MEMBANGUN KEMANDIRIAN SISWA AUTIS
DI RUMAH AUTIS KOTA BANDUNG
Edy Suprianto Widyantoro1, Ferdinandus Ngare2, Mahardiansyah Suhadi3
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas BSI,
2ferdinandusngare@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose of this research was: 1) to know the process of communication activities autistic students against teachers; 2) to know the contents of the message communication teachers against students; 3) to find out the language communication autistic students against teachers; 4) to find out how autistic student against teacher communication. His goal was to find out how autistic students teachers develop the independence that has been considered difficult to be able to become independent. This research uses the theoretical study of interpersonal communication with the application of the theory of symbolic interaction. The technique of data collection is carried out by means of direct obsrvasi and in-depth interviews. The research results indicate some of the factors important to communicate with an autistic student against whom a sense of comfort, an understanding of the needs, the patience and sincerity. Message communication in the form of a short customized command against an autistic student. The language used is verbal language are accompanied by nonverbal language. And the way its communication must be fun and done repeatedly.
Keywords: Interpersonal Communication, An Autistic Child
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui proses kegiatan komunikasi guru terhadap siswa autis; 2) Untuk mengetahui isi pesan komunikasi guru terhadap siswa; 3) Untuk mengetahui bahasa komunikasi guru terhadap siswa autis; 4) Untuk mengetahui cara komunikasi guru terhadap siswa autis. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana cara guru membangun kemandirian siswa autis yang selama ini dianggap sulit untuk bisa menjadi mandiri. Penelitian ini menggunakan kajian teoritis komunikasi interpersonal dengan penerapan teori interaksi simbolik. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan obsrvasi langsung. Hasil penelitian menunjukan beberapa faktor penting untuk melakukan komunikasi terhadap siswa autis diantaranya rasa nyaman, pemahaman akan kebutuhan, kesabaran serta ketulusan. Isi pesan komunikasi berupa perintah singkat yang disesuaikan terhadap siswa autis. Bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal yang disertai dengan bahasa nonverbal. Dan cara komunikasinya haruslah menyenangkan dan dilakukan secara berulang.
PENDAHULUAN
Membangun kemandirian terhadap anak autis akan jauh lebih sulit dibandingkan jika kita membangun kemandirian terhadap anak normal, sehingga guru di sekolah khusus siswa autis harus memiliki komunikasi yang baik untuk memandirikan siswa autis. Seperti yang kita tahu anak autis termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus atau dikenal sebagai anak yang memiliki kelainan dan mereka sangat sulit untuk bisa mandiri, sehingga peneliti merasa ada keunikan dalam kasus ini. Keunikan disini berarti proses untuk membangun kemandirian terhadap anak autis akan berbeda dengan proses membangun kemandirian terhadap anak normal.
Kepala program di sekolah khusus untuk anak autis akan menerapkan program pembelajaran yang dirasa tepat untuk membangun kemandirian siswa autis di sekolah tersebut, dan dalam pelaksanaanya program belajar tersebut akan dijalankan oleh guru pengajar terhadap siswa autis, Maka dari itu guru pengajar di sekolah khusus ABK harus benar-benar mengerti bagaimana cara menerapkan komunikasi dalam pembelajaran yang sesuai untuk membangun kemandirian siswa autis, dan kenapa komunikasi tersebut
dirasa tepat untuk mengembangkan
kemandirian siswa autis. Salah satu staf di Rumah Autis Hasanah Bandung mengatakan
bahwa hampir semua orangtua yang
menyekolahkan anaknya di tempat tersebut adalah orangtua yang cemas akan kondisi
anaknya. Sehingga mereka sengaja
menyekolahkan anak mereka di sekolah khusus dengan harapan ketika anak mereka beranjak dewasa keadaannya akan semakin membaik dan bisa mandiri sehingga pada akhirnya anak mereka bisa bersekolah di sekolah umum serta bisa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik di masyarakat. Sari (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa situasi komunikatif antara terapis dengan anak autis yang terdiri dari situasi
awal bertemu sebelum terapi, situasi
perkenalan, situasi kerja dan situasi akhir setelah terapi. Situasi yang memudahkan
anak untuk berinteraksi dengan
lingkungannya yaitu pada saat situasi kerja, karena pada saat terapi lebih difokuskan pada sistem belajar secara kelompok untuk mengoptimalkan agar anak autis bisa sembuh, mandiri dan masuk ke sekolah umum. Dengan begitu anak autis dapat diterima oleh masyarakat di lingkungannya.
Para orangtua yang memiliki anak autis mengharapkan adanya perubahan dalam hal kemandirian setelah mereka disekolahkan di sekolah khusus ABK. Kemandirian berarti hal atau keadaan dimana seseorang yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk arti yang mengacu pada suatu keadaan dimana seseorang dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain (Bahara, 2006). Anak yang menderita autis akan sulit untuk menjadi mandiri maka orangtua akhirnya memilih untuk menyekolahkan anak mereka di tempat khusus dimana di tempat tersebut anak autis akan di berikan pembelajaran yang sesuai,
yang tujuannya untuk membangun
kemandirian siswa autis tersebut agar ketika beranjak dewasa siswa autis tersebut bisa mandiri dan bersekolah di sekolah umum juga berbaur dengan siswa-siswa normal lainnya.
Sekolah khusus Anak Berkebutuhan Khusus
sendiri adalah suatu sekolah yang
menggunakan program pembelajaran khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan ABK yang akan bersekolah di tempat tersebut. Sehingga program belajar di sekolah tersebut akan dirancang sesuai dengan kebutuhan anak yang bersekolah di tempat tersebut. Salah satu tempat khusus untuk anak autis adalah Rumah Autis Hasanah yang terletak di Jl. Cibeunying Kolot V No.18 Sadang Serang Bandung. Rumah Autis Hasanah Bandung adalah salah satu contoh sekolah khusus untuk siswa autis yang bertujuan untuk mengembangkan kemandirian individu yang dalam kasus ini adalah anak autis agar mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri dan bisa bersosialisasi dengan anak-anak
normal pada umumnya di masa yang akan datang. Rumah Autis Hasanah Bandung juga memiliki beberapa program sekolah yang menjadi kelebihan dibandingkan sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus Lainnya.
Diantaranya, SEPEDA (Sekolah
Perkembangan Dasar), SKF (Sekolah
Kemandirian Fungsional, SKD (Sekolah
Keterampilan Dasar), SKK (Sekolah
Keterampilan Khusus), dan IKP (Institut Kemandirian Produktif). Kelas SEPEDA (Sekolah Perkembangan Dasar) adalah salah satu kelas yang ada di Rumah Autis Hasanah Bandung, kelas inilah yang membedakan Rumah Autis Hasanah dengan Sekolah Luar Biasa lain. Kepala program di Rumah Autis Hasanah menjelaskan bahwa di kelas SEPEDA siswa autis akan diarahkan untuk menjadi anak yang bisa mandiri, berbeda
dengan Sekolah Luar Biasa yang
mengedepankan pendidikan akademik
dibanding pembentukan kemandirian anak. Ia
juga menjelaskan bahwa memaksakan
pendidikan akademik terhadap siswa autis yang belum bisa mandiri dirasa kurang efektif. Untuk mandiri saja mereka belum bisa apalagi harus menyerap pelajaran yang diberikan. Maka dari itu Rumah Autis
Hasanah mencanangkan program
pembelajaran untuk membangun kemandirian siswanya agar setelah mereka bisa mandiri mereka bisa lebih mudah untuk diberikan pendidikan akademik. Seperti yang telah ditemukan dalam penelitian sebelumnya, Adiarti (2011) menunjukan bahwa pola komunikasi yang dilakukan antara guru dengan anak autis berjalan dengan baik, guru
dapat berkomunikasi sesuai dengan
kemampuan anak. Walaupun pada awalnya terdapat kesulitan pada saat memahami karakter anak tetapi dengan berjalannya waktu guru dapat menyesuaikan diri dengan anak didik mereka, maka dari itu semua kembali lagi kepada bagaimana program yang dibangun seorang guru dalam mendidik anak.
Program pembelajaran untuk membangun kemandirian siswa autis akan dijalankan oleh guru yang mengajar di tempat tersebut dan
tetap berhubungan dengan komunikasi, sebab untuk membangun kemandirian siswa autis tersebut di perlukan komunikasi dari guru itu
sendiri terhadap siswa autis. Proses
komunikasi yang dilakukan guru pun tidak dapat dilepaskan dari proses komunikasi baik komunikasi verbal maupun nonverbal. Hal ini diperkuat oleh Romauli (2008) menunjukan
bahwa komunikasi antarpribadi terapis
terhadap anak hiperaktif menggunakan pesan verbal dan non verbal. Karena terkadang sering terjadi pula banyak hambatan dalam
proses komunikasi tersebut. Dalam
melakukan sebuah komunikasi, antara guru dengan siswa autis tidak terlepas dari sebuah komunikasi interpersonal. Jika dibanding
dengan bentuk komunikasi lainnya,
komunikasi interpersonal dinilai paling
efektif dalam mengubah sikap anak autis yang tidak terkendali.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah peneliti mengharapkan pengetahuan secara lebih luas mengenai komunikasi interpersonal yang dilakukan guru terhadap siswa autis dari Rumah Autis Hasanah Bandung dalam membangun kemandirian siswa autis tersebut. Selain itu meningkatkan akan perhatian mengenai pendidikan anak autis, karena setiap anak termasuk anak autis memerlukan pendidikan yang sama seperti anak pada umumnya. Dengan adanya
pendidikan di Rumah Autis Hasanah
Bandung, siswa autis akan dapat berinteraksi
seperti anak pada umumnya. Peneliti
mengharapkan hasil yang lebih optimal
supaya dengan adanya penelitian ini
masyarakat awam khususnya orangtua yang memiliki anak autis bisa menjadi lebih tahu bagaimana cara untuk membuat anak mereka menjadi mandiri. Hal inilah yang akhirnya membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang komunikasi interpersonal yang dilakukan guru terhadap siswa autis dalam membangun kemandirian siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung.
KAJIAN LITERATUR Definisi Komunikasi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan dasar dari seluruh perilaku antar manusia. karena tanpa adanya komunikasi, interaksi manusia baik secara perorangan, kelompok, maupun organisasi tidak mungkin terjadi. Sebagian besar interaksi antar manusia berlangsung dalam
situasi komunikasi antarpribadi atau
interpersonal. Perlunya kedekatan dalam menangani siswa autis, maka guru pengajar
menggunakan komunikasi interpersonal
dalam mengajar untuk membangun
kemandirian siswa autis tersebut.
“Komunikasi antarpribadi (Interpersonal Communication) adalah komunikasi antara
orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal” menurut Mulyana (2014).
Komunikasi interpersonal menuntut atensi yang tinggi dari setiap individu yang terlibat. Setiap detil yang terjadi baik verbal ataupun non verbal akan menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi setiap individu yang
terlibat dalam kegiatan komunikasi
interpersonal. Kegiatan komunikasi
interpersonal terhadap anak autis dilakukan
sesuai dengan model komunikasi
interpersonal yang dikemukakan oleh Devito.
Konteks, ruang lingkup pengalaman,
pengirim, pesan, penerima, umpan balik.
Konteks disini adalah kondisi yang
mempengaruhi kegiatan komunikasi. Ruang lingkup pengalaman disini adalah pemaknaan setiap individu terhadap setiap peristiwa. Pengirim dalam konteks ini adalah guru pengajar siswa autis yang bergantian menjadi komunikator dan komunikan. Umpan balik merupakan respon komunikan terhadap pesan yang disampaikan komunikator.
Pendidikan Sebagai Proses Komunikasi
Komunikasi dan pendidikan merupakan unsur
terpenting, karena komunikasi akan
menentukan keberhasilan pendidikan.
Komunikasi juga merupakan suatu faktor penting untuk mencapai suatu keberhasilan
pendidikan. Khususnya komunikasi siswa berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar yang dalam hal ini adalah siswa autis. Pencapaian komunikasi pendidikan dipraktekan melalui komunikasi antarpribadi. Khususnya komunikasi antara guru dengan
siswa autis. Komunikasi antarpribadi
dilakukan guru pengajar di Rumah Autis
Hasanah Bandung agar pesan yang
disampaikan dapat dicerna dengan baikoleh siswa autis tersebut sehingga nantinya kemandirian mereka akan terbentuk.
Apabila ditinjau dari prosesnya, menurut Onong (1992) pendidikan adalah komunikasi dalam arti kata bahwa dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia yakni, pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan. Pada tingkat bawah dan menengah pengajar itu disebut guru dan pelajar itu disebut siswa, pada tingkat tinggi pengajar itu dinamakan dosen, sedangkan pelajar dinamakan mahasiswa, perbedaanya hanyalah pada jenis pesan dan kualitas penyampaiannya.
Secara sederhana komunikasi pendidikan menurut Pawit M. Yusuf dapat diartikan sebagai komunikasi yang terjadi dalam
suasana pendidikan. Dengan demikian,
komunikasi pendidikan adalah proses
perjalanan pesan atau informasi yang merubah bidang atau peristiwa pendidikan. Pendidikan tidak lagi bebas dan netral, tetapi dikendalikan dan dikondisikan untuk tujuan pendidikan. (Yusuf, 2010). Komunikasi pendidikan merupakan proses komunikasi yang unik karena di dalamnya ada dimensi edukatif. Dengan demikian, komunikasi pendidikan bukan sekedar komunikasi yang berlangsungdengan latar pembelajaran atau pendidikan, melainkan proses komunikasi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan.
Komunikasi pendidikan tidak hanya berbicara tentang guru dan murid. Semua yang terkait dalam sekolah ikut andil. Sekolah tidak terlepas dari orang tua dan guru. Maka komunikasi pendidikan berhubungan dengan komunikasi guru dan orang tua juga. Guru pengajar di sekolah ABK yang pada kasus ini
adalah Rumah Autis Hasanah Bandung akan sangat membantu orangtua siswa untuk mengetahui perkembangan anaknya.
Hubungan Relasi Antara Guru dan Siswa
Dalam praktek pembelajaran komunikasi yang dilakukan antara guru dan siswa bukan hanya proses pertukaran dan penyampaian materi pembelajaran, melainkan terjadi relasi antara guru dan siswa. Di lingkungan sekolah khusus perlu terjalin hubungan baik antara guru dan siswa autis. agar keduanya saling memahami karakter masing-masing terutama guru ABK terhadap siswanya. Selain itu
hubungan antara guru ABK dengan
siswatidak hanya sebatas pengajar dan murid. Akan tetapi hubungan keduanya jauh lebih dalam karena harus betul-betul memahami karakter dari siswa autis. Hidayat (2012) menyebutkan istilah relasi antarpribadi yaitu hubungan interpersonal. Menurut Rakhmat terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu : percaya, sikap
suportif dan sikap terbuka. Relasi
antarpribadi merupakan hasil dari komunikasi antarpribadi. Relasi antarpribadi yang baik berarti keduanya mempunyai kesamaan pikiran dan tujuan.
Penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa relasi antarpribadi tidak terlepas dari komunikasi
interpersonal. Dalam Hidayat (2012)
dijelaskan bahwa komunikasi antarpribadi dapat menimbulkan hubungan yang baik. Dalam kaitannya dengan hubungan guru dan siswa maka faktor komunikasi interpersonal
dapat mempengaruhi seberapa dekat
hubungan mereka. Perlu diperhatikan dalam relasi antarpribadi adalah Human Relations, meliputi komunikasi awareness,
self-disclauser, self-acceptence, motivasi,
kepercayaan dan manajemen konflik. Human relations sangat penting dimiliki oleh setiap
individu sebelum membangun relasi
antarpribadi karena human relations
merupakan cara, tuntunan dalam bersikap yang pantas sesuai dengan etika dan kesopanan sehingga (self) diri dapat diterima dilingkungan sekitar.
Berdasarkan penjelasan diatas maka seorang guru pengajar ABK harus memiliki kesadaran diri untuk membangun hubungan antara dirinya dengan siswa. Dimana guru dan siswa sadar akan kekurangan dan kelebihannya. Kesadaran diri diyakini sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam membangun suatu hubungan. Dalam hal ini guru pengajar ABK harus dapat memahami kekurangan yang dimiliki siswa nya, maka dengan pemahaman tersebut guru pengajar akan berusaha menangani siswa dengan penuh pengertian dan perhatian.
Perilaku Mandiri
Siswa autis berbeda dengan siwa normal
lainnya, karena mereka mempunyai
kekurangan dimana mereka akan lebih sulit untuk bersikap mandiri, sehingga pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana cara menumbuhkan kemandirian siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung. Mandiri adalah mampu menjalani kehidupan dengan kemampuan diri sendiri. Kemandirian merupakan sikap yang mutlak diperlukan sebagai syarat untama untuk meraih berbagai keberhasilan di dalam kehidupan. Sebagai suatu sikap positif kita semua memerlukan kemandirian. Setiap orang harus memiliki sikap mandiri, kita dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri agar kita tidak terus menerus bergantung kepada orang lain.
Kemandirian merupakan perilaku yang
aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri serta tidak membutuhkan pengarahan dari orang lain. Jika seseorang itu sudah menjadi mandiri, maka ia akan berusaha memecahkan masalah sendiri tanpa meminta bantuan dari orang lain. Sedari kecil perilaku mandiri sudah harus diajarkan dan ditanamkan agar terbentuknya kemandirian pada diri kita yang akan sangat berguna dalam kehidupan. Sedangkan menurut Bacharuddin (2008)
kemandirian adalah kemampuan untuk
mengambil pilihan dan menerima
konsekuensi. Kemandirian pada anak-anak
terwujud ketika mereka menggunakan
pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan, dari memilih perlengkapan belajar
yang digunakan, memilih teman bermain, sampai hal-hal yang lebih rumit dan
menyertakan konsekuensi-konsekuensi
tertentu yang lebih serius. Ciri-ciri anak yang berperilaku mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan diri dan motivasi yang tinggi. Sehingga dalam setiap tingkah lakunya tidak banyak menggantungkan diri pada oranglain, biasanya pada orangtuanya. Sedangkan anak yang kurang mandiri selalu
ingin ditemani atau di bantu oleh
orangtuanya, baik pada saat sekolah maupun pada saat bermain.
Anak Berkebutuhan Khusus
Rumah Autis Hasanah Bandung merupakan tempat terapi sekaligus sekolah yang memang di khususkan untuk anak berkebutuhan khusus yakni para penderita autis. Menurut Heward dan Orlansky (1992) yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik dan kemampuan belajar yang berbeda dengan anak normal, baik diatas ataupun dibawah, sehingga membutuhkan program khusus untuk pengajaran dalam bidang pendidikan. Anak berkebutuhan khusus merupakan
anak-anak yang memiliki hambatan atau
penyimpangan dalam perkembangannya.
Penyimpangan ini ditujukan kepada individu yang dianggap memiliki kelainan dibanding
kondisi anak normal pada umumnya,
penyimpangan terjadi dalam bentuk fisik,
mental, maupun karakteristik perilaku
sosialnya. Adapun anak yang berbeda dari anak-anak pada umumnya, dikarenakan ada
permasalahan dan hambatan dalam
kemampuan berpikir, penglihatan,
pendengaran, sosialisasi, dan bergerak. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki hambatan atau kelainan fisik dan kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal. Maka dari itu perlunya penanganan dalam program individual dan pendidikan khusus untuk mereka.
Di Rumah Autis Hasanah Bandung
memberikan kelas khusus untuk siswa berkebutuhan khusus. Seperti yang dijelaskan bahwa terdapat beberapa macam gangguan mental yang di klasifikasikan sebagai anak
berkebutuhan khusus. Rumah Autis Hasanah Bandung mengkhususkan untuk siswa yang mengalami hambatan mental dan kelainan perilaku sosial atau biasa disebut siswa autis. Anak autis bukan anak ajaib atau pembawa hoki seperti kepercayaan sebagian orangtua. Akan tetapi, mereka juga bukan pembawa aib atau bencana bagi keluarga. Kehadirannya di
tengah keluarga tidak akan merusak
keharmonisan keluarga. Autis merupakan suatu kumpulan sindrom yang menggangu saraf. Penyakit ini menggangu perkembangan anak , diagnosa nya diketahui dari gejala yang nampak dan ditunjukan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
Menurut kutipan Margono (2012) Autis bukan disebabkan oleh sindrom rett atau gangguan disintegratif pada masa kanak-kanak. Kemungkinan, kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autis ringan. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis
seperti keterbelakangan mental atau
hiperaktif. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan pervasif dan bukan suatu penyakit mental. Anak autis memiliki tiga gangguan yaitu perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa.
Teori Interaksi Simbolik
Dalam buku Suranto (2011), menjelaskan bahwa ada sebuah teori yang dapat mewakili feomena dalam penelitian ini, yakni Interaksi Simbolik yang dituturkan oleh Cooley dan
Mead. Siswa autis akan sulit untuk
berkomunikasi sehingga terkadang mereka menggunakan bahasa non verbal untuk menyampaikan pesan kepada guru pengajar begitu juga sebaliknya. Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal lah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu
rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indera nya. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, Suranto (2011) mendefinisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
1. Mind (pikiran) – Kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran
mereka melalui interaksi dengan
individu lain.
2. Self (diri pribadi) – kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik adalah salah satu cabang dari teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luarnya.
3. Society (masyarakat) – hubungan sosial
yang diciptakan, dibangun dan
dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela,
yang pada akhirnya mengantarkan
manusia dalam proses pengambilan pesan di tengah masyarakat.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain :
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
2. Pentingnya konsep mengenai diri
(self concept).
3. Hubungan antara individu
dengan masyarakat.
Kode Verbal & Non Verbal
Menurut Mulyana (2014) dalam komunikasi
kode verbal dalam pemakaiannya
menggunakan bahasa. Bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara terstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung
arti. Bahasa memiliki fungsi, namun
sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat
hubungannya dalam menciptakan komunikasi
yang efektif. Sedangkan dalam
berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa) juga memakai kode nonverbal. Kode nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (Silent Languange).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Kemudian, paradigma yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningfull
action melalui pengamatan langsung
terperinci terhadap perilaku sosial yang bersangkutan.
Studi kasus menjadi metode yang digunakan peneliti untuk berbagai aspek individu, kelompok, organisasi atau program, yang dalam kasus ini adalah proses memandirikan siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung. Penelitian studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti dengan menggunakan metode wawancara, survey, dan data apapun untuk menguraikan suatu kasus secara rinci dan jelas dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian. Peneliti bertujuan
memberikan pandangan yang lengkap
mendalam mengenai subyek yang diteliti. Penelitian berfokus pada guru pengajar dan siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung. Sebab Rumah Autis Hasanah Bandung adalah sekolah khusus untuk siswa autis. Dan juga sesuai dengan maksud tujuan
penelitian ini yang meneliti tentang
kemandirian dan bentuk komunikasi dari guru terhadap siswa autis, sekolah ini pun memiliki visi yang sama yaitu mendidik siswa autis untuk menjadi mandiri dan bersosialisasi dengan orang lain. Dari sini subjek akan dipilih secara random sesuai dengan keperluan, karena yang digali dalam penelitian ini adalah kedalaman informasi, bukan kuantitas responden.
Dalam penlaksanaannya penelitian ini
teknik wawancara dan observasi lapangan.
Kemudian, data-data yang ditemukan
dianalisa menggunakan Teknik Analisis Domain. Menurut Bungin (2001), teknik
analisis domain digunakan untuk
menganalisis gambaran-gambaran objek
penelitian secara umum atau menganalisis di tingkat permukaan, namun relatif utuh tentang objek penelitian tersebut. Disini
peneliti ingin menganalisis komunikasi
antarpribadi guru pengajar terhadap siswa autis dalam membangun perilaku mandiri, maka domain dari interaksi guru terhadap siswa autis antara lain : saluran komunikasi,
bentuk komunikasi, sifat komunikasi,
perilaku yang biasa dilakukan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dan lain-lain.
PEMBAHASAN
Proses Kegiatan Komunikasi Guru Dengan Siswa
Faktor terpenting yang harus dilakukan untuk membangun kemandirian siswa autis oleh
guru adalah dengan adanya proses
komunikasi dalam kegiatan belajar-mengajar
yang nantinya akan mendorong atau
berpengaruh terhadap siswa autis tersebut. Dalam kegiatan komunikasi guru dengan siswa autis tentu dibaliknya memiliki sebuah proses dengan segala tahapan-tahapannya
sehingga proses kegiatan komunikasi
pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Pada sub pembahasan hasil penelitian ini, peneliti mereduksi perihal proses kegiatan komunikasi guru terhadap siswa autis dalam membangun kemandiriannya ke dalam tiga dimensi yang diantaranya kenyamanan, pemahaman akan kebutuhan siswa dan juga kesabaran serta ketulusan. Memberikan rasa nyaman terhadap siswa autis merupakan hal
utama yang harus dilakukan dalam
melakukan pendekatan terhadap mereka, apalagi ketika mereka baru saja lepas dari pengawasan orang tua dan masuk ke lingkungan baru yaitu lingkungan sekolah.
Jika mereka sudah mendapatkan rasa
nyaman, maka akan timbul juga rasa percaya dari dalam diri mereka terhadap guru pengajar. Jika sudah tumbuh rasa percaya
maka siswa autis tidak akan segan berada di dekat guru pengajar, bahkan meminta pertolongan kpada guru pengajar. Selain itu dibutuhkan juga pendekatan yang lebih intim agar siswa autis tidak menjauh dari guru. Guru pengajar juga harus berusaha untuk mengerti apa yang menjadi kebutuhan siswa autis, yang jika tidak bisa keluar lewat bahasa verbalnya maka guru pengajar harus berusaha untuk mencoba melihat dari bahasa tubuh mereka disini guru pengajar perlu melibatkan insting dan juga perasaan mereka untuk berusaha mengartikan dan berusaha mengerti apa yang dibutuhkan serta diinginkan oleh siswa didiknya.
Selain dua hal tersebut, dibutuhkan juga kesabaran dan ketulusan yang bersumber dari hati para guru ketika melakukan pendekatan terhadap siswa autis, karena siswa autis adalah siswa luar biasa yang memiliki kelebihan di banding siswa normal atau anak normal pada umumnya, mereka akan bisa merasakan ketulusan kita ketika mendekati mereka, dan mereka akan menjauh jika mereka merasakan kita kurang suka terhadap mereka.
Proses kegiatan komunikasi yang dilakukan guru terhadap siswa autis tidak semudah yang
dilakukan dengan siswa normal.
Keterbelakangan yang dimiliki mereka justru membuat mereka lebih peka terhadap orang lain, keterbelakangan yang dimaksud adalah perbedaan yang dimiliki siswa penderita
autis, dimana mereka memiliki
perkembangan mental yang tidak sesuai
dengan perkembangan usia mereka.
Biasanya mereka akan sulit untuk percaya dan merasa nyaman terhadap orang lain termasuk guru pengajar di sekolah. Para pengajar siswa autis haruslah memiliki ketulusan serta kesabaran yang datangnya dari dalam hati. Sebab siswa autis akan dapat merasakan jika guru pengajar berpura-pura
sayang kepada mereka, mereka bisa
membedakan mana orang yang tulus terhadap mereka dan mana yang tidak, dan hal tersebut
akan sangat berpengaruh terhadap
Nyaman merupakan suatu kondisi yang membuat seseorang dapat merasakan senang dan merasa dirinya dapat diterima di suatu lingkungan. Dengan merasakan kenyamanan, siswa autis akan merasa betah berada di
lingkungan sekolah dan berkomunikasi
dengan guru pengajar, dan setelah merasakan kenyamanan tersebut siswa autis akan merasa trust (percaya) terhadap guru pengajar di
sekolah sehingga hal tersebut akan
berpengaruh terhadap kemandiriannya.
Setelah merasa nyaman dan percaya terhadap guru pengajar, siswa autis akan mulai membangun komunikasi antarpribadi dengan
guru tersebut walaupun dengan
keterbatasannya. Dari komunikasi dan
interaksi yang dilakukan guru dengan siswa
autis aka nada pertukaran-pertukaran
informasi yang tentunya akan berpengaruh terhadap kemandirian siswa autis, misalnya dari proses perkenalan nama, usia, dan berlanjut ke interaksi-interaksi lain seperti perintah dsb.
Pada proses kegiatan komunikasi guru dengan siswa autis tersebut, tentunya akan mengalami beberapa kendala, karena siswa autis memang sulit mandiri, salah satu tolak ukurnya adalah cara komunikasi mereka.
Siswa autis cenderung sulit untuk
mengungkapkan apa yang dia rasakan, apa yang dia inginkan, bahkan ketika dia membutuhkan sesuatu. Sehingga mereka akan mengekspresikannya dengan tantrum. Tantrum adalah suatu keadaan dimana penderita autis tiba-tiba mengamuk tanpa sebab. Terlihat tidak wajar, tetapi itulah siswa autis dengan keterbatasannya dan terkadang juga mereka melakukan itu tidak dengan maksud untuk menyakiti, justru itu adalah ungkapan yang bisa mereka keluarkan ketika mereka ingin menunjukan sesuatu.
Untuk memberikan rasa nyaman terhadap siswa autis dan mengatasi kendala tersebut tentunya para guru pengajar harus bisa memahami apa yang menjadi kebutuhan dan juga keinginan dari siswa autis tersebut. Jika guru pengajar mampu memahami kebutuhan mereka tentu nya guru tersebut akan mampu memenuhi kebutuhan siswa autis tersebut
sehingga akhirnya akan terciptalah hubungan yang nyaman diantara keduanya.
Dari observasi yang telah peneliti lakukan peneliti melihat suatu bentuk kemandirian yang ditunjukan oleh siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung, yaitu mereka betah berada di ruangan kelas yang di setting seperti taman bermain tanpa di temani oleh orang tua mereka. Siswa autis bisa seperti itu karena mereka merasa percaya dan nyaman ketika berada di tangan guru pengajar di sekolah.
Siswa autis memang akan sangat sulit untuk bisa berkomunikasi seperti siswa normal pada umumnya, sehingga mereka akan lebih banyak menggunakan komunikasi non verbal ketika melakukan komunikasi dengan guru pengajar seperti gesture, gerakan tangan, mimic wajah, dan lain-lain. Hal tersebut mungkin akan sulit di mengerti oleh guru pengajar ketika masa adaptasi atau pada masa tahapan proses kegiatan komunikasi, proses kegiatan komunikasi guru terhadap siswa autis, maka dijelaskan bahwa dalam proses komunikasi tersebut tentu sangat dibutuhkan kesabaran serta ketulusan dari guru pengajar, sebab melakukan adaptasi dengan siswa autis
bukanlah perihal yang mudah seperti
penyesuaian diri terhadap anak normal. Jika guru tidak memiliki kesabaran dan ketulusan dari dalam diri tentunya proses kegiatan komunikasi antara guru dengan siswa autis tidak akan berjalan dengan baik.
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a. Mind (pikiran) – Kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap
individu harus mengembangkan
pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain.
b. Self (diri pribadi) – kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik adalah salah satu cabang dari teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luarnya.
c. Society (masyarakat) – hubungan sosial
yang diciptakan, dibangun dan
dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan pesan di tengah masyarakat.
Salah satunya adalah Self (diri pribadi), yang
artinya adalah kemampuan untuk
merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik adalah salah satu
cabang dari teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luarnya. Yang pada kasus ini adalah kemampuan guru pengajar di Rumah Autis Hasanah Bandung untuk merefleksikan diri dari para siswa autis dengan tujuan untuk melakukan proses kegiatan komunikasi atau beradaptasi serta menyesuaikan diri mereka kepada para siswa autis sebelum melakukan proses belajar mengajar yang tujuan akhirnya adalah kemandirian para siswa autis tersebut. Menurut Joseph Devito (1989) komunikasi interpersonal merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan –pesan antara dua orang, atau di sekelompok kecil orang, dengan beberapa effect atau umpan balik seketika. Pengiriman dan penerimaan pesan tersebut dilakukan oleh guru pengajar dan siswa autis dan mendapatkan beberapa effect.
Guru pengajar berusaha memahami
kebutuhan siswa autis dalam komunikasi interpersonalnya yang di barengi dengan kesabaran serta ketulusan yang akhirnya menimbulkan effect terhadap siswa autis tersebut, yakni perasaan nyaman dan percaya ketika berada di dekat guru tersebut. Sebuah organisasi pendidikan dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang
sama dengan perwujudan eksistensi
sekelompok orang terhadap masyarakat. Proses kegiatan komunikasi guru terhadap siswa autis menandakan adanya komunikasi interpersonal yang terjadi di sekolah yaitu di Rumah Autis Hasanah Bandung, sehingga
terjadilah suatu komunikasi dalam organisasi pendidikan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu memandirikan siswa-siswa autis. Dari penjelasan diatas dari hasil penelitian dilapangan menggambarkan sebuah proses komunikasi antara guru terhadap siswa autis
dalam membangun kemandiriannya di
Rumah Autis Hasanah Bandung, memulai dengan proses adaptasi dimana guru berusaha membuat siswa autis merasa percaya dan merasa nyaman dengan cara mencoba mengerti dan memahami kebutuhan serta
keinginan mereka lewat komunikasi
nonverbal mereka, dan itu dilakukan dengan ketulusan dan kesabaran.
Isi Pesan Komunikasi Guru dengan Siswa Autis
Setelah dilakukan proses kegiatan
komunikasi atau adaptasi dari guru terhadap siswa autis akhirnya mereka merasa nyaman dan aman di tangan guru pengajar, akhirnya
mereka memiliki kemampuan untuk
berperilaku mandiri tanpa orangtua di sisi mereka. Mereka akan lebih peka dibanding sebelumnya. Setelah itu barulah guru pengajar menerapkan pembelajaran yang
dilakukan melalui pesan-pesan yang
disampaikan kepada siswa autis dalam membangun kemandiriannya.
Isi pesan dalam sebuah penyampaian
komunikasi dari guru terhadap siswa autis memiliki peran yang sangat penting, karena siswa autis akan sangat sulit untuk menerima pesan dari orang lain seperti siswa normal. Hal ini di karenakan sistem regulasi di dalam diri mereka terhambat. Kekurangan inilah yang harus mendapatkan perhatian lebih terutama dari orangtua dan juga guru mereka di sekolah. Isi pesan yang disampaikan oleh guru pengajar terhadap siswa autis meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka. Isi pesan tesebut juga disampaikan secara singkat, jelas, perlahan dan berulang dengan tujuan agar sistem regulasi dalam diri siswa autis tersebut bisa terkoreksi. Pesan yang disampaikan oleh guru pun harus disesuaikan dengan usia mental siswa, bukan usia perkembangannya. Sebab di usia perkembangan yang sama pun siswa
autis bisa saja mempunyai usia mental yang berbeda.
Maka dari itu walaupun di Rumah Autis Hasanah Bandung sudah disusun program dan pola pembelajaran, tetapi program tersebut tidaklah baku, dan bisa disesuaikan oleh para guru tergantung dengan usia mental siswa autis yang di mereka ajar. Untuk memantau dan mengkoreksi sistem regulasi
pada siswa autis maka pesan yang
disampaikan oleh guru terhadap siswa autis
dilakukan dengan cara berulang atau
pembiasaan. Tujuannya agar siswa autis tersebut benar-benar bisa paham dengan pesan yang disampaikan dan akhirnya terbiasa dengan pesan tersebut sehingga kelak akan terbentuk kemandiriannya.
Siswa autis memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi sehingga pesan yang
disampaikan oleh guru pengajar biasanya adalah pesan yang singkat dan jelas dalam bentuk perintah yang dilakukan berulang setiap harinya untuk melakukan pembiasaan terhadap siswa autis. Karena mereka akan sulit mengerti dan paham jika diberikan pesan yang terlalu panjang dan berbelit. Memang yang menjadi masalah pada siswa autis adalah sistem regulasi yang masih lemah, sehingga di perlukan komunikasi yang singkat menyangkut kebutuhan dasar mereka serta pembiasaan terhadap perintah atau pesan yang disampaikan kepada mereka serta
dilakukan juga perintah-perintah untuk
merangsang motorik halus dan motorik kasar mereka untuk memperbaiki sistem regulasi mereka yang terhambat. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a. Mind (pikiran) – Kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
b. Self (diri pribadi) – kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik
adalah salah satu cabang dari teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luarnya.
c. Society (masyarakat) – hubungan sosial
yang diciptakan, dibangun dan
dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela,
yang pada akhirnya mengantarkan
manusia dalam proses pengambilan pesan di tengah masyarakat.
Salah satunya adalah Mind (pikiran) yaitu Kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. Yang pada kasus ini adalah kemampuan para guru pengajar untuk
mengembangkan pikiran mereka dan
memberikan pesan dengan isi yang sesuai terhadap siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mengirimkan suatu pesan efektif menurut kutipan di buku Harapan. Pertama, harus diusahakan agar pesan-pesan yang dikirimkan sudah dipahami oleh penerima pesan. Kedua, sebagai pengirim pesan harus memiliki kredibilitas di mata si
penerima. Ketiga, harus berusaha
mendapatkan umpan balik secara optimal tentang pengaruh pesan dalam diri si penerima pesan.
Dengan pesan-pesan singkat dan jelas yang disampaikan guru terhadap siswa autis terlihat bahwa siswa autis dapat memahami pesan tersebut, karena guru pengajar siswa autis merupakan orang yang mempunyai kredibilitas dalam menangani siswa autis. Dalam komunikasinya pun guru pengajar berusaha untuk mendapatkan umpan balik atau feedback dari siswa autis, salah satu contohnya mereka bisa mengerti akan pesan yang disampaikan oleh guru mereka dan mereka bisa mengikuti atau melakukan perintah yang dilakukan oleh guru pengajar lewat isi pesan dalam bentuk perintah yang disesuaikan juga dengan usia mental siswa autis tersebut.
Bahasa Komunikasi Guru dengan Siswa Autis
Bahasa dalam sebuah penyampaian pesan ataupun penyampaian proses komunikasi merupakan poin penting. Termasuk bahasa yang digunakan guru pengajar terhadap siswa autis yang sulit untuk berkomunikasi. Karena dalam menyampaikan pesan pembelajaran guru terhadap siswa autis diperlukan juga
bahasa yang tepat agar pesan yang
disampaikan bisa dimengerti dengan baik oleh siswa autis.
Peneliti telah mereduksi perihal bahasa komunikasi guru terhadap siswa autis dalam membangun kemandiriannya kedalam dua dimensi yaitu bahasa verbal dan bahasa
nonverbal. Bahasa verbal yang biasa
dilakukan guru terhadap siswa autis adalah dalam bentuk perintah singkat atau instruksi singkat, yang kemudian didukung dengan menggunakan bahasa nonverbal. Bahasa nonverbal yang paling sering digunakan adalah dalam bentuk touching (sentuhan). Para guru juga biasa memberikan contoh kepada siswa autis. Dalam membangun kemandiriannya, tentunya penggunaan bahasa guru pengajar terhadap siswa autis berbeda dengan penggunaan bahasa terhadap siswa normal. Sebab salah satu kelemahan siswa autis adalah dari bahasa verbalnya yang sulit untuk keluar atau diekspresikan. Berikut bahasa nonverbal yang sering dilakukan oleh beberapa siswa autis Rumah Autis Hasanah Bandung.
Setiap siswa autis memiliki perbedaan usia mentalnya, sehingga guru pengajar harus bisa menyesuaikan bahasa yang digunakan dalam
pengajarannya untuk membangun
kemandirian mereka. Dalam pengajarannya,
bahasa yang digunakan lebih banyak
menggunakan bahasa nonverbal yaitu
sentuhan (touch), jadi guru pengajar
melakukan perintah menggunakan bahasa verbal tetapi dibarengi juga dengan bahasa
nonverbal yaitu touch sambil diberikan
contoh. Berikut cara guru merespon
komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh siswa autis di Rumah Autis Hasanah Bandung. Selain di barengi dengan bahasa
nonverbal, bahasa verbal yang digunakan pun tidak boleh terlalu panjang dan terlalu cepat, cukup bahsa verbal yang singkat, padat dan jelas.
Suranto menyebutkan bahwa bagi Cooley dan Mead, diri muncl karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal lah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indera nya.
Pemberian arti pada simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi social budaya yang berkempang pada suatu masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.Semua kode memiliki unsur nyata
b.Semua kode memiliki arti
c.Semua kode tergantung pada persetujuan dan pemakaiannya
d.Semua kode memiliki fungsi
e.Semua kode dapat dipindahkan, apakah
melalui media atau saluran-saluran
komunikasi lainnya.
Kode Verbal
Kode verbal dalam pemakaiannya
menggunakan bahasa.Bahasa dapat
didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi
himpunan kalimat yang mengandung
arti.Bahasa memiliki fungsi, namun
sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu ialah :
a. Untuk mempelajari tentang dunia
sekeliling kita
b. Untuk membina hubungan yang baik
c. Untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia
Kode Nonverbal
Manusia dalam berkomunikasi selain
memakai kode verbal juga memakai kode nonverbal.Kode nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language). Mark Knapp (1978) menyebut bahwa penggunaan kode nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi untuk :
a.Meyakinkan apa yang diucapkan
(Repetition)
b.Menunjukan perasaan dan emosi yang tidak
bisa diutarakan dengan kata-kata (Subtition) c.Menunjukan jati diri sehingga orang lain
bisa mengenalnya (Identity)
d.Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan
yang dirasa belum sempurna.
Dari berbagai studi yang telah dilakukan
sebelumnya, kode nonverbal dapat
dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain :Kinesics (Gerakan Badan), Eye Gaze (Gerakan Mata), Touching (Sentuhan), Paralanguange (Penekanan Nada Bicara), Silent (Diam), Postur Tubuh, Proximity and Spatial (Kedekatan dan Ruang), Artifak dan Visualisasi, Warna, Bunyi, Bau. Maka dari itu dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa bahasa komunikasi yang dilakukan guru terhadap siswa autis berbeda dengan yang dilakukan terhadap siswa normal, jika siswa normal cukup di lakukan dengan bahasa verbal pun mereka sudah mengerti, siswa autis harus diberengi dengan bahasa nonverbal yaitu sentuhan dan juga diberikan contoh agar mereka bisa mengerti.
Cara Komunikasi Guru dengan Siswa Autis
Cara menyampaikan pesan atau cara
komunikasi guru terhadap siswa autis pun sangat penting dalam memandirikan mereka. Siswa autis berbeda dengan siswa normal pada umunya yang bisa fokus belajar di dalam ruangan kelas selama berjam-jam. Dari penelitian yang telah peneliti lakukan, peneliti mereduksi perihal cara komunikasi guru terhadap siswa autis dalam membangun
kemandiriannya menjadi dua dimensi, yaitu
cara yang menyenangkan dan juga
melakukan pengulangan. Cara yang
menyenangkan misalnya bermain, merupakan faktor yang paling sering bisa mempengaruhi perilaku siswa autis. Karena bermain adalah suatu aktivitas yang selalu dilakukan oleh siswa autis setiap harinya. Di sekolah ada
tempat yang nyaman untuk mereka
melakukan kegiatan bermain sambil belajar. Hal itulah yang membuat kepala program pembelajaran di Rumah Autis Hasanah Bandung membuat program khusus yang dilakukan setiap hari selasa yaitu kegiatan Outing, yaitu kegiatan jalan-jalan keluar di sekitar Rumah Autis.
Selain cara yang menyenangkan, dibutuhkan pula suatu pembiasaan terhadap siswa autis dalam membangun kemandiriannya dan biasanya para guru melakukan pembiasaan dengan cara pengulangan, yang artinya setiap hari siswa autis dibiasakan melakukan kegiatan yang sama agar mereka bisa terbiasa. Siswa autis memiliki kekurangan dibanding anak normal, sehingga cara komunikasi yang dilakukan guru terhadap siswa autis haruslah berulang atau dilakukan pengulangan setiap harinya. Tujuannya agar mereka bisa mengerti dan hafal dengan habbitual activity mereka sehingga akan menjadi kebiasaan baik untuk kehidupan mereka setiap harinya. Tujuan kegiatan
tersebut adalah untuk memperkenalkan
siswa-siswa autis dengan lingkungan luar yang ada disekitar mereka, seperti benda-benda yang ada di lingkungan sekitar, orang-orang yang ada di lingkungan sekitar, sehingga mereka bisa beradaptasi dan tidak merasa kaget dengan hal-hal baru yang ada di lingkungan sekitar, yang tentunya hal tersebut sangatlah baik untuk kemajuan regulasi mereka agar mereka pun bisa mandiri ketika berada di lingkungan luar.
Proses mengeluarkan energi atau tenaga bagi
siswa autis pun sangat penting dan
berpengaruh terhadap sistem regulasi mereka, sehingga dengan outing yang diadakan seminggu sekali ini mereka bisa rutin mengeluarkan tenaga mereka untuk bermain
dan berjalan-jalan sehingga sistem regulasi mereka akan membaik. Tujuan dari kegiatan outing tadi adalah untuk memperkenalkan siswa autis dengan lingkungan sekitar atau lingkungan luar (masyarakat), Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a. Mind (pikiran) – Kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap
individu harus mengembangkan
pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain.
b. Self (diri pribadi) – kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik adalah salah satu cabang dari teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri dan dunia luarnya.
c. Society (masyarakat) – hubungan sosial
yang diciptakan, dibangun dan
dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan pesan di tengah masyarakat.
Salah satunya adalah society, dalam artian diharapkan dari adanya kegiatan belajar di lingkungan masyarakat, siswa autis dapat mencipakan hubungan sosial di tengah masyarakat. Yang akhirnya akan berdampak terhadap kemandirian mereka di masa yang akan datang. Dari kegiatan yang telah dilakukan oleh Rumah Autis Hasanah Bandung tersebut sudah mulai terlihat beberapa kemajuan dalam hal kemandirian
siswa autis. Namun perhatian akan
kemandirian siswa autis tidak cukup hanya dengan pembelajaran disekolah saja, karena hal ini ,memang membutuhkan kerjasama dari semua pihak, bukan hanya para guru pengajar, tetapi juga orangtua siswa yang harus memberikan perhatian ekstra kepada anak mereka ketika di rumah, sebab siswa autis menghabiskan waktu paling lama
berada di rumah jika dibandingkan di sekolah. Pada dasarnya siswa autis dengan siswa normal sama-sama bisa membangun perilaku mandiri dalam hidupnya. Namun hal yang membedakan adalah siswa autis harus
mendapatkan penanganan yang tepat
disbanding siswa normal, karena keterbatasan yang mereka miliki dalam hal komunikasi dan kemandirian tersebut. Mereka juga harus melakukan pembiasaan seperti pengulangan, agar mereka terbiasa dengan daily activity mereka sehingga mereka bisa mandiri melakukan kegiatan keseharian mereka tanpa bantuan orang lain di masa depan.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
peneliti di Rumah Autis Hasanah Bandung dengan judul “Membangun Kemandirian Siswa Autis Di Kota Bandung”, peneliti menyimpulkan :
1. Siswa autis ditengah keterbatasannya masih bisa di bentuk kemandiriannya jika ditangani dengan baik yang dalam penelitian ini adalah guru pengajar di sekolah. Artinya dalam menangani
siswa autis untuk menumbuhkan
kemandiriannya dibutuhkan beberapa faktor yang harus dimiliki pengajar
dalam melakukan interaksi dan
komunikasi terhadap siswa autis
tersebut. Diantaranya, guru harus
memberikan rasa nyaman, harus
mencoba memahami keinginan dan kebutuhan siswa autis, serta wajib memiliki kesabaran dan ketulusan dalam menangani siswa autis di sekolah.
2. Isi pesan yang disampaikan guru
terhadap siswa autis dalam membangun
kemandiriannya tidak akan sama
seperti yang dilakukan terhadap siswa normal, isi pesan tidak boleh terlalu panjang karena siswa autis sulit untuk mencernanya, guru pengajar juga harus
melakukan penyesuaian terhadap isi pesan, karena menangani siswa autis bukan melihat dari usia normalnya, melainkan usia mentalnya.
3. Jika siswa normal bisa mengerti hanya dengan komunikasi verbal, siswa autis
dalam pembelajarannya ketika
berkomunikasi dengan guru harus menggunakan Bahasa verbal yang di bantu oleh Bahasa non verbal, yang paling sering dilakukan oleh para guru di Rumah Autis Hasanah Bandung adalah Bahasa verbal yang di bantu dengan nonverbal yaitu touch.
4. Cara belajar dan komunikasi yang
digunakan untuk membangun
kemandirian mereka pun harus
dilakukan dengan cara yang
menyenangkan untuk menumbuhkan
motivasi dan keinginan mereka,
misalnya sambil bermain. Hal yang diajarkan kepada siswa autis pun harus dilakukan secara berkala dan berulang-ulang agar bisa menjadi pembiasaan untuk kemandirian mereka di masa depan.
REFERENSI
Bungin, Burhan. (2001). Metodologi
Penelitian Sosial. Surabaya : Universitas Airlangga.
Effendhy, Onong Uchjana. (2007). Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktik.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Heward, W. L., & Orlansky, M.D. (1992).
Exceptional Children : An Introductory survey of special education. Columbus: Merrill Publishing
Hidayat, Dasrun. (2012). Komunikasi
Antarpribadi dan Medianya.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Harapan, Edi. (2014). Komunikasi
Antarpribadi Perilaku Insani Dalam Organisasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mulyana, Dedi. 2014. Ilmu Komunikasi :
Suatu Pengantar (revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya
Yin, Robert, K. 2012. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada