• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANTUAN HUKUM BAGI KAUM MARGINAL BERBASIS JALEPO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BANTUAN HUKUM BAGI KAUM MARGINAL BERBASIS JALEPO"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

UM Surabaya

BANTUAN HUKUM

BAGI KAUM

MARGINAL

BERBASIS ‘JALEPO’

Buku Ajar untuk PLKH dan Magang

Dr. Asri Wijayanti, S.H.,MH. 2019

(3)

BANTUAN HUKUM BAGI KAUM MARGINAL BERBASIS “JALEPO” Buku Ajar untuk PKLH dan Magang Penulis : • Dr. Asri Wijayanti, S.H., M.H. Desain Cover : • Hanif Abdillah, ST. Diterbitkan Oleh : 19.11.071 Nopember 2019 ISBN : 978-602-417-229-9 Dicetak oleh CV. REVKA PRIMA MEDIA Sanksi Pelanggaran Hak Cipta (Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi, tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk penggunaan secara komersial dipidana pidana penjara dan/atau pidana denda berdasarkan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

CV. REVKA PRIMA MEDIA Anggota IKAPI No. 205/JTI/2018

Ruko Manyar Garden Regency No.27 Jl. Nginden Semolo 101 Surabaya Telp/Fax. 031 592 6204

(4)

2 PRAKATA

Alhamdulillahirobbil alamin, “Bantuan hukum bagi Kaum Marginal Berbasis ‘Jalepo’ Buku Ajar untuk PLKH dan Magang telah tersusun. Buku ini merupakan hasil luaran dari penelitian terapan yang berjudul “ Model Bantuan hukum Bagi Kaum Marginal di Kota Surabaya Berbasis Keadilan”. Pelaksananaan penyusunan buku ini di danai oleh hibah Kemenristek Dikti yang tahun anggaran 2019.

Buku ini terdiri atas tujuh Bab yaitu Pendahuluan, Pengaturan Bantuan Hukum, Strategi Pemberian Bantuan Hukum, Bantuan Hukum Berbasis Keadilan, Bantuan Hukum Bagi Kaum Marginal Berbasis Jalepo dan Penutup. Buku ajar ini ditujukan untuk mahasiswa yang menempuh mata kuliah PLKH dan magang, akademisi, praktisi dan serta masyarakat yang peduli akan akses bantuan hukum bagi kaum marginal.

Tiada gading yang tak retak. Buku ini tentulah masih mengandung kekurangan. Harapan kami, ada proses partisipasi yang berkelanjutan atas konsep Naskah akademis ini, agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama masyarakat marginal.

Surabaya, 18 Juni 2019 Hormat kami,

(5)

3 Peneliti

DAFTAR ISI

PRAKATA ... 2 DAFTAR ISI ... 3 BAB I PENDAHULUAN ... 5 Lembar kerja ... 11

BAB II SEJARAH BANTUAN HUKUM... 12

A. Masa Sebelum Kemerdekaan ... 13

B. Masa Pemerintahan Presiden Soekarno ... 18

C. Masa Pemerintahan Presiden Soeharto... 20

E. Pasca Masa Reformasi ... 27

Lembar Kerja ... 29

BAB III PENGATURAN BANTUAN HUKUM ... 30

A. Substansi Bantuan Hukum ... 32

1. Subyek Hukum Bantuan Hukum ... 33

2. Obyek Bantuan Hukum ... 41

B. Prosedur Bantuan Hukum ... 43

Lembar Kerja ... 45

BAB IV ... 46

(6)

4

A. Pengumpulan Fakta Hukum ... 46

B. Perumusan Masalah Hukum ... 49

C. Penelusuran Norma Hukum ... 53

D. Analisis Hukum. ... 57

Lembar Kerja ... 61

BAB V BANTUAN HUKUM BERBASIS KEADILAN ... 62

Lembar Kerja ... 78

BAB VI BANTUAN HUKUM BAGI KAUM MARGINAL BERBASIS JALEPO ... 79

BAB VII PENUTUP ... 84

(7)
(8)

5

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan instruksional dalam bab ini adalah mahasiswa mengetahui garis besar tentang bantuan hukum bagi orang miskin.

Bantuan hukum sangat dibutuhkan oleh masyarakat marginal yang sedang mengalami kasus hukum. Ketidak mampuan membayar jasa advokat atau penasehat hukum oleh masyarakat marginal dapat menyebabkan belum meratanya keadilan hukum. Pemberian bantuan hukum bagi warga negara Indonesia yang membutuhkan, belum maksimal diberikan oleh Negara.

Fakta yeng terjadi menurut Constantianus Kristomio (Kabid Bantuan Hukum, Pusat Penyuluhan Hukum BPHN) dari 100.000 orang tahanan, 90% tidak mendapat bantuan hukum.1 Di wilayah Kota Surabaya bantuan hukum belum dapat dirasakan oleh kaum disabilitas, buruh, warga sengketa pompa air Keputih.2

1 Pram, Akses Bnatuan Hukum Bagi Orang Miskin, Dalam

Http://Www.Beritabethel.Com/Artikel/Detail/959

2 Wijayanti, Asri, Legal Aids For Marginal Communities, Man

In India 97/18 Hal 251-262 Dalam

(9)

6

Bantuan hukum juga belum dapat dinikmati oleh pekerja anak yang dirugikan haknya.3

Dasar hukum pemberian bantuan hukum bersumber pada ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yaitu setoiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan ini dilaksanakan oleh UU 16/2011 Tentang Bantuan Hukum LNRI Nomor 104, TLNRI Nomor 5248, selanjutnya disingkat UU 16/2011). Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum (Pasal 1 angka 1 UU 16/2011).

Implementasi UU 16/2011 belum maksimal. Kriteria “miskin” melum mencakup makna masyarakat marginal secara keseluruhan. Adanya penyalahgunaan SKTM untuk mendapatkan bantuan hukum.4 Terdapat perbedaan parameter obyek hukum yang dapat diberikan bantuan hukum, misalnya bantuan hukum tidak diberikan pada kasus sengketa terkait pemerintah daerah.5 interpretasi yang berbeda atas isi UU 16/2011

3 Wijayanti, Asri, Framework Of Child Laborers Legal

Protection In Marginal, Man In India 97/24 Hal 203-212 Dalam Http://Serialsjournals.Com/Serialjournalmanager/Pdf/1514006679.P df

4 Rahmanto, T. Y. (2015). Bantuan Hukum “Pro Bono

Publico” Sebagai Alternatif Dalam Pemenuhan Hak Memperoleh Keadilan Di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Ham, 6(2), 119

5 Peraturan Bupati Sinjai 8/2010 Tentang Pelayanan Bantuan

Hukum Kepada Masyarakat Tidak Mampu, Dalam

Http://Www.Ylbhi.Or.Id/2013/06/Inilah-Hasil-Penelitian-Tentang-Bantuan-Hukum-Di-Daerah/

(10)

7

dapat menyebabkan adanya pembatasan pemberian obyek hukum tidak meliputi bidang tata usaha negara maupun semua aspek pidana. meskipun perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana sudah ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) UU 8/1981.6 Hak atas bantuan hukum secara universal telah diatur dalam Pasal 14 ayat 3 International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dalam UU 12/2005), yaitu:

(a) untuk segera diberitahu secara terperinci dalam bahasa yang ia mengerti, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; (b) untuk mendapat waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela dirinya secara sendiri atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri; untuk diberitahu tentang haknya atas bantuan hukum apabila ia tidak mempunyai pembela, dan untuk mendapatkan bantuan hukum jika kepentingan keadilan menghendaki demikian, dan tanpa pembayaran darinya apabila ia tidak memiliki cukup sarana untuk membayarnya; (e) untuk memeriksa, atau

6Lestari Entika Fany; Artharina, Filia Prima, S. P. (2012).

Bantuan Hukum Dan Upaya Perlindungan Hak Asasi Terdakwa Dalam Proses Peradilan Pidana. Pidana, (Vol 2, No 2/Juli (2012): Civis). Retrieved From

(11)

8

meminta diperiksanya, saksi-saksi yang memberatkannya, dan meminta dihadirkannya dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama seperti saksi-saksi yang memberatkannya; (f) untuk mendapatkan bantuan penerjemah secara cuma-cuma apabila ia tidak mengerti atau tidak bisa berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; (g) untuk tidak dipaksa agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengakui kesalahannya. Pemberian bantuan hukum bagi orang miskin adalah perwujudan akses terhadap keadilan, yaitu equality before the law. Salah satu cara yang ditempuh oleh Negara dalam pemberian bantuan hukum adalah melalui mekanisme pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terakreditasi kepada orang miskin yang sedang bermasalah dengan hukum. Advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 22 ayat (1) UU 18/2003 Tentang Advokat. Advokat adalah bagian dari penegak hukum.7 Advokat

7Syahputra, A., Syahputra-Fungsi, A., Kedudukan, D., Sebagai, A.,

Hukum, P., Sistern, D., & Pidana, P. (2015). Fungsi Dan

Kedudukanadvokat Sebagai Penegak Huku1vi Dan Penemu Sebagai Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Prioris, 4(3). Retrieved From

Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=469571&Va l=9652&Title=Fungsi%20dan%20kedudukan%20%20advokat%20s

(12)

9

memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan proses pemberian bantuan hukum.8 Proses pemberian bantuan hukum secraa cuma-cuma harus dilakukan secara menyeluruh dan tepat.9

Di sisi lain terdapat kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada orang miskin. Peran advokat sangat penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan prinsip persamaan di hadapan hukum10 Laboratorium Klinik dan Bantuan Hukum (LKBH) Perguruan Tinggi dapat berkedudukan sebagai OBH yang memberikan bantuan hukum secara Cuma Cuma setelah adanya UU 16/2011. Yang sebelumnya dapat diancam strafmaxima 5 tahun penjara dan denda lima puluh juta rupiah berdasarkan Pasal 31 UU 18/2003.11

ebagai%20penegak%20hukum%20dan%20penemu%20hukum%20 dalam%20sistem%20peradilan%20pidana

8Lasmadi, S. (2014). Peran Advokat Dalam Pendampingan

Hukum. Inovatif, Vii(Ii), 59–75. Retrieved From

Https://Media.Neliti.Com/Media/Publications/43209-Id-Peran-Advokat-Dalam-Pendampingan-Hukum.Pdf

9Akmaluddin. (2014). Peranan Advokat Dalam Sistem Peradilan Di

Indonesia. Ganec Swara, 8(2), 48–55.

10Sutrisni, N. K. (2015). Tanggung Jawab Negara Dan Peranan

Advokat Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu Oleh. 155 Jurnal Advokasi, 5(2). Retrieved From Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=438819&Va l=6188&Title=Tanggung%20jawab%20negara%20dan%20peranan %20advokat%20dalam%20pemberian%20bantuan%20hukum%20te rhadap%20masyarakat%20tidak%20mampu

11Susilo, I. (2017). Kedudukan Laboratorium Klinik Dan Bantuan

Hukum Dalam Mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pada Fakultas Hukum Uncen). Papua Law Journal ■, 1(2),

(13)

10

Bentuk bantuan hukum pada dasarnya ada dua yaitu litigasi dan non litigasi. Pemberian bantuan hukum litigasi meliputi kasus pidana, perdata dan tata usaha negara. Pemberian bantuan hukum non litigasi meliputi penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, baik secara elektronik maupun non elektronik, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan dan/atau drafting dokumen hukum. Kedudukan OBH sangat penting bagi proses pemberian bantuan hukum yang tepat sasaran subyek hukum, obyek hukum dan prosedurnya.

237–252. Retrieved From

(14)

11 Lembar kerja

Buatlah kelompok dengan anggota 5 orang, diskusikanlah tentang:

1. Pengertian bantuan hukum

2. Alasan dibutuhkannya bantuan hukum bagi kaum marginal

(15)

12

BAB II

SEJARAH BANTUAN HUKUM

Tujuan instruksional dalam bab ini adalah mahasiswa mengetahui sejarah bantuan hukum secara universal sampai nasional.

Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.12

12Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan

Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung, : CV. Mandar

(16)

13 A. Masa Sebelum Kemerdekaan

Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.13 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.14 Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 Ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain:

13Abdurrahman,Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta

: Cendana Press, 1983), hlm. 40.

14 Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi

Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media

(17)

14 1. Golongan Eropa.

Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang diakui undang-undang. 2. Golongan Timur Asing.

Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.

3. Golongan Bumiputera.

Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).15

Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem

15 Pasal 163 Indische Staatsregeling, diakses dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Pasal_163_Indische_Staatsregeling, pada tanggal 25 September 2018 pukul 19:52.

(18)

15

peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputiDistrictgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.

Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Kemudian bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.

Apabila diperbandingkan, HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Tidak demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera.Pemerintah kolonial tidak menjamin hak

(19)

16

fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat danmendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia.10Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah orang Belanda.16

Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah

16 Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak

Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta : PT. Elex Media

(20)

17

pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.17 Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.18

Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia.19

17

Ibid, hlm. 9, et seq

18

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm.

12.

(21)

18

Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum.

B. Masa Pemerintahan Presiden Soekarno

Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.20

Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut.

“Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak

20 Bambang Sunggono dan Aries Harianto.Op.cit., hlm.

14.

(22)

19

berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.

“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam

perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.”21

(23)

20

C. Masa Pemerintahan Presiden Soeharto

Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.22 Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh

Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut:

“Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.

(24)

21

“Campur tangan kekuasaan eksekutif

pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.”Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menulis sebagai berikut: “… Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.”

Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964

(25)

22

tentang Ketentuan-Ketentua Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.

Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan

(26)

23

Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.21

Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.

Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat

(27)

24

sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.

Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).23

Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970.

23

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak

(28)

25

Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.

Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi).

Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa

(29)

26

mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi).

Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.27Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum.

D.. Masa Reformasi

Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi

(30)

27

Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat (4) perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia.

E. Pasca Masa Reformasi

Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah

(31)

28

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis Guna melaksanakan amanat SEMA, sejak tahun 2011 telah dibentuk Pos-Pos Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum bertambah menjadi 69 di 69 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, direncanakan penambahan 5 Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Purwokerto,Pengadilan Agama Tulungagung, dan Pengadilan AgamaGirimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum.

Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan

(32)

29

diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.

Lembar Kerja

Buatlah kelompok diskusi yang beranggotakan 5 orang lalu buatlah resume perbandingan dalam bentuk tabel tentang sejarah bantuan hukum pada masa sebelum kemerdekaan, masa pemerintahan Soekarno, Masa pemerintahan Suharto, Masa Reformasi dan Pasca Reformasi.

(33)

30

BAB III

PENGATURAN BANTUAN HUKUM

Tujuan instruksional dalam bab ini adalah mahasiswa mengetahui pengaturan bantuan hukum dalam dua kajian substansi dan prosedur.

Organisasi Bantuan Hukum/OBH harus memiliki kerangka kerja yang tepat sebelum menetapkan seseorang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Langkah yang seharusnya diambil oleh OBH dalam memberikan bantuan hukum, harus mendasarkan pada telaah subyek hukum, obyek hukum dan prosedurnya.

Bantuan hukum sangat penting dalam suatu negara hukum. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum (Pasal 1 UU 16 Tahun 2011). Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas:

1. keadilan, artinya menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib

2. persamaan kedudukan di dalam hukum, artinya setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum;

3. keterbukaan, artinya memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar, jujur, dan tidak memihak dalam

(34)

31

mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional;

4. efisiensi, artinya memaksimalkan pemberian bantuan hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada;

5. efektivitas, artinya menentukan pencapaian tujuan pemberian bantuan hukum secara tepat dan

6. akuntabilitas setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan bantuan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (Pasal 2 UU 16 Tahun 2011 beserta penjelasannya).

Keenam asas yang terdapat dalam UU 16/2011 sudah sesuai dengan asas bantuan hukum secara universal, yaitu dapat diakses dengan mudah (accessible), dibiayai Negara (affordability), berkelanjutan (sustainable), tidak berpihak (credibility), dan dapat dipertanggungjawabkan/accountability.24 Tujuan diselenggarakannya bantuan hukum untuk:

1. menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

24

https://sidbankum.bphn.go.id/front/download?filename=4422_lapor an_tahunan_bantuan_hukum.pdf

(35)

32

2. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

3. menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah negara republik indonesia; dan

4. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 3 UU 16 Tahun 2011.

Bantuan hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum (Pasal 6 ayat (1) UU 16/2011). Tidak adanya bantuan hukum gratis merupakan penghalang untuk mendapatkan akses keadilan yang setara.25 Lahirnya UU No 16 Tahun 2011 diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum bagi rakyat atas akses bantuan hukum dengan mudah. Aturan yang terdapat dalam UU No 16 Tahun 2011 menunjukkan bahwa sistim bantuan hukum masih mengandung kelemahan pada substansi dan prosedurnya.

A. Substansi Bantuan Hukum

Substansi hukum pada sistim bantuan hukum terdiri atas dua unsur yaitu subyek hukum dan obyek hukum

25 Kristel Jürilo, 2015, Free Legal Aid – A Human Right,

(36)

33

bantuan hukum. Subyek hukum bantuan hukum adalah pihak yang terkait dalam proses penyelenggaraan bantuan hukum.

1. Subyek Hukum Bantuan Hukum

Subyek hukum bantuan hukum adalah pihak yang terkait dalam proses penyelenggaraan bantuan hukum. Subyek hukum bantuan hukum Terdiri atas penyelenggara, pemneri dan penerima bantuan hukum. Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan UU 16/2011.Penyelenggara bantuan hukum adalam Menteri Hukum dan Ham.

a. Penyelenggara Bantuan Hukum

Penyelenggara Batuan Hukum adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia(Menkumham), yang dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Kewenangan Menkumham adalah

1. mengawasi dan memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan

2. melakukan verifikasi dan akreditasi (yang dilakukan setiap 3 tahun) terhadap lembaga

(37)

34

bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum

Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas Kemenkumham, akademisi, tokoh masyarakat; dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum (Pasal 1 angka 4 jo Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 7 UU 16/2011).

b. Pemberi Bantuan Hukum

Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum (Pasal 1 angka 3 UU 16/2011). Syarat pemberi bantuan hukum adalah berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap, memiliki pengurus dan memiliki program bantuan hukum (Pasal 8 UU 16/2011). Pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi syarat memiliki hak dan kewajiban. Hak pemberi bantuan hukum untuk:

a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;

b. melakukan pelayanan bantuan hukum; c. menyelenggarakan penyuluhan hukum,

konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan

(38)

35

bantuan hukum (investigasi kasus, pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat);

d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini;

e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan

g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian bantuan hukum (Pasal 9 UU 16/2011).

Kewajiban dari pemberi bantuan hukum adalah untuk: a. melaporkan kepada menteri tentang program

bantuan hukum;

b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian

(39)

36

c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut; d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau

keterangan yang diperoleh dari penerima bantuan hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan

e. memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum (Pasal 10 UU 16/2011).

Pemberi bantuan hukum dapat memperoleh dana untuk penyelenggaraan bantuan hukum yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), hibah atau sumbangan; dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani. Ancaman pidana dapat diberikan kepada pemberi bantuan hukum yang melangga, yaitu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (Pasal 16 jo Pasal 19 jo. Pasal 21 UU 16/2011).

(40)

37

Untuk saat ini, berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.HN.03.03 TAHUN 2016 tanggal 7 Januari 2016 Tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum Yang Lulus Verifikasi dan Akreditasi Sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 ada 405 (empat ratus lima) OBH. Untuk wilayah Jawa Timur berjumlah 44 (empat puluh empat) OBH. Untuk wilayah Kota Surabaya berjumlah 10 (sepuluh) OBH.

c. Penerima Bantuan Hukum

Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum dan yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 5 UU 16/2011).

UU 16/2011 membatasi arti miskin pada tidak terpenuhinya hak dasar. Pengertian miskin didefinisikan berbeda oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan PBB. BPS mendefinisikan miskin sebagai garis kemiskinan.

1. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per

(41)

38

bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)

3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.26

Pengertian miskin dari BPS terletak pada parameter kebutuhan dasar makanan sebesar 2100 kilo kalori perkapita perhari dan kebutuhan dasar non makanan.

Pengertian miskin menurut BPS ini berbeda dengan pengertian miskin secara universal oleh PBB. Dalam United Nations Millennium Declaration, dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000 tentang United Nations Millenium Declaration/MDGs (A/RES/55/2).27 Deklarasi ini ditindak lanjuti dalam World Summit Outcome.28 Parameter

26 https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23.

27 http://www.un.org/millennium/declaration/ares552e.htm 28

(42)

39

miskin menurt MDGs terletak pada penghasilan kurang dari US$ 1 per hari. Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia belum harmonis dengan Target MDGs karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan kemiskinan.29

Mahkamah Agung mendefinisikan miskin sebagai orang yang tidak mampu. Dalam Perma No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan terdiri atas pembebasan biaya perkara, sidang di luar gedung Peradilan, Posbakum Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 Perma 1/2014). Komponen biaya akibat dari pembebasan biaya perkara terdiri atas materai, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan isi putusan, biaya sita jamina, biaya pemeriksaan setempat, biaya saksi/ahli, biaya eksekusi, alat tulis kantor, penggandaan/ foto copy berkas dan surat- surat yang berkaitan dengan berkas perkara, penggandaan Salinan putusan, pengiriman pemberitahuan nomor register ke Pengadilan pengaju dan para pihak, Salinan putusan, berkas perkara dan surat-surat lain yang dipandang perlu, pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang telah diminutasi dan penggandaan perlengkapan kerja

29Emmy Latifah, (2011), Harmonisasi Kebijakan

Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Yang Berorientasi Pada

Millennium Development Goals, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11

(43)

40

kepaniteraan yang habis pakai Negara (Pasal 11 ayat (1) Perma 1/2014).

Pemberian bantuan hukum hanya diberikan oleh orang miskin yang menghadapi masalah hukum, belum menyentuh perempuan, anak, buruh, petani, korban pencemaran lingkungan masyarakat marginal.30 Belum semua rakyat yang membutuhkan dapat menikmati fasilitas bantuan hukum secara cuma-cuma dari Negara, termasuk masyarakat marginal. Masyarakat marginal/ grassroot (akar rumput) adalah masyarakat lapisan terbawah yang mengalami masalah kemiskinan dan pengucilan dan tidak memiliki akses terhadap pasar tenaga kerja, tanah, distribusi produk dan hak-hak tertentu.31 Di wilayah Kota Surabaya bantuan hukum belum dapat dirasakan oleh kaum disabilitas32, buruh, 33warga sengketa pompa air Keputih.34 Mereka dapat digolongkan ke dalam masyarakat marginal di Kota Surabaya.

30 Iwan Wahyu Pujiarto Syafruddin Kalo, Eka Putra, Edy

Ikhsan, (2015), Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Usu Law Journal, Vol.3.No.2, 87-96.

3131 Samandawai, S. (2001). Mikung: bertahan dalam

himpitan: kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya. Yayasan Obor

Indonesia, h. 1.

32 Wawancara tak terstruktur dengan Anton, penyandang

Disabilitas di Surabaya tanggal 1-8-2017 .

33 Wawancara tak terstruktur dengan Agus, pengurus FSPMI

di Surabaya tanggal 2-8-2017

34 Wawancara tak terstruktur dengan Imam Basuki, warga

(44)

41

2. Obyek Bantuan Hukum

Obyek hukum terbagi menjadi tiga bidang, yaitu masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi. Bantuan hukum yang diberikan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum (Pasal 4 UU 16/2011). Obyek Bantuan Hukum terbagi menjadi tiga bidang, yaitu masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Bantuan hukum yang diberikan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum (Pasal 4 UU 16/2011).

Pemberian Bantuan hukum non litigasi meliputi penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, baik secara elektronik maupun non elektronik, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan dan / atau drafting dokumen hukum. Pemberian bantuan hukum litigasi meliputi:

a. Kasus pidana, meliputi penyidikan, dan persidangan di pengadilan tingkat I, persidangan tingkat banding, persidangan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali;

b. Kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali; dan

(45)

42

c. Kasus tata usaha negara, meliputi pemeriksaan pendahuluan dan putusan pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

Satuan biaya litigasi perkasus adalah Rp. 8.000.000 dengan rincin sebagai berikut:

Perkara Perdata/Pidana/Tata Usaha Negara Nilai Biaya Tahap Gugatan/ Pemeriksaan Pendahuluan/

Penyidikan

Rp. 2.000.000

Tahap Putusan Pengadilan Tingkat I Rp. 3.000.000

Tahap Putusan Pengadilan Tingkat Banding Rp. 1.000.000 Tahap Putusan Pengadilan Tingkat Kassai Rp. 1.000.000

Tahap Peninjauan Kembali Rp. 1.000.000

Total satuan biaya Rp. 8.000.000

Satuan biaya itu akan diberikan secara reimburse dan dilakukan pertahap, meskipun dalam praktik jumlah itu tidak secara utuh diterima oleh Pemberi Bantuan Hukum. Ada pemotongan satuan biaya hingga Rp. 750.000 perkasus. Hal ini menurut Pengadilan Tingkat I dapat dibenarkan karena memenuhi satuan biaya yang dapat dipotongkan akibat pembebasan biaya perkara berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Perma 1/2014. Substansi obyek pada bantuan hukum terdapat perbedaan antara aturan dan praktik. Di wilayah Kota Surabaya hanya terbatas diberikan kepada terdakwa yang miskin. Seharusnya menurut aturan bantuan hukum dapat diberikan untuk perkara keperdataan, pidana dan

(46)

43

tata usaha negara. Dalam praktik di wilayah Surabaya, untuk perkara pidana, hanya dibatasi pada penerima bantuan hukum yang memenuhi kriteria miskin serta sebagai pelaku pidana (terdakwa) bukan berkedudukan sebagai korban perbuatan pidana.35 Hal ini belum sesuai dengan ketentaun Pasal 22 ayat (3) Perma 1/2014, yaitu penerima bantuan hukum adalah pihak yang akan/telah bertindak sebagai :

1. Penggugat/ pemohon, atau 2. Tergugat/termohon, atau 3. Terdakwa, atau

4. Saksi.

Ketentuan ini kurang memberikan rasa keadilan, mengingat ada perkara pidana perburuhan, dimungkinkan terjadi kriminalisasi buruh atas adanya perselisihan perburuhan.36 Akibatnya makin banyak dari masyarakat marginal lainnya yang sulit untuk dibantu.

B. Prosedur Bantuan Hukum

Prosedur bantuan hukum adalah prosedur yang harus ditempuh bagi subyek hukum dalam penyelenggaraan bantuan hukum, meliputi prosedur untuk memberikan/ menerima bantuan hukum. Prosedur pemberian bantuan hukum terdiri atas:

35 Wawancara tak terstruktur dengan Noor Prapto (Penyuluh

Hukum Ahli Madya pada Kemenkumham Jawa Timur), di Surabaya tanggal 14-8-2017

36 Wawancara tak terstruktur dengan Agus, pengurus FSPMI

(47)

44

1. Mengajukan permohonan bantuan hukum kepada pemberi bantuan hukum, dengan memenuhi syarat:

1). Mengajukan permohonan secara tertulis (dapat dilakukan secara lisan apabila tidak mampu) yang berisi sekurang-kurangnya:

i. identitas pemohon (nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, dan pekerjaan yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk, surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang) dan

ii. uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum. 2). Menyerahkan dokumen yang berkenaan

dengan perkara; dan

3). Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum (Pasal 14 ayat (1) UU 16/2011)

2. dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan bantuan hukum.

3. dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, pemberi bantuan hukum memberikan bantuan

(48)

45

hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima bantuan hukum.

4. dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan hukum mencantumkan alasan penolakan.

Lembar Kerja

Buatlak kelompok yang beranggotakan 5 orang, lalu buatlah skema tentang substansi dan prosedur bantuan hukum.

(49)

46

BAB IV

STRATEGI PEMBERIAN BANTUAN

HUKUM

Tujuan instruksional dalam bab ini adalah mahasiswa memiliki kemampuan dasar untuk memberikan bantuan hukum di masyarakat.

Pemberian bantuan hukum adalah suatu perbuatan hukum. Diperlukan suatu langkah yang tepat/ kerangka kerja (framework) untuk melakukan suatu perbuatan hukum memberikan bantuan hukum kepada orang miskin. Langkah pemberian bantuan hukum harus tepat agar pemberian bantuan hukum dapat tepat sasaran. Dibutuhkan suatu kerangka kerja (framework) bagi OBH untuk dapat memebrikan bantuan hukum dengan tepat. Langkah kerja ini pada dasarnya merupakan suatu tahapan penelitian hukum, terdiri atas pengumpulan fakta hukum, perumusan masalah hukum, penelusuran norma hukum dan analisis hukum.

A. Pengumpulan Fakta Hukum

Pengumpulan fakta hukum dimulai dari keterangan yang diperoleh dari calon penerima bantuan hukum. Keterangan itu dapat berupa keterangan lisan atau tertulis. Tidak semua keterangan yang diberikan dapat

(50)

47

berfungsi sebagai fakta hukum. Seringkali orang yang awam akan hukum lebih memberikan keterangan dalam bentuk fakta sosial. Antara fakta yang ada di masyarakat/ sosial dan fakta hukum terdapat perbedaan yang mendasar. Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Misal, pembunuhan adalah perbuatan hukum; kelahiran adalah peristiwa hukum; di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan fakta hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti. Jadi, untuk dapat membedakan suatu fakta itu merupakan fakta sosial ataukah fakta hukum adalah ada tidaknya aturan hukum baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tentang fakta itu.

Sebagai contoh peristiwa hukum (rechtsfeit) adalah peristiwa yang oleh kaidah hukum diberi akibat hukum, yakni berupa timbulnya atau hapusnya hak dan/atau kewajiban tertentu bagi subjek hukum tertentu yang terkait pada peristiwa tersebut.

Peristiwa hukum dibedakan menjadi (1) peristiwa hukum yang berupa perbuatan subjek hukum, dan (2) peristiwa hukum yang berupa bukan perbuatan subjek hukum. Terdapat dua golongan dalam peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subjek hukum, yaitu yang merupakan perbuatan hukum, contohnya wasiat (merupakan perbuatan subjek hukum tunggal) dan perjanjian (merupakan perbuatan subjek hukum berganda). Adapun peristiwa hukum yang berupa perbuatan subjek hukum tetapi bukan perbuatan hukum contohnya adalah zaakwarneming (perlindungan kasus) dan onrechtmatigedaad (salah bertindak).

(51)

48

Pembagian peristiwa hukum yang kedua adalah peristiwa hukum yang berupa bukan perbuatan subjek hukum. Dibedakan dalam peristiwa kelahiran dan peristiwa kematian. Peristiwa kelahiran menimbulkan suatu hak dan kewajiban memelihara, mengasuh, dan mendidik anak. Adapun peristiwa kematian menimbulkan adanya hak pewarisan.

Seorang advokat/OBH pertama kali berhadapan dengan klien harus mendengar paparan klien menyangkut fakta hukum. Sikap pengacara/OBH terhadap klien adalah sikap skeptis dalam rangka mengorek kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati advokat mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara lengkap. Untuk dapat mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang relevan. Contoh andaikata fakta hukum berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, tentunya pengacara dalam mengajukan pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW.

Jadi, untuk dapat membedakan suatu fakta itu merupakan fakta sosial ataukah fakta hukum adalah ada tidaknya aturan hukum baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tentang fakta itu. Sebagai contoh suatu janji yang telah dibuat oleh pihak-pihak mengikat sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Pertanyaannya apakah setiap bentuk janji itu sebagai fakta hukum? Kita harus melihat objek perjanjian itu. Tidaklah sama antar suatu fakta bahwa penjual dan pembeli saling berjanji untuk mengadakan hubungan hukum jual beli dengan suatu janji yang dibuat oleh

(52)

49

sepasang remaja untuk menonton bioskop. Janji yang dibuat oleh penjual dan pembeli merupakan suatu fakta hukum karena mempunyai akibat yang diatur oleh hukum, yaitu hukum perjanjian jual beli yang diatur di dalam BW. Berbeda dengan janji yang dibuat oleh sepasang remaja untuk menonton bioskop, janji itu bukanlah suatu fakta hukum, melainkan hanya sebagai fakta sosial yang tidak mempunyai akibat hukum karena hubungan itu tidak diatur oleh hukum dan tidak mempunyai akibat hukum.

Sebelum melakukan analisis hukum, yang perlu dicermati adalah kemampuan untuk memisahkan fakta, apakah fakta hukum ataukah hanya merupakan fakta sosial. Seorang advokat/OBH, harus berhati-hati dalam melakukan pemilihan fakta. Pemilihan fakta menjadi dasar dalam melakukan analis hukum. Sering kali uraian yang tertulis di dalam media masa sebagian besar hanya berupa fakta sosial. Demikian juga uraian yang disampaikan seorang klien dalam melakukan konsultasi hukum.

Pengumpulan fakta hukum kadang kala disebut dengan penelusuran bahan hukum. Penelusuran bahan hukum merupakan tahap pertama yang harus dilakukan oleh calon pemberi bantuan hukum/OBH.

B. Perumusan Masalah Hukum

Setelah bahan hukum awal diperoleh, kemudian dapat dilakukan tahap berikutnya, yaitu perumusan masalah.

(53)

50

Tahap kedua yang harus dilakukan adalah melakukan klasifikasian hakikat permasalahan hukum. Dalam pengklasifikasian, harus dikaitkan dengan pembagian hukum positif, yaitu hukum publik dan hukum privat, dimana masing-masing terdiri atas berbagai disiplin. Misalnya, hukum publik terdiri atas Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi, dan Hukum Internasional Publik, sedangkan hukum privat terdiri atas Hukum Dagang dan Hukum Perdata. Selain itu, ada disiplin fungsional yang memiliki karakter campuran, seperti Hukum Perburuhan. Sebagai contoh, pada saat melakukan pengklasifikasian hakikat permasalahan hukum, untuk masalah “pembayaran Tunjangan Hari Raya bagi pekerja informal”. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetakan, kira-kira masalah Tunjangan Hari Raya bagi pekerja merupakan bidang hukum perdata, pidana, ataukah administrasi. Dalam hal ini apabila kita akan memecahkan masalah yang berkaitan dengan pekerja berarti berkaitan dengan hubungan antar individu. Hukum yang mengatur hubungan antar individu adalah hukum privat atau hukum perdata. Selanjutnya, setelah kita tahu bahwa masuk lingkup hukum perdata, maka kita akan melakukan pemetakan lebih lanjut yang berkaitan dengan bidang-bidang yang diatur dalam hukum perdata. Hukum Perdata mengatur tentang orang, benda perikatan, waris, dan daluwarsa. Untuk bidang yang berkaitan dengan pekerja adalah hukum perikatan, secara khusus masuk perjanjian kerja. Nah, setelah kita mengetahui klasifikasi masalah hukum dengan tepat, barulah kita mencari norma hukum positifnya.

(54)

51

Hekikat permasalahan hukum dalam sistem peradilan kita berkaitan dengan lingkungan peradilan yang dalam penanganan perkara berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan. Masalah hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung oleh alat-alat bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute approach, yang kemudian diikuti dengan conseptual approach.

Dengan demikian, identifikasi masalah hukum berkaitan dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah menjadi elemen-elemen pokok. Selanjutnya, masing-masing masalah/isu tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta, dikaitkan dengan aturan hukum dan teori serta asas hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku. Terhadap tiap isu yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada akhirnya ditarik simpulan (opini) terhadap tiap isu. Berdasarkan simpulan (opini) atas tiap isu, ditarik simpulan atas pokok masalah, yaitu: ada tidaknya asas hukum yang dilanggar dalam kasus pemberian THR bagi pekerja informal.

Perumusan masalah, merupakan inti dari penelitian hukum normatif. Perumusan masalah diawali dengan adanya identifikasi masalah. Terhadap tema pokok diajukan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen) yang relevan. Tiap pertanyaan hukum dan seterusnya melahirkan sub-sub pertanyaan hukum, pertanyaan hukum harus tuntas, sistematis dan terklasifikasi, jelas pembatasan dan apa alasan pembatasannya. Klasifikasi

(55)

52

pertanyaan hukum akan menjadi bab-bab isi. Rumusan masalah disebut juga isu hukum.

Bagaimana mengidentifikasi isu hukum? Isu hukum adalah masalah yang harus dipecahkan di dalam penelitian hukum. Masalah timbul karena adanya dua proposisi yang mempunyai hubungan yang bersifat fungsional, kausalitas, atau menegaskan. Isu Hukum dalam dogmatik hukum timbul apabila:

1. Adanya penafsiran yang berbeda atau saling bertentangan terhadap teks peraturan karena ketidakjelasan peraturan itu sendiri.

2. Terjadi kekosongan hukum.

3. Terdapat perbedaan penafsiran atas fakta. Di dalam merumuskan isu hukum harus diperhatikan rumusan kata tanyanya, jangan menggunakan kata tanya yang tidak pasti, misalnya sejauh mana, faktor-faktor apakah, bagaimana dampaknya? Sebaiknya dibuat rumusan hukum yang hanya ada satu jawaban, yaitu “ya atau tidak”, bukan “ya dan tidak”. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang bersifat alternatif sementara. Mahasiswa harus menentukan terlebih dahulu jawaban sementaranya dengan ya, kemudian dilanjutkan dengan mengapa ya. Dan jika jawabannya tidak, dilanjutkan dengan mengapa tidak. Selanjutnya, harus dibuat argumentasi atas jawaban yang tentunya jawaban itu harus didukung oleh norma hukum dan konsep hukum yang sesuai dengan hakikat, sumber, dan jenis dari masalah yang diteliti. Oleh karena itu, kata tanya yang tepat adalah Apakah,

(56)

53

Bagaimana, dan kemudian diikuti dengan kalimat yang merupakan statemen dan hanya dapat dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”.

C. Penelusuran Norma Hukum

Penelusuran norma hukum dapat dijabarkan dalam dua bentuk, yaitu penemuan hukum dan penafsiran hukum. Penemuan hukum dapat dilakukan dengan penelaahan peraturan perundang-undangan. Dalam pola Civil law, yang dipakai hukum utamanya adalah legalisasi. Oleh karena itu, langkah dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran perundang-undangan berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2, peraturan perundang-undang adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Langkah ini merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statute approach, atau pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pada penemuan hukum yang menggunakan statute approach, tentulah berpijak dari norma inti. Norma inti masalah hukum dari kasus yang sedang dianalisis merupakan norma sentral yang menjadi pijakan penelusuran norma hukum berikutnya. Penelusuran dapat dilakukan secara vertikal maupun horisontal. Apakah ada peraturan yang saling bertentangan secara

(57)

54

vertikal atau secara horisontal. Maksud ada tidaknya pertentangan atau sinkronisasi vertikal adalah ada tidaknya kesesuaian antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, atau sebaliknya. Misalnya, perbandingan antara pasal dalam UU dengan pasal dalam UUD ’45 (sinkronisasi vertikal ke atas). Ataupun perbandingan antara pasal dalam Keputusan Menteri dengan pasal dalam UU (sinkronisasi vertikal ke bawah).

Selanjutnya, penelusuran juga dapat dilakukan secara horisontal dalam arti melakukan perbandingan apakah terdapat pertentangan antara dua atau lebih peraturan yang sejajar kedudukannya. Misalnya, antara pasal dari UU yang satu dengan UU yang lain.

Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakikat proposisi, maka norma terdiri atas rangkaian konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami konsep. Inilah yang dikenal dengan conceptual approach. Conceptual approach merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Sebagai contoh dikemukakan ole Philipus M Hadjon, yaitu: norma Pasal 1365 BW, yaitu bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian. Dalam norma tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan adalah:

(58)

55

Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian yang ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.

Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan hukum. Pertanyaan menyusul adalah itu perbuatan siapa dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa yang bertanggung.

2. Konsep melanggar hukum

Harus dimaknai secara jelas unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata orang berpaling kepada yurisprudensi.

Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal:

- Melanggar hak orang lain

- Bertentangan dengan kewajiban hukumnya

- Melanggar kepatuhan - Melanggar kesusilaan 3. Konsep kerugian

Unsur-unsur kerugian meliputi:

- Schade: kerusakan yang diderita. - Winst: keruntungan yang diharapkan. - Kostan: biaya yang dikeluarkan.i

Dengan contoh di atas bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini, pertama kali peneliti menyusun pra penelitian dengan memilih masalah, memilih judul yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dan

Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% variabel tersebut berpengaruh sangat nyata terhadap kepuasaan kerja Pegawai Akbid Pemkab Muara Enim,

Pada tahap ini akan dilakukan analisis lebih dalam mengenai kebutuhan bisnis dan informasi yang diharapkan oleh manajemen perusahaan. Data yang telah dikumpulkan

Pada tahap perencanaan ada beberapa langkah yang dilakukan meliputi : (1) Melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui kompetensi dasar yang akan disampaikan

identifying code-switching occurrences, classifying the types and the functions of code- switching, quantifying every type and function of code-switching, interpreting and

Berdvirsvirrkvirn urvirivirn tersebut, mvirkvir dvirpvirt disimpulkvirn bvirhwvir iklim orgvirnisvirsi dvirn kompetensi pedvirgogik virkvirn berkontribusi terhvirdvirp

Information entropy h is computed from a discrete probability distribution p : i i s 1, 2,. This quantity i i was originally proposed by Shannon as a measure of the average

Sehubungan dengan proses Pemilihan Langsung paket pekerjaan Pembangunan dan Pengembangan Sarana Distribusi Perdagangan / Pasar (Pasar Pilolodaa) Dinas Perindustrian Perdagangan