• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MELAYU TRADISIONAL DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MELAYU TRADISIONAL DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH:"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus Di Desa Rantau Langsat, Kec. Batang Gangsal,

Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau

IRZAL FAKHROZI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

Studi Kasus Di Desa Rantau Langsat, Kec. Batang Gangsal,

Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau

IRZAL FAKHROZI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(3)

RINGKASAN

IRZAL FAKHROZI. E34050634. Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh : Studi Kasus di Desa Rantau Langsat, Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dibimbing oleh : AGUS HIKMAT dan MOH. HARYONO

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan. Diharapkan dengan adanya pendokumentasian pengetahuan etnobotani suku Melayu Tradisional di TN. Bukit Tigapuluh, pengetahuan yang ada di masyarakat tidak hilang dan hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam kegiatan pengembangan sumberdaya hutan, khususnya berbagai spesies tumbuhan untuk kesejahteraan masyarakat berbasis pengetahuan/ kearifan lokal.

Penelitian dilakukan melalui tiga tahapan yaitu studi pustaka, observasi lapang dan wawancara serta pengolahan dan analisis data. Dari penelitian yang dilakukan Masyarakat suku Melayu Tradisional memanfaatkan ± 266 spesies tumbuhan yang dikelompokkan ke dalam 94 famili tumbuhan. Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional yaitu tumbuhan pangan (73 spesies), penghasil getah dan damar (16 spesies), kayu bakar (5 spesies), bahan bangunan (47 spesies), penghasil tali, kerajinanan dan anyaman (22 spesies), tumbuhan obat (173 spesies), tumbuhan aromatik, penghasil racun dan zat warna (11 spesies), kegunaan adat (13 spesies), penghasil pakan (9 spesies) dan tumbuhan hias (18 spesies).

Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hasil dari pengambilan hasil hutan dan kebun juga mereka perjual belikan. Untuk melindungi lingkungan, memanfaatkan, dan menjaga sumberdaya alam yang ada di desanya, pemerintah desa dan pemuka adat masyarakat membuat suatu peraturan desa tentang perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam Desa Rantau Langsat berdasarkan hukum adat.

(4)

SUMMARY

IRZAL FAKHROZI. E34050634. The Ethnobotany of Traditional Malayan Ethnic Surround Bukit Tiga Puluh National Park: Case study at Rantau Langsat Village, Batang Gangsal Subdistrict, Indragiri Hulu Regency, the Province of Riau. Under Supervision of : AGUS HIKMAT and MOH. HARYONO

The aims of this study are to identify the utilization of plants by Traditional Malayan ethnic in using the plants. By documenting the ethnobotany of Traditional Malayan ethnic, it is expected that the community’s knowledge concerning about the traditional usage of plants will not be lost. In addition, it can be input data for the local government in managing forest resources, especially in managing various species of plants for developing community’s welfare based on traditional knowledge and wisdom.

The study was conducted through 3 stages: literature study, field observation and interviews, data processing and analysis. The result of the research showed that Traditional Malayan ethnic use ± 266 species of plants. Those plants are grouped into 94 families. The plants utilization of Traditional Malayan ethnic consists of food plants (73 species), sap and resin produced plants (16 species), firewood (5 species), building materials (47 species), rope and handicraft materials (22 species), medicinal plants (173 species), aromatic plants, toxic and coloring materials (11 species), cultural purposes (13 species), cattle feeding (9 species) and ornamental plants (18 species).

The local people of Traditional Malayan ethnic use the plants products that they obtain from forest and garden not only for fulfilling their daily need but also for trading. The village government and the traditional community leader have issued customary low regarding protection and utilization of natural resources at Rantau Langsat village in order to keep the sustainability of the natural resources and conserve their environmental.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Etnobotani

Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh: Studi Kasus di Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2009

Irzal Fakhrozi E34050634

(6)

Judul Penelitian : Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh: Studi Kasus di Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau

Nama : Irzal Fakhrozi

NIM : E34050634

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Ir. Moh. Haryono, M.Si

NIP. 196209181989031002 NIP. 196401081990031002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Etnobotani Masyarakat Suku

Melayu Tradisional di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh : Studi Kasus di Desa Rantau Langsat, Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau”

disusun sebagai suatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana bidang kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan pengetahuan etnobotani dan kearifan masyarakat suku Melayu Tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan. Hal ini penting dilakukan karena masyarakat suku Melayu Tradisional merupakan salah satu suku yang ada di TN. Bukit Tigapuluh dan memanfaatkan tumbuhan dan ekosistem hutan yang ada di Bukit Tigapuluh.

Diharapkan nantinya penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai sumber data dan informasi bagi para pihak dalam kegiatan pengembangan sumberdaya hutan, upaya pembinaan dan pemberdayaan masyarakat suku Melayu Tradisional dan pelestarian tumbuhan khususnya berbagai spesies tumbuhan untuk kesejahteraan masyarakat dengan berbasis pengetahuan/ kearifan lokal masyarakat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, untuk itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan saran-saran dan petunjuk serta kritik yang membangun.

Bogor, Desember 2009 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Manau, Provinsi Riau pada tanggal 26 Desember 1987. Merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Darman dan Ibu Raja Yurida. Pendidikan formal dimulai di SDN 003 Teluk Pinang-Riau tahun 1993-1999, SMPN 2 Tembilahan-Riau tahun 1999-2002 dan SMAN 2 Tembilahan tahun 2002-2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Siswa Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di Himpunan Profesi (HIMAKOVA) dan organisasi mahasiswa daerah Riau (IKPMR-Bogor). Di Himakova penulis tergabung dalam Kelompok Pemerhati Gua – Hira dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna-Python, penulis merupakan koordinator divisi pemetaan gua tahun 2007 -2008, Ketua Biro Pengembangan Sumberdaya Manusia HIMAKOVA periode 2007-2008. Di IKPMR-Bogor penulis merupakan Ketua bidang Kajian Strategis Daerah IKPMR-Bogor tahun 2007-2008, Anggota Badan Legislatif Organisasi IKPMR Bogor tahun 2008-sekarang, reporter majalah Dang

Merdu IKPMR-Bogor 2007-sekarang. Selain di organisasi mahasiswa penulis

juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi dan Pemantauan Tumbuhan, Metode Statistik, dan Konservasi Tumbuhan Obat tropika.

Praktek Lapang Kehutanan yang pernah diikuti Penulis diantaranya Praktek Pengenalan Ekositem Hutan di Linggarjati-Indramayu (2007), Praktek Umum Konservasi Eksitu Jonggol- Kebun Raya Bogor (2008), Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Tesso Nilo (2009). Kegiatan lapang HIMAKOVA yang diikuti penulis diantaranya, Eksplorasi Flora, Fauna dan Ekowisata Indonesia di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi tahun 2007, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) Himokava IPB di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Sulawesi Selatan) tahun 2007 dan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (Kalimantan Barat) tahun 2008.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillahirobbilla’lamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas izin dan

kemudahan dari-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ibu dan Ayah tercinta, atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, semangat

serta segala dukungan dan pengorbanannya.

2. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F. dan Bapak Ir. Moh. Haryono, M.Si. atas bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan saran yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Dra. Sri Rahayu, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan, Bapak Dr. Ir. Wayan Darmawan, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengajaran dan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.

5. Kakakku Engla Syafrida S.Pd, Adik-adikku Metti Handayani dan Dara Arubi serta seluruh keluarga besar atas do’a, kasih sayang, dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh beserta seluruh jajaran stafnya; Pak Lancar, Bang Hisan, Bang Ibram dan semuanya atas bantuannya selama penelitian dilaksanakan.

7. Keluarga besar bapak M. Nasir (Kepala Desa Rantau Langsat) atas semua bantuan dalam pengambilan data lapang, nasehat-nasehat, saran, izin, fasilitas tempat tinggal dan lainnya selama penelitian dilaksanakan.

8. Bapak Bustani (pendamping lapang) dan Seluruh masyarakat Desa Rantau Langsat yang memberikan bantuan dalam pengambilan data serta rasa kekeluargaan dan sambutan yang baik selama penulis melakukan penelitian.

(10)

9. Seluruh Staf Tata Usaha Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, atas bantuannya kepada penulis selama kuliah dan penyelesaian skripsi.

10. Bapak dan Ibu Guru SDN 03 Teluk Pinang, SMPN 1 Teluk Pinang, SMPN 2 Tembilahan, SMUN 2 Tembilahan Kab. Indragiri Hilir yang telah turut andil memberikan pendidikan, nasehat, saran dan arahan kepada penulis.

11. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan Kelompok Pemerhati Gua (KPG) Hira atas dukungan, kekeluargaan, canda, tawa, pengalaman, ilmu pengetahuan dan kebersamaan dalam pendidikan dan penyusunan skripsi.

12. Keluarga besar KSHE 42 (Tarsius 42) atas kebersamaan, tawa, canda, duka, dan pengalaman yang dilalui bersama-sama.

13. Kawan, sahabat dan saudara seperjuangan di Lab. Konservasi Tumbuhan Depertemen KSHE atas bantuan, kerjasama, motivasi, saran dan kebersamaan dengan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Keluarga besar FAHUTAN IPB atas kebersamaan, pengalaman, tawa, canda, duka, dukungan, motivasi dan saran-saran kepada penulis.

15. Teman-teman seperantauan di IKPMR-Bogor atas kebersamaan, saran, dukungan dan masukan yang diberikan kepada penulis.

16. Teman-teman Asrama Putera dan Puteri Riau (Dang Merdu).

17. Teman-teman semasa sekolah di SD, SMP, dan SMA terimakasih atas kebersamaan dan pertemanan yang masih terjalin sampai saat ini.

18. Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah, penelitian dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan bantuannya.

Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya dan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan maupun yang tidak tersebutkan, Amin.

(11)

Halaman KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Etnobotani ... 3

2.1.1 Pengertian etnobotani ... 3

2.1.2 Ruang lingkup ... 3

2.2 Pemanfaatan Tumbuhan ... 4

2.2.1 Tumbuhan obat ... 4

2.2.2 Tumbuhan penghasil pangan ... 5

2.2.3 Tumbuhan penghasil pakan ternak ... 5

2.2.4 Tumbuhan hias ... 5

2.2.5 Tumbuhan penghasil zat warna ... 5

2.2.6 Tumbuhan aromatik ... 6

2.2.7 Tumbuhan penghasil pestisida alami dan bahan beracun ... 6

2.2.8 Tumbuhan untuk kegunaan adat ... 7

2.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar ... 7

2.2.10 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan ... 8

2.3 Masyarakat Tradisional dan Sistem Pengetahuannya ... 8

2.4 Taman Nasional ... 11

BAB III METODE PENELITIAN ... 13

(12)

3.2.1 Bahan ... 13

3.2.2 Alat ... 13

3.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 13

3.4 Jenis Data ... 15

3.4.1 Data primer ... 15

3.4.2 Data sekunder ... 15

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 15

3.6 Metode Analisis Data ... 16

3.6.1 Klasifikasi penggunaan tumbuhan ... 16

3.6.2 Persentase habitus ... 17

3.6.3 Persentase bagian yang dimanfaatkan ... 17

3.6.4 Tingkat kegunaan tumbuhan ... 17

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 18

4.1 Keadaan Fisik Kawasan ... 18

4.2 Sejarah Penetapan ... 19

4.3 Flora, Fauna dan Potensi Ekowisata ... 20

4.4 Kondisi Sosial Budaya Suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 22

4.4.1 Desa Rantau Langsat ... 22

4.4.2 Sejarah ... 23

4.4.3 Budaya dan agama ... 23

4.4.4 Perladangan berpindah ... 23

4.4.5 Perdagangan ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1 Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan ... 24

5.2 Pemanfaatan Tumbuhan Berdasarkan Habitus ... 28

5.3 Pemanfaatan Tumbuhan Berguna Berdasarkan Asal Tumbuhan ... 28

5.4 Pemanfaatan Tumbuhan Berdasarkan Kelompok Kegunaan ... 29

(13)

5.4.3 Tumbuhan penghasil getah/ damar ... 32

5.4.4 Tumbuhan obat... 33

5.4.5 Tumbuhan untuk bahan bangunan ... 36

5.4.6 Tumbuhan penghasil tali, bahan anyaman dan kerajinan ... 39

5.4.7 Tumbuhan untuk kegunaan adat ... 40

5.4.8 Tumbuhan pakan ternak ... 41

5.4.9 Tumbuhan penghasil zat warna, aromatik dan racun ... 42

5.4.10 Tumbuhan hias ... 42

5.5 Tingkat Kegunaan Tumbuhaan oleh Masyarakat Suku Melayu Tradisional ... 44

5.6 Kearifan dan Praktek Konservasi Suku Melayu Tradisional ... 46

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

6.1 Kesimpulan ... 50

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(14)

No. Halaman

1 Tahapan penelitian ... 16

2 Potensi objek wisata Taman Nasional Bukit Tigapuluh ... 22

3 Kelompok pemanfaatan tumbuhan oleh suku Melayu Tradisional ... 27

4 Tumbuhan penghasil pangan ... 31

5 Tumbuhan kayu bakar ... 32

6 Tumbuhan penghasil getah/ damar ... 33

7 Tumbuhan obat ... 34

8 Tumbuhan untuk rumah permanen ... 37

9 Tumbuhan untuk pondok kebun atau ladang ... 38

10 Tumbuhan untuk anyaman dan kerajinan ... 39

11 Tumbuhan untuk kegunaan adat ... 41

12 Tumbuhan untuk pakan ternak ... 41

13 Tumbuhan penghasil zat warna, aromatik dan racun ... 42

14 Tumbuhan hias ... 43

(15)

No. Halaman

1 Alur penelitian kajian etnobotani masyarakat suku Melayu

Tradisional ... 14

2 Peta Taman Nasional Bukit Tigapuluh ... 18

3 Jumlah spesies dan famili tumbuhan berguna ... 27

4 Persentase pemanfaatan tumbuhan berdasarkan habitus ... 28

5 Persentase pemanfaatan tumbuhan berdasarkan asal tumbuhan ... 29

6 Tumbuhan penghasil pangan ... 30

7 Persentase pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pangan pada tingkat habitus ... 30

8 Kayu Bakar ... 32

9 Tumbuhan penghasil getah/ damar ... 33

10 Spesies tumbuhan obat ... 34

11 Grafik pemanfaatan bagian tumbuhan obat ... 35

12 Persentase pemanfaatan tumbuhan obat pada tingkat habitus ... 35

13 Bangunan pondok ladang dan kebun ... 38

14 Kerajinan dan anyaman ... 40

15 Tumbuhan hias ... 43

(16)

No. Halaman

1 Spesies tumbuhan berguna di suku Melayu Tradisional di Desa

Rantau Langsat ... 55

2 Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 62

3 Pemanfaatan tumbuhan penghasil tali, kerajinan, dan anyaman oleh masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 68

4 Pemanfaatan tumbuhan untuk bahan bangunan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 69

5 Pemanfaatan tumbuhan penghasil zat warna, aromatik, dan racun pada masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 71

6 Pemanfaatan tumbuhan penghasil pangan pada masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 72

7 Pemanfaatan tumbuhan penghasil getah/ damar pada masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 76

8 Pemanfaatan tumbuhan hias pada masyarakat suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat ... 77

9 Kutipan Peraturan Desa No. 1 Desa Rantau Langsat ... 78

10 Daftar nama responden ... 84

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan adat istiadat suku bangsa. Indonesia yang dikenal sebagai Negara mega diversity tidak hanya kaya akan keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya tetapi juga memiliki keanekaragaman suku/ etnis dengan pengetahuan tradisional dan budaya yang berbeda dan unik tersebar dari sabang hingga merauke.

Pengetahuan tradisional yang dimiliki setiap suku/ etnis diwariskan turun temurun antar generasi. Pengetahuan tradisional yang merupakan unsur budaya muncul dari pengalaman-pengalaman individu disebabkan adanya interaksi dengan lingkungan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka beradaptasi dengan lingkungannya. Pengetahuan tradisional yang ada di masyarakat memiliki nilai-nilai kearifan masyarakat dalam hal menjaga lingkungannya.

Cara hidup manusia terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan harian. Dengan kemampuan adaptasinya, manusia akan berusaha memuaskan diri dan keinginannya sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Interaksi yang sangat kuat dan lama antara manusia dengan lingkungannya akan memunculkan suatu budaya lokal yang sesuai dengan lingkungannya. Kajian terhadap pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional atau etnobotani penting dilakukan agar pengetahuan kearifan mereka dalam pemanfaatan tumbuhan tersebut tidak hilang ditelan arus modernisasi. Diharapkan kedepannya pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari oleh masyarakat tradisional dapat dijadikan inspirasi penerapan dan pengelolaan hutan di Indonesia

Konservasi tidak hanya mencakup perlindungan dan pengawetan sumberdaya hayati yang ada tetapi juga mencakup pemanfaatan sumberdaya hayati dengan prinsip kelestarian. Praktek konservasi sangat erat kaitannya dengan kehidupan banyak suku tradisional di Indonesia, mereka memanfaatkan, melindungi serta menjaga sumberdaya alam hayati yang ada di hutan sekitar tampat tinggal mereka. Hutan merupakan sumber kehidupan mereka baik sebagai sumber pangan, pakan ternak, obat-obatan, dan sebagainya. Oleh karena itu

(18)

kelestarian hutan merupakan hal yang mesti mereka jaga agar kehidupan mereka dapat berkelanjutan.

TN. Bukit Tiga Puluh (TNBT) merupakan Taman Nasional yang terdapat di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Di dalam kawasan TNBT dan di sekitarnya hidup masyarakat asli yakni suku Kubu (nomaden), suku Melayu Tradisional/ Melayu Tua dan suku Talang Mamak. Masyarakat tersebut ada jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi. Keberadaan mereka di kawasan TNBT dengan kearifan lokal yang dimiliki dalam menjaga, melindungi, memanfaatkan secara lestari hutan merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki untuk dipelajari, dikembangkan dan dilestarikan.

1.2 Tujuan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data dan informasi bagi para pihak, khususnya Balai TNBT dan Pemerintah Daerah dalam kegiatan pengembangan sumberdaya hutan, upaya pembinaan dan pemberdayaan masyarakat suku Melayu Tradisional untuk kesejahteraan masyarakat dengan berbasis pengetahuan/ kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobotani

2.1.1 Pengertian etnobotani

Etnobotani menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa. Etnobotani berasal dari dua kata yunani yaitu Ethnos dan

botany. Etno berasal dari kata ethnos yang berarti memberi ciri pada kelompok

dari suatu populasi dengan latar belakang yang sama baik dari adat istiadat, karekteristik, bahasa dan sejarahnya, sedangkan botani adalah ilmu yang mempelajari tentang tumbuhan. Dengan demikian etnobotani berarti kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan atau dapat diartikan sebagai studi mengenai pemanfaatan tumbuhan pada suatu budaya tertentu (Martin 1998).

2.1.2 Ruang lingkup

Etnobotani adalah cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini adalah upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk keperluan spiritual dan nilai budaya lainnya. Dengan demikian termasuk kedalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan oleh penduduk setempat atau suku bangsa tertentu. Pemanfaatan yang dimaksud disini adalah pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup manusia lainnya. Sedangkan disiplin ilmu lainnya yang terkait dalam penelitian etnobotani adalah antara lain linguistik, anthropologi, sejarah, pertanian, kedokteran, farmasi dan lingkungan (Suwahyono 1992).

Terdapat empat usaha utama yang berkaitan erat dengan etnobotani, yaitu: 1) pendokumentasian pengetahuan etnobotani tradisional; 2) penilaian kuantitatif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber botani; 3) pendugaan tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan, untuk keperluan sendiri maupun untuk tujuan komersial; dan 4) proyek yang bermanfaat untuk

(20)

memaksimumkan nilai yang dapat diperoleh masyarakat lokal dari pengetahuan ekologi dan sumber-sumber ekologi (Martin 1998).

2.2 Pemanfaatan Tumbuhan

Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air (Pasal 1 ayat 4 UU No.05 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 08 tahun 1999 tentang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan jenis tumbuhan dan satwaliar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap menjaga keanekaragaman dan keseimbangan ekosistem.

Berdasarkan pemanfaatannya, tumbuhan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kegunaan antara lain sebagai bahan pangan, sandang, obat-obatan dan kosmetika, papan dan peralatan rumah tangga, tali temali dan anyaman, pewarna dan pelengkap upacara adat atau ritual serta kegiatan sosial (Walujo, Riswan, dan Rahayu 1989) diacu dalam (Soekarman 1992).

2.2.1 Tumbuhan obat

Menurut Departeman Kesahatan RI dalam surat keputusan Menteri Kesehatan No.149/SK/Menkes/IV/1978 disebutkan bahwa tumbuhan obat adalah tanaman/bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu, atau sebagai bahan pemula bahan baku obat (prokursor), atau tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat (Kartikawati 2004).

Menurut Zuhud (2004) tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi:

1. Tumbuhan obat tradisonal, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

(21)

2. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum secara ilmiah atau penggunaanya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

2.2.2 Tumbuhan penghasil pangan

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun, dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh manusia. Bahan pangan yang dimaksud adalah makanan pokok, tambahan, minuman, bumbu masakan, dan rempah-rempah (Saepuddin 2005).

2.2.3 Tumbuhan penghasil pakan ternak

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, tumbuhan pakan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun, dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh hewan (ternak). Tumbuhan yang digunakan untuk bahan pakan ternak misalnya dengan memangkas daun/ dahan dari tumbuhan lalu diberikan pada ternak yang dipelihara di dalam kandang maupun yang diikat/ sistem gembala. Bagian tumbuhan tersebut ada yang dilayukan terlebih dahulu baru atau setelah dipangkas langsung diberikan pada ternak peliharaan.

2.2.4 Tumbuhan hias

Tanaman hias merupakan salah satu komoditi holtikultura non pangan yang digolongkan holtikultur. Dalam kehidupan sehari-hari, komoditas ini dibudidayakan dan dinikmati keindahannya (Arafah 2005).

2.2.5 Tumbuhan penghasil zat warna

Di Indonesia penggunaan tumbuhan sudah lama dilakukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tetumbuhan merupakan sumber utama yang dipakai orang Madura dan suku-suku bangsa Indonesia lainnya untuk meramu dan menemukan serta menciptakan bahan pewarna lainnya. Proses peramuan zat warna ini adalah kejelian nenek moyang dalam menggali dan memanfaatkan semaksimum mungkin sumber daya alam nabati (tumbuhan) yang ada. Tumbuhan pewarna digunakan untuk pewarna pakaian, riasan wajah ataupun masakan untuk

(22)

menambah daya tarik masakan tersebut. Tumbuhan yang digunakan untuk pewarna diantaranya kunyit (Curcuma domestica) untuk warna kuning, daun suji (Pleomele angustifolia) untuk warna hijau, siwalan (Borassus sundaicus) untuk warna coklat dan sebagainya (Rifai 1992).

2.2.6 Tumbuhan aromatik

Tumbuhan aromatik dapat juga disebut tumbuhan penghasil minyak atsiri. Tumbuhan penghasil minyak atsiri memiliki ciri bau dan aroma karena fungsinya yang paling luas dan umum diminati adalah sebagai pengharum, baik sebagai parfum, kosmetik, pengharum ruangan, pengharum sabun, pasta gigi, pemberi rasa pada makanan maupun pada produk rumah tangga lainnya. Minyak atsiri dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi atau penyulingan dari bagaian-bagian tumbuhan (Kartikawati 2004).

Menurut Heyne (1987) tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri adalah dari family Poaceae, misalnya akar wangi (Polygala paniculata); Lauraceae misalnya kulit kayu manis (Cinnamomum burmanii); Zingiberaceae, misalnya jahe (Zingeber officinale); Piperaceae misalnya sirih (Piper batle); Santelaceae misalnya cendana (Santalum album); Annonacea misalnya kenanga (Cananga

odorata) dan sebagainya.

2.2.7 Tumbuhan penghasil pestisida alami dan bahan racun

Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Pestisida nabati ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas (Arafah 2005).

Berbagai racun yang dihasilkan oleh tumbuhan digunakan antara lain untuk keperluan berburu, meracun umpan binatang, racun ikan dan hama, malah untuk pembalas dendam tempo dulu dan sebagainya. Pemakaiannya ada yang secara tunggal atau campuran dari dua atau lebih macam racun. Setiap tumbuhan yang menghasilkan racun memiliki kadar racun yang berbeda-beda, mulai dari yang

(23)

menyebabkan peradangan kulit hingga merusak anggota-anggota tubuh bagian dalam yang mematikan (Hamid 1992).

2.2.8 Tumbuhan untuk kegunaan adat

Pengetahuan-pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat, ada yang bersifat magis dan spiritual. Demikian pula mengenai pemanfaatannya banyak ragamnya. Pemanfaatan tumbuhan dalam upacara-upacara adat berbeda-beda tergantung pada pengetahuan masyarakat dan tradisi etnis/suku yang bersangkutan. Pemanfaatan tumbuhan tidak hanya sebatas untuk upacara adat saja akan tetapi ada juga jenis-jenis pohon-pohon keramat yang menurut masyarakat lokal mengandung kekuatan magis dan spritual yang dihuni oleh roh-roh halus atau leluhur mereka.

Menurut Kartiwa (1992) ciri-ciri tanaman yang dipakai dalam upacara terpilih diantaranya :

1. Sifat-sifat dari tumbuhan tertentu, khususnya bunga dihubungkan sifat feminim, ini sering kali diberikan dalam upacara pemberian nama kepada anak perumpuan, diberi nama antara lain : Dahlia, Mawar, Lili dan Melati. 2. Sifat tumbuhan dan nama tanaman yang diasosiasikan dengan kata-kata

yang mengandung nilai baik, misalnya dalam upacara perkawinan di Jawa. Contohnya : Janur (Lambang keagungan, seseorang yang menempuh hidup baru mempunyai nilai yang agung).

3. Dalam berbagai upacara bentuk keindahan dengan lambang warna-warni dari tumbuhan yang dipergunakan seperti merah yang berarti berani, putih berarti kesucian dan kuning yang melambangkan keagungan.

4. Ada tumbuhan karena sifat kegunaannya: mengandung zat yang kaitannya dengan kesehatan atau penolak malapetaka.

5. Tanaman yang dipergunakan sebagai pengharum dan bumbu-bumbu untuk pengawetan (upacara kematian di Toraja).

2.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar

Menurut Sutarno (1996) diacu dalam Arafah (2005), jenis pohon yang ditujukan untuk pemenuhan kayu bakar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(24)

b. Pertumbuhan cepat, volume hasil kayu maksimal tercapai dalam waktu yang singkat

c. Tidak merusak tanah dan menjaga kesuburannya d. Tahan penyakit dan hama

e. Pengelolaannya singkat waktunya

f. Tahan terhadap kekeringan dan toleran terhadap iklim yang lain g. Pertumbuhan tajuk baik, siap tumbuh pertunasan yang baru h. Memiliki manfaat lain yang menguntungkan petani

i. Menghasilkan percabangan dengan diameter yang cukup kecil untuk dipotong dengan peralatan tangan dan mudah pengangkutannya

j. Menghasilkan kayu yang mudah dibelah k. Kadar air rendah dan relatif cepat dikeringkan

l. Menghasilkan sedikit asap dan tidak beracun apabila dibakar m. Tidak memercikkan api dan cukup aman apabila dibakar n. Menghasilkan kayu yang padat dan lebih lama dibakar.

2.2.10 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan

Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan adalah tumbuhan yang biasa digunakan untuk membuat tali, anyaman maupun kerajinan. Masyarakat Indonesia telah menggunakan tumbuhan sebagai bahan tali temali dan teknologi pasak sebagai contoh adalah bangunan-banguan rumah adat di Indonesia yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak dan tali temali untuk mengokohkan bangunan tersebut, pembuatan kapal pinisi dan lain sebagainya. Kepandaian anyam menganyam tidak sekedar menciptakan motif tetapi yang lebih penting adalah penciptaan barang atau alat, baik untuk pembawa atau wadah (Waluyo 1992).

2.3 Masyarakat Tradisional dan Sistem Pengetahuannya

Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu unsur kebudayaan muncul dari pengalaman-pengalaman individu yang disebabkan oleh adanya interaksi diantara mereka dalam menanggapi lingkungannya. Pengalaman itu diabstraksikan menjadi konsep-konsep, pendirian-pendirian, dan pedoman-pedoman tingkah laku bermasyarakat (Adimihardja 1996).

(25)

Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramal atau sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Istilah traditional knowledge atau pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan, inovasi, praktek masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kehidupan mereka. Pengetahuan tradisional telah berkembang sejak berabad-abad, diwariskan dari generasi selanjutnya secara lisan dan beradaptasi dengan budaya setempat dalam bentuk cerita, lagu, dongeng, nilai budaya, kepercayaan, ritual, adat, bahasa, dan praktek pertanian ( Plotkin 1991; Adimihardja 1996)

Secara bahasa, tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan masyarakat atau adat yang telah lama dijalankan dan dipengaruhi oleh hukum yang tidak tertulis. Sedangkan tradisional berarti bersifat adat kebiasaaan yang turun temurun. Pengetahuan ini merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha menyesuaikan dengan kondisi baru (Adimihardja 1996).

Wiratno (2004) menyatakan bahwa karekteristik yang agak jelas dari masyarakat tradisional adalah bahwa mereka masih menjaga tradisi peninggalan nenek moyangnya, baik dalam hal aturan hubungan antar manusia maupun dengan alam sekitarnya yang mengutamakan keselarasan dan keharmonisan. Ciri lain yang menonjol dari masyarakat ini adalah tingginya adaptasi sosial budaya serta releginya dengan mekanisme alam dan sekitarnya. Karenanya, mereka juga bukan manusia yang statis, karena sistem pengetahuan mereka juga berkembang selaras dengan dinamika permasalahan serta faktor-faktor eksternal lain yang mereka hadapi.

Masyarakat tradisonal adalah komonitas yang dinamis yang berubah dari waktu ke waktu sebagai suatu proses adaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan lokalnya. Sumber perubahan ini biasanya berupa masuknya pengaruh dari luar, tetapi juga bisa muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Persoalannya adalah apabila pengaruh unsur-unsur luar (lebih tepat disebut: gelombang intervensi) menjadi sedemikan besar sehingga nilai-nilai dan

(26)

pranata-pranata sosial (adat) tidak mampu lagi mengakomodasikan nilai-nilai dan pranata sosial yang baru yang datang dari luar dalam suatu proses transformasi yang sehat (Nababan 1995).

Pengetahuan masyarakat lokal tentang lingkungannya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Dari sistem pengetahuan ini kebudayaan mereka terus beradapatasi dan berkembang agar mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul. Berbagai tradisi, upacara adat, dan tindakan sehari-hari mereka mengandung makna yang dalam atas hubungan mereka dengan lingkungannya. Konservasi tradisional, yang didasari nilai-nilai dan kearifan lingkungan, terbukti mampu mempertahankan kehidupan mereka selama berabad-abad di lingkungan lokal mereka hidup. Hal ini menjadi sangat relevan dan penting diungkapkan di- tengah pergulatan kita mencari pemecahan atas persoalan-persoalan lingkungan, khususnya kerusakan sumber daya alam, yang muncul sebagai dampak pembangunan yang beorientasi pada pertumbuhan ekonomi (Nababan 1995).

Prinsip-prinsip konservasi yang telah mengkristal dalam berbagai bentuk kearifan tradisional, telah mengakar dan berkembang pada berbagai bentuk praktek yang diterapkan masyarakat tersebut. Kaidah-kaidah konservasi alam diadaptasi dari pengalaman mereka menyelaraskan diri dengan alam. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian dihimpun dan disebarluaskan kepada seluruh anggota masyarakat untuk dijadikan pedoman dan bagi pelanggarnya diberlakukan sanksi, sehingga lama kelamaan menjadi tradisi dan tata nilai kehidupan mereka (Wiratno 2004).

Menurut Nababan (1995) kebudayaan-kebudayaan tradisional, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional telah memiliki prinsip-prinsip konservasi diantaranya:

1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagaian dari alam itu sendiri.

2. Rasa memiliki yang esklusif bagi komonitas atas suatu kawasan atau sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal

property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk

(27)

3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.

4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (include) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.

5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam suatu kesatuan sosial tertentu

6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil “panen” atas sumberdaya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebih di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.

2.4 Taman Nasional

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam disebutkan bahwa kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi (Pasal 1 ayat 14 UU No.05 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).

Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas :

a. Zona inti

(28)

c. Zona rimba dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pemanfaatan oleh masyarakat lokal/ tradisional diizinkan pada zona selain zona inti asalkan pemanfaatan yang dilakukan tidak mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional secara berlebih.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Rantau Langsat, Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Provinsi Riau. Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu bulan Juni – Juli 2009.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: dokumen atau laporan yang telah dilakukan oleh pihak BTNBT maupun instansi lain, alkohol 70%, kertas koran, kertas label nama, tali plastik, sampel tumbuhan, plastik,

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Peta kerja, alat tulis, kamera, tape recorder, kalkulator, golok/parang, daftar pertanyaan responden dan komputer beserta perlengkapannya.

3.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

Perhatian terhadap masyarakat adat pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1992 telah memunculkan wacana tentang “konservasi tradisional” yang berlandaskan kearifan budaya tradisional (traditional wisdom). Pengertian tersebut, meliputi praktik-praktik pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat, masyarakat lokal dan/atau masyarakat tradisional yang masih terikat pada pranata-pranata asli yang menyatu dalam kesahariannya hidupnya.

Kajian etnobotani masyarakat sekitar atau yang tinggal di dalam kawasan hutan masih dirasa kurang. Ilmu atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun berinteraksi dengan komunitas tumbuhan hutan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang diturunkan dari generasi ke generasi. Ilmu atau pengetahuan masyarakat sekitar kawasan hutan tentang pemanfaatan potensi tumbuhan yang ada di hutan, sekarang terancam hilang karena pengaruh globalisasi. Perubahan ini dapat terlihat dari perubahan pola hidup pada masyarakat tradisional. Pengetahuan tentang pemanfaatan

(30)

tumbuhan secara arif dan bijaksana oleh masyarakat Suku Melayu Tradisional di era globalisasi ini sangat penting.

Gambar 1. Alur penelitian kajian etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisonal

Suku Melayu Tradisional TNBT

Memiliki potensi etnobotani yang perlu

didokumentasikan

Penelitian

Teknik Pengumpulan Data

Studi Pustaka Observasi Lapang/ Wawancara Analisis Data Luaran

Terdokumentasinya pengetahuan etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisional

Informasi Etnobotani  Pemanfaatan tumbuhan

 Kegunaan/ persepsi masyarakat

 Bagian tumbuhan yang digunakan

 Budidaya tumbuhan dan pemanenan

Identifikasi spesies Tumbuhan  Informasi nama tumbuhan

yang digunakan

 Pembuatan Herbarium

Karakteristik Masyarakat  Sejarah dan budaya

 Demografi

 Pendidikan

 Sistem sosial

 Sistem penggunaan lahan

(31)

3.4 Jenis Data 3.4.1 Data primer

Data primer yang diperlukan antara lain:

a) Karakteristik masyarakat asli yang ada (budaya, jumlah penduduk, jumlah KK struktur kemasyarakatan, mata pencaharian dan pendidikan).

b) Kajian pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) baik sebagai bahan bangunan, obat tradisional, pangan, parfum/ kosmetik, rempah-rempah, bahan pewarna, upacara adat dan lain-lain (spesies, bagian tumbuhan, habitus, khasiat/kegunaan).

c) Upaya pelestarian sumberdaya hutan/ praktek konservasi masyarakat Suku Melayu Tradisional.

3.4.2 Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang berupa sejarah suku, kondisi wilayah, sosial ekonomi masyarakat dan karakteristiknya melalui literatur, studi pustaka dan monografi desa.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui tiga tahapan yakni kajian literatur/ studi pustaka, survey dan pengambilan data lapang serta pengolahan dan analisis data. Adapun data yang diambil dikelompokkan menjadi dua kelompok data yakni data primer dan data sekunder.

Data primer dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan serta pendalaman pertanyaan sesuai dengan keperluan. Wawancara dilakukan terhadap responden terpilih (key

person) dengan kriteria : 1) Masyarakat memahami tentang pemanfaatan dan

pelestarian hasil hutan misalnya dukun/ tabib desa, 2) Masyarakat yang pernah dan sedang memanfaatkan hasil hutan, 3) Masyarakat dapat memberikan informasi yang tepat terhadap pemanfaatan dan pelestarian hasil hutan. Dalam penelitian ini responden yang diwawancara sebanyak 30 orang. Pengamatan langsung meliputi cara pemakaian serta bagian yang digunakan. Spesimen yang diperoleh dibuat herbarium selanjutnya untuk identifikasi. Hasil disusun sesuai dengan kegunaannya (pangan, sandang, papan, obat-obatan, kosmetik, wangi-wangian dan sebagainya).

(32)

Data sekunder dikumpulkan melalui pencarian buku, artikel, jurnal, skripsi, situs-situs internet yang berkaitan dengan etnobotani, kondisi kawasan, sosial masyarakat suku melayu tradisional. Tahapan penelitian seperti tersaji pada Tabel 1:

Tabel 1. Tahapan penelitian

No Tahapan penelitian Aspek yang di kaji Sumber data Metode

1 Kajian literatur Data kondisi fisik kawasan (kondisi topografi, curah hujan, iklim, tipe ekosistem, suhu dan kondisi tanah, letak, luas wilayah, topografi, dan lain-lain); Data kondisi biologi (kondisi flora & fauna); Kondisi sosial budaya masyarakat;

Kantor BTNBT, kantor desa, perpustakaan dan internet Penelusuran dan kajian terhadap laporan, dokumen yang telah ada 2 Pengambilan data lapang

Pengetahuan etnobotani (penggunaan tumbuhan oleh masyarakat), kearifan tradisional masyarakat dalam praktek konservasi Masyarakat suku Melayu Tradisional dan kantor BTNBT Survei lapang dan wawancara 3 Pengolahan dan analisis data

Pengelompokkan spesies tumbuhan berdasarkan kegunaan, bagian yang dimanfaatkan, habitus, asal tumbuhan,

menghitung tingkat kegunaan

tumbuhan Data lapangan - Primer - Sekunder Analisis deskriptif/ kualitatif

3.6 Metode Analisis Data

3.6.1 Klasifikasi penggunaan tumbuhan

Hasil identifikasi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Melayu Tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dikelompokkan berdasarkan suku/ famili, spesies untuk dianalisis sesuai dengan kegunaan dan manfaatnya. Pengelompokkan kegunaan tumbuhan berdasarkan Walujo et.al (1989) diacu dalam Soekarman (1992), seperti penggunaan tumbuhan untuk bahan pangan, sandang, obat-obatan dan kosmetika, papan dan peralatan rumah tangga, tali temali dan anyaman, pewarna dan pelengkap upacara adat atau ritual serta kegiatan sosial

3.6.2 Persentase habitus

Habitus (perawakan) dari tumbuhan yang dimanfaatkan meliputi pohon, semak, perdu liana dan herba. Persentase habitus merupakan telaah tentang

(33)

besarnya suatu spesies habitus digunakan terhadap seluruh habitus yang ada. Untuk menghitungnya digunakan rumus sebagai berikut :

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑕𝑎𝑏𝑖𝑡𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 = 𝑕𝑎𝑏𝑖𝑡𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢

𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢𝑕 𝑕𝑎𝑏𝑖𝑡𝑢𝑠 × 100%

3.6.3 Persentase bagian yang dimanfaatkan

Pemanfaatan bagian tumbuhan baik itu daun, batang, kulit, buah, bunga, dan akar juga dihitung persentasenya. Persentase bagian yang dimanfaatkan dihitung untuk mengetahui berapa besarnya suatu bagian tumbuhan dimanfaatkan terhadap seluruh bagian tumbuhan yang dimanfaatkan. Untuk menghitungnya digunakan rumus :

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 = 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛

𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢𝑕 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑓𝑎𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 × 100%

3.6.4 Tingkat kegunaan tumbuhan

Penghitungan tingkat kegunaan dilakukan untuk menilai dan menganalisis tingkat kegunaan spesies tumbuhan oleh responden. Analisis tingkat kegunaan merupakan analisis sederhana, tingkat kegunaan suatu spesies tumbuhan dihitung berdasarkan pada berapa jumlah kegunaan yang diperoleh dari suatu spesies tumbuhan yang digunakan.

(34)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Fisik Kawasan

Secara geografis kawasan TN. Bukit Tigapuluh terletak pada koordinat antara 0° 40" - 1° 25" LS dan 102° 10" - 102° 50" BT dengan luas 144.223 Ha. Secara administrasi pemerintahan kawasan tersebut terletak pada 2 wilayah provinsi, yakni wilayah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Di wilayah Provinsi Jambi terletak di Kabupaten Tebo ( seluas 23.000 ha) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (seluas 10.000 ha). Sedangkan di wilayah Provinsi Riau terletak di Kabupaten Indragiri Hulu (seluas 81.223 ha) dan Kabupaten Indragiri Hilir (seluas 30.000 ha).

Gambar 2 Peta TN. Bukit Tigapuluh (sumber: www.bukittigapuluh.com)

Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan daerah perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian antara 60 - 843 m dpl, dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan tersebut terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari selatan ke utara di Pulau Sumatera. Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Gansal di Provinsi Riau dan Sungai Batang Hari di Provinsi

(35)

Jambi, serta terdapat beberapa Sub DAS seperti Sungai Cinaku, Keritang, Pengabuhan dan Sumai.

Jenis tanah yang terdapat di kawasan tersebut adalah Podsolik Merah Kuning dengan kedalaman bervariasi antara 40 - 150 cm dan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TN. Bukit Tigapuluh termasuk iklim tipe B. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.577 mm/tahun, tertinggi pada bulan Oktober (347 mm) dan terendah pada bulan Juli (83 mm). TN. Bukit Tigapuluh memiliki udara yang sejuk dengan suhu bulanan maksimum 33° C pada bulan Agustus dan suhu minimum 20,8°C pada bulan Januari.

4.2 Sejarah Penetapan

Sejarah penetapan Bukit Tigapuluh dimulai dengan dikeluarkannya Rencana Konservasi Nasional Indonesia pada tahun 1982. Rencana tersebut mengakui penting dan tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari Suaka Margasatwa Bukit Besar (200.000 ha) dan Cagar Alam Seberida (120.000 ha). Pada tahun 1988 dikeluarkan Instrumen Perencanaan Report yang isinya mengkategorikan ekosistem Bukit Tigapuluh sebagai daerah perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai sebagai kawasan hutan lindung dengan luas 350.000 Ha.

Pada periode antara tahun 1991 sampai dengan 1992 dilakukan penelitian bersama antara Indonesia dengan Norwegia dengan tujuan untuk memperlihatkan arti penting dan fungsi keberadaan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hasil penelitian ini merekomendasikan kawasan tersebut agar ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 250.000 ha. Pada tahun 1993 Dirjen Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bersama WWF Indonesia mengusulkan program pengelolaan kawasan Bukit Tigapuluh kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Pada tahun 1994 Pemerintah Daerah Tingkat I Riau mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang di dalamnya mencakup Kawasan Konservasi Bukit Tigapuluh. Pada tahun yang sama, Dirjen PHPA melalui surat Nomor 103/DJ-VI/Binprog/94 mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk Kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagai Taman Nasional.

(36)

Selanjutnya pada tahun 1995 Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 539/Kpts-II/1995 menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh sebagai taman nasional dengan luas 127.698 ha. Luas tersebut merupakan gabungan dari 57.488 Hutan Produksi terbatas yang ada di Provinsi Riau, serta 33.000 Hutan Lindung di wilayah Provinsi Jambi. Luas tersebut lebih kecil dari yang diusulkan semula karena adanya konflik kepentingan dari pemegang HPH yang ada pada saat itu.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor: 17/Kpta/12J-V/2001, maka ditunjuklah zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan akhirnya, pada tanggal 21 Juni 2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6407/Kpts-II/2002 Tentang Penetapan Kelompok Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 ha yang terletak di 4 kabupaten pada 2 Provinsi yaitu Riau dan Jambi sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

4.3 Flora, Fauna dan Potensi Ekowisata

Kawasan TN. Bukit Tigapuluh mempunyai tipe ekosistem Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah (low land tropical rain forest), karena memiliki iklim yang sangat basah, tanah kering dan ketinggian di bawah 1000 m dpl. Ekosistem TN. Bukit Tigapuluh merupakan peralihan antara hutan hujan pegunungan dan hutan rawa. Tidak kurang dari 1500 jenis tumbuhan terdapat di kawasan tersebut yang sebagian di antaranya berupa jenis-jenis komersil penghasil kayu, kulit, getah, buah, pangan, obat-obatan dan tumbuhan langka yang dilindungi.

Adapun jenis tumbuhan langka yang terdapat di kawasan TN. Bukit Tigapuluh antara lain :

Salo (Johannesteijsmania altrifrons), tergolong dalam suku palem (arecaceae), sering tumbuh bersama-sama Licuala spinosa di lapisan bawah hutan hujan tropika.

Bunga Bangkai (Amorphophallus sp) banyak ditemukan di daerah penyanggah TN. Bukit Tigapuluh. Waktu mekar bunga ini mencapai tinggi total 3 meter dengan ciri-ciri berwarna loreng hitam kecoklatan dan hijau tua.

Jernang (Daemonorops draco), tergolong dalam suku palem (Arecaceae). Jernang tergolong jenis rotan yang hidup merumpun dan keberadaannya

(37)

sudah mulai jarang ditemukan. Jenis tersebut mempunyai resin berupa lilin berwarna merah darah/merah tua yang melapisi permukaan kulit buahnya. Jernang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan kini jenis tersebut banyak dicari masyarakat pedalaman untuk dijual.

Kayu Gaharu (Aquilaria malaccensis), termasuk dalam suku Thymeliaceae. Jenis pohon ini menghasilkan senyawa hasil dari aktivitas mikro organisme pada batang yang berbau harum.

Cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Danielson dan Heegraard tahun 1994, di kawasan TN. Bukit Tigapuluh terdapat minimal 59 jenis mamalia, 198 jenis burung dan 18 jenis kelelawar. Beberapa jenis satwa liar yang ada di TN. Bukit Tigapuluh antara lain :

Mamalia: Siamang (Symphalangus syndactylus), Beruk (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristata), Kukang (Nycticebus coucang), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Macan dahan (Neofelis nebulosa), Kucing congkok (Felis bengalensis), Kucing batu (Felis marmorata), Tapir (Tapirus indicus), Musang pandan (Vivertangalunga), Binturong (Artictis bintur), Kijang (Muntiacus muntjak), Kambing hutan (Capricornis sumatraensis), Kancil (Tragulus javanicus), dan lain-lain.

Burung: Kuaw (Argusianus argus), Punai kecil (Treron olax), Murai batu (Copsychus malabaricus), Pelatuk apai (Dryyocopus javensis), Elang bido (Spilornis cheela), Beo (Graucula religiosa), Rangkong (Rhinoplax sp), Itik liar Sumatera (Cairina scutulata), Bangau (Ciconia stormi), Burung Paok (Pitta

granatina), Rangkong Gading (Rhyriceros corrugatus), Kancilan (Malacopteron albogulare), dan lain-lain.

Reptil: Buaya muara (Crocodylus porosus), Senyulong (Tomistoma scigelii), Ular tedung (Ophiophagus hannah) dan Moru (Bungaurus candidus).

Ikan: Sedikitnya terdapat 97 jenis ikan di perairan sekitar TNBT, di antaranya ikan Belida, Gurami dan Semah.

Selain merupakan habitat dari berbagai jenis flora dan fauna langka dan dilindungi, kawasan TNBT juga merupakan tempat hidup dan bermukim beberapa komunitas suku pedalaman seperti suku Talang Mamak, suku Kubu (Anak

(38)

Rimba) dan suku Melayu Tua/ Melayu tradisional, yang menjadikan kawasan ini menarik untuk dijelajahi.

Tabel 2. Potensi objek wisata TN. Bukit Tigapuluh

No. Nama Obyek Wisata Jenis Lokasi Letak

1. Tracking panorama alam (Bukit Tebet)

Wisata alam Ds. Rantau Langsat Kec. Batang Gansal

TNBT 2. Air terjun papunawan Wisata alam

Hunting photo

Ds. Rantau Langsat Kec. Batang Gansal

TNBT 3. Air terjun (Eks. tambang granit) Wisata alam Ds. Rantau Langsat

Kec. Batang Gansal

TNBT 4. Goa pintu tujuh dan panorama geologi Wisata alam Nunusan

Kec. Batang Gansal

TNBT 5. Perladangan dan budaya Wisata alam Air Bomban

Kec. Batang Gansal

TNBT 6. Sabung ayam dan budaya Suku Talang

Mamak

Wisata budaya Ds. Siambul Kec. Batang Gansal

Penyangga TNBT 7. Kerajinan dan habitat bunga Bangkai

(Amorpophalus sp) dan bunga Rafflesia (Rafflesia hasseltii)

Wisata alam Wisata budaya

Ds. Rantau Langsat Kec. Batang Gansal

TNBT

Sumber : Balai TN. Bukit Tigapuluh (2005)

4.4. Kondisi Sosial, Budaya Suku Melayu Tradisional di Desa Rantau Langsat

4.4.1 Desa Rantau Langsat

Secara umum kondisi fisik dan potensi biotik di Desa Rantau Langsat tidak jauh berbeda dengan TNBT karena sebagian besar desa ini termasuk kedalam kawasan TNBT. Desa Rantau Langsat termasuk salah satu desa di Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Prov. Riau. Desa Rantau Langsat merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan TNBT. Secara administrasi Desa Rantau Langsat berbatasan dengan:

Utara : Desa Siambul Timur : Desa Usul Barat : Provinsi Jambi Selatan : Sanglap

Terdapat 8 dusun dalam wilayah Desa Rantau Langsat di sepanjang Sungai Gangsal dalam zona pemanfaatan tradisional kawasan TNBT, yaitu (dari hulu ke hilir) Dusun Datai, Suit, Air Bomban, Sadan, Nunusan, Siamang, Lemang dan Pebidaian yang ditempati oleh masyarakat Talang Mamak dan Melayu Tradisional. Masyarakat tersebut tinggal tersebar di 15 pemukiman, dimana pemukiman Datai Tua, Suit, Air Bomban, Nunusan dan Siamang sebagai pusat

(39)

dusun. Dusun Datai, Dusun Siamang dan Dusun Suit didominasi oleh masyarakat Talang Mamak sedangkan Dusun Air Bomban-Sadan dan Dusun Nunusan didominasi oleh masyarakat Melayu Tradisional. Pada Juli 2009 terdapat 384 KK dengan jumlah penduduk 1397 jiwa di Desa Rantau Langsat, mayoritas beragama Islam dengan mata pencaharian sebagai petani.

4.4.2 Sejarah

Orang Melayu merupakan suku asli di Indragiri yang mendiami pinggir-pinggir sungai, mereka telah lama hidup di wilayah ini dan diperkirakan lebih dari 500 tahun yang lalu. Perbedaan Orang Melayu dan Talang Mamak hanya pada kepercayaan dan pemakaian adat. Orang Talang Mamak masih Animisme sedangkan Melayu sudah Islam. Hal tersebut juga berdampak pada pola konsumsi dan makanan di mana Melayu cenderung banyak pantangan makanan. Demikian juga adat-adat yang telah berbau kebudayaan Muslim/ Arab (Haryono 2005).

4.4.3 Budaya dan agama

Penduduk yang berada di dataran rendah Sumatera dan yang berdiam di sekitar sungai mempunyai persamaan bahasa dan budaya. Ada perbedaan sosial kultural dari penduduk di atas, hal ini disebabkan oleh perbedaan adaptasi lingkungan terutama dikarenakan adanya hubungan komunikasi dan politik ekonomi dengan pihak luar.

Lebih dari 500 tahun yang lalu penduduk yang berada di sekitar sungai telah beragama Islam. Pada abad yang lalu hingga sekarang ini perdagangan yang intensif mempengaruhi ekspansi Islam, begitu juga dengan masuknya migran dan perkawinan silang.

Pada umumnya penduduk asli Bukit Tigapuluh telah menganut Agama Islam, identitas itu pula yang menjadikan mereka disebut Melayu. Walaupun mereka sudah Islam namun masih sinkritis. Sebagian lagi penduduk tradisional masih menganut agama asli dan cenderung menolak Islam karena alasan makanan haram dan perbedaan kecil lainnya.

4.4.4 Perladangan berpindah

Penduduk yang ada di sekitar Bukit Tigapuluh sangat mendukung pengelolaan kawasan konservasi di Bukit Tigapuluh karena mereka melakukan perladangan berpindah dengan menanam karet dan hidup dari mengumpulkan

(40)

hasil hutan. Ketersediaan hutan sangat menjaminkan sistem perladangan beringsut tidak bisa dilakukan dengan baik dan benar. Contoh kasus hutan yang semakin sedikit di Desa Talang Perigi di Kecamatan Kelayang mengakibatkan rotasi perladangan berpindah semakin cepat. Kalau rotasi perladangan beringsut semakin cepat, unsur humus tanah kurang tebal dan mengakibatkan miskinnya kandungan hara, sehingga hasil padi kurang memuaskan. Dengan ditetapkannya taman nasional, berarti menjamin lahan dan sumberdaya bagi kehidupan ketiga suku tradisional yang ada di Bukit Tigapuluh. Integrasi perladangan berpindah dengan penanaman karet sangat menguntungkan penduduk lokal, sebab setelah ladang dibuka kemudian ditanami karet, untuk mendapatkan penghasilan lain, mereka mencari hasil hutan. Setelah karet bisa ditakik/deres kaum tua atau perempuan yang menyadapnya sedangkan kaum muda perti mencari hasil hutan sehingga mereka selalu dapat subsistem (Haryono 2005).

4.4.5 Perdagangan

Masyarakat suku tradisional Bukit Tigapuluh hidup dari perladangan berpindah dan mengumpulkan hasil hutan yang dipertukarkan dan dijual. Tradisi telah berlangsung ribuan tahun yang lalu dan merupakan hal penting dalam pembentukan struktur sosial politik masyarakat di Sumatera dataran rendah. Sebagai sarana transportasi pada waktu itu untuk mengangkut sumberdaya dari daerah ini dan sekitarnya sebagian menggunakan jalan setapak dan sungai-sungai menggunakan rakit dan sampan. Kawasan Bukit Tigapuluh Utara dan Barat menggunakan Sungai Cenaku, Keritang, Akar dan Gangsal. Di daerah Jambi transportasi sungai tersebut menggunakan jalur Sungai Tungkal dan Sumai.

Pusat kekuasaan dan kerajaan pada masa lalu berkembang pada sungai besar utama seperti Indragiri dan Batanghari yang didasarkan pada arus barang dan pengenalan barang-barang perdagangan antar Asia yang disebut jalur sutra ke Selat Malaka. Penduduk yang berada pada hutan dataran rendah yang luas berada di antara Sungai Indragiri dengan Batanghari di mana Bukit Tigapuluh itu berada terorganisir pada suatu federasi yang longgar yang menguasai anak-anak sungai. Namun pada dasarnya federasi itu bersifat otonom pada zaman kerajaan dengan menggunakan DAS dan Sub DAS karena jalur transportasi hanya tinggal sedikit yaitu penduduk di dalam TNBT di DAS Gangsal.

(41)

Pada abad ke-19 pengumpulan hasil hutan meningkat karena perdagangan dunia dan permintaan hasil hutan meningkat pula. Pada abad ke-20 mengalami penurunan karena harganya tidak stabil bahkan rendah sekali. Akibatnya penduduk lokal mempunyai pekerjaan alternatif ketika tanaman karet diperkenalkan ke daerah ini. Sistem perladangan berpindah pun diintegrasikan dengan penanaman karet (Haryono 2005).

(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan

Interaksi yang lama antara masyarakat sekitar hutan dan hutan menumbuhkan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan yang ada. Kesadaran yang ada di masyarakat tercipta karena kesadaran akan pentingnya hutan dan manfaat yang dirasa karena adanya hutan dirasakan benar oleh masyarakat sekitar kawasan hutan.

Ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap hutan sangat tinggi. Masyarakat sekitar kawasan hutan menggantungkan hidupnya dari mengelola dan memanfaatkan hutan yang ada. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan adalah pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan yang ada baik untuk pangan, kayu bakar, obat, pakan ternak, kerajinan dan lain sebagainya.

Masyarakat suku Melayu Tradisonal yang ada di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh sedikitnya memanfaatkan ± 266 spesies tumbuhan yang termasuk kedalam 94 famili. Berbeda jauh dengan pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan oleh suku Melayu di DAS Alo, Desa Lubuk Kambing, Kab. Tebo, Prov. Jambi yang berada di luar kawasan TNBT. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (1995), menyebutkan bahwa masyarakat Melayu di DAS Alo memanfaatkan 99 spesies tumbuhan diantaranya untuk bahan pangan (45 spesies), bahan obat dan kosmetik (24 spesies), bahan bangunan (12 spesies), bahan bumbu dapur (8 spesies), insektisida (1 spesies), anyaman (3 spesies), ramuan makan sirih (2 spesies), bahan pewarna (1 spesies), peralatan (2 spesies), bahan karet (2 spesies) dan kayu bakar (4 spesies). Tumbuhan yang dimanfaatkan ± 65% diambil dari hutan dan sisanya ± 35% merupakan tanaman budidaya. Sedikitnya spesies tumbuhan yang dimanfaatakan dikarenakan masyarakat Melayu di DAS Alo berada di luar kawasan TNBT dan kawasan hutan TNBT yang dekat dengan mereka merupakan zona inti TNBT sehingga pemanfaatannya terbatas.

Famili Arecaceae dan Euphorbiaceae merupakan famili yang memiliki jumlah spesies paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat suku Melayu Tradisional. Terdapat 20 spesies tumbuhan dari famili Arecaceae yang dimanfaatkan oleh suku Melayu Tradisonal, spesies-spesies tumbuhan ini

(43)

dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kerajinan, obat, kegunaan adat, bahan pangan dan lain sebagainya. Famili tumbuhan dan jumlah spesies yang dimanfaatkan dapat dilihat pada Gambar 3 yang selengkapnya tercantum pada Lampiran 1.

Gambar 3 Jumlah spesies dan famili tumbuhan berguna yang dimanfaatkan oleh Suku Melayu Tradisional.

Berdasarkan kelompok pemanfaatannya, pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Melayu Tradisonal dikelompokkan kedalam 10 kelompok pemanfaatan yang dirincikan pada Tabel 3:

Tabel 3 Kelompok pemanfaatan tumbuhan oleh Suku Melayu Tradisional

No Kelompok Pemanfaatan Famili Spesies

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tumbuhan penghasil pangan Tumbuhan untuk kayu bakar

Tumbuhan penghasil tali, kerajinan dan anyaman Tumbuhan untuk bahan bangunan

Tumbuhan penghasil getah dan damar Tumbuhan obat

Tumbuhan untuk kegunaan adat

Tumbuhan aromatik, penghasil racun dan zat warna Tumbuhan penghasil pakan

Tumbuhan hias 30 3 10 26 9 71 11 8 7 9 73 5 22 47 16 138 13 11 9 18

Ket: - Ada beberapa spesies tumbuhan yang dimanfaatkan lebih dari satu kelompok pemanfaatan.

Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa pemanfaatan spesies tumbuhan lebih tinggi untuk obat, pangan, dan bahan bangunan, sedangkan pemanfaatan tumbuhan untuk pakan, kayu bakar dan hias sedikit.

0 5 10 15 20 25 Anacardiaceae Apocynaceae Arecaceae Clusiaceae Dillineaceae Dipterocarpa… Euphorbiace… Fabaceae Meliaceae Moraceae Myrtaceae Orchidaceae Poaceae Rubiaceae Sapindaceae Zingeberaceae Spesies

Gambar

Gambar 1. Alur penelitian kajian etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisonal
Gambar 2 Peta TN. Bukit Tigapuluh (sumber: www.bukittigapuluh.com) Kawasan  TN.  Bukit  Tigapuluh  merupakan  daerah  perbukitan  yang  cukup  curam dengan ketinggian antara 60 - 843 m dpl, dengan puncak tertinggi terdapat  pada  Bukit  Supin
Gambar  3  Jumlah  spesies  dan  famili  tumbuhan  berguna  yang  dimanfaatkan  oleh    Suku Melayu Tradisional
Gambar 6  (a) bangunan pengolahan sagu, (b) bunga dari tampui kura-kura Dari penelitian yang dilakukan terdapat 72 spesies yang termasuk kedalam  30 famili yang didominasi oleh pepohonan (50 spesies /70%), perdu (11 spesies/
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan kearifan tradisional ini membawa dampak positif bagi kawasan Taman Nasional yaitu tingkat kerusakan pada kawasan hutan karena pengambilan sumberdaya hayati

Tana’ Ulen merupakan hutan yang dilindungi secara adat. c) Tidak boleh menebang pohon yang menghasilkan buah yang dapat dimakan di dalam hutan, jika ingin menanam bibitnya di