5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Invigorasi
Invigorasi merupakan perlakuan yang dilakukan pada benih untuk memperbaiki pertumbuhan perkecambahan benih sebelum proses penanaman berlangsung. Beberapa metode invigorasi benih dapa digunakan dalam rangka menseragamkan pertumbuhan kecambah dan meningkatkan kecepatan tumbuh kecambah (Arief dan Koes, 2010). Invigorasi yaitu meningktnya vigor benih dengan terkendalinya proses metabolisme yang mampu memperbaiki kerusakan subseluler pada benih (Yukti, 2009)
Invigorasi merupakan suatu proses yang dilakuakan untuk meningkatkan vigor benih yang telah mengalami deteriorasi atau kemunduran. Selama invigorasi terjadi peningkatan kecemapatan dan keserempakan perkecambahan, serta mengurangi tekanan lingkungan yang kurang menguntungkan. Imvigorasi banyak dilakukan sebagai perlakuan pratanam. Invigorasi banyak dilakukan sebagai perlakuan pratanam. Invigorasi dimulai saat benih berhidrasi secara terkontrol pada medium imbisisi yang berpotensial air rendah (Ilyas, 2012).
Priming merupakan salah satu teknik invigorasi benih yang merupakan sutau proses yang mengontrol proses hidrasi-dehidrasi benih untuk berlangsungnya proses-proses metabolik menjelang perkecambahan. Teknologi ini sangat sederhana dan mudah diterapkan di tingkat petani, terutama pada wilayah tadah hujan atau lingkungan yang tidak mempunyai fasilitas irigasi yang memadai Arief dan Koes (2010).
Perlakuan priming benih sebelum tanam atau conditioning bertujuan untuk menyeimbangkan potensial air benih yang merangsang kegiatan metabolisme dalam benih sehingga benih siap berkecambah tetapi belum manampakkan struktur penting dari perkecambahan yaitu radikula (Khan, 1992).
Keuntungan metode Priming yaitu mampu mempercepat pertumbuahan kecambah sehingga, pertumbuhan awal tanaman dapat diperbaiki. Akan tetapi, metode priming tidak mampu memperbaiki pertumbuhan serta hasil tanaman. Faktor yang mempengaruhi berhasilnya proses priming meliputi potensial air medium priming, jangka waktu proses priming, jenis tanaman, suhu (udara dan media), dan vigor benih ( Murungu dkk, 2004).
2.2 Air Kelapa
Air kelapa adalah cairan endosperm yang memiliki senyawa organik. Senyawa organik yang terdapat pada air kelapa meliputi auksin dan sitokinin (Budiono, 2004). Auksin memiliki fungsi menginduksi proses pemanjangan sel, inisiasi perakaran, penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta mempengaruhi dominansi apikal. Sitokinin memiliki fungsi merangsang pembelahan sel pada jaringan serta meransang pertumbuhan tunas (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Purdyaningsih (2013) Air kelapa memiliki kandungan unsur hara dan zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Air kelapa memiliki kandungan hormon auksin, sitokinin dan gibrelin. Kandungan lain yang terdapat pada air kelapa yaitu vitamin C, vitamin B, protein, karbohidrat, mineral, lemak.
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi, baik alamiah maupun sintesis yang pada konsentrasi sangat rendah dapat menciptakan kondisi tanaman menjadi lebih produktif dan bermutu. Tanaman tersebut mengalami perubahan pertumbuhan dan berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Sumpena, 2005). ZPT aktif pada konsentrasi kecil, dan mampu diproduksi oleh tanaman itu sendiri (endogenous). ZPT mampu mempercepat aktivitas fisiologis tanaman, sehingga meningkatkan penggunaan energi surya dan unsur hara secara efisien. sitokinin adalah ZPT yang berperan untuk meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Sitokinin pada tanamn berfungsi sebagai senyawa promotor pada proses perkecambahan, biogenesis kloroplas, morfogenesis, serta pemeliharaan mobilitas asimilat (Upreti dan Sharma, 2016).
Air kelapa muda memiliki kandungan komposisi ZPT kinetin (sitokinin) 273,62 mg/l, zeatin 290,47 mg/l dan auksin 198,55 mg/l. Pada kelapa muda, yang kondisinya masih seperti susu, kandungan sitokinin maupun auksin alami sangat tingggi. Seiring dengan bertambahnya umur kelapa, kandungan zpt alaminya juga akan berkurang. Penurunan kandungan ZPT alami terjadi karna energy yang ada dibutuhkan untuk pembentukan daging buah (Kristina, 2012).
Perendaman benih kedelai menggunakan air kelapa dengan konsentrsi 25 % selama 24 jam menunjukkan hasil rata-rata benih tumbuh 99%, daya berkecambah benih kedelai yaitu sebesar 95,5 %, dan menghasilkan benih yang tidak tumbuh yang terkecil yaitu 1 % (Kabelwa dan Sukamto, 2017).
2.3 Benih Kedelai
Klasifikasi ilmiah tanaman kedelai sebagai berikut (Adisarwanto, 2014) : Kindom : Plantae
Subkindom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Magnoliophyta – Angiosspermae Kelas : Magnoliopsida - Dicotyledone Subkelas : Archihlamidae
Ordo : Rosales
Subordo : Leguminosinae
Famili : Legunimosae - Papilionaceae Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L) Merril
Benih kedelai digolongkan pada benih orthodoks, dimana benih kedelai adalah benih yang cepat mengalami kemunduran mutu, apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan (Sub optimum). Kemuduran mutu benih kedelai terjadi disebabkan kandungan protein yang cukup besar, sehingga kadar air benih meningkat dengan cepat. Protein bersifat higroskopis, sehingga benih mengabsorsi lebih banyak air (Tatipata, 2008).
Benih kedelai memiliki kandungan protein (±37%). Komposisi senyawa biokimia pada benih kedelai didominasi oleh protein. Dominasi kandungan protein tersebut membuat benih sangat higroskopis sehingga gampang menyerap dan menahan uap air (Sucahyono, 2013). Benih kedelai juga memiliki kandungan lemak relatif tinggi sebesar 16% (Tatipa, 2008). Protein dan Lemak yang cukup
tinggi yang dimiliki benih kedelai mengakibatkan benih kedelai cepat mengalami kemunduran mutu. Sifat biji kedelai higroskopis senhingga gampang menyerap uap air dari udara sekitar. Biji kedelai menyimbangkan kadar air di dalam biji dengan udara sekitar melalui cara menyerap atau mengeluarkan air pada benih (Indartono, 2011).
Kedelai memiliki biji yang berkeping dua, dibungkus kulit biji, serta memiliki kandungan endosperma dan embrio yang terletak diantara keping biji. Biji kedelai memiliki warna kuning, coklat, hitam, hijau,. Hium (Pusar biji) meruapakan jaringan bekas biji menempel pada dinding buah. Biji kedelai pada umumnya berbentuk bulat lonjong dan pada beberapa varietas biji kedelai berbentuk bundar atau agak pipih (Suprapto, 2001)
Tipe perkecambahan biji kedelai yaitu epigeal dimaman tipe perkcembahan epigeal saat proses kecambah kotiledon akan terangkat ke atas permukaa tanah. Biji Kedelai memliki besar biji yang beragam. Besar biji tergantung pada varietas kedelai tersebut. Besar biji dapat diukur melalui bobot biji kering per 100 butir. Terdapat tigas kelas biji kedelai yaitu 6 -10 g per biji (kedelai berbiji kecil), 11-13 g per 100 biji (berbiji sedang), lebih dari 13 g per 100 biji (berbiji besar) (Suprapto, 2001).
Menurut Suprapto (2001) ada beberapa sifat dari benih kedelai yaitu, sebagai berikut :
1. Pada kondisi suhu dan kelembapan tinggi, viabilitas benih kedelai cepat menurun akibat laju respirasi yang meningkat.
2. Benih kedelai bersifat higroskopis sehingga kadar airnya mudah terpengaruh oleh kelembababn udara di sekitar benih.
3. Kulit benih sangat tipis sehingga mudah terinfeksi oleh cendawan, bakteri, dan virus serta rentan terhadap kerusakan fisik dan mekanik.
4. Di areal pertanaman, benih kedelai rentang terserang hama penggerek dan penghisap biji.
2.4 Perkecambahan Benih
Perkecambahan benih merupakan rangkaian proses perubahan-perubahan morfologi, fisiologi serta biokimia benih. Perkecambahan benih akan melalui tahapan (a) proses penyerapan air oleh benih sehingga terjadi pelunakan kulit benih serta hidrasi pada protoplasma; (b) tahap ini peningkatan respirasi benih yang disebabkan kegiatan-kegitan sel dan enzim-enzim; (c) Tahap dimana penguraian bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk yang larut dan ditranslokasikan ke titik tumbuh; (d) tahap asimilasi dari bahan yang diuraikan pada daerah meristematik sehingga menghasilkan energi untuk pembentukan komponen dan pembentukan sel baru; (e) tahap pertumbuhan kecambah melalui proses pembelahan sel, pembesaran sel dan pembagian ssel pada titik tumbuh. Selama proses perkecambahn daun belum terbentuk seungga pertumbuhan kecambah tergantung pada tersedinya makanan yang terdapat didalam biji (Sutopo, 2004).
Faktor yang mempengaruhi perkecambahan adalah faktor dalam dan faktor luar (Justice dan Bass, 2002 dalam Sutopo, 2004). Faktor dalam bersal dari benih, sedangkan faktor luar berasal dari lingkungan. Faktor dalam yang berpengaruh yaitu tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi, dan penghambat perkecambahan. Sedengakan, faktor luar yang berpengaruh terhadap perkecambahan antra lain air, suhu, cahaya, oksigen dan medium (Sutopo, 2004).
Sumarno dan Widiati (1985), menyatakan kriteria dalam mengevaluasi kecambah dapat digunakan kriteria sebagai berikut :
a. Kecambah Normal
Kecambah normal meliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Akar primer dan atau satu set akar sekunder yang mampu menopanng kecambah jika ditumbuhkan pada media pasir maupun tanah.
2. Hipokotil (panjang maupu pendek) tumbuh secara baik tanpa memiliki luka yang kemungkinan dapat mengakibatkan jaringan pangangkut menjadi rusak. 3. Epikotil sekurang-kuranya memiliki satu daun primer dan satu tunas ujung
yang tumbuh sempurna.
4. Tidak terjadi infeksi pada epikotil baik sebagian maupun secara keseluruhanya.
b. Kecambah Abnormal
Kecambah Abnormal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Akar primer dan atau akar sekunder yang dapat tumbuh dengan baik.
2. Hipokotil mengalami pecah atau luka yang terbuka sehingga merusak jaringan pengangkut, cacat, keriput, dan membengkak atau memendek. 3. Kotiledon keduanya hilang menjadikan kecambah lemah dan tidak bervigor. 4. Epikotil tidak memiliki daun primer ataupun tunas ujung, ada satu ataupun
dua daun primer, tetapi tidak ada tunas ujung, epikotil membusuk sehingga bibit lemah.
Benih tidak berkecambah merupakan benih yang sampai akhir periode pengujian tidak dapat berkecambah. Benih yang tidak dapat berkecambah meliputi :
1. Benih keras yaitu benih yang tidak dapat menyerap air sehingga tetap keras sampai akhir pengujian.
2. Benih segar yang sampai akhir pengujian tetap bersih, tidak keras dan tampak masih hidup.
3. Benih mati yaitu benih yang tidak berkembah sampai akhir pengujian dengan bentuk benih menjadi lunak, warna memudar, dan berjamur (Mugnisjah dkk, 1994).
Menurut Sutopo (2004) ciri-ciri kecambah normal dan abnormal sebagai dasar dalam mengevluasi pertumbuhan dan perkembangan kecambah sebagai berikut:
a. Kecambah Normal
1. Kecambah mempunyai perkembangan sistem perakaran yang baik terutama akar primer dan pada tanaman yang secara normal membentuk akar seminal maka akar ini tidak kurang dari dua.
2. Hipokotil berkembang dengan baik dan sempurna tanpa ada kerusakan pada jaringannya.
3. Plamula tumbuh dengan sempurna, daun hijau dan tumbuh baik, epikotil tumbuh sempurna dengan kuncup normal.
4. Mempunyai dua kotiledon. b. Kecambah Normal
1. Kecambah rusak, tidak memiliki kotiledon, embrio yang pecah serta akar primer yang pendek.
2. Kecambah pertumbuhannya cacat, pekembangn bagian penting lemah dan kurang seimbang, Plamula terputar, kotiledon yang bengkok, akar pendek, koleoptil pecah atau tik punya daun, kecambah tumbuh kerdil.
3. Kecambah tidak dapat membentuk klorofil. 4. Kecambah yang lunak.