• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN SELF MANAGEMENT PADA IBU BEKERJA DI RUMAH SAKIT X. Rini Aprillia Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN SELF MANAGEMENT PADA IBU BEKERJA DI RUMAH SAKIT X. Rini Aprillia Program Studi Psikologi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN SELF MANAGEMENT PADA IBU BEKERJA DI RUMAH SAKIT X

Rini Aprillia Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara subjective well-being dengan self management pada Ibu bekerja di Rumah Sakit X. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara subjective well-being dengan self management pada Ibu bekerja di Rumah Sakit X. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 233 orang ibu bekerja dan yang dijadikan sampel sebanyak 100 orang yang didapat melalui teknik random bersayarat. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala subjective well-being dan skala self management. Teknik analisis menggunakan teknik analisis regresi sederhana dengan bantuan SPSS versi 20.0. Hasil analisis data penelitian dengan komputer menggunakan program SPSS 20.0 for Windows, menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,364 dengan koefisien determinasi (R square) sebesar 0,133 serta nilai p = 0,0000 p < 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara. Subjective well-being dengan self management pada ibu bekerja di Rumah Sakit X. Sumbangan variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 13,3%.

Kata Kunci: Subjective well-being, Self Management

Pendahuluan

Zaman modern ini sudah banyak kaum wanita bekerja di luar rumah, dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat terutama di negara industri yang

maju karena wanita bisa sangat diandalkan dalam berbagai sektor kehidupan misalanya pendidikan, kesehatan, pemerintahan, politik dan lain sebagainya. Banyak alasan seorang wanita bekerja dalam

(2)

2 berkembang ini. Tentunya bekerja adalah salah satu hal yang dapat memajukan perkembangan di dalam kehidupan seseorang mulai dari keuangan, interaksi sosial, pergaulan, pengembangan diri dan lain sebagainya (Dagun, 2002).

Tampaknya ketika seorang wanita bekerja di luar rumah yang berstatus belum menikah menjadi begitu sangat menyenangkan karena dapat mengenal dunia kerja, bergaul dengan banyak orang dan mendapatkan penghasilan sendiri untuk kepentingan pribadi. Namun, ketika wanita sudah menikah memiliki suami dan anak semua perubahan begitu terlihat jelas mulai dari status yang berubah menjadi seorang istri atau seorang ibu. Sebelum menikah tidak ada tanggung jawab yang begitu kompleks yang dirasakan ketika setelah menikah tanggung jawabnya menjadi begitu kompleks. Seperti, beberapa wanita di usia dewasa awal dan madya yang masih memiliki anak yang belum dewasa sehingga masih memiliki tanggung jawab sebagai ibu, istri dan wanita bekerja (Elgar & Chester, 2007).

Hal ini dapat membuat seorang wanita mengalami perubahan dan masalah psikologis. Menurut Pujiastuti dan Retnowati (Kartajaya, 2002) pada umumnya wanita atau ibu banyak menghadapi masalah psikologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah, antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja.

Apalagi bila seorang ibu mengeluti bidang pekerjaan yang memerlukan waktu yang begitu produktif dengan tenaga yang cukup ekstra. Salah satunya adalah bekerja di rumah sakit. Rumah sakit adalah institusi pelayanan profesional yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sangat diperlukan bagi masyarakat dalam waktu 24 jam. Pelayanan rumah sakit yang harus siap siaga 24 jam membuat karyawan-karyawan yang bekerja di rumah sakit melakukan program jaga atau sering disebut dengan shift.

Jarvis (2000) para pekerja shift adalah mereka yang bekerja dengan jam-jam kerja yang tidak bersahabat ada pekerja yang bekerja

(3)

3 dalam shift teratur tetapi tidak lazim misalnya dimalam hari. Namun ada pula yang bekerja dengan shift tidak teratur dan inilah yang mengakibatkan masalah yang lebih serius. Hal ini membuat ibu bekerja dirumah sakit harus mampu mengelola dirinya dengan baik, baik pengelolaan terhadap waktu, emosi, pikiran dan perilaku yang melibatkan aktivitas sebagai seorang ibu dan juga sebagai pekerja. Pengaturan terhadap diri sendiri merujuk pada istilah self management.

Istilah self management telah digunakan untuk merujuk kepada bagaimana seseorang mengelola dirinya. Menurut Curtin, dkk (2002) self management adalah serangkaian kegiatan untuk memelihara, meningkatkan dan mempromosikan diri dengan menggunakan berbagai sumber daya baik di dalam dan di luar. Pengelolaan diri sering dipadankan dengan istilah self management atau manajemen diri (Takwin, 2008)

Menurut O’keefe dan Berger (1999) self management berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan tiga komponen yang

penting dalam diri sesorang yaitu afeksi (perasaan), kognitif (pikiran) dan behavior (perilaku). Seseorang yang memiliki self

management yang baik berarti

mampu mengendalikan afeksi yang terdiri dari emosi dan sensasi yang positif misalnya merasakan bahagia, puas, cinta, dan kasih sayang. Seseorang yang memiliki self management yang baik mampu mengendalikan pikiran yang positif seperti pemikiran-pemikiran atau ide yang merepleksikan aspek yang diinginkan dari sebuah situasi misalnya “saya dapat melakukan sesuatu dengan baik”. Terakhir seseorang yang memiliki self management yang baik mampu mengarahkan perilaku kearah yang positif misalnya memberesi rumah, membaca dan lain-lain. Sebaliknya, ketika seseorang memiliki self

management yang buruk maka

seseorang tidak dapat mengendalika perasaan, pikiran, dan perilaku nya dengan baik sehingga kendali tersebut mengarah kepada kendali yang negatif yaitu emosi yang negative seperti marah, sedih, stress, frustasi, dan takut. Serta pikiran yang

(4)

4 negatif seperti berpikir “saya tidak bisa melakukannya dengan baik” dan perilaku yang negatif seperti memecahkan gelas ketika marah.

Seorang ibu bekerja yang melakukan aktivitas dirumah dengan segala urusan rumah tangga dan juga bekerja dengan waktu yang produktif serta tenaga yang ekstra sehingga self

management yang baik sangat

diperlukan bagi ibu bekerja untuk mengatur, mengendalikan dan mengelola dirinya dengan baik agar tidak terjadinya masalah-masalah dalam diri. Banyaknya tugas yang menjadi tuntutan dari berbagai macam peran yang ibu miliki dan

kurangnya waktu untuk

mengerjakannya menjadi hal yang sangat melelahkan bagi seorang ibu.

Ibu yang bekerja di rumah sakit yang selalu berhubungan dengan pasien, lingkungan rumah sakit, waktu kerja yang ekstra, peraturan yang disiplin serta pekerjaan yang memerlukan tenaga yang cukup banyak. Tidak semua ibu dapat mengendalikan dan mengontrol dirinya baik ketika bekerja maupun saat berada dirumah.

Peneliti mendapati ibu yang bekerja kurang dapat mengatur emosi saat dihadapkan dengan hal yang tidak menyenangkan karena merasa belum siap saat dihadapkan

dengan hal yang tidak

menyenangkan, merasa tidak mampu menghadapi masalah yang ada, dan sulit mengontol emosi pada saat bekerja.

Orang yang bahagia adalah memiliki rasa kontrol yang kuat. Mereka lebih merasa mampu mengendalikan peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka tidak seperti orang-orang yang merasa mereka membebani orang lain dan mengalami ketidakberdayaan yang dipelajari (Myers & Diener, 1996; Myers, 2000; Diener dan Seligmen, 2002).

Ketika orang merasa bahagia seseorang mampu mengontrol kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya, perasaan bahagia di dapat melalui bagaimana seseorang menilai atau mengevaluasi kehidupan yang dirasakan hal ini dalam ilmu psikologi mengarah pada istilah subjective well-being. Pada tingkat individu, Subjective well-being telah

(5)

5 digunakan untuk merujuk kebahagiaan (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Selaras dengan pernyataan subjective well-being adalah ukuran dari bagaimana orang merasakan kebahagiaan (Oishi & Diener, 2001; Diener, Lucas, & Oishi, 2002). Penilaian dimana sesorang kurang atau sudah merasa puas terhadap kehidupannya merujuk pada istilah subjective well-being seseorang. Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam hidupnya. Evaluasi ini meliputi rekasi emosional terhadap peristiwa serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan (Diener, Lucas, Oishi, 2002).

Menurut Myers dan Diener (1995) Subjective well-being tinggi mencerminkan dominan pikiran dan perasaan positif tentang kehidupan seseorang. Pada tingkat kognitif, subjective well-being termasuk rasa kepuasan hidup secara global, makan, kepuasan tertentu dari pekerjaan seseorang, perkawinan, dan domain lainnya. Pada tingkat afektif, orang dengan subjective

well-being tinggi merasakan emosi

terutama menyenangkan, rasa terima kasih sebagian besar untuk penilaian positif peristiwa mereka yang sedang berlangsung. Orang dengan subjective well-being rendah menilai keadaan hidup mereka dan peristiwa sebagai tidak diinginkan, dan karenanya merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi, dan kemarahan.

Diener, Suh, dan Oishi (Eid & Larsen, 2008) menjelaskan bahwa ciri-ciri individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika mengalami kepuasaan hidup, sering merasa kegembiraan, dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan dan kecemasan.

Munandar (2008) seseorang

yang merasa bahagia,

mengungkapkan dirinya melalui ekspresi wajahnya, gerakan-gerakannya, perilakunya, ungkapan

(6)

6 verbalnya. Tenaga kerja atau karyawan yang senang dengan pekerjaannya akan memperlihatkan berbagai macam perilaku yang mencerminkan kesenangannya Hal-hal yang terjadi pada ibu bekerja yang di dapatkan di lapangan mengungkapkan bahwa adanya ketidakpuasan dalam hidup mereka menjadi ibu bekerja.

Fenomena yang terjadi pada ibu bekerja yang ada di lapangan dilihat dari ciri-ciri individu yang memiliki subjective well being rendah yang telah dijelaskan diatas didapat melalui hasil observasi dan wawancara. Peneliti mendapati bahwa ibu bekerja kurang puas dengan kehidupan yang dirasakan sekarang dengan beberapa alasan yaitu karena hidup yang dirasakan sekarang belum sesuai dengan yang diharapkan dan masih banyak harapan yang belum tercapai. Dan tidak begitu menikmati keadaan saat ini karena aktivitas yang monoton serta harus tetap bekerja saat hari libur.

Berdasarkan uraian di atas. Maka dirumuskan hipotesis yaitu ada hubungan antara Subjective

well-being dengan Self management pada ibu bekerja di Rumah Sakit X.

Metode Penelitian

Variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah subjective well-being sebagai variabel bebas dan self management sebagai variabel terikat.

Subjective well-being adalah penilaian seorang ibu bekerja di

rumah saki X mengenai

kehidupannya melalui evaluasi kognitif dan afektif baik kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Variabel subjective well-being ini akan diukur dengan menggunakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek subjective well-being menurut Diener dan Larsen (2008) yang terdiri dari aspek afektif dan kepuasan hidup.

Self Management adalah

kemampuan seorang ibu bekerja di rumah sakit X dalam mengontrol dan mengendalika kognitif, afektif dan perilaku mereka. Self management ini diukur dengan menggunakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada

(7)

aspek-7 aspek self management dari Goleman (Prijosaksono, 2001) yaitu: pengendalian diri, sifat dapat dipercaya, kehati-hatian, mampu menyesuaikan diri dan inovasi.

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2011).

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bekerja di rumah sakit X pada tiga bagian yaitu perawat, bidan dan farmasi berjumlah 233 dengan sampel berjumlah 138 subjek. Berdasarkan cara perhitungan sampel menurut Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%, maka sampel dalam penelitian ini akan berjumlah 100 orang dari total 138 responden, sedangkan sisanya yang berjumlah 38 orang akan dijadikan sampel try out (Sugiyono, 2011).

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

skala psikologis untuk mengungkap variabel yang hendak diteliti yaitu self management dan subjective

well-being yang dibuat berdasarkan

dengan menggunakan aspek-aspek self management dan subjective

well-being. Skala adalah perangkat

pernyataan yang disusun untuk mengungkapkan atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan tersebut (Azwar, 2012).

Menurut Yamin dan Kurniawan (2014), analisis regresi sederhana adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan hubungan matematis antara variabel dependen (y) dan variabe independen (x). hubungan matematis digunakan sebagai suatu model regresi yang digunakan untuk meramalkan atau memprediksi nilai (y) berdasarkan nilai (x) tertentu. Dengan analisi regresi akan diketahui variabel independen yang benar-benar signifikan mempengaruhi variabel dependen dan dengan variabel yang signifikan tadi dapat digunakan untuk memprediksi nilai variabel dependen.

(8)

8 Hasil dan Pembahasan

Dari analisis data yang ada, telah menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sangat signifikan antara subjective well-being dengan self management pada ibu bekerja di rumah sakit X.

Analisis dilakukan dengan menggunakan teknik regresi sederhana (simple regression) menunjukkan hasil nilai korelasi antara variabel subjective well-being dengan self management yaitu r = 0,364 dengan nilai R square yaitu 133 dan p = 0,000 dimana p ≤ 0,01.

Menurut O'Keefe dan Berger (1999) self management adalah kemampuan untuk mengambil alih affect (A), behavior (B) dan kognitif (C) dirinya untuk dapat meraih tujuan. Dengan Self management, individu mengarahkan diri sendiri untuk dapat mencapai apa yang diinginkan. Menurut Komalasari (2011) pengelolaan diri (self

management) adalah prosedur

dimana individu mengatur perilakunya sendiri.

Pengukuran self management berdasarkan aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Goleman (Prijosaksono, 2001), yaitu: pengendalian diri, sifat dapat dipercaya, kehati-hatian, mampu menyesuaikan diri dan inovasi.

Kategorisasi self management menunjukkan dari 100 ibu bekerja di rumah sakit X yang dijadikan subjek penelitian, terdapat terdapat 55 orang atau 55% yang memiliki self management yang tidak matang dan 45 orang atau 45% orang yang memiliki self management yang matang. Dengan demikian tingkat self management pada ibu bekerja di rumah sakit X adalah buruk.

Kategori self management yang tidak matang dapat di dilihat dari aspek self management yaitu mengendalikan diri dan kehati-hatian, ibu bekerja yang kurang mampu mengendalikan emosi dengan baik seperti mudah marah serta kurang mampu mengerjakan tugas dengan baik saat diberikan tugas secara mendadak, suka datang terlambat saat bekerja, semua pekerjaan menjadi berantakan saat dibebankan dengan banyak tugas, suka mengabaikan pekerjaan ketika sedang sedih. Sedangkan ibu bekerja

(9)

9 yang termasuk dalam kategori matang ini terlihat dari mampunya seseorang dalam mengendalikan emosi, tetap tenang walaupun banyak masalah yang dihadapi, bertindak dengan hati-hati sehingga tidak memunculkan masalah yang akan terjadi. Seseorang yang dapat mengendalikan emosi dapat bekerja dengan baik walaupun banyak masalah yang dihadapi serta melakukan sesuatu dengan terorganisasi dan cermat tanpa merugikan orang lain dan dapat menyelesaikan masalah dengan solusi-solusi yang baik.

Macan, dkk (1990)

menyatakan bahwa orang yang memiliki kemampuan manajemen diri yang baik dapat mengatur dan mengorganisasikan waktu dengan teratur sehingga akan mampu menyelesaikan tugas pekerjaan dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Individu yang mampu memanajemen dirinya dengan baik akan mampu membuat prioritas, kegiatan apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu serta bertindak secara tepat dan tidak gegabah.

Penelitian yang dilakukan oleh Widayati (2008) mengenai hubungan antara manajemen diri dengan dengan perilaku kosumtif pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Semakin tinggi manajeman dirinya, maka semakin rendah perilaku konsumtifnya. Sebaliknya semakin rendah manajemen dirinya, maka semakin tinggi perilaku konsumtifnya.

Seperti yang dijelaskan, bahwa orang yang bahagia adalah orang memiliki rasa kontrol yang kuat. Mereka lebih merasa mampu mengontrol atau mengendalikan peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka tidak seperti orang-orang yang merasa mereka membebankan orang lain dan mengalami ketidakberdayaan yang dipelajari (Myers & Diener, 1996; Myers, 2000; Diener dan Seligmen, 2002).

Ada empat sifat batin yang ditemukan untuk menandai

orang-orang bahagia yaitu harga diri, rasa kontrol pribadi, optimisme, dan extraversion (Myers & Diener, 1995; Carr, 2004). Orang-orang bahagia

biasanya merasa mampu

(10)

10 Larson, 1989 di Myers & Diener,1995).

Kebahagiann seseorang yang biasa disebut dengan subjective well

being. Diener, dkk (2003)

mengartikan subjective well being sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan.

Pengukuran subjective well-being menggunakan aspek-aspek subjective well-being yang dikemukankan oleh Diener dan Larsen (2008), yaitu: afektif dan kepuasan hidup

Dari hasil data yang diperoleh, kategorisasi subjective well-being menunjukkan dari 100 Ibu bekerja di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang dijadikan subjek penelitian, terdapat 54 orang atau 54% yang memiliki subjective well-being yang rendah dan 46 orang atau 46% yang memiliki subjective well-being yang

tinggi. Dengan kata lain subjective well-being pada ibu bekerja di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembangang paling banyak termasuk dalam kategori yang rendah.

Kategori subjective well-being pada ibu bekerja yang rendah, dapat dilihat dari aspek afektif dan kepuasan hidup. Seseorang yang memiliki subjective well-being rendah kurang merasakan kebahagiaaan, tidak menikmati aktivitas sehari-hari yang dilakukan, bosan dengan hari-hari yang monoton, lebih mudah merasakan emosi yang yang negatif, khawatir saat bekerja meninggalkan anak dirumah dan kurang puas dengan kehidupan yang dijalani. Sedangkan sebagian ibu bekerja yang memiliki subjective well-being tinggi seperti merasa gembira dengan hari-hari yang dijalani, enjoy dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari, merasa sahabat dan keluarga sangat menyayanginya, bangga menjadi wanita karir dan ibu rumah tangga serta selalu bahagia dengan kehidupan yang dijalani saat ini.

(11)

11 Menurut Diener (2003), individu dengan level subjective

well-being yang tinggi, pada

umumnya memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan Individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Sedangkan individu dengan subjective well-being yang rendah, memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995).

Usia subjek dalam penelitian ini yaitu termasuk ke dalam periode dewasa awal yaitu usia 21-40 tahun. Periode dewasa awal bermulai pada berusia 21-40 tahun yaitu usia pemantapan dan penyesuaian terhadap pola hidup baru, pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, serta masa perkembangan karir (Hurlock, 2002)

Berdasarkan analisis tambahan yaitu uji beda (t-test)

diketahui bahwa kelompok variabel usia memiliki perbedaan self management antara usia 21-30 tahun dengan usia 31-40 tahun, karena nilai p<0,05, sehingga memenuhi kaidah. Untuk kelompok 1 (usia 21-30 tahun) memiliki nilai mean sebesar 117,44 dan untuk kelompok 2 (usia 31-40 tahun) memiliki nilai mean sebesar 135,17. Sedangkan variabel usia untuk subjective well-being tidak memiliki perbedaan karena p>0,05 sehingga tidak memenuhi kaidah.

Berdasarkan hasil analisis tambahan didapatkan hasil sumbangan efektif aspek-aspek variabel bebas pada penelitian ini yaitu subjective well-being adalah sebanyak -1% terdapat pada aspek afektif sedangkan sebanyak 14% terletak pada aspek kepuasan hidup. Dari hasil ini disimpulkan aspek yang menyumbang paling tinggi adalah aspek kepuasan hidup dan aspek yang menyumbang terendang adalah aspek afektif.

Secara keseluruhan jika dilihat berdasarkan tabel kategorisasi dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa subjective

(12)

well-12 being pada ibu bekerja di rumah sakit X adalah rendah dengan kemampuan self management buruk pula. Hal ini sesuai dengan fenomena yang di didapatkan.

Berdasarkan uraian dan hasil analisis data di atas, peneliti menyimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu ada hubungan antara subjective well-being dengan self management pada ibu bekerja di rumah sakit X dalam penelitian ini diterima. Adapun bunyi dari hipotesis penelitian ini berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan adalah ada hubungan yang sangat signifikan antara subjective well-being dengan self management pada ibu bekerja di rumah sakit X.

Daftar Pustaka

Elgar, K & Chester, A. (2007). The Mental Health Implication of Maternal Employment: Working Versus at-home Mothering Identities. Australian eJournal for the

Advancement of mental

Health.

Dagun, S. M. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta

Kartajaya, T. (2002). Mencapai Keluarga yang Harmonis. Jogyakarta: Liberty.

Curtin, R.B., Mapes, D.L., Petillo, M., & Oberley, E. (2002). Long-term dialysis survivors:

A transformational

experience. Qualitative

Health Research, 12(5), 609-624.

Takwin, B., Singgih, E. E., Khrisfianus, S. P. (2012). The Role Of Self Management in Iicreasing Subjective well-being of DKI Jakarta’s Ciitiez. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 16, NO. 1, JULI 2012: 1-8

Takwin, B. (2008). Diri dan Pengolahannya. Jurnal Psikologi Sosial no. 13, vol. 2, 2008. Fakultas Psikologi UI

O’keefe, E.J., Berger, D.S. (1999). Self Management for College Students: The ABC approach. New York: Partridge Hill Macan, T. H. (1990). Time

Management: Test of Process Model. Journal of Applied Psychology. 79, 3, 381 391. Munandar, A.S. (2008). Psikologi

(13)

13 Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Myers, D.G. & Diener, E. (1995).

“Who is happy?”.

Psychological Science, Vol. 6, No. 1 (Jan., 1995), pp. 10-19

Diener, S & Seligman. (2002). Beyond money: toward an economy of well being. Psychological science in the public interest, 5, 8-13. Diener., Suh, E. M., Lucas & Smith,

H.L. (1999). Subjective well being: three decades Of Progress. Psychology Bulletin, 1999, Vol. 125, No. 2, 276-302.

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective well-being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Review of Psychology, 54, 403–425.

Azwar, S. (2006). Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

______ (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. (2012). Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & B. Bandung : Alfabeta Widayati, W.W. (2008). Hubungan

antara Manajemen Diri

dengan Perilaku Komsumtif pada Ibu Rumah Tangga yang Tidak Bekerja. Naskah publikasi. Program Studi Psikologi dan Ilmu Social Budaya Universitas Islam Indonesia

Yamin, S. Kurniawan, S. (2014). SPSS Complete Edisi 2. Jakarta : Salemba Imfotek. Hurlock, E. (2002). Psikologi

Perkembangan. Jakarta:

Erlangga

Prijosaksono, A & Sembel, R. (2002). Management Series. Jakarta: PT. Elexmedia Komputindo

Prijosaksono, A. (2001). Self Mangement Series. Jakarta : Gramedia

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperoleh produk yang robust dalam menganalisa data, Taguchi memperkenalkan suatu ukuran yang disebut Signal-to-noise ratio yang mencerminkan ukuran perbandingan

Adapun alokasi untuk memenuhi target IKU tersebut di dalam DIPA DJA TA 2017 telah dialokasikan pendanaan dengan pagu sebesar Rp197.726.000,- dengan realisasi sebesar

TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA MATERI HIDROISIS GARAM ” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya

Berdasarkan data di atas, secara garis besar tutupan makroalga terendah adalah pada lokasi Crystal Bay 3,75%, Selanjutnya Toyopakeh 16,25%, SD Point 20%, Sampalan 35% dan tertinggi

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat sebagai instansi terkait ikut berperan dalam menjaga kelestarian air, salah satu program BPLHD untuk menjaga

Untuk menunjang pengelolaan data manajemen siswa maupun penyampaian informasinya, diperlukan suatu aplikasi yang dapat mengelola data siswa, data nilai, data akademik lainya dan

Evolusi sosial masyarakat awal di Semenanjung Tanah Melayu dari zaman Prasejarah sehingga kepada pembentukan bentuk kerajaan-kerajaan awal melibatkan proses berubahnya

Dukungan informasi dari suami memiliki peran penting bagi istri yang sedang menjalani pengobatan pasca operasi kanker payudara.Pemberian informasi oleh suami pada