• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)

2.1.1. Definisi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah gangguan vestibuler yang paling sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat (Edward dan Roza, 2014).

2.1.2. Anatomi Sistem Keseimbangan Tubuh

Vestibulum memonitor pergerakan dan posisi kepala dengan mendeteksi akselerasi linier dan angular. Bagian vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanal semisirkular, yakni kanal anterior, kanal posterior, dan kanal horizontal. Setiap kanal semisirkular terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya terdapat penggelembungan yang disebut ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, suatu masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, dan melekat pada sel rambut.

Labirin terdiri dari dua struktur otolit, yaitu utrikulus dan sakulus yang mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira dibidang kanalis semisirkularis horizontal. Makulus sakulus terletak di dinding medial sakulus dan terutama terketak di bidang vertikal. Pada setiap macula terdapat sel rambut yang mengandung endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus diperkirakan sebagai sumber dari partikel kalsium yang menyebabkan BPPV (Purnamasari, 2013).

(2)

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Keseimbangan Tubuh (Sumber: Risna, 2011)

2.1.3. Klasifikasi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu : a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering terjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV. Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Purnamasari, 2013).

b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke

(3)

arah telinga di posisi bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase cepat kearah telinga di posisi atas) selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena adanya otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Edward dan Roza, 2014).

Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun terakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien dengan keluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan kriteria diagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis horizontal (Edward dan Roza, 2014).

2.1.4. Etiologi dan Faktor Risiko

Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh perpindahan otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di sakulus dan utrikulus). Kristal tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran setengah lingkaran posterior, menciptakan ilusi gerak. Batu-batu kecil yang terlepas (kupulolitiasis) didalam telinga bagian dalam menyebabkan BPPV. Batu-batu tersebut merupakan kristal-kristal kalsium karbonat yang normalnya terikat pada kupula. Kupula menutupi makula, yang adalah struktur padat dalam dinding dari dua kantong-kantong (utrikulus dan sakulus) yang membentuk vestibulum. Ketika batu-batu terlepas, mereka akan mengapung dalam kanal semisirkular dari telinga dalam. Faktanya, dari pemeriksaan-pemeriksaan mikroskopik telinga bagian dalam pasien-pasien yang menderita BPPV memperlihatkan batu-batu tersebut (Anita, 2008).

(4)

Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum diketahui secara pasti. Debris kalsium sendiri dapat pecah karena beberapa penyebab seperti trauma atupun infeksi virus, tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa didahului trauma atau penyakit lainnya. Mungkin dapat juga disebabkan oleh perubahan protein dan matriks gelatin dari membrane otolith yang berhubungan dengan usia. Lepasnya otokonia dapat juga sejalan dengan demineralisasi tulang pada umumnya (Purnamasari, 2013).

Salah satu faktor risiko yang berperan pada kejadian BPPV adalah hipertensi. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Anggraini et al., 2009). Hipertensi sendiri terbagi atas beberapa kelompok menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), yaitu: kelompok normal, pre-hipertensi, stadium 1, stadium 2. Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Chobanian, Bakris, Black, 2009)

Kategori Sistolik (mmHg) dan / atau Diastolik (mmHg)

Normal <120 Dan <80

Pra hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 Atau ≥100

Hipertensi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu hipertensi primer atau esensial dan hipertensi sekunder. Menurut (Skuta et al., 2010) dalam (Eka, 2014), hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan meliputi kurang lebih 90-95% daei seluruh penderita hipertensi. Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain atau

(5)

kelainan organik yang jelas diketahui dan meliputi 2-10% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi pola hidup (merokok, asupan garam berlebih, obesitas, aktivitas fisik, dan stress), faktor genetika dan usia, system saraf simpatis, ketidakseimbangan antara modulator vasokontriksi dan vasodilatasi, pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan dalam system rennin, angiotensin, dan aldosteron. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain (Firstyani, 2011).

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I yang disebabkan oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memiliki peran penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Kemudian melalui hormone, rennin akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peran utama dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH sendiri diproduksi oleh hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Ketika ADH meningkat, akan sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga menjadi pekar dan tinggi osmolalitasnya. Sehingga untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Hal tersebut yang menyebabkan volume darah meningkat dan akhirnya meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron adalah hormon steroid yang memiliki peran penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsorbsi dari tubulus ginjal. Kenaikan konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

(6)

Gambar 2.2. Patofisiologi Hipertensi (Sumber: Anggraini et al., 2009) 2.1.5. Patofisiologi

Renin

Angiotensin I

Angiotensin II

↑ Sekresi hormon ADH rasa haus Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal

↓ urin → pekat & ↑ osmolaritas

mengentalkan

Menarik cairan intraseluler → ekstraseluler

↑ Tekanan darah

↓ ekskresi NaCl dengan Mereabsorbsinya di Tubulus ginjal ↑ konsentrasi NaCl di Pembuluh darah Diencerkan dengan ↑ Volume ekstrasesluler ↑ Volume darah ↑ Volume darah ↑ Tekanan darah

(7)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat yang berasal dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular. Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kalsium karbonat tersebut bergerak dalam kanal semisirkular, akan terjadi pergerakan endolimfe yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan vertigo.

Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Bunjamin et al., 2013): a. Teori Kupulolitiasis

Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana ditemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat diletakkan pada puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Begitu halnya digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). Kanalis semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

b. Teori Kanalitiasis

Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith bergerak bebas didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel tersebut berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel

(8)

ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus dan pusing. Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali, terjadi pula pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Digambarkan layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil akan terangkat seberntar kemudian terjatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan keterlambatan sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan konsep kelelahan dari gejala pusing.

2.1.6. Gejala Klinis

Gejala-gejala klinis dari BPPV adalah pusing, ketidakseimbangan, sulit untuk berkonsentrasi, dan mual. Kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya gejala dapat berbeda-beda pada tiap individu, tetapi gejala dapat dikurangi dengan perubahan posisi kepala mengikuti arah gravitasi. Gejala dapat timbul dikarenakan perubahan posisi kepala seperti saat melihat keatas, berguling, atau pun saat bangkit dari tempat tidur (Bhattacharyya et al., 2008).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo sendiri dapat dialami dalam durasi yang cepat ataupun terjadi sepanjang hidup, disertai gejala yang terjadi dengan pola sedang yang berbeda-beda tergantung pada durasi, frekuensi, and intensitas. BPPV tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kehidupan penderita. Bagaimanapun, BPPV dapat mengganggu perkerjaan dan kehidupan sosial penderita.

(9)

2.1.7. Diagnosa

2.1.7.1. Anamnesa

Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan dari posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas maupun ke belakang, dan membungkuk. Vertigo juga dapat disertai dengan keluhan mual.

Pada banyak kasus BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian hari. Dalam anamnesa selain menanyakan tentang gejala klinis, juga harus ditanyakan mengenai faktor-faktor yang merupakan etiologi atau yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi seperti stroke, hipertensi, diabetes, trauma kepala, migraine, dan riwayat gangguan keseimbangan sebulumnya maupun riwayat gangguan saraf pusat (Bunjamin et al., 2013).

2.1.7.2. Pemeriksaan Fisik

Benign Paroxysmal Positrional Vertigo kanalis posterior dapat di diagnosa ketika pasien mengeluhkan adanya riwayat dari vertigo yang disebabkan oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan ketika dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan nistagmus yang muncul saat melakukan Dix-Hallpike Test. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah: Dix-Hallpike, dan tes kalori. Supine Roll Test dilakukan untuk pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.

a. Dix-Hallpike Test

Nistagmus yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan tes Dix-Hallpike biasanya menunjukkan dua karakteristik penting. Pertama, terdapat periode laten antara akhir dari masa percobaan dan saat terjadi serangan dari nistagmus. Periode laten tersebut terjadi selama 5 sampai 20 detik, tetapi dapat juga terjadi hingga 1

(10)

menit dalam kasus yang jarang terjadi. Kedua, hal yang memperberat vertigo dan nistagmusnya sendiri meningkat, dan hilang dalam periode waktu tertentu dalam 60 detik dari waktu serangan nistagmus.

Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus memberitahu pasien tentang gerakan-gerakan yang akan dilakukan dan mengingatkan pasien bahwa pasien akan merasakan serangan vertigo secara tiba-tiba, yang mungkin saja disertai dengan rasa mual, yang akan hilang dalam 60 detik. Karena pasien akan diposisikan dalam posisi supinasi dengan kepala dibawah badan, pasien harus diberitahu agar saat berada dalam posisi supinasi, kepala pasien akan menggantung dengan bantuan meja percobaan hingga 20 derajat. Pemeriksa sebaiknya meyakinkan pasien bahwa pemeriksa dapat menjaga kepala pasien dan memandu pasien mendapatkan pemeriksaan yang aman dan terjamin tanpa pemeriksa kehilangan keseimbangan dirinya sendiri (Bhattacharyya et al., 2008). Cara melakukan pemeriksaan Dix-Hallpike:

1. Pertama, jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.

2. Pasien didudukkan dekat bagian ujung tempat pemeriksa, sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30 – 40 derajat, pasien diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.

3. Kepala diputar melihat ke kanan 45 derajat (kalau kanalis semi sirkularis posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semi sirkularis posterior.

4. Tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala pasien, pasien direbahkan secara cepat sampai kepala tergantung pada ujung meja pemeriksaan.

5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut dipertahankan selama 40 detik. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama kira-kira 1 menit atau sampai respon menghilang.

(11)

6. Komponen cepat nistagmus seharusnya “up-bet” (ke arah dahi) dan ipsilateral. 7. Setelah pemeriksaan ini dilakukan, dapat langsung dilanjutkan dengan Canalith Reposithoning Treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon abnormal, pasien dapat didudukkan kembali secara perlahan. Nistagmus bisa terlihat dalam arah yang berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah berlawanan.

8. Berikutnya pemeriksaan diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45 derajat dan seterusnya.

Gambar 2.3. Dix-Hallpike Test

(12)

b. Tes kalori

Tes kalori diajukan oleh Dix dan Hallpike. Pada pemeriksaan ini dipakai air dingin dan air panas. Suhu air dingin adalah 30 C sedangkan suhu air panas adalah 44 C. Volume air yang dimasukkan kedalam telinga salah satunya terlebih dahulu sebanyak 250 ml air dingin , dalam 40 detik. Kemudian pemeriksa memperhatikan saat nistagmus muncul dan berapa lama kejadian nistagmus tersebut. Dilakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Setelah menggunakan air dingin, kemudian kita melakukan hal yang sama pada kedua telinga menggunakan air panas. Pada tiap-tiap selesai salah satu pemeriksaan, pasien diistirahatkan selama 5 menit untuk menghilangkan rasa pusingnya (Purnamasari, 2013).

c. Tes Supine Roll

Tes ini diperuntukkan jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada atau tidaknya BPPV kanal lateral atau bisa kita sebut juga BPPV kanal horizontal. Pasien yang memiliki riwayat BPPV tetapi bukan termasuk kriteria BPPV kanal posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanal lateral. Pemeriksa harus menginformasikan pada pasien bahwa pada pemeriksaan ini, pasien akan mengalami pusing berat selama beberapa saat. Saat melakukan tes ini, pasien berada dalam posisi supinasi atau berbaring telentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan pemeriksa mengamati mata pasien untuk melihat ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda, kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Kemudiaan dimiringkan kembali 90 derajat ke sisi yang berlawanan dan mata pasien diamati untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus (Purnamasari, 2013).

(13)

2.1.7.3. Pemeriksaan Tambahan

Terdapat tiga jenis pemeriksaan tambahan (Bhattacharyya et al., 2008), yaitu:

a. Radiografi

Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin dari BPPV karena BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu dalam gambaran radiologi. Tetapi radiografi ini memiliki peran dalam proses diagnosis jika gejala yang muncul tidak khas, hasil yang diharapkan dari percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala tambahan disamping dari kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin merupakan gabungan dari central nervous system ataupun otological disorder.

b. Vestibular Testing

Electronystagmography memiliki kegunaan yang terbatas dalam mendiagnosa BPPV kanalis, karena komponen torsional dari nistagmus tidak bisa diketahui dengan menggunakan teknik biasa. Di sisi lain, dalam mendiagnosa BPPV kanalis horizontal, nistagmus hadir saat dilakukan tes. Tes vestibular ini mampu memperlihatkan gejala yang tidak normal, yang berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak spesifik contohnya vestibular hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang umumnya ditemukan pada kasus trauma kapitis ataupun infeksi virus.

c. Audiometric Testing

Tes ini tidak digunakan untuk mendiagnosa BPPV, tapi dapat memberikan informasi tambahan dimana diagnosa klinis untuk vertigo masih belum jelas.

2.1.8. Tatalaksana

Penatalaksanaan untuk BPPV didasari dengan kemampuan membuat gerakan sendiri ataupun prosedur-prosedur dalam mereposisikan kanalis, dengan tujuan mengembalikan partikel-partikel yang bergerak kembali ke posisi semula yaitu pada makula utrikulus. Berikut akan dijelaskan pergerakan-pergerakan yang dapat

(14)

dilakukan, dan ditujukan untuk berbagai jenis BPPV. Keberhasilan dari tatalaksana sendiri bergantung pada pemilihan pergerakan yang tepat dalam mengatasi BPPV.

Beberapa penderita dapat merasakan gejala-gejala seperti pusing, mual, berkeringat, dan muntah saat melakukan pergerakan untuk terapi. Dalam kasus seperti ini, obat-obat penekan vestibulum dapat digunakan sebagai tambahan yang tidak hanya meringankan vertigo yang muncul akibat gerakan yang akan dilakukan tetapi juga mengatur gejala-gejala yang terjadi hingga prosedur dapat dilakukan kembali. Obat-obat golongan terapi tersebut meliputi meclizin, dimenhidrinase, clonazepam dan diazepam. Dosis dapat berbeda tergantung intensitas dari gejala yang timbul (Purnamasari, 2013).

Terdapat beberapa manuver untuk reposisi BPPV, yaitu: a. Manuver Epley

Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal vertikal. Penderita berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke sisi yang sakit. Kemudian penderita ditidurkan dengan posisi kepala digantungkan, dan dipertahankan selama 1 sampai 2 menit. Berikutnya, kepala ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Kemudian beritahu pasien untuk mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan duduk kembali secara perlahan (Libonati, 2012).

b. Manuver Semont

Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolotoasis kanalis posterior. Jika kanal posterior yang terkena, maka penderita didudukkan dalam posisi tegak, kemudian kepala penderita dimiringkan 45 derajat berlawanan arah dengan bagian yang sakit dan secara cepat bergerak ke posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat diperhatikan. Dan posisi ini dipertahankan selama 1 sampai 3 menit. Setelah itu pasien pindah ke posisi

(15)

berbaring di sisi yang berlawanan tanpa berhenti saat posisi duduk (Bunjamin et al., 2013).

c. Manuver Lempert

Manuver ini biasa digunakan sebagai terapi dari BPPV kanalis horizontal. Pada manuver ini penderita berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu menghadap 90 derajat berlawanan dari sisi yang sakit, posisi kepala dipertahankan, kemudian membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Berikutnya, kepala penderita telah menghadap ke bawah dan badan dibalikkan lagi ke arah ventral dekubitus. Kemudian kepala penderita diputar 90 derajat, dan tubuh berada pada posisi lateral dekubitus. Secara bertahap, tubuh penderita kembali lagi dalam posisi supinasi. Setiap langkah dilakukan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi (Bunjamin et al., 2013).

d. Forced Prolonged Position

Manuver ini digunakan untuk terapi BPPV kanalis horizontal. Perlakuannya adalah mepertahankan tekanan dari posisi lateral dekubitus pada telinga yang sakit selama 12 jam.

e. Brandt-Daroff Exercises

The Brandt-Daroff Exercises ini dikembangkan untuk latihan dirumah, sebagai terapi tambahan untuk pasien yang tetap simptomatik, bahkan setelah melakukan manuver Epley ataupun Semont. Latihan-latihan ini diindikasian satu minggu sebelum melakukan terapi manuver, agar meningkatkan kemampuan toleransi diri pasien terhadap manuver. Latihan ini juga membantu pasien menerapkan berbagai posisi sehingga dapat lebih terbiasa (Solomon, 2000).

(16)

2.1.9. Komplikasi a. Canal Switch

Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal, partikel-partikel yang berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal lateral, dalam 6 sampai 7% dari kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional menjadi horizontal dan geotropik.

b. Canalith Jam

Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan beberapa gejala, seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.

2.1.10. Prognosis

Pasien perlu untuk diedukasi tentang BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh dalam jangka waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari serangan. Pasien harus diberitahu bahwa BPPV dapat dengan mudah ditangani, tetapi harus diingatkan bahwa kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya berhasil, jadi terapi lainnya mungkin dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa 15% terjadi kekambuhan pada tahun pertama, kemudian 50% kekambuhan terjadi pada 40 bulan setelah terapi (Bunjamin et al., 2013).

Kekambuhan dari BPPV adalah masalah yang umum terjadi. Meniere’s disease, CNS disease, migraine headaches,dan post-traumatic BPPV merupakan faktor resiko yang lebih memungkinkan untuk terjadinya kekambuhan.

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Keseimbangan Tubuh  (Sumber: Risna, 2011)
Gambar 2.2. Patofisiologi Hipertensi  (Sumber: Anggraini et al., 2009)  2.1.5. Patofisiologi
Gambar 2.3. Dix-Hallpike Test  (Sumber: Bhattacharyya et al., 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosa STEMI menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan ada penyakit arterosklerosis non koroner, diketahui mempunyai PJK dan atas dasar pernah

Berdasarkan hasil penelitian Mukarrom (2014) yang meneliti tentang hubungan riwayat pekerjaan langsung dibawah sinar matahari dengan kejadian katarak pada pasien di

Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya perawatan pasien penderita Diabetes Melitus yang terutama disebabkan oleh karena komplikasi, maka

Diganosis sindrom mata kering dapat diteggakan dengan gejala klinis, anamnesis yang lengkap tentang keluhan pasien, usia, pekerjaan, riwayat tindakan operasi mata,

Teori tertua menyatakan bahwa dismenorea primer disebabkan oleh stenosis kanalis servikalis. Pada perempuan dengan uterus dalam hiperantefleksi mungkin dapat terjadi

Diagnosa kolaborasi merupakan suatu masalah keperawatan dimana perawat perlu membuat suatu keputusan klinik yang akurat dan tepat terkait dengan perubahan

Di dalam penggunaannya dalam membangun suatu aplikasi (Irmayani, 2010), hasil diagnosa seorang pasien dari aplikasi yang telah dihitung menggunakan metode Certainty Factor

Pada teknik ini dilakukan dengan menggunakan film holder untuk mempertahankan posisi film dalam mulut pasien, film diletakkan sedekat mungkin dengan gigi, jadi posisi film