• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIATEPUNG UMBI DAN TEPUNG PATI DARI UMBI GANYONG, SUWEG, UBIKELAPA DAN GEMBILI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIATEPUNG UMBI DAN TEPUNG PATI DARI UMBI GANYONG, SUWEG, UBIKELAPA DAN GEMBILI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Nur Richana1 dan Titi Chandra Sunarti2

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Umbi-umbian merupakan bahan berkarbohidrat tinggi, tetapi di Indonesia belum semua umbi-umbian dimanfaatkan dan dikembangkan, antara lain ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili. Alternatif pengembangan umbi-umbian yaitu untuk tepung umbi, tepung pati dan tepung komposit. Penelitian evaluasi karakteristik sifat fisiko-kimia tepung umbi dan tepung pati ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili dilakukan di Laboratorium Enzimatis dan Biokimia Balitbio Bogor. Analisis yang dilakukan adalah rendemen pati dan tepung, ukuran granula, derajat putih, daya serap air, proksimat, amilosa, dan sifat amilografnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ganyong, suweg, ubikelapa, dan gembili mempunyai kadar pati yang tinggi berkisar 39,36-52,25%. Kandungan lemak (0,09-2,24%), dan protein (0,08-6,65%) pada tepung umbi dan tepung pati dapat meningkatkan manfaat tepung dan pati tersebut sebagai tepung komposit. Ganyong dan ubikelapa mempunyai ukuran granula pati lebih besar (22,5 dan 10 Pm). Tepung suweg mempunyai absorbsi air maupun minyak tertinggi (2,69-4,13 dan 2,34-2,98 g/g). Hasil rendemen menunjukkan bahwa ganyong lebih prospektif dikembangkan untuk produk tepung pati. Suweg dan gembili mempunyai prospek untuk produk tepung umbi maupun tepung pati sedangkan ubikelapa untuk tepung umbi. Sifat fisikokimia ganyong dan suweg mempunyai amilosa rendah (18,6% dan 19,2%) dan viskositas puncak tinggi (900-1080 BU dan 780-700 BU). Implikasi hasil penelitian untuk menggali potensi sumber karbohidrat sebagai tepung komposit ataupun sebagai bahan industri perpatian

Kata Kunci: Canna edulis, Amorphophallus campanulatus, Dioscorea esculenta, sifat fisikokomia, tepung, pati.

ABSTRACT. Nur Richana and Titi Chandra Sunarti. 2004. Physicochemical characteristic of flour and starch

from Canna, Amorphophallus and Dioscorea. In Indonesia roots and tubers are carbohydrate source, but many kinds

of them are not optimally utilized, as well as canna, Amorphophallus campanulatus BI, Dioscorea alata, and Dioscorea esculenta. Alternative products from these roots and tubers are flour, composites flour and starch. Research on physicochemical properties of roots and tubers was carried out in Laboratory of Enzyme and Biochemistry at Research Institute of Agricultural Biotechnology, Bogor. Analysis of flour and starch included yield of flour and starch, water and oil absorbsion, size of starch granule, the whiteness, proximate analysis, amylose content, and starch paste characteristic. The result showed that these roots and tubers have high content of starch (39,36-52,25%). Lipid and protein content (0,09-2,24% and 0,08-6,65% respectively) in flour and starch increased usefullness as raw materials of composite flour. Canna and Dioscorea alata have a large size granula starch (22,5 and 10 Pm). Flour of Dioscorea esculenta has the highest water and fat absorbtion (2,69-4,13 and 2,34-2,98 g/g respectively). Based on yield of flour or starch, canna is more feasible to produce starch. Amorphophallus campanulatus BI and Dioscorea esculenta are good raw material to produce starch and flour. Dioscorea alata is feasible for flour only. Starch of Canna and Amorphophallus campanulatus BI have low content of amylose (18.6% and 19.2%) and high peak viscosity (900-1080 BU and 780-700 BU).

Key words: Canna edulis, Amorphophallus campanulatus, Dioscorea esculenta, physicochemical characteristic, flour,

starch.

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIATEPUNG UMBI DAN TEPUNG

PATI DARI UMBI GANYONG, SUWEG, UBIKELAPA DAN GEMBILI

PENDAHULUAN

Pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Di Indonesia kebutuhan pangan terutama adalah beras dan jagung, kemudian ubikayu dan ubijalar. Salah satu usaha yang dapat meningkatkan ketersediaan pangan adalah memanfaatkan hasil-hasil pertanian yang ada walau belum dimanfaatkan secara ekonomis serta diintensifkan penggalian sumber-sumber bahan pangan baru.

Persediaan pangan diupayakan lebih besar melalui teknologi pangan dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama memanfaatkan bahan-bahan hasil pertanian yang sampai saat ini penggunaannya masih terbatas. Kedua mengkaji karakterisasi untuk mendasari

pemanfaatan bahan tersebut dan mengolah atau memperbaiki proses tradisional yang telah ada.

Pada saat ini tingkat penggunaan bahan-bahan hasil pertanian selain padi, jagung, ubikayu, ubijalar masih tergolong rendah. Indonesia memiliki jenis umbi-umbian yang beragam dan tersebar di seluruh daerah, antara lain ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili, walaupun umbi-umbian ini belum dimanfaatkan secara optimal. Penggunaannya hanya direbus, digoreng, dibakar, bahkan tidak dimanfaatkan sama sekali. Dari aspek ketersediaan umbi-umbian tersebut dapat menjadi salah satu alternatif dalam memenuhi bahan pangan penduduk.

Sebagai bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, umbi-umbian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tepung umbi, tepung komposit dan tepung pati. Namun

(2)

pemanfaatan pati dari umbi-umbian masih terbatas akibat kurangnya informasi sifat fisikokimia, dan teknologi prosesnya.

Ganyong dengan nama ilmiah Canna edulis Ker, merupakan tanaman tegak yang tingginya mencapai 0,9-1,8 m hingga 3 m. Umbinya dapat mencapai panjang 60 cm, dikelilingi oleh bekas-bekas sisik dan akar tebal yang berserabut. Bentuk dan komposisi kadar umbinya beraneka ragam. Di Indonesia varietas ganyong yang banyak dibudidayakan ada dua yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Tepungnya mudah dicerna, baik sekali untuk makanan bayi maupun orang sakit (Lingga, 1986). Ganyong merupakan sumber karbohidrat 22,6-23,8% (Direktorat Gizi, 1992).

Suweg (Amorphophallus campanulatus BI) ialah suatu jenis Araceae yang berbatang semu mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkainya belang hijau putih, berbintil-bintil, panjangnya 50-150 cm. Indeks luas daun rendah sehingga populasi tanaman per hektar menurut Soemono et al. (1986) dapat mencapai 40000-50000 tanaman. Amorphophallus campanulatus BI memiliki dua forma, ialah forma sylvestris yang berbatang kasar, berwarna gelap, umbinya gatal sehingga tidak dimanfaatkan oleh penduduk. Sedangkan forma hortensis berbatang lebih halus dan umbinya tidak terlalu gatal, sehingga sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, khususnya di pulau Jawa (Kriswidarti, 1980). Suweg dipelihara untuk dimakan umbinya. Secara tradisional parutan umbinya yang segar dapat dipakai untuk obat luka. Umbi suweg mengandung kristal kalsium oksalat yang membuat rasa gatal, senyawa tersebut dapat dihilangkan dengan perebusan. Burkill (1966) menyatakan bahwa suweg mempunyai kadar karbohidrat antara 80-85% (berat basah).

Ubikelapa seperti uwi merupakan tanaman perdu memanjat dengan nama latin Dioscorea alata Batang bulat, dapat mencapai tinggi 3-10m (Kay 1973). Daun tunggal berbentuk jantung. Umbi bulat diliputi rambut akar yang pendek dan kasar. Kartowinoto dan Dimyati (1989) mengemukakan bahwa panjang umbi berkisar 15,5-27,0cm, diameter 5,25-10,75cm. Daging umbi berwarna kuning, kadang ungu, keras, dan sangat bergetah. Selain membentuk umbi di dalam tanah tumbuhan ini juga membentuk umbi batang pada ketiak daun yang disebut umbi gantung atau bulbil, yang rasanya lebih enak dibanding umbi tanahnya. Selain untuk dimakan, ubikelapa dapat juga sebagai obat tradisional. Kadar proksimat tertinggi dalam umbi ialah karbohidrat kurang lebih seperempat bagian dari berat umbi segar. Sebagian besar karbohidrat dalam bentuk pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa dalam umbi ubikelapa sekitar 19-20% (Martin, 1976).

Gembili (Dioscorea esculenta) merupakan tanaman perdu memanjat, dan dapat mencapai tinggi antara 3-5 m. Daun berbentuk seperti ginjal. Warna kulit umbi keabu-abuan, sedangkan warna daging putih kekuningan (Sastrapraja et al., 1977). Susunan senyawa umbi gembili bervariasi menurut spesies dan varietas. Onwueme (1984), menyatakan bahwa komponen terbesar dari umbi gembili adalah karbohidrat 27-33%.

Berdasarkan potensi umbi-umbian tersebut maka perlu dilakukan karakterisasi sifat fisikokimianya sehingga dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk ketersediaan pangan dan sebagai bahan baku industri.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili, yaitu meliputi rendemen, sifat fisik kadar proksimat, dan sifat amilografnya .

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilakukan di Laboratorium Enzimatis dan Biokimia Balitbio Bogor dan Laboratorium Kimia jurusan Teknologi Industri Pertanian Fateta dari bulan Maret sampai dengan Desember 2002. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ganyong dari Kebun Percobaan Cikemeuh Balitbio, suweg dari Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, ubikelapa dan gembili diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.

Proses Pembuatan Tepung Umbi dan Tepung Pati Tepung umbi ialah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pada proses penggilingan, ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk yaitu ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Perbedaan dengan proses tepung pati terletak pada adanya proses ekstraksi dengan cara pengepresan, pengendapan untuk memisahkan patinya. Proses pembuatan tepung umbi dilakukan dengan cara kering (Gambar 1) dan proses pembuatan tepung pati dengan cara basah (Gambar 2).

Analisis karakterisasi tepung dan pati

Pengamatan karakterisasi tepung umbi dan tepung pati umbi meliputi analisis sifat fisik proksimat, amilosa, dan fungsional tepung dan pati .

Sifat fisik dan fungsional tepung dan pati meliputi absorbansi minyak dan air yang dilakukan dengan cara Sathe dan Salunkhe (1981), derajad putih diukur dengan

Whitenessmeter, sedangkan bentuk granula pati dengan

metode mikroskop polarisasi.

Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar lemak, protein, abu, dan serat. Kadar air pati dan tepung dianalisis

(3)

menggunakan oven pada suhu 105oC sampai bobot konstan. Kadar abu dianalisis dengan cara pengabuan di dalam Tanur, pemanasan dengan suhu 500-600oC selama 6 jam (SNI 01-2891-1992). Penetapan kadar lemak dengan metode Soxhlet menggunakan petroleum ether sebagai pelarut (AOAC, 1984). Penetapan protein dilakukan dengan menggunakan metode mikro Kjeldhal (AOAC, 1984). Untuk menghitung protein kasar digunakan factor 6,25. Kadar serat ditetapkan dengan cara menghidrolisis contoh dengan larutan asam, kemudian dengan larutan basa encer (SNI 01-2891-1992). Analisis pati dilakukan dengan pereaksi Somogy Nelson dalam Hidayat (1988).

Analisis amilosa ditentukan secara spektro-photometri, dengan standar amilosa berasal dari amilosa kentang murni (AOAC, 1984). Sifat amilografi diukur dengan alat Brabender amilografi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pelaksanaan penelitian ternyata ekstraksi pati ubikelapa dan suweg sulit dilakukan secara manual, karena tingginya kadar senyawa kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal pada kulit, sehingga perlu alat pemarut kemudian dilakukan pengepresan.

A. Karakteristik fisik tepung dan pati umbi-umbian Karakteristik fisik tepung umbi dan tepung pati meliputi rendemen, granula pati, absorbsi air, dan absorbsi minyak. Hal tersebut berkaitan erat dengan komposisi kimia. Secara spontan granula pati basah dapat terdespersi dalam air dan minyak, hal ini menunjukkan bahwa granula pati dapat memberikan gugus hidrofilik dan hidrofobik.

Rendemen Tepung dan Pati Umbi-umbian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tepung ganyong 11,43% dan nilai rendemen paling rendah dibanding umbi lainnya. Rendahnya rendemen tepung ini karena ganyong berserat kasar yang tinggi dan susah dihaluskan sehingga dalam pengayakan tidak lolos. Dengan demikian prospek ganyong untuk diproses menjadi tepung mempunyai kendala dalam hal serat yang tinggi. Sedangkan untuk rendemen tepung suweg, ubikelapa dan gembili berturut-turut adalah 18,42%, 23,93% dan 24,28% cukup tinggi, yang berarti ketiga umbi tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi tepung umbi (Gambar 3).

Tepung ubikelapa mempunyai rendemen pati yang sangat rendah yaitu 4,56%, sedangkan umbi ganyong, suweg dan gembili berturut-turut ialah 12,93%, 11,56% dan 21,44%. Dari hasil tersebut ternyata ubikelapa tidak potensial untuk diproses menjadi pati. Hal tersebut diduga karena ubikelapa mengandung lendir yang sangat tinggi sehingga pada proses dekantasi tidak dapat mengendap. Sebetulnya sampai saat ini belum banyak informasi tentang lendir tersebut. Namun diduga lendir tersebut adalah oligoprotein, dan ternyata dari hasil pengamatan protein Umbi

Air Pencucian Pemarutan

Air Ekstraksi pati (1 : 3 ; 5 : 3 kali) Penyaringan Ampas

Cairan Pati

Pengendapan (6-12 jam) Limbah cair Pengeringan oven 50oC, 6jam

Penggilingan Pengayakan Pati ganyong Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati umbi

Figure 2. Flow chart of starch processing from roots and tubers 11.43 18.42 23.93 24.28 12.93 11.56 8.56 21.24 0 5 10 15 20 25 30

Ganyong Suweg Ubikelapa gembili

g /1 0 0 g Tepung Pati

Gambar 3. Rendemen tepung dan pati dari umbi-umbian Figure 3. Yield of starch and flour from roots and tubers Umbi

Pengupasan dan Pengirisan (tebal 1-2 mm) Pengeringan dengan oven (50oC, 24 jam

Penghalusan (grinder) 90 mesh Tepung Umbi

Gambar 1. Diagram alir Pembuatan Tepung Umbi

(4)

ubikelapa tinggi, yaitu 6,66% dalam tepung umbi dan 4,93% dalam tepung pati. Disamping itu proses ekstraksi pati ubikelapa dan suweg lebih sulit dilakukan secara manual karena gatal. Rasa gatal disebabkan oleh adanya kalsium oksalat. Untuk meningkatkan hasil ekstraksi pati pada ubikelapa perlu penelitian lanjutan dengan pemberian natrium bisulfit, yaitu untuk bahan pemutih dan meningkatkan pati. Untuk mengurangi rasa gatal pada ubikelapa dan suweg perlu ditambahkan asam yaitu asam nitrat atau asam khlorida encer (Iwuoha dan Kalu, 1994). Gembili mempunyai rendemen tepung umbi dan tepung pati tertinggi (24,28% dan 21,44%) dibanding umbi-umbi lain. Dengan demikian ditinjau dari hasil rendemennya gembili sangat potensial untuk dikembangkan menjadi tepung maupun pati.

Granula pati

Sifat birefringence ialah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. French (1984) menyatakan warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati. Indeks refraktif dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati (Zhou et al., 1998). Secara umum terlihat bahwa pati ganyong dan ubikelapa mempunyai ukuran besar (22,5 Pm dan 10 Pm ), suweg mempunyai ukuran sedang 5 Pm , sedangkan gembili terkecil yaitu 0,75 Pm (Gambar 4.). Bentuk granula juga merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Ganyong dan ubikelapa mempunyai bentuk granula pati oval, sedangkan suweg dan gembili berbentuk heksagonal.

Perbedaan bentuk maupun ukuran granula ternyata hanya untuk mengidentifikasi macam umbi atau merupakan ciri khas dari masing-masing pati umbi. Juliano dan Kongseree (1968) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi dengan ukuran

granula pati, tetapi suhu gelatinisasi mempunyai hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa dan amilopektin.

Absorbsi air

Daya absorbsi air dari pati umbi-umbian perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat dari system pati. Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak tetapi tidak dapat kembali seperti semula (Fennema, 1985). Kulp (1973) menyatakan bahwa air yang terserap dalam molekul menyebabkan granula mengembang. Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen mempunyai peranan untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati maka kemampuan menyerap air semakin tinggi. Oleh karena itu absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas. Gambar 4. Granula pati umbi-umbian pada perbesaran 400 kali.

A). Ganyong, B). Suweg, C). Gembili, D) Ubikelapa. Figure 4. Starch granule 400 x magnification. A) Canna,

B)Amorphophallus campanulatus, C).Dioscore alata, D) Dioscorea esculenta

Karakteristik Ganyong Suweg Ubikelapa Gembili Characteristic Canna Amorphophallus Dioscorea alata Dioscorea esculenta

campanulatus Tepung Umbi /Flour

Absorbsi air (g/g) Water absorbsion 3,33b 4,13a 2,51b 1,91c

Absorbsi minyak (g/g) Oil absorbsion 2,06a 2,98ab 1,58b 1,62b

Derajad putih (%) Whiteness 48,05b 39,05b 20,05c 60,05a

Tepung Pati /Starch

Absorbsi air (g/g)Water absorbsion 1,81b 2,69a 1,72b 1,1c

Absorbsi minyak (g/g)Oil absorbsion 1,92a 2,34a 0,97c 1,47b

Derajad putih (%)Whiteness 77,02b 80,00a 54,00c 86,00a

*) Angka selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT *) Mean value in each colum wich the same letter are not significantly different by DMRT (p=5% Tabel 1. Karakteristik fisik tepung umbi dan tepung pati dari beberapa umbi-umbian

(5)

Kadar amilosa yang tinggi juga dapat meningkatkan absorbsi air. Jika jumlah air dalam sistem dibatasi maka amilosa tidak dapat meninggalkan granula. Disamping itu nisbah penyerapan air dan minyak juga dipengaruhi oleh keberadaan serat, karena sifat serat yang mudah menyerap air. Hal tersebut tercermin dalam penelitian ini yaitu ternyata kemampuan tepung umbi untuk menyerap air (1,91-4,13%) lebih tinggi dibanding kemampuan tepung pati menyerap air (1,1-2,69%) (Tabel 1.). Disamping itu gembili yang mempunyai serat terendah (2,29%) dibanding umbi lain (Tabel 2.), ternyata mempunyai adsorbsi air dan viskositas pati rendah (Tabel 4).

Absorbsi minyak

Campuran minyak dan pati akan mempengaruhi sifat fisik pati karena minyak dan lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa yang menghambat pembengkakan granula sehingga pati sulit tergelatinisasi (Fennema, 1985). Berdasarkan hasil pengamatan nisbah penyerapan minyak untuk tepung umbi berkisar 1,58-2,98 g/g, sedangkan untuk tepung pati umbi-umbian berkisar 0,97-2,34 g/g.

Derajat putih

Hasil pengamatan derajad putih umbi ternyata warna tepung pati(54-86%) lebih tinggi dibanding tepung umbi (20,04-60,05%). Pada penelitian ini pembuatan tepung maupun ekstrak pati tidak diberi perlakuan pemucat, karena adanya bahan kimia tambahan akan mengubah sifat fisikokimia tepung dan pati yang dihasilkan, sehingga sifat asal bahan akan sulit diketahui. Derajat putih umbi sangat dipengaruhi oleh kadar polifenol yang ada pada umbi.

Polifenol menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatis, yaitu reaksi polifenolase dan oksigen yang terdapat di udara. Enzim tersebut keluar apabila terjadi luka pada umbi. Ubikelapa mempunyai derajat putih yang paling rendah untuk tepung umbi maupun tepung pati, karena umbi ubikelapa warnanya keunguan. Dengan demikian untuk pemanfaatan kedepan ubikelapa potensial untuk tepung berkarbohidrat tinggi yang berwarna ungu, sehingga dapat digunakan sebagai bahan padatan sekaligus bahan pewarna.

B. Komposisi kimia tepung dan pati umbi

Komposisi kimia meliputi kadar air, abu, protein, lemak, pati dan amilosa. Hasil pengamatan komposisi kimia disajikan pada Tabel 2.

Kadar air

Kadar air tepung dan pati yang dihasilkan berkisar pada 6,06 -11,06%. Jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga. Pengeringan pada tepung dan pati bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dan pati dapat dihambat. Batas kadar air mikroba masih dapat tumbuh ialah 14-15% (Fardiaz, 1989).

Kadar abu :

Hasil analisis menunjukkan kadar abu tepung berkisar 2,87-3,81%, sedangkan kadar abu tepung pati 0,16-2,5%. Hasil ini selaras dengan hasil yang diperoleh oleh Widowati (2001) yaitu kadar abu 1,5% pada kadar air 7%. Secara Karakteristik Ganyong Suweg /Amorpho Ubikelapa Gembili

Characteristic Canna Phallus campanalatus Dioscorea alata Dioscorea esculenta Tepung Umbi /Flour

Air / Water 6,69c 9,4b 11,06a 6,44c

Abu / Ash 2,89c 3,81a 3,56b 2,87c

Lemak / Fat 1,22b 1,64a 0,09e 0,89c

Protein /Protein 0,73d 5,22b 6,66a 6,11a

Serat Kasar / Fiber 5,64a 4,74b 4,76b 2,29d

Pati / Starch 40,18c 39,36c 52,25a 42,16b

Amilosa / Amylose 7,50c 7,57c 12,14a 9,80b

Tepung Pati Starch

Air / Water 8,34a 8,67a 8,42a 4,06c

Abu / Ash 0,20b 2,5a 0,22b 0,16b

Lemak / Fat 0,75b 0,81b 0,64b 2,24a

Protein /Protein 0,08d 6,02a 4,93b 6,65a

Serat Kasar / Fiber 0,97b 0,33c 1,31b 2,06a

Pati / Starch 55,32b 45,75c 63,31a 51,34b

Amilosa / Amylose 10,45c 8,38d 14,10a 12,47b

*) Angka selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

*) Mean value in each colum wich the same letter are not significantly different by DMRT (p=5%) Tabel 2. Komposisi kimia (%) tepung umbi dan tepung pati dari beberapa umbi-umbian

(6)

kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung dan pati berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Soebito, 1988). Kadar abu pada pati cenderung lebih rendah dibanding tepung umbi, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan proses pengolahan tepung dan pati. Pati diperoleh dari ekstraksi dan pencucian yang berulang-ulang dengan air. Hal tersebut menyebabkan mineral tersebut akan terlarut air dan ikut terbuang bersama ampas.

Kadar lemak dan protein

Hasil analisis lemak tepung umbi dan tepung pati berkisar 0,09-2,24%. Secara umum tepung umbi mengandung protein dan lemak lebih tinggi dibanding tepung pati, karena proses ekstraksi dan pencucian akan menghilangkan kadar protein dan lemak. Namun demikian hal tersebut tidak terjadi pada ubikelapa, suweg dan gembili. Hal tersebut diduga bahwa dalam ekstraksi pati, kadar lemak masih berikatan dengan pati sehingga tidak terbuang bersama ampas, dengan demikian perbobot patinya meningkat.

Tepung pati dengan kadar protein yang tinggi kurang menyebabkan viskositas pati menurun, hal ini menyebabkan mutu pati menurun sehingga tidak diharapkan dalam pemanfaatannya. Leach (1965) menyatakan bahwa protein dan pati akan membentuk kompleks dengan permukaan granula dan menyebabkan viskositas pati menjadi turun, dan berakibat pada rendahnya kekuatan gel. Hal ini kurang diharapkan karena pada aplikasi pemanfaatannya, pati banyak digunakan sebagai thickening agents.

Berbeda dengan pati, kadar protein pada tepung justru diharapkan tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan tepung, apabila tepung berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak memerlukan bahan substitusi lagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tepung suweg, ubikelapa dan gembili mempunyai kadar protein yang tinggi yaitu berturut-turut 5,22 ; 6,66 ; dan 6,11% (Tabel 2). Sedangkan tepung ganyong sangat rendah 0,73%, bahkan lebih rendah dibanding penelitian Widowati (2001), yaitu 1,1%.

Kadar lemak dalam pati dan tepung dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Selain itu sebagian besar lemak akan diabsorbsi oleh permukaan granula sehingga berbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati. Hal ini menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula pati (Collison, 1968).

Kadar serat kasar

Kadar serat kasar terdiri atas selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa. Hasil analisis kadar serat tepung berkisar 2,29-5,64%, sedangkan untuk pati 0,33-2,06%. Secara umum pati mengandung serat kasar lebih rendah dibanding tepung karena proses ekstraksi sebagian serat yang berukuran besar terbuang bersama ampas. Kadar serat tepung dan pati dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya. Jika kadar pati pada umbi telah mencapai optimum, maka selanjutnya pati pada umbi akan terus turun secara perlahan dan mulai terjadi perubahan pati menjadi serat (Wahid et al. 1992).

Kadar pati dan amilosa

Kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung, baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan. Umbi-umbian tersebut berkadar pati dalam jumlah yang sangat tinggi yaitu pada tepung umbi berkisar 39,36-52,25%, sedangkan kadar pati dalam bentuk ekstrak pati umbi berkisar 45,75-63,31%. Ubikelapa mengandung pati

Tabel 3. Rasio amilosa dan amilopektin (%) terhadap pati umbi-umbian Table 3. Ratio of amylose and amylopectin on starch of roots and tubers

*) R.amilosa : adalah hasil perhitungan dari rerata amilosa terhadap kadar pati, R. amilopektin = 100-R.amilosa *) R. Amylose is amylose(%)/ starch(%) ratio, and R. Amylopectin is 100-R. Amylose

Umbi Tepung Umbi/ Flour Tepung Pati/Starch

Roots/Tubers R.Amilosa R.Amilopektin R.Amilosa R.Amilopektin

Ga ny o ng 18,6 81,4 8,9 81,1 Canna Su w e g 19,2 80,8 18,3 81,7 Amorphophallus campanatalus Ubi ke l apa 23,6 76,4 23,6 76,4 Dioscorea alata G e mb i l i 23,2 76,8 24,3 75,7 Dioscorea esculenta

(7)

tertinggi dibanding umbi lain. Namun ternyata bila ditinjau dari hasil rendemen tepung pati justru sangat rendah (8,56%), dan paling rendah dibanding umbi lain. Dengan demikian ubikelapa jauh lebih potensial untuk dikembangkan untuk produk tepung bukan pati.

Kadar pati pada tepung ganyong 40,18% dan tepung pati 55,32%, hasil penelitian ini cukup tinggi dibanding hasil survey Herman et al. (1996) dari 26 varietas ganyong yang diteliti mempunyai kadar pati 12-54%.

Pati mengandung fraksi linier dan bercabang dalam jumlah tertentu. Fraksi linier berupa amilosa, sedangkan sisanya amilopektin. Hasil pengamatan amilosa untuk tepung berkisar 6,01-11,90%, sedangkan amilosa pada pati 8,38-14,10%. Kadar amilosa dan amilopektin sangat berperan pada saat proses gelatinisasi, retrogradasi dan lebih menentukan karakteristik pasta pati (Jane et al. 1999). Smith (1982) menunjukkan pati yang berkadar amilosa tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk gelatinisasi.

Hasil perhitungan rasio amilosa dan amilopektin (Tabel 3.) ternyata antara tepung dan pati tidak jauh berbeda, walaupun pengamatan amilosa bahan berbeda (Tabel 2.). Kadar amilosa dalam tepung maupun pati ubikelapa (23,6% dan 23,2%) dan gembili (23,6% dan 24,3%) lebih tinggi dibanding ganyong dan suweg. Hasil pengamatan amilosa ganyong dalam penelitian ini lebih rendah dibanding hasil yang dikemukakan oleh Jane et al.

(1999), sedangkan ubikelapa lebih rendah dan gembili selaras dengan data yang dikemukakan Martin (1976) yaitu amilosa gembili berkisar 10-15 % dan ubikelapa berkisar 15-28%.

C. Amilograf pati

Sifat amilograf pati diukur berdasarkan peningkatan viskositas pati pada proses pemanasan dengan

menggunakan Brabender Amylograph. Selama

pemanasan terjadi peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik molekul pati di dalam granula pati. Hal ini dapat menyebabkan air dapat masuk ke dalam granula pati (Winarno, 1986).

Suhu awal gelatinisasi ialah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu gelatinisasi merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Kadar lemak atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi (Glicksman, 1969).

Hasil pengamatan beberapa tepung dan pati umbi (Tabel 4) ternyata ubikelapa mempunyai suhu awal gelatinisasi tertinggi (85,5oC) hal ini karena kadar protein ubi kelapa yang tinggi. Selaras dengan pernyataan Glicksman (1969), ternyata protein yang tinggi merupakan faktor penghambat gelatinisasi, sehingga suhu awal gelatinisasi tinggi.

Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati

telah kehilangan sifat birefringence

-nya dan granula

sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan birefringence adalah amilopektin (Dowd et al. 1999).

Jane et al.( 1999) menunjukkan bahwa kadar amilosa, protein dan lemak berkorelasi negatif terhadap viskositas. Hal tersebut selaras dengan penelitian ini ternyata viskositas puncak tertinggi dicapai oleh pati ganyong

Tabel 4. Amilograf pati dari beberapa umbi-umbian Table 4. Amylograph of starch from roots and tubers

Karakteristik / Ganyong Suweg Ubikelapa Gembili

Characteristic Canna A. campa nulatus D.alata D esculenta Tepung Umbi /Flour

Suhu awal gelatinisasi (oC) Temp of Gelatinization 72 81 85,5 7 8 Waktu gelatinisasi (menit)Time of gelatinization (menute) 28 32 38 3 5

Viskositas puncak (BU)Peak viscosity (BU) 900 780 30 0 30 0

Viskositas dingin 50oC (BU)Cooling viscosity in 50oC (BU) 760 1720 50 0 48 0

Viskositas balik (BU)Back viscosity (BU) 140 940 15 0 18 0

Tepung Pati /Starch

Suhu awal gelatinisasi (oC) Temp of Gelatinization 70,5 79,5 85,5 7 5 Waktu gelatinisasi (menit) Time of gelatinization (menute) 30 33 3 7 3 0

Viskositas puncak (BU)Peak viscosity (BU) 1080 700 35 0 43 0

Viskositas dingin 50oC (BU)Cooling viscosity in 50oC (BU) 2000 1280 420 53 0

(8)

(1080 BU), kemudian suweg (700BU), sedangkan pengamatan ratio amilosa dan amilopektin untuk ganyong dan suweg lebih rendah dibanding ubikelapa dan gembili demikian juga untuk kadar protein dan lemaknya.

Hasil pengamatan ternyata viskositas puncak tepung (300-900 BU), lebih rendah dibanding pati (350-1080 BU). Hal senada juga dikemukakan oleh Dowd (1999), dalam penelitiannya pada tepung jagung yang masih berserat mempunyai suhu puncak gelatinisasi dan viskositas puncak lebih rendah dibanding pati jagung. Demikian juga untuk barley hasil penelitian Klamczynski dan Czuchajowska (1999) yaitu suhu dan viskositas puncak untuk pati dan tepung berturut-turut adalah 66oC, 2200 BU dan 68oC, 1100 BU. Sedangkan untuk suweg dan ubikelapa hampir sama, hal tersebut diduga karena ekstrak pati tidak sempurna sehingga komponen lain masih tinggi. Viskositas maksimum sangat berpengaruh terhadap produk olahan misalnya untuk cake atau produk rerotian, volume cake berkorelasi negatif terhadap viskositas puncak (Mizokushi, 1985). Ubikelapa dan gembili kemungkinan lebih baik untuk produk cake atau rerotian lainnya, karena viskositas puncak rendah dan kadar protein tinggi. Sedangkan untuk ganyong mempunyai viskositas puncak yang tinggi yaitu 1080 BU kemungkinan baik untuk bahan pengisi atau pengental.

Viskositas balik mencerminkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi molekul pati pada proses pendinginan. Pati ganyong dan tepung suweg mempunyai viskositas balik tertinggi yaitu 920 BU dan 940 BU, hal ini menunjukkan pati ganyong lebih cepat mengalami

retrogradasi. Fenomena ini biasa terjadi karena pada waktu gelatinisasi granula pati tidak mengembang secara maksimal, akibatnya energi untuk memutuskan ikatan hidrogen intermolekul kurang. Ketika pendinginan terjadi, amilosa dapat bergabung dengan cepat membentuk kristal yang tidak larut. Sebaliknya untuk jenis tepung yang lain mempunyai amilosa dengan kemampuan bersatu yang rendah, karena energi untuk melepas ikatan hidrogennya rendah.

Viskositas balik yang tinggi tidak diharapkan untuk produk kue, cake, maupun untuk rerotian, karena menyebabkan kekerasan sesudah produk dingin. Namun sebagai bahan pengisi dan pengental justru lebih baik, karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil.

KESIMPULAN

Umbi-umbian yang diamati yaitu ganyong, suweg, ubikelapa, dan gembili mempunyai kadar pati yang tinggi berkisar 39,36-52,25%. Adanya lemak (0,09-2,24%), dan protein (0,08-6,65%) pada tepung dan pati dapat meningkatkan manfaat tepung dan pati tersebut sebagai tepung komposit. Ganyong dan ubikelapa mempunyai ukuran granula lebih besar (22,5 dan 10 Pm), sedangkan suweg dan gembili kecil (5 Pm dan 0,75 Pm). Tepung suweg mempunyai absorbsi air maupun minyak tertinggi (2,69-4,13 dan 2,34-2,98 g/g).

Berdasarkan hasil rendemen, maka ganyong lebih prospektif untuk dikembangkan untuk produk pati. Suweg T e p u n g d a n P a t i G a n y o n g - 5 0 0 0 5 0 0 1 0 0 0 1 5 0 0 2 0 0 0 2 5 0 0 0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0 1 4 0 W a k t u ( m e n i t ) V is k o s it a s ( B U ) P a t i T e p u n g Pati d an T e p u n g Su w e g - 50 0 0 50 0 10 0 0 150 0 2 0 0 0 0 50 10 0 150 Wak t u ( m e n i t ) Pati Tepung 5 . 7 P a t i d a n T e p u n g U b i k e l a p a 0 2 0 0 4 0 0 6 0 0 8 0 0 1 0 0 0 1 2 0 0 1 4 0 0 1 6 0 0 1 8 0 0 2 0 0 0 0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0 1 4 0 W a k t u ( m e n i t ) V is k o s it a s ( B U ) P a t i T e p u n g P a t i d a n T e p u n g G e m b i l i 0 2 0 0 4 0 0 6 0 0 8 0 0 1 0 0 0 1 2 0 0 1 4 0 0 1 6 0 0 1 8 0 0 2 0 0 0 0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0 1 4 0 W a k t u ( m e n it ) V is k o s it a s ( B U ) P a t i T e p u n g

Gambar 5. Amilografi pati dari beberapa umbi-umbian Figure 5. Amylograph of starch from roots and tubers

(9)

dan gembili mempunyai prospek untuk produk tepung maupun pati sedangkan ubikelapa untuk tepung.

Ditinjau dari sifat fisiko kimianya ganyong dan suweg mempunyai amilosa rendah (18,6% dan 19,2%) dan viskositas puncak tinggi (900-1080 BU dan 780-700 BU), sehingga baik dikembangkan untuk bahan pengental maupun pengisi. Sedangkan ubikelapa dan gembili mempunyai kadar protein yang tinggi dengan viskositas rendah baik dikembangkan sebagai tepung komposit untuk produk pangan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada Sdri Fitriani Muklis dan Lia Septianti atas bantuan penelitian di Laboratorium. Dan juga terima kasih dan penghargaan disampaikan pada Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Pusat, atas dana penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist, Washington, DC.

Burkill, I.H. 1966. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Vol I. Ministry of Agriculture and Cooperative, Kuala Lumpur. 1240p.

Collison, R. 1968. Swelling and Gelation of Starch. Di dalam : Radley,J.A. (ed). Starch and Its Derrivatives. Chapman and Hall, Ltd. London.

Direktorat Gizi. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Dep. Kesehtan R I, Bhatara, Jakarta.

Dowd, M.K., M. Radosavljevic, and J. Jane. 1999. Characterization of starch recovered from wet-milled corn fiber. Cereal Chem. 76(1): 3 – 5.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.

French, D. 1984. Organization of starch granules. In R.L. Whistler, J.N. Bemmiler dan E.F. Paschall (eds) Starch: Chemistry and Technology. Academic Press Inc. New York.

Glickmans, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, Inc. New York.

Herman R., R. Uptmoor, J. Freire dan J.L. Montalvo. 1996. Crop growth and starch productivity of edible Canna. Access to C I P Research. http: //www.cipatato.org./New/new/webprorep 96/ prog6 11. hrn.

Hidayat, A. 1988. Penetapan Pati. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor

Iwuoha.I.E and F.A.Kalu. 1994. Calcium oxalate and Physicochemical properties of Cocoyam (Colacacia esculanta and Xanthosoma sagittifolium)) Tubers Flours as Affected by Processing. J.Food Chemical. 54 : 61-66

Jane, J., Y.Y. Chen, L.F. Lee, A.E. McPherson, K.S. Wong, M. Radosavljevics, and T. Kasemsuwan. 1999. Effect of amylopectin brain chain length and amylose content on the

gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chem. 76(5): 629 – 637.

Juliano, B.O. dan Kongseree. 1968. Physic Chemical Properties of Rice Grain and Starch from line differing in amilosa content and gelatinization temperature. J. Agric and Food Chem. 20:714-717.

Kartowinoto, S. dan A. Dimyati. 1989. Evaluasi Pendahuluan

Plasma Nutfah Ubi kelapa (

Dioscorea alata L.). Seminar hasil

penelitian Balittan Bogor.

Kay, D. 1973. Root Crops. The Tropical Products Institute Foregn and Commonwealth Office England.

Klamenski, A.P.and Z. Czuchajowska. 1999. Cereal Chem. 76(4): 530 - 535.

Kriswidarti, T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. J.) kerabat bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya vol. 4(5): 171 – 174. Kulp, K. 1975. Carbohydrase. Di dalam : Gerald R. (ed). Enzyme

in Food Processing. Academic Press. New York.

Leach, H.W. 1965. Gelatinization of starch. Di dalam : Whisler, R.L. dan E.F. Paschall (eds). Starch Chemistry and Technology. Vol 1. Academic Press, New York.

Lingga, P. 1986. Bertanam Ubi-ubian. PT Penebar Swadaya. IKAPI, Jakarta.

Martin, T. F.W. 1976. Tropical Yams and Their Potential Part 3. Dioscorea alata. Agriculture Handbook no 495. United State Departement of Agriculture. Washington.

Mizokoshi, M. 1985. Model Studies of cake baking : VI. Effects of cake ingredients and cake formula on shear modulus of cake, careal chem.. 62:4.

Onwueme, I. 1984. The Tropical Crops : Yams, Cassava, Sweet Potato and Cocoyams. John Willey and Sons Inc. London. Sastrapraja, S., Niniek W.S., Sarkat D., Rukmini S. 1977.

Ubi-ubian. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. PN Balai Pustaka. Sathe, S.K. and D.K. Salunkhe. 1981. Isolation. Partial

Characterization and Modification of the Great Northen Bean (Phaseolus vulgaris) Starch. J. Food Science. 46(2): 617-621. Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and Their Uses in Foods. Di dalam G.M.A. Van Beynum and J.A. Rolls (eds). Food Carbohydrate. 1982. AVI. Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.

Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soemono, S., J. S. Baharsyah, J. Wiroatmodjo dan S. Tjokrosoedirdjo. 1986. Pengaruh bobot bibit terhadap pertumbuhan, hasil dan kualitas umbi suweg (A.campanulatus Bl. J.) pada berbagai umur. Bul. Agro. XVII (2) 17 – 23. Wahid A.S., N. Richana dan Djamaluddin C. 1992. Pengaruh umur

panen dan pemupukan terhadap hasil dan kualitas ubikayu varietas gading dan Adira-4. Titian Agronomi. Buletin Penelitian Agronomi. Vol 1:

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Widowati, S. 2001. Tepung ganyong: Kegunaan dan proses pembuatan. Berita Puslitbangtan. 19: 1-2.

Zhou, M., K. Robards, M. Glenie-Holmes, and S. Helliwell. 1999. Structure and pasting properties of oat starch. Cereal Chem. 75(3): 273 –281.

Gambar

Gambar  1.  Diagram  alir  Pembuatan  Tepung  Umbi
Table  1.  Physical  characteristic  of  flour  and  starch  from  roots  and  tubers
Tabel  3.  Rasio  amilosa  dan  amilopektin  (%)  terhadap  pati  umbi-umbian Table  3
Tabel  4.  Amilograf  pati  dari  beberapa  umbi-umbian Table  4.  Amylograph  of  starch  from  roots  and  tubers
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk kampanye politik yang dilakukan calon kepala daerah, dan menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi sikap pemilih pegawai negeri

Produk penulis adalah Lekker Holland Kentang yaitu cake yang berinovasikan dengan sayuran kentang sehingga memiliki kualitas dan manfaat bagi tubuh.. Gambar 3.1

kerja) serta dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2003 pasal 3 tentang. pengawasan ketenagakerjaan serta Peraturan Perundang-Undangan

Dengan tunneling, antara kedua segmen Virtual Private Network (VPN) dapat berkomunikasi satu dengan yang lain menggunakan protokol tunneling yang sama, dan sebuah tunnel

Penelitian tentang pengaruh suplementasi zat gizi dan pendidikan gizi terhadap pengetahuan gizi, pemenuhan zat gizi dan perbaikan status besi (Dwiriani, 2011) menyatakan

Berdasarkan laporan kegiatan yang telah dipaparkan, berikut ini beberapa kesimpulan yang bisa dihasilkan, yaitu : (1) kegiatan pelatihan motivasi wirausaha mampu

Kajian yang dijalankan adalah untuk meninjau tahap kesediaan guru-guru pelatih Ijazah Sarjana Muda Teknologi Serta Pendidikan Kemahiran Hidup SPH (UTM) untuk mengajar Kemahiran

Penggunaan media e-booklet sebagai media pembelajaran kepada dokter umum, akan membuat sasaran lebih mudah memahami informasi yang disampaikan dibandingkan