• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kegemukan Orang Dewasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kegemukan Orang Dewasa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kegemukan

Kegemukan (obesity) didefinisikan sebagai kelebihan adipositas tubuh. Demi alasan praktis, berat badan digunakan sebagai pengganti untuk adipositas, yang tidak mudah diukur dalam pemeriksaan rutin. Hingga tahun 1970-an, kegemukan didefinisikan berdasarkan rujukan berat badan ideal, yang berasal dari tabel asuransi yang disusun oleh industri asuransi jiwa. Orang yang berat badannya pada kisaran ideal memiliki risiko rendah untuk mati dini. Dalam tahun 1980-an, pendekatan berat badan ideal diganti dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), dan cut-off yang biasa digunakan untuk kelebihan berat (IMT 25-30) dan kegemukan (IMT >30) bagi laki-laki dan perempuan diadopsi untuk mendefinisikan kegemukan pada orang dewasa. Namun, diakui bahwa hubungan IMT dengan risiko kematian dan kesakitan adalah sesuatu yang terus-menerus dan dapat bervariasi dalam kelompok etnis berbeda. Beberapa negara dan wilayah sudah mengadopsi cut-offnya sendiri untuk penilaian risiko kegemukan dengan menggunakan IMT; misalnya, cut-off 23 pada negara-negara Asia (Caballero 2007).

Krausse (2000) menyatakan, kelebihan berat (overweight) dan obesitas (obesity) berbeda makna. Kelebihan berat merupakan keadaan di mana berat seseorang melebihi standar tinggi badannya, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak tubuh. Orang yang gemuk (obese) sudah pasti kelebihan berat, tetapi orang yang kelebihan berat belum tentu termasuk gemuk.

Menurut Ziegler dan Filler (1996), kegemukan pada dasarnya merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan gizi antara zat gizi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh dengan zat gizi yang digunakan untuk menghasilkan energi dan metabolisme tubuh. Selain konsumsi zat gizi, kegemukan juga berkaitan dengan pengeluaran energi tubuh yang dapat dipengaruhi oleh kondisi genetik seseorang, jenis kelamin, umur, obat-obatan, iklim, tempat tinggal, dan stres.

Orang Dewasa

Istilah dewasa (adult) berasal dari bahasa latin yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna. Secara psikologis orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

Masa dewasa dibagi menjadi 3 fase, yaitu masa dewasa dini, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut. Masa dewasa dini dimulai pada umur

(2)

18 tahun hingga 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 hingga 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang. Kemudian masa dewasa lanjut dimulai pada umur 60 tahun ke atas hingga kematian, di mana kemampuan fisik dan psikologis cepat menurun (Hurlock E 1980). Namun, kategori orang dewasa menurut World Health Organization (WHO) adalah orang yang berumur 15 tahun ke atas. Fungsi hormonal tubuh secara fisiologis berawal pada umur 15 tahun menuju fungsi kedewasaan sehingga pada umur ini seseorang rentan terhadap kejadian kegemukan (WHO 2005).

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi pada kejadian kegemukan dapat menggunakan metode antropometri. Menurut Supariasa et al. (2001), antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.

Berdasarkan berat badan dan tinggi badan dapat dihitung Indeks Massa Tubuh (IMT) yang akan memperlihatkan status gizi seseorang. Menurut Riyadi (1995), karena sering ditemukan hubungan yang erat antara IMT dengan lemak tubuh, maka IMT dapat digunakan untuk menduga risiko kegemukan. Hal ini berarti IMT dapat juga digunakan untuk menilai risiko kesehatan yang berhubungan dengan gizi lebih, dan mungkin dapat digunakan sebagai pedoman terapi. Berikut adalah rumus IMT:

2 ) ( ) ( m Badan Tinggi Kg Badan Berat IMT

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk pada ketentuan WHO yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan dewasa. Batas ambang IMT normal untuk laki-laki adalah 20.1-25.0 dan untuk perempuan adalah 18.7-23.8. Batas ambang IMT di Indonesia dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang (Depkes 1998).

(3)

Tabel 1 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Indonesia

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17.0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0-18.4

Normal 18.5-24.9

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan (kegemukan) 25.0-27.0 Kelebihan berat badan tingkat ringan (obesitas) >27.0 Sumber: Departemen Kesehatan (1998)

Kemudian karena terdapat penemuan terbaru mengenai perbedaan persen lemak dan bobot tubuh orang Asia dengan orang Eropa, maka muncullah pengklasifikasian batas ambang IMT terbaru untuk orang Asia. Batas ambang IMT terbaru untuk laki-laki dan perempuan dewasa berdasarkan WHO 2000 yang cocok untuk klasifikasi masyarakat Asia, yaitu:

Tabel 2 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Asia

Kategori IMT (kg/m2) Risiko Penyakit

Kurus (Underweight) < 18.5 Rendah

Normal (ideal) 18.5-22.9 Rata-rata

Overweight: ≥ 23

At risk 23.0-24.9 Meningkat

Obese I 25.0-29.9 Sedang

Obese II 30 Berbahaya

Sumber: World Health Organization (2000) dalam Rimbawan dan Siagian A (2004) Beberapa ahli mengklasifikasikan gemuk jika IMT > 25.0 dan obesitas jika IMT > 30 (Gibson 1990). Menurut Riyadi (2003), kenaikan berat badan yang melebihi batas ambang berhubungan dengan risiko kematian dini. Klasifikasi untuk menduga risiko kematian menurut IMT terdapat dalam tabel berikut:

Tabel 3 Risiko Kematian Dini Akibat Penyakit Degeneratif menurut IMT

IMT Risiko Kematian

20-25 sangat rendah 25-30 rendah 30-35 sedang 35-40 tinggi > 40 sangat tinggi Sumber: Riyadi (2003)

Setiap energi yang diserap tubuh yang melampaui batas kebutuhan akan disimpan sebagai lemak sehingga pada dasarnya kegemukan dan obesitas merupakan penimbunan lemak yang berlebihan di dalam jaringan lemak tubuh. Komposisi lemak tubuh perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan itu terdapat

(4)

pada jumlah lemak tubuh, struktur jaringan, dan bentuk tubuh. Simpanan lemak tubuh terdapat dalam dua bentuk, yaitu lemak esensial (sum-sum tulang belakang, susunan syaraf pusat, kelenjar susu dan organ untuk fungsi fisiologis lainnya) dan cadangan lemak tubuh (Krausse 2000).

Faktor-Faktor Risiko Kegemukan

Kegemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat kompleks. Menurut Wahlqvis (1997), konsumsi makanan dan pengeluaran energi dapat memengaruhi kegemukan secara langsung, sedangkan umur, jenis kelamin, keturunan, stres, keadaan sosial-ekonomi, gaya hidup, iklim, obat-obatan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kegemukan secara tidak langsung. Faktor-faktor risiko kegemukan antara lain faktor demografi, sosial-ekonomi, gaya hidup, dan kondisi mental emosional.

Faktor Demografi

Umur. Faktor umur penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa et al. 2001). Kejadian kegemukan cenderung meningkat pada umur dewasa dan mencapai puncaknya pada umur 45 tahun untuk laki-laki dan 74 tahun untuk perempuan; penurunan kejadian kegemukan pada laki-laki di umur 45 tahun kemungkinan disebabkan karena tingginya angka kematian pada laki-laki kelompok umur tersebut (Guthrie dan Picciano 1995). Menurut penelitian Wahlqvist (1997), seseorang yang berumur lanjut cenderung mengalami penurunan berat badan. Hasil penelitian longitudinal di Swedia menunjukkan, berat badan pada laki-laki dan perempuan turun pada umur 70 dan 81 tahun dengan rata-rata penurunan 7 kg pada laki-laki dan 6 kg pada perempuan. Adapun di Amerika menunjukkan terjadinya penurunan berat badan rata-rata sebesar 4 kg pada laki-laki umur 45-65 tahun.

Jenis Kelamin. Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (Apriadji 1986). Perempuan lebih rentan mengalami peningkatan simpanan lemak. Umumnya perempuan mempunyai jumlah lemak lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yaitu rata-rata 26.9% dari total berat badan perempuan. Sementara jumlah lemak pada laki-laki rata-rata 14.7%. Kelebihan lemak perempuan tersebut terutama terlihat pada bagian perut, dada,

(5)

dan anggota tubuh badan bagian atas, yaitu lengan atas, dan paha (Gibson 1990). Penelitian lain menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang banyak pada masa pubertas, sedangkan laki-laki cenderung mengonsumsi makanan kaya protein. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan kelebihan berat atau obesitas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan santai dalam penggunaan waktu senggang pada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan (WHO 2000; Proper et al. 2006).

Perkawinan. Kegemukan berhubungan dengan status perkawinan walaupun nilai peluangnya kecil. Seseorang yang menikah sudah tidak terlalu mementingkan penampilan fisik karena sudah menemukan pasangan hidup dibandingkan dengan seseorang yang belum menikah. Koreman et al. (1999) mengklasifikasikan hubungan antara kegemukan dengan perkawinan melalui 2 mekanisme, yaitu seleksi perkawinan dan kausalitas perkawinan. Menurut Sobal et al. (1992), perkawinan menyebabkan peningkatan berat badan karena terjadinya perubahan gaya hidup ke arah yang cenderung sedentary, pengalokasian kegiatan aktivitas fisik serta kelahiran anak. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara kegemukan dan status perkawinan pada laki-laki dewasa di mana laki-laki yang sudah menikah lebih gemuk dan mengalami obesitas.

Besar Keluarga. Besar keluarga berhubungan dengan jumlah makanan yang harus disediakan. Makin sedikit jumlah anggota keluarga, semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, apabila jumlah anggota keluarga banyak dan pendapatan terbatas, maka makanan yang tersedia tidak mencukupi. Besar keluarga akan memengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan memengaruhi pula pada kesehatan anak-anak dan ibu. Pendapatan rumah tangga dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. (Prihartini 1996; Sanjur 1982). Faktor Sosial-Ekonomi

Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsa, mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan pangan yang mengikutinya berkembang sekitar arti pangan dan penggunaan yang cocok. Pola kebudayaan ini memengaruhi orang

(6)

dalam memilih pangan, jenis pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran, penyiapan, dan penyajian (Baliwati et al 2004).

Penelitian kecil yang dilaporkan Susilowati S (1992) mengenai hubungan faktor psiko-sosial-ekonomi dengan tingkat konsumsi energi penderita obesitas di perumahan Meruya, Jakarta Barat, menyatakan bahwa pada responden laki-laki tidak terdapat hubungan nyata antara pendapatan, pengeluaran pangan, pendidikan, pekerjaan, aktivitas olahraga dan faktor psikologis dengan tingkat konsumsi energi. Namun, berhubungan nyata pada frekuensi makan, dan kebiasaan makan camilan. Sementara itu terdapat hubungan nyata pada responden perempuan antara pengetahuan gizi, aktivitas olahraga, frekuensi makan, dan kebiasaan makan camilan dengan tingkat konsumsi energi. Namun, tidak berhubungan nyata pada pendapatan, pengeluaran pangan, pendidikan, pekerjaan, dan faktor psikologis. PPH konsumsi berlebih pada golongan pangan hewani dengan kelebihan 18,4 dan 18,9 % pada laki-laki dan perempuan.

Wilayah. Menurut Undang-undang (UU) No. 24 tahun 1992 pasal 1, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Penentuan suatu desa atau kelurahan digolongkan perkotaan atau perdesaan dilakukan pada Sensus Penduduk 2000. Klasifikasi didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di bidang pertanian, dan tersedianya fasilitas kota seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, dan listrik (BPS 2002).

Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat setempat (BPS 2002).

Definisi perkotaan menurut Daldjoeni (2003) adalah suatu tempat dengan (1) kepadatan penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya; (2) pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktivitas ekonomi primer/ pertanian; dan (3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya.

(7)

Pendidikan. Tingkat pendidikan belum pasti berpengaruh secara signifikan terhadap kegemukan. Belum tentu orang yang berpendidikan tinggi tidak mengalami kegemukan. Kejadian kegemukan lebih sering terjadi pada orang yang bependidikan tinggi. Terdapat faktor yang lebih dominan dalam penentuan kejadian kegemukan pada seseorang (Thomas 2003). Menurut Apriadji (1986), seseorang tamat SD belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Namun, faktor pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi.

Pekerjaan. Pekerjaan seseorang memengaruhi tingkat aktivitas fisik seseorang. Pekerjaan atau profesi yang lebih menuntut penggunaan aktivitas fisik, misalnya tukang bangunan, tukang becak, dan sebagainya, tidak memacu seseorang untuk berpeluang kegemukan. Sebaliknya pada pekerjaan atau profesi yang banyak menuntut optimalisasi mental atau bekerja di belakang meja akan memacu kegemukan pada seseorang. Menurut Muchtadi D (2005), aktivitas kerja kantor yang hanya berputar-putar dari satu rapat ke rapat lainnya sepanjang hari kerja mengakibatkan minimnya keluaran energi sehingga dapat meningkatkan kejadian kegemukan pada seseorang.

Pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga merupakan penggunaan pendapatan per kepala rumah tangga yang meliputi pengeluaran pangan dan nonpangan. Tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda. Pada golongan berpendapatan rendah, proporsi pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi persentase pengeluaran pangannya lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya (Putri 2004).

Faktor Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan kebiasaan hidup seseorang yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan di kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari sudut pandang antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan. Gaya hidup sedentary adalah gaya hidup di mana unsur gerak fisik sangat minimal, sedangkan beban kerja mental sangat maksimal (Kodyat 1994). Gaya hidup seperti ini dapat berpengaruh terhadap kejadian kegemukan karena minimnya aktivitas fisik. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian yang menghasilkan beberapa data cross-sectional

(8)

yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara IMT dan aktivitas fisik (Rising et al., 1994; Schulz dan Schoeler, 1994), yang menunjukkan bahwa orang gemuk mempunyai aktivitas kurang dibandingkan dengan orang-orang yang ramping.

Perilaku Konsumsi. Faktor makanan memegang peranan penting terhadap gaya hidup di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Pengetahuan gizi dan kesehatan yang minim akan berakibat pada perilaku konsumsi yang tidak sehat. Hal ini juga yang dapat membentuk gaya hidup sehat dan tidak sehat di masyarakat.

Merokok. Merokok bertanggung jawab terhadap mekanisme peningkatan berat tubuh, distribusi lemak tubuh, dan resistensi insulin. Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resistensi insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Hal ini berarti perokok akan cenderung mudah gemuk atau memiliki risiko diabetes. Penelitian lain yang dilakukan oleh Canoy et al. (2005) terhadap 828 orang dewasa berumur 45-79 tahun di Norfolk, Inggris, menunjukkan bahwa merokok memengaruhi pola distribusi lemak. Selain itu, penelitian terbaru oleh Sharkie F et al. (2007) yang dilakukan 2 universitas terkemuka yang dilakukan pada tikus di University of New South Wales dan University of Melbourne, Australia, menunjukkan bahwa rokok malah mengurangi massa otot yang sesungguhnya dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh terlihat kecil. Sebagian tikus-tikus tersebut diberi asap dari 4 batang rokok tiap hari selama seminggu, sebagian lainnya bebas asap rokok. Hasilnya, tikus yang bebas rokok makannya berkurang 23 persen, namun massa lemak mereka tidak berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kehilangan otot dapat memberikan efek terlihat kurus pada tubuh seakan-akan terjadi penurunan berat badan namun sebenarnya lemak tubuh masih tersimpan. Lemak berlebihan yang tetap menempel di tubuh itu berbahaya dan berdampak negatif bagi kesehatan. Lemak tertumpuk di sekitar hati, lambung, dan perut.

Konsumsi minuman beralkohol. Menurut Suter et al. (1992) dan Tremblay et al. (1995) mengonsumsi minuman beralkohol berlebihan akan menambah kalori pada diet dan mengurangi pengeluaran lemak dari tubuh. Selain itu, kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan kadar kolesterol darah sehingga disarankan untuk tidak mengonsumsinya secara berlebihan (Ammiruddin R 2007). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Breslow dan Smothers peneliti dari Institutes of Health's National Institute on Alcohol

(9)

Abuse and Alcoholism (NIAAA), Amerika Serikat, pada tahun 2005 menemukan bahwa pria dan wanita yang mengonsumsi minuman beralkohol dalam kuantitas sedikit dan teratur (1 kali per hari dalam 3-7 hari per minggu) memiliki IMT terendah, sedangkan mereka yang meminum minuman beralkohol dalam kuantitas banyak dan tidak teratur memiliki IMT tertinggi. Hal ini berarti IMT seseorang yang terbiasa mengonsumsi minuman beralkohol diduga berhubungan dengan seberapa banyak dan seberapa sering mereka meminumnya. Menurut Breslow (2005), pengaruh mengonsumsi minuman beralkohol terhadap IMT seseorang didasari atas dua faktor, yaitu jumlah konsumsi minuman sehari dan frekuensi konsumsi minuman sehari.

Konsumsi sayuran dan buah. Menurut Muchtadi D (2001), sayuran merupakan menu yang hampir selalu tersedia dalam hidangan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik dalam keadaan mentah (sebagai lalapan segar) atau setelah diolah menjadi berbagai macam bentuk masakan. Akan tetapi perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia telah menyebabkan berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hampir di semua provinsi di Indonesia. Data Depkes tahun 1995 menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan berupa sayuran dan buah-buahan di hampir semua provinsi di Indonesia sangat rendah. Padahal sayuran dan buah-buahan, selain berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral, juga dapat berguna sebagai sumber serat makanan dan sumber antioksidan, sehingga promosi untuk lebih meningkatkan konsumsi bahan pangan tersebut perlu lebih digalakkan. Menurut Nalle C (2005), sayuran dan buah merupakan sumber serat yang tinggi yang dapat mencegah kegemukan. Kekurangan serat dapat menyebabkan berbagai gangguan penyakit, seperti penyakit jantung koroner (penyempitan arteri akibat penumpukan lemak), diabetes, kegemukan, dan aterosklerosis. Serat yang berasal dari sayuran dan buah dapat menurunkan kadar kolesterol total darah sebanyak 10-20% (khususnya kolesterol LDL). Selain itu, serat larut air dapat mengikat substansi lemak dan mencegah penyerapannya dalam usus, sehingga secara efektif dapat menurunkan kandungan kolesterol darah.

Konsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak memiliki energy density yang tinggi, namun tidak mengenyangkan. Selain itu makanan berlemak memiliki rasa gurih (umami flavor) sehingga dapat meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi berlebihan (Hidayati et al. 2006). Menurut Atkinson (2005), makanan berlemak mengandung dua kali lebih banyak kalori

(10)

dibandingkan dengan protein dan akan memberikan sumbangan energi yang lebih besar. Penelitian lain oleh Castillo et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan.

Konsumsi makanan manis. Makanan manis biasanya identik dengan kandungan gula tinggi. Gula merupakan karbohidrat sederhana yang mengandung Indeks Glikemik tinggi. Makanan dengan Indeks Glikemik tinggi mudah memacu peningkatan gula darah sehingga menimbulkan rasa lapar dalam waktu cepat (Rimbawan dan Siagian 2004).

Konsumsi jeroan. Jeroan adalah organ-organ selain otot dan tulang hewan ternak yang masih dapat dikonsumsi. Di berbagai daerah di Indonesia, hampir semua bagian jeroan dimasak untuk makanan manusia, sebut saja ayam. Jeroan ayam banyak yang bisa diambil manfaatnya, seperti hati, ampela, usus. Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, otak, dan paru) banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA). Jeroan mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Wikipedia 2009). Jeroan memiliki kandungan kalori dan kolesterol yang tinggi sehingga tidak baik untuk kesehatan dan penyakit jantung koroner (PJK). Makanan berkalori tinggi, seperti jeroan dan sebagainya, dapat merangsang seseorang untuk mengonsumsi kalori dalam jumlah lebih dan lebih banyak lagi sehingga dapat memacu kegemukan.

Kegiatan waktu luang. Pengertian waktu luang diasosiasikan sebagai waktu di mana seseorang tidak melakukan sesuatu atau saat orang bermalas-malasan, saat orang melakukan sesuatu seenaknya tanpa tergesa-gesa dan tidak perlu serius. Berdasarkan istilah, arti waktu luang dapat dilihat dari 3 dimensi, yaitu waktu, cara pengisian, dan fungsi. Berdasarkan dimensi waktu, waktu luang dapat dilihat sebagai waktu yang tidak digunakan untuk bekerja; mencari nafkah, melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan hidup. Kemudian dari segi cara pengisian, waktu luang adalah waktu yang dapat diisi dengan kegiatan pilihan sendiri atau waktu yang digunakan dan dimanfaatkan sesuka hati. Dan dari sisi fungsi, waktu luang adalah waktu yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan potensi, meningkatkan mutu pribadi, kegiatan terapeutik bagi yang mengalami kondisi emosi terganggu, sebagai selingan dan hiburan, sarana rekreasi, sebagai kompensasi terhadap pekerjaan yang kurang menyenangkan, atau sebagai kegiatan untuk menghindari sesuatu (Sukadji 2000).

(11)

Menurut Catursari (1990) dalam Sukadji (2000), jika ditinjau menurut kegiatan formal dan non-formal, waktu luang adalah waktu di luar jam kerja atau sekolah, di luar kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat, kegiatan makan, tidur atau istirahat dan pemenuhan kebutuhan fisiologis lainnya. Kegiatan waktu luang dapat berupa rekreasi, berkebun, berkumpul dengan keluarga, dan sebagainya.

Menurut fungsinya kegiatan waktu luang dapat dibagi menjadi 4 jenis. Pertama, kegiatan relaksasi aktif, misalnya berkebun, membetulkan alat rumah tangga, memperbaiki sepeda motor. Kegiatan tersebut karena sifatnya produktif, cenderung meningkatkan keterampilan dan harga diri. Kedua, relaksasi pasif, contohnya menonton televisi, mendengarkan musik, dan membaca tulisan ringan. Namun, terlalu banyak kegiatan relaksasi pasif, bisa membuat kehilangan waktu untuk kegiatan yang lebih produktif. Ketiga, kegiatan rekreasi yang bisa Anda pilih antara lain: beristirahat, berolah raga, menggeluti hobi, membaca buku, hingga menjadi pendukung dari suatu tim sepakbola. Keempat, kegiatan pengembangan diri antara lain: mengikuti kursus musik, kelompok teater, kursus bahasa asing, melukis, mengarang, membuat sajak, memasak, menata musik, membuat patung. Kegiatan ini selain meningkatkan keterampilan, juga menimbulkan rasa sukses telah membuat sesuatu (Sukadji 2000).

Aktivitas Fisik. Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh. Oleh karena itu, berkurangnya aktivitas fisik akibat dari kehidupan yang makin modern dengan kemajuan teknologi mutakhir akan menimbulkan kegemukan (Thomas P 2003). Menurut Hartoyo H. et al. (1984), seseorang banyak beraktivitas fisik, mempunyai daya kerja (working capacity) yang tinggi. Bila aktivitas fisik dikurangi di bawah aktivitas fisik yang sudah biasa dilakukan, maka daya kerja juga akan menurun. Kegiatan fisik akan memacu berbagai sistem tubuh untuk bekerja sama dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu melakukan kegiatan fisik dapat menyelaraskan fungsi tubuh menjadi lebih optimal. Sehingga dapat menurunkan risiko timbulnya penyakit degeneratif.

Kemudian Williamso (2005) dan Rissanen et al. (1991) menyatakan bahwa rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlet yang aktif, sedangkan para atlet yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan.

(12)

Faktor Mental Emosional

Menurut Maramis A (2002), gangguan mental juga dapat dikategorikan ke dalam penyakit mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa. Gangguan mental merupakan gangguan mengenai satu atau lebih fungsi mental. Gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gangguan mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi penderita dan keluarganya. Gangguan mental dapat menyerang setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Gangguan mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Stres. Penelitian baru-baru ini mengenai hubungan stres oleh Lee et al. (2005) terhadap 101 perempuan yang mengalami kegemukan di Korea menunjukkan bahwa stres berhubungan dengan lemak pusat (visceral fat). Terdapat hubungan antara stres dan PJK. Stres positif berhubungan dengan peningkatan level cytokine seperti interleukin (meningkat dengan peningkatan lemak pusat) sebagai mediator PJK.

Depresi. Rice P (1992) menyatakan bahwa depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Gangguan mood dan gangguan kondisi emosional secara kompleks disebut juga gangguan mental emosional. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Menurut Henry dan Stephens (1997), depresi merupakan reaksi manusia secara fisik dan mental terhadap berbagai jenis stres. Semua peristiwa yang menimbulkan usaha-usaha perubahan pada diri manusia yang bersangkutan, baik peristiwa yang menyusahkan maupun menyenangkan, semua dianggap sebagai stres.

Gambar

Tabel 1 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

- Tempat : Ruang Panitia Rumah Sakit Umum Daerah Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu

kepentinga n, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintah dan bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe- tipe kepribadian pemimpin

Sejalan dengan itu juga Shimada (Japar, 2009) menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki

Among its many features is its capability to be used as a fully fl edged web content management system when you enable the publishing infra- structure at the site collection level

Sistem informasi manajemen menurut Barry E.Cushing yang diterjemahkan oleh (Jogiyanto,2005,14) adalah kumpulan dari manusia dan sumber daya modal di dalam suatu

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk: (1) mengindentifikasi model bisnis dengan penerapan lean canvas; (2) kendala dalam penerapan lean canvas pada project bisnis mahasiswa

Disamping itu untuk menumbuhkan kepercayaan pengguna terhadap warnet tersebut Pada penulisan ilmiah ini peulus mencoba membuat suatu aplikasi penghitungan biaya yang dikeluarkan

While study abroad programs are often understood as a method to foster “Global-Jinzai (Global Human Resources)” based on meritocracy, this study reveals that exchange