13 2.1 Tindak Tutur
Pragmatik merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang ujaran, yaitu ujaran yang dilakukan seseorang untuk menyatakan apa yang dimaksudkan oleh seseorang dalam suatu tindak tutur, dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan merupakan dasar bagi analisis topik- topik lain di bidang ini seperti pranggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Tindak tutur menggunakan media bahasa sebagai sarana utama untuk mengungkapkan ide, saran, pendapat, dan perasaan secara lisan. Tindak tutur biasanya digunakan untuk melaporkan, menyatakan, mengkritik, dan meminta.
Menurut Djajasudarma (2012:53), tindak tutur (speech act) berkembang dalam analisis wacana dan merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara-pendengar atau penulis-pembaca serta yang dibicarakan. Sedangkan menurut Chaer dan Leonie (2010:50) tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan.
Tindak tutur merupakan teori yang mengkaji makna bahasa yang berhubungan pada tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya.
Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa tuturan merupakan sarana
untuk berkomunikasi dan tuturan bmemiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi yang nyata, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam komunikasi.
Yule (2014: 92-94) membagi tindak tutur menjadi 5 jenis yang memiliki fungsi umum, yaitu: (1)Deklarasi, jenis tindak tutur ini dapat mengubah dunia malalui tuturan, penutur memiliki peran sebagai institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu tuturan secara benar, (2)Representatif, jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu dan diyakini oleh penutur kasus atau bukan. Biasanya menyatakan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian, (3)Direktif, jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh lawan bicara melakukan sesuatu. Biasanya menyatakan apa yang diinginkan oleh penutur. Seperti memberi saran, perintah, permohonan, dan memesan, (4)Ekspresif, jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang disarankan oleh penutur. Biasanya disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi menyangkut pengalaman penutur, (5)Komisif, jenis tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan- tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur, Seperti janji, ancaman, penolakan, dan ikrar.
Menurut Leech (dalam Rahardi, 2005:50) menjelaskan bahwa konteks situasi tutur (speech situational contexts) harus mencakup beberapa aspek, diantaranya: (1)penutur dan lawan tutur, (2)konteks tuturan, (3)tujuan
tuturan,(4)tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan (5)tuturan sebagai produk atau hasil tindak verbal.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tuturnya. Konsep tersebut memperjelas bahwa pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
2.2 Makna Tindak Ilokusi Direktif
Chaer dan Leonie (2010:53) menyatakan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat perfomatif yang bersifat eksplisit. Tindak ilokusi berkaitan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Menurut Rahardi (2005:35) menyebutnya dengan tindak ilokusioner yang merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Sedangakn Rahardi (2005:35) menyatakan bahwa tindak ilokusi atau tindak ilokusioner adalah tindakan melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu.
Menurut Djajasudarma, direktif merupakan tindak ujar yang berfungsi membuat pendengar mengerjakan sesuatu seperti dalam anjuran, permintaan, atau komando (Djajasudarma,2012:74). Sedangakn menurut Searle (dalam Tarigan, 2009::43) disebutkan direktif dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimaknya. Misalnya: memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan dan menasehatkan. Dalan direktif cenderung termasuk kedalam fungsi kompetitif dan terdiri atas kategori-
kategori ilokusi yang kesopansantunannya negatif. Sedangkan Ibrahim (dalam Sendilatta, 2010:28-29) menjelaskan macam tindak ilokusi direktif sebagai berikut:
Suatu tindakan yang dituturkan untuk menimbulkan beberapa efek melaluitindakn penyimaknya atau mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitratutur. Namun, direktif juga bisa mengekspresikan maksud dari penutur sehingga ujaran yang diekspresikan menjadi alasan untuk bertindak tutur. Analisis tentang berbagai macam direktif adalah sebagai berikut:
a) Permintaan: meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoakan, mengajak, dan mendorong.
b) Bertanya: bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi.
c) Perintah: memerintah, menghendaki, mengkomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan.
d) Larangan: melarang dan membatasi.
e) Pemberian izin: menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengijinkan, melepaskan, memaafkan, dan memperkenankan.
f) Nasehat: menasehatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, dan menyarankan.
2.3 Fungsi-Fungsi Tindak Tutur Ilokusi
Dalam kehidupan sehari-hari tindak tutur ilokusi memiliki fungsi serta sangat berhubungan dengan tujuan sosial dalam menentukan atau memelihara sikap hormat. Leech (dalam Tarigan, 2009:40) mengelompokkan tindak ilokusi berdasarkan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari Pengelompokkan tujuan ilokusi menurut Tarigan terbagi dalam empat jenis, yaitu:
(1) Fungsi Kompetitif
Fungsi kompetitif merupakan tujuan tuturan yang bersaing dengan tujuan sosial dan tidak bertata krama. Dalam fungsi ini kesopansantunan memiliki sifat negatif dengan tujuan mengurai perselisihan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya tujuan-tujuan yang bersifat kompetitif ini dasarnya tidak sopan sehingga prinsip sopan santun sangat dibutuhkan untuk mengurangi sifat tidak sopan santun yang terkandung dalam tujuan itu. Misalnya: memerintah, meminta, menuntut sesuatu, mengemis, dan sebagainya. Namun pengelompokan fungsi ini dapat dilihat dari sisi kondisi atau sikap penutur saat menuturkan suatu kalimat tertentu.
(2) Fungsi Konvivial
Fungsi konvivial atau lebih sering disebut fungsi menyenangkan merupakan tuturan yang bertata krama. Tujuan ilokusi ini bersamaan atau bertepatan dengan tujuan sosial. kesopansantunan memiliki bentuk yang lebih positif dalam menunjukkan rasa hormat dengan mencari kesempatan untuk beramah-tamah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: menawarkan sesuatu, mengajak, mengundang, menyapa, mengucap terima kasih, mengucap selamat, mengucap syukur, memuji dan sebagainya. Pada fungsi ini pada hakikatnya
bersifat “sopan” namun kesopansantunan disini mempunyai bentuk yang lebih positif dalam mencari kesempatan bersikap hormat. Kesopansantunan yang positif mengandung makna menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan santun.
(3) Fungsi Kolaboratif
Fungsi kolaboratif atau lebih sering disebut dengan fungsi bekerja sama merupakan tuturan yang tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun tidak relevan. Tujuan ilokusi ini tidak mengacuhkan atau melibatkan tujuan sosial. Namun biasanya yang termasuk dalam fungsi ini berupa wacana tulis. Misalnya: menyatakan, melaporkan, mengumumkan sesuatu, memberikan informasi, mengajarkan, menyarankan, dan sebagainya. Kesopansantunan dalam fungsi ini sebagian besar tidak relevan dan lebih banyak berupa wacana tulis.
(4) Fungsi Konfliktif
Fungsi konfliktif atau lebih sering disebut dengan fungsi bertentangan merupakan tuturan yang tidak memiliki unsur kesopansantunan. Tujuan fungsi ini bertentangan atau bertabrakan dengan fungsi sosial. biasanya bertujuan menimbulkan kemarahan dan bersifat negatif. Misalnya: mengancam seseorang, menuduh, mengumpat, memarahi, menyalahkan, menjatuhkan hukuman, mengomeli, mengutuk, dan sebagainya. Fungsi ini diciptakan sengaja untuk menimbulkan atau menyebabkan pelanggaran.
2.4 Definisi Dakwah
Secara etimologis dakwah berasal dari bahasa arab dari kata da’wah sebagai bentuk masdar dari kata kerja da’aa-yad’uu-da’watan yang berarti mengajak, menyeru, memanggil, mengundang, memohon, dan mendorong seseorang untuk memeluk suatu keyakinan tertentu. Sedangkan secara terminologis banyak pandangan tentang pengertian dakwah, diantaranya sebagai berikut:
1) Menurut Syaikh Ali Mahfudz, mengatakan dakwah adalah suatu usaha memotivasi manusia untuk berbuat kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Amin, 2008: 5).
2) Menurut Endang Saifuddin Anshari, dakwah adalah segala aktivitas dan suatu usaha yang mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik menurut ajaran islam (Amin, 2008:5-7).
Beberapa pengertian dakwah secara subtansial terlihat sama, yakni suatu proses aktivitas yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah berbuat jahat (nahi mungkar) menurut ajaran islam dan mengikuti petunjuk Allah dan Rosulullah dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat. Namun dakwah tidak hanya suatu kegiatan penyampaian pesan saja, tetapi suatu usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling, dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah ke arah kualitas kehidupan yang lebih
baik. Karenanya dakwah seharusnya menyangkut tentang aktivitas atau usaha yang dilakukan dengan sengaja atau sadar, mengajak atau mendorong kepadajalan Allah dengan amar ma’ruf nahi mungkar, untuk mencapai cita-cita dari dakwah itu sendiri yaitu menuju kebahagiaan manusia di dunia-akhirat (Amin, 2008: 8).
Menurut Amin dalam Masmuh, Secara umum dakwah islam dapat dibagi menjadi tiga macam, diantaranya sebagai berikut: (1)dakwah bil lisan, yaitu dakwah yang dilakukan melalui lisan. Misalnya dengan ceramah-ceramah, khutbah, diskusi, nasehat, dan lain-lain. Dakwah seperti inilah yang sering disebut dengan komunikasi massa yang menggunakan media boardcasting publication (publikasi penyiaran) berupa radio maupun televisi, (2)Dakwah bin hal yakni dakwah dengan perbuatan nyata dimana aktivitas dakwah dilakukan dengan melakukan keterladanan dan tindakan amal nyata. (3)dakwah bil qalam, yakni dakwah melalui tulisan yang dilakukan dengan keahlian menulis dan kesenian yang dituangkan diberbagai media, seperti di surat kabar, majalah, novel, buku maupun internet (Amin, 2008:11-12).
2.5 Dakwah dalam Pertelevisian
Televisi merupakan sebuah media gabungan dari media dengar dan media gambar yang dapat bersifat informatif, hiburan, maupun mendidik. Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audiovisual. Televisi juga merupakan media yang tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga membentuk sikap permisa, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja maupun tidka disengaja. Dibandingkan dengan media massa lainnya, televisi mampu menyediakan berbagai informasi yang update dan menyebarkannya kepada khalayak umum.
Televisi dalam dunia komunikasi dapat dikatakan sebagai salah satu komunikasi massa yang bersif langsung dan terbuka. Rahmat (dalam eksputra) memaparkan bahwa komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditunjukkan
kepada sejumlah khalayak umum, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Saat ini televisi dapat dikatakan menjadi media komunikasi massa paling populer karena karakteristik televisi memiliki jangkauan siar yang luas (Kuswandi, 2005:34). Dalam menyelenggarakan komunikasi, televisi bukan lembaga perorangan melainkan melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks dan pembiayaan yang besar karena televisi hanya bersifat meneruskan transsiitory sebuah pesan-pesan dan tidak hanya didengar tetapi juga bisa dilihat
dalam gambar bergerak audio visual.
Televisi sebagai media massa merupakan jenis keempat yang hadir di dunia setelah kehadiran pers, film, dan radio. Televisi dapat mengubah dunia dengan terciptanya dunia baru bagi masyarakat sekitar dengan seluruh keunggulannya sebagai media. Kekurangan-kekurangan yang ada pada radio dan film tidak lagi dijumpai dalam penyiaran televisi. Disinilah televisi bersifat sangat penting untuk menjadi media dakwah. Aziz (dalam Atabik, 2013:194) menjelaskan bahwa dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indera-indera manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Pemakaian televisi dinilai sangat efektif sebagai media penyampaian pesan-pesan dakwah karena kemampuannya yang dapat menjangkau daerah yang sangat luas. Dakwah melalui televisi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti bentuk ceramah, sandiwara, film (FTV) maupun sinetron.
Sebagai media audio visual, televisi memiliki beberapa kelebihan, baik dari segi programnya maupun dari teknologi yang dimilikinya. Jika dilihat dari sudut pandang dakwah, media televisi memiliki berbagai kelebihan dan kekuatannya
seharusnya menjadi media dakwah yang efektif jika dikelola dan dipergunakan secara profesional. Selain itu media televisi juga memiliki relevansi sosiologis dengan masyarakat Indonesia yanag pada umumnya berada pada tahapan bering and watching, namun di sisi lain masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
islam merupakan sebuah peluang yang cukup besar untuk menjadikan media televisi sebagai alat untuk menyampaikan pesan agama melalui dakwah (Atabik, 2013:194-195).
Dakwah pada televisi sangat berbeda dengan dakwah yang dilakukan di radio. Terdapat beberapa perbedaan di dalamnya, diantaranya: menurut Kusnawan (dalam Zaini, 2015:12) mengemukakan dari gaya siaran di televisi memiliki karakter yang berbeda dibandingkan di radio karena pendakwah atau mubalig yang tampil di depan televisi harus terbiasa berdakwah di bawah sorotan cahaya lampu ber watt tinggi, di depan kamera, dengan peralatan studio yang canggih, sedangkan pendakwah di radio, cukup berdakwah dengan menggunakan peralatan audio yang canggih yang hanya menerima suara. Penikmat televisi perlu menonton dengan konsentrasi yang tinggi saat menikmati acara, sedangkan penikmat radio tidak perlu menonton, cukup mendengarkan sambil beraktivias apapun dapat mendengarkannya dan menikmatinya. Pendakwa di televisi perlu sekali memperhatikan penampilannya dalam hal ini tampil dengan penuh percaya diri, karena berdakwa di televisi akan dilihat oleh seluruh masyarakat secara serentak dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan pendakwah di radio yang tidak perlu memperhatikan penampilan karena penikmat radio tidak bisa melihat langsung pendakwah melainkan hanya bisa mendengar suara saja.
Dalam bertutur seorang pendakwah atau mubalig dalam menyampaikan tausiyah atau ceramahnya di televisi harus bisa menguasai forum, menguasai diri sendiri sebelum acara dimulai biasanya dilakukan oleh seorang ustad agar tidak gugup. Jika ia bisa menguasai dirinya maka ia akan mudah menguasai forum.
Seorang pendakwah perlu menatap sejumlah jamaah yang hadir dan menyapa penontonnya dengan ramah. Selama ceramah berlangsung seorang pendakwah harus berpijak pada tema yang sudah disiapkan tidak boleh melebar terlalu jauh dengan pembahas hal-hal yang tidak direncanakan. Tuturan seorang ustad atau pendakwah dalam sebuah acara di televisi akan disaksikan secara langsung oleh semua penikmat televisi oleh karena itu, ceramah yang menarik adalah ceramah yang disampaikan oleh pendakwah dengan nada yang naik turun, tidak dengan nada datar terus atau tidak tinggi terus-menerus dan dapat mengatur tempo, pendakwah hendaknya bisa mengatur tempo berbicara sehingga kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya terdapat jarak.