• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN INTERNAL DOSEN IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENELITIAN INTERNAL DOSEN IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN INTERNAL DOSEN

IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Titing Sugiarti, S.H., M.H.

NIDN: 0321075801

Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A.

NIDN: 0027026104

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

2021

(2)

1

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Penelitian

IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Disusun Oleh:

Titing Sugiarti, S.H., M.H.

Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A.

Telah di presentasikan pada Hari: Juli 2021

Via Zoom Meeting Laboratorium I Fakultas Hukum Universitas Pancasila Mengetahui,

Ketua Laboratorium I Wakil Dekan I

Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A. Dr. Zaitun Abdullah, S.H., M.H.

(3)

2

KATA PENGANTAR

Terima kasih kami ucapkan kepada Lab 1 FHUP yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini jauh dari kata sempurna sehingga perbaikan selama dalam presentasi usul dan laporan akhir sangat bermanfaat untuk menjadi perbaikan .

Jakarta, Juli 2021 Salam

Peneliti

(4)

3

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Kata Pengantar... 2

Daftar Isi ... 3

Abstrak ... 5

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 6

B. Permasalahan... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kerangka Konsep ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 10

BAB II. IMPLIKASI DENGAN BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TERKAIT PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK. A. Perkawinan ... 12

B. Perkawinan Usia Anak ... 14

C. Dispensasi Perkawinan... 20

D. Pembatalan Akta Perceraian ... 21

E. Putusan-Putusan Pengadilan Negeri Tentang Pembatalan Akta Perceraian. ... 22

F. Dasar Hukum Pembatalan Akta Perceraian ... 29

BAB III. IMPLEMENTASI DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

NO 16 TAHUN 2019 TERKAIT PENCEGAHAN

PERKAWINAN ANAK ... 32

BAB IV. PENUTUP

(5)

4

A. Simpulan ... 40 B. Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA

(6)

5

ABSTRAK

Perkawinan Anak di Indonesia sudah menjadi gejala sosial, apalagi Ketika dimasa

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak serius terhadap laju penambahan

angka perkawinan anak. Beberapa penemuan di lapangan, kasus perkawinan anak

meningkat tajam dimasa Pandemi COVID-19. Atas dasar itu peneliti akan

mempertanyakan Bagaimana implikasi dan implementasi berlakunya Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 terkait Pencegahan Perkawinan Anak. Penelitian ini

menggunakan metode yuridis normatif, dengan mengumpulkan data sekunder, berupa

bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa

Dalam upaya pemetaan dan harmonisasi kebijakan terus dilakukan oleh Pemerintah

untuk mencegah perkawinan anak. Harmonisasi diperlukan agar berbagai regulasi

tingkat pusat dan daerah dapat selaras, saling mendukung dan efektif dalam

pelaksanaannya dilapangan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perkawinan masih perlu disinkronisasikan dengan Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi

Perkawinan. Upaya ini dilakukan untuk konsistensi dan ketegasan para hakim dalam

memutuskan perkara dispensasi sesuai dengan spririt mencegah atau menolak

perkawinan anak. Walaupun Pemerintah berupaya untuk mencegah terjadinya

Perkawinan anak dengan menerbitkan Undang-Undang No 16 Tahun 2019, ada aturan

Dispensasi dan diikuti dengan dikeluarkannya PERMA No 5 Tahun 2019, namun

dalam pelaksanaanya masih ditemui beberapa kasus perkawinan anak apalagi dimasa

pandemic Covid -19 data yang diperoleh meningkat dengan beberapa faktor

penyebabnya yaitu faktor social, agama, ekonomi, budaya, penerapan kegiatan belajar

mengajar secara daring yang tidak efektif, dan akses terhadap konten negatif media

social dan internet telah meningkatkan perilaku online yang beresiko, seperti kekerasan

siber, predator dan sebagainya.

(7)

6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan Anak di Indonesia sudah menjadi gejala sosial, apalagi Ketika dimasa Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak serius terhadap laju penambahan angka perkawinan anak. Perkawinan usia anak kini telah berkembang menjadi sorotan sosial dan isu kebijakan multi aspek karena dapat membawa implikasi besar terhadap kelangsungan pembangunan nasional. Keseriusan Negara tampak dengan dikeluarkan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang perkawinan dapat dilakukan pada 19 tahun. Namun di masa Pandemi COVID-19, berlangsungnya pembatasan sosial skala besar secara terus menerus dan intensitas kegiatan di dalam rumah dapat memicu potensi kekerasan domestik terhadap anak hingga potensi perkawinan anak. Beberapa penemuan di lapangan, kasus perkawinan anak meningkat tajam dimasa Pandemi COVID -19.

1

Banyak faktor penyebab yang mendorong terjadinya perkawinan anak. Faktor sosial budaya, agama dan ekonomi cenderung lebih dominan dalam banyak kasus yang ditemukan, misalnya untuk menghindari perzinahan, terjadi kehamilan remaja, atau menjaga nama baik keluarga. Penetapan kegiatan belajar mengajar secara daring yang tidak efektif, kurangnya kegiatan positif dan produktif yang dilakukan oleh anak, turut berkontribusi pula pada peningkatan pergaulan beresiko para remaja yang memicu terjadinya Perkawinan Anak.

1 Yayasan Plan Internasional Indonesia “ Perkawinan Anak di Masa Pandemik Covid 19“ 2021, hlm 1.

(8)

7

Faktor ekonomi seperti orang tua yang kehilangan pekerjaan akan melihat perkawinan anak sebagai solusi cepat mengatasi beban ekonomi keluarga. Kemudian, akses terhadap konten negatif media social dan internet telah meningkatkan perilaku online yang beresiko, seperti kekerasan siber, predator seksual dan sebagainya.

2

Pemerintah sedang dan telah banyak berupaya untuk mencegah perkawinan anak ini. Di tataran Nasional, telah ada kebijakan terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagaimana dituangkan dalam Perpres No.

18 Th 2020. Dalam Stranas Pencegahan Perkawinan Anak (PPA) pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21 % (2018) menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024.

Hal ini akan berimplikasi pada kebijakan baik ditingkat pusat maupun daerah terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai target penurunan angka perkawinan anak. Hal ini juga akan berpengaruh pada implementasi di lapangan mengingat pencegahan praktik perkawinan anak sudah menjadi UU yaitu Undang-Undang No 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Anak dan berlaku keseluruh Indonesia.

B. Permasalahan

Bagaimana implikasi dan implementasi berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait Pencegahan Perkawinan Anak?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui implikasi dan implementasi berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait Pencegahan Perkawinan Anak

D. Kerangka Konsep

2 Ibid.

(9)

8

1. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah: “Ikatan lahir dan bathin antara seorang Pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

3

2. Menurut United Nations Children's Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun.

3. Dispensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi merupakan izin pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Jadi Dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.

4. Dispensasi dalam perkawinan dibawah umur merupakan pemberian kelonggaran untuk melakukan perkawinan kepada calon mempelai yang belum mencapai syarat umur perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis metodologis, dan konsisten melalui analisis kontsruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

4

1. Jenis dan Sifat Penelitian

. Dalam sebuah tulisan ilmiah perlu ditentukan metode yang akan digunakan untuk menganalisa data yang ada. Dengan demikian, agar

3 Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.

4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali,1986), , hlm. 1.

(10)

9

tulisan ini menjadi tulisan ilmiah, maka perlu ditetapkan metode yang digunakan pada penelitian ini. Jenis metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

5

Oleh karenanya , penelitian ini dimulai dengan identifikasi atas kaidah hukum yang telah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang- undangan.

Dari sifat penelitiannya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lain. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotetis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam menyusun teori-teori baru.

2. Jenis Data

Dari sudut jenis datanya, penelitian ini melakukan telaah atas data sekunder dibidang hukum yang terdiri dari bahan hukum pfimer yang mempunyai kekuatan perundang-undangan yang berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bahan huku Sekunder yang berkaitan dengan masalah hukum, jurnal, artikel tentang hukum yang berkaitan dengan tema. Data sekunder ini dapat digolongkan menjadi tiga bahan hukum, yang dalam penelitian ini menggunakan :

6

5 Ibid., hlm. 14-15

6 Ibid.

(11)

10

a. Bahan hukum primer berupa Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder bahan-bahan yang digunakan untuk melengkapi hukum primer dan bahan hukum sekunder termasuk Kamus Bahasa Indonesia.

3. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif, yaitu menjelaskan permasalahan yang ada dengan metode pustaka, yang akhirnya mencapai kesimpulan yang merupakan jawaban dari penulisan ini.Pendekatan kwalitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Dengan demikian , maka dengan menggunakan metode kualitatif, seorang peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang ditelitinya, dan penelitian ini dituangkan secara analisis yang bertujuan untuk menarik asas-asas hukum tertentu yang terdapat di dalam hukum positif yang berlaku.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Webinar “Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak“

2. Webinar “Perkawinan Usia Anak di Masa Pandemi Covid – 19“

(12)

11

3. “Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia

Perkawinan “

4. Webinar Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial, Agama dan Hukum Pasca Pengesahan Undang-undang Perkawinan No 16 Tahun 2019.

5. Penelitian Internal Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila. “ANALISIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PERMOHONAN DISPENSASI KAWIN YANG TERJADI DI DESA CIPENJO, KECAMATAN CILEUNGSI, KABUPATEN BOGOR)” 2020.

6. Perkawinan Bawah Umur dan potensi Perceraian ( Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor ). JHLus Quia Lustum Volume 26 Issue 1, Januari 2019.

Pp 193-211 Copyright @ 2019 Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia.

7. Judicial Review atas UU No 1/1974 dan Implikasi Hukumnya. Conference Proceedings Annual Internasional Converence of Islamic Students (AICIS XII).

8. Penelitian “ Perkawinan Anak Dalam Persfektif Islam. Katolik. Protestan,

Budha, Hindu Dan Hindu Khaharingan “ Studi kasus di Kota Palangkaraya dan

Kabupaten Katingan, Profinsi Kalimantan Tengah. Program Studi Kajian

Gender Sekolah Kajian Strategi dan Global Universitas Indonesia Bekerja sama

dengan Kementiran Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia. Jakarta November 2016.

(13)

12

BAB II

IMPLIKASI DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TERKAIT PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK.

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan antara pribadi calon suami istri tetapi juga menyangkut hubungan antara keluarga dan masyarakat.

Undang-Undang Perkawinan merumuskan perkawinan dalam Pasal 1 sebagai “ Ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. Aspek hubungan dengan Tuhan dalam sebuah perkawinan mendapat penekanan penting sebagaimana dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 1 “ Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhana Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang Bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan, dan Pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua.

7

Perkawinan merupakan hal penting bagi anak manusia, baik laki-laki maupun perempuan, karena perkawinan berpengaruh besar pada perjalanan hidup seseorang dimasa selanjutnya. Perkawinan yang disiapkan secara matang punya probabilitas lebih besar pada terciptanya keluarga harmonis yang Bahagia. Sebaliknya,

7 Lina Kushidayati, Judicial Review atas UU No 1/1974 dan Implikasi Hukumnya. Comferrence Proceedings AICIS XII 2816.

(14)

13

perkawinan tanpa persiapan dan perencanaan yang matang acapkali membawa dampak tidak baik pada kehidupan keluarga tersebut, seperti keluarga yang tidak harmonis dan tidak Bahagia.

8

2. Syarat sahnya Perkawinan

Untuk sahnya pelaksanaan dari suatu perkawinan harus dipenuhi syarat yang terdapat dalam pasal 2 (1) UU No 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Pada ayat (2) pasal tersebut juga menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini, perkawinan dibawah umur/perkawinan anak ini tidak memenuhi ketentuan dari salah sartu syarat materil perkawinan. Syarat ini menyangkut pribadi dari calon pasangan suami istri yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materil Perkawinan, diantaranya :

a. Persetujuan kedua belah pihak merupakan hal yang penting dalam melangsungkan perkawinan karena suatu perkawinan tidak boleh dilakukan secara paksa, baik langsung maupun tidak langsung. Unsur paksaan dalam perkawinan dapat menentukan kelanggengan rumah tangga yang dibinanya.

Oleh karena itu menurut Pasal 6 (1) UU No 1 Tahun 1974, suatu perkawinan harus dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

b. Batas usia perkawinan diperlukan bagi laki-laki dan perempuan, hal tersebut berhubungan langsung dengan kedewasaan serta kesiapan untuk berumah tangga. Pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 mengatur batas usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun. Namun pasca

8 Wakil Presiden Indonesia. Sambutan Seminar dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk meningkatkan kualitas anak, Pemuda, Perempuan dan Keluarga. 18 Maret 2021.

(15)

14

adanya revisi UU No 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan usia minimal melakukan perkawinan, usia minimal bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun. Tujuan pembatasan usia peerkawinan adalah untuk menekan tingkat perceraian dan kelahiran anak yang tinggi dalam hal berhubungan dengan masalah kependudukan.

c. Kedua mempelai tidak memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 UU No 1 Tahun 1974, Pasal ini menunjukkan bahwa UU No 1 Tahun 1974 ,menganut asas monogami. Asas ini sekarang sebagai pencerminan kehendak masyarakat, terutama dikalangan pereempuan bahwa “dimadu” itu lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan. Namun Pasal ini dapat dikecualikan dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 3,4 dan 5 UU No 1 Tahun 1974.

d. Berlaku jangka waktu tunggu tertentu untuk melangsungkan perkawinan baru yang berlaku bagi perempuan.

B. Perkawinan Usia Anak

The Convention on the Rights of the Child ( Konvensi Hak-hak Anak ) mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun sehingga pernikahan (perkawinan ) yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun tersebut secara internasional dikategorikan perkawinan anak.

9

Bawah Umur adalah kiasan bagi orang yang belum dewasa, yaitu anak. Yang menurut Hukum Islam , anak adalah orang yang belum mencapai aqil dan baliqh(

Cakap dan dewasa ), maka baginya belum masuk kepada kategori mukallaf, yaitu seseorang yang sudah dapat dibebankan padanya ganjaran atas amalan, pahala, dan

9 Laporan Penelitian “ Perkawinan Anak Dalam Perspektif Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu an Hindu Khaharingan. Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan , Provinsi Kalimantan Tengah. Jakarta November 2016.

(16)

15

dosa. Hal ini berkaitan erat dengan ahkamul khamsah.

10

Dalam kaidah Hukum Islam Perkawinan dibawah Umur perkawinan yang dilaksanakan oleh pasangan yang belum mencapai 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi mempelai perempuan ( Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan ). Perkawinan dibawah umur ini marak terjadi diberbagai negara didunia, salah satunya di Indonesia.

Salah satu permasalahan dalam perkawinan di Indonesia adalah praktik perkawinan anak. Praktik perkawinan anak telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat, pemerhati Kesehatan, pemerhati hak asasi manusia, dan pemerintah.

Disamping permasalahan sosial yang mengakibatkan praktek perkawinan anak, masalah regulasi dan pengaturan usia perkawinan anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “ Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun “ dan dalam ayat 2 menjelaskan bahwa “ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Dalam Pasal tersebut, terdapat penjelasan yaitu :

1. Untuk menjaga Kesehatan suami istri dan keturunan, peerlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan;

2. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada (1) seperti yang diatur dalam KUHPer dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dinyatakan tidak berlaku.

11

10 Ani Yumarni dan Endeh Suhartini. Perkawinan Bawah Umur dan Potensi Perceraian (Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor) JH Ius Quia Lustum Volume 26 Issue 1 Januari 2019 ; pp 193211 copyright @ 2019 Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia.

11 Penelitian Internal Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila. “Analisis Perkawinan Di Bawah Umur (Studi Kasus Permohonan Dispensasi Kawin Yang Terjadi Di Desa Cipenjo, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” 2020.

(17)

16

3. Undang-Undang Perkawinan dinilai tidak memadai dan diskriminasi terhadap anak perempuan yang masih berusia 16 tahun sangat rentan terhadap resiko gangguan Kesehatan Ketika menjalani perkawinan, dan lainnya.

Faktor-faktor penyebab perkawinan anak : 1. Faktor Ekonomi :

Hal ini terjadi karena keluarga sigadis berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kemudian orangtuanyapun menikahkan si gadis dengan laki-laki dari keluarganyang mapan.

12

2. Faktor Pendidikan

Tingkat Pendidikan dan pengetahuan dari anak yang bersangkutan rendah dapat menyebabkan terjadinya atau cenderung terjadinya pernikahan dini

13

3. Faktor Agama dan pandangan masyarakat

Kedua hal ini menjadi faktor penyebab yang besar dalam terjadinya perkawinan dibawah umur. Banyak orang tua menikahkan anaknya pada usia dibawah umur. Banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia dibawah umur dengan alasan menghindari zina. Selain itu, pandangan masyarakat mengenai julukan “ perawan tua “ pula menyumbang peran terhadap maraknya perkawinan dibawah umur. Maka banyak masyarakat yang melakukan perkawinan dibawah umur karena trend seperti ini, orang

12 Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak dibawah umur Menurut Undang- Undang No 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra Keadilan , Vol 12, hlm. 218

13 Fransiska Novita Eleanora dan Andang Sari. Pernikahan Anak Usia Dini Ditinjau Dari Perspektif Perlindungan Anak. PROGRESIF: Jurnal Hukum, 14(1)., hlm. 59.

(18)

17

tua tidak memikirkan dampak-dampak dari perkawinan dibawah umur karena memang sangatlah rentan, inilah masalah yang terjadi di masyarakat karena orang tau yang minim sekali pengetahuan mengakibatkan kebiasaan untuk melakukan perkawinan dibawah umur dalam zaman seperti ini.

4. Kecelakaan (married by accident)

Terjadinya hamil diluar nikah, dikarenakan anak melakukan hubungan yang melanggar norma dan memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dibawah umur untuk memperjelas status anak mereka yang di kandungnya.

14

Dengan kata lain , kedua pasangan tersebut laki-laki dan perempuan terpaksa menikah muda ( pernikahan dibawah umur ) karena telah hamil diluar nikah, walaupun hal ini beredampak negative bagi keduanya, terutama meereka keduanya yaitu laki-laki dan perempuan yang masih berstatus sebagai pelajar dan belum kerja atau belum mapan, sehingga akan terjadi perselisihan yang berawal dari masalah-masalah kecil.

Kondisi Perkawinan Anak di Indonesia, terdapat 5 propinsi dengan angka tertinngi pernikahan anak dibandingkan dengan angka nasional ( 22,28 % ), yaitu Sulawesi Barat (34,22 % ) Kalimantan Selatan (33, 68 %) Kalimantan Tengah (33,56%), Kalimantan Barat (32,21% ), dan Sulawesi Tengah (31,91

% ).

14 Mubasyaroh, STAIN Kudus, Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya Bagi Pelakunya, Jurnal Hukum Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan, hlm.400.

(19)

18

Perkawinan usia Anak lebih banyak terjadi di wilayah pedesaan (27,11 %) dibandingkan wilayah perkotaan (17,09%), Selain wilayah pedesaan , didaerah dengan kerusakan alam parah akibat perubahan fungsi dan kepemilikan lahan, jumlah pernikahan anak cenderung lebih tinggi.

Misalnya, Provinsi Banten Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi karena akses masyarakat terhadap sumber daya alam mengecil bahkan tertutup. Dalam keadaan demikian menikahkan perkawinan diusia anak menjadi pilihan untuk mengurangi beban ekonomi orang tua karena tanggungjawabnya beralih kepada suaminya.

15

Pada tanggal 15 Oktober 2019, Pemerintah merevisi ketentuan dalam Undang- undang Perkawinan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian. Ketentuan yang direvisi oleh Undang-Undang tersebut yakni ketentuan mengenai syarat batas usia minimum dalam melangsungkan perkawinan. Ketentuan yang sebelumnya mensyaratkan batas usia calon suami sekurang-kurangnya 19 ( sembilanbelas ) tahun dan istri berumur 16 ( enambelas ) tahun menjadi 19 (sembilanbelas ) tahun baik untuk calon suami maupun calon istri.

Pengaturan batas usia minimum dalam melangsungkan perkawinan merupakan syarat penting karena suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis juga psikologis. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 1 Undang- undang Perkawinan yang menyatakan, “ Untuk menjaga Kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya revisi batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan, pemerintah berusaha untuk menekan angka perkawinan

15 Amami Lubis, “ Langkah MUI dalam Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan “ Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan.

(20)

19

dibawah umur dan mengiplementasikan hakikat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.

Selain itu Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga timbul keharusan dicegahnya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kematangan fisik dan psikis calon suami dan istri merupakan asas yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.

Undang-undang RI No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

16

Pasal 7 ayat (1), Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan Wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Pasal 7 (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak dan/atau orang tua pihak Wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alas an sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Pasal 7 (3) Pemberian Dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 7 (4) ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 3 dan ayat 4 berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 6.

16 Yayasan Plan Internasioanal Indonesia “Setelah Perubahan Undang-Undang Perkawinan Pemetaan Singkat Kebijakan terkait Perkawinan Anak “ 2021.

(21)

20

Dari perubahan tersebut dapat diartikan bahwa terdapat perubahan kebijakan mengenai batas usia perkawinan untuk Wanita, dari batas usia 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun, perubahan ketentuan mengenai batas usia tersebut tidak dapat mengurangi dan membatasi perkawinan dibawah umur mengingat terdapat ketentuan untuk menyimpangi syarat batas usia dalam melangsungkan perkawinan yaitu ketentuan dispensasi.

C. Dispensasi Perkawinan

1. Pengertian Dispensasi Perkawinan

a. Pengertian Dispensasi

Pengertian Dispensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi merupakan izin pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Jadi Dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.

b. Pengertian Dispensasi Dalam Perkawinan anak /dibawah umur

Dispensasi dalam perkawinan dibawah umur merupakan pemberian

kelonggaran untuk melakukan perkawinan kepada calon mempelai yang

belum mencapai syarat umur perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 7

ayat 1 Undang-undang No 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang

No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(22)

21

Menentukan bahwa Pasal 7 ayat (1) Apabila penyimpangan terhadap terhadap ketentuan Pasal 7 ayat 1 maka dierangkan dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) hasruslah dimintakan dispensasi kepada Pengadilan. Dengan demikian, Dispensasi dalam perkawinan diusia anak merupakan kelonggaran untuk melakukan perkawinan kepada calon mempelai yang belum mencapai syarat umur perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yaitu untuk pria dan Wanita sama-sama sudah mencapai usia 19 tahun, yang seharusnya tidak diperbolehkan atau tidak diizinkan untuk melaksanakan perkawinan namun karena alasan tertentu maka perkawinan tersebut diperbolehkan / diizinkan.

c. Tujuan Dispensasi Perkawinan :

Tujuan pemberian Dispensasi Perkawinan pada dasarnya diberikan kepada calon mempelai yang hendak melaksanakan perkawinan yang sebenarnya belum memenuhi syarat sahnya perkawinan yaitu belum mencapai umur yang sesuai dengan yang diterangkan dalam Pasal 7 (1) Undang-undang No 16 Tahun 2019, namun karena ada tujuan untik kemaslahatan kehidupan manusia. Maka dispensasi perkawinan dapat diberikan kepada calon mempelai. Pemberian dispensasi terhadap perkawinan dibawah umur ini diharapkan dapat mengurangi akibat yang tidak baik dalam kehidupan yang akan dijalani calon mempelai bila tidak diberikan dispensasi.

17

17 Penelitian Internal Dosen, Op.Cit.

(23)

22

d. Perma No 5 Tahun 2019

Untuk memberikan standar pemberian dispensasi, kemudian pemerintah mengeluarkan PERMA No 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Tujuan diterbitkannya PERMA Nomor 5 Tahun 2019 :

Peraturan Mahkamah Agung secara khusus mengeluarkan petunjuk teknis penanganan perkara dispensasi kawin berupa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) NO 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, salah satu tujuan dibuat peraturan ini adalah untuk menjamin standarisasi, hakim benar-benar serius dan berhati-hati dalam memeriksa perkara dispensasi sesuai dengan pedoman yang ada.

18

PERMA dibuat khusus oleh Mahkamah Agung sebagai bentuk penjelasan mengenai permohonan dispensasi perekawinan yang memang belum diatur secara jelas dalam Pasal 7 Undang-undang No 16 Tahun 2019.

Ketentuan-ketentuan dalam PERMA No 5 Tahun 2019 dan keterkaitannya dengan Pencegahan Perkawinan usia Anak adalah Hakim harus mengadili permohonan dispensasi dengan mementingkan asas, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi.

Kesetaraan gender, persamaan didepan hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, menjamin sitim peradilan yang melindungi hak anak, meningkatkan tanggungjawab orang tua dalam rangka pencegahan

18 Mughniatul Ilma, Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca lahirnya UU No 16 Tahun 2019, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol 2(2), 2020, 133-166, hlm 151.

(24)

23

perkawinan anak, mengindentifikasi ada tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan.

Ada beberapa peraturan daerah atau kebijakan daerah yang diterapkan sebelum diterbitkannya Undang-undang No 16 Tahun 2019 antara lain 17 Peraturan Daerah di Kota dan Kabupaten, 12 peraturan ditingkat desa, 20 Surat Edaran tingkat desa/Kelurahan, semuanya perlu dilihat dan disesuaikan dengan perkembangan kebijakan yang ada, dan rata-rata pengaturan perkawinan anak dalalam Perauran Daerah masih bersifat himbauan, pemberitahuan jika praktik perkawinan anak adalah hal yang harus diwaspadai Bersama.

19

e. Kebijakan Nasional Tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

Pemerintah sedang dan telah banyak berupaya untuk mencegah perkawinan anak ini. Di tataran Nasional, telah ada kebijakan terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden ( Perpres ) Nomor 18 Tahun 2020. Dalam Stanas Pencegahan Perkawinan Anak ( PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21

% (2018 ) menjadi 8,74 % pada akhir tahun 2024.

Pemetaan dan harmonisasi kebijakan terus dilakukan oleh Pemerintah untuk mencapai target penurunan angka perkawinan anak. Harmonisasi diperlukan agar berbagai regulasi ditingkat pusat dan daerah dapat selaras, saling mendukung dan efektif dalam pelaksanaannya dilapangan. Sinkronisasi antara Undang-undang No 16 tahun 2019 Tentang Perkawinan masih perlu

19 Koalisi Perempuan Indonesia, “Pencegahan Perkawinan Anak dan Covid-19”, Januari 2021

(25)

24

disinkronkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (perma) No 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan. Upaya ini dilakukan untuk konsistensi dan ketegasan para hakim dalam memutuskan perkara dispensasi sesuai dengan spirit mencegah atau menolak perkawinan anak.

20

Sinkronisasi antara Undang-undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan Undang-undang no 16 Tahun 2019 dilakukan agar agar ada konsistensi terkait ketentan pemilih yang masih menggunakan Batasan usia 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin. Selain itu ada Undang- undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan, masih pula menggunakan Batasan 17 tahun atau pernah kawin bagi warga negara yang wajib memiliki KTP elektronik. Pemerintah berupaya keras agar kedua Undang-Undang tersebut tidak berpotensi membuka celah toleransi atau pelonggaran terhadap praktik perkawinan anak.

Visi untuk melindungi hak anak dan pembangunan sumber daya manusia generasi masa depan bangsa menjadi aspek fundamental dari 3 kebijakan nasional terkait pencegahan perkawinan anak. Pertama Perpres No 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024. Upaya Pencegahan anak dilakukan melalui penguatan koordinasi dan sinergi dengan melibatkan bernagai pemangku kepentingan indikator kinerja utamanya yakni penurunan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berumur 18 tahun. Kedua, Sustainable Development Goals ( SDGs). Perkawinan anak masuk kedalam tujuam ke 5 : mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, dimana salah satu sasarannya penghapusan perkawinan anak, perkawinan dini dan paksa.

Indikator utamanya yakni proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang

20 Yayasan Plan Internasional Indonesia “ Perkawinan Anak di Masa Pandemik Covid-19”, Policy Brief , Februari 2021, hlm. 2.

(26)

25

berstatus kawin atau berstatus hidup Bersama sebelum umur 15 tahun dan sebelum umur 18 tahun sebanyak 6,94 % ( 2030). Ketiga, Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak ( Stranas PPA ). Stranas PPA bertujuan untuk membangun sinergi rencana dan program pembangunan disetiap tingkatan pemerintah melalui lima strategi yakni : 10 Optimalisasi kapasitas anak; 2) lingkungan yang mendukung; 3) aksesibilitas layanan; 4) penguatan regulasi dan kelembagaan; 5) penguatan koordinasi pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun daerah.

21

21 Ibid., hlm. 2

(27)

26

Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak : ( gambar )

(28)

27

Sinergitas, komitmen dan peran aktif pemerintah daerah akan memberikan kontribusi besar trerhadap efektivitas pelaksanaan PPA ke dalam perncanaan pembangunan daerah dapat dilakukan melalui penggunaan beberapa instrument kebijakan perencanaan pembangunan daerah propinsi dan kabupaten kota sebagai berikut :

Pertama, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ( Pasal 260-262) . Pada tahapan perumusan kebijakan PPA, pemerintah daerah propinsi dan kabupaten kota dapat mensinergikan, mengharmonisasi dan mengintegrasikan PPA kedalam RPJMD ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ).

Kedua, Permendagri Nomor 90 tahun 2019 tentang Penyusunan Program dan Kegiatan Pembangunan Daerah. Penyusunan program dan kegiatan PPA ditingkat propinsi dapat mengacu pada Nomenklatur urusan provinsi yakni urusan pemerintahan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Ketiga, Permendagri Nomor 40 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Pemerintah Daerah dapat merumuskan prioritas pembangunan (PPA), arah kebijakan, tujuan/sasaran dan target PPA dalam RKPD tahun 2022.

Keempat, Permendagri nomor 64 Tahun 2020 Tentang Penyusunan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui instrument

Kebijakan penganggaran ini pemerintah daerah dapat Menyusun merinci

pelaksanaan urusan pemerintahan dibidang pemberdayaan dan perlindungan

anak menjadi 6 program utama yakni : 10 pengarusatamaan gender dan

perberdayaan perempuan , 2) perlindungan perempuan, 3) peningkatan

(29)

28

kwalitas keluarga, 4) penelolaan sitem data gender dan anak, 5) pemenuhan hak anak, dan 6) perlindungan khusus anak.

22

Selain itu, untuk memperkuat aspek kelembagaan PPA, pemerintah daerah dapat mengacu pada Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 060/1416/OTDA tanggal 10 Maret 2020 tentang Pembentukan Kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak. Pembentukan UPTD tersebut diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan koordinasi dan sinergitas program dan kegiatan PPA ditingkat Provinsi, kabupaten dan kota.

23

Sebagai isu kebijakan yang bersifat ,multi dimensional, maka pencegahan perkawinan anak memerlukan strategi kebijakan yang terpadu, menyeluruh (holistic), multi pihak, mengedepankan kesetaraan gender, parsitipatif, inklusif dan berkelanjutan sebagai berikut:

24

a. Membangun Narasi kontekstual dan Kerangka kereja lintas pemangku kepentingan.

Bappenas mengkoordinasikan upaya pembangunan PPA dengan melibatkan secara aktif Kemendagri, Kementrian PPPA, MA, BKKBN, Kemenkes, Kemendikbud, Kemensos, Kemenkeu, DPR?DPRD, pemerintah daerah, pemerintah desa, anak orangf tua, sekolah NGO, perguruan tinggi dan masyarakat dalam pelasnaan stranas PPA di berbagai

22 Ibid., hlm. 3

23 Ibid.

24 Ibid.

(30)

29

tingkatan pemereintah. Bappenas akan memimpin pembuatan rencana aksi inovatif Bersama PPA yang berisi pembagian tugas dan peran spesifik kepada para pemangku kebijakanterkait. Secara khusus, BKKBN perlu diberikan peran aktif untuk mensinergikan program peningkatan kualitas Kesehatan reproduksi, pembinaan ketahanan remaja, penurunan angka kelahiran remaja, peningkatan median usia kawin pertama perempuan dan sebagainya.

b. Optimalisasi Kapasitas Anak

Kelopmpok Perlindungan Anak Desa (KPAD) perlu diperkuat kapasitasnya agar mampu berperan sebagai agen perubahan sosial untuk PPA. Peningkatan kapasitas perlu dilakukan melalui pemberian Pendidikan kecakapan hidup, edukasi dan informasi mengenai implikasi perkawinan anak, dan penguatan peran kelompok sebaya (peer group ) mereka. Selain itu, anak perlu diberikan ruang lebih besdar untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan PPA diberbagai tingkatan pemerintahan.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( KPPPA ) dapat lebih berperan untuk memperkuat fungsi PATBM ( Perlindungan Anak Total Berbasis Masyarakat ) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan khususnya anak dan perempuan dan berbagai pembuat kebijakan atau pemikik kuas ditingkat desa atau komunitas. KPPPA juga perlu menggandeng berbagai pihak untuk memperkuat forum anak dalam rangka meningkatkan kapasitas dan agensi anak khususnya anak perempuan dalam rangka mencegah perkawinan anak.

c. Sinkronisasi dan Harmonisasi Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak

(31)

30

Dengan adanya Stranas PPA maka perlu segera didorong kolaborasi antara para pemangku kebijakan di tingkat pusat/nasional dengan daerah.

Beberapa Langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :

Pertama, Kementrian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah mengkoordinasikan upaya sinkronisasi Sranas PPA ke dalam Rencana Pembangunan Daerah. Bersama BAPPEDA pemerintah provinsi/kabupaten/kota selanjutnya Menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Perkawinan Anak sebagai turunan dari Stranas PPA, serta mengintregasikannya ke dalam Rencana kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2022.

Kedua Bappenas Bersama Kemendikbud, Kemensos, dan Kemendes Menyusun Rencana Aksi Bersama Perbaikan Akses Pendidikan Anak.

Hal ini sebagai suatu kebijakan dan program untuk meningkatkan pemberian bea siswa sekolah dan perbaikan infrastuktur Pendidikan di desa-desa miskin yang banyak terdapat kasus perkawinan anak.

Program ini bertujuan untuk mensinergikan upaya pengurangan angka kemiskinan dengan pencegahan perkawinan anak di desa miskin.

d. Mengembangkan Inovasi Kegiatan Sosialisasi

Bapennas Bersama Plan Indonesia dan KPI perlu merancang strategi

kegiatan sosialisasi Stranas PPA yang inovatif. Mengacu hasil survai yang

dilakukan oleh KPI menemukan fakta bahwa 59% responden tidak

(32)

31

mengetahui kebijakan/regulasi terkait Perkawinan anak seperti UU No 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, serta menganggap perkawinan anak sebagai sesuatu yang lazim dilakukan. Kondisi ini mencerminkan persoalan sistemik edukasi, diseminasi informasi dan soasialisasi kebijakan PPA yang perlu diperbaiki melalui program knowledge sharing dan kampanye penyadaran public bekerjasama dengan media, komunitas penggiat, anak, kaum muda, dan pemerintah daerah.

Persepsi masyarakat terhadap Undang-undang No 16 Tahun 2019 :

25

1) 59% tanggapan responden menyatakan masyarakat sebenarnya belum terlalu terpapar dengan adanya Undang-Undang No 16 Tahun 2019, bahkan masih menganggap bahwa perkawinan anak adalah hal yang lumrah.

2) Namun beberapa wilayah (Jawa Barat, DIY, Sulawesi Selatan) dimana terdapat program pencegahan perkawinan anak yang cukup intens, masyarakat menyatakan bahwa perkawinan anak harus dicegah.

3) Responden masyarakat awam, seperti pedagang di pasar, pejabat layanan public (Disdukcapil)beberapa tokoh masyarakat, menyatakan bahwa belum mengetahui telah ada perubahan/revisi Undang-Undang Perkawinan.

25 Koalisi Perempuan Indonesia “ Pencegahan Perkawinan Anak dan Covid – 19 Januari 2021.

(33)

32

BAB III

IMPLEMENTASI DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 16 TAHUN 2019 TERKAIT PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang mengubah usia minimum melangsungkan perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan, sepertinya tidak berdampak terhadap pencegahan perkawinan anak, hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor antara lain faktor social, Hukum, Keluarga, Ekonomi, Teknologi informatika, Budaya, Pendidikan, Agama dan lingkungan masyarakat. Dari data yang diperoleh bahwa di Negara Asean Indonesia menduduki peringkat ke 2 terbanyak dan di Dunia menduduki peringkat ke 8 terbanyak dalam melangsungkan perkawinan anak.

26

Selain faktor-faktor tersebut diatas ada semacam propaganda nikah muda dikalangan milineal yaitu : “ Kenapa harus nikah ( muda ) :

A. Karena ingin menyempurnakan separoh Agama B. Karena ingin memadukan potensi

C. Karena ingin menghindari maksiat.

D. Karena kebanyakan yang hijrah itu biasanya habis putus cinta, jadi nikah muda itu topik yang menarik buat mereka. Mereka diarahkan untuk tidak pacaran untuk menghindari zina, jadi nikah muda merupakan solusi untuk tidak berzina.

27

Adanya Media dan Framing Perkawinan Anak:

26 Webinar “ Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial, Agama dan Hukum Pasca Pengesahan Undang-Undang No 16 Tahun 2019.”

27 Ibid.

(34)

33

Perkawinan Anak lebih banyak mudhorotnya, oleh karena itu adanya Pencegahan Perkawinan Anak hukumnya wajib, seharusnya usia pernikahan diusia dewasa 21 tahun, selain itu penguatan hukum dalam pencegahan perkawinan anak harus ditingkatkan Adapun upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan : Pendidikan berkwalitas untuk semua dari berbagai kalangan, perlu bekal yang cukup artinya Pendidikan jenjang perguruan tinggi, Pencegahan kehamilan diluar nikah, selamatkan anak dari putus sekolah.

28

Upaya Tokoh Agama dalam mencegah Perkawinan anak antara lain :

A. Peran Tokoh Agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Tokoh Agama harus dapat mencarikan solusi persoalan ummatnya untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan secara komprehensif.

Fatwa Agama banyak digunakan rujukan oleh ummatnya. Memastikan bahwa fatwa tidak membawa keresahan Ummat.

B. Merumuskan Fiqih perlindungan anak, pemahaman progresif C. Mengkampanyeukan Pencegahan Pernikahan Anak

D. Pada prinsipnya agama itu dapat dihindarkan akibat buruk. Perkawinan anak jelas berakibat buruk pada keluarga muda ini. Masak anak melahirkan anak, nanti main klereng bareng, rebutan boneka dan balon.

29

Pernikahan Anak menyalahi prinsip Pernikahan dalam Islam yaitu sebagai berikut :

A. Pernikahan adalah perjanjian yang sacral bukan hanya untuk pelampiasan seksual dan mendekati perzinahan.

B. Pernikahan dalam Islam adalah untuk meningkatkan kwalitas pasangan suami- istri dan untuk mendapatkan kesakinahan, kerahmatan, dan kemawadahan (SAMAWA).

28 Ibid.

29 Ibid.

(35)

34

C. Pernikahan anak rentan dengan kespro, kematangan psikologis, kemapanan

ekonomi, social dan spiritual.

D. Pernikahan anak berdampak pada ketidak bahagiaan keluarga.

30

Menurut pendapat dari Alimatul Qibtiyah tentang pencegahan dan penanganan perkawinan anak sebagai berikut :

1. Sampaikan ajaran agama yang menentukan tujuan perkawinan itu SAMAWA dengan usia matang ‘ dan sampaikan dengan dalil-dalil yang jelas.

2. Sosialisasi kurang harus banyak terobosan bisa melalui TV sinetron-sinetron mengkampanyekan usia perkawinan harus sudah 19 tahun

3. Perlu adanya Pendidikan sexsual yang komprenhensif

4. Siswi hamil dikeluarkan dari sekolah ini tidak boleh aturannya hrs dirubah.

5. Peran Tokoh harus tidak setuju dengan adanya pernikahan anak.

31

Dalam Undang-Undang Perkawinan no 16 Tahun 2019 dikatakan bahwa dispensasi perkawinan merupakan keringanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria dan Wanita yang belum mencapai 19 Tahun. Sedangkan dalam Kamus Hukum, Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian terhadap ketentuan- ketentuan peraturan hukum atau Undang-Undang yang semestinya harus berlaku secara formil.

32

Menurut Ahmad Nur ( Wakil Ketua Pengadilan Jakarta Selatan ) Dimensi Hukum yang memberikan ruang untuk melakukan Perkawinan Anak yaitu Dispensasi.

Dispensasi merupakan sarana hukum atau bagian pranata hukum untuk memberikan

30 Ibid.

31 Ibid.

32 Yan Pramadya, Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm 321.

(36)

35

perlindungan hukum bagi anak khususnya perkawinan anak, namun dispensasi juga sebetulnya merupakan penyimpangan dari norma atau aturan yang sudah ditentukan.

33

Fenomena kondisi pasca perubahan UU Perkawinan, harus ada bukti-bukti pendukung Ketika akan mengajukan Dispensasi perkawinan antara lain :

a. Pada sidang pertama harus dihadirkan anak-anak yang dimohonkan

b. Calon suami istri diminta dihadirkan untuk diminta keterangan yang bisa menjadi pertimbangan Hakim

c. Apabila tidak hadir sidang ditunda

d. Orang Tua dar anak juga harus dihadirkan dalam persidangan

e. Kalau sudah hamil harus dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari dokter

f. Ada dialog antara Hakim dan kedua orang tua.

34

Menurut Alimatul Qibtiyah Dispensasi merupakan kewenangan Hakim, disini Hakim tidak bisa menolak jadi harus diperketat persyaratannya, selain itu Pengadilan harus bisa membangun pemahaman yang nyata, pastikan sebelum ke Pengadilan mereka harus melalui jalur konseling dulu agar lebih baik, dan mendapat alasan-alasan yang lebih baik.

35

Disisi lain ada yang mengartikan bahwa Dispensasi Perkawinan merupakan informasi dari orang/oknum yang tidak bertanggung jawab, karena ini menjadi peluang untuk melangsungkan perkawinan anak, karena beranggapan bahwa dengan dispensasi tidak merasa melakukan pelanggaran karena akan mendapatkan pengesahan, mendapatkan akta nikah dsb dalam arti perkawinannya dianggap legal atau resmi.

Adapun yang dijadikan alasasan untuk menempuh jalur dispensasi sebagai berikut :

33 Webinar, Op.Cit.

34 Ibid.

35 Ibid.

(37)

36

a. Terjadi kehamilan diluar perkawinan pada usia anak

b. Keinginan keras dari orang tua dan keluarga

c. Pertimbangan pasangan telah memasuki masa akil-baliq d. Anak telah berpacaran dan bertunangan

e. Kemampuan ekonomi.

36

Untuk memberikan standar pemberian dispensasi, kemudian ditetapkan PERMA No 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Hakim memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan pantas atau tidaknya suatu permohonan dispensasi untuk diterima. PERMA No 5 Tahun 2019 ini memuat hal-hal baru terkait bagaimana menyidangkan perkara dispensasi sehingga Hakim memiliki pedoman dan standar atas pertimbangannya dalam memberikan penetapan dispensasi.

37

PERMA ini merupakan terobosan hakim dimana Hakim wajib mengindentifikasi memberikan dampak perkawinan ana katas keinginannya meminta rekomendasi ahli-ahli dari pernyataan ini . Maka dimungkinkan ada 2 macam putusan yang dijatuhkan oleh Hakim yaitu Hakim mengabulkan Dispensasi dan menolak Dispensasi.

PERMA No 5 Tahun 2019 dapat memberikan dampak negative perkawinan anak, mengindentifikasi kekerasan dan/atau unsur paksaan, Hakim dapat mendengarkan anak atas keinginannya, meminta rekomendasi medik dll. Tujuan Perma No 5 Tahun 2019 adala untuk memberikan perlindungan terhadap anak langkahnya untuk pencegahan perkawinan anak harus ada kerja sama dengan PEMDA harus menambahkan persyaratan Dispensasi yaitu harus ada surat sehat dari dokter dan ada rekomendasi dari dinas atau Lembaga yang membawahi bidang pemberdayaan perempuan dan anak.

38

36 Koalisi Perempuan Indonesia, Op.Cit.

37 Mohammad Kamil Ardiansyah, Pembaharuan Hukum Oleh Mahkamah Agung Dalam Mengisi Kekosongan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol 14 No.2, Juli 2020.hlm 379.

38 Webinar, Op.Cit.

(38)

37

Pasca PERMA No 5 Tahun 2019 diberlakukan , Hakim harus memperhatikan hal-hal yang diatur dalam PERMA tersebut dalam mempertimbangkan permohonan Dispensasi. Ada beberapa Penetapan sebagai berikut :

- Penetapan No 165/Pdt.P/2020 Ktg. Hakim telah menimbang hal-hal yang diatur dalam PERMA, yakni memperhatikan keterangan dari anak yang akan melangsungkan perkawinan serta memperhatikan latar belakang Pendidikan dan psikologis anak. Dengan pertimbangan-pertimbangannya, Hakim kemudian menolak permohonan Dispensasi dalam penetapan ini.

- Penetapan No. 181/Pdt.P/2020/PA.Tas Hakim dalam hal ini dengan segala pertimbangannya mengabulkan permohonan Pemohon.

- Penetapan Pengadilan Agama No 363/Pdt.P/2020 PA.JS Hakim dalam hal ini dengan segala pertimbangannya mengabulkan Pemohon.

- Penetapan Pengadilan Agama No 0012/Pdt.P/2019/PA.Bb Hakim dengan segala pertimbangannya menolak permohonan Pemohon.

Perkara Dispensasi :

Perkara Dispensasi

Data Dispensasi di Indonesia

● Tercatat ada 38.686 perkara Permohonan dispensasi sepanjang Tahun 2018-2019

● Dari total perkara yang dimohonkan, Sebanyak 36.377 Perkara yg diputus

Data Dispensasi di Daerah

● Jawa Barat : tercatat sebanyak 84 perkara permohonan dispensasi (November 2019- Mei 2020 )

● Jawa Tengah : tercatat sebanyak 106 perkara permohonan dispensasi ( sepanjang 2020)

● Nusa Tenggara Barat (NTB) : tercatat sebanyak 74 perkara permohonan dispensasi (November 2019-2020)

●Palu:tercatat sebanyak 46 perkara permohonan dispensasi (November 2019-mei 2020)

●Jawa Barat : tercatat sebanyak 84 perkara permohonan dispensasi ( November 2019-Mei 2020)

●Sigi dan Donggala,SULTENG : tercatat sebanyak 25 perkara permohonan dispensasi ( November 2019-Mei 2020)

(39)

38

Contoh-Contoh kasus Perkawinan Anak :

Sempat menjadi tren dikalangan anak muda, namun sayang konsep pacaran setelah menikah acapkali berakhir nestapa :

a. Muhammad Alvin Faiz, putra Alm KH Usd. Arifin Ilham yang menikah diusia 17 tahun, akhirnya digugat cerai oleh Larissa Chou istrinya, perkawinan hanya berlangsung 5 Tahun

b. Rizky Safarudin (Penyanyi Dangdut) dengan Nadya Mustika yang diawali taaruf singkat, juga sempat viral karena kemesraan mereka hanya berdurasi 1 bulan, dan berdasarkan pengakuan Rizky satu bulan pernikahan sudah menceraikan istrinya Nadya.

c. Kontroversi artis remaja perankan istri ketiga. Sinetron Suara Hati Istri-Zahra dikecam karena menampilkan artis usia 14 tahun sebagai istri ke tiga. Sebagian orang menilai sinetron tersebut sebagai upaya mempromosikan perkawinan anak. Atas Keputusan KPI berharap agar pihak rumah produksi memahami regulasi yang terkait dalam konten siaran. Bukan sekedar Undang-Undang Penyiaran, tapi juga Undang-Undang lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Perkawinan.

d. Anak Anggota DPRD di Kota X Bernama AT (21) yang menjadi tersangka kasus permerkosaan terhadap anak dibawah umur, disarankan agar menikah dengan korbannya PU (15) . Salah satu tujuannya adalah untuk meringankan hukuman AT, dan rencananya karena PU masih dibawah umur akan mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama.

e. Kasus Perkawinan Tangkap /Perkawinan lari/Perkawinan Penculikan dengan

mengatasnamakan tradisi dengan cara-cara yg tidak manusiawi yang terjadi di

NTT :

(40)

39

- Menarik paksa ( tidak saling mengenal )

- Dipaksa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan senjata tajam - Orang tua tidak tau

- sama-sama tidak cinta atau dijodohkan orang tua.

(41)

40

BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Implikasi Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Terkait Pencegahan Perkawinan Anak.

Dalam upaya pemetaan dan harmonisasi kebijakan terus dilakukan oleh Pemerintah untuk mencegah perkawinan anak. Harmonisasi diperlukan agar berbagai regulasi tingkat pusat dan daerah dapat selaras, saling mendukung dan efektif dalam pelaksanaannya dilapangan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan masih perlu disinkronisasikan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan. Upaya ini dilakukan untuk konsistensi dan ketegasan para Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi sesuai dengan spririt mencegah atau menolak perkawinan anak. Artinya akan ada 2 macam keputusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim yaitu Hakim mengabulkan Dispensasi dan Menolak Dispensasi.

Ada 3 Kebijakan Nasional terkait Pencegahan Perkawinan Anak :

a. Perpres No 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangaka Menengah Nasional 2020-2024.

Upaya Pencegahan Perkawinan Anak dilakukan melalui penguatan

koordinasi dan sinergi dengan melibatkan berbagai pemangku

kepentingan. Indikator kinerja utamanya yakni penurunan proporsi

perempuan umur 20-24 yang menikah sebelum berumur 19 tahun.

(42)

41

b. Sustainable Development Goals yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, dimana salah satu sasarannya penghapusan perkawinan anak.

c. Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak ( Stranas PPA ) bertujuan untuk membangun sinergi rencana dan program pembangunan disetiap tingkatan pemerintahan melalui 5 strategi yakni 1) Optimalisasi kapasitas anak 2) lingkungan yang mendukung 30 aksebilatas layanan 4) penguatan regulasi, 5) penguatan koordinasi pemangku kepentingan ditingkat nasional maupun daerah.

2. Implementasi Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Terkait Pencegahan Perkawinan Anak.

Walaupun Pemerintah berupaya untuk mencegah terjadinya Perkawinan anak

dengan menerbitkan Undang-Undang No 16 Tahun 2019, ada aturan Dispensasi

dan diikuti dengan dikeluarkannya PERMA No 5 Tahun 2019, namun dalam

pelaksanaanya masih ditemui beberapa kasus perkawinan anak apalagi dimasa

pandemic Covid -19 data yang diperoleh meningkat dengan beberapa faktor

penyebabnya yaitu faktor social, agama, ekonomi, budaya, penerapan kegiatan

belajar mengajar secara daring yang tidak efektif, dan akses terhadap konten

negative media social dan internet telah meningkatkan perilaku online yang

beresiko, seperti kekerasan saiber, predator dan sebagainya. Selain faktor-faktor

tersebut ada semacam propaganda nikah muda dikalangan milineal “ Kenapa

harus Nikah Muda ?” : Karena ingin menyempurnakan separoh Agama, Karena

ingin memadukan potensi, Karena ingin menghindari maksiat dan Karena

kebanyakan yang hizrah itu biasanya habis putus cinta, jadi nikah muda itu topik

(43)

42

yang menarik buat mereka. Mereka diarahkan untuk tidak pacaran, untuk menghindari zina jadi nikah muda merupakan solusi untuk tidak berzina.

Persepsi Masyarakat terhadap Undang-Undang No 16 Tahun 2019 :

a. 59% tanggapan responden menyatakan masyarakat sebenarnya belum terlalu terpapar dengan adanya UU No 16 Tahun 2019, bahkan masih menganggap perkawinan anak adalah hal yang lumrah.

b. Namun beberapa wilayah ( Jawa Barat, DIY, Sulawesi Selatan ) dimana terdapat program pencegahan perekawinan anak yang cukup intens, masyarakat menyatakan bahwa perkawinan anak harus dicegah

c. Responden masyarakat awam, seperti pedagang di pasar, pejabat layanan public (Disdukcapil ) beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa belum mengetahui bahwa telah ada perubahan/revisi UU.

B. Saran

1. Karena polarisasi praktik perkawinan anak kecenderungannya terjadi di tingkat daerah-desa, maka disimpulan sementara bahwa daerah dan desa sebenarnya garda penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak, namun harus ada komitmen dari pemerintah daerah – desa untuk sama-sama memposisikan aturan pencegahan yang massive.

2. Perlu mendorong Kementrian Dalam Negeri menerbitkan Permen Intruksi

kepada Pemda-Pemdes untuk mengeluarkan kebijakan sejalan dengan UU No

16 Tahun 2019, atau sector pemerintah lainnya yang berkaitan dengan aspek

pencegahan peerkawinan anak (KEMENKES, KEMENDIKBUD, KOMINFO,

KEMENDES).

(44)

43

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Mohammad Kamil, Pembaharuan Hukum Oleh Mahkamah Agung Dalam Mengisi Kekosongan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol 14 No.2, Juli 2020.

Eleanora, Fransiska Novita dan Andang Sari. Pernikahan Anak Usia Dini Ditinjau Dari Perspektif Perlindungan Anak. PROGRESIF: Jurnal Hukum, 14(1).

Ilma, Mughniatul, Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca lahirnya UU No 16 Tahun 2019, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol 2(2), 2020.

Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Koalisi Perempuan Indonesia “ Pencegahan Perkawinan Anak dan Covid – 19 Januari 2021.

Kushidayati, Lina, Judicial Review atas UU No 1/1974 dan Implikasi Hukumnya.

Comferrence Proceedings AICIS XII 2816.

Laporan Penelitian “Perkawinan Anak Dalam Perspektif Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Hindu Khaharingan. Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Jakarta November 2016.

Lubis, Amami, “Langkah MUI dalam Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan “ Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan.

Mubasyaroh, STAIN Kudus, Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya Bagi Pelakunya, Jurnal Hukum Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

Penelitian Internal Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila. “Analisis Perkawinan Di Bawah Umur (Studi Kasus Permohonan Dispensasi Kawin Yang Terjadi Di Desa Cipenjo, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” 2020.

Pramadya, Yan, Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977).Soekanto Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali,1986),

Wakil Presiden Republik Indonesia. Sambutan Seminar dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk meningkatkan kualitas anak, Pemuda, Perempuan dan Keluarga. 18 Maret 2021.

Webinar “ Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial,

Agama dan Hukum Pasca Pengesahan Undang-Undang No 16 Tahun 2019.”

(45)

44

Yayasan Plan Internasianal Indonesia “Setelah Perubahan Undang-Undang

Perkawinan Pemetaan Singkat Kebijakan terkait Perkawinan Anak “ 2021.

Yayasan Plan Internasional Indonesia “ Perkawinan Anak di Masa Pandemik Covid- 19”, Policy Brief , Februari 2021

Yumarni, Ani dan Endeh Suhartini. Perkawinan Bawah Umur dan Potensi Perceraian (Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor) JH Ius Quia Lustum Volume 26 Issue 1 Januari 2019 ; pp 193211 copyright @ 2019 Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia.

Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak dibawah umur Menurut Undang-

Undang No 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra Keadilan , Vol 12

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu dalam dispensasi perkawinan anak di bawah umur, dasar pertimbangan hakim yang digunakan untuk mengabulkan dispensasi perkawinan yaitu Pasal 7 ayat (2)

“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan yg boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang

1) Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun

b) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. c) Untuk melansungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu) tahun

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat

55 PENGUATAN NORMA SYARAT DISPENSASI KAWIN DALAM UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK BERDASARKAN PERSPEKTIF TEORI TUJUAN HUKUM Sulistyarini Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Berdasarkan hal tersebut diatas maka tujuan penulis melakukan penelitian ini yaitu: 1 Untuk mengetahui dispensasi perkawinan dibawah umur menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019