaya kertas; mengurangi biaya untuk penciptaan dokumen yang hilang, dan mengurangi tempat penyimpanan dokumen.

• Edmonton Public School Mengotomatisasi perpindahan dokumen dari Sistem Informasi Siswa, Sentralisasi tempat scan dokumen dan situs lainnya tempat Alfresco menyimpan repository nya.

• Edmonton Public School dapat mengelola standar untuk penyampaian bahan ujian murid-murid dengan lebih baik.

(40)

45

• Pada tahun 2011, 14.731 anggota staff menggunakan sistem data siswa sebanyak 96.938, dengan rata-rata penggunaan per hari sebanyak 256.

2.16 Studi kasus : Knowledge management pada sekolah di Malaysia

Perkembangan yang cepat dari bidang ICT (Information Communication Technology). Membuat menteri pendidikan malaysia mencanangkan pernyataan visi untuk mendukung pendidikan nasional di malaysia dengan “Mengembangkan kualitas sistem pendidikan yang bertaraf internasional yang akan mengembangkan potensi individu seutuhnya dan memenuhi aspirasi negara. Salah satu program pendidikan adalah mengembangkan Malaysian Smart Schools Project atau yang dikenal juga sebagai Smart School Integrated Solution (SSIS), program ini diluncurkan pada bulan juli 1997. Tujuan dari program ini adalah untuk menciptakan ulang proses dari belajar dan mengajar. Ada total 90 sekolah yang berpartisipasi dalam program SSIS, sekolah ini dipilih berdasarkan baiknya performa dan lokasi yang dapat berfungsi sebagai penghubung pendidikan untuk lingkungannya. Infrastruktur dari teknologi yang digunakan pada Smart Schools memungkinkan pengelolan dan sistem pembelajaran yang terpadu.

Dalam case study ini dilakukan riset untuk mengukur pengaruh pada pengelolaan, budaya dan teknologi yang digunakan dalam penciptaan, pengambilan, penyimpanan, aplikasi dan pembagian pengetahuan. Penelitan dilakukan pada 25 Smart Schools dan 25 Non Smart Schools yang akan diambil sampelnya dari 5 area yang berada di Malaysia. Dari sekolah tersebut kemudian

(41)

46

akan diambil masing-masing 50 guru secara acak dari latar belakang yang berbeda untuk mengikuti survei.

Kuisioner dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama berisi 9 pertanyaan mengenai latar belakang responden, termasuk jenis kelamin, posisi, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan akses ke e-mail. Bagian kedua dibagi menjadi 5 sub bagian yang berhubungan dengan variabel dari model riset, yaitu : pentingnya mengelola pengetahuan ( 12 pertanyaan) ; fasilitas dan metode dalam mengelola pengetahuan (17 pertanyaan) baik dengan menggunakan cara tradisional maupun dengan menggunakan bantuan teknologi dan banyaknya frekuensi penggunaan; penghalang dalam penyebaran pengetahuan (20 pertanyaan) ; aktivitas penyebaran pengetahuan yang dibagi menjadi : pengambilan pengetahuan (5 pertanyaan), penciptaan pengetahuan (5 pertanyaan), pembagian pengetahuan ( 5 pertanyaan), aplikasi pengetahuan (6 pertanyaan) dan penyimpanan pengetahuan (6 pertanyaan), semua pertanyaan ini berhubungan dengan cara mengelola pengetahuan pada lingkungan kerja. Pada bagian terakhir dari kuisioner berisi mengenai faktor-faktor yang mendukung dalam mengelola pengetahuan, manajemen (8 pertanyaan), budaya (9 pertanyaan), dan teknologi (7 pertanyaan).

2.16.1 Hasil riset

Dari 50 kuisioner yang disebarkan ke setiap sekolah, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : kedua sekolah baik Smart Schools dan Non Smart Schools setuju bahwa penting dalam mengelola pengetahuan, terutama pengetahuan yang berhubungan dengan pekerjaan.

(42)

47

Pengetahuan dapat digunakan pada proses pengambilan keputusan dan untuk meningkatkan efisiensi dari staff. Mengelola pengetahuan dapat juga meningkatkan kecepatan pemberian informasi kepada stakeholder (guru, orang tua, dan komunitas secara keseluruhan), dan dapat juga meningkatkan produktifitas dalam penciptaan dan penggunaan pengetahuan baru. Banyak responden yang setuju bahwa pengelolaan pengetahuan mendorong staff untuk membagikan pengetahuannya, dengan kata lain meningkatkan kerjasama tim. Tetapi yang paling penting dalam pengelolaan pengetahuan adalah waktu dan manfaat dari biaya yang dikeluarkan.

Pada frekuensi dari penggunaan fasilitas dan metode dalam mengelola pengetahuan. Responden lebih setuju seringnya penggunaan pada metode tradisional, yaitu menggunakan kertas dan papan tulis daripada teknologi, walaupun pada sekolah yang termasuk Smart Schools. Ini diakibatkan pada kompleksitas yang dirasakan dari penggunaan teknologi dan fasilitas komputer yang kurang memadai.

Penghalang dari pembagian pengetahuan, dirasakan dari keterbatasan fasilitas, dan kurangnya alokasi waktu kepada staff dikarenakan beban pekerjaan pada kedua sekolah. teknologi dirasakan tidak mencukupi ataupun sudah ketinggalan zaman dan staff kurang percaya diri ketika menggunakan alat elektronik dan beberapa menyatakan kurangnya komitmen dari manajemen sekolah.

Penciptaan pengetahuan biasanya dipengaruhi oleh diskusi-diskusi sosial, kerjasama tim atau proyek pekerjaan, disamping aktifitas individu seperti membaca dan refleksi diri. Responden setuju bahwa pembagian pengetahuan juga

(43)

48

didapatkan melalui diskusi-diskusi informal, responden menyetujui bahwa teman mereka selalu siap untuk membagikan dan mengkontribusikan ide baru. Mentoring adalah salah satu cara dalam pembagian pengetahuan. Aplikasi pengetahuan pada konteksnya dapat meningkatkan pengalaman. Pengetahuan dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah atau ketika orang meminta nasihat, dan mengerjakan tugas yang di kelola melalui aturan-aturan, prosedur ataupun rutin organisasi.

Pada penyimpanan pengetahuan, ditemukan bahwa responden lebih mudah mengakses pengetahuan explicit daripada tacit. Responden menganggap mereka dapat mengakses informasi secara mudah. Tetapi anggapan itu tidak begitu jelas ketika ditanyakan mana yang lebih baik menyimpan dalam bentuk kertas atau elektronik.

Pada faktor-faktor yang berkontribusi pengelolaan pengetahuan, responden setuju bahwa manajemen mendorong pembagian pengetahuan dan memfasilitasi realisasi dari ide-ide secara terus menerus. Responden setuju bahwa manajemen mendorong pembelajaran bagi para staff, mengorganisasi pelatihan-pelatihan yang sesuai dan mempromosikan akuisisi pengetahuan baik dari dalam maupun dari luar.

Responden menganggap teknologi dapat dipertimbangkan sebagai alat yang dapat mengakselerasi pertumbuhan dari aktifitas-aktifitas pengetahuan. Teknologi seperti jaringan, database, dan e-forums dapat memfasilitasi dari pemberian dan pembagian pengetahuan, dan juga informasi yang terbaru. Fasilitas teknologi sepertinya dipakai secara luas dan berfungsi dengan baik di sekolah-sekolah secara nasional.

(44)

49

Budaya Sekolah yang mendukung di identifikasikan mendukung pembagian pengetahuan, budaya memotivasi staff untuk membagi pengetahuan, dengan memperlihatkan komitmen dari pemimpin, menunjukkan keterbukaan untuk berubah, timbal balik kepercayaan dan pembelajaran diantara diantara staff. Kebanyakan dari responden setuju bahwa sekolah adalah organisasi pembelajar, dengan adanya budaya membagi pengetahuan. Responden bersifat netral terhadap orang-orang yang enggan dalam membagi pengetahuan karena mereka menganggap pembagian pengetahuan bersifat sebagai aset personal setiap individu dan bagaimana individu tersebut menggunakan pengetahuan sebagai keuntungan personal daripada keuntungan organisasi.

Hasil dari statistik menunjukkan tidak ada perbedaan antara Smart School (SS) dan Non Smart School (NSS) dalam pentingnya mengelola pengetahuan, tetapi dalam hal fasilitas dan metode untuk mengelola pengetahuan diperlihatkan adanya perbedaan. Hasil ini sejalan dengan sekolah yang disurvei. dimana SS mempunyai peralatan dan fasilitas yang baik yang memungkinkan terjadinya keuntungan dalam hal teknologi sebagai hal yang memungkinkan terjadinya knowledge management.

Diantara aktifitas penciptaan pengetahuan, guru pada sekolah NSS menciptakan pengetahuan lebih banyak daripada sekolah SS. Waktu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi, banyaknya tugas guru merupakan sesuatu yang rutin. Guru SS mempunyai tendensi mempunyai beban kerja yang lebih tinggi dikarenakan mereka harus mengerjakan berbagai tugas administrasi yang berat.

(45)

50

Salah satu faktor yang berkontribusi pada penerapan knowledge management, adalah dari hasil statistik yang menyatakan bahwa pandangan guru terhadap teknologi dan manajemen lebih tinggi pada sekolah SS.

2.16.2 Kesimpulan

Manajemen, teknologi dan faktor budaya berkorelasi dengan aktifitas pengetahuan yang terjadi di sekolah. Manajemen menyediakan pondasi dan infrastruktur yang mendukung agar pembagian pengetahuan dapat terjadi. Teknologi memungkinkan knowledge management dapat terjadi di sekolah, sedangkan budaya adalah faktor yang penting dalam penciptaan pengetahuan. Beberapa penghalang yang menghalangi aktifitas pengetahuan adalah waktu, tenggang waktu, beban kerja, perilaku berbagi, dan infrastruktur teknologi. Setiap faktor berkontribusi dalam hal yang berbeda dalam pengelolaan pengetahuan. Manajemen menyediakan framework yang mendukung dalam pemberian sumber daya, proses pengambilan keputusan dan praktek-praktek yang inovatif supaya aktifitas pengetahuan dapat terjadi. Teknologi menyediakan mekanisme untuk menyimpan, membagikan dan memberikan informasi dan pengetahuan. Budaya menekankan pada relasi dari seluruh aktifitas pengetahuan dengan memberi arahan, dan mendorong interaksi sosial maupun profesional diantara COPs.

Mempertimbangkan perbedaan diantara sekolah SS dan sekolah NSS dalam hal alokasi pembiayaan, fasilitas dan birokrasi, diperoleh kesimpulan tipe sekolah bukan merupakan faktor yang dominan yang mempengaruhi aktifitas pengetahuan. Beban tambahan ditemukan pada sekolah kategori SS disebabkan oleh harapan dari orang tua yang tinggi mengenai performa dari sistem

(46)

51

pendidikan di Malaysia. Budaya yang berkembang di masyarakat Malaysia adalah budaya kolektif, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat adalah rela berkorban, saling menghargai dan saling menolong mempunyai dampak pada pengelolaan pengetahuan.

Walaupun guru-guru ingin bekerjasama dan membagikan pengetahuan secara sukarela, guru-guru mungkin tidak menemukan cara yang sesuai untuk membagikan pengetahuan kepada para koleganya. Jadi yang diperlukan pada sekolah adalah praktek-praktek yang lebih sistematis untuk menawarkan cara-cara untuk memelihara pengetahuan baru, merangsang inovasi dan membagikan pengetahuan tacit didalam sekolah.

Sekolah juga mungkin mau mengembangkan jaringan diantara guru-gurunya dimana setiap individu dapat berinteraksi melalui percakapan-percakapan sosial, forum bertanya dan membagikan pengetahuan 1 dengan yang lain. ini memungkinkan orang-orang dari latar belakang dan keahlian yang berbeda dapat membagikan pengetahuan dan keahlian dengan menggunakan interaksi formal dan nonformal, seperti tatap muka secara online. Sekolah SS diharapkan dapat bertindak sebagai penghubung pengajaran untuk sekolah-sekolah disekitarnya karena SS mempunyai sumber daya yang lebih baik.

Waktu merupakan faktor penghalang terbesar bagi guru-guru dalam aktifitas pengetahuan yang terjadi di sekolah, karena beban guru dalam melakukan tugas-tugas administratif sekolah.

(47)

52

2.17 Studi kasus : Dampak dari pelatihan pada penyebaran dan aplikasi

pengetahuan di kalangan akademis pada institusi pendidikan di Malaysia.

Case study ini meneliti tentang dampak dari program pengembangan profesional yang dilakukan oleh Akademi Kepimpinan Pengajian Tinggi Malaysia (AKEPT). Program AKEPT bertanggung jawab dalam mengembangkan program kepemimpinan dalam pengajaran dan pendidikan dari sektor pendidikan tinggi pada sektor swasta dan pemerintah di Malaysia.

Program pengembangan pelatihan profesional yang ditawarkan oleh AKEPT melayani beberapa aspek, seperti menjelaskan tugas dari sesama rekan pendidik dan meneliti bagaimana dukungan dari staff akademis kepada satu dengan yang lain, lebih lanjut AKEPT juga mempertimbangkan tentang program pelatihan ulang dan pengembangan program beasiswa di kalangan akademis yang merupakan prioritas utama di banyak perguruan tinggi, AKEPT juga melayani bagaimana hasil kerja akademis dapat diketahui, dinilai dan dihargai dan seberapa baik program pengembangan akademis dapat dilakukan, dan terakhir AKEPT memberikan wawasan mengenai kepercayaan dan perilaku mengenai proses belajar mengajar di kelas kepada pihak akademis melalui praktek-praktek pedagogi yang mereka anut.

Data survei dikumpulkan dari 519 bagian akademis dari sektor swasta dan pemerintah dari pelatihan yang diadakan oleh program pengembangan profesional AKEPT yang diadakan dari tahun 2008 dan 2009. Orang-orang yang mengikuti program pelatihan AKEPT adalah pihak akademis perguruan tinggi baik dari sektor swasta dan.

(48)

53

Responden yang dipilih dari 5 pangkat akademis : professor, rekan professor, pembicara senior, pembicara, dan asisten pembicara. Semua kuisioner didistristribusikan kepada responden setelah para responden telah menyelesaikan program pelatihannya.

Dari hasil kuisioner didapatkan 65% data didapatkan dari responden pria dan 35% didapatkan dari responden wanita. Dan hampir 40% dari responden berumur diantara 35-40 tahun. Data juga menunjukkan bahwa hampir 49% dari responden mempunyai masa kerja lebih dari 5 tahun. Dari kelima group, pembicara menempati urutan pertama 46,8%, diikuti dengan pembicara senior (19,1%), rekan professor (13,9%), asisten pembicara (13,1%), dan professor (6,9%).

Untuk meneliti mengenai proses penyebaran dan aplikasi dari program pelatihan, data difokuskan pada level 3 ( perubahan perilaku) dari Kirkpatrick's model (1994). perubahan perilaku dianalisa dengan membandingkan perubahan dalam perilaku yang diterima sebelum dan setelah selesai program pelatihan. Dan untuk kepentingan triangulasi data, responden diharapkan untuk menjawab 3 permasalahan pokok : kompetensi akademisi, bahan-bahan pengujian untuk supervisor, dan bahan pengujian untuk siswa.

Responden diharapkan untuk merespon dari 10 hal utama yang dijadikan sebagai indikator untuk menjelaskan tentang proses penyebaran pengetahuan yang berhubungan dengan proses pengajaran harian. 10 hal tersebut adalah :

1. Bertanya kepada rekan sejawat untuk ide-ide atau saran-saran 2. Mengimbangi perubahan pada proses perubahan di organisasi 3. Keterlibatan rekan sejawat dalam proses perubahan.

(49)

54

4. Keterlibatan dalam perubahan di unit kerja atau divisi

5. Keterlibatan dari rekan sejawat dalam proses belajar dan mengajar. 6. Keenganan dalam mengambil keputusan

7. Mengadakan rapat dalam group

8. Keyakinan dalam pengambilan keputusan

9. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah rencana menjadi aksi

10. Waktu yang dibutuhkan untuk merefleksikan konsekuensi dari pengambilan keputusan

2.17.1 Hasil dan kesimpulan

Hasil dari analisa statistik t-test didapatkan ada 3 dari 10 perilaku yang mempunyai faktor yang mempengaruhi hasil dari pelatihan dan penyebaran pengetahuan. Faktor-faktor tersebut adalah mengimbangi perubahan pada proses di organisasi, keterlibatan unit/ divisi dalam proses perubahan dan keyakinan dalam pengambilan keputusan.

Pada poin mengimbangi perubahan pada proses di organisasi, kebanyakan dari responden mengisi formulir tindak lanjut dari pelatihan dilakukan sesudah program AKEPT dibandingkan sebelum program AKEPT. Ternyata hasil dari pelatihan yang dilakukan oleh AKEPT dapat memberikan arahan yang lebih baik bagi peserta untuk melakukan pembandingan dan penyeimbangan dalam proses belajar mengajar mereka, untuk memastikan mereka selalu diperbaharui oleh perubahan praktek belajar mengajar terus menerus. Dalam kasus ini, guru yang produktif adalah guru yang mampu menciptakan lingkungan belajar untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa. Mereka dapat membuat iklim yang

(50)

55

kondusif dimana siswa dapat menikmati proses belajar dan mereka dapat menguasai apa yang harusnya mereka kuasai.

Untuk poin mengenai keterlibatan dalam perubahan unit atau divisi, peserta menyatakan bahwa mereka diberikan kesempatan yang lebih dalam perubahan yang dilakukan di dalam unit / divisi belajar mengajar mereka setelah berakhirnya program AKEPT. Bahkan persentase meningkat dari 38% ke 51% . Ini mungkin diakibatkan oleh pengakuan dari atasannya akan nilai dari pengetahuan dan keahlian yang didapatkan oleh partisipan dalam pelatihan. Dalam hal ini, penyebaran pengetahuan pada saat pelatihan dapat mempengaruhi perubahan dalam praktek belajar mengajar. Ini dapat dilakukan ketika guru mengenal diri mereka sendiri sebagai individual dan dapat beradaptasi dengan karakteristik unik dari setiap situasi dan konteks yang mereka ajarkan.

Untuk poin mengenai keyakinan dalam pengambilan keputusan, kebanyakan dari peserta menjawab bahwa keyakinan mereka meningkat setelah program AKEPT mereka ikuti. Dalam hal bertanya kepada rekan sejawat untuk ide atau saran, kebanyakan dari responden menjawab tidak ada perubahan dalam hal bertanya kepada rekan sejawat untuk ide atau saran.

Masalah Budaya adalah tantangan dalam inisiatif manajemen perubahan pada banyak perguruan tinggi dikarenakan banyak anggota dari fakultas merasa bahwa pengetahuan adalah hak milik dan sesuatu yang tidak dapat dibagikan secara bebas. Ini disebabkan karena rasa superioritas dari pengetahuan yang dirasakan dimiliki oleh peserta dibandingkan oleh peserta lainnya setelah menghadiri program yang menghambat mereka untuk berkonsultasi dengan peserta lainnya.

(51)

56

Pada poin keterlibatan dari rekan sejawat dalam proses belajar mengajar, data menyatakan bahwa kurang kolaborasi dan pembagian pengetahuan diantara pihak akademis. Kebanyakan dari peserta tidak berkonsultasi dengan rekan sejawat mereka setelah berakhirnya program AKEPT. Ini dapat disebabkan karena keyakinan yang peserta rasakan setelah mengikuti program yang membuat mereka merasa superior dalam hal pengetahuan dibandingkan dengan rekan sejawat mereka.

Pada poin memperbolehkan rekan sejawat terlibat dalam proses belajar mengajar. Kebanyakan dari peserta tidak melibatkan rekan sejawatnya dalam proses belajar mengajar. Kemungkinan ini dapat diakibatkan karena mereka merasa percaya diri setelah mengikuti program dan merasa superior dalam pengetahuan dibandingkan dengan rekan mereka.

Pada poin keengganan dalam membuat keputusan, kebanyakan dari peserta memprediksikan tinggi atau tidak berubah sebelum dan sesudah program AKEPT dilaksanakan. Hal ini mungkin dari keuntungan yang didapatkan dari pelatihan yang mempengaruhi mereka untuk tidak menunda-nunda dalam mengajar dan untuk berpartisipasi dalam aktifitas riset.

Untuk poin mengadakan rapat dalam group didapatkan hasil tidak berubah sebelum dan sesudah pelatihan AKEPT. Ini disebabkan bahwa akibat dari pelatihan yang membuat mereka menjadi pemimpin yang visioner yang membuat opini dikalangan mereka bahwa konsultasi dengan rekan sejawat adalah hal yang membuang waktu karena mereka dapat mengatasi masalah mereka sendiri.

Pada poin yang mengukur waktu yang dibutuhkan untuk mengubah rencana menjadi aksi, responden banyak yang menjawab bahwa mereka sekarang

(52)

57

menggunakan pendekatan yang lebih terencana pada pengambilan keputusan yang kemudian dibandingkan sebelum (45%) dan sesudah (48%) pelatihan AKEPT. Walaupun ini menunjukkan kenaikan yang sedikit, tetapi ini akan membentuk peserta agar lebih sistemasi dalam usaha belajar dan mengajar mereka.

Gambar

Tabel 2.1  pengembangan budaya organisasi (Debowski, 2006, p.96 – 97)  Proses  Strategi/ hal yang harus dilakukan
Gambar 2.1 Lokasi penyimpanan pengetahuan (Irma Becerra,2010,p33)
Gambar 2.2 Process KM (Irma Becerra, 2010, p57)
Gambar 2.3 Developing core knowledge framework (Debowski, 2006,  p.171-185)
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Rekomendasi pengembangan zona lindung diperuntukkan sebagai lokasi wisata, jenis wisata minat khusus, yaitu penelusuran lorong Gua Urang.. Ornamen gua pada daerah mulut

Dengan demikian, hipotesis alternatif diterima, secara bersama-sama antara Pengetahuan dan Pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan Perilaku Pedagang sayuran

Secara Keseluruhan Bukti Langsung, Empati, Kehandalan, Daya Tanggap, dan Kepastian terhadap Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Swasta di Bandung berada pada kategori

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode pembelajaran berbasis joyfull learning dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas IV

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa

Di njau dari manajemen satuan pendidikan, maka penyusunan model inspirasi diversifi kasi kurikulum esensi dan muaranya adalah terwujudnya Kurikulum ngkat satuan

Pengamatan aktivitas siswa dilakukan oleh guru kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Observer duduk di belakang siswa dan mengamati aktivitas siswa sampai