• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. fungsional, (3) fungsi bahasa adalah membuat makna- makna, (4) bahasa adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. fungsional, (3) fungsi bahasa adalah membuat makna- makna, (4) bahasa adalah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini meneliti teks terjemahan buku bilingual yang berupa wacana sains untuk mengdentifikasi jenis metafora gramatikal dan keakuratan terjemahan. Menurut TLSF, dalam menganalisis wacana ada lima pokok pikiran yang menjadi dasar atau kerangka kerja yaitu: (1) bahasa adalah sistem, (2) bahasa adalah fungsional, (3) fungsi bahasa adalah membuat makna- makna, (4) bahasa adalah semiotik sosial, dan (5) penggunaan bahasa adalah kontekstual.

TLSF juga berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial. Pada dasarnya, wacana dan teks berada diranah yang berbeda. Wacana berada diranah sosial sedangkan teks ada diranah linguistik. Tetapi walaupun terpisah ranah, wacana dan teks merupakan satu realisasi karena wacana mendapat ekspresinya di dalam teks.

Halliday berpendapat (1994: xvii) bahwa tidak ada kajian bahasa yang bebas dari nilai atau anggapan dasar. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dalam perpektif linguistik fungsional sistemik (LSF), bahasa merupakan sistem arti dan sistem lainnya yaitu sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan arti tersebut. Menurutnya teks adalah sebagai kumpulan makna yang diungkapkan atau dikodekan dalam kata- kata dan struktur.

Halliday dan Hasan (1976:1) juga sependapat memaknai teks adalah unit dari penggunaan bahasa, bukan unit gramatika seperti klausa dan kalimat dan bukan didefenisikan mengikuti ukuran. Menurut pendapat mereka teks juga dapat memperlihatkan sejenis kesatuan atau tekstur yang memberikan kemampuan

(2)

kepada teks itu sendiri agar dapat diperhatikan secara sosial sebagai sesuatu yang utuh. Teks mempunyai unit bermakna yang menjadi sumber pembuat makna dan mengandung kualitas suara untuk teks lisan atau naskah teks tulis.

Sementara itu, Machali (2009:34) berpendapat bahwa teks adalah perwujudan suatu bahasa dan bahasa itu sendiri hakikatnya adalah unsur kebudayaan, jadi membahas teks terjemahan tidak terlepas hubungannya dengan kebudayaan. Selain teks, wacana juga dianalisis menggunakan pendekatan sistemik fungsional yang dipelopori oleh Halliday.

Pendekatan sistemik fungsional memandang bahwa analisis wacana sebagai satu unit makna yang menjadi objek kajian. Konstribusinya terhadap pemahaman teks menunjukkan bahwa analisis linguistik mampu membuktikan bagaimana dan mengapa sebuah teks mempunyai arti seperti yang dikandungnya. Dalam prosesnya, analisis wacana juga mampu memperlihatkan makna yang beragam, alternatif, ambiguitas, metafora dan yang lainnya.

Berbicara tentang metafora dalam analisis suatu wacana maka dalam bidang linguistik dikenal dua jenis metafora yaitu metafora leksikal dan metafora gramatikal. Menurut Halliday (1985:320), metafora leksikal merupakan variasi dalam penggunaan kata, yakni makna yang direalisasikan dari kata yang dipilih berbeda dengan makna lazim. Sedangkan metafora gramatikal adalah merupakan variasi realisasi makna melalui bentuk lexico-grammar yang pada dasarnya digunakan untuk merealisasikan makna yang berbeda. (Halliday, 1994:341). Realisasi makna tersebut dapat dinyatakan metafora apabila dikaitkan dengan cara yang berbeda dalam merealisasikan makna yang sama dan lebih lazim. Halliday (1994:XVII) juga berpendapat bahwa hubungan antara makna dan kata bukanlah

(3)

hubungan yang arbriter, maksudnya bentuk-bentuk gramatikal berkaitan secara alamiah dengan makna kata yang dikodekan.

Dalam penelitian ini, teori LSF yang digunakan dalam menganalisis metafora gramatikal dikaitkan dengan teori penerjemahan karena sumber data adalah buku bilingual. Teori penerjemahan bertolak dari adanya teks penerjemahan yaitu pengalihan pesan yang terdapat dalam teks bahasa lain. Ada dua jenis teori penerjemahan yaitu: (a) Teori yang bertujuan mendukung praktik penerjemahan dan (b) Teori yang berorientasi pada penelitian tentang penerjemahan.

Kajian dalam penerjemahan dipelopori oleh Newmark (1988) yang mendefinisikan terjemahan sebagai berikut: “Translation is the superordinate

term for converting the meaning of any source language utterance to the target language”. Maksud dari definisi tersebut adalah bahwa didalam penerjemahan

terjadi suatu proses konversi makna ujaran dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran. Selanjutnya dalam melakukan proses penerjemahan, Newmark (1988:5) menjelaskan bahwa teks adalah sesuatu yang memiliki dinamika dan bukan sekedar sesuatu yang statis.

Selaras dengan pendapat diatas, Catford (1965:20) juga menyatakan bahwa translation is the replacement of textual material in one language (SL) by

equivalent textual material in another language (TL). Pemahaman dari definisi

tersebut adalah bahwa suatu penerjemahan merupakan proses pertukaran atau pengalihan suatu teks dari bahasa sumber dengan mencari kesepadanan terdekat ke dalam bahasa sasaran.

Senada dengan Catford, menurut Munday pengertian dari penerjemahan ini adalah As changing of an original verbal language into a written text in a

(4)

different verbal language (Munday:2001:5). Maksud dari teks tersebut adalah

bahwa terjemahan merupakan pertukaran bahasa lisan yang original kedalam teks tertulis dalam sebuah bahasa lisan yang berbeda.

Sementara itu, Larson (1984) berpendapat bahwa translation consists of

transferring the meaning of source language to the receptor language. This done by going from the first language to the second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must held constant. Only the form change. Maksudnya adalah penerjemahan merupakan suatu proses

pentransferan makna dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran berdasarkan struktur semantik.

Nida and Taber (1969) juga menuturkan bahwa, ”translating consists in

reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.”

Maksudnya, menerjemahkan adalah suatu usaha untuk memproduksi kembali makna pesan yang terdapat didalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan mencari kesepadan makna yang natural dan terdekat dari segi bahasa dan segi gayanya.

Menurut Nida dan Taber (1969:12) translasi harus menghasilkan padanan

(equivalence) sedekat mungkin antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Kesepadanan itu mencakup unsur linguistik dan non linguistik dan terdiri dari empat tipe kesepadanan (equivalence).

Keempat tipe itu adalah: 1) linguistic equivalence yaitu padanan pada tataran linguistik antara BSu dan Bsa, karena setiap bahasa memiliki ciri kebahasaan masing-masing, contohnya adalah penerjemahan kata demi kata. 2)

(5)

paradigmatic equivalence yaitu kesepadanan pada tataran grammatikal.

Kesepadanan ini lebih melihat hubungan antarunsur dalam suatu kalimat dan mengatakan kesepadanan diatas tataran leksikal. 3) stylistic equivalence yaitu kesepadana gaya bahasa antara bahasa sumber dan bahasa sasaran; dan 4) Textual

equivalence yaitu kesepadanan pada tataran tekstual.

Kesimpulan dari hal di atas adalah bahwa hasil terjemahan harus mempunyai equivalensi terhadap aspek-aspek linguistik, fungsi, gaya bahasa, makna dan struktur teks. Terjemahan yang ideal adalah: 1) terjemahan yang akurat, maksudnya terjemahan tersebut tepat, tidak menyimpang, tidak mengurangi dan tidak menambah makna yang tidak diperlukan. 2) Penerjemahan itu juga terbaca (readibility), maksudnya adalah hasil terjemahan tersebut mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca. Terakhir 3) terjemahan itu berterima. Maksudnya adalah terjemahan itu dapat diterima oleh pembaca menurut budaya dan bahasa sasaran yang digunakan sipembaca.

Sementara itu, Larson (1984) berpendapat bahwa translation consists of

transferring the meaning of source language to the receptor language. This done by going from the first language to the second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must held constant. Only the form change. Maksudnya adalah penerjemahan merupakan suatu proses

pentransferan makna dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran berdasarkan struktur semantik.

Sehubungan dengan itu, Larson mendefenisikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga hal, yaitu: (1) dengan mempelajari leksikon, struktur grammatikal, situasi komunikasi

(6)

dan konteks budaya dari teks bahasa sumber. (2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya. (3) mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan yang leksikon dan struktur grammatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran.

Larson juga mengatakan bahwa ketika seorang penerjemah melakukan proses penerjemahan pada suatu teks maka tujuannya adalah untuk mencapai translasi idiomatik dan berusaha memadankan makna teks yang ada dalam bahasa sumber ke dalam bentuk yang lebih alami pada bahasa sasarannya. (1984:17).

Dengan kata lain proses penerjemahan merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis guna menemukan makna sepadan dan berusaha untuk mengkomunikasikan makna teks dari bahasa sumber ke dalam bentuk alami suatui bahasa sasaran sehingga terciptalah hasil terjemahan yang baik dan benar.

Larson (1984:4) secara sederhana menampilkan figura proses penerjemahan sebagai berikut:

SOURCE LANGUAGE RECEPTOR LANGUAGE

Text to be translated Translation

Re-express the meaning Discover the meaning

(7)

Sementara itu, dalam artikelnya “On Linguistic Aspect of Translation” Jakobson membagi translasi atas tiga jenis (Munday: 2012) yaitu:

a. Intralingual Translation (Translasi Intralingual) adalah interpretasi tanda verbal dengan menggunakan tanda lain dalam bahasa yang sama

b. Interlingual Translation (Translasi Interlingual) adalah interpretasi tanda verbal dengan melibatkan dua bahasa yang berbeda.

c. Intersemiotic Translation (Translasi Intersemiotik) adalah interpretasi tanda verbal dengan tanda dalam sistem tanda non-verbal

Hatim dan Munday berpendapat bahwa dalam penerjemahan, teks yang diterjemahkan mengalami perbedaan pada konsep atau kondisi yang berbeda-beda baik dari jenis maupun bentuk-bentuk tulisannya yang kurang terstruktur. Disini penerjemah harus menghadapi keadaan tersebut dan berusaha untuk mengatasi semua masalah yang dapat memperlambat proses penerjemahan.

Jadi penerjemah harus menyelaraskan kode bahasa, nilai budaya, dunia dan persepsi tentang dunia tersebut, gaya estetika dan sebagainya. Penerjemahan juga mengandung makna sebagai suatu usaha penulisan ulang yang telah dituliskan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang ditulis dalam suatu bahasa kedalam bahasa lainnya.

Semua pendapat-pendapat para ahli diatas menegaskan dan menyakini bahwa dalam proses penerjemahan sangat diperlukan penguasaan kosa kata dari dua bahasa atau lebih, agar makna kata yang pada bahasa sumber dapat ditemukan padanan katanya dengan mudah dalam bahasa sasaran.

(8)

2.2 Kerangka Teori

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua teori dalam menganalisis data. Teori-teori tersebut adalah teori LSF dan teori penerjemahan. Teori LSF digunakan untuk menemukan jawaban rumusan masalah yang pertama, bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis metafora gramatikal apa saja yang terdapat pada buku Biologi bilingual tingkat SMA kelas XI. Adapun teori penerjemahan digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang kedua dan tujuannya adalah untuk mendeskripsikan kualitas terjemahan dari sisi keakuratan berdasarkan ketepatan terjemahan dari teks terjemahan dari buku tersebut.

2.2.1 Teori Linguistik Sistemik Fungsional (TLSF)

Penelitian ini dilakukan dengan merujuk pada TLSF dalam mengidentifkasi jenis-jenis metafora gramatikal.. TLSF adalah teori bahasa yang bertitik tolak pada fungsi bahasa. Penelitian fokus pada tataran gramatikal khususnya metafora gramatikal pada buku bilingual. Metafora gramatikal merupakan suatu fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam mengungkapkan pengalaman nyata.

TLSF pertama sekali diperkenalkan oleh Profesor M.A.K Halliday dari Universitas Sydney, Australia. Teori ini merupakan gabungan dari teori Antropologi Malinowski dan Linguist J.R Firth di Eropa. Halliday menggabungkan dua teori tersebut serta mengembangkannya kedalam bahasa dan konteks. Menurutnya bahasa adalah sistem arti, sistem bentuk juga ekspresi dan memandang bahasa sebagai sumber untuk mengungkapkan makna.

Dalam aplikasi teorinya terhadap linguistik, LSF mempunyai tujuan--tujuan sebagai berikut: 1) untuk memahami sifat-sifat dan fungsi-fungsi bahasa

(9)

serta memahami kesamaan aspek-aspek sekaligus perbedaan-perbedaan yang dimiliki semua bahasa. 2) untuk memahami kualitas sebuah teks. Maksudnya adalah memahami mengapa teks tersebut bermakna dan dinilai demikian. 3) untuk memahami variasi bahasa menurut pengguna dan fungsinya. 4) untuk memahami hubungan bahasa dengan budaya juga bahasa dengan situasi. 5) untuk menciptakan sistem-sistem. 6) untuk menghasilkan dan memahami ujaran dan memindahkan antara teks tulisan dan lisan.

Pada dasarnya, bahasa memiliki tiga metafungsi yang menentukan struktur bahasa. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi, para pemakai bahasa selalu menggunakan bahasa antar sesamanya guna untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman. Alasan dari pernyataan di atas adalah karena dalam kehidupan manusia, bahasa berfungsi untuk memaparkan pengalaman (ideational function), mempertukarkan pengalaman (interpersonal function) dan terakhir untuk merangkai pengalaman (textual function). Ketiga fungsi ini dinamakan metafungsi bahasa dan pengalaman metafora terdapat pada ketiga metafungsi bahasa ini.

Sumber ideasional berhubungan dengan pemahaman dari pengalaman, seperti apa yang terjadi apa yang telah dilakukan seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara yang satu dengan yang lain. Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa sebagai wahana dalam memaparkan pengalaman dan menghubungkan satu pengalaman dengan pengalaman lain. Sumber interpersonal membahas tentang hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi dan bagaimana perasaan saling berbagi antara mereka. Fungsi interpersonal adalah fungsi bahasa sebagai alat mempertukar

(10)

pengalaman. Dan terakhir, sumber tekstual membahas tentang alir informasi. Fungsi tekstual adalah fungsi bahasa sebagai wahana pembentuk teks.

Penjelasan lebih lanjut tentang metafungsi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:

a. Fungsi ideasional

Fungsi ideasional adalah suatu bentuk refleksi atau perepresentasian bahasa yang digunakan oleh penuturnya, dimana penuturnya tersebut berfungsi sebagai pemerhati realitas dan menerangkan sifat realitas. Hal ini terjadi pada tingkat klausa guna merepresentasikan pengalaman manusia baik dari luar maupun dari dalam diri manusia tersebut. Fungsi ini mencakup fungsi eksperensial dan fungsi logis.

Perealisasian tersebut dilakukan melalui tiga unsur yaitu proses, partisipan dan sirkumstan. Proses juga diklasifikasikan kedalam tiga hal yaitu proses material, mental dan relasional. Lalu proses ini dikembangkan lagi ke dalam proses tingkah laku, proses verbal dan proses wujud. Partisipan adalah orang atau benda yang terlibat didalam proses. Partisipan itu sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu partisipan yang melakukan proses dan partisipan yang dikenakan proses. Sedangkan sirkumstan adalah lingkungan tempat proses berlangsung dengan melibatkan partisipan.

b. Fungsi interpersonal

Fungsi interpersonal adalah sebuah fungsi dimana bahasa digunakan sebagai alat untuk memberi dan menerima perintah ataupun kegiatan sedangkan penuturnya menyelinapkan realita tetapi menerangkan tentang tafsiran intersubjektif realita. Fungsi ini juga mempunyai makna antarpersona yang

(11)

menunjukkan tindakkan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Disamping itu, makna ini juga merupakan aksi yang sering dilakukan pemakai bahasa dalam bertukar pengalaman. Dengan kata lain, makna antarpersona adalah makna yang wujud dalam pertukaran pengalaman.

c. Fungsi Tekstual

Fungsi tekstual adalah sebuah fungsi yang menjadikan bahasa sebagai pesan ataupun relevansi. Dalam fungsi ini, penutur menerjemahkan realita semiotik dengan cara menghubungkan realitas dengan konteks yang akan dibuat maknanya. Fungsi ini merupakan interpretasi bahasa yang berfungsi sebagai pesan dalam proses pembentukkan teks dalam bahasa. Hal ini diinterpretasikan sebagai fungsi intrinsik dari bahasa itu sendiri yang berkaitan dengan aspek situasional. Fungsi ini juga memberikan kemampuan kepada seseorang dalam membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual.

Bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan. Penyampaian itu dilakukan secara berpola dan harus disusun dengan baik. Jadi, penggunaan bahasa ini berfungsi untuk merangkai pengalaman. Rangkaian ini akan membentuk hubungan antara sebuah unit pengalaman pada experiential dan interpersonal

meaning yang relevan pada pengalaman yang telah atau akan disampaikan

sebelum dan sesudahnya. Fungsi inilah yang disebut dengan fungsi tekstual, dimana tugasnya membentuk kerelevanan antara satu pengalaman dengan pengalaman lain.

Jadi dengan kata lain, fungsi tekstual adalah fungsi bahasa dalam merangkai pengalaman. Fungsi ini menentukan pengalaman mana yang sudah disampaikan sesudah suatu pengalaman disampaikan.

(12)

TLSF berpandangan bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial, bahasa adalah fungsional, fungsi bahasa adalah membuat makna-makna dan penggunaan bahasa adalah kontekstual. Pandangan ini digunakan peneliti dalam merealisasikan metafora dalam teks terjemahan buku biologi bilingual.

Teori sistemik bahasa melihat bahasa sebagai sistem semiotik sosial yang berarti bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti-arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut.

Teori sistemik juga memandang bahasa sebagai fenomena sosial, artinya bahasa merupakan sebuah alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing) sesuatu. Fokus terhadap hubungan bahasa dengan konteks karena pemahaman makna yang diucapkan atau dituliskan orang lain perlu dimengerti jika bahasa dan konteks saling dikonstrual. Pandangan bahasa adalah fungsional berlaku pada teks karena secara teknis berkaitan dengan fungsi tata bahasa..

Setiap ujaran yang dihasilkan oleh penutur suatu bahasa dalam sebuah teks tidak terlepas dari penggunaan metafora, tidak terkecuali pada teks buku bilingual. Hal ini berkaitan dengan pendapat Halliday (1994:342) yang menyatakan bahwa metafora gramatikal adalah merupakan ciri-ciri bahasa orang dewasa, yang dalam arti lain hanya orang dewasa yang mampu memahami dan merealisasikan pengalamannya dalam bentuk metafora.

2.2.2 Metafora Gramatikal

Jenis metafora ini sering juga disebut sebagai metafora tata bahasa. Pengertian metafora gramatikal adalah perealisasian aspek-aspek tata bahasa lazim yang biasa digunakan untuk suatu pengalaman tertentu, direalisasikan

(13)

kedalam pengalaman lain dengan bentuk yang tidak lazim. (Saragih, 2006:193-194).

Metafora gramatikal dalam hal ini adalah merupakan fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam mengungkapkan pengalaman nyata atau dengan kalimat lain, makna bahasa yang direalisasikan dengan pilihan leksikogramatika tidak lazim.

Contoh data pada bentuk lazim dan metafora gramatikal: a. Dinding sel endodermis tumbuh. (lazim)

b. Dinding sel endodermis mengalami pertumbuhan. (metafora gramatikal)

Klausa b dikatakan tidak lazim karena pada klausa tersebut terjadi pergeseran struktur gramatikal yang pada klausa a, kata tumbuh yang awalnya berfungsi sebagai proses material dimetaforakan sehingga pada klausa b kata tumbuh berubah fungsi menjadi proses mental karena hadirnya kata mengalami diikuti dengan kata pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh adanya proses metafora yang menganggap dinding sel seperti layaknya manusia yang bisa terkena proses mental. Proses mental itu sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia.

Terdapat dua cakupan metafora gramatikal (Saragih, 2006:194) yang meliputi hal-hal di bawah ini, yaitu:

A. relokasi realisasi makna yang lazim kedalam aspek tata bahasa yang lain dalam peringkat yang sama. Misalnya aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses direalisasikan menjadi nomina atau dengan kata lain realisasi yang lazim dikodekan dalam beberapa kata disampaikan dalam satu kata saja.

(14)

B. relokasi realisasi makna yang lazim pada satu peringkat dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan pengalaman) atau lebih tinggi (seperti pada metafora pertukaran pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dengan klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa.

Metafora gramatikal pertama sekali diusulkan oleh Halliday yang memperlakukan metafora ini sebagai suatu komponen penting dalam TLSF dan memberikan konstribusi yang yang signifikan terhadap kajian metafora ini. Metafora ini adalah cabang dari kajian retorika yang di masa lalu digunakan sebagai alat untuk menentukan bahasa yang tidak hanya sekedar mengkaji pemahaman tentang metafora tetapi juga melibatkan bidang semantik, pragmatik dan linguistik kognitif.

2.2.2.1 Jenis-Jenis Metafora Gramatikal

Menurut Halliday ada dua jenis metafora gramatikal pada klausa yaitu metafora mood dan metafora transitivitas. (Halliday,1994:343). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam istilah model fungsi semantik, metafora ini dibagi menjadi metafora interpersonal dan metafora ideasional. Metafora ideasional berhubungan erat dengan sistem transitivitas (eksperiensial) yang membuat kita dapat memahami dan memaknai seputar pengalaman menjadi sebuah rangkaian yang dibatasi oleh tipe proses (material, mental, relasional, tingkah laku, verba dan eksistensi).

Metafora gramatikal dalam kajian ini dibedakan atas beberapa jenis. Di antaranya adalah (1) metafora eksperiensial (metafora pemaparan pengalaman),

(15)

(2) metafora interpersonal (metafora pertukaran pengalaman), dan (3) metafora tekstual (metafora pengorganisasian pengalaman).

A. Metafora Eksperiensial

Metafora gramatikal memberikan pengertian bahwa realisasi yang lazim dari suatu pengalaman eksperiensial tertentu yang direalisasikan dengan struktur bahasa lain atau tidak lazim disebut dengan metafora eksperiensial.

Dengan kata lain, metafora eksperiensial adalah suatu pengalaman lazim yang dikodekan oleh suatu aspek, struktur, atau unit tata bahasa atau leksikogramar, direalisasikan dengan aspek, struktur atau unit tata bahasa lainnya yang tidak lazim. Metafora jenis ini mencakup (1) relokasi realisasi pengalaman, (2) relokasi proses dan (3) relokasi peringkat pengodean pengalaman dari klausa menjadi grup atau frase.

1) Relokasi pengalaman terjadi jika pengodean dan perealisasian pengalaman tersebut dilakukan dengan cara yang kurang lazim. Karena biasanya Benda direalisasikan oleh partisipan atau nomina, kegiatan atau aktivitas oleh proses atau verba, sifat oleh adjektiva dan hubungan oleh konjungsi. Jika perealisasian dari semua hal tersebut tidak semestinya maka perelisasian yang tidak lazim tersebut disebut dengan metafora pengalaman. Contohnya:

a. Sel-sel yang berkumpul dan mempunyai fungsi atau bentuk yang sama disebut jaringan. (lazim)

b. Kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama disebut jaringan. (metafora gramatikal)

Contoh teks dalam klausa (a) adalah lazim, karena makna pada kata berkumpul semula dikodekan dengan lazim yaitu dengan proses material,

(16)

sedangkan contoh teks klausa (b) adalah metafora karena perealisasian yang lazim dikodekan dengan kata benda (nomina) menjadi kumpulan.

2) Relokasi proses, hal ini terjadi jika pengodean dari semua jenis proses seperti proses material, mental, relasional, tingkah laku, verbal dan wujud tidak terealisasi dengan lazim. Ketidak laziman inilah yang disebut dengan metafora proses.

Contohnya:

a. Dinding sel endodermis tumbuh. (lazim)

b. Dinding sel endodermis mengalami pertumbuhan. (metafora)

Contoh klausa (a) adalah lazim., kata tumbuh adalah proses material sedangkan klausa (b) adalah metafora karena umumnya hanya manusia yang terbiasa melakukan proses mental seperti kata mengalami walaupun selain manusia benda mati juga dapat melakukannya.

3) Relokasi peringkat pengodean pengalaman dalam peringkat tertentu dikodekan keperingkat tata bahasa lain yang lebih rendah atau lebih tinggi. Penurunan peringkat pengodean ini dikelompokkan atas dua bagian, yakni penurunan klausa menjadi grup dan penurunan grup atau frase menjadi kata. Contoh penurunan klausa menjadi grup:

a. Pengangkutan air dan pengangkutan garam tanah dibawa melalui lubang-lubang ujung sel(Lazim)

b. Pengangkutan air dan garam tanah melalui lubang-lubang ujung sel. (Metafora gramatikal)

Pada klausa bagian (a) menunjukkan pengalaman yang dikodekan pada tingkat lazim, dimana grup atau frase mengkodekan unsur pengalaman yang

(17)

merupakan bahagian dari klausa. Sedangkan klausa bagian (b) merupakan klausa yang diturunkan ke peringkat grup atau frase, yakni bagian dari klausa. Kesimpulannya adalah dua klausa yang awalnya berdiri sendiri, dikodekan dan disatukan ke dalam satu klausa. Hal ini disebut dengan nominalisasi atau pemadatan makna dan penurunan status.

Contoh penurunan grup atau frase menjadi kata:

a. Bulu akar ini akan membuat permukaan akar menjadi luas. (Lazim) b. Bulu akar ini akan memperluas permukaan akar. (Metafora gramatikal)

Kata memperluas pada klausa b adalah penurunan status. Makna awal yang dikodekan oleh sejumlah kata (grup atau frase) yaitu kata membuat + menjadi luas dkodekan berubah menjadi satu kata saja yaitu kata memperluas. B. Metafora Interpersonal

Metafora interpersonal dikodekan oleh berbagai aspek bahasa seperti modus, modalitas dan vokatif. Hal ini terjadi akibat perealisasian makna dalam pertukaran pengalaman dikodekan dengan cara yang tidak lazim.

1. Metafora modus

Metafora modus adalah metafora yang realisasinya dikodekan atas berubahnya pengodean modus tersebut di dalam konteks sosial.

Contohnya:

a. Bu, lihat buku adek? b. Lihat di laci kecil itu.

Teks ini masih lazim. Tetapi jika teksnya demikian : a. Bu, lihat buku adek?

(18)

2. Metafora modalitas

Metafora ini direalisasikan oleh unsur leksikal seperti kata pasti, mungkin,

sering, biasa atau harus untuk menyatakan sikap, opini dan komentar. Biasanya

modalitas ini erat kaitannya dengan klausa. Jika metafora itu direalisasikan oleh klausa sendiri sehingga terbentuk klausa kompleks, maka pengodean ini disebut metafora.

Contohnya:

a Saya pasti hadir dipesta anda.

b saya yakin saya akan hadir dipesta anda. 3. Metafora vokatif

Metafora vokatif adalah perealisasian makna yang mencakup nama atau cara memanggil nama mitra tutur atau lawan bicara. Cara tersebut menunjukkan derajat pada konteks sosial makna interpersonal seperti status (sama atau tidak sama), sikap afektif (suka atau tidak suka) dan hubungan (sering, akrab atau biasa saja).

Contoh :

a. Ada kamu melihat Amir? Hal ini adalah pengodean yang lazim. Tetapi jika disebutkan demikian:

b. Ada kamu melihat si Amir sohib karibku? Hal ini disebut metafora vokatif.

C. Metafora Tekstual

Metafora jenis yang terakhir adalah metafora tekstual. Metafora ini lazimnya terealsasi oleh unsur tata bahasa seperti tema, rema dan kohesi. Metafora ini terjadi pada relokasi makna kata menjadi frase atau konjungsi ke sirkumtans. Salah satu contoh dari keduanya adalah:

(19)

a. Mira membeli mobil. Dia sudah bertahun-tahun menabung untuk membelinya. Sekarang dia punya mobil baru, bagus dan mewah seperti yang diidam- idamkannya. Ini adalah contoh teks yang lazim.

b. Mira membeli mobil. Dia sudah bertahun- tahun menabung. Sekarang wanita dermawan itu sudah memiliki mobil baru, bagus dan mewah seperti yang diidam- idamkannya. Sedangkan teks kedua ini adalah metafora rujukkan dimana ‘dia’ sebagai kata direlokasikan ke dalam grup yaitu wanita dermawan.

2.2.2.2 Keterkaitan Metafora Dalam Penerjemahan

Metafora sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari untuk memperkenalkan konsep baru dalam penawaran makna yang lebih tepat. Namun ungkapan ini lebih sering digunakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi. Selain untuk memperkenalkan sebuah fenomena baru dalam berkomunikasi, metafora digunakan untuk mengungkap makna secara singkat dan padat serta sekaligus menghadirkan efek puitis dalam sebuah karya sastra.

Walaupun demikian, ternyata metafora tidak hanya berperan sebagai media komunikasi didalam karya sastra yang didominasi oleh metafora leksikal saja. Metafora juga mempunyai peran penting dalam menentukan fungsi sebuah kelas kata yang teridentifikasi melalui perubahan-perubahan susunan struktur gramatikal sebuah kalimat atau klausa didalam teks sebuah wacana. Metafora ini sering disebut dengan metafora gramatikal. Terkait hubungan antara metafora gramatikal dengan penerjemahan, diketahui bahwa perubahan-perubahan fungsi kelas kata tersebut sangat berpengaruh pada kualitas terjemahan khususnya keakuratan.

(20)

Menurut Newmark (1998: 104), masalah utama dalam penerjemahan secara umum adalah pemilihan metode penerjemahan bagi sebuah teks, sedangkan masalah penerjemahan yang paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora. Sebagai akibat dari kesulitan itu, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut. Beberapa pakar penerjemahan berpendapat bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan, tetapi disisi lain juga tidak sedikit para ahli penerjemahan yang menganggap bahwa metafora adalah bagian dari bahasa dan dapat diterjemahkan.

Newmark adalah salah satu pakar penerjemahan yang mempercayai bahwa metafora dapat diterjemahkan menggunakan strategi penerjemahan. Menurut Newmark (1981: 88-91), secara garis besar, penerjemahan metafora dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama adalah dengan cara mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan terlebih dahulu dan langkah kedua adalah menentukan prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora tersebut ke dalam BSu.

Selanjutnya menurut Dagut (1987: 24), ada tiga hal yang menyebabkan metafora itu sulit untuk diterjemahkan. Ketiga hal tersebut adalah 1) metafora dalam BSu adalah merupakan unsur semantik yang baru sehingga BSa tidak memiliki persediaan padanan untuk metafora tersebut, 2) metafora merupakan bagian dari sebuah bahasa dan semua bahasa pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dari budaya, akibatnya hampir semua metafora sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya. Kesimpulannya adalah bahwa metafora hanya dapat dipahami jika nilai-nilai budaya yang terkait dengannnya sudah dipahami terlebih dahulu. 3) metafora merupakan media untuk mengungkap makna secara kreatif,

(21)

singkat, dan padat. Oleh karenanya, agar seorang penerjemah mampu menerjemahkan metafora dengan mudah maka penerjemah tersebut harus mampu menulis dengan penuh kreatifitas.

Sementara itu, Larson (1998: 275-276) mempunyai pendapat yang berbeda dengan Dagut. Menurut Larson (didalam karya ilmiah Parlindungan Pardede), ada enam hal yang menyebabkan metafora sulit untuk dipahami dan diterjemahkan. Keenam hal tersebut adalah 1) citra yang digunakan dalam metafora mungkin saja tidak lazim dalam BSa. 2) topik metafora tidak selalu dinyatakan dengan jelas. 3) titik kesamaan kadang-kadang implisit sehingga sulit diidentifikasi atau mengakibatkan pemahaman yang berbeda bagi penutur bahasa lain. 4) perbedaan antara budaya BSu dan BSa dapat membuat penafsiran yang berbeda terhadap titik kesamaan. 5) BSa mungkin tidak membuat perbandingan seperti yang terdapat pada metafora TSu, 6) setiap bahasa memiliki perbedaan dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.

Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa metafora memiliki keunikan dalam penerjemahan sehingga keunikannya tersebut membuat pandangan para ahli terhadap penerjemahan majas ini cukup beragam. Keunikan metafora ini bermakna bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa secara langsung, penerjemah harus menemukan padanan kata yang tepat untuk mengalihkannya ke dalam Bsa sesuai dengan pemahaman dan kebudayaan penuturnya. Berdasarkan prosedur dan strategi yang ada, terlihat bahwa keunikannya membuat penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan pemilahan elemen-elemen yang ada dan analisis terhadap unsur-unsur itu untuk

(22)

memperoleh pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun internal lainnya.

2.2.3 Teori Penerjemahan

Pengertian terjemahan itu sendiri adalah suatu kegiatan yang mengkaitkan hubungan dua bahasa atau lebih, yang kemudian didalam prosesnya terjadilah pergantian makna dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan memunculkan keakuratan dalam pesan, keterbacaan dan keberterimaan. Hasil terjemahan yang baik adalah terjemahan tersebut tidak menyimpang, tidak menghilangkan ataupun menambahkan makna yang tidak perlu berdasarkan teks sumbernya.

Penerjemahan adalah ilmu interdisipliner, yakni ilmu yang membutuhkan ilmu pengetahuan lain untuk dapat mendukungnya dalam proses menerjemahkan suatu teks. Kemampuan penerjemah dalam menentukan padanan yang tepat kedalam dua bahasa, baik dalam bahasa sumber maupun kedalam bahasa sasaran adalah salah satu hal yang harus di miliki setiap penerjemah.

Penerjemah juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yang relevan dengan teks yang akan diterjemahkan. Hal ini menjadi suatu ketentuan supaya mereka tidak hanya sekedar mengalihkan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara akurat dan sesuai kaidah bahasa sasaran saja, tetapi juga berusaha menemukan padanan makna kata yang berterima dan benar- benar memiliki makna yang relasional.

Penerjemahan juga merupakan suatu proses pengambilan keputusan dalam peristiwa komunikasi interlingual dipahami sebagai proses pemecahan masalah padanan, baik pada tataran mikro dan makro, yang dilandasi dan sangat

(23)

dipengaruhi sistem nilai dan sudut pandang penerjemah. Dengan kata lain, pemilihan metode penerjemahan dan teknik penerjemahan tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang dianut penerjemah. Ketiga hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kualitas terjemahan.

Untuk memperoleh hasil terjemahan yang ideal, menurut Larson (1984:6) maka terjemahan tersebut harus 1) menggunakan bahasa sasaran yang wajar, 2) menyampaikan makna yang sama dari penutur bahasa sumber sehingga mudah dimengerti oleh penutur bahasa sasaran, 3) berusaha mempertahankan dinamika bahasa sumber sehingga makna tersampaikan dan direspon dengan baik oleh penutur bahasa sasaran.

Seorang penerjemah juga harus berkualitas dalam segala hal yang berkaitan dengan penerjemahan, agar hasil terjemahannya juga berkualitas. Hal ini berkaitan dengan ketepatan translasi dan tingkat kewajaran dari sebuah teks. Tujuannya agar produk terjemahan itu akurat dan berterima oleh pembaca.

Selanjutnya, Larson di dalam choliluddin (2005:22) mengklasifikasikan terjemahan menjadi dua tipe, yaitu terjemahan yang berdasarkan bentuk dan tejemahan berdasarkan makna. Terjemahanyang berdasarkan bentuk lebih mengikuti bentuk dasar dari bahasa sumber, sedangkan yang berdasarkan makna lebih membicarakan tentang makna teks bahasa sumber kedalam bahasa sasaran secara alamiah.

2.2.4 Keakuratan Pada Terjemahan

Kualitas terjemahan diibaratkan seperti tiga sisi yang saling berhubungan. Sisi pertama adalah sisi keakuratan dalam pengalihan pesan. Sisi yang kedua adalah sisi tingkat keberterimaan terjemahan dan sisi yang ketiga adalah sisi

(24)

tingkat keterbacaan dari terjemahan. Keutuhan dari suatu kualitas terjemahan dapat dilihat dari ketiga sisi tersebut.

Terkadang kita menemukan terjemahan yang isi atau pesan yang terkandung pada T2 sesuai dengan isi atau pesan yang terkandung pada T1, tetapi cara mengungkapkan isi atau pesan tersebut tidak sesuai dengan kaidah atau norma budaya yang berlaku pada Bsa. Dan terkadang ada juga suatu terjemahan yang dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Bsa, tetapi tingkat keakuratan pesannya rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil terjemahan dapat berupa terjemahan akurat, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat.

Suatu terjemahan dapat dikatakan akurat jika terjemahan tersebut tidak mengalami distorsi makna. Maksudnya adalah makna kata, frasa, klausa dan kalimat yang ada di bahasa sumber dalihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Kesimpulannya adalah jika suatu terjemahan diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran tanpa ada penambahan ataupun penghilangan informasi yang tidak sesuai dengan teks sumbernya, maka terjemahan yang dihasilkan adalah terjemahan yang akurat.

Sedangkan jika di dalam suatu terjemahan ditemukan makna kata, istilah teknis, frasa, klausa dan kalimat pada Bsunya mengalami distorsi makna (terjemahan ganda) ataupun ada makna yang dihilangkan dan menggangu keutuhan pesan, maka terjemahan tersebut dikatakan terjemahan kurang akurat.

Sementara itu, suatu terjemahan dikatakan terjemahan tidak akurat adalah jika makna kata, istilah teknis, frasa, klausa ataupun kalimat pada Bsu dialihkan secara tidak akurat kedalam Bsa atau dihilangkan sehingga keutuhan pesan yang ada Bsu tidak diterjemahkan ke dalam Bsa. Hal tersebut dapat terjadi bila

(25)

penerjemah; 1) tidak menemukan pemadanan kata yang tepat, 2) melakukan penghilangan yang tidak perlu, 3) melakukan penambahan yang tidak perlu dan 4) adanya pergeseran yang dapat menyebabkan distorsi makna.

2.3 Penelitian Yang Relevan

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengkajian metafora yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh:

(1) Rahmah (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Metafora dalam Surat

Keputusan. Rahmah mengkaji metafora gramatikal pada surat keputusan

berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Tujuan untuk mengkaji metafora gramatikal dalam surat keputusan Pemerintah dan non- Pemerintah adalah untuk mendeskripsikan jenis metafora yang terdapat di dalam surat-surat tersebut agar diketahui apa yang ingin disampaikan pembuat surat keputusan melalui realisasi metafora. Sumber datanya adalah lima belas (15) surat keputusan institusi Pemerintah dan lima belas (15) surat keputusan non- Pemerintah. Metode pengumpulan data dan analisis data menggunakan teknik simak dan catat, teknik bagi, teknik pilah dan teknik ganti dan dilanjutkan dengn teknik analisis ekspresi metafora yang dikemukakan oleh Sudaryanto. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa metafora dalam surat keputusan Pemerintah dan non- Pemerintah meliputi metafora pemaparan pengalaman, metafora pertukaran pengalaman dan metafora pengorganisasian pengalaman.

Secara teoritis, penelitian Rahmah dan penelitian ini menggunakan teori LSF dalam menganalisis data. Perbedaan antara keduanya terdapat

(26)

pada tataran teoritis, penelitian ini menggunakan dua teori yaitu LSF dan teori penerjemahan sedangkan Rahmah hanya menggunakan teori LSF saja. Dari sudut hasil penelitian masih relevan karena keduanya sama-sama menggunakan metafora gramatikal sehingga metode analisis yang dipakai berkonstribusi sekali dalam memberikan gambaran pendeskripsian tentang metafora gramatikal dari tinjauan kajian teks tulis (mode of discourse).

(2) Melati dan Hustarna (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis

Deskriptif Penggunaan Grammatical Metaphor Dalam Tulisan Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris Universitas Jambi. Dalam

penelitiannya yang bertujuan untk mendeskripsikan kemampuan mahasiswa program studi bahasa Inggris dalam menggunakan strategi metafora gramatikal dalam penulisan ilmiah. Secara umum, penggunaan metafora gramatikal dalam menulis ilmiah dapat membuat kalimat menjadi lebih padat secara tata bahasa dan kosa kata, serta membuat kalimat menjadi lebih sinopsis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung masih tidak menggunakan strategi ini meskipun dalam mata kuliah menulis (Writing) semester 1 sampai 4 telah diperkenalkan pada strategi ini. Dapat disimpulkan bahwa hasil tulisan mahasiswa masih menggunakan fitur-fitur yang sama dengan mata kuliah Speaking. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk mata kuliah Writing karena memberikan gambaran terhadap kemampuan mahasiswa dalam menulis ilmiah.

(27)

Isi jurnal di atas juga sangat berkonstribusi terhadap penelitian ini karena keduanya sama-sama mendeskripsikan metafora gramatikal dalam penulisan ilmiah dengan tujuan untuk membuat kalimat menjadi lebih padat secara struktural dan kosa kata sehingga menjadi lebih sinopsis. (3) E.Romero dan B. Soria dalam karya ilmiah yang berjudul “the notion of

grammatical metaphor in Halliday” (diakses tanggal 18 maret 2014).

Dalam karya ilmiah tersebut, mereka mengklaim bahwa penggunaan metafora gramatikal di dalam penggunaaan ekspresi adalah metaforik dan memiliki makna metafora. Mereka juga berargumentasi bahwa metafora gramatikal menciPptakan beberapa harapan dipihak pembaca mengenai jenis-jenis metafora. Ada beberapa metafora yang bergantung pada struktur gramatikal dari sebuah ekspresi. Namun tanggapan tentang metafora gramatikal yang mengacu kepada variasi gramatikal yang non alamiah dari sudut struktur gramatikal yang alamiah tidak terpenuhi. Terakhir mereka mengevaluasikan bahwa pendeskripsian metafora adalah point utama dalam menanggapi produksi metafora. Di sisi lain, didalam metafora antara realita dan bentuk gramatikal harus transparan.

Karya ilmiah tersebut dianggap memberikan konstribusi dan berelevansi juga dalam penelitian ini, karena kajiannya masih seputar metafora gramatikal, walaupun isinya lebih fokus terhadap penggunaan gramatikal metafora didalam ekspresi.

(4) Rini Ramadhani Nasution (2014) dalam penelitiannya yang berjudul

Interpersonal Metaphor In “Indonesia Now” English New Program On Metro TV. Nasution dalam peneltiannya mengkaji tentang metafora

(28)

gramatikal khususnya metafora interpersonal dengan menggunakan TLSF. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis metafora interpersonal apa saja yang digunakan pada program acara berita “Indonesia Now”, untuk menggambarkan dan menjelaskan alasan dari penggunaan metafora tersebut dan untuk menjelaskan dalam konteks apa saja metafora itu digunakan. Penelitian Nasution dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode deskriptif kualitatif. Namun sumber data Nasution adalah tayangan berita pada bulan November 2013, Desember 2013 dan Januari 2014, sehingga teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan merekam dan mentranskrip berita tersebut kedalam teks tertulis. Setelah itu diklasifikasikan dan terakhir menarik kesimpulan. Sedangkan penelitian ini menggunakan teks tulis dari buku teks Biologi tanpa adanya rekaman. Dari hasil penelitian Nasution ditemukan bahwa ada enam jenis metafora interpersonal yang digunakan dalan acara berita tersebut, yaitu: epithet, euphemism, makna konotasi, vokatif, metafora mood dan metafora modality, sedangkan penelitian ini menemukan tiga jenis metafora yaitu metafora eksperiensial, metafora interpersonal dan metafora tekstual.

Penelitian Nasution dan penelitian ini juga sama-sama menggunakan TLSF dalam menganalisis data. Namun ada satu hal yang menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian Nasution, yaitu penggunakan teori penerjemahan yang tidak digunakan dalam penelitian Nasution. Dari sudut hasil, penelitian Nasution ini masih berelevansi dengan penelitian ini dan dapat dijadikan rujukan serta berkonstribusi dalam mengkaji metafora.

(29)

(5) Deddy Kristian Aritonang (2014) dalam penelitiannya yang berjudul

Impacts of Interpersonal Metaphor on Grammatical Intricacy and Lexical Density in The Text of Presidential Debate between Barrack Obama and Mitt Romney. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi jenis

metafora interpersonal dalam teks debat presiden antara Barrack Obama dengan Mitt Romney, 2) mendeskripsikan pengaruh metafora interpersonal terhadap kerumitan gramatikal dan kepadatan leksikal dalam teks debat tersebut berdasarkan bentuk kongruen dan 3) menjelaskan cara-cara metafora interpersonal memiliki pengaruh terhadap kerumitan gramatikal dan kepadatan leksikal dalam teks debat tersebut. Penelitian Aritonang menggunakan metode deskriptif kualitatif yang sama dengan penelitian ini. Namun sumber data Aritonang adalah teks debat presiden yang dalam teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan mengunduh video yang bersumber dari www.youtube.com, menonton, mendengarkan kemudian mentranskrip ujaran-ujaran yang dihasilkan di dalam debat dan terakhir menrangkai dan mencetak transkripsi ujaran tersebut menjadi data yang berupa paragraf. Sedangkan penelitian ini hanya menggunakan teks tulis dari buku Biologi bilingual tanpa ada mengunduh video, menonton dan mendengarkan. Dari hasil penelitian Aritonang ditemukan bahwa kedua jenis metafora interpersonal yakni metafora modalitas dan metafora modus dan penelitian ini menemukan tiga jenis metafora gramatikal yaitu metafora eksperiensial, metafora interpersonal dan metafora tekstual.

Kedua penelitian ini sama-sama mengkaji metafora gramatikal, namun penelitian ini juga mengkaji kualitas terjemahan dengan

(30)

menggunakan teori penerjemahan yang tidak digunakan dalam penelitian Aritonang. Dari sudut hasil, penelitian Aritonang masih berelevansi terhadap penelitian ini dan berkonstribusi dalam mengenali metafora. (6) Parlindungan Pardede (2013) dalam karya ilmiahnya yang berjudul

Penerjemahan Metafora. Makalah yang ditulis oleh Parlindungan ini

menyoroti konsep-konsep yang berkaitan dengan penerjemahan metafora. Pembahasan diawali dengan kontroversi tranlasibilitas metafora, yang kemudian dilanjutkan dengan strategi penerjemahan yang dapat digunakan dalam pekerjaan menerjemahkan metafora. Pada bagian akhir, secara singkat diulas aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan strategi penerjemahan metafora.

Karya ilmiah tersebut dianggap berkonstribusi dan berelevansi terhadap penelitian ini karena membahas penerjemahan baik dari segi strategi penerjemahan dan translasibilitas penerjemahan khususnya metafora yang juga dikaji dalam penelitian ini.

2.4 Model Penelitian Atau Konstruk Analisis

Pada penelitian ini, teori LSF dan teori penerjemahan digunakan sebagai media dalam menganalisis data. Tahap pertama, data yang ada pada teks dikumpulkan, diidentifikasi dan diklasifikasi. Kemudian dipilih beberapa untuk dijadikan sampel. Setelah itu semua data yang sudah dipilih menjadi sampel dianalisis untuk menjawab semua rumusan masalah. Hasil dari analisis tersebut adalah merupakan temuan yang akan dideskripsikan kedalam sebuah tesis. Untuk lebih jelasnya akan dilihat pada gambar kerangka fikir berikut:

(31)

Terjemahan sebagai komunikasi Semiotik Translasional (Munday:2012)

Terjemahan Lingual Terjemahan dua Bahasa Terjemahan Interlingual

Teks 1 ( Bahasa Inggris) Teks 2 (Bahasa Indonesia)

Metafungsi Bahasa Metafungsi Bahasa

Tekstual Ideasional Ideasional Tekstual

Gramatikal

Kualitas Terjemahan

Keakuratan Keterbacaan Keberterimaan

Interpersonal Interpersonal

Leksikal

Metafora

Terjemahan akurat

Figura 2: Konstruk Analisis Metafora Gramatikal pada Teks Terjemahan Buku Biologi Bilingual

Gambar

Figura 2: Konstruk Analisis Metafora Gramatikal pada Teks Terjemahan   Buku Biologi Bilingual

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kridalaksana (2008:67), fungsi adalah: (1) beban makna suatu kesatuan bahasa; (2) hubungan antara satu satuan dengan unsur-unsur gramatikal, leksikal, atau kronologis

Sedangkan menurut Kridalaksana (2008:67), fungsi adalah: (1) beban makna suatu kesatuan bahasa; (2) hubungan antara satu satuan dengan unsur- unsur gramatikal,

Kala atau tenses dalam bahasa Jepang disebut dengan jisei atau tensu, yaitu kategori gramatikal yang menyatakan waktu terjadinya suatu peristiwa atau berlangsunganya suatu

Pada penelitian ini peneliti mengkaji bentuk partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk melestarikan bangunan cagar budaya dengan sudut pandang teori patron klien menurut

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Mendeskripsikan bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. Menjelaskan fungsi persandian

Istilah evolusi bahasa mengacu pada teori biologi Darwin, yakni proses perubahan wujud bahasa, dalam jangka waktu lama berkembang secara alamiah dari bentuk awal

Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti dan teori yang digunakan, penelitian yang akan dilakukan menggunakan manga sebagai objeknya dan teori psikologi sastra

Merupakan garis penghubung objek penelitian ke hasil penelitian Teori Semiotika Teori Sosiologi Sastra Bentuk Wacana Puja Bhakti dalam KRPM Fungsi Wacana Puja Bhakti