• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abses Peritonsil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abses Peritonsil"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Abses Peritonsil

Sharon Lorisa Simamora

102011115

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Sharon.simamora@yahoo.com

Pendahuluan

Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran.

(2)

Anamnesis

Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik pasien.1 Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri/langsung (auto) dan/atau pada keluarga terdekat/pengantar (allo). Anamnesis langsung, atau dokter langsung menanyakan pada pasien yang bersangkutan, atau biasa disebut auto-anamnesis, dan ada juga allo-anamnesis yaitu bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai misalnya dalam keadaan gawat darurat, keadaan afasia akibat strok atau bisa juga karena umur pasien yang belum cukup dewasa, sehingga anamnesis dilakukan pada orang terdekat seperti keluarga ataupun pengantarnya.2 Rekam medik yang dilakukan meliputi, Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga, dll), dan keandalan pemberi informasi. Keluhan Utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang sedang di hadapinya. Riwayat penyakit sekarang (RPS): menceritakan kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): menanyakan apakah pasien pernah mengalami sakit sebelumnya/tidak. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga dan masalah kesehatan pada anggota keluarga. Riwayat Psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan-makanan sembarangan).1

Identitas pasien, meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan,suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah benar pasien yang dimaksud. Selain itu identitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan sebagainya.1,2

Keluhan Utama (Presenting Symptom) adalah keluhan yang dirasakan pasien, yang membawa pasien tersebut pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien merasakan hal tersebut.

Riwayat penyakit sekarang, cerita yang kronologis, terinci dan jelas keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.2

(3)

Riwayat penyakit dahulu, untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Terutama yang berkaitan dengan kesakitan yang sama.1,2

Riwayat kesehatan berupa riwayat kehamilan, riwayat kelahiran, riwayat pertumbuhan ( berat badan tinggi badan), riwayat makanan.

Riwayat keluarga dapat ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami sakit yang sama.2

Riwayat Pribadi dapat meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Pada anak-anak perlu juga dilakukan anamnesis gizi yang seksama, meliputi jenis makanan, kuantitas dan kualitasnya. Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan adalah kebiasaan merokok,minum alkohol, termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba).

Pertanyaan lainnya yang penting pada kasus, Bagaimana keluhannya (sejak kapan, bagaimana, sudah berapa lama, ada gejala tambahan /konstitusional);; Riwayat keluarga yang adakah menderita penyakit yang sama; Ada tidak penyakit lain yang menyertai, ataukah pernah menderita sebelumnya; Ada konsumsi obat sejak timbul penyakit.2

Pemeriksaan Fisik

Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu pemeriksaan fisik lengkap.

Pemeriksaan Fisik Umum 1. Suhu.

2. Tekanan darah 3. Nadi

4. Frekuensi napas 5. Kesadaran

(4)

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/servikal adenopati. Disaat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.

Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini, penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, urin dan yang sesuai dengan keluhan pasien. Pemeriksaan darah dilakukan untuk memeriksa apakah terdapat gangguan organik dan menilai komplikasi. Selain itu dapat juga dilakukan uji yang lain yaitu:

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3:

1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

(5)

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”. 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

Working Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan mulut dan tenggorokan seringkali menunjukkan adanya pembengkakan pada satu sisi tenggorokan dan pada langit-langit mulut. Uvula pada tenggorokan bagian belakang bisa terdorong akibat pembengkakan. Selain itu, leher juga bisa tampak kemerahan dan membengkak. Kelenjar getah bening pada sisi yang terkena biasanya membesar. Working diagnosa pada kasus ini adalah Abses Peritonsil.

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.4

Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis.

Differential Diagnosis

1. Tonsilitis

Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil (atau biasa disebut amandel) yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun hampir 50% kasus tonsilitis adalah karana infeksi. Tonsilitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan juga pada orang dewasa di atas usia 50 tahun. Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi tidak menguntungkan akibat tonsilitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis) secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (biasanya adenovirus yang menyebabkan tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri).5

(6)

Manifestasi klinik yang mungkin timbul pada tonsilitis sangat bervariasi untuk tiap penderita, diantaranya rasa mengganjal atau kering di tenggorokan, nyeri tenggorok (sore throat) rasa haus, malaise, demam, menggigil, nyeri menelan (odinofagia), gangguan menelan (disfagia), nyeri yang menyebar ke telinga, pembengkakan kelenjar getah bening regional, perubahan suara, nyeri kepala, ataupun nyeri pada bagian punggung dan lengan.4

Diagnosis dari tonsilitis akut atau berulang ditegakkan terutama berdasarkan manifestasi klinis. Meskipun demikian prosedur kultur dan resistensi bakterial sangat dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya jenis bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A pada 40% kasus, di mana tonsilitis yang terjadi sekunder terhadap bakteri ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup berat. Jenis bakteri lain yang juga dapat ditemukan, antara lain: streptokokus alfa dan gama, difteroid, stafilokokus aureus, dan haemofilus influenza. Di samping itu bakteri anaerob juga telah ditemukan pada permukaan dan poros tonsil, terutama grup bakteroides melaninogenikus.4

Meskipun kebanyakan kasus tonsilitis dapat sembuh dengan penanganan konvensional, seperti istirahat (bedrest), asupan makanan yang baik, penurun panas (antipiretik), di mana tanpa pemberian antibiotik, tonsilitis biasanya berlangsung selama kurang lebih 1 minggu. Adapun pemberian antibiotik dalam kasus seperti ini, umumnya ditujukan untuk mengurangi episode penyakit dan lamanya gejala yang diderita seperti nyeri tenggorok, demam, nyeri kepala, ataupun pembengkakan kelenjar getah bening. Antibiotika sendiri menjadi indikasi jika pada pemeriksaan kultur dan resistensi ditemukan bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A, dengan tujuan mengeradikasi kuman dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

2. Faringitis

Faringitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan dari faring (terletak di bagian belakang dari tenggorokan), yang biasanya menyebabkan rasa sakit ketika menelan. Ini adalah hal yang sangat sering terjadi dan seringkali menunjukkan gejala sakit tenggorokan. Faringitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus, seperti influenza (flu). Infeksi bakteri seperti radang tenggorokan, suatu reaksi alergi, atau refluks asam lambung juga dapat menyebabkan faringitis. Contohnya bakteri yang termasuk dalam Streptococcus Grup A dan bakteri lain yang lebih jarang seperti corynebacterium dan arcanobacterium. Kebanyakan kasus faringitis terjadi pada musim yang lebih dingin. Penyakit ini seringkali menyebar di antara anggota keluarga. Faringitis biasanya sembuh sendiri tanpa komplikasi.5

(7)

Adapun tanda-tanda dan gejala Faringitis yang mungkin timbul: Demam, Kelenjar getah bening bengkak, Mengalami kesulitan berbicara, Mengalami kesulitan menelan, Rasa sakit pada persendian, Ruam kulit, Sakit tenggorokan.5

3. Ca Nasofaring

Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Penyebab kanker nasofaring belum diketahui dengan pasti. Kanker nasofaring juga dikaitkan dengan adanya virus epstein bar.4

Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras mongoloid, yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.

Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita kanker ini.

Letak nasofaring yang tersembunyi di belakang hidung atau belakang langit-langit rongga mulut menyebabkan serangan kanker ini sering kali terlambat diketahui. Namun, biasanya pada stadium dini menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut.

1. Di dalam telinga timbul suara berdengung dan terasa penuh tanpa disertai rasa sakit sampai pendengaran berkurang.

2. Hidung sedikit mimisan, tetapi berulang. Hidung tersumbat terus-menerus, kemudian pilek. Pada kondisi akut menunjukkan gejala sebagai berikut.

1. Kelenjar getah bening pada leher membesar.

2. Mata menjadi juling, penglihatan ganda, dan mata bisa menonjol keluar 3. Sering timbul nyeri dan sakit kepala.

(8)

Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutup atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.5

Ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan terbentuknya abses peritonsil :

 infeksi gigi dan gusi

 tonsilitis kronis

 infeksi mononukleosis

 merokok

 leukemia limfositik kronik

 endapan kalsium atau batu pada tonsil Epidemiologi

Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh, tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas. Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan perempuan.5

Pada umumnya infeksi di bagian kepala leher terjadi pada orang dewasa. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/tahun. Dikutip dari Hanna BC, Herzon melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500 populasi atau 30.1/40.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per 100.000 pasien per tahun dengan rata-rata usia 26.4 tahun.

(9)

Patofisiologi3

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis)

Gejala Klinis

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan otalgia (nyeri telinga), muntah, mulut berbau, hipersalivasi,suara sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dan nyeri tekan.5

Bila ada nyeri dileher dan atau terbatasnya gerakan leher, maka ini dikarenakan lymphadenopaty dan peradangan tengkuk.

(10)

Penatalaksanaan

1.Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.6

Bila telah terbentuk abses dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (local), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dan konkha media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang nervus palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatinum nervus trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.

2.Insisi dan Drainase

Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.

Tehnik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama faring disemprot dengan anestesi local , kemudian 2 cc xylocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan. Pisau tonsil nomor 12 atau nomor 11 dengan plester untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fossa tonsilaris. Hemostat tumpul diamsukkan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat pembedahan drainase untuk abses peritonsil mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fossa nasalis. Hal nin kadang – kadang mengurangi

(11)

nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera ( tonsilektomi quinsy ) merasa bahwa ini merupakan prasedur yang aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsil diangkat. Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian , dimana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali.

3.Medikamentosa3

Pasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 – 1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole), Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 – 500 mg/hari, amoxilin dengan asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-3-4 x 250 – 500 mg/hari. Pengobatan antibiotika diberikan 7 – 10 hari Analgetik – antipiretik paracetamol 3-4 x 250 -500 mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial. Studi yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.

4. tonsilektomi

Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakkan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan.6

(12)

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah4:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

Prognosis

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terbentuknya abses peritonsil, antara lain dengan cara menjaga kebersihan gigi dan mulut, serta tidak merokok.

Jika terjadi tonsilitis, terutama tonsilitis bakteri, maka infeksi perlu segera diobati sampai tuntas untuk mencegah terjadinya abses.

(13)

Kesimpulan

Abses peritonsil adalah termasuk salah satu abses leher dalam.Abses peritonsil merupakan abses di luar kapsul atau selubung tonsil , antara kedua lapisan palatum molle.Penyakit ini merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk abses pada jaringan longgar sekitar tonsil. Pada sebagian kasus peritonsil , nanah ditemukan mengisi fossa supratonsil (70%) yang ditandai dengan pembengkakan dengan edema palatum molle , mengakibatkan tonsil terdorong ke bawah , depan dan ke tengah.

Gejala – gejala abses peritonsil yaitu odinofagia , otalgia , regurgitasi , foetor ex ore ,

hipersalivasi , rinolalia , trismus serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Terapi untuk abses peritonsil pada stadium infiltrasi diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik.Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.Jika terbentuk abses yang lanjut dapat dilakukan pembedahan drainase.Tehnik pembedahan dilakukan dengan cara tehnik aspirasi jarum atau dengan tehnik insisi dan drainase.Tehnik insisi dan

drainase membutuhkan anestesi local, anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. DAFTAR PUSTAKA

1) Bickley L.S. Anamnesis. Bates’ Guide to physical examination and history taking. International edition. 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Wolters Kluwer Health; 2009.

2) Gleadle J. At A Glance;Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Erlangga Medical Series:2007.

3) Adams GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997. h. 333

4) Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokka. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006.h.185

5) Soepardi EA, Iskandar HN, Bashiruddin J. Abses Petitonsiler, buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan. Ed: 6th. Jakarta: FKUI; 2011.h.226-7

6) Badran KH, Karkos PD. Aspiration of peritonsilliar abscess in severe trismus. Journal of Laryngol & Otol 2006;120:492-94

Referensi

Dokumen terkait

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,

Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang gangren dapat menyebabkan abses, abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang memberikan prognosis baik) dan

Abses peritonsil disebut juga Quinsy, abses terjadi di antara tonsil dan kapsulnya, infeksi dapat meluas menyebabkan obstruksi saluran napas, abses dapat pecah, terjadi

Satu kasus abses leher dalam multiple dengan komplikasi berupa kesulitan intubasi akibat perluasan abses dan fistula faringokutan akibat ruptur dari abses telah dilaporkan

Berdasarkan data dari RSU Taiwan periode 1997 sampai dengan 2002, bahwa sebanyak 185 pasien dewasa menderita abses leher dalam dengan keterlibatan ruang potensial yang terbanyak

Abses peritonsil disebut juga Quinsy, abses terjadi di antara tonsil dan kapsulnya, infeksi dapat meluas menyebabkan obstruksi saluran napas, abses dapat pecah, terjadi

Gigi molar kedua dan ketiga kiri bawah merupakan sumber infeksi bagi abses leher dalam, karena akarnya meluas ke persimpangan otot milohioid dengan korpus mandibula yang berdekatan