• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta ISBN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta ISBN :"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 498

PERSEPSI DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DALAM UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 1997, UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2011, UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016, DAN KUHPERDATA

H. A. Dardiri Hasyim

Fakultas Hukum Universitas Islam Batik (UNIBA) Surakarta dardiri_hasyim@ymail.com

ABSTRAK

Penyebutan, pemberian nama, atau labelling adalah awal dari proses diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, mengingat pemberian nama dapat memberikan persepsi tersendiri serta dapat mempengaruhi setiap kebijakan atau peraturan yang berlaku di masyarakat. Tulisan ini berupaya untuk menemukan dan mendeskripsikan bagaimana persepsi terhadap penyandang disabilitas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, serta mengetahui bagaimana pemenuhan hak dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Jenis penelitian dengan kepustakaan ini melalui proses data dan informasi berupa data tertulis yang berasal dari buku-buku, majalah, jurnal dan sumber-sumber data lainnya yang berguna dan mendukung penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan perkembangan jaman telah terjadi perubahan paradigma dari cara pandang lama yang melihat penyandang disabilitas sebagai objek dan perlindungan sosial kepada cara pandang baru yang melihat penyandang disabilitas sebagai subjek yang memiliki hak, yang mampu mengklaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif. Sementara itu koneksivitas antara UU No 4 Tahun 1997, CRPD, UU No 8 Tahun 2016 dan KUHPerdata yang ditunjukkan lewat pemenuhan hak adalah bahwa UU No 4 Tahun 1997 dan KUHPerdata hanya memuat 50% pemenuhan hak penyandang disabilitas dari keseluruhan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang tertuang dalam CRPD dan UU No 8 Tahun 2016. Sedangkan adanya perbedaan persepsi hingga pada akhirnya berpengaruh dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas dilatarbelakangi atas dasar tuntutan perkembangan jaman.

Kata kunci: Pemenuhan Hak, Penyandang Disabilitas, Persepsi

PENDAHULUAN

Equality before the law atau persamaan di hadapan hukum adalah salah satu asas terpenting di dalam sistem hukum modern. setiap penyandang disabilitas berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities/CRPD) yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 19 tahun 2011. Penyandang Disabilitas merupakan entitas hukum. Sehingga setiap penyandang disabilitas

(2)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 490

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Penggunaan istilah difable dan disable sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ketidaksepakatan penggunaan istilah ini muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris Different Ability People yang artinya Orang yang Berbeda Kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difable menghilangkan pemaknaan negatif dari kecacatan sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masingmasing. Penggunaan istilah yang lain, yakni disable, berdasarkan istilah disability merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik (Difabel News, 2011: 2).

Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan penggunaan istilah difable dan disable berangkat dari sudut pandang yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda tersebut. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difable dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat.

UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat masih menganggap sang manusia sebagai obyek dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sehingga kebijakan yang disusun masih didominasi rasa kasihan (charity based). Sedangkan cara pandang yang sekarang berkembang ada melihat interaksi antar manusia sebagai obyek utama, sehingga kebijakan yang disusun adalah untuk menciptakan kondisi yang non-diskriminasi karena semua manusia memiliki hak yang sama (right based) (Fajri Nursyamsi, 2015: 12).

(3)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 491

Penggunaaan kata penyandang cacat oleh Utami (2012) merupakan terminologi dari kata difable, yang dapat diartikan sebagai orang berkelainan, atau orang tidak normal. Istilah tersebut sebenarnya tidak “bebas nilai”, artinya ada konsepsi nilai tertentu yang telah dipaksakan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang “melabelkan” dan mendominasi kelompok masyarakat lain. Peristilahan ini berpengaruh secara langsung terhadap perlakuan masyarakat maupun pemerintah terhadap keberadaan difable secara menyeluruh. Namun demikian, konsepsi tersebut bisa pula berbeda dan berubah secara historis sesuai perkembangan yang terjadi dalam masyarakat maupun Negara.

Kaum kapitalis liberal selalu berusaha melakukan proses akumulasi modal dengan menggunakan manusia sebagai sumberdaya (human resource), investasi (human investment) atau sebagai modal (human capital) (Naomi, 1997: 90). Dalam pemikiran tersebut, maka pemberian fasilitas kepada orang-orang yang memiliki berbedaan kondisi fisik semacam ini harus diperhitungkan dulu untung dan ruginya. Apalagi bagi yang beranggapan bahwa kehidupan ini adalah medan persaingan. Bagi kelompok pemikiran kapitalis, kelompok yang dianggap memiliki eksistensi adalah yang mampu memenangkan persaingan. Jadilah orang-orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik semacam itu menjadi orang yang sulit untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka. Pandangan itu tidak hanya berdampak kepada penyandang disabilitas secara umum, tapi secara khusus kepada anak-anak, perempuan, dan para lanjut usia, walaupun mereka merupakan non-disabilitas. Kelompok itu digolongkan sebagai orang yang lemah dan tidak tepat kalau dijadikan instrumen pengumpul kapital, kalaupun dapat dimanfaatkan sebagai kapital, maka mereka dihargai dengan nilai yang rendah (Naomi, 1997: xiii)

Disabilitas tidak hanya berintikan dari kondisi medis yang terjadi pada penyandang disabilitas. Disabilitas lebih tepat untuk dimasukkan dalam kondisi sosial yang terjadi karena interaksi antara fisik atau mental seseorang dengan institusi sosial. Oleh karena itu, penanganan yang sesuai untuk diterapkan kepada penyandang disabilitas bukanlah hanya pendekatan medis, namun juga pendekatan sosial. UUD NRI 1945 Pasca Amendemen mencantumkan Bab XA yang membahas perihal Hak Asasi Manusia. Ketentuan dalam Bab tersebut menjadi bentuk dari perlindungan hak konstitusional warga negara secara umum, termasuk warga negara penyandang disabilitas. Dalam Bab XA UUD. 1945

(4)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 492

terdapat 10 pasal, yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J, yang mencakup 26 ketentuan yang tersebar dalam ayat-ayat dalam Pasal-Pasal yang ada. Keseluruhan ketentuan itu dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perlindungan HAM khusus bagi warga negara dan perlindungan HAM bagi setiap orang, yang berarti tidak hanya warga negara Indonesia. Dalam dua jenis kelompok itu tidak ada lagi klasifikasi lain, yang berarti, baik dalam jenis perlindungan terhadap warga negara atau terhadap setiap orang, kelompok penyandang disabilitas masuk di dalam keduanya. Dari 26 ketentuan yang ada dalam Bab XA, terdapat satu pasal yang mengatur perihal perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas, yaitu Pasal 28H ayat (2) yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Ketentuan Pasal tersebut memang sangat umum karena menggunakan terminologi “setiap orang”, atau dengan kata lain berarti tidak ada batasan siapa saja yang masuk dalam kelompok yang dituju oleh Pasal tersebut.

Beranjak dari uraian tersebut, penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dan penulisan dengan judul ” Persepsi dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan KUHPerdata”

METODE PENELITIAN

Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian normatif (kepustakaan). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk mengambil data tentang peraturan mengenai penyandang disabilitas terhadap objek penelitian.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian, yaitu:

(5)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 493

1. Bagaimana persepsi terhadap penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan KUHPerdata?

2. Bagaimana pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang, Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan KUHPerdata?

3. Mengapa dapat terjadi perbedaan persepsi dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan KUHPerdata?

Penyandang Disabilitas

Difabel News (2011: 2) menyebutkan bahwa penggunaan istilah difable dan disable sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ketidaksepakatan penggunaan istilah ini muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris Different Ability People yang artinya Orang yang Berbeda Kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difable menghilangkan pemaknaan negatif dari kecacatan sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Penggunaan istilah yang lain, yakni disable, berdasarkan istilah disability merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik.

Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan penggunaan istilah difable dan disable berangkat dari sudut pandang yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih

(6)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 494

mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda tersebut. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difable dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat.

International Classification of Functioning Health and Disability (ICF) sebagaimana disebutkan oleh Syafi’ie, dkk (2014: 53-91) menyatakan beberapa klasifikasi penyandang disabilitas, sebagai berikut :

a. Kategori intelektual: Retardasi Mental (Tuna Grahita); dan Lamban Belajar (slow learner).

b. Kategori Mobilitas: Gangguan Anggota Tubuh (kaki, tangan, dll); Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Cerebral Palsy; Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Spina Bifida; Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Spinal Cord Injury (Cedera Tulang Belakang); Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Amputasi; Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Paraphlegia; dan Gangguan Fungsi Tubuh Akibat Hemiphlegia.

c. Kategori Komunikasi: Gangguan Wicara; Gangguan Pendengaran; Autis; dan Tuna Grahita Berat.

d. Kategori Sensori: Gangguan Pendengaran; Gangguan Penglihatan; dan Kusta.

e. Kategori Psikososial: Autism; Gangguan Perilaku dan Hiperaktivitas (ADHD); Kleptomani; Bipolar; dan Gangguan Kesehatan Jiwa.

Hambatan yang secara umum yang dialami oleh difabel ada 5 (lima) menurut Komisi Hak Asasi Manusia Australia (2014: 8) terutama berkaitan dengan sistem hukum dan peradilan adalah: pertama, tidak adanya dukungan dari masyarakat, program-program dan bantuan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan keadaan merugikan, dan mengatasi kemungkinan tidak terpenuhinya berbagai faktor kesehatan dan sosial bagi penyandang disabilitas; kedua, penyandang disabilitas tidak menerima dukungan, aksesibilitas atau

(7)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 495

bantuan yang mereka butuhkan untuk mendapatkan perlindungan, untuk memulai atau mempertahankan persoalan-persoalan pidana, atau untuk berpartisipasi di dalam proses peradilan pidana; ketiga, stigma-stigma dan asumsi-asumsi negatif tentang penyandang disabilitas yang dilihat sebagai seseorang tidak mampu melakukan apa-apa, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atau tidak dapat membuktikan, membuat pertimbangan-pertimbangan hukum atau berpartisipasi dalam proses hukum; keempat, hambatan dukungan spesialis, akomodasi dan program-program tidak tersedia bagi penyandang disabilitas ketika mereka tidak mampu memahami atau menaggapi penuntutan pidana (tidak layak untuk mengajukan permohonan; dan kelima, hambatan dukungan, penyesuaian diri dan tidak tersedianya alat bantu untuk terpidana penyandang disabilitas sehingga hak-hak dasar mereka tidak terpenuhi serta tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan di penjara).

Tugas negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang disabilitas melalui penetapan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang disabilitas dan memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi.

UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

Pasal 1 ayat 1 UU No 4 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: “Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental”. Dalam hal materi muatan, UU No 4 Tahun 1997 sudah mendesak untuk diubah. UU itu dianggap sudah tidak relevan, baik secara sosiologis, filosofis, yuridis, maupun politis (Asshiddiqie, 2006: 170).

Secara sosiologis, permasalahan mendasar dari penyandang disabilitas adalah kurangnya pemahaman masyarakat maupun aparatur pemerintah yang terkait tentang arti disabilitas dan keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara. Ada anggapan bahwa disabilitas merupakan aib, kutukan dan memalukan membuat keluarga menjadi tidak terbuka mengenai anggota keluarganya yang memiliki disabilitas. Secara filosofis, Hak asasi manusia bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi,

(8)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 496

dihalangi, dicabut atau dihilangkan oleh siapa pun termasuk Negara. Hak Asasi Manusia dalam segala keadaan, wajib dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi tidak hanya oleh negara tetapi semua elemen bangsa termasuk pemerintah hingga masyarakat. Secara yuridis, UU Penyandang Cacat disahkan dengan berdasar kepada UUD 1945 sebelum amendemen. Oleh karena itu, UU itu sudah harus diganti dengan UU baru yang dibentuk dengan berdasar kepada konstitusi baru, UUD NRI 1945 (pasca amendemen). Secara politis, pasca berakhirnya suatu rezim dan munculnya rezim baru, diperlukan pula kebijakan-kebijakan yang selaras dengan perkembangan isu dan wacana baru secara nasional dan internasional.

Secara umum dapat dikatakan bahwa UU No 4 Tahun 1997 memandang penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang sakit, tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan pendidikan dan pekerjaan, mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu, fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non fisik untuk penyandang disabilitas relatif sangat terbatas sehingga menyulitkan mereka untuk bisa melakukan kegiatannya secara mandiri.

Konvensi Tentang Hak-Hak Difabel/Penyandang Disabilitas (CRPD)

CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) pada dasarnya merupakan konvensi tentang Hak-hak Difabel/Penyandang Disabilitas, yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD. CRPD merupakan instrument HAM internasional dan nasional dalam upaya Penghormatan, Pemenuhan dan Perlindungan Hak difabel di Indonesia (Development tool and Human Rights Instrument). Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity). Dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), secara tegas dinyatakan bahwa Negara wajib

(9)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 497

mengadopsi semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai dengan Konvensi ini. Artinya, seluruh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, seperti UU Lalu-lintas, UU Kepegawaian, UU Kesehatan, UU Ketenagakerjaan, UU Bangunan serta peraturan dibawahnya haruslah disesuaikan serta disinkronikasikan sesuai dengan konvensi ini, mulai dari substansi di dalam Perundang-undangannya hingga sampai klausul-klausul pasalnya. Ini menunjukkan bahwa penyediaan akses bagi kaum difabel merupakan kewajiban negara.

UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Dalam Penjelasan UU Nomor 8 Tahun 2016 disebutkan bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) tanggal 10 November 2011 menunjukkan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang Disabilitas. Ini menunjukkan bahwa pengesahan UU CRPD perlu disikapi dengan adanya UU baru sebagai pengganti UU Nomor 4 Tahun 1997.

UU Nomor 8 Tahun 2016 antara lain mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, koordinasi, Komisi Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja sama internasional, dan penghargaan. Sementara itu semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016.

Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif

(10)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 498

dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” Hal ini menunjukkan bahwa terdapat prinsip kesamaan hak yang menjadi dasar penyandang disabilitas dalam melakukan hidup bersosial, bermasyarakat dan bernegara.

KUHPerdata

Hukum Perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dalam perspektif sejarah, Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bemama Code Civil des Francais yang juga dapat disebut Code Napoleon, karena Code Civil des Francais merupakan sebagian dari Code Napoleon (Ridwan, 2000: 7).

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia oleh Hasyim (2004: 17-18) dapat dikatakan bersifat majemuk, yaitu masih terdapat bebagai pembagian, salah satunya adalah penggolongan penduduk Indonesia. Hal ini dapat disebabkan oleh Faktor Ethnis, dimana Indonesia terdiri dari berbagai suku dan budaya; serta faktor hostia yuridis yang dapat dilihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu: (a) golongan Eropa dan yang dipersamakan, dimana berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel) di negeri Belanda berdasarkan azas konkondansi, (b) golongan Bumi Putera (pribumi /bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan, dimana berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, dan (c) golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab), dimana berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina,India, Arab) diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja (berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai Hukum Kekayaan Harta Benda atau Vermororgensrecht, dan tidak mengenai Hukum Kepribadian

(11)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 499

dan Kekeluargaan atau Personen en Familierecht maupun yang mengenai Hukum Warisan).

Salah satu pasal dalam KUHPerdata yang secara langsung menyebut penyandang disabilitas adalah pasal 433, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”. Dengan banyaknya pembahasan dalam KUHPerdata yang tertuang dalam 1993 pasal tidak menutup kemungkinan adanya pembahasan tentang pemenuhan hak kaum difable atau penyandang cacat sebagai warga negara.

HASIL PENELITIAN

Persepsi Penyandang Disabilitas

Penyebutan, pemberian nama, atau labelling adalah awal dari proses diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pemberian nama ini dapat memberikan persepsi tersendiri. Salah satunya, orang yang disebut penyandang cacat dianggap mempunyai rintangan atau hambatan dalam bermasyarakat. Namun sebenarnya terdapat pemikiran berupa ketidaktahuan atau kekeliruan cara pandang sehingga tidak mampu memandang adanya potensi dan kemampuan dari orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Berikut ini adalah definisi dari masing-masing peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman dalam mempersepsikan penyandang disabilitas:

Tabel 1. Definisi Penyandang Disabilitas. UU No 4 Tahun 1997 CRPD UU No 8 Tahun 2016 KUHPerdata Pasal 1 ayat 1: “Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau Pasal 1: “Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka Pasal 1 ayat 1: “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik Tidak memberikan definisi disabilitas secara khusus namun secara garis besar dapat dilihat dari Pasal 433: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam

(12)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id 500 dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental”

interaksinya dengan bertbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas

kesetaraan”

lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”

Berdasarkan tabel 1 dan dalam menjawab rumusan masalah pertama pada penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa:

1. UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat pada awal pembentukan dan berlakunya diharapkan mampu memberikan jaminan lebih operasional dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia. Namun mempertimbangkan perkembangan jaman hingga sekarang, melihat dari judulnya saja (menggunakan kata Penyandang Cacat) sudah dapat diketahui bahwa paradigma yang digunakan masih melihat kepada kondisi fisik seseorang. UU ini memandang para penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang utuh akan tetapi memposisikan mereka sebagai sebuah objek yang memiliki kekurangan, atau kelainan baik secara fisik dan mental, yang menyebabkan penyandang disabilitas dipandang tidak dapat melakukan aktifitas atau kegiatan secara layak. Disabilitas yang disandang seseorang dipandang menjadi penghambat sehingga penanganan yang dilakukan hanya bertumpu pada usaha penyempurnaan kembali dengan kata lain membutuhkan proses rehabilitasi.

2. CRPD menekankan tentang makna universalitas, sifat tidak terbagi-bagi, kesalingtergantungan dan kesalingterkaitan antara semua hak asasi manusia dan

(13)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 501

kebebasan mendasar dan kebutuhan orang-orang penyandang disabilitas untuk dijamin sepenuhnya penikmatan atas hak asasi manusia dan kebebasan mendasar tersebut tanpa diskriminasi.

3. KUHPerdata walaupun tidak memberikan definisi penyandang disabilitas secara khusus, namun rentan terhadap sikap diskriminatif. Hal ini dikarenakan KUHPerdata tidak memberikan definisi disabilitas secara khusus. Selain itu KUHPerdata merupakan aturan yang secara usia telah melewati masa lebih dari 150 tahun, sehingga memerlukan penyegaran kembali. Pasal 433 KUHPerdata secara nyata telah “menyudutkan” penyandang disabilitas. Hal ini tentunya bertentangan dengan tuntutan jaman yang menghendaki adanya dasar atas hak yang sama.

4. UU No 8 Tahun 2016 melihat dari sudut pandang yang tepat pada penyandang disabilitas, yaitu dengan pendekatan rights base (kesamaan hak). Senada dengan CRPD, UU No 8 Tahun 2016 memandang penyandang disabilitas sebagai bagian yang integral dalam strategi-strategi pembangunan berkelanjutan dan mengakui bahwa diskriminasi terhadap setiap orang atas dasar kecacatan adalah pelanggaran terhadap martabat yang melekat dan harga diri setiap manusia.

Perubahan perundang-undangan yang terjadi mengikuti perkembangan jaman merupakan wujud perubahan paradigma dari cara pandang lama yang melihat penyandang disabilitas sebagai objek dan perlindungan sosial kepada cara pandang baru yang melihat penyandang disabilitas sebagai subjek yang memiliki hak, yang mampu mengklaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU No 4 Tahun 1997 dan KUHPerdata menempatkan penyandang disabilitas atas dasar rasa kasihan (charity based) dan memiliki hak yang sama (right based). Sedangkan UU No 19 Tahun 2011 dan UU No 8 Tahun 2016 menempatkan penyandang disabilitas tidak hanya atas dasar hak yang sama (right based) namun juga social based.

(14)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 502

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan peran serta penyandang cacat adalah sama dengan warga Negara lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran para penyandang cacat dalam pembangunan dalam pembangunan nasional sangat penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya. Berikut ini adalah konsep pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam UU No 4 Tahun 1997:

1. hak asasi manusia : hak atas peran Pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak (Pasal 9)

2. non diskriminatif : hak untuk mendapat kesempatan yang sama (Pasal 1; 5; 27) 3. aksesibilitas : aksebilitas dalam rangka kemandiriannya (Pasal 6) dan menciptakan

keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat (Pasal 10)

4. hak hidup : hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6) dan mendapatkan penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan, perijinan, dan pengawasan. (Pasal 23; 24)

5. kebebasan : mendapatkan upaya terwujudnya hak-hak penyandang cacat (Pasal 8) 6. pendidikan : mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan

pada satuan lembaga pendidikan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya (Pasal 6; 11; 12)

7. habilitasi dan rehabilitasi : memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman (Pasal 6; 16; 17; 18)

8. pekerjaan dan lapangan kerja : penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya oleh perusahaan negara dan swasta (Pasal 6; 13; 14)

(15)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 503

9. jaminan sosial : pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar, yang diawasi pula oleh Pemerintah (Pasal 6; 19; 20; 21; 22)

10. peran serta : perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilnya (Pasal 6)

11. Kerjasama : mengadakan kerjasama dengan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat (Pasal 25)

Konsep tersebut di atas menunjukkan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam UU No 4 Tahun 1997 tertuang dalam 9 (sembilan) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat sembilan belas (19) pasal. Sementara itu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berisi tentang konsep pemenuhan hak difable (penyandang cacat), secara garis besar yaitu sebagai berikut:

1. Non diskriminatif :

a. Apabila perkawinan dilakukan oleh orang yang karena cacat mental ditaruh di bawah pengampuan, keabsahan perkawinan itu hanya boleh dibantah oleh bapaknya, ibunya dan keluarga sedarah dalam garis ke atas, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian pula oleh pengampuannya, dan akhirnya oleh Kejaksaan. Setelah pengampuan itu dicabut, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh suami atau istri yang telah ditaruh di bawah pengampuan itu, tetapi tuntutan ini pun tidak dapat diterima bila kedua suami istri telah tinggal bersama selama enam bulan, terhitung dari pencabutan pengampuan itu (Pasal 88)

b. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya (Pasal 452)

2. Hak perlindungan dan keamanan : Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan (Pasal 433)

(16)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 504

3. Hak perlindungan dan kepastian hukum :

a. Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri (Pasal 434) b. Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan

oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan Kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan Kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai suami atau isteri, juga yang tidak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia (Pasal 435)

c. Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan ini telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan (Pasal 447) d. Setelah seseorang meninggal dunia, maka segala tindak perdata yang telah

dilakukannya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang disanggah itu (Pasal 448)

e. Seorang anak belum dewasa yang ada di bawah pengampuan tidak dapat melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian selain dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada Pasal 38 dan 151 (Pasal 458) 4. Kebebasan; Pendidikan; Pelayanan kesehatan; Habilitasi dan rehabilitasi; Pekerjaan

dan lapangan kerja; serta Jaminan sosial:

a. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya (Pasal 441)

(17)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 505

b. Penghasilan orang yang ditempat di bawah pengampuan karena keadaan dungu. gila atau mata gelap, harus digunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan (Pasal 454)

Konsep tersebut di atas menunjukkan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam KUHPerdata tertuang dalam 9 (sembilan) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat 10 (sepuluh) pasal.

Sementara itu beberapa konsep pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam CRPD adalah sebagai berikut:

1. hak asasi manusia : penikmatan secara penuh dan setara semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka (pasal 1) 2. non diskriminatif : hak mendapat jaminan dan peningkatan realisasi yang utuh dari

semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua penyandang disabilitas tanpa diskriminasi dalam segala bentuk berfundamentalkan disabilitas fundamental, yang diberikan oleh Negara (pasal 4-5); diskriminasi terhadap difabel yang berkaitan dengan perkawinan, keluarga, status orangtua dan hubungan personal atas dasar kesetaran (pasal 23)

3. perempuan dan anak : jaminan atas perolehan segala hak asasi perempuan dan anak difabel dan kebebasan fundamental mereka secara penuh dan setara (pasal 6-7) 4. non stereotype : penghilangan stereotype, dan meningkatkan kapabilitas difabel

(pasal 8)

5. aksesibilitas : terpenuhinya aksesibilitas fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau disediakan bagi difabel (pasal 9) 6. hak hidup (pasal 10); pencatatan difabel dalam statistik dan penelitian untuk

penyusunan program penguatan bagi mereka (pasal 31)

7. perlindungan dan keamanan : hak atas perlindungan dan keamanan bagi difabel dalam situasi beresiko, termasuk situasi- situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam (pasal 11)

(18)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 506

8. perlindungan dan kepastian hukum : perlindungan hukum, akses peradilan, kebebasan dan keamanan para difabel dari perampasan kebebasannya, bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (pasal 12-15)

9. kebebasan : kebebasan difabel dari eksploitasi, kekerasan, dan penganiayaan, terlindungi integritas fisik dan mental, kebebasan mobilitas, memiliki tempat tinggal, dan memiliki kebangsaan mereka (pasal 16-18); tercapainya kemandirian, kebebasan berkspresi dan berpendapat, serta akses terhadap informasi (pasal 20-21) 10. hak individu dan kelompok : hak individu para difabel dan keterlibatannya dalam

masyarakat serta menjunjung nilai-nilai kemandirian (pasal 19) 11. privasi : penghormatan terhadap privasi (pasal 22)

12. pendidikan : pemenuhan hak memperoleh layanan pendidikan yang layak bagi difabel secara inklusif di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan (pasal 24) 13. pelayanan kesehatan : menikmati pelayanan kesehatan yang setinggi mungkin dapat

dicapai tanpa diskriminasi atas dasar difabilitas (pasal 25)

14. habilitasi dan rehabilitasi : perolehan habilitasi dan rehabilitasi difabel dalam bidang kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan sosial (pasal 26)

15. pekerjaan dan lapangan kerja : memperoleh pekerjaan yang layak (pasal 27)

16. jaminan sosial : tercapainya standar kehidupan dan jaminan sosial yang layak (pasal 28)

17. peran serta : kesetaraan hak dalam peran serta berkehidupan politik (pasal 29); peran serta kehidupan berbudaya, rekreasi, pemanfaatan waktu luang, dan olah raga (pasal 30)

18. Kerjasama : hak dalam kemitraan dengan organisasi internasional dan regional yang relevan serta masyarakat sipil, khususnya organisasi penyandang diisabilitas (pasal 32)

Konsep tersebut di atas menunjukkan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam CRPD tertuang dalam 18 (delapanbelas) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat dua puluh lima (25) pasal. Sementara itu dari UU Nomor 8 Tahun 2016

(19)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 507

Tentang Penyandang Disabilitas didapatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai berikut:

1. hak asasi manusia : hak berpolitik (Pasal 13)

2. non diskriminatif : hak mendapatkan pelayanan publik serta pendataan (Pasal 6; 19; 22)

3. perempuan dan anak : hak perempuan dan anak dengan disabilitas (Pasal 5)

4. non stereotype : hak bebas dari stigma (hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya) serta bebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi (Pasal 7; 26)

5. aksesibilitas : memanfaatkan fasilitas publik serta mendapatkan akomodasi yang layak (Pasal 18)

6. hak hidup : pelindungan dari bencana (Pasal 20)

7. perlindungan dan keamanan : pelindungan dari bencana (pasal 20)

8. perlindungan dan kepastian hukum : keadilan dan perlindungan hukum (pasal 9) 9. kebebasan : keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, berekspresi,

berkomunikasi, dan memperoleh informasi (pasal 14; 15; 16; 24)

10. hak individu dan kelompok : hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; kewarganegaraan; dan bebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi (pasal 23; 24; 25; 26)

11. privasi : di antaranya adalah diakui sebagai manusia pribadi yang dapat menuntut dan memperoleh perlakuan serta Pelindungan yang sama sesuai dengan martabat manusia di depan umum (pasal 8)

12. pendidikan : secara umum penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus (Pasal 10)

13. pelayanan kesehatan : (Pasal 12) 14. habilitasi dan rehabilitasi : (Pasal 21)

(20)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 508

16. jaminan sosial : hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial (Pasal 17)

17. peran serta : hak berpolitik, hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; serta berkewarganegaraan (Pasal 13; 23; 25)

18. Kerjasama : hak berpolitik (Pasal 13)

Konsep tersebut di atas menunjukkan bahwa pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam UU No 8 Tahun 2016 tertuang dalam 18 (delapanbelas) konsep pemenuhan hak sesuai dengan CRPD, yang dijabarkan lewat duapuluh tiga (23) pasal. Berikut ini adalah perbandingan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas pada tiap perundang-undangan:

Tabel 2. Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Pemenuhan Hak UU No 4/1997 CRPD UU No 8/2016 KUHPerdata

Hak asasi manusia Pasal 9 Pasal 1 Pasal 13 -

Non diskrimitatif/ Kesamaan

kesempatan

Pasal 1; 5; 27 Pasal 4-5 dan Pasal 23

Pasal 6; 19; 22 Pasal 88 dan Pasal 452 Perempuan dan

anak

- Pasal 6-7 Pasal 5 -

Non stereotype - Pasal 8 Pasal 7; 26 -

Aksesibilitas Pasal 6 dan Pasal 10

Pasal 9 Pasal 18 -

Hak hidup Pasal 6; 23; 24 Pasal 10 -

Perlindungan dan keamanan

- Pasal 11 Pasal 20 Pasal 433

Perlindungan dan kepastian hukum

- Pasal 12-15 Pasal 9 Pasal 434; 435;

458; 447; 448

Kebebasan Pasal 8 Pasal 16-18

dan Pasal 20-21 Pasal 14; 15; 16; 24; Pasal 441 dan Pasal 454 Hak individu dan

kelompok

- Pasal 19 Pasal 23; 24;

25; 26

-

Privasi - Pasal 22 Pasal 8 -

Pendidikan Pasal 6; 11; 12 Pasal 24 Pasal 10 Pasal 441 dan Pasal 454 Pelayanan

kesehatan

- Pasal 25 Pasal 12 Pasal 441 dan

Pasal 454 Habilitasi dan Pasal 6; 16; 17; Pasal 26 Pasal 21 Pasal 441 dan

(21)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 509

Pekerjaan dan lapangan kerja

Pasal 6; 13; 14 Pasal 27 Pasal 11 Pasal 441 dan Pasal 454 Jaminan sosial Pasal 6; 19; 20;

21; 22

Pasal 28 Pasal 17 Pasal 441 dan Pasal 454 Peran serta/ Politik Pasal 6 Pasal 30 Pasal 13; 23; 25 -

Kerjasama Pasal 25 Pasal 32 Pasal 13 -

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), secara tegas menyebutkan bahwa Negara wajib mengadopsi semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai dengan Konvensi ini, yang berarti bahwa seluruh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia haruslah disesuaikan serta disinkronikasikan sesuai dengan konvensi ini, mulai dari substansi di dalam Perundang-undangannya hingga sampai klausul-klausul pasalnya. Untuk itulah konsep atau indikator pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam CRPD dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan perbandingan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain.

Berdasarkan tabel di atas dan dalam menjawab rumusan masalah kedua dalam penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa:

1. Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam UU No 4 Tahun 1997 tertuang dalam 9 (sembilan) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat sembilan belas (19) pasal.

2. Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam KUHPerdata tertuang dalam 9 (sembilan) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat 10 (sepuluh) pasal. 3. Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam CRPD tertuang dalam 18

(delapanbelas) konsep pemenuhan hak, yang dijabarkan lewat dua puluh lima (25) pasal.

(22)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 510

4. Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam UU No 8 Tahun 2016 tertuang dalam 18 (delapanbelas) konsep pemenuhan hak sesuai dengan CRPD, yang dijabarkan lewat duapuluh tiga (23) pasal.

Dengan demikian dapatlah dikatakan koneksivitas antara UU No 4 Tahun 1997, CRPD, UU No 8 Tahun 2016 dan KUHPerdata yang ditunjukkan lewat pemenuhan hak adalah bahwa UU No 4 Tahun 1997 dan KUHPerdata hanya memuat 50% pemenuhan hak penyandang disabilitas dari keseluruhan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang tertuang dalam CRPD dan UU No 8 Tahun 2016. Hal ini menunjukkan pula bahwa CRPD sebagai payung hukum kebijakan legislatif dan administratif telah terpenuhi, lewat pemenuhan hak yang tertuang dalam UU No 8 Tahun 2016. Selain itu pengesahan UU No 8 Tahun 2016 untuk mengantikan UU No 4 Tahun 1997 dinilai sudah tepat.

Latar Belakang Perbedaan Persepsi dan Pemenuhan Hak

Penggunaan suatu sebutan membawa implikasi perilaku terhadap pihak yang memberi sebutan kepada pihak yang menerima sebutan tersebut. Di Indonesia, istilah Penyandang Disabilitas (disable) dipergunakan setelah munculnya UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dalam UU No 8 Tahun 2016 juga menggunakan istilah penyandang disabilitas. Sebelumnya, UU No 4 Tahun 1997 menyebut dengan istilah Penyandang Cacat (difable). Sedangkan KUHPerdata tidak memberikan definisi disabilitas secara khusus. Pada bahasan sebelumnya telah dikatakan bahwa UU No 4 Tahun 1997 dan KUHPerdata menempatkan penyandang disabilitas atas dasar rasa kasihan (charity based) dan memiliki hak yang sama (right based). Sedangkan UU No 19 Tahun 2011 dan UU No 8 Tahun 2016 menempatkan penyandang disabilitas tidak hanya atas dasar hak yang sama (right based) namun juga social based.

Difabel News (2011: 2) menyebutkan bahwa penggunaan istilah difable dan disable sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ketidaksepakatan penggunaan istilah ini muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris Different Ability People yang artinya Orang yang Berbeda Kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak

(23)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 511

menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difable menghilangkan pemaknaan negatif dari kecacatan sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Penggunaan istilah yang lain, yakni disable, berdasarkan istilah disability merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik. Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan penggunaan istilah difable dan disable berangkat dari sudut pandang yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda tersebut. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difable dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat.

Fajri dkk (2015: 11) mengatakan pada masa berlakunya UU No 4 Tahun 1997 masih terdapat anggapan bahwa disabilitas merupakan aib, kutukan dan memalukan membuat keluarga menjadi tidak terbuka mengenai anggota keluarganya yang memiliki disabilitas. Penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang sakit dan tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan pendidikan dan pekerjaan. Mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Lebih lanjut berkaitan dengan perbedaan persepsi pada masing-masing peraturan, Fajri dkk (2015: 14-18) merangkum berbagai catatan sejarah yang menjadi dasar munculnya beberapa istilah yang berpengaruh pada pemenuhan hak, di antaranya:

a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), di dalamnya tidak ada satu pun klausul yang secara

(24)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 512

eksplisit menyebutkan penyandang difable sebagai kategori yang dilindungi, namun hanya berkaitan dengan jaminan sosial dan kebijakan kesehatan preventif. b. Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons (1971) dan Declaration on

the Rights of Disabled Persons (1975), di dalamnya telah menyebut kata disability (disable), namun penyandang disabilitas digambarkan sebagai model medis. Model tersebut memandang penyandang disabilitas sebagai orang dengan masalah medis, yang penanganannya bergantung pada jaminan sosial dan kesejahteraan yang disediakan pada setiap negara.

c. World Programme of Action Concerning Disabled (1982) memuat dua (2) tujuan, yaitu: pencegahan dan rehabilitasi. Program inilah yang selanjutnya melatarbelakangi perlunya konsep awal Konvensi Penyandang Disabilitas (1982-1993) daimana di dalamnya memuat tujuan sebagai kelanjutan dari program sebelumnya, yaitu: persamaan atau pemerataan kesempatan. Pemerataan kesempatan didefinisikan sebagai proses dalam sistem umum masyarakat, seperti fisik dan budaya lingkungan, perumahan dan transportasi, pelayanan sosial dan kesehatan, kesempatan pendidikan dan pekerjaan, budaya dan kehidupan sosial, termasuk olahraga dan fasilitas rekreasi yang diakses oleh semua.

d. Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (STRE-1993), yang menonjolkan kesetaraan (equality), yaitu prinsip yang menyiratkan hak yang sama, dan menyatakan bahwa kebutuhan setiap individu adalah sama pentingnya, serta kebutuhan tersebut harus dijadikan dasar untuk perencanaan masyarakat dan bahwa semua sumber daya harus digunakan sedemikian rupa untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.

e. Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol (CRPD-Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas dan Protokol Opsional-2007)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan persepsi hingga pada akhirnya berpengaruh dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas didasarkan atas tuntutan perkembangan jaman. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

(25)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 513

pada dasarnya adalah konsekuensi dan tuntutan yang berlaku secara Internasional. Sementara itu peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal disabilitas pada awalnya masih terjebak dalam paradigma lama, yaitu memfokuskan pengaturan pada kondisi fisik seseorang sekaligus berupaya agar kondisi itu dapat beradaptasi dengan situasi lingkungan yang normal. Perubahan positif sejak berlakunya CRPD menjadi momentum memposisikan kembali para penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman masyarakat dan bagian dari warga negara yang wajib untuk dipenuhi hak-haknya.

SIMPULAN

UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disahkan berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen). Oleh karena itu, UU itu sudah harus diganti dengan UU baru yang dibentuk berdasarkan UUD NRI 1945 (setelah amandemen). Selain melihat pada aspek formal, penggantian UU Penyandang Cacat dengan UU baru juga penting secara materiil, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa UUD NRI 1945 setelah amendemen lebih kuat dalam menjamin perlindungan HAM warga negara. Indonesia meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), melalui UU Nomor 19 tahun 2011. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berkomitmen melalui yuridis formal untuk mengambil segala upaya dalam mewujudkan secara optimal segala bentuk nilai kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana yang tercantum dalam CRPD. Berlakunya UU No 8 Tahun 2016 saat ini setidaknya telah menjawab keraguan masyarakat atas pengakuan penyandang disabilitas.

Penyebutan, pemberian nama, atau labelling adalah awal dari proses diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Untuk itulah diperlukan perubahan paradigma yang melihat penyandang disabilitas sebagai subjek yang memiliki hak, yang mampu mengklaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif. Mengingat pemberian nama dapat memberikan persepsi tersendiri, maka hal ini dapat mempengaruhi setiap kebijakan atau peraturan yang berlaku di masyarakat.

(26)

Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160

Website http://uniba.ac.id 514

DAFTAR PUSTAKA

Australian Human Right Commision, (2006). Equal Before The Law: Towards Disability Justice Strategies. Australian Human Rights Commision. 2014

Difabel New’s. (2011). Difable Atau Disable, Majalah, Edisi XIX Th XI Mei 2011.

Fajri Nursyamsi, dkk. (2015). Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia : Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Hasyim Dardiri. (2004). Amandemen KUHPerdata Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional. Surakarta: UNS Press

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang. Jakarta: Konstitusi Press

M. Syafi’ie, dkk. (2014). Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Ridwan Syahrani. (2000). Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni Risnawati Utami, (2012), Makalah Untuk Intermediate Human Rights Training Bagi

Dosen Hukum Dan HAM di Balikpapan, Konvensi Tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas: Dalam Perspektif Kebijakan Publik Di Indonesia, Kerjasama PUSHAM UII dengan Norwegian Centere for Human Rights.

Gambar

Tabel 1. Definisi Penyandang Disabilitas.
Tabel 2. Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan melihat efektifitas produksi cumi- cumi dan ikan teri dengan menggunakan lampu celup dalam air dan lampu di atas permukaan air laut pada alat tangkap bagan

Cahaya yang mengenai bahan semikonduktor ini memiliki energi yang lebih besar daripada energi celah pita semikonduktor, sehingga akan mentransfer elektron dari

$enutu) a sam)ah.. Sasaran Program Penanggung Waktu Pelaksanaan. !a4a5

pemilihan features yang akan dipilih. Di dalam tetingkap ini terdapat beberapa features yang akan di senaraikan. Untuk penggunaan EIS RTD Lipis icon Web Extensions

Menurut Kohangia (2002), bahwa kandungan bahan organik yang terdapat di sedimen perairan terdiri dari partikel-partikel yang berasal dari hasil pecahan batuan dan

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia.. Unit fungsional dasar

Karenanya, untuk memperkecil resiko kerugian (uang tidak kembali), dalam menyalurkan pembiayaan maka pihak BMT Mitra Kota Cimahimulai menerapkan instrument

Biaya pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala pengeluaran yang digunakan untuk memperlancar kegiatan pendidikan baik berupa uang maupun bukan uang,