• Tidak ada hasil yang ditemukan

( 巴达维唐格朗 Gambang Kromong 乐器文化适应分析 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "( 巴达维唐格朗 Gambang Kromong 乐器文化适应分析 )"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang Jawa Barat

(巴达维唐格朗 Gambang Kromong 乐器文化适应分析)

Ba dá wéi táng gé lǎng Gambang Kromong Yuèqì wénhuà shìyìng fēnxī

Skripsi

Oleh

Cut Rizki Wulandari Muly NIM 120710049

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ABSTRACT

This tittle of this bachelor’s thesis is “Acculturation of Chinese culture and Betawi in Gambang Kromong Orchestra in Tangerang, West Java”. The aim of this study is to explain the process of acculturation and the result of the Betawi Chinese influence of Gambang kromong strain in Tangerang. Gambang Kromong is similar to the gamelan orchestra that combines Chinese musical instrument, such as sukong, tehyan, and kongahyan. There is strong Chinese influence on the instrument and songs that used in Gambang Kromong strain. The type of research that is used is the qualitative method. The data collecting technique used an observation and in depth interview. The result obtained are acknowledge Gambang Kromong in Tangerang grow and evolve based on acculturation Chinese culture and Betawi.

Keywords : Acculturation, Gambang Kromong, Culture, Society.

(3)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul "Akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang Jawa Barat". Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses akulturasi serta hasil pengaruh budaya Cina dengan Betawi dalam orkes Gambang kromong di Tangerang. Gambang Kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik Cina, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Pengaruh budaya Cina kental sekali terdapat pada instrumen serta lagu yang digunakan pada orkes Gambang Kromong. Jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah mengakui Gambang Kromong di Tangerang tumbuh dan berkembang berdasarkan akulturasi dan pengaruh budaya Cina dengan Betawi.

Kata Kunci : Akulturasi, Gambang Kromong, Budaya, Masyarakat.

(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah Subhana Wataala atas hadirat serta rahmat yang telah diberikan-Nya kepada penulis mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahap penyelesaian tugas akhir. Adapun tugas akhir yang diberi judul “Akulturasi Budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang, Jawa Barat” ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun Skripsi ini, tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada :

1. Dekan Fakutas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ketua Departemen Program Studi Sastra Cina; Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D yang memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis.

3. Sekretaris Departemen Program Studi Sastra Cina; Laoshi Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL yang memberikan petunjuk dan pengarahan selama masa perkuliahan hingga saat ini.

4. Dosen pembimbing I, Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si. yang telah dengan sabar membimbing, menasehati, serta memberikan bimbingan yang baik

(5)

kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir ini sehingga terselesaikan dengan baik.

5. Dosen pembimbing II, Laoshi Tengku Kasa Rullah Adha, S.S., MTCSOL.

Laoshi yang telah sabar membimbing dan susah payah membantu untuk menyelesaikan tugas akhir dalam bahasa Mandarin, dan juga telah memberikan semangat dan dukungan serta motivasi yang banyak dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. yang dengan sabar selalu memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis semasa perkuliahan hingga sampai pada saat ini.

7. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. atas pengarahan yang diberikan untuk penulis mulai dari masa perkuliahan sampai saat ini.

8. Ayahanda dan Ibunda tersayang, Ir. T. A. Hidayat Muly dan Ir. Mery Panjaitan yang selalu mendukung dan memberikan pertolongan kepada penulis baik moril maupun materil sehingga skripsi ini selesai.

9. Saudara-saudariku, T. Achryadi A. Muly, S.Sos dan Cut Vithya Muly yang selalu memberi memotivasi, semangat dan jahil selama proses pembuatan skripsi ini.

10. Sahabat terbaik, Myranda Rossiana, Tengku Amira Iswandari, Ramia Syuhada, Dimas Haldi Rinanda, Michelle Kenly yang selalu bawel dan tidak lelahnya selalu memberi semangat serta motivasi, memberi arahan dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan tidak lupa untuk selalu mengajak liburan dimasa-masa penulisan skripsi.

(6)

11. Teman-teman terdekat semasa kuliah, Hesti, Jenyfer Collins, dan Kartika Windy Lestari yang telah membantu, memberi semangat, dan bertukar pikiran kepada penulis semasa kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

12. Kakak Destiya Febrianti dan abang M. Erick Ruliyanto, yang dengan setia menemani dan sangat membantu dalam penelitian selama penulisan skripsi ini berlangsung.

13. Staff dan pegawai Program Studi Sastra Cina, kak Endang yang telah banyak membantu penulis daari awal perkuliahan hingga sampai saat ini.

Teman-teman Sastra Cina Stambuk 2012, kakak Annisa Sylviana Sikumbang, serta adek-adek sastra Inggris yang setia menemani selama pengerjaan skripsi ini berlangsung, Dian Mayasari, dan Syafrina Putri.

14. Informan yang telah memberikan waktu dan kesempatan serta memberikan ilmu kepada penulis, dan masyarakat yang berkenan untuk diwawancarai.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tentu jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan keterbatasan ilmu yang penulis miliki dan kurangnya pengalaman penulis. Maka dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritikan serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini, khususnya dalam bidang Sastra Cina. Semoga Allah SWT selalu memberikan anugerah dan keridhaanNya kepada kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Maret 2017 Penulis

Cut Rizki Wulandari Muly NIM. 120710049

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Klenteng Sejarah Tionghoa di Tangerang ... 12

Gambar 2 Boen Tek Bio (Museum Cina Benteng) ... 25

Gambar 3 Alat Musik Gambang Kromong ... 28

Gambar 4 Orkes Gambang Kromong ... 28

Gambar 5 Gambang ... 29

Gambar 6 Kromong... 30

Gambar 7 Pertunjukan Lagu Dalem Gambang Kromong ... 33

Gambar 8 Pertunjukan Lagu Sayur Gambang Kromong ... 34

Gambar 9 Gamelan atau Gambang ... 35

Gambar 10 Kromong... 36

Gambar 11 Kecrek ... 36

Gambar 12 Ningnong ... 37

Gambar 13 Gong dan Kempul ... 38

Gambar 14 Tehyang, Kongahyan, dan Sukong ... 39

Gambar 15 Gendang ... 40

Gambar 16 Bangsing atau Suling ... 41

Gambar 17 Tari Cokek ... 53

Gambar 18 Tari Tàgē (踏歌)... 54

Gambar 19 Busana Tari Cokek ... 55

Gambar 20 Busana Tari Cokek Masa Kini ... 56

Gambar 21 Busana Pemain Gambang Kromong ... 56

Gambar 22 Busana Penyanyi Gambang Kromong ... 57

Gambar 23 Sadariah ... 57

Gambar 24 Demang ... 58

Gambar 25 Kemeja Batik ... 59

Gambar 26 Kebaya Encim ... 61

Gambar 27 Kebaya Encim, Sarung, dan Sandal Betawi ... 62

Gambar 28 Pertunjukan Orkes Gambang Kromong ... 63

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI ... 8

2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1 Tinjauan Terdahulu ... 8

2.2 Konsep ... 9

2.2.1 Budaya Tionghoa ... 10

2.2.2 Budaya Betawi ... 10

2.2.3 Daerah Tangerang ... 11

2.3 Landasan Teori ... 13

2.3.1 Teori Akulturasi Budaya ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Metode Penelitian ... 16

3.1.1 Data dan Sumber Data ... 18

3.1.2 Dokumentasi ... 19

3.1.3 Wawancara ... 19

3.1.4 Teknik Analisis Data ... 20

BAB IV PROSES AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN BETAWI DALAM ORKES GAMBANG KROMONG ... 23

4.1 Masyarakat etnis Betawi di Tangerang ... 23

4.2 Masyarakat etnis Tionghoa di Tangerang ... 23

4.3 Gambang Kromong di Tangerang ... 26

4.3.1 Orkes Gambang Kromong ... 27

4.3.2 Tiga Jenis Lagu dalam Gambang Kromong ... 32

4.3.2.1 Lagu Pobin Gambang Kromong ... 32

4.3.2.2 Lagu Dalem Gambang Kromong ... 33

4.3.2.3 Lagu Sayur Gambang Kromong ... 34

4.3.3 Alat Musik Gambang Kromong ... 34 4.3.3.1 Tata Letak Alat Musik Gambang Kromong di atas

(9)

4.4 Akulturasi budaya etnis Tionghoa dan Betawi dalam orkes

Gambang Kromong di Tangerang ... 42

4.5 Daerah Penyebarang Gambang Kromong ... 43

BAB V PENGARUH BUDAYA TIONGHOA DALAM ORKES GAMBANG KROMONG DI TANGERANG ... 46

5.1 Pengaruh Tionghoa pada tiga jenis lagu Gambang Kromong .. 49

5.1.1 Pengaruh dalam lagu Pobin... 49

5.1.2 Pengaruh dalam lagu Dalem ... 50

5.1.3 Pengaruh dalam lagu Sayur ... 51

5.2 Tarian pada Gambang Kromong ... 52

5.2.1 Tari Cokek... 52

5.3 Busana pada orkes Gambang Kromong ... 56

5.3.1 Busana pada Laki-laki ... 57

5.3.2 Busana pada Perempuan ... 59

5.4 Pertunjukan orkes Gambang Kromong ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1 Kesimpulan ... 65

6.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72

LAMPIRAN I ... 72

LAMPIRAN II ... 74

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya merupakan gaya hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kata budaya diambil dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal dan budi manusia.

“kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta

‘buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’.

Maka Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai ‘daya budi’ yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.” (Koentjaraningrat, 2000:18)

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia, Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya manusia memiliki kebudayaan sebagai acuan dalam bertingkah laku.

Pengertian kebudayaan merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, agama, dan makna yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi (Mulyana, 2010:18).

(11)

Kebudayaan berpengaruh penting dalam suatu masyarakat. Budaya yang melekat dalam kehidupan suatu masyarakat dapat bercampur dengan budaya asing dan mengalami pencampuran budaya yang disebut akulturasi. “akulturasi merupakan proses sosial untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur kebudayaan asing kedalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri”. (Koentjaraningrat, 1990:248)

Akulturasi terjadi melalui kontak budaya yang mempunyai berbagai macam bentuk, salah satunya adalah kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa, teknologi, kemasyarakatan, agama, kesenian, maupun ilmu pengetahuan. Kontak sosial pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat, atau bahkan antar individu dalam dua masyarakat juga merupakan salah satu bentuk kontak budaya yang melahirkan suatu pencampuran budaya atau yang disebut akulturasi.

Pendapat Koentjaraningrat memberi pemahaman bahwa akulturasi merupakan proses sosial untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur kebudayaan asing kedalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan tersendiri dan mencontohkan pada sebuah kasus bahwa sejak dahulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku suku bangsa di muka bumi yang menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda dan sebagai akibatnya individu-individu dalam kebudayaan itu dihadapkan dengan kebudayaan asing.

(12)

Berbagai pendapat para ahli mengenai akulturasi dapat dipahami bahwa akulturasi lahir apabila kontak antara dua kebudayaan atau lebih itu berlangsung terus menerus dengan intensitas yang cukup. Seperti yang dikemukakan oleh Joyomartono (1991:41), “Akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan ini dapat terjadi dalam salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat pula terjadi di dalam kedua kebudayaan yang menjadi pesertanya.”

Akulturasi budaya juga dapat terjadi karena keterbukaan suatu komunitas masyarakat akan mengakibatkan kebudayaan yang mereka miliki akan terpengaruh dengan kebudayaan komunitas masyarakat lain. Selain keterbukaan masyarakatnya, perubahan kebudayaan yang disebabkan “perkawinan” dua kebudayaan bisa juga terjadi akibat adanya pemaksaan dari masyarakat asing memasukkan unsur kebudayaan mereka. Akulturasi budaya bisa juga terjadi karena kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan yang maju yang mengajarkan seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan. Hasil akulturasi ditentukan oleh kekuatan setiap kebudayaan.

Keberadaan berbagai kelompok etnis yang ada di Indonesia, tentu akan memunculkan akulturasi budaya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan memiliki budaya yang berbeda-beda, perbedaan budaya ini menciptakan bahasa, keyakinan, tradisi, dan kesenian yang berbeda di setiap wilayah yang berkaitan satu sama lain, sehingga digunakan untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Masing masing wilayah di Indonesia memiliki cara untuk melakukan ritual sesuai dengan budaya yang diturunkan oleh nenek

(13)

moyang. Dalam proses akulturasi, semua perbedaan akan berjalan beriringan dengan semua unsur persamaan yang mereka miliki sampai akhir budaya yang memiliki pengaruh kuat akan memainkan peran utama dalam proses akulturasi.

Demikian juga halnya proses akulturasi pada masyarakat Betawi di Indonesia. Akulturasi sudah lama terjadi dan terbentuk dalam komunitas etnik Betawi dengan Tionghoa, salah satu fenomena kebudayaan etnik Betawi dan Tionghoa ini adalah kesenian Gambang Kromong. Gambang Kromong dibudayakan oleh komunitas Cina Benteng yang berada di Tangerang.

Perangkat musik Gambang Kromong dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan. Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, terbuat dari kayu yang empuk bila dipukul, yang biasa disebut dengan kayu suangking, atau yang terbuat dengan huru batu. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah yang biasa disebut sepuluhpencon.

Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan Betawi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong.

Hingga saat ini, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat etnis Betawi maupun Tionghoa, pada acara perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tradisi kebudayaan Tionghoa mengarak replika Klenteng).

Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong.

(14)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengambil objek penelitian yang berkaitan dengan akulturasi atau pencampuran budaya Tionghoa pada kesenian Betawi dengan judul “Akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang Jawa Barat”.

Adapun pemilihan Tangerang sebagai lokasi pada penelitian ini, karena sebagian besar etnik Betawi dapat dijumpai di wilayah Tangerang. Penduduk Betawi yang awalnya bermukim di pusat kota Jakarta pun mulai berpindah ke wilayah Tangerang dikarenakan pesatnya perkembangan modernisasi di Jakarta.

Tangerang merupakan pusat komunitas Cina Benteng, yang merupakan komunitas yang berasal dari perpaduan antara suku Tionghoa dan suku Betawi. Cina Benteng merupakan komunitas di kota Tangerang yang hidup bersama-sama dalam perkampungan Cina, komunitas yang disebut Cina Benteng ini dipercaya sebagai keturunan Chen Ci Lung, anggota armada laut Admiral Cheng Ho yang mengarungi lautan dari tahun 1405 hingga tahun 1433, mereka mendarat di Teluk Naga, membaur dengan warga pribumi dan menikah dengan warga pribumi.

Perkawinan dan peranakan itu lah yang mereka sebut dengan komunitas Cina Benteng. (www.tangerangkota.co.id)

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian dengan hanya memfokuskan pada akulturasi kebudayaan Tionghoa yang bercampur dengan kesenian etnik Betawi, dan pengaruh budaya Tionghoa pada Orkes Gambang

(15)

Kromong Betawi di Tangerang. Data yang diperoleh adalah dari tinjauan kepustakaan dan wawancara dengan sumber yang terkait dalam penelitian.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang?

2. Apa sajakah pengaruh budaya Tionghoa dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan proses terjadinya akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi pada Orkes Gambang Kromong di Tangerang

2. Menjelaskan pengaruh budaya Tionghoa dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis,dapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai akulturasi maupun pencampuran didalam budaya Indonesia, khususnya di Tangerang, Jawa Barat. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk kajian mengenai akulturasi etnis Tionghoa pada etnis pribumi ataupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya dalam studi kebudayaan khususnya pengaruh budaya Tionghoa atau studi

(16)

kebudayaan Betawi. Penulis juga berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memperkaya konsep atau teori yang menyokong ilmu pengetahuan, memperdalam dan memahami khususnya kontak budaya Tionghoa dengan budaya Betawi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan penulis sendiri dan hendaknya menjadi sebuah topik bacaan yang menarik untuk masyarakat Indonesia baik keturunan Tionghoa maupun tidak.

Hasil penelitian ini juda diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bagi pembaca mengenai akulturasi atau pencampuran dan pengaruh dari budaya asing dengan budaya lokal, terlebih dari budaya Tionghoa dengan salah satu budaya pribumi yakni budaya Betawi. Kemudian hendaknya penelitian ini dapat menimbulkan kesadaran kita semua dalam hal pentingnya melestarikan menjaga, dan mengembangkan kebudayaan yang ada dalam bentuk apapun. Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan rujukan maupun referensi untuk penelitian-penelitian yang akan datang mengenai kesenian-kesenian etnis Betawi atau pengaruh dari budaya Tionghoa dalam budaya pribumi.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tinjauan terdahulu

Tinjauan pustaka merupakan penelusuran kepustakaan untuk mengidentifikasi makalah dan buku yang bermanfaat dan ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan serta merujuk pada semua hasil penelitian terdahulu pada suatu bidang. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, menyelidiki, dan mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Peneliti menemukan beberapa jurnal, skripsi yang isinya berkaitan dengan penelitian ini, adapun jurnal maupun skripsi yang berkaitan yaitu:

1. Nandita Eriska, 2008. Dalam jurnal “Sejarah perkembangan masyarakat Cina di pulau Jawa”. Menjelaskan tentang sejarah perkembangan masyarakat Cina yang masuk ke pulau Jawa.

2. Ali Abdul Rodzik, 2010. Dalam skripsi “Akulturasi budaya Betawi dengan Tionghoa, Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong”. Menganalisa tentang komunikasi antar budaya Betawi dan Tionghoa pada kesenian Gambang Kromong yang terfokus pada variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi.

3. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata kota Tangerang, 2005. Dalam jurnal “Kesenian Cidasane 2005: Menata relasi

(18)

kesenian dan pariwisata Tangerang”. Menjelaskan tentang kesenian Gambang kromong yang berada di kota Tangerang.

4. Poa Kian Sioe, 1949. Dalam artikel “Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di Jakarta” dalam majalah Pantja Warna, Juni 1949, 39.

Penelitian ini berguna untuk meningkatkan wawasan tentang pencampuran budaya Tionghoa kedalam budaya Betawi. Namun berbeda dengan penelitian yang ada sebelumnya, peneliti fokus pada unsur-unsur yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa dalam Orkes Gambang Kromong budaya Betawi.

2.2 Konsep

Akulturasi merupakan bagian bentuk perubahan dari kebudayaan yang dapat dilihat ataupun ditandai dengan adanya kontak dan interaksi antar budaya baik menerima maupun memberi yang sebelumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang membawa masing-masing kebudayaan tersebut, Sumandiyo Hadi (2006:35). Dalam suatu penelitian ini penulis mempunyai beberapa konsep yang mendukung penelitian ini. Menurut KBBI (2002: 588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa saja yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami suatu hal lain.

Pada sub bab konsep penulis menjelaskan tentang pencampuran budaya Tionghoa terhadap budaya Betawi dalam hal kesenian, yang terdapat pada Orkes Gambang Kromong. Ada pun konsep – konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(19)

2.2.1 Budaya Tionghoa

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan yang dibawa leluhur mereka yang berimigrasi ribuan tahun yang lalu. Dalam sejarah China kuno, dikatakan orang-orang Tionghoa merantau ke Indonesia pada akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang yang merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya dan banyak yang menetap di daerah pelabuhan termasuk Tangerang. Warga Tionghoa sangat sulit untuk keluar dari negaranya, untuk pergipun tidak diizinkan untuk membawa sanak saudara bahkan istrinya.

Sehingga warga Tiongkok yang datang ke Indonesia terutama daerah Batavia banyak yang memperistri penduduk lokal (perempuan yang umumnya mempunyai tempat tinggal tetap). Warga Tionghoa yang datang pun membawa serta bermacam kebudayaannya, dan juga unsur agamanya.

Warga Tionghoa mempunyai kebudayaan yang melekat amat kuat, sehingga penyebarannya sangat mudah di daerah Batavia, terutama Tangerang. Mereka yang menikah dengan wanita-wanita pribumi pun saling bertukar kebudayaan, sehingga terjadinya pencampuran budaya Tionghoa-Betawi keturunan ini pun disebut dengan Cina Benteng.

2.2.2 Budaya Betawi

Etnik Betawi merupakan sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya tinggal di Jakarta. Mereka yang mengaku sebagai orang betawi adalah keturunan kaum campuran dari berbagai suku bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia (Jakarta). Sejak pada zaman penjajahan, Jakarta, telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda, karena

(20)

lokasinya yang strategis dan dekat dengan jalur perdagangan dunia. Sehingga menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Dalam masa pembangunannya, Belanda banyak mendatangkan orang- orang dari luar Jakarta sebagai pekerja atau tenaga murah bahkan gratis yang dilakukan untuk pembangunan pusat pemerintahan Belanda di tanah air ini. Ini adalah awal perkembangan dari terbentuknya masyarakat Betawi. Suku Betawi merupakan hasil perpaduan dari bermacam-macam etnis dan kebudayaan, seperti halnya etnis Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu, dan para pendatang seperti Arab, India, Tionghoa dan Eropa. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dalam lingkup yang lebih luas baru muncul pada tahun 1923, saat tokoh masyarakat Betawi, Husni Thamrin mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi dan pada saat itu pula orang-orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Selain itu, budaya Betawi terjadi dari proses pencampuran budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang. Budaya Betawi banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Tiongkok, Portugis, Arab, dan India. Salah satu kebudayaan Betawi yang menyerap dari kebudayaan Tiongkok adalah Orkes Gambang Kromong, unsur Tionghoa dapat dilihat dari alat musik gesek Gambang Kromong, yaitu Tehyan, Kongahyan, dan sukong yang dipadukan dengan gendang, kecrek, dan gong yang merupakan unsur Betawi yang lama kelamaan mulai digemari oleh banyak masyarakat pribumi.

2.2.3 Daerah Tangerang

Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Tatar Pasundan Provinsi

(21)

Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta.

Gambar 1. Klenteng sejarah Tionghoa di Tangerang

(sumber: www.google.com)

Tangerang memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang signifikan. Banyak dari mereka merupakan komunitas Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Tangerang, ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme (sebuah aliran atau ajaran filsafat yang berasal dari Cina) yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa (sumber:

www.tangerang.go.id). Sedangkan nama "Cina Benteng" berasal dari kata

"Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai tempat pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan

(22)

Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Warga Betawi yang pada umumnya berdiam di Ibu kota Jakarta sebagian besar tersingkir oleh modernisasi ke kota Tangerang, banyaknya warga Tionghoa pendatang yang berkediaman di Tangerang memunculkan banyaknya pencampuran budaya Tionghoa kedalam budaya Betawi.

2.3 Landasan Teori

Suatu kajian atau analisis sudah sewajarnya memakai landasan teori tertentu, supaya penulis mudah menentukan langkah dan arah analisis. Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani Theoria yang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Merriam (1964:45) mengemukakan bahwa instrumen harus diukur, dideskripsikan, digambar dengan skala atau difoto, prinsip konstruksi, bahan pembuatan, motif dekorasi, metode dan teknik memainkannya dalam

(23)

pertunjukkan, wilayah nada, nada-nada yang dihasilkan dan tangga nada teoritisnya. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tugas ini penulis menggunakan teori berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini, dengan tema utama akulturasi budaya.

2.3.1 Teori Akulturasi Budaya

Teori Akulturasi budaya adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam pencampuran budaya, yang menekankan pada proses sosial dalam masyarakat.

Analisis akulturasi menjelaskan bagaimana masyarakat asal menerima datangnya budaya asing masuk kedalam budayanya tanpa menghilangkan budaya aslinya.

Mengenai akulturasi Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi (1979:247-248) mengatakan bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur dalam kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), akulturasi memiliki arti sebagai penyerapan yang terjadi dalam seorang individu atau sekelompok masyarakat terhadapt beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari interaksi kedua kelompok kebudayaan tersebut, dan akulturasi budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia dari berbagai kebudayaan secara perlahan menuju budaya yang baru.

(24)

Proses akulturasi budaya terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berinteraksi dan berhubungan dalam jangka waktu yang cukup lama dan kemudian saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan. Wujud dari akulturasi budaya merupakan salah satu hasil aktivitas yang dilakukan manusia dalam proses perpaduan budaya, maka dari itu dapat disimpulkan dengan teori Koentjaraningrat (2005:155) yang mengatakan bahwa akulturasi merupakan istilah dalam antropologi yang mempunyai beberapa makna (Acculturation, atau Culture Contact). Akulturasi sama dengan kontak budaya. Ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial yang timbul dengan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu sehingga menghasilkan kontak budaya baru, karena apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur unsur itu lambat laun di terima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.

Landasan Teori dapat memperkuat suatu penelitian, hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang dibuat bukan sekedar coba-coba, tetapi merupakan kegiatan ilmiah dalam mengumpulkan data, mengolah dan menyimpulkan data.

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode. Penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Hakekat penelitian dapat dipahami dengan mempelajari berbagai aspek yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, di antaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan penelitian secara umum pada dasarnya adalah sama, yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari keinginan manusia yang selalu berusaha untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi untuk melakukan penelitian.

Metodologi penelitian adalah cara ilmiah (rasional, empiris, dan sistematis) yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu untuk melakukan penelitian.

(Sujarweni: 2014:5).

Menurut Strauss dan Corbin (1997), penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).

(26)

Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga jenis, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi.

Dalam penelitian mengenai akulturasi atau pencampuran budaya Tionghoa terhadap budaya Betawi ini, langkah pertama penulis adalah dengan melakukan studi pustaka. Studi pustaka ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti dan mencari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek bahasan. Adapun sumber-sumber pustaka itu berupa buku, artikel, majalah, dan sejenisnya sebagai bahan keilmuan yang tertulis. Penulis juga memanfaatkan internet berupa website, youtube, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menambah wawasan keilmuan dan pemahaman penulis terhadap proses akulturasi dan pengaruh budaya Tionghoa ini, baik yang ada di negeri Tiongkok maupun penyebarannya di wilayah pulau jawa terutama di Tangerang.

Metode penelitian yang penulis gunakan didalam penulisan ini adalah penelitian kualitatif yang merupakan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara secara mendalam dengan beberapa informan yang merupakan narasumber etnis Tionghoa serta etnis Betawi asli. Tujuannya adalah untuk memahami secara rinci bagaimana proses dan pengaruh budaya etnis

(27)

Tionghoa didalam budaya Betawi pada permukiman Tionghoa-Betawi di Tangerang.

Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang, Jawa Barat yang saat ini terjadi.

3.1.1 Data dan Sumber data

Data merupakan sebagai bahan mentah yang diperoleh peneliti, dapat berupa fakta maupun keterangan yang dapat digunakan sebagai dasar analisis.

Data penelitian kualitatif bersifat deskriptif yaitu data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Penelitian ini dapat dilihat dari studi literatur yaitu buku-buku yang membahas budaya, akulturasi, kesenian Betawi dan Tionghoa.

Sumber data penelitian ini adalah orkes gambang kromong yang dipertunjukkan pada acara kesenian di Tangerang. Pertunjukannya terdiri dari 11 pemain gambang kromong, 3 orang penyanyi wanita, dan 1 penyanyi laki-laki.

Pertunjukan ini berlangsung selama kurang lebih 4 jam dengan pembukaan diiringi irama lembut lagu pobin, yang kemudian masuk kedalam sesi nyanyian pantun lagu dalem, dan kemudian dilanjut dengan lagu sayur yang merupakan lagu modern ciptaan Alm. Benyamin Syueb. Musik penutup terakhir ditutup dengan iringan musik pobin penutup. Acara kesenian yang diselenggarakan ini hanya berjalan 2 hari, yaitu pada akhir pekan di hari sabtu dan minggu keesokannya. Peneliti hanya sedikit mewawancarai para pemain orkes gambang

(28)

kromong tersebut dikarenakan oleh masalah keterbatasan waktu para pemain sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara dengan para pemain maupun penyanyi orkes gambang kromong. Namun penulis mendapatkan sumber data lain berupa foto, video, dan lagu pada pertunjukan orkes gambang kromong tersebut.

3.1.2 Dokumentasi

Penulis mengumpulkan data-data berupa dokumen terdahulu, foto-foto atau gambar, dan video yang diambil langsung selama pertunjukan orkes gambang kromong berlangsung di acara kesenian yang menampilkan orkes gambang kromong, buku-buku, jurnal, artikel, internet, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan penunjang penelitian yang dijabarkan dan kemudian disimpulkan.

Penulis merekan jalannya pertunjukan orkes gambang kromong dan mendapatkan dua jenis dokumentasi yang berbentuk foto atau visual, dan dalam bentuk video atau audiovisual. Penulis juga mendapatkan dokumentasi tambahan dari beberapa pihak yang mendukung penulisan ini dan media online atau internet.

3.1.3 Wawancara

Wawancara dilakukan agar penulis dapat berkomunikasi langsung dan mendapatkan informasi lebih dalam mengenai objek penelitian ini sehingga data yang diperoleh jelas dan tak dapat diragukan.

Adapun informan yang diwawancarai langsung yaitu:

(29)

1. Bapak Mustaya Natadirja, 77 tahun. Selaku pendiri sanggar dan pemilik yang memimpin grup orkes gambang kromong Sinar Budaya Centeh Manis, yang bertempat tinggal di Jalan Proklamasi Desa Cidasane, Kab.

Tangerang.

2. Satria, 20 tahun. Selaku anggota atau pemain alat musik orkes gambang kromong Sinar Jaya, yang bertempat tinggal di Tangerang Selatan.

Satria sudah bergabung dengan grup orkes gambang kromong dan memainkan alat musik gambang kromong selama 5 tahun.

3. Dewi, 29 tahun. Selaku penari dan pengajar tari cokek dalam orkes gambang kromong, bertempat tinggal di Tanjung pasir, Kec. Teluk Naga, Tangerang. Dewi sudah bekerja menjadi penari dan mengajar tarian cokek di daerah teluk naga selama 12 tahun.

4. Makmur, 60 tahun. Selaku pimpinan grup Lenggang Buana yang bertempat tinggal di perkampungan Kedaung Barat, Simpati RT/RW 01/02 Kec. Sepatan Timur kota Tangerang ini sudah memimpin grup Lenggang Buana selama 16 tahun.

5. Beberapa informan tambahan yang turut menyaksikan pertunjukan orkes gambang kromong dan masyarakat sekitar daerah Cina Benteng di Tangerang.

3.1.4 Teknik Analisis Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode library research

(30)

(penelitian pustaka) yaitu dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan Akulturasi dan kebudayaan dan metode field research (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber. Selain memanfaatkan literature, internet juga membantu pengumpulan data yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

Adapun teknik yang digunakan peneliti adalah analisis kualitatif. Data analisis dalam bentuk kata-kata, pertanyaan-pertanyaan, ide, dan penjelasan ide yang kemudian dikumpulkan dan disusun dalam teks yang diperluas dan dianalisis.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis yaitu:

1. Melakukan observasi ke pagelaran seni yang diadakan masyarakat Betawi di Tanjung Pasir kawasan Teluk Naga, Tangerang, Banten. Yang mempertunjukkan orkes Gambang Kromong.

2. Melakukan wawancara kepada pihak yang bersangkutan dan pimpinan pertunjukan orkes gambang kromong, dan beberapa masyarakat yang ikut serta menyaksikan dan mengetahui tentang orkes gambang kromong.

3. Melakukan wawancara pada salah satu pemain orkes gambang kromong yang telah mendalami kegiatan seni gambang kromong.

4. Melakukan wawancara ke salah satu sanggar orkes gambang kromong yang beralamat di Jalan Proklamasi desa Cidasane Kab. Kota Tangerang mengenai sejarah, perkembangan, pertunjukan, termasuk busana dan alat- alat musik yang terdapat pada gambang kromong.

5. Mengumpulkan data-data dari buku atau pustaka, artikel, jurnal, dan internet yang berkaitan dengan objek penelitian seperti budaya, akulturasi, kesenian,

(31)

6. Menganalisis, menyusun dan mengolah data tersebut secara sistematis menjadi kesimpulan yang jelas dan mudah dipahami, sehingga pembaca dapat mengerti dengan baik maksud yang ingin disampaikan oleh penulis.

(32)

BAB IV

PROSES AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN BETAWI DALAM ORKES GAMBANG KROMONG

4.1 Masyarakat etnis Betawi di Tangerang

Masyarakat betawi pada mulanya bermukim dan melakukan penyebaran di daerah Jakarta dan sekitarnya, dikarenakan oleh modernisasi di pusat kota Jakarta, kini etnis Betawi kebanyakan ditemui di pesisir Jakarta. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi dalam arti apapun juga tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, suku Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Hingga saat ini pada umumnya masyarakat Betawi banyak dijumpai di daerah Tangerang (Wikipedia.org). Etnis Betawi banyak didapati bermukim didaerah Cidasane, Kotamadia Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan sekitarnya.

4.2 Masyarakat etnis Tionghoa di Tangerang

Orang Tionghoa Peranakan yang secara turun-temurun bermukim di Tangerang dengan bangga menyebut dirinya Cina Benteng yaitu peranakan atau keturunan Cina yang memiliki kulit hitam dan mata yang tidak terlalu sipit. Pada perkembangan selanjutnya, terutama oleh orang di luar komunitas mereka, Cina Benteng bukan hanya digunakan untuk mengacu pada penduduk Tionghoa di kota Tangerang, melainkan juga penduduk Tionghoa di Kab. Tangerang, termasuk

(33)

Sewan, Kedawung Wetan, Selapajang, kampong melayu, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Lemo, Curug, Legok, Tigaraksa, Bayur, Sepatan, Kebon Baru, Cengklong, blimbing dan Kosambi. Cina Benteng juga dapat ditemui di beberapa kawasan yang termasuk dilayah DKI Jakarta, seperti jelambar, Kapuk, Kamal, Dadap, Tegal Alur, Rawa Lele dan Rawa Bokor.

Menurut hasil wawancara dengan narasumber, masyarakat Cina Benteng Tangerang saat ini merupakan generasi keenam atau ketujuh jika dihitung sejak awal kedatangannya di Indonesia. Karakteristiknya yang khas menjadikan mereka sebagai anti-stereotype dari etnis Cina di Indonesia pada umumnya atau biasa disebut dengan masyarakat yang taraf ekonominya rata-rata masih berada di bawah standard. Seperti realitas di lapangan, mata pencaharian umum yang digeluti oleh masyarakat Cina Benteng tidak jauh beda dengan penduduk setempat.

Meski ada beberapa yang sukses sebagai pedagang, namun sebagian besar warga Cina Benteng masih hidup sederhana, namun tidak sedikit di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Keunikan masyarakat Cina Benteng terletak pada perpaduan antara keteguhan dan sekaligus kelenturan. Mereka merupakan masyarakat yang teguh memegang adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan upacara sekitar seperti perkawinan, kehamilan, kematian, dan upacara hari-hari besar agama seperti, tahun baru Imlek, Cap Go Meh, Ceng Beng Peh Cun, dan lain sebagainya. Seperti halnya rumah-rumah warga Tionghoa pada umumnya, di dalam rumah-rumah mereka masih didapati altar leluhur sebagai ciri utama kebudayaan Tionghoa. Pada sisi yang lain,

(34)

masyarakat Cina Benteng merupakan masyarakat yang lentur. Hal ini ditunjukkan dengan proses amalgamasi, asimilasi, dan akulturasi dengan masyarakat dan sekaligus kebudayaan setempat.

Istilah “China Benteng” berasal dari kata “Benteng”, sebuah nama yang bermula dari keberadaan sebuah benteng Belanda di kota Tangerang, yakni yang berada di pinggir sungai Cidasane. Benteng Belanda tersebut dibangun sebagai pos pengamanan guna mencegah serangan yang datang dari Kesultanan Banten.

Dikaitkan dengan keberadaan Kesultanan Banteng, benteng tersebut merupakan benteng.

Gambar 2. Boen tek bio (Museum Cina Benteng)

(sumber: www.kompasiana.com)

Masyarakat Cina Benteng dengan seperangakat keseniannya senantiasa dihadapkan dengan perubahan sosial. Keberadaan musik dan alat musik modern dewasa ini merupakan perkembangan dari kemajuan kebudayaan umat manusia.

(35)

tradisional. Hal ini terlihat mulai punah dan kurang diliriknya kesenian tradisional masyarakat Cina Benteng seperti Gambang Kromong oleh generasi muda.

Padahal sebagai pewaris sejarah, generasi muda seharusnya bertindak dan bersikap untuk melestarikan kebudayaan warisan leluhur mereka.

Adanya faktor ekonomi yang menjadi salah satu alasan musik Gambang Kromong tetap bertahan karena musik Gambang Kromong saat ini dikomersilkan oleh berbagai kelompok. Akan tetapi, bayaran pada setiap tampil itu tergantung pada siapa yang tanggap atau yang menampilkan kelompok musik ini. Jika bayaran dalam menampilkan Gambang Kromong disamaratakan, maka kelompok musik ini tidak mendapat tambahan untuk semua keperluan yang menyangkut musik Gambang Kromong, dan tidak mendapat penambahan penghasilan bagi para pemain musik Gambang Kromong. Itulah sebabnya biaya dalam menanggap Gambang Kromong ini ditentukan pada siapakah yang menanggap.

4.3 Gambang Kromong di Tangerang

Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri dan di daerah sekitarnya (Jabotabek). Jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong (Ensiklopedi Musik, 1992).

Gambang kromong di budidayakan oleh komunitas Cina Benteng yang berada di wilayah kota Tangerang Selatan. Gambang kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah banyak tersebar di Batavia. Pada waktu senggang, mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman kakek moyang mereka di Tiongkok dengan instrumen gesek Cina berupa tehyan, kongahyan, dan

(36)

sukong. Mereka juga menggunakan bangsing (suling) dan ningnong yang dipadukan dengan gambang. Gambang merupakan instrumen Sunda atau Jawa yang digunakan sebagai pengganti fungsi hiangkhim yaitu alat musik semacam kecapi dari Tionghoa, dimainkan dengan alat pengetuk yang dibuat dari bambu yang pipih. Pada perkembangan gambang kromong kemudian ditambah dengan kromong, gendang, kempul, dan gong, gambang kromong mulai terkenal dan menyebar ke seluruh penjuru kota. Gambang kromong pada saat itu tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di bagian utara kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi.

4.3.1 Orkes Gambang Kromong

Gambang kromong merupakan suatu orkes tradisi betawi yang sepenuhnya dipengaruhi oleh Cina, baik untuk mengiringi tarian cokek, maupun untuk teater lenong yang merupakan kesenian teater tradisional Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi. Kedua corak kesenian itu pada mulanya merupakan sarana hiburan peranakan Cina di Jakarta atau suatu komunitas yag bermula dari baku-piara antara orang Cina totok dengan budak budak pribumi yang disebut cabaukan (atau biasa disebut dengan cabo, yang berarti perempuan-perempuan pribumi yang merupakan golongan wanita yang kurang menonjol moralnya melahirkan keturunan Cina peranakan. Adapun susunan gambang kromong yang paling penting adalah gambang dan kromong (bonang). Gambang Kromong adalah kesenian musik tradisional dari Betawi dengan memadukan alat musik Gamelan dan alat musik dari Tionghoa. Kesenian musik tradisional ini

(37)

merupakan hasil akulturasi budaya antara budaya Tionghoa dan pribumi.

(Ensiklopedi Musik, 1992:156-157)

Gambar 3. Alat musik Gambang Kromong

( sumber: http://www.betawitoday.com/2013/05/profil-musik-betawi.html)

Gambar 4. Orkes Gambang Kromong

(sumber: http://www.negerikuindonesia.com/2015/04/gambang-kromong-musik- tradisional-betawi.html)

(38)

Sebutan Gambang Kromong sendiri diambil dari nama kedua alat musik yang di mainkan yaitu gambang dan kromong. Gambang merupakan alat musik yang terbuat dari kayu khusus yang berbunyi halus dan empuk bila di pukul atau di mainkan. Bilahan gambang biasanya berjumlah 18 buah dengan ukuran yang berbeda agar mengeluarkan nada yang berbeda.

Gambar 5. Gambang

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Sedangkan Kromong merupakan alat musik terbuat dari perunggu besi.

Bentuknya seperti alat Gamelan pada umumnya, jumlah kromong sendiri biasanya berjumlah 10 buah atau disebut juga dengan sepuluh pencon. Kromong juga merupakan alat musik yang di mainkan dengan cara di pukul, dan setiap pencon juga memiliki nada yang berbeda.

(39)

Gambar 6. Kromong

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Alas untuk bilahan gambang dan kromong disebut dengan ancak, biasanya berkaki cukup tinggi sehingga alat musik tersebut dapat dimainkan sambil berdiri maupun duduk dikursi. Dalam perkembangannya, Gambang Kromong telah menjadi musik tradisional Betawi yang sangat populer. Banyak grup orkes Gambang Kromong yang terlahir dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. pada masa modern ini alat musik Gambang Kromong juga di kombinasikan dengan beberapa alat musik modern seperti gitar, bass, organ, drum, seksofondan alat modern lainya. walaupun di tambahkan beberapa alat musik modern namun tidak menghilangkan ciri khas dari Gambang Kromong sendiri.

Gambang Kromong tidak hanya di tampilkan secara orkes saja. Kesenian musik tradisional ini juga di gunakan untuk mengiringi berbagai kesenian Betawi lainya seperti tarian tradisional Betawi. Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoir lagunya. Hingga saat ini terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yaitu lagu pobin, lagu dalem,

(40)

dan lagu sayur. Lagu-lagu yang dibawakan oleh Gambang Kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut dengan lagu Pobin. Lagu- lagu Pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian atau Fujian di Cina Selatan. Lagu pobin inilah yang saat ini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Lagu Pobin yang kini masih ada dan ada yang masih mampu memainkannya meskipun sudah sangat langka, antara lain dengan judul Pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa Pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

Setelah lagu Pobin dimainkan, mulailah muncul lagu yang disebut dengan lagu dalem berisikan lagu yang diciptakan dengan bentuk pantun-pantun bahasa Melayu-Betawi dan dinyanyikan. Di antara lagu-lagu Dalem yang ada, hanya sebagian penyanyi saat ini yang masih mampu menyanyikannya. Antara lain dengan judul: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, dan Tanjung Burung.

Lagu dalem kini telah menjadi lagu klasik dalam Gambang Kromong, setelah lagu dalem, lagu berikutnya dilanjutkan dengan lagu yang disebut dengan lagu sayur.

Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan khusus untuk menari atau biasa disebut ngibing. Contoh dari lagu sayur yaitu: Kramat Karem, Ondél- ondél, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali, Centeh Manis, Kicir-kicir, Sayur Lodeh, Sayur Asem. Namun terdapat juga lagu sayur yang bercorak Tionghoa, hal ini dapat dilihat dari nama lagu, alur, melodi, maupun lirik didalamnya,

(41)

4.3.2 Tiga jenis lagu dalam Gambang Kromong

Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki- laki dan perempuan sebagai lawannya.

Lagu lagu yang dibawakan oleh Orkes ini juga merupakan adaptasi dari lagu tradisional Tionghoa yang diperdengarkan dalam bentuk instrumental yang sangat jelas terdengar dalam iringan musik Gambang Kromong. Orkes Gambang Kromong hingga saat ini masih dipakai dalam perayaan maupun upacara pernikahan warga Cina Benteng atau yang biasa disebut peranakan Cina – Betawi.

Ada beberapa jenis lagu-lagu yang terdapat pada gambang kromong, ada yang membagi lagu gambang kromong kedalam lagu klasik dan lagu modern, umumnya lagu pada orkes gambang kromong terbagi menjadi tiga bagian, yaitu lagu pobin, lagu dalem dan lagu sayur.

4.3.2.1 Lagu Pobin Gambang Kromong

Lagu Pobin atau biasa disebut dengan lagu klasik gambang kromong ini merupakan lagu yang hanya instrumentalia saja, namun ada juga lagu pobin yang juga memiliki syair. Lagu pobin yang hanya merupakan instrumentalia saja adalah Pobin Kong Ji Liok, sedangkan lagu pobin yang memiliki syair cukup banyak, yaitu Pobin Gula Ganting, Pobin Mas Nona, dan Pobin Poa Si Litan.

Lagu pobin biasanya dibawakan dengan lembut, lambat, dan dengan perasaan. Syair yang terdapat pada lagu pobin bersifat baku dan tidak pernah berubah. Hal ini dikarenakan sangat sedikit orang yang mampu menghapal dan membawakan lagu Pobin. Lagu pobin terdiri dari tiga bagian, yang pertama

(42)

merupakan musik pembuka yang biasanya disebut dengan lopan, yang kedua adalah musik itu sendiri, dan yang ketiga adalah musik penutup. Pada umumnya, lopan terpisah dengan lagu utamanya. Akan tetapi, ada juga Pobin yang memiliki lopan yang tersambung dengan lagu utamanya.

Irama pada lopan terdengar lebih bergairah karena instrumen musik pada gambang kromong yang dimainkan secara lengkap dengan alat musik gesek.

Namun, ketika masuk pada lagu utama hanya diiringi dengan alat musik gesek, seperti kongahyan, tehyan, dan sukong, juga dengan gambang, kromong, dan suling.

4.3.2.2 Lagu dalem Gambang Kromong

Lagu dalem merupakan lagu utama yang termasuk didalam lagu Pobin, lagu dalem merupakan lagu yang mempunyai syair, syair pada lagu dalem merupakan pantun-pantun. Tema yang diangkat di dalam pantun pun beragam, dari mulai lingkungan sekitar seperti syair dalam lirik lagu “Tanjung Burung” atau

“Kampung Melayu” atau Teluk Naga, dimana kesenian ini berkembang, sampai dengan lagu yang agak vulgar didalam lagu “Jali-jali Kacang Buncis”.

Gambar 7. Pertunjukan lagu dalem gambang kromong

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

(43)

4.3.2.3 Lagu sayur Gambang Kromong

Lagu sayur disebut juga dengan lagu modern dalam orkes gambang kromong. Didalam lagu sayur tidak terdapat syair yang baku, syairnya biasa juga diisi dengan pantun dengan ciri khas musik pembukanya. Musik pembuka pada lagu sayur sangat khas karena menggunakan gesekan Tehyan untuk mengawalinya. Meskipun judul dan irama lagu sayur sama, tetapi grup satu dengan lainnya bisa berbeda beda isi dari syairnya, tergantung kepada setiap grup gambang kromong yang memainkannya.

Gambar 8. Pertunjukan lagu sayur gambang kromong

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

4.3.3 Alat musik dalam Gambang Kromong

Alat musik yang digunakan dalam seni Gambang Kromong ini terdiri atas:

(44)

Gambar 9. Gamelan atau Gambang

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Gamelan atau biasa disebut Gambang merupakan instrumen pukul alat musik tradisional khas Indonesia yang terdiri atas batang-batang kayu berjumlah 18 buah dengan berbagai ukuran yang mirip seperti xylofon (sebuah alat musik perkusi yang terbuat dari kayu dengan laras pentatonik (tangga nada khas Cina).

Khusus gambang Betawi, tangga nada yang dalam instrumental sunda disebut dengan salendro mandalungan. Rata-rata semua Gambang terbuat dari bilah-bilah kayu yang terpilih, yang artinya tidak mudah berubah bunyinya pada pengaruh cuaca, dan jika terjadi perubahan bunyi maka dapat kembali diselaraskan dengan cara mengeruk bagian bawah bilahan kayu tersebut.

(45)

Gambar 10. Kromong

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Kromong, yaitu instrumen pukul dari logam, bentuknya mirip dengan Bonang (salah satu bagian dari perangkat musik Jawa). Kromong merupakan alat musik khas Betawi yang berlaras salendro Cina dan instrumen yang tak terpisahkan dengan instrumen-instrumen yang lain. Maka alat musik ini tidak dimainkan secara tersendiri, kromong dimainkan beserta dengan Gambang, sehingga disebut menjadi Gambang Kromong.

Gambar 11. Kecrek

(sumber: www.google.com)

Kecrek, yaitu alat musik perkusi yang digunakan dalam seni perdalangan, berupa alat musik yang terbuat dari besi kepingan yang dilobangi pada bagian ujung dimana beberapa buah lapisan besi diikat dan disusun diatas kayu

(46)

dibunyikan dengan cara memukulkan kayu atau tongkat pendek dari kayu diatas kepingan yang tersusun tersebut. Alat ini berfungsi sebagai aba-aba iringan untuk gerakan tarian atau sikap wayang dan sebagai penghias irama pada lagu Gambang Kromong.

Gambar 12. Ningnong

(sumber: www.google.com)

Ningnong, berupa alat perkusi dengan dua buah piringan dari logam yang dikaitkan pada sebuah kerangka, dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat besi kecil, dipukul secara bergantian kiri ke kanan ataupun kanan ke kiri sesuai dengan irama. Sudah jarang digunakan dan ditemukan pada saat ini.

Instrumen ini hanya ditabuh atau digunakan pada lagu-lagu pobin dan lagu dengan judul Mas Nona. Berfungsi sebagai instrumen yang mengatur irama.

(47)

Gambar 13. Gong dan Kempul

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Gong dan kempul, merupakan salah satu instrumen yang bisa ditemui pada hampir semua budaya, sebagai instrumen penting dalam Gambang Kromong.

Gong dan kempul terbuat dari logam, kuningan, ataupun terbuat dari besi yang digantungkan dengan posisi berhadapan dengan kempul pada kayu dan dimainkan dengan cara dipukul, mirip sekali penggunaannya dengan alat musik gamelan Sunda atau Jawa. Gong berukuran lebih besar dari pada kempul, sementara kempul merupakan gong yang berukuran kecil, gong berfungsi sebagai penentu irama dasar dan kempul berfungsi sebagai pembatas ritme melodi. Dalam gamelan Gong dan kempul mempunyai arti khusus, perannya sebagai hitungan birama. Gong atau kempul yang baru ditempah belum dapat ditentukan nadanya, nada pada Gong atau kempul terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Namun apabila nadanya masih belum sesuai, dapat disesuaikan dengan cara mengerok lapisan perunggunya hingga menjadi lebih tipis.

(48)

Gambar 14. Tehyan, Kongahyan, dan Sukong

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016 (sumber: www.google.com)

Tehyan, Kongahyan dan Sukong merupakan alat musik gesek berdawai dua, direntangkan pada wadah gema yang terbuat dari tempurung berlapis kulit tipis dan berleher kayu yang panjang. Dimainkan dengan cara digesek dengan tongkat gesek. Memiliki bentuk yang mirip satu sama lainnya. Pada masyarakat Betawi dikenal dengan Rebab Cina yang berukuran paling besar disebut Sukong, sesuai dengan laras dawainya yang meniru nada su dan juga nada kong. Rebab dengan ukuran menengah disebut hoo siang (Tehyan), karena dawainya dilaras menurut nada hoo dan nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian (Kongahyan), sesuai dengan larasnya meniru bunyi nada-nada Cina dan serupa dengan Tehyan. Ketiga alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi dan sebagai ornamen lagu yang bervariasi.

(49)

Gambar 15. Gendang

Dokumentasi: Cut Rizki, 2016

Gendang, alat musik yang biasa disebut dengan kendang ini merupakan alat musik pukul (perkusi) yang terbuat dari kayu berbentuk silinder, berongga dan sedikit kembung pada bagian tengah. Pada lubang di kedua sisinya ditutup menggunakan kulit yang tidak sama besarnya. Instrumen ini dimainkan atau dibunyikan dengan cara ditepuk menggunakan tangan. Gendang berfungsi sebagai instrumen pengatur irama yang memimpin permainan dalam musik Gambang Kromong. Didalam orkes Gambang Kromong terdapat gendang besar satu buah dan gendang yang lebih kecil dua buah, yang biasa disebut dengan ketipung, tepak, tipluk atau kulanter. Biasanya gendang atau kendang ini dimainkan oleh para pemain yang sudah professional atau mahir karna kebanyakan kendang dimainkan sesuai dengan naluri pengendang, sehingga permainan gendang oleh satu orang dengan orang lain akan terasa berbeda nuansanya.

(50)

Gambar 16. Bangsing atau Suling

(sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Gambang_keromong)

Bangsing atau Suling, merupakan alat musik tiup yang biasanya terbuat dari kayu atau bambu, memiliki enam lubang yang dimainkan dalam posisi horisontal. Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas, atau campuran dari keduanya. Suara suling memiliki ciri khas tersendiri, memiliki suara yang lembut sehingga dapat dipadukan dengan baik dengan alat musik lainnya dalam musik Gambang Kromong.

Disamping para pemain memainkan alat-alat tersebut, pada Gambang Kromong terdapat penari yang disebut Cokek. Cokek ini merupakan tari hiburan yang dalam pertunjukannya si penari mengundang tamu atau penonton untuk menari bersama mereka. Dalam perkembangan terakhir, berbagai instrumen musik Barat seperti Keyboard, Saxophone, Gitar elektrik masuk memperkaya seni Gambang Kromong. Oleh karena itu, seni ini sekarang dapat menampilkan lagu- lagu pop, dangdut, dan keroncong.

4.3.3.1 Tata letak alat musik Gambang Kromong di atas panggung

Pada penampilan dan pertunjukan orkes gambang kromong, biasanya selalu menyesuaikan kondisi tempat yang tersedia untuk pertunjukan tersebut, bila tempat pertunjukan (panggung) cukup leluasa, maka tata letak alat musik

(51)

gambang kromong diatur dan disusun dengan mempertimbangkan keserasian yang ditinjau dari sudut pandang para penonton. Penempatan alat tergantung pada masing-masing grup orkes gambang kromong, dan sesuai dengan jenis alat musik yang dimiliki.

Menurut hasil wawancara dengan narasumber, susunan alat musik orkes gambang kromong pada umumnya dengan susunan gendang berada di baris pertama (didepan), dengan posisi duduk dilantai. Kemudian di baris kedua terdapat alat gesek yang terdiri dari tehyan, kongahyan, dan sukong yang ditempatkan dengan posisi duduk di kursi. Di baris ketiga terdapat perkusi gambang dan kromong yang berdampingan kiri dan kanan dengan posisi berdiri atau duduk di kursi. Pada baris ke empat atau bagian belakang ditempatkan dengan gong, kecrek, dan ningnong dengan posisi berdiri.

4.4 Akulturasi budaya etnis Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang

Menurut situs Betawipost, Masyarakat Betawi sebagai penduduk pribumi di Jakarta merupakan hasil dari pencampuran berbagai macam unsur suku yang saling berinteraksi satu sama lain. Kesenian gambang kromong bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pribumi yang merupakan pekerja di perkebunan milik Nie Hoe Kong yang merupakan seorang pemusik dan kapten atau pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di Batavia. Kesenian gambang kromong ini berkembang pada abad ke-18 khususnya di daerah Tangerang. Sampai abad ke-19 pun lagu-lagu yang dimainkan oleh orkes gambang kromong adalah lagu-lagu Cina (lagu klasik) yang

(52)

di sebut dengan lagu Pobin, lagu yang berbentuk instrumentalia yang berasal dari Hokkian Selatan.

Musik Gambang Kromong berkembang dikalangan Cina Benteng atau yang biasa disebut peranakan Betawi – Tionghoa. Bentuk kesenian yang dimainkan oleh masyarakat Tionghoa di Jakarta masih mencirikan kebudayaan Tionghoa.

Alat musik yang digunakan untuk hiburan maupun upacara seperti terompet jutao (seperti slompret di Jawa dengan enam lubang), cecer (kecer), genderang, canang, sukong, tehyan, kongahyan, dan suling merupakan adanya indikasi penggunaan instrumen dari negeri Cina (Muhadjir, Peta Seni Budaya Betawi.

Jakarta: Dinas Kesenian DKI Jakarta, 1986, 13 – 14).

Masyarakat Cina Benteng mengembangkan bentuk keseniannya dengan menggabungkan bentuk kesenian pribumi. Penggabungan tersebut membuat bentuk musik yang baru yang disebut Gambang Kromong. Penyebutan Gambang Kromong berasal dari alat musik yang digunakan didalamnya, yaitu Gambang dan Kromong. Penggabungan alat musik dan musik yang terdapat dalam orkes Gambang Kromong menandakan adanya akulturasi budaya Tionghoa dengan masyarakat Betawi.

4.5 Daerah penyebaran Gambang Kromong

Musik Gambang Kromong penyebarannya paling merata di wilayah budaya Betawi, utamanya berkembang di daerah DKI Jakarta maupun sekitarnya. Grup orkes Gambang Kromong banyak terdapat pada permukiman penduduk peranakan Cina dalam masyarakat Betawi setempat. Seiring dengan berkembangnya jaman,

Gambar

Gambar 1. Klenteng sejarah Tionghoa di Tangerang
Gambar 2. Boen tek bio (Museum Cina Benteng)
Gambar 3. Alat musik Gambang Kromong
Gambar 5. Gambang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko

Tujuan Pengamanan Sampah Rumah Tangga adalah untuk menghindari penyimpanan sampah dalam rumah dengan segera menangani sampah. Pengamanan sampah yang aman adalah

Rekan-rekan dan semua pihak Universiatas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun yang telah memberikan bantuan sehingga dapat terselesaikannya

Foto Copy SK pengangkatan pertama sampai dengan terakhir minimal selama 5 tahun pada tanggal 17 April 2002 bagi dokter spesialis yang berusia lebih dari 35 tahun sampai dengan 40

Itu sebabnya sangat banyak orang berkata, “Kalau saya pensiun, penghasilan saya akan berkurang.” Dengan kata lain, mereka sedang mengatakan, “Saya berencana untuk bekerja

 Tingkat kenaikan harga masih terkendali dimana pada Februari 2019 terjadi deflasi yang bersumber dari kelompok bahan.. makanan, terutama daging ayam ras

Berkaitan dengan pengetahuan tentang pelestarian lingkungan hidup dan kependudukan guna menjamin pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

Penelitian ini dibatasi oleh hubungan ekuitas merek yang meliputi empat variabel yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek