• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

2.1 Hasil Belajar

Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik individual maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing (Arifin, dkk : 2003: 8).

Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. Belajar juga dapat dipandang sebagai sebuah proses elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu (Sibarani, 2012: 7).

Belajar dalam arti luas adalah semua persentuhan pribadi dengan lingkungan yang menimbulkan perubahan prilaku (Purwanto, 2008:47).

Belajar pada hakikatnya adalah kegiatan yang dilaksanakan secara sadar oleh seseorang yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya sendiri, baik dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan baru maupun dalam bentuk sikap dan nilai yang positif (Mappa dan Basleman, 1994:1).

Hilgrad dan Bower dalam buku Theories of Learning (Purwanto, 2011: 84) mengemukakan belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau

(2)

7

keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).

Gagne dalam buku The Conditions of Learning (Purwanto, 2011: 84), menyatakan belajar terjadi apabila suatu stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (perfomance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.

Morgan dalam buku Introducation to Psychology (Purwanto, 2011: 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingakah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

Witherington dalam buku Educational Psychology (Purwanto, 2011: 84) mengemukakan belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu polo baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.

Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Benyamin Bloom secara garis besar mengelompokkan klasifisikal hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni (1) ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual, (2) ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan (3) ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak (Sudjana, 2009: 22-23).

Hasil belajar termasuk komponen pendidikan yang harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan, karena hasil belajar diukur untuk mengetahui

(3)

8

ketercapaian tujuan pendidikan melalui proses belajar mengajar (Purwanto, 2008:47).

Hasil belajar merupakan hasil pengukuran dari penilaian kegiatan belajar atau proses belajar yang dinyatakan dalam simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil aktivitas belajar (Wijaya, 2010: 2).

Menurut Skiner (Marlina, 2011: 14) mengemukakan hasil belajar merupakan respon (tingkah laku) yang baru. Pada dasarnya respon yang baru itu pengertiannya sama dengan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan).

Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru, suatu pencapaian tujuan pembelajaran. Pada bagian lain hasil belajar merupakan peningkatan kemampuan mental siswa (Dimyati, 1994: 4).

Hasil belajar yaitu perubahan sebagai hasil proses belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan, pengetahuan, penalaran, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, dan kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain dalam diri individu yang belajar (Sudjana, 1982: 22).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang dialami oleh siswa melalui proses belajar yang diukur untuk mengetahui ketercapaian tujuan pendidikan dan melibatkan ranah kognitif, prosesnya mengakibatkan perubahan dalam kemampuan berpikir, ranah afektif mengakibatkan perubahan dalam aspek kemampuan merasakan, dan psikomotorik memberikan hasil belajar berupa keterampilan.

(4)

9

2.2 Metode Pembelajaran Scaffolding

Teori scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif. Jerome Bruner menggunakan istilah scaffolding untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa. Scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Cazden (Martini, 2010) mendefinisikan scaffolding sebagai kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian. Konstruksi scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat mengartikulasikan atau menjelajahi belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding yang disediakan memungkinkan peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas.

Menurut Martini (2010) pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Wood, dkk tahun 1976, dengan pengertian dukungan pembelajaran kepada peserta didik untuk membantu menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya sendiri. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development) dari Vyotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada

(5)

10

dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya.

Adinegara (2010) mengemukakan scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tangung jaawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam langkah-langkah pembelajaran, memberikan contoh ataupun yang lain sehinggga memungkinkan siswa tumbuh mandiri.

Menurut Gasong (Adinegara, 2010) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Bruner (Anwar, 2008) menjelaskan scaffolding sebagai suatu proses dimana siswa dibantu untuk memahami suatu masalah tertentu yang melebihi perkembangan mentalnya melalui bantuan seorang guru atau orang yang memahaminya. Konsep scaffolding Bruner mirip dengan zona perkembangan

(6)

11

terdekat Vygotsky. Menurut Vygotsky, memberikan bantuan selama tahap-tahap awal belajar dan kemudian sedikit demi sedikit menghilangkan bantuan dan memberikan anak tersebut meningkatkan tanggung jawabnya. Tugas dalam zona perkembangan terdekat adalah tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh anak, tetapi dia akan membutuhkan bantuan dari teman sebaya atau orang dewasa. Tugas-tugas dalam zona ini belum dipelajari oleh seorang anak tetapi dapat dipelajari jika diberi waktu yang sesuai. Lebih jauh menurut Vygotsky fungsi mental yang tinggi dapat terjadi melalui percakapan dan kolaborasi.

Scaffolding merupakan salah satu metode pembelajaran dimana guru memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas secara bertahap dari awal pembelajaran kemudian guru mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. Bantuan yang diberikan oleh guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dan dorongan (motivasi) (Mamin, 2008: 56).

Keuntungan metode pembelajaran Scaffolding menurut Bronsfold, Brown dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1: Keuntungan Metode Pembelajaran Scaffolding

No Keuntungan Metode Pembelajaran Scaffolding

1 2 3 4 5 6

Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar

Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh siswa

Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan

Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan

Mengurangi frustasi atau resiko

Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan

(7)

12

Depdiknas menetapkan strategi pembelajaran scaffolding yaitu sebagai berikut: (1) menetapkan materi yang akan dipelajari, (2) mengecek hasil belajar siswa sebelumnya (prior learning) untuk menentukan zona of proximal development atau level perkembangan awal siswa. Hal ini dilakukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan level perkembangan awal siswa yang diketahui dari hasil belajar siswa sebelumnya, (3) merancang tugas-tugas belajar siswa (aktifitas belajar scaffolding); (a) menjabarkan tugas-tugas dengan memberikan pemecahan masalah sehingga dapat membantu siswa menyelesaikan tugas tersebut, (b) menyajikan tugas belajar secara berjenjang yang dilakukan dengan memberikan penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh (modelling), (4) memantau aktifitas belajar siswa; (a) memberi dorongan (motivasi) kepada siswa untuk belajar diskusi dengan memberikan bantuan, kemudian secara bertahap guru mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas tersebut, (b) memberikan dukungan dalam bentuk kata kunci atau isyarat, (5) mengecek dan mengevaluasi; (a) mengevaluasi hasil belajar yang dicapai siswa dan bagaimana kemajuan belajar tiap siswa, (b) mengecek apakah siswa tergerak ke arah kemandirian dan pengaturan diri dalam belajar pada saat proses pembelajaran (Mamin, 2008: 58-59).

Menurut Vygotsky perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah

(8)

13

secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal (Budiningsih, 2004: 101-102).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran scaffolding merupakan suatu proses pembelajaran dimana siswa di beri dorongan (motivasi) yaitu bantuan secara bertahap dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.

2.3 Pendekatan Problem Posing

Problem Posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris. Sebagai padanan katanya dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal)”.

Pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada siswa untuk membentuk/mengajukan soal berdasarkan informasi atau situasi yang diberikan. Informasi yang ada diolah dalam pikiran dan setelah dipahami maka peserta didik akan bisa mengajukan pertanyaan. Dengan adanya tugas pengajuan soal (problem posing) akan menyebabkan terbentuknya pemahaman konsep yang lebih mantap pada diri siswa terhadap

(9)

14

materi yang telah diberikan. Kegiatan itu akan membuat siswa lebih aktif dan kreatif dalam membentuk pengetahuannya dan pada akhirnya pemahaman siswa terhadap konsep matematika siswa lebih baik lagi (Herawati, dkk: 2010:2).

Pendekatan problem posing merupakan salah satu pembelajaran non

konvensional yang dalam proses kegiatannya membangun kemampuan berfikir siswa, siswa diberi kesempatan secara luas untuk mengembangkan kreativitasnya (Wildayati, 2013: 6)

Pendekatan problem posing (pembentukan soal) merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada kegiatan membentuk soal yang dilakukan oleh siswa sendiri. Kegiatan pembentukan soal ini memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan perkembangan kemampuan berpikirnya. Peserta didik tidak hanya diminta membuat soal atau mengajukan pertanyaan, tetapi mereka juga diminta mencari penyelesaiannya. Strategi pembelajaran problem posing diawali dengan penyampaian teori/konsep. Setelah itu pemberian contoh soal dan pembahasannya (Chotimah 2009: 117).

Binhakim (2011) menjelaskan bahwa problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecahkan suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.

(10)

15

Banyak pokok bahasan/sub pokok bahasan dalam ilmu kimia yang melibatkan perhitungan kimia misalnya stoikometri, energi, larutan, dan kinetika kimia. Moses et al (Iskandar, 2002: 273-274) mengemukakan bahwa: “Situasi seperti itu menimbulkan rasa cemas yang besar pada diri siswa yang berkemampuan rendah hal itu akan menimbulkan rasa cemas yang besar pada diri siswa; bagi siswa yang berkampuan rendah hal itu akan menimbulkan dampak negatif yaitu phobia terhadap pelajaran kimia, sedangkan bagi siswa yang kemampuannya sedang-sedang saja ada kecemasan takut membuat kesalahan atau takut memberi jawaban yang mungkin dianggap bodoh”. Dengan adanya pendekatan problem posing (pembentukan soal) kecemasan semacam itu tidak ada sebab para siswa sendiri yang membentuk/membuat soal-soal.

Suryosubroto (2009: 203) menjelaskan bahwa pendekatan problem posing merupakan pengajuan masalah-masalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan tersebut kemudian diupayakan untuk dicari jawabannya baik secara individu maupun bersama dengan pihak lain, misalnya sesama peserta didik maupun pengajar sendiri. Pendekatan problem posing diharapkan dapat memancing siswa untuk menemukan pengetahuan yang bukan diakibatkan dari ketidaksengajaan melainkan melalui upaya mereka untuk mencari hubungan-hubungan dalam informasi yang dipelajarinya.

Admin (2011) menjelaskan bahwa Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak dapat dilepaskan dari kegiatan memecahkan masalah/soal, karena memecahkan masalah adalah salah satu unsur utama dalam pembelajaran matematika. Dalam problem posing, siswa diberi kegiatan untuk

(11)

16

membuat/membentuk soal kemudian menyelesaikan/memecahkan soal tersebut sesuai dengan konsep atau materi yang telah dipelajari. Persoalan yang harus dipecahkan oleh siswa datang siswa itu sendiri atau siswa yang lain dalam.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan problem posing (pembentukan soal) merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada kegiatan siswa untuk membentuk soal yang dilakukan oleh siswa sendiri, dan tidak hanya membentuk soal, tetapi mereka juga diminta untuk dapat menyelesaikan soal tersebut.

Adapun kelebihan dan kekurangan pendekatan problem posing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2: Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Problem Posing

No Kelebihan Kekurangan

1

2

3

4

Peserta didik diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dikehendaki

Peserta didik dapat belajar aktif dan mandiri. Ia membangun pengetahuannya dari yang sederhana menuju pengetahuan yang kompleks

Guru dapat melihat sejauh mana daya serap peserta didik terhadap materi pembelajaran.

Melatih sikap kritis dan cara berpikir divergen. Peserta didik lebih peka terhadap masalah yang timbul di sekitarnya dan

mampu memberikan

penyelesaian yang cerdas

Tidak setiap pertanyaan yang diajukan peserta didik merupakan suatu pertanyaan yang berbobot karena pertanyaan berkualitas tidak muncul begitu saja

Perlu waktu untuk belajar mengajukan pertanyaan yang baik

Untuk mengajukan pertanyaan yang berkualitas perlu banyak latihan

(12)

17

Penerapan metode scaffolding melalui pendekatan problem posing merupakan salah satu metode dan pendekatan yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran kimia di sekolah. Adapun langkah-langkah yang dapat dilaksanakan, yaitu: (1) membuka kegiatan pembelajaran dengan memberi salam, (2) mengecek kehadiran siswa, (3) melakukan apersepsi, (4) menyampaikan tujuan pembelajaran, (5) membimbing siswa duduk sesuai dengan kelompok yang telah ditentukan berdasarkan tingkat kognitif siswa yang dilihat dari nilai hasil test siswa pada materi sebelumnya, dimana dalam setiap kelompok terdapat siswa yang memiliki tingkat pengetahuan level rendah, sedang, dan tinggi sesuai dengan metode pembelajaran scaffolding, yaitu menentukan zona of proximal development (zona perkembangan terdekat), (6) menyampaikan materi pelajaran, (7) memberikan contoh pembentukan soal secara problem posing serta menjelaskan bagaimana membentuk soal dari pernyataan dan pertanyaan, (8) memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya hal-hal yang belum dipahami tentang materi maupun pembuatan soal, (9) membagikan LKS tentang problem posing kepada setiap kelompok/siswa untuk dikerjakan, dimana setiap kelompok mendapatkan LKS problem posing yang berisi soal pernyataan dan soal pertanyaan, kemudian membagikan karton kepada setiap kelompok/siswa untuk menuliskan jawaban dari hasil diskusi kelompok, (10) mempersilahkan siswa untuk saling menukarkan soal yang telah dibentuk kepada kelompok lain, (11) membimbing/ memantau aktifitas kelompok/siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang telah mereka bentuk sendiri dengan memberikan pemecahan masalah secara bertahap kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada

(13)

18

setiap kelompok/siswa untuk menyelesaikan soal-soal tersebut (metode pembelajaram scaffolding), (12) mempersilahkan siswa untuk mempersentasikan hasil diskusi mereka yaitu soal yang telah mereka bentuk baik dari soal pernyataan maupun pertanyaan, (13) mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan dari hasil diskusi kelompok maupun konsep yang telah dipelajari, (14) menyimpulkan materi pelajaran sesuai dengan hasil diskusi dan konsep yang telah dipelajari, (15) mengevaluasi hasil belajar dengan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada setiap kelompok/siswa yaitu mengerjakan soal yang telah dibentuk oleh kelompok kawanya tadi, (16) mengingatkan siswa untuk mempelajari materi pada pertemuan berikutnya, dan (17) menutup pelajaran dengan memberi salam.

2.4 Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

Pada kurikulum KTSP, materi hasil kali kelarutan membahas tentang; kelarutan (s) dan tetapan hasil kali kelarutan (Ksp), hubungan kelarutan dan tetapan hasil kali kelarutan, pengaruh ion senama terhadap kelarutan, pengaruh pH terhadap kelarutan, reaksi pengendapan.

Kelarutan zat dalam air sangat beragam. Ada zat yang mudah larut dan ada zat yang sukar larut. Apabila suatu zat memiliki kelarutan lebih besar 0,02 mol L-1 dianggap larut, sedangkan yang lebih kecil dari 0,02 mol L-1 dianggap sukar larut. Pada umumnya, kelarutan bertambah dengan kenaikan suhu. Kelarutan dari berbagai jenis zat juga dipengaruhi oleh pH larutan.

Kelarutan (s) adalah banyaknya zat terlarut maksimum atau konsentrasi maksimum zat terlarut (Sitorus, dkk: 2006: 241). Menurut Watoni (2010: 248) kelarutan (solubility, s) adalah jumlah maksimum zat padat yang dapat larut dalam

(14)

19

air (dinyatakan dengan konsentrasi molar) sampai keadaan jenuh pada suhu tertentu.

Jumlah zat terlarut dalam larutan jenuh disebut kelarutan. Apabila AgCl dilarutkan ke dalam air, maka AgCl akan larut sehingga diperoleh larutan garam AgCl. Di dalam air, AgCl melarut dan terionisasi menjadi ion-ion Ag+ dan Cl-. Persamaan reaksinya adalah AgCl(s)⇌ Ag+(aq) + Cl-(aq). Penambahan kristal AgCl lebih lanjut akan menyebabkan konsentrasi ion-ion Ag+ dan Cl- dalam larutan semakin tinggi. Pada kondisi ini, dikatakan larutan bersifat jenuh dan konsentrasi AgCl yang terlarut telah mencapai maksimum (Johari dan Rachmawati, 2004:263).

Utami, dkk (2007: 216) menjelaskan istilah kelarutan (solubility) digunakan untuk menyatakan jumlah maksimal zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut. Kelarutan (khususnya untuk zat yang sukar larut) dinyatakan dalam satuan mol L-1. Jadi, kelarutan (s) sama dengan molaritas (M). Tetapan hasil kali kelarutan (Konstante Solubility Product, Ksp) adalah hasil kali konsentrasi molar ion-ion pangkat masing-masing koefisien, dalam larutan jenuh pada suhu tertentu (Watoni, 2010:248).

Tetapan hasil kali kelarutan adalah tetapan kesetimbangan antara garam atau basa yang sedikit larut. Misalnya, apabila Ag2CrO4 dimasukkan ke dalam segelas air kemudian diaduk maka akan terlihat bahwa sebagian besar dari garam tersebut tidak larut dan mengendap di dasar gelas. Larutan perak kromat merupakan larutan mudah jenuh sehingga setelah mencapai keadaan jenuh tetap terjadi proses melarut. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam keadaan jenuh

(15)

20

terdapat kesetimbangan antara zat padat tak larut dengan larutannya. Kesetimbangan dalam larutan jenuh perak kromat adalah Ag2CrO4(s) terionisasi menjadi ion-ion 2Ag+(aq) dan CrO42-(aq). Reaksi kesetimbangannya yaitu Ag2CrO4(s) ⇌ 2Ag+(aq) + CrO42-(aq). Persamaan tetapan hasil kali kelarutan untuk Ag2CrO4(s) yaitu Ksp Ag2CrO4(s) =[Ag+]2 [CrO42-].

Sugiarti, dkk (2012: 394-396) menjelaskan bahwa untuk mengetahui hubungan antara kelarutan (s) dan hasil kali kelarutan (Ksp) dapat dijelaskan sebagai berikut: konsentrasi kesetimbangan ion Ag+ dan ion CrO42- dalam larutan jenuh dapat dikaitkan dengan kelarutan Ag2CrO4. Jika kelarutan Ag2CrO4 dinyatakan dengan s, maka kosentarasi ion Ag+ dalam larutan itu sama dengan 2s dan kosentrasi ion CrO42- sama dengan s. Dengan demikian tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) Ag2CrO4 dapat dikaitkan dengan nilai kelarutannya (s) yaitu Ksp Ag2CrO4 = [Ag+]2 [CrO42-] = (2s )2 (s) = 4s3 = Ksp Ag2CrO4/4 = Ksp

3

Ag2CrO4

Secara umum, hubungan antara kelarutan (s) dengan tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk zat AxBy kelarutannya dalam air dinyatakan dalam s (mol L-1). Kesetimbangannya adalah AxBy(s) ⇌ xAy+(aq) + yBx-(aq), maka konsentrasi ion Ay+dalam larutan sama dengan xs dan konsentrasi ion Bx-dinyatakan dalam ys. Tetapan hasil kali kelarutan dari zat AxBy tersebut yaitu Ksp = [A y+]x [Bx-]y dimana Ksp = (xs)x(ys)y= xx yy s (x+y), maka s = x +y Ksp/xx+ yy.

Suatu zat jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan larutan elektrolit, dan zat yang terlarut akan terionisasi membentuk ion-ionnya. Misalnya, jika AgCl dimasukkan dalam larutan AgNO3, berarti sebelum terbentuknya ion Ag+ dan ion

(16)

21

Cl-, dalam larutan tersebut sudah terdapat ion Ag+ dari AgNO3. Ion Ag+ yang terdapat dalam larutan disebut dengan ion senama (Sutresna, 2007: 278).

Lukum (2005) suatu endapan biasanya lebih larut dalam air murni dibandingkan dalam sebuah larutan yang mengandung salah satu ion dari endapan. Sebagai contoh penambahan larutan NaF 0,01 mol ke dalam larutan jenuh CaF2 akan mengendapkan CaF2, hal ini disebabkan bergesernya arah kesetimbangan: CaF2(p) ⇌ Ca2+(aq) + 2F-(aq) ke arah kiri akibat dari bertambahnya konsentrasi ion F-. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa “penambahan ion sejenis/senama menyebabkan berkurangnya kelarutan suatu senyawa”. Adanya ion senama yang sangat berlebihan dapat menyebabkan kelarutan suatu endapan akan sangat meningkat, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan nilai tetapan kesetimbangan endapan, dengan ion-ionnya (Ksp). Kadang-kadang pereaksi pengendapan yang berlebih dapat menyebabkan terbentuknya senyawa kompleks yang dapat larut.

Khopkar (1990) menjelaskan bahwa kelarutan dalam air berkurang jika larutan tersebut mengandung satu dari ion-ion penyusun endapan, sebab pembatasan Ksp (konstanta hasil kali kelarutan), baik kation maupun anion yang ditambahkan mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan sehingga endapan garam bertambah. Contoh endapan Fe(OH)3 dengan penambahan NH4OH pada larutan FeCl3. Jika kita menambahkan NH4Cl maka akan mendorong kesetimbangan yang terjadi sehingga lebih banyak Fe yang mengendap dengan NH4OH.

(17)

22

Sitorus, dkk (2006:243) menjelaskan bahwa keberadaan ion senama akan memperkecil kelarutan. Misalnya jika melarutkan AgCl dalam larutan NaCl, maka adanya ion Cl dan NaCl akan memperkecil kelarutan AgCl. Dimana AgCl terionisasi menjadi ion-ion Ag+ dan ion Cl-. Reaksi kesetimbangannya adalah sebagai berikut AgCl(s)⇌ Ag+(aq)+ Cl-(aq). Adanya ion Cl- di dalam pelarut akan menggeser kesetimbangan ke kiri, jadi mengurangi kelarutan AgCl.

Pengaruh ion senama terhadap kelarutan yaitu (1) menghalangi proses pelarutan, (2) pada suhu yang sama, s suatu zat padat dalam larutan yang mengandung ion senama lebih rendah daripada s zat tersebut dalam air, (3) pebandingan s zat dengan konsentrasi ion-ion = perbandingan koefisien, (4) dalam larutan yang mengandung kation Ay+, maka SAxBy = 1/y [Bx-] = [Ksp/ [Ay+]x]1/y, (5) dalam larutan yang mengandung anion B+, maka: SAxBy = 1/x [Ay+] = [Ksp/ [Bx-]y]1/x (Watoni, 2010: 248-249)

Sihaloho (2005: 126) menjelaskan bahwa bila suatu garam dilarutkan dalam suatu larutan yang telah beriisikan salah satu ion-ionnya, maka kelarutan garam itu akan lebih rendah dibandingkan dalam pelarut air murni. Misalnya, jika AgCl dilarutkan dalam larutan NaCl maka kelarutannya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jika AgCl dilarutkan dalam air murni. Dalam keadaan ini, AgCl dan NaCl memiliki ion senama, yaitu ion klorida. Berkurangnya kelarutan dengan adanya ion senama disebut efek ion senama. Efek ion senama pada kelarutan sebenarnya hanya merupakan suatu contoh prinsip Le Chatelier. Umapanya perak klorida padat dimaksukkan ke dalam air murni dan dibiarkan berada dalam kesetimbangan dengan ion-ionnya dalam larutan: AgCl(s) ⇌ Ag+(aq)

(18)

23

+ Cl-(aq). Jika suatu garam klorida yang mudah larut seperti NaCl ditambahkan pada larutan ini, maka konsentrasi ion akan bertambah dan mendesak kesetimbangan bergeser kekiri, menyebabkan sedikit AgCl mengendap. Dengan kata lain AgCl kurang larut dalam air murni.

Dapat disimpulkan bahwa adanya penambahan ion senama dalam larutan akan memperbesar konsentrasi ion yang menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kiri sesuai dengan asas Le Chatelier yaitu bila terhadap suatu kesetimbangan dilakukan suatu tindakan (aksi), maka sistem akan mengadakan reaksi yang cenderung mengurangi pengaruh aksi tersebut. Akibat dari pergeseran kesetimbangan tersebut ion senama akan memperkecil kelarutan.

Tingkat keasaman larutan (pH) dapat mempengaruhi kelarutan dari berbagai jenis zat Menurut Johari dan Rachmawati (2004: 269) perubahan pH berkaitan dengan perubahan konsentrasi ion H+ dan OH- dalam pelarut air, dimana di dalam air murni, ion H+ dan OH- berada dalam kesetimbangan. Tetapan kesetimbsngannya yaitu Kw = [H+] ]OH-] = 10-14 (suhu 25°C). Pada kesetimbangan kelarutan basa (logam hidroksida) yang sukar larut, memiliki nilai Kw tetap, maka ion OH- dalam larutan akan menaikkan konsentrasi ion H+ dan diperoleh pH pada nilai kelarutan tersebut. Persamaan kesetimbangan reaksinya adalah M(OH)y(s) ⇌ M+(aq) + yOH-(aq).

Khopkar (1990) menjelaskan bahwa kelarutan garam dari asam lemah tergantung pada pH larutan, misal: oksalat; ion H+ bergabung dengan ion C2O4 2-membentuk C2H2O4, sehingga menambah kelarutan garamnya. Brady (Utami, dkk: 2007: 219) menjelaakan bahwa harga pH sering digunakan untuk

(19)

24

menghitung Ksp suatu basa yang sukar larut. Sebaliknya, harga Ksp suatu basa dapat digunakan untuk menentukan pH larutan. Harga Ksp suatu basa dapat digunakan untuk menentukan pH larutan. Sebaliknya, harga pH sering digunakan untuk menghitung besarnya nilai Ksp (Permana, 2009: 152).

Elektrolit yang berasal dari basa lemah termasuk zat yang sukar larut, sehingga sering dinyatakan dalam soal-soal Ksp. Misalnya basa L(OH)x, maka

hubungan Ksp dengan pH dapat dinyatakan: Ksp = 1/x × [OH

-]x+1 (Ashari, 2006: 140). Sitorus, dkk (2006:244) menjelaskan bahwa kelarutan juga dipengaruhi oleh pH larutan contohnya pada kesetimbangan CaCO3(s) ⇌ Ca2+(aq) + CO32-(aq), karena kesetimbangan ion CO32- terikat oleh ion H+ akibatnya CO32- di dalam larutan berkurang.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh pH dapat mempengaruhi kelarutan dari berbagai jenis zat. Suatu basa umumnya lebih larut dalam larutan yang bersifat asam, dan sebaliknya lebih sukar larut dalam larutan yang bersifat basa.

Salah satu ciri reaksi kimia adalah reaksi yang menghasilkan endapan. Reaksi ini terjadi jika dua larutan dicampurkan dan salah satu hasil reaksinya berupa endapan. Menurut Retnowati (2006: 133) tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk memprediksi pengendapan zat dalam larutan.

Watoni (2010: 249) menjelaskan jika kation A+ dan anion B+ dicampur, maka akan diperoleh larutan dengan kuosen reaksi Qc = [Ay+]x [Bx-]y. Pengendapan dapat diramalkan dengan membandingkan Qc terhadap Ksp.

(20)

25

Dimana Qc < Ksp maka larutan belum jenuh, Qc = Ksp maka larutan jenuh, belum terbentuk endapan, Qc > Ksp terbentuk endapan (lewat jenuh).

Utami (2007: 220) menjelaskan bahwa harga Ksp suatu elektrolit dapat dipergunakan untuk memisahkan dua atau lebih larutan yang bercampur dengan cara pengendapan. Proses pemisahan ini dengan menambahkan suatu larutan elektrolit lain yang dapat berikatan dengan ion-ion dalam campuran larutan yang akan dipisahkan, karena setiap larutan mempunyai kelarutan yang berbeda-beda, maka secara otomatis ada larutan yang mengendap lebih dulu dan ada yang mengendap kemudian, sehingga masing-masing larutan dapat dipisahkan dalam bentuk endapannya.

Ashari (2007: 142) menjelaskan bahwa harga Ksp suatu larutan dapat digunakan untuk memperkirakan apakah suatu larutan elektrolit masih bisa larut, tepat jenuh, atau lewat jenuh (terjadi pengendapan) dengan cara membandingkan hasil kali konsentrasi ion Qc yang terdapat dalam larutan dengan harga Ksp-nya. 2.5 Penelitian yang Relevan

Berikut ini adalah beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian menggunakan metode scaffolding dan pendekatan problem posing;

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dengan judul “Penerapan metode penemuan terbimbing melalui pemberian bantuan (scaffolding) untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas V SD dalam mata pelajaran matematika”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu bahwa pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing melalui pemberian bantuan dapat membangun pemahaman materi sifat-sifat bangun datar siswa kelas VA SD Negeri Sukun 2 Malang.

(21)

26

Penelitian yang dilakukan oleh Herawati, dkk dengan judul “Pengaruh pembelajaran problem posing terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika siswa kelas XI IPA SMA Negeri 6 Palembang. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu terdapat perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran problem posing dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa pada kelas yang memperoleh pembelajaran problem posing lebih baik daripada siswa pada kelas yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Penelitian yang dilakukan oleh Puspita dengan judul “Pelaksanaan pembelajaran matematika menggunakan model problem posing untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas V”. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu penggunaan model problem posing terbukti mampu meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika kelas V pada pembelajaran mengenai jarak, waktu dan kecepatan SD Negeri 09 Pontianak Tenggara.

2.6 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian pustaka dalam penelitian tindakan kelas ini maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: “dengan menerapkan metode scaffolding melalui pendekatan problem posing maka hasil belajar siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Tapa pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan meningkat”.

(22)

27

2.7 Indikator Kinerja

Sebagai tolak ukur penetapan keberhasilan siswa secara perorangan dalam pembelajaran, maka peneliti menetapkan kriteria baik untuk tingkat keberhasilan siswa, yaitu jika hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran meliputi kegiatan guru dan siswa telah mencapai rata-rata minimal 80% dari seluruh aspek kegiatan yang diamati maka kegiatan pembelajaran dinyatakan berhasil dan ketuntasan belajar siswa secara klasikal minimal mencapai 80% yang dikenai tindakan memperoleh nilai 75 ke atas maka tindakan pembelajaran dinyatakan berhasil.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan Penanaman Satu Miliyar Pohon Tahun 2011 pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gerakan penanaman satu milyar pohon Tahun 2010 dengan target menanam minimal satu

Salah satu masalah dalam desalinasi nuklir adalah konsentrat desalinasi yang merupakan limbah multi komponen, jika tidak diolah dengan tepat dan dibuang langsung

Responden dengan pendidikan SMA sudah dianggap dapat menerima berbagai informasi pengetahuan tentang masalah ISPA pada balita, termsuk bagaimana tindakan yang harus

Hasil penerapan pembelajaran fisika berbasis proyek dengan menggunakan media on-line sebagai sarana presentasi menunjukkan beberapa kelebihan yaitu mampu meningkatkan

Abstrak: Metode PRA (Particpatory Rapid Appraisal) adalah salah satu metode pendekatan dalam pemberdayaan yang menekankan pada partisipasi masyarakat.Rumusan masalah dalam

Namun karena mereka sekarang mempunyai anak ketiga yang masih kecil maka istri H.M tidak sesering biasanya menemani suaminya pergi ke sawah, paling tidak saat musim

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa laba bersih, arus kas operasi, leverage, dan dividen kas tahun sebelumnya secara

Pembangunan UMM serta selaku Dosen Pembimbing II yang dengan teliti memberikan saran dan kritik serta telah membimbing penulis dalam menyusun karya ilmiah ini.. Faisyal