• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

i

REFLEKSI PELAYANAN KASIH AWAM KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS CARITAS EST

DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG PAROKI SANTO YOSEPH NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Elisabet Dwi Setiani NIM: 121124015

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERISTAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

(5)

v

MOTTO

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul REFLEKSI PELAYANAN KASIH AWAM

KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS CARITAS EST DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG PAROKI SANTO YOSEPH NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA, alasan penulis memilih judul tersebut

berdasarkan keprihatinan akan adanya perubahan semangat dalam hidup menggereja bagi para pengurus stasi dan umat di sana. Pelayanan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan umat Kristiani. Setelah Konsili Vatikan II, peran umat (awam non-klerus) dalam kehidupan Gereja menjadi semakin besar. Sebagian besar tugas pelayanan Gereja mulai dipercayakan kepada umat, entah itu perayaan liturgis maupun pelayanan sakramental. Gereja Katolik di mana-mana, mulai memberi ruang yang besar kepada umat untuk terlibat aktif dalam aktivitas pewartaan iman dan pelayanan kasih. Awam tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai kelompok kelas dua yang hanya menunggu bantuan dari kaum klerus. KV II secara tidak langsung memberi peran yang besar kepada awam sebagai pelayan Gereja yang turut serta bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan iman umat Kristiani.

Dalam konteks ini penulis merefleksikan pelayanan umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng, Paroki St. Yoseph Ngawi. Fokus refleksi penulis tertuju pada hal-hal berikut: (a) pemahaman umat tentang pelayanan kasih; (b) jenis-jenis pelayanan kasih; (c) tujuan pelayanan kasih; (d) sasaran pelayanan kasih; dan (e) pihak-pihak yang terlibat dalam tugas pelayanan kasih. Penulis menggunakan ensiklik Deus Caritas Est sebagai acuan untuk merefleksikan poin-poin tersebut. Responden yang diminta keterangan antara lain tokoh umat (mantan ketua stasi), ketua stasi dan pengurus stasi yang sedang bertugas, dan perwakilan kaum muda. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa keresahan Paus Benediktus tentang “pelayanan kasih” sedang menyata dalam kehidupan awam di Stasi Ngrendeng. Hasil temuan penulis, setidaknya membuktikan bahwa awam Kristiani di Ngrendeng saat ini secara khusus kaum muda perlahan-lahan apatis dengan tugas pelayanan Gereja. Kebanyakan mereka tidak peduli dengan urusan-urusan rohani. Urusan iman dinilai abstrak dan tidak memberi manfaat ekonomis.

Terdapat tiga alasan yang disinyalir turut memengaruhi semangat pelayanan umat adalah: (a) pengaruh arus globalisasi yang berkembang begitu cepat; (b) minat orang muda terhadap hal-hal rohani yang melemah; dan (c) pola pendekatan pastor atau pengurus stasi yang tidak mengumat. Sebagai calon kateketis penulis menilai bahwa Gereja harus lebih giat “mendekati” umat yang “sedang sakit” dengan berbagai metode pewartaan dan pelayanan yang kreatif dan inovatif. Pelayanan kasih, apa pun bentuknya merupakan tanggapan bebas umat atas panggilan Allah. Karena itu, tanggung jawab moral seorang pelayan pastoral bukan hanya kepada diri sendiri atau kepada mereka yang dilayani, melainkan terlebih kepada kepada Allah. Pelayanan merupakan sebuah panggilan yang bertujuan mendekatkan sesama kepada Tuhan―Sang Sumber Kasih.

(9)

ix

ABSTRACT

This undergraduate thesis entiltes REFLECTION OF CARITATIVE

MINISTRY OF LAY CHRISTIAN IN THE LIGHT OF ENCYCLICAL DEUS CARITAS EST IN SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG DISTRICT SANTO YOSEPH, PARISH NGAWI THE DIOCESE SURABAYA , the author chose this title because of the concern of changing in

Church life for district administrator and the people there. Service is an important part in the life of Christians. After Vatican Council II, the role of the lay people in the life of the Church becomes bigger. Most of the Church's tasks are entrusted to the people, both liturgical celebration and sacramental celebration. The Catholic Church , begins to give a bigger room for people to be actively involved in the activity of preaching faith and service of caritative. People are no longer underestimated as a second-class group who just wait for help from the clergy. The Vatican Council II, indirectly gives bigger roles to the lay people as a servant of the Church who take responsibility for the growth and development of the Christian faith.

In this context – the author reflects on the community service in Santa Maria Assumpta Ngrendeng district. The focus of the author’s reflection is on the following matters: (a) understanding of people about the caritative ministry; (b) the kinds of caritative ministry; (c) the purpose of caritative ministry; (d) the target of caritative ministry; and (e) the parties whom involved in the task of caritative ministry. The author uses the Encyclical of Deus Caritas Est as a reference to reflect these points. Based on the results of the research, the author found that the concerns of Pope Benedict XVI about “caritative ministry” was clearer in the life of the lay people in the Stasi Ngrendeng district. The findings of the author, at least prove that the Christian lay people in Ngrendeng nowadays – spesifically the youth – slowly become apathetic with the Church service ministry. Most of them are not concerned with spiritual matters. Matters of faith are judged as abstract and have not given economical benefits.

There are three reasons which allegedly also affect the spirit of serving the people : (a) the impact of globalization is growing so fast; (b) the interest of young people toward spiritual things that weaken; and (c) the unfriendly approach pattern of parish priest or administrator. As a candidate for catechist – the author considers that the Church should be more proactive to “approach” the people who “are sick” with various methods of preaching and service which are creative and innovative. Caritative ministry, whatever form is a free response to God’s vocation. Therefore, the moral responsibility of a pastoral ministry not only to themselves or to those who they serve, but especially to God himself. Service is a call vocation those aims to bring others to God―the Source of Love.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa karena kasih-Nya yang begitu besar, penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul REFLEKSI PELAYANAN

KASIH AWAM KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS CARITAS EST DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG PAROKI SANTO YOSEF NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA. Skripsi ini

disusun berdasarkan keprihatinan penulis akan pelayanan yang dilakukan di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng. Melihat keadaan umat yang belum sepenuhnya menyadari tugas pelayanannya dalam kehidupan menggereja. Penulis merefleksikan pelayanannya tersebut dengan menggunakan ensiklik Deus Caritas Est sebagai acuannya.

Selama proses penulisan dan penyusunan karya ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu penulis dengan tulus mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J, M.Ed, selaku Kaprodi PAK Universitas Sanata Dharma yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.

2. Dr. B. A. Rukiyanto, S.J., selaku dosen utama yang penuh kesabaran mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(11)

xi

kesabaran dan ketelatenan dalam mendampingi dan membimbing selama perkuliahan terkhusus dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji ketiga yang telah memberikan dukungan dan menyempurnakan skripsi ini.

5. Ibu Irene Sri Hartati selaku Ketua Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng, Bapak Soejatno, Mbak Ana, Bapak Santo, Bapak Juri, Widi yang bersedia meluangkan waktu untuk diawancarai dan membantu selama penelitian berlangsung.

6. Segenap staf dosen dan seluruh karyawan prodi PAK Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan dukungan dan bantuannya selama penyusunan skripsi.

7. Ibu Theresia Sumarni, Bapak Sugiman Mas Eko, Adik Sari yang telah memberikan bantuan dukungan, cinta dan perhatian baik secara materi dan moril kepada penulis.

8. Bernadeta Wahyu Widi Hapsari, Lidya Putri Herawati, Valeria Elisa Eka Putri, Sulviana Gusliana, Dian Fitri Krisnawati, Indah Yantica, Nurliana, dan Fadila yang telah memberikan perhatian, dukungan dan bantuan kepada penulis. 9. Keluarga besar PAK angkatan 2012 yang telah berdinamika selama proses

perkuliahan dan memberikan perhatian kepada penulis dengan berbagai cara. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang dengan tulus

(12)
(13)

xiii

D. Ensiklik “Deus Caritas Est” ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

A. Jenis Penelitian ... 22

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

C. Subyek Penelitian ... 24

(14)

xiv

E. Instrumen Penelitian ... 29

F. Keabsahan Data ... 32

G. Teknik Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Temuan Umum ... 34

B. Temuan Khusus ... 39

C. Pembahasan ... 48

D. Analisis SWOT ... 60

E. Situasi Pokok ... 66

F. Refleksi SWOT ... 68

G. Refleksi Teologis ... 71

H. Usulan Program ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123

LAMPIRAN 1. Transkrip Hasil Wawancara ... [1]

2. Surat Izin Penelitian ... [19]

3. Surat Selesai Penelitian ... [20]

4. Daftar Stasi dan Lingkungan Paroki St. Yosef Ngawi ... [21]

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan dalam Kitab Suci ini mengkikuti Alkitab Deuterukanonika © LAI 1976. (Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterukanonika yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia. Terjemahan diterima dan diakui oleh konferensi Wali Gereja Indonesia). Jakarta: LAI, 2001, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 18 November 1965

DCE : Deus Caritas Est, Ensiklik Paus Beneidktus XVI tentang Allah Adalah Kasih, 25 Desember 2005

KV II : Konsili Vatikan II

LG : Lumen Gentium, Kontitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 21 November 1964

C. Singkatan Lain

Art. : Artikel

R : Responden

Sta. : Santa

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Buah terindah dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah membangkitkan kesadaran baru tentang peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Kesadaran ini diungkapkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam bahwa kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia. Sesungguhnya, mereka menjalankan kerasulan dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus dan mengabdi pada keselamatan umat manusia (Hardawiryana, 1993:341).

Kesadaran KV II untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja, berangkat dari kenyataan bahwa sebelum konsili, muncul pendapat yang mengatakan bahwa tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki1. Hanya hierarki yang menjalankan tugas itu secara aktif sedangkan kaum

(17)

awam bersifat pasif menerima pelayanan para gembala (Kirchberger, 2007:618). Lebih lanjut dikatakan bahwa hanya dalam keadaan “darurat” kaum awam bisa diperbantukan kepada hierarki melalui satu amanat khusus, misalnya: “aksi umat Katolik” menurut Paus Pius XII bertugas untuk membantu hierarki dalam tugas

untuk mewartakan Injil di tempat para imam tidak diterima, seperti di antara kaum buruh di Perancis (Kirchberger, 2007:618).

Sebelum KV II pelayanan di dalam Gereja merupakan tugas yang hanya dilakukan oleh para imam. Maka, tidak mengherankan jika sebelum Konsili Vatikan II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus2 dan kaum awam. Namun, angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Pelayanan dan tanggung jawab hidup menggereja tidak semata-mata hanya diletakkan kepada kaum klerus (tertahbis), melainkan kaum awam juga memiliki peranan yang sangat penting di dalamnya ysitu ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk memelihara iman umat (Datubara, 2001:180).

Lebih lagi, KV II menekankan bahwa para awam adalah orang kristiani yang bertugas menjaga tata tertib duniawi di dalam berbagai sektor, misalnya: sektor politik, budaya, seni, perusahaan, perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Seluruh umat Allah diundang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan.

(18)

Di dalam dunia seorang awam bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbarui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga (Tondowidjojo, 1990:6).

Gereja menekankan bahwa kaum awam dipanggil untuk berperan serta dalam pengudusan Gereja kendatipun mereka tidak termasuk dalam hierarki Gereja. Panggilan kaum awam untuk menguduskan Gereja dilihat sebagai suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai kalangan yang hidup di tengah-tengah dunia. Artinya, karena kaum awam memiliki kekhasan, yaitu sifat keduniaannya (LG 31), maka mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugasnya sebagai ragi di dalam dunia dengan semangat Kristen yang berkobar-kobar (AA 2). Dengan kata lain, kaum awam bertugas untuk menguduskan dunia, meresapi pelbagai urusan duniawi dengan semangat Kristus supaya semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, sehingga Kerajaan Allah dapat bersemi di tengah dunia (Kirchberger, 2007:619).

(19)

yang sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud Kristus dan meruapakan pujian bagi pencipta dan penyelamat (Kirchberger, 2007: 619).

Sadar akan pentingnya peran dan tanggung jawab kaum awam dalam mengemban tugas pelayanan kasih Gereja ini, maka penulis menilai penting untuk merefleksikan pelayanan kasih awam Kristiani di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng saat ini? Untuk menanggapi pertanyaan di atas maka penulis akan menggunakan ensiklik Deus Caritas Est untuk menilai sudah sejauh mana awam kristiani terlibat dalam tugas-tugas pelayanan kasih Gereja. Oleh karena itu judul tulisan yang bisa merepresentasi tujuan penulisan ini adalah: Refleksi Pelayanan Kasih Awam Kristiani Dalam Terang Ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

B. Rumusan Masalah

Fokus utama permasalahan yang hendak dikaji adalah bagaimana partisipasi awam (umum) Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est? Pertanyaan ini kemudian dikerucutkan lagi menjadi beberapa pertanyaan yang lebih spesifik, antara lain:

1. Bagaimana pelayanan umat di stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng?

2. Apa saja jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilakukan oleh umat Stasi Ngrendeng?

(20)

4. Apa sasaran yang hendak dicapai dari kegiatan pastoral pelayanan kasih?

5. Siapa saja yang terlibat aktif dalam tugas pelayanan kasih seturut ensiklik DCE?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan umum penulisan karya tulis ini adalah untuk merefleksikan tugas pelayanan kasih umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam terang ensiklik Deus Caritas Est. Selain itu, beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari karya tulis ini, antara lain:

1. Mengetahui pelayanan yang dilakukan oleh umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng tentang arti pelayanan kasih.

2. Mengetahui jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan oleh umat Stasi Ngrendeng.

3. Mengetahui tujuan pelayanan kasih yang hendak dicapai oleh umat Stasi Ngrendeng.

4. Mengetahui sasaran pelayanan kasih yang hendak dicapai oleh umat Stasi Ngrendeng.

(21)

D. Manfaat Penulisan

Secara teoritis penulisan ini memberi manfaat kepada pihak Gereja dan

civitas akademika pada umumnya karena telah menawarkan sebuah refleksi teologis tentang pelayanan kasih umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam terang ensiklik Deus Caritas Est. Selain itu, ada beberapa manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini, yakni:

1. Sebagai sumbangan kritik dan tanggapan atas pola pelayanan para agen pastoral Stasi Ngrendeng.

2. Sebagai acuan bagi umat Stasi Ngrendeng untuk merefleksikan peran dan tanggung jawab mereka sebagai salah satu komponen penting Gereja yang turut mewartakan dan mewujudnyatakan kasih Allah.

3. Sebagai pewarta iman (calon guru agama atau katekis), penelitian ini bisa membantu penulis untuk lebih bersikap arif dan bijaksana dalam memberikan pendampingan kepada kaum awam.

E. Metode Penulisan

(22)

Penulis menggunakan 4 (empat) teknik pengumpulan data yakni studi kepustakaan, observasi, dokumentasi dan wawancara. Pertama, studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan penulis untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik pelayanan kasih awam kristiani. Semua informasi tersebut bersumber dari dokumen resmi gereja, buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah, peraturan-peraturan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber tertulis baik cetak maupun elektronik. Kedua, observasi adalah teknik pengamatan yang melibatkan seorang peneliti dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan responden. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengamati kegiatan pelayanan kasih umat Stasi Ngrendeng. Ketiga, wawancara mendalam yaitu memperoleh keterangan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan umat. Melalui teknik ini penulis hendak mengetahui dan merefleksikan partisipasi umat Stasi Ngrendeng dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Keempat, dokumentasi merupakan pelengkap metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian mengenai pelayanan kasih umat di Stasi Ngrendeng juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni.

F. Sistematika Penulisan

(23)

BAB II merupakan LANDASAN TEORITIS dari penelitin ini. Dalam keseluruhan bab ini penulis akan menguraikan tiga konsep penting yang menjadi fokus penelitian ini yakni arti refleksi, pelayanan kasih, dan awam kristiani. Selanjutnya penulis akan membahas secara terpisah bagaimana konsep pelayanan kasih dan awam kristiani dibahas dalam ensiklik Deus Caritas Est.

BAB III merupakan bagian METODOLOGI PENELITIAN yang menjadi panduan bagi penulis untuk melakukan kajian tentang pelayanan kasih di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng.

BAB IV merupakan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bagian ini – penulis menguraikan empat pokok bahasan penting mengenai partisipasi umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas pelayanan kasih, yakni (a) laporan penelitian berupa temuan umum dan temuan khusus, (b) pembahasan hasil penelitian, (c) analisis faktor internal dan eksternal pelayanan umat dengan menggunakan model analisis SWOT, (d) refleksi SWOT dan teologis atas hasil temuan penelitian, serta (e) usulan program untuk meningkatkan partisipasi umat dalam tugas pelayanan kasih.

(24)

9

LANDASAN TEORITIS

Dalam keseluruhan bab ini penulis akan menjelaskan secara gamblang arti dan batasan tentang refleksi, pelayanan (kasih) dan awam kristiani. Selanjutnya penulis juga membahas secara terpisah ensiklik Deus Caritas Est yang menjadi acuan bagi penulis untuk merefleksikan kegiatan-kegiatan pelayanan awam Kristiani secara khusus di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng, Paroki St. Yoseph Ngawi.

A. Refleksi

Refleksi dalam arti umum berarti meditasi yang mendalam, yang bersifat memeriksa. Meditasi ini berbeda dengan persepsi yang sederhana atau dengan putusan-putusan langsung, involunter mengenai suatu objek. Sedangkan refleksi dalam arti khusus berarti berpalingnya perhatian seseorang dari objek-objek eksternal, yang mendapat perhatian utama dalam soal-soal biasa, kepada kegiatan rohani sendiri dan kepada cara berada objek-objek tersebut. Karena itu konsep refleksi berpautan dengan konsep kesadaran (Behbehani, 2003:26)

(25)

ia sedang merefleksikan diri yang diekspresikan dalam kegiatan tersebut. Hanya dengan merefleksikan objektifikasinya sendiri dalam tindakan subjek dapat menjadi dirinya sendiri yang sesuai (Ricoeur, 1977:43-45). Refleksi atas diri juga dalam arti bahwa dalam cara mengetahui praksis, seseorang mulai dengan pengetahuannya sendiri yang bersifat membentuk, bersama cara seseorang membuat makna keluar dari tindakan yang mereka lakukan. Meskipun refleksi kritis mulanya terjadi atas diri sendiri, pada akhirnya akan bermuara pada konteks sosial yang dengannya diri memperoleh identitas diri. Seluruh konteks sosiokultural dengan norma-normanya, hukum-hukumnya, pengharapan-pengharapannya, ideologi-ideologinya, sturktur-strukturnya, dan tradisi-tradisinya membentuk tindakan masa kini bagi refleksi kritis para partisipan (Groome, 2010:270).

Dalam konteks Gereja Katolik, refleksi merupakan tindakan “mengumpulkan kembali” pengalaman yang telah dialami untuk kemudian

(26)

B. Pelayanan Kasih

Pelayanan merupakan buah tindakan (perbuatan) yang bersumber pada kasih. Sedangkan kasih sendiri sering dimaknai sebagai upaya untuk memberi dengan perasaan sayang. Tentang kasih Sujoko (2009:441) berpendapat bahwa masyarakat Yunani cenderung mengartikan kasih dengan tiga istilah yakni eros

(cinta birahi), philia (kasih persaudaraan), dan agape (kasih ilahi). Model kasih yang menjadi fokus perhatian penulis yakni, agape kasih tanpa pamrih dan bersifat altruistik. Sebuah model kasih yang bercermin pada kasih Allah.

Gereja Katolik menegaskan adanya dua aspek dasariah pelayanan yakni solidaritas dan penatalayanan. Pertama, aspek solidaritas yang menekankan kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Solider berarti menjadi sesama bagi yang lain (the others), diantaranya fakir miskin, janda, pengamen, tunawiswa, kelompok LGBT, dan sebagainya. Solidaritas harus memiliki visi dan orientasi yang jelas, jika tidak maka orang akan mudah terjebak dalam aktivisme pelayanan semu. Misal saja, orang melayani sesungguhnya bukan terdorong oleh kasih melainkan karena ada kepentingan politik tertentu; dan atau bisa juga orang melayani bukan karena kebajikan iman tetapi karena sebuah kewajiban semata. Oleh karena itu visi dan orientasi semestinya bersumber pada kasih Allah, sehingga pelayanan kita bisa terarah terciptanya suasana bahagia dan damai.

(27)

supaya semua orang memperoleh bagian dari kebaikan bumi ini. Allah juga memberikan bermacam-macam karunia kepada manusia: kesehatan, akal budi, perasaan estetis, keterampilan, kekayaan, dan kekuatan untuk melengkapi manusia, agar manusia dapat menjalankan tugas sebagai pelayan yang setia dan bijaksana. Segala karunia tersebut harus bermanfaat untuk kesejahteraan sosial.

Kiprah pelayanan Gereja dalam pemberdayaan umat digolongkan menjadi tiga model pendekatan pelayanan, yakni: karitatif, reformatif, dan transformatif.

1) Pelayanan karitatif merupakan model tertua dari pelayanan Gereja yang sampai saat ini masih dilakukan. Jenis pelayanan ini sangat tepat dalam situasi darurat dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera. Misalnya bencana alam, bantuan kepada janda atau fakir miskin melalui pemberian beras, uang, dan sebagainya (Oentoro 2010:109)

(28)

3) Pelayanan transformatif lebih menekankan upaya Gereja meredifinisi kembali peran dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu “gerakan” yang terbuka bagi

pembaharuan. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia (Oentoro 2010:79-80)

C. Awam Kristiani

Istilah “awam” berasal dari terminologi Latin, yaitu laicus. Kata ini berasal

dari bahasa Yunani, yaitu laikós yang berarti rakyat, anggota umat. Kata laikós

berhubungan dengan laós, yang berarti rakyat, umat. Kata laós telah banyak dipergunakan untuk menunjukkan beberapa arti yang berbeda. Dalam Septuaginta, misalnya laós digunakan untuk menyebut “bangsa Israel”. Sedangkan Perjanjian

Baru mengartikannya sebagai “umat Israel yang berhadapan dengan bangsa -bangsa” atau sering pula digunakan untuk menyebut kelompok “umat Krisitani”

(Lalu, 2010:138).

(29)

semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau berstatus religius. Mereka terhimpun menjadi umat Allah dengan cara ikut berpartisipasi dalam mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, serta sesuai dengan kemampauan mereka melaksanakan tugas pelayanan Gereja di dalam dunia.

(30)

Esensinya Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pelayanan terhadap dunia dan masyarakat, maka kaum awam juga mempunyai tugas yang sangat hakiki bagi Gereja, yakni mereka harus menghadirkan roh dan semangat Kristus yang diberikan kepada Gereja itu di tengah masyarakat dan ikhwal duniawi, di mana mereka hidup dan bekerja. Inilah tugas sentral, dan bukan merupakan tugas sambilan dalam Gereja (Kirchberger, 2007:620).

Seturut pemahaman di atas―pertanyaan yang dapat diajukan berkaitan

dengan peran awam adalah bagaimana mereka menjalankan tugas pelayanan Gereja di dalam dunia dalam sifatnya yang khas? Konsili Vatikan II memberikan sebuah jawaban yang tegas yakni awam semestinya mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan mengambil bagian di dalam tugas Kristus, kaum awam menjalankan perannya dalam pelayanan seluruh umat Allah di dalam Gereja dan di dalam dunia (Tondowidjoyo, 1990:38-40).

1) Tugas imamat―yakni kaum awam bertindak sebagai pengantara untuk menyatukan Allah dan manusia, membawa Allah kepada manusia dan manusia kepada Allah. Tindakan keimamatan Kristus menekankan pada suatu pelayanan murni yang sungguh-sungguh diprakarsai oleh Kristus sendiri dalam diri kaum awam. Kristus sendirilah yang mengarahkan kaum awam dalam mengemban tugas dan pelayanannya di tengah-tengah dunia (Sairin 2002:21-22)

(31)

dengan Allah sendiri, orang yang setia pada pesan Allah, orang yang berani mewartakan Sabda Allah walau mereka diterpa oleh berbagai persoalan ketika mereka menyampaikan Sabda Allah kepada dunia.

3) Tugas rajawi―kaum awam menjadi tonggak yang siap sedia untuk mengabdi dan berpegang teguh pada perutusan Kristus di dunia. Implikasi dari tugas ini tentu mengharapkan kaum awam benar-benar menghayati panggilannya sebagai seorang pelayan yang mampu menaruh perhatian terhadap Gereja dan masyarakat.

Kristus menjadi asal dan sumber (dasar) seluruh pelayanan Gereja. Kesuburan pelayanan awam amat bergantung pada persatuan mereka dengan Kristus. Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama melalui partisipasi aktif dalam pelayanan kasih Allah. Dengan upaya ini kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana. Baik tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing terhadap cara hidup rohani. Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan, dan cinta kasih yang tiada hentinya.

(32)

dalam kegiatan liturgi (mengambil bagian dalam tugas imamat Kristus), kegiatan pewartaan (mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus), dan kegiatan penggembalaan anggota Gereja (mengambil bagian dalam tugas rajawi Kristus). Keterlibatan mereka dalam tugas-tugas ini hendaknya dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab, secara maksimal dan optimal, disertai usahanya untuk memupuk aneka keutamaan hidup (Prasetya, 2007:22-23).

D. Ensiklik “Deus Caritas Est”

Ensiklik merupakan surat yang bersifat agung dan universal. Sebuah teks resmi yang ditulis dalam bahasa Latin kemudian diterjemahkan ke pelbagai bahasa lain. Ensiklik ditulis oleh paus sebagai pimpinan Gereja Katolik yang tertinggi dan dikirim kepada para patriark, uskup agung, dan para uskup di seluruh dunia―bahkan terbuka untuk seluruh umat. Isinya tidak bersifat dogmatis atau

berisikan ajaran Gereja yang baru, tetapi terutama untuk lebih menggarisbawahi iman Gereja mengenai suatu tema yang aktual. Tujuannya adalah mengemukakan pokok-pokok penting dari ajaran Gereja, menganalisa suatu situasi khusus, atau menguraikan keteladanan seorang tokoh iman untuk diteladani.

(33)

terpisahkan antara kasih dan kenyataan cinta manusiawi. Bagian kedua berbicara secara lebih konkret tentang cara mengasihi sesama dalam setiap tugas pelayanan.

Dalam ensiklik DCE Art. 32-39, Paus Benediktus secara amat khusus menguraikan tentang pokok pikirannya mengenai “mereka yang bertanggung jawab akan pelayanan kasih Gereja”. Menurut Paus, subyek yang sesungguhnya

bertanggung jawab mengembang tugas pelayanan kasih adalah Gereja sendiri di segala tingkatnya―dari paroki, melalui Gereja setempat dan sampai pada Gereja

universal (art.32). Tentu yang dimaksudkan dengan Gereja di sini, adalah semua anggota umat Allah dalam Gereja Katolik baik yang tertahbis (hierarki, biarawan/biarawati) maupun non tertahbis (kaum awam). Kepada setiap anggota Gereja yang bertanggung jawab akan tugas pelayanan kasih tersebut, Paus mengingatkan agar senantiasa menjadikan Kristus sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugas pelayanan kasih Gereja.

Dalam artikel 33, Paus menulis demikian:

Mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih. Konsekuensinya, lebih daripada yang lain, mereka harus menjadi pribadi yang digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi-pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh Kristus dengan cintaNya sehingga tumbuh dengannya kasih akan sesama.

(34)

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara mengungkapkan (mewujudkan) kasih Kristus itu kepada sesama? Agar sesama betul merasakan kebaikan Allah dan keindahan kasih Kristus dalam hidupnya. Menurut Paus Benediktus, ada dua keutamaan yang dinilai sebagai cara yang tepat untuk mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama, yakni keterbukaan batiniah dan ketulusan hati (art. 34).

Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas (universalitas) Gereja, mendorong umat untuk berkarya dalam kesatupaduan dengan sesama pelayan dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan hidup manusia (art. 34). Tidak efektif jika setiap orang berjuang sendirian dalam mengembangsuburkan harapan Gereja. Kerja bersama selalu memungkinkan orang untuk saling mengawasi dan memperjuangkan harapan untuk menjadikan dunia ini diselubungi kasih Kristus.

Sedangkan ketulusan hati dalam melayani merupakan suatu sikap peduli terhadap kebutuhan dan penderitaan sesama. Khusus bagi mereka yang peduli pada sesama, Paus berpesan agar mereka harus memberikan kepada sesama tidak saja sesuatu yang dari miliknya, namun memberikan dirinya sendiri. Artinya mereka harus secara personal hadir dalam kesulitan hidup sesamanya (art. 34). Paus berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam posisi menolong sesama perlu menyadari bahwa dengan memberi, dia sendiri akan menerima imbalan setimpal dari Allah―yang disebut sebagai rahmat yang patut disyukuri dan diamalkan (art.

35).

(35)

Benediktus. Ada dua arti penting doa yang dikemukakan Paus dalam ensiklik tersebut. Pertama, doa merupakan sumber kekuatan dalam pelayanan. Dalam pelayanan, selalu ada kemungkinan untuk berpaling pada ideologi lain yang menyenangkan, dan kadang itu berseberangan dengan harapan dan tujuan Gereja (art. 36-37). Ini yang sering dinamakan dengan godaan, hambatan, atau tantangan dalam pelayanan. Dan benar bahwa Gereja senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam aneka godaan atau tantangan. Sadar akan hal demikian maka Paus menyerukan kepada semua umat beriman untuk selalu mengutamakan doa dalam kesehariaan hidupnya. Karena melalui doa, setiap orang akan menimba kekuataan dari Allah dalam diri Kristus dan mampu menghadapi cobaan apa saja dengan baik.

Kedua, doa sebagai sarana yang dapat mempererat jalinan relasi dengan Allah. Paus Benediktus berpendapat bahwa di tengah kenyataan aktivisme dan berkembangnya sekularisme di kalangan umat Kristiani yang terlibat dalam karya karitatif, doa adalah sarana yang mampu mengarahkan orang pada Allah. Allah menjadi titik mulai dan titik akhir pelayanan. Karena itu relasi yang intim dengan-Nya perlu dijaga dan dihidupi. Hal ini hanya bisa terjadi dalam aktivitas doa. Sebab suatu relasi pribadi dengan Allah dalam doa, dapat menyelamatkannya agar tidak jatuh menjadi kurban ajaran yang menumbuhkan fanatisme berlebihan (art 36-37).

(36)

pada gugatan akan eksistensi Allah. “Mengapa Allah tidak berpihak pada saya, dan membiarkan saya sendirian berjuang?” Seperti Ayub yang berkeluh kesah di

hadapan Allah tentang adanya penderitaan di dunia yang tak terpahami dan terasa pula tidak adil (art. 38).

Terhadap kondisi semacam ini, Paus menyerukan kepada setiap umat Kristiani agar senantiasa memiliki ketahanan dalam iman. Apapun tantangan yang dihadapi, orang mesti tetap beriman pada Allah. Iman yang murni selalu akan ditempah dalam tanur api tantangan, semisal penderitaan dan sebagainya. Keteguhan iman pada Allah yang militan, selalu akan teruji dalam setiap tantangan hidup. Iman kepada-Nya selalu menuntut keyakinan untuk percaya bahwa Allah adalah daya dan kekuatan dalam hidup. Segala sesuatu ada di muka bumi ini terjadi berkat daya dan penyelenggaraan-Nya.

Mengasihi sesama sebenarnya sama dengan mengasihi Allah. Semua kasih sejati pada hakikatnya ialah kasih Allah. Inilah kasih manusia yang mempersatukan dirinya dengan Allah. Begitu ia mulai mengasihi sesama, Allah menjadi hidup di dalam dirinya. Santo Agustinus mendalami ide ini dengan membalikkan perkataan Yohanes “Allah adalah Kasih,” menjadi “Kasih adalah Allah.” Nilai pelayanan

(37)

22

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini penulis menguraikan metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, metode penelitian, subyek penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, keabsahan data, dan teknik analisis data. Penggunaan metode ini bertujuan untuk merefleksikan pelayanan kasih awam kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

A. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data interaksi sosial. Penelitian kualitatif merupakan salah satu metode penulisan yang dipakai untuk mendeskripsikan data tertulis dan mengungkapkan suatu masalah secara faktual dan akurat. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang tidak dapat diukur dengan angka. Tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah hendak memperoleh gambaran seutuhnya mengenai refleksi pelayanan kaum awam dalam mengemban tugas pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est.

(38)

penelitian yang dipakai untuk mendeskripsikan data tertulis dan mengungkapakan suatu masalah atau keadaan secara faktual dan akurat. Hal senada juga ditegaskan Gulo (2005:13) bahwa metode ini dapat digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu peristiwa yang pernah terjadi.

David Williams (1995) dalam Moleong (2007:5) menegaskan lebih lanjut bahwa penelitian kualitatif merupakan pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang “Refleksi Pelayanan Kasih Awam Kristiani Dalam Terang Ensiklik Deus Caritas Est” dilaksanakan di Stasi Sta. Maria Assumpta

Ngrendeng, Paroki St. Yoseph Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu terhitung sejak tanggal 21 Agustus―4 September 2016.

1. Lokasi Penelitian

(39)

yang secara kasat mata menampilkan sikap apatis terhadap urusan-urusan rohani. Itulah sebabnya penulis merasa tertarik untuk meneliti semangat pelayanan umat di Stasi Ngrendeng. Faktor teknis lainnya adalah penulis punya sebagian keluarga besar yang berdomisili di stasi tersebut dan sebelumnya penulis juga pernah melakukan penelitian mini sana. Hal-hal demikian tentu sangat membentu penulis untuk membangun komunikasi yang intens dengan para responden.

2. Waktu Penelitian

Penetapan waktu penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa data-data yang diperlukan untuk melengkapi kevaliditasan data. Subyek penelitian yang diwawancarai oleh penulis pun merupakan orang-orang yang sudah mempunyai kriteria sesuai harapan penulis. Memilih orang-orang yang dapat direpresentasikan di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng bertujuan supaya mencapai validitas data. Maka dari itu, berdasarkan prinsipnya penetapan waktu penelitian sesuai dengan target waktu yang direncanakan sebelumnya oleh penulis.

C. Subyek Penelitian

(40)

pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Lincoln dan Guba (1985) dalam Sugiyono (2007:301) mengemukakan bahwa penentuan sampel dalam penelitian kualitatif (naturalistik) tidak didasarkan pada statistik. Sampel dalam penelitian kualititatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk kebutuhan generalisasi.

Sebagai sebuah penelitian kualitatif, penulis menentukan subyek penelitian dengan cara purposive sampling. Teknik ini juga sering disebut sebagai judgement sampling, secara sederhana diartikan sebagai pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Satori, 2007:6). Ciri-ciri khusus purposive sampling

menurut Lincoln dan Guba dalam Sugiyono (2007:301) yakni sebagai berikut: (a)

adjustment emergent sampling design; (b) serial selection of sample; (c) continous

or focusing of the sample; dan (d)selection to the point of redundancy.

Penulis menilai bahwa purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel yang cocok karena respondennya harus benar-benar orang yang mengetahui topik penelitian ini yakni mengenai pelayanan kasih awam kristiani. Untuk menentukan subyek penelitian yang potensial, penulis melakukan beberapa tahap kegiatan berikut:

(41)

2) Mendatangi rumah Ketua Stasi untuk menyerahkan surat izin penelitian sekaligus berkoordinasi untuk menentukan tokoh-tokoh yang termasuk dalam kriteria penulis yang layak dijadikan subyek penelitian.

3) Setelah berkoordinasi dengan Ketua Stasi penulis mendapatkan nama-nama responden yang pantas untuk diwawancarai sebagai subyek penelitian.

Beberapa pertimbangan penulis dalam menentukan subyek penelitian, antara lain: (a) responden adalah orang katolik dewasa (18 th ke atas) yang aktif dan terlibat dalam kehidupan menggereja; (b) responden adalah fungsionaris lingkungan/stasi/paroki baik yang aktif maupun tidak aktif lagi dalam mengemban tugas pelayanan gereja; dan (c) responden adalah tokoh umat yang tahu dan memahami perkembangan iman umat di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng. Berdasarkan kriteria tersebut penulis mendapat 5 (lima) subyek penelitian dari 39 orang Katolik yang berdomisili di stasi tersebut. Latar belakang responden juga bervariasi mulai dari tokoh umat yang sudah sepuh sampai orang muda. Mantan Ketua Stasi dan Ketua Stasi yang sedang bertugas dinilai sebagai responden yang potensial.

(42)

wawancara dengan kelima responden tersebut, penulis juga berusaha melakukan uji validitas data dengan wewancarai beberapa umat (secara random).

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dalam suatu penelitian. Sugiyono (2009:225) menjelaskan bahwa pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penulis menggunakan ketiga teknik tersebut dalam mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini.

1. Observasi

Kusuma (1987:25) menjelaskan bahwa observasi merupakan pengamatan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain. Adapun jenis-jenis observasi dalam penelitian antara lain observasi terstruktur, observasi tak terstruktur, observasi partisipan, dan observasi non-partisipan. Observasi partisipan merupakan teknik pengamatan yang melibatkan seorang peneliti dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan responden. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengamati kegiatan pelayanan umat di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng. Selain itu observasi awal juga bertujuan untuk mengetahui jabatan, tugas/kegiatan, alamat, nomor telepon calon responden sehingga mudah untuk mendapatkan informasi.

(43)

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara terdiri dari tiga macam, yakni: wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi (Sulistyo-Basuki, 2006:173). Sebelum melakukan wawancara mendalam, penulis akan menjelaskan sekilas mengenai gambaran penelitian yang terdiri dari latar belakang, tujuan dan output penelitian ini. Untuk menghindari terjadinya kehilangan data, maka penulis akan meminta izin kepada responden untuk merekam hasil percakapan.

Penulis menanyakan langsung kepada responden dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan dengan baik dan relevan. Wawancara dilakukan secara terbuka. Dalam proses wawancara tersebut, penulis mewawancarai beberapa fungsionaris paroki dan awam yang mengetahui secara baik tentang peran dan tanggung jawab kaum awam dalam tugas pelayanan kasih. Responden diminta untuk memberikan tanggapan dan mengungkapkan gagasan berdasarkan beberapa pertanyaan yang disiapkan. Umumnya pertanyaan yang disiapkan selalu berhubungan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan.

3. Studi Kepustakaan

(44)

naskah, dokumen yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1983:420). Lebih lanjut Sugiyono (2012:291) menegaskan bahwa studi dokumen sangat penting dalam melakukan penelitian, karena sebuah penelitian pada prinsipnya tidak lepas dari literatur-literatur ilmiah. Sadar akan hal ini maka sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah mendalami dan memahami beberapa konsep dasar mengenai pelayanan kasih, kaum awam, dan surat ensiklik Deus Caritas Est

melalui buku, kamus, ensiklopedia, surat kabar, majalah, dan artikel online.

4. Dokumentasi

Sugiyono (2009:240) menjelaskan dokumen sebagai kumpulan catatan-catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya dokumentasi dari seseoang. Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, peraturan kebijakan. Dokumen yang bergambar misalnya foto-foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa gambar, patung, film, dan sebagainya. Hasil penelitian akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni.

E. Instrumen Penelitian

(45)

oleh subyek penelitian sehingga terdapat keseimbangan antara penulis sebagai orang dalam dan orang luar.

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara, karena dalam proses pengumpulan data menekankan pada wawancara mendalam terhadap responden untuk mendapatkan pemahaman mengenai partisipasi mereka (sebagai awam kristiani) dalam mengemban tugas pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

1. Kisi–kisi Instrumen

Fokus Aspek Indikator Butir

(46)

- Pihak-pihak yang terlibat

- Menyadari tugasnya masing-masing sebagai angota Gereja

- Semua warga Gereja saing bahu-membahu utnuk menolong

2. Butir Pertanyaan

1) Apakah arti pelayanan kasih Kristus?

2) Bagaimana cara Anda memahami dan menghayati pelayanan kasih dalam kehidupan sehari-hari?

3) Jenis kegiatan pelayanan seperti apa yang pernah Anda lakukan?

4) Menurut Anda, kira-kira jenis pelayanan sosial apa saja yang pernah Anda temukan di stasi ini?

5) Apakah ada pengobatan gratis bagi orang-orang sakit di Stasi Ngrendeng? 6) Bagaimana cara menolong lansia yang sudah tidak bisa ke Gereja? Apakah

Anda pernah (dan setia) mengirim komuni untuk mereka?

7) Berdasarkan refleksi Anda, adakah tujuan di balik semua tindakan pelayanan Anda?

8) Sejauh pengamatan Anda, apa saja tujuan dari kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh pihak Gereja?

9) Apakah Anda pernah merasa jenuh dan menilai pelayanan ini semata sebagai kewajiban?

(47)

F. Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan uji validitas dan reliabilitas. Validasi data dilakukan untuk mengukur derajat kepercayaan atau ketepatan data. Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan dengan triangulasi data hasil penelitian, yaitu penulis akan mengkonsultasikan ulang sumber data yang telah dianalisis kepada responden, pembimbing dan pihak ketiga yang memiliki expert opinion. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong 2008:330) Sedangkan uji reliabilitas akan dilakukan sebagai proses audit terhadap data-data penelitian yang dihasilkan. Proses ini dimulai dari menentukan masalah/fokus penelitian, memasuki lapangan, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan yang punya pembuktian kuat.

G. Teknik Analisis Data

(48)

menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan, dan umumnya dalam bentuk teks naratif (Sugiyono 2012:249). Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification), pada tahap ini penulis berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi (Sugiyono 2012:252).

(49)

34

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini penulis menguraikan empat pokok bahasan penting mengenai partisipasi umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas pelayanan kasih, yakni (a) laporan penelitian berupa temuan umum dan temuan khusus, (b) pembahasan hasil penelitian, (c) analisis faktor internal dan eksternal pelayanan umat dengan menggunakan model analisis SWOT, dan (d) refleksi teologis atas hasil temuan penelitian.

Penulis memawancarai 5 responden terpilih yang masing-masing mewakili kelompok umur dan posisi/jabatan dalam struktur organisasi stasi. Responden pertama (R1) adalah tokoh umat yang pernah menjabat sebagai Ketua Stasi Perdana. Responden kedua (R2) adalah tokoh umat Stasi Ngrendeng. Responden ketiga (R3) adalah Ketua Stasi yang bertugas saat ini. Responden keempat (R4) adalah perwakilan orang dewasa. Sedangkan responden kelima (R5) merupakan perwakilan kelompok orang muda.

A. Temuan Umum

(50)

mengumpulkan data-data primer melalui observasi awal (23-28 Mei 2016) dan wawancara (21-28 Agustus 2016).

1. Kondisi Geografis

Wilayah stasi Ngrendeng terletak persis di bagian utara kawasan Gunung Lawu. Stasi tersebut berada di wilayah Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Berdasarkan administrasi Gerejawi bagian timur berbatasan dengan Hutan, bagian barat berbatasan dengan Stasi Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Stasi Ngrambe, dan bagian selatan berbatasan dengan Stasi Banjaran. Jika dilihat dari sudut pandang pemerintahan maka bagian timur berbatasan dengan hutan, bagian barat berbatasan dengan Desa Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Desa Sambirejo dan Desa Sumberejo, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Desa Girikerto.

Stasi ini hanya memiliki satu lingkungan. Ketika mengetahui hal ini - penulis awalnya tidak percaya karena umumnya sebuah stasi memiliki lebih dari satu lingkungan. Namun dari cerita beberapa responden penulis diyakinkan bahwa memang Stasi Ngrendeng hanya memiliki satu lingkungan. Alasannya karena wilayah Ngrendeng jauh dari Stasi Sine. “Dulu memang kita bergabung dengan

Sine. Namun karena terlalu jauh maka kami minta kepada Romo supaya Ngrendeng dimekarkan sebagai sebuah stasi. Karena alasan jarak dinilai masuk akal maka akhirnya kami mekar sebagai sebuah stasi sendiri.” [Lampiran 2, (1)]. Berdasarkan

(51)

adalah 14 km dan tidak ada transportasi umum antara Sine dan Ngrendeng membuat umat semakin sulit untuk mengikuti kegiatan keagamaan.

2. Kondisi Demografis

Berdasarkan data Stasi tahun 2015, umat Katolik di Stasi Ngrendeng berjumlah 39 orang yang terdiri dari 16 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Seturut data pekerjaan, sebagian besar umat Katolik di Ngrendeng bekerja sebagai buruh (58,3%) sedangkan 41,67% lainnya merupakan petani di sawah dan ladang. Meskip jumlah mereka masih sangat sedikit namun mereka tetap semangat melaksanakan berbagai kegiatan rohani di gereja. Dengan semua keterbatasan yang ada, mereka tetap bahu-membahu mempertahankan iman mereka kepada Kristus.

Sejauh pengamatan penulis, sebagaian besar umat yang saat ini berdomisili di Ngrendeng adalah kelompok orang dewasa (yang sudah berkeluarga) dan kelompok lanjut usia. Ketika beranjak dewasa dalam hal ini setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama, mereka akan memilih pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan tingkat atas dan kuliah. Begitu juga setelah selesai bersekolah, umumnya mereka memilih merantau - mencari penghidupan yang layak di daerah lain. Selain itu, ada pula yang meninggalkan kampung karena menikah dengan orang luar daerah.

3. Kondisi Sosial dan Budaya

(52)

yang menikah dengan orang Batak, namun kemudian dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Situasi kehidupan kemasyarakatan yang sangat kental dengan etnis Jawa memudahkan mereka untuk bersosialiasi satu terhadap yang lain. Solidaritas menjadi satu ciri masyarakat yang homogen. Orang bisa dengan mudah solider dengan sesamanya karena ada kesamaan budaya, bahasa bahkan agama. Poin ini akan muncul pada uraian-uraian selanjutnya mengenai spirit pelayanan kasih. Hal yang lebi khas nampak dalam keseharian masyarakat di Ngrendeng adalah semangat gotong-royong. Sense of homogenity menjadi motor yang mampu menggerakan orang untuk bisa saling membantu. Hemat penulis, ini menjadi salah satu poin kunci yang akan mendasari fondasi pelayanan kasih umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng.

Kebiasaan lain yang masih kental dengan kebudayaan Jawa yakni ritual kelahiran dan kematian. Berdasarkan adat Jawa, proses kehidupan selalu beriringan dengan tradisi. Nguri-nguri kebudayaan Jawa, melestarikan kebudayaan Jawa. Ritual ini dilakukan dengan doa-doa berbahasa Jawa. Masih banyak ritual inkulturatif lainnya yang sangat diminati oleh umat Stasi Ngrendeng. Salah satu alasan mendasar kenapa orang Jawa gampang menerima ajaran Katolik karena mengakomodasi kepercayaan-kepercayaan asali masyarakat Jawa dan menginkulturasikan dalam perayaan-perayaan sakramen.

4. Visi dan Misi Stasi

(53)

Romo Katini, CM. Beliau membangun Stasi ini dengan sebuah visi utama yakni mempertangguh iman umat Ngrendeng agar semakin militan dalam bersaksi tentang Kristus dalam kehidupan bermasyarakat. Visi ini terlihat jelas dalam berbagai kegiatan misioner yang dilakukan Romo Katini seperti: (a) membaptis sebanyak mungkin orang yang hendak beriman pada Kristus, (b) rutin mengunjungi umat Katolik dari rumah ke rumah, (c) rajin mengadakan doa dan merayakan ekaristi bersama, (d) mangajari anak-anak berdoa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil bagian dalam ibadat dan perayaan sakramen, (e) mengaktifkan kaum muda dan orang dewasa dalam berbagai kegiatan rohani di stasi, dan (f) giat mendorong para Katekis untuk “turun ke bawah” untuk

memperkenalkan Kristus kepada umat.

Visi dan misi tersebut - menurut para responden sangat efektif menggerakan hati umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan menggereja. Namun lamban-laun, visi dan misi tersebut mulai diabaikan oleh para penerus Romo Katini.

Contoh konkret misalnya, romo sudah tidak rutin lagi mengadakan kunjungan di stasi. Secara tidak langsung tentu akan berpengaruh terhadap semangat umat. Umat di sini, suka membanding-bandingkan. Menurut mereka, romo sekarang malas - tidak seperti pendahulunya. Mereka lebih banyak berkunjung ke tempat-tempat yang dekat dengan paroki. Sedangkan kami yang jauh dari gereja paroki biasanya hanya sekali dalam sebulan. Nah umat akan rajin ikut ibadat atau misa kalau ada romo. Jangan harap mereka ikut ibadat sabda kalau pemimpinnya adalah seorang pro-diakon yang nota bene adalah awam seperti mereka. [Lampiran 5, (2)].

(54)

umat yang penulis jumpai. Bahkan penulis sendiri mengamati secara langsung selama masa penelitian, bahwa kondisi tersebut benar-benar terjadi di Stasi Ngrendeng. Meski demikian terdapat beberapa kesan positif yang penulis dapat baik dari hasil observasi maupun wawancara tentang praktik hidup rohani umat di Stasi Ngrendeng.

B. Temuan Khusus

Pada bagian ini penulis akan melaporkan beberapa temuan khusus yang diperoleh pada saat wawancara. Setidaknya terdapat empat hal penting yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yakni: (1) jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan umat Ngrendeng; (2) tujuan dari pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan umat Ngrendeng; (3) sasaran pelayanan kasih; dan (4) pihak-pihak yang terlibat dalam mengemban tugas pelayanan kasih. Namun penulis mengawali keseluruhan proses wawancara dengan bertanya tentang arti pelayanan kasih yang mereka pahami, terutama yang sudah mereka hayati selama ini.

1. Arti Pelayanan Kasih

(55)

a. Responden 1:

Sederhana saja – pelayanan itu berarti menolong siapa saja yang pantas mendapat pertolongan. Dalam konteks ajaran Katolik, yang saya pahami sejak kecil, melayani berarti memberi bantuan kepada orang yang berkekurangan – entah kurang perhatian; kurang kasih sayang; dan kurang pendampingan iman. Saya alami sendiri ketika bertugas sebagai fungsionaris stasi, ketika banyak umat datang dan meminta bantuan dari saya. Mulai dari kelompok umat – yang sekadar menyaringkan pengalaman hidupnya sampai pada mereka yang memang betul-betul memerlukan pertolongan material dan batiniah. Saya ladeni semuanya itu dengan sabar dan menjalaninya dengan tulus. Karena saya sadar bahwa ketika saya menerima tanggung jawab sebagai pelayan umat maka saya mesti jalani baik-baik. [Lampiran R1, (8)]

b. Responden 2:

Jujur, sebenarnya saya tahu tindakan melayani jauh sebelum saya mengenal ajaran Gereja Katolik tentang cinta kasih. Karena saya dididik dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun ketika saya mulai dibaptis dan mengenal lebih dekat ajaran-ajaran Katolik, saya makin sadar bahwa ternyata kultur yang dihidupi oleh keluarga selama ini cocok dengan ajaran Katolik. Dan menurut saya pelayanan itu adalah tindakan berbelas kasih kepada sesama dan memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. [Lampiran R2, (11)]

c. Responden 3:

Pelayanan itu adalah peduli terhadap sesama yang mengalami kekurangan. Maksud saya, pelayanan itu haruslah melampaui batas agama dan keyakinan. Saya bilang begini karena orang-orang dewasa ini lebih peduli pada diri sendiri. Kalau pun dia peduli pada orang lain, itu hanya khusus buat orang-orang di sekitarnya saja. Seperti keluarga, teman akrab, dan sebagainya. Sangat jarang kita jumpai orang yang peduli pada orang lain. Coba lihat saja sekarang, banyak rumah yang punya pagar yang tinggi-tinggi. Itu tandanya orang menutup diri. [Lampiran R3, (13)].

d. Responden 4:

(56)

lain. Peduli di sini macam-macam. Misalnya peduli terhadap orang yang berkekurangan secara material, peduli terhadap yang orang menderita sakit, peduli terhadap orang yang sedang kesepian dan sebagainya. Tanpa rasa peduli, tindakan pelayanan tidak bisa berjalan. Karena orang baru bisa melayani karena ada rasa peduli. [Lampiran R4, (15)].

e. Responden 5:

Pelayanan itu merupakan suatu tindakan kasih yang dilakukan tanpa pamrih oleh orang-orang yang berjiwa sosial dan memiliki ketulusan hati. Sekarang ini agak susah mencari orang yang bekerja tanpa pamrih,

mbak. Dulu kita sering dengar, guru itu - pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi tetap saja, minta gajinya dinaikan sana-sini sehingga ora ngurusin ngajar. Tapi syukurlah untuk urusan gereja, masih ada satu-dua orang yang bersedia berkorban.[Lampiran R5, (17)]

2. Jenis Pelayanan Kasih

Penulis bertanya kepada semua responden tentang jenis-jenis pelayanan kasih yang mereka ketahui dan mereka amati selama ini di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. Tanggapan dari masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden.

a. Responden 1:

(57)

b. Responden 2:

Kalau ada sesama yang sakit biasanya langsung direspons, dan tanggapannya macam-macam. Ada yang misalnya – datang menjenguk sambil beri penghiburan, ada yang bantu biaya pengobatan, ada yang membawa makanan, dan sebagainya. Hal lain misalnya – membantu sesama yang janda dan yang sudah tua. Selain itu juga, kalau ada sesama yang mengalami musibah kematian, langsung mendapat respons cepat dari sesama. Khusus untuk umat Stasi Ngrendeng, ada kesepakatan agar bahu-membahu menolong keluarga yang berduka. Mulai dari mendoakan arwah yang meninggal sampai mengurus pemakamannya. Termasuk menghadiri doa atau ibadat peringatan kematian. [Lampiran R2, (11)]

c. Responden 3:

Kalau saya melihat, sebenarnya ada banyak jenis pelayanan yang sudah dilakukan di stasi ini. Pelayanan untuk orang sakit, pelayanan untuk para janda, pelayanan untuk anak-anak (PIA), pelayanan untuk orang muda, dan lain-lain. Namun yang berjalan baik selama ini baru pelayanan untuk anak-anak dan pelayanan sakramen orang sakit. Dua kegiatan itu yang selalu rutin kita lakukan. Selain itu kita juga masih rutin melaksanakan doa atau ibadat bersama, meski tidak semua orang di stasi ini terlibat aktif. Misalnya doa rosario, novena pentekosta, doa lelayu. [Lampiran R3, (13)]

d. Responden 4:

Berdasarkan cerita orang tua dulu – katanya mereka sering berkumpul untuk berdoa bersama. Kesempatan untuk berdoa itu selalu mereka pakai untuk bercerita dan berbagi pengalaman hidup. Lama-kelamaan hubungan persaudaraan itu tumbuh dan semakin kuat terjalin. Tentu rasa solider satu terhadap yang lain dengan sendiri muncul saat ada yang mengalami masalah atau musibah. Misalnya saat ada tetangga yang mengalami musibah kecelakaan atau lelayu biasanya langsung mendapat respons yang baik dari sesama yang beragama Katolik. [Lampiran R4, (15)]

e. Responden 5:

(58)

rumah, dan sebagainya. Namun ada pula yang kerap membutuhkan bantuan dalam hal-hal rohani seperti doa mohon kesembuhan dari sesama, doa lelayu, doa mohon keberhasilan, dan sebagainya. [Lampiran R5, (17)]

3. Tujuan Pelayanan Kasih

Penulis bertanya kepada semua responden tentang tujuan pelayanan kasih yang mereka ketahui. Tanggapan dari masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden.

a. Responden 1:

Sederhana sekali kalau ngomong soal tujuan pelayanan, yakni membantu sesama yang berkekurangan. Kalau saya lihatnya sih seperti itu. Tapi setiap pelayanan tentu punya tujuan yang berbeda-beda. Misalnya, melayani sesama yang sakit - tujuannya biar dia sembuh; menghibur sesama yang menderita - tujuannya biar dia tidak cepat putus asa dan punya semangat untuk berjuang; serta menolong sesama yang

galau dengan imannya tentu akan sangat membantu mereka untuk lebih setia dan tetap percaya pada Yesus. [Lampiran R1, (9)]

b. Responden 2:

Tujuannya bisa macam-macam. Pelayanan untuk anak-anak bertujuan meningkatkan iman mereka dan mendekatkan mereka pada Tuhan. Kalau pelayanan untuk orang sakit tentu bertujuan untuk memberi penghiburan kepada mereka, biar tidak cepat putus asa dan tetap bertekun dalam doa. Sedangkan pelayanan untuk orang muda bertujuan mendekatkan mereka dengan gereja. Namun dalam prakteknya, orang muda susah diberi pendampingan. Ini jadi tantangan buat gereja. [Lampiran R2, (11-12)]

c. Responden 3:

(59)

dirinya sampai lupa bahwa di samping kiri dan kanannya ada orang lain. Nah kalau orang sadar akan hal ini maka saya jamin deh pelayanan apa pun bentuknya bisa sukses. [Lampiran R3, (13-14)]

d. Responden 4:

Tujuannya agar makin banyak orang Katolik peduli pada sesamanya. Ingat, tidak semua orang punya nasib sama. Ada yang hidupnya serba berkecukupan; ada yang hidupnya pas-pasan; namun ada juga yang memang serba berkekurangan. Kondisi macam ini menurut saya butuh tindakan saling berbela rasah, agar tidak ada gap antara yang kaya dan miskin. Orang mesti peduli sehingga hidup terasa lebih harmonis. [Lampiran R4, (15-16)]

e. Responden 5:

Sebagai anak muda di stasi ini, terus terang saya prihatin dengan corak hidup kaum muda Katolik saat ini. Jarang terlibat dalam urusan-urusan rohani. Ketika diajak ikut doa lingkungan atau menghadiri misa, selalu saja ada alasan sana-sini. Tapi anehnya selalu ada waktu buat jalan-jalan ke mall atau nonton di bioskop. Karena itu ketika ditanya apa sih tujuan dari pelayanan - menurut saya, agar memberi kesadaran kepada anak-anak muda sehingga lebih giat ke gereja dan sebagainya. Menegnai cara menarik mereka untuk terlibat, saya kira ini yang masih jadi persoalan. Saya sendiri binggu bagaiman cara yang efektif. [Lampiran R5, (17-18)]

4. Sasaran Pelayanan Kasih

Penulis bertanya kepada semua responden tentang apa saja yang mereka ketahui tentang sasaran pelayanan kasih dalam gereja khusus yang dilakukan di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. Tanggapan dari masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden terkait hal ini.

a. Responden 1:

(60)

Tapi menurut saya, secara keseluruhan sasaran pelayanan adalah semua orang yang percaya pada Krsitus. [Lampiran R1, (9)]

b. Responden 2:

Sasaranya adalah semura orang. Tidak memandang darimana asal agama maupun latar belakang sosial dan budayanya. Menurut saya, pelayanan yang dilakukan itu mesti memberi manfaat kepada semua orang. [Lampiran R2, (12)]

c. Responden 3:

Fokus pelayanan selama ini masih tertuju pada sesama umat yang beragama Katolik. Mungkin karena kita minoritas jadi rasa solidaritas itu sangat kuat. Kita akan lebih senang membantu sesama kita daripada yang beragama lain. Ini contoh sederhana – misalnya, ada tetangga sebelah rumah yang mengalami kekurangan makanan, maka mereka akan lebih senang menceritakan kekurangan kepada tetangganya yang beragama Katolik dan mengharapkan bantuan dari mereka. Atau contoh lain, kalau ada kematian maka respons pertama yang muncul adalah menanyakan status agama keluarga yang mengalai musibah kematian. Jika agama sama maka reaksinya akan cepat, begitu pun sebaliknya. [Lampiran R3, (14)]

d. Responden 4:

Setahu saya pelayanan itu menyasar semua kelompok kategorial. Entah itu lansia, orang dewasa, anak muda, anak-anak, orang sehat maupun sakit, yang kaya maupun miskin. Namun masalahnya tidak semua aktivitas pelayanan selama ini belum tepat sasar. Bahkan ada yang sama sekali tidak dilaksankan secara baik. Alih-alih terima tanggung jawab jadi pemimpin atau petugas gereja namun sama sekali tidak paham tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan. Bila demikian maka otomatis dia juga tidak tahu apa sasaran targetnya dan tujuan yang hendak dicapai. [Lampiran R4, (16)]

e. Responden 5:

(61)

kaum muda. Pihak gereja perlu memikirkan secara serius cara yang efektif untuk mengajak anak-anak muda peduli pada urusan imannya. Meski ini menjadi tantangan yang sulit tapi tidak berarti kita harus menyerah. Kalau sosial media bisa bikin orang muda terpesona bahkan sampai tergila-gila, kenapa gereja nggak bisa? Cari tahu dong apa daya tariknya. [Lampiran R5, (18)]

5. Pihak yang Terlibat (Partisipasi Umat)

Penulis bertanya kepada semua responden tentang siapa-siapa saja yang selama ini terlibat aktif maupun pasif dalam urusan-urusan rohani. Tanggapan dari masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden terkait hal ini.

a. Responden 1:

Kondisi stasi – terus terang, pada hari minggu hanya ada ibu-ibu dan anak-anak. Sulit bagi kita untuk menjumpai orang muda pada hari minggu di stasi, apalagi pada saat doa atau ibadat di lingkungan. Nggak

tahu mereka ke mana. Biasanya mereka hadir di stasi hanya di waktu-waktu tertentu, misalnya Natal dan Paskah. Dan kalau pun mereka hadir, itu pun hanya formalitas. Sebab intensi utama mereka nampaknya bukan berdoa melainkan show fashion atau bertemu dengan teman-temannya. Tidak heran kalau mereka gampang beralih agama karena memang fondasi iman mereka tidak kuat. Tidak dipupuk sejak dini. [Lampiran R1, (9-10)].

b. Responden 2:

(62)

aspek penting dalam keseluruhan proses perkembangan iman umat. Tanpa itu umat pasti malas. Karena saya lihat kerja pengurus stasi akan tampak sia-sia kalau tidak mendapat dukungan dari para romo paroki. [Lampiran R2, (12)].

c. Responden 3:

Saya lihat pihak yang paling aktif menghayati arti pelayanan kasih adalah pengurus stasi dan kelompok ibu-ibu. Selama ini mereka bekerja dengan sangat loyal dan tulus. Semuanya karena digerakkan oleh iman. Meski tidak mendapat imbalan material namun mereka yakin Tuhan akan memberi imbalan yang pantas saat di Surga. Mereka selalu bersigap dalam situasi apa pun. Misalnya: saat ada yang sakit, mereka pasti akan bantu mendoakan atau bersedia menginformasikan kepada romo paroki untuk memberi sakramen penguatan; saat ada yang meninggal, mereka pasti akan mengurusi proses pemakaman; saat ada yang butuh surat administrasi, mereka selalu siap membantu. [Lampiran R3, (14)]

d. Responden 4:

Referensi

Dokumen terkait