PENGARUH PEMBERIAN PESTISIDA DARI UMBI GADUNG (Dioscorea hispida dennst.), DAUN NIMBA (Azadirachta indica A. Jus) DAN
DAUN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN CABAI (Capsicum annuum)
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
YOAKIM L. TABOY NIM: 111 434 041
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PENGARUH PEMBERIAN PESTISIDA DARI UMBI GADUNG (Dioscorea
hispida dennst.), DAUN NIMBA (Azadirachta indica A. Jus) DAN DAUN
TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN CABAI (Capsicum annuum)
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
YOAKIM L. TABOY NIM: 111 434 041
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
iii HALAMAN PENGESAHAN
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Jalani dan Nikmati Hidup Ini Apa Adanya Dan Teruslah Berusaha
Maka Kebahagiaan akan Datang dengan Sendirinya
Saya persembahkan buat: Kedua orang tuaku, Bapak dan Mama Kakak dan Adik-adikku Konggregasi Frater CMM
Almamaterku
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarya, 21 Juli 2015 Penulis
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:
Nama : Yoakim L. Taboy NIM : 111434041
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGARUH PEMBERIAN PESTISIDA DARI UMBI GADUNG (Dioscorea hispida dennst.), DAUN NIMBA (Azadirachta indica A. Jus) DAN DAUN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT
TANAMAN CABAI (Capsicum annuum)
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, untuk mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta
Pada tanggal : 03 Juli 2015
Yang menyatakan,
vii ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN PESTISIDA DARI UMBI GADUNG (Dioscorea
hispida dennst.), DAUN NIMBA (Azadirachta indica A. Jus) DAN DAUN
TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN CABAI (Capsicum annuum)
Yoakim L. Taboy 111434041
Universitas Sanata Dharma
Salah satu kendala yang sering dihadapi petani tanaman cabai adalah masalah serangan hama dan penyakit. Solusi penanggulangan menggunakan pestisida kimia cukup efektif namun dampak yang ditimbulkan ternyata sangat berbahaya bagi lingkungan dan organisme lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tanaman mana antara umbi gadung, daun nimba dan daun tembakau serta pada perbandingan konsentrasi berapa yang paling baik menekan serangan hama dan penyakit tanaman cabai. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Percobaan dilakukan pada 100 sampel tanaman cabai yang terdiri dari 9 perlakuan dan 1 kontrol yang didesain menjadi penelitian dua faktor yakni menguji tiga jenis bahan tanaman dan tiga perbandingan konsentrasi. Aplikasi pestisida dilakukan seminggu sekali dengan cara menyemprotkan ekstrak pestisida ke semua bagian tanaman. Penyemprotan diberikan pada sore hari. Pengambilan data dilakukan sekali seminggu selama sepuluh minggu dengan menghitung intensitas serangan dalam bentuk persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan hama kutu putih dan virus. Aplikasi pestisida tidak memberikan pengaruh yang berbeda signifikan antara tiap perlakuan terhadap penurunan intensitas hama kutu putih. Sedangkan pada virus, aplikasi pestisida memberikan pengaruh yang berbeda signifikan terhadap intensitas virus yakni terdapat pada perlakuan dengan bahan tembakau pada konsentrasi 1:4 (P3K1).
Kata Kunci: Pestisida, hama, penyakit, tanaman cabai, umbi gadung, daun nimba, daun tembakau.
viii
ABSTRACT
THE IMPACT OF APPLYING ORGANIC PESTICIDE MADE OF GADUNG TUBER (Dioscorea hispida dennst.), NIMBA LEAVES (Azadirachta indica A.
Jus), AND TOBACCO LEAVES (Nicotiana tabacum) TOWARDS PESTS AND DISEASES OF CHILI PLANT (Capsicum annuum)
Yoakim L. Taboy 111434041
Sanata Dharma University
One of the obstacles often faced by chili farmers is the problem of pests and disease. The solution to reduce those problems by using chemical pesticide is quite effective but the impact generated is very dangerous for the environment and other organisms .This research was conducted to determine which organic pesticide source plants between gadung tuber, nimba leaves and tobacco leaves and in what comparison of concentration is the best way in pressing both pests and disease of chili.This research was a kind of experimental research. Experiments were performed in 100 samples of chili plants consisting 9 treatments and 1 control which was designed to be two factors research which were testing three types of plant material and three comparisons of concentration. The application of pesticides was done once a week by spraying an extract of pesticide to all parts of plants. The spray was given in the afternoon .The data was collected once a week for ten weeks by counting the intensity of the attacks in the form of percent. The results of research showed that white lice pests and virus were found. The application of pesticides didn’t show significantly the different impact in every treatmentdone to decrease the intensity of white lice pests. Whereas on the virus, the application of pesticides showed different impact to the intensity of virus which was also found in tobacco treatment in the concentration of 1:4 (P3KI).
Keywords: Organic pesticide, pests, disease, and chili plants, gadung tuber, nimba leaves, tobacco leaves
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang berlimpah penulis haturkan kehadirat Tuhan Sang Pemberi Kehidupan dan Sumber Pengharapan karena atas tuntunan dan bimbingannya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Banyak hal yang dialami dan dirasakan oleh penulis selama menjalankan dinamika perkuliahan di Universitas Sanata Dharma tercinta ini. Ketercapaian yang dialami penulis sampai sejauh ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah mendukung, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang mencapai cita.
Untuk itu semua pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Nikolas Leok dan mama Maria Amafnini yang telah melahirkan dan merawat serta membesarkan dan yang selalu memanjatkan doa yang tulus kepada Tuhan untuk penulis
2. Kakak Anina, adik Korry, Yanti, Ance, Ricco dan Jello yang selalu memberikan penghiburan serta percakapan yang hangat
3. Konggregasi Frater CMM yang ikut berperan besar bagi penulis untuk tumbuh dan berkembang secara dewasa
4. Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang utuh
5. Program Studi Pendidikan Biologi yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk menimba ilmu
6. Kaprodi dan para Dosen Pendidikan Biologi yang telah meluangkan waktu untuk membagikan ilmu dan juga telah berdinamika bersama baik saat menjalani perkuliahan di kelas maupun di luar kelas
7. Romo Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J yang telah mendampingi dengan tulus dan sabar selama penulis menjalankan perkuliahan maupun selama mengerjakan tugas akhir serta selalu memberikan teladan bagi penulis
8. Teman – teman “VIRION” Pendidikan Biologi angkatan 2011 yang dengan caranya masing-masing telah mendukung, menyemangati, mencintai dan
x
menjadi sahabat seperjuangan selama menjalani dan menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma.
9. Semua pihak yang telah mendukung serta membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Itu semua bukanlah hal yang disengaja atau direkayasa melainkan disadari penulis sebagai manusia yang terbatas. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi melengkapi dan membuat tulisan ini menjadi layak untuk dibagikan dan dipercaya.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
Penulis
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4 C. Batasan Penelitian ... 4 D. Tujuan Penelitian ... 5 E. Manfaat Penelitian ... 5 BAB II ... 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
xii A. Dasar Teori ... 6 1. Hama ... 6 2. Penyakit... 7 3. Pestisida ... 7 4. Pestisida Organik ... 10
5. Tanaman Cabai (Capsicum annuum) ... 10
6. Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) ... 16
7. Nimba (Azadirachta indica A. jus) ... 19
8. Tembakau (Nicotiana tabacum) ... 21
B. Kerangka Berpikir ... 22
C. Hipotesis ... 23
BAB III ... 24
METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A. Jenis Penelitian ... 24
B. Alat dan Bahan ... 25
C. Cara Kerja ... 26
1. Penyemaian Benih ... 26
2. Persiapan Media Tanam ... 26
3. Penanaman ... 27
4. Pemeliharaan ... 27
5. Pembuatan Larutan Pestisida ... 27
6. Teknik Penyemprotan ... 28
7. Teknik Pengambilan Data ... 29
D. Metode Analisis Data ... 30
E. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 30
BAB IV ... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Hama Kutu Putih ... 32
xiii
2. Uji Anova satu faktor tiap perlakuan ... 36
B. Penyakit Virus ... 41
1. Uji Anova Dua Faktor ... 44
2. Uji Anova satu faktor tiap perlakuan ... 50
C. Aplikasi Hasil Penelitian pada Materi Pembelajaran SMA ... 55
BAB V ... 57
KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ... 16
Tabel 1.2 Sasaran hama dan penyakit ... 20
Tabel 3.1 Kategori serangan berdasarkan tingkat serangan ... 29
Tabel 4.1 Intensitas Hama Kutu Putih pada Tanaman Cabai (dalam %) ... 32
Tabel 4.2 Intensitas serangan hama Kutu Putih ... 34
Tabel 4.3 Uji anova two factor with replication untuk hama kutu putih ... 35
Tabel 4.4 Intensitas Penyakit Virus pada Tanaman Cabai (dalam %) ... 41
Tabel 4.5 Intensitas penyakit Virus ... 43
Tabel 4.6 Uji anova two factor with replication penyakit virus ... 44
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Azas penggunaan pestisida (Djojosumarto, 2008) ... 9 Gambar 4.1. Gejala Penyakit Virus pada Tanaman Cabai ... 47
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Data Pengamatan Hama Kutu Putih dan Penyakit Virus ... 61
A. Kutu Putih ... 61
B. Penyakit Virus ... 62
Lampiran II : Uji Statistik Hama Kutu Putih ... 63
A. Uji Normalitas Kutu Putih ... 63
B. Uji Homogenitas Hama Kutu Putih ... 68
C. Uji Anova Dua Faktor ... 68
D. Uji Anova Satu Faktor ... 69
Lampiran III : Uji Statistik Penyakit Virus ... 70
A. Uji Normalitas ... 70
B. Uji Homogetitas ... 70
C. Uji Anova Dua Faktor ... 71
D. Uji critical differences (CD) ... 72
E. Uji Anova Satu Faktor ... 72
Lampiran IV: Rancangan Hasil Penelitian untuk Pendidikan ... 75
SILABUS ... 75
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ... 82
Instrumen Tes Tertulis ... 91
Instrumen Penilaian Observasi ... 95
Instrumen Penilaian Proyek ... 96
Lampiran V : Dokumentasi penelitian ... 97
A. Tata Letak Tanaman ... 97
B. Serangan Kutu Putih pada Tanaman Cabai ... 97
C. Gejala dan Serangan Virus pada Tanaman Cabai ... 98
D. Bahan yang Digunakan ... 98
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanaman cabai ( Capsicum annuum) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang dibudidayakan hampir di seluruh wilayah pertanian di Indonesia. Tanaman cabai termasuk tanaman yang mampu tumbuh pada iklim tropis di Indonesia sehingga dapat ditanam sepanjang tahun. Buah cabai menjadi buah sayuran yang digemari. Selain karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, buah cabai telah menjadi “teman” para ibu rumah tangga dalam menyajikan setiap masakan dalam rumah tangga.
Budidaya tanaman cabai memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Peningkatan konsumsi buah cabai setiap saat mengalami peningkatan dan memberi dampak yang baik bagi para petani cabai. Pada saat-saat tertentu di Indonesia, harga buah cabai melambung begitu tinggi dan dapat mencapai harga Rp.70.000/kg. Buah cabai pantas disebut tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat bersaing menjadi tanaman ekspor.
Permasalahan yang sering muncul terkait dengan budidaya tanaman adalah hama dan penyakit. Akibat yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit ini dapat menurunkan jumlah produksi buah cabai dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi para petani cabai. Pengendalian hama selama ini dilakukan dengan menggunakan pestisida sintetik atau kimia. Penggunaan pestisida sintetik sebagai pengendali hama dan penyakit cukup efektif. Namun jika dilihat dampak yang akan ditimbulkan ternyata berbahaya bagi
2
tanaman, hewan non terget bahkan manusia. Maka, perlu dicari alternatif lain yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru terkait dengan pengendalian hama tersebut.
Harian online Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (KRJogja.com, 17/1/2014) mengungkapkan bahwa di Kebumen terjadi serangan penyakit mematikan pada tanaman cabai. Ribuan tanaman yang mati ini diduga terserang virus dan mengakibatkan produktifitas tanaman cabai terhenti. Selain itu, di Kediri terjadi hal yang serupa. Virus ini menyerang tanaman cabai di tiga kecamatan yakni kecamatan Kepung, kecamatan Siman dan kecamatan Kebonrojo. Tamanan cabai yang diserang langsung kering dan menyebabkan 80% gagal panen tulis harian kompas online (Kompas.com, 17/1/2010).
Berdasarkan hasil observasi ke salah satu desa pertanian di kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah ditemukan bahwa masalah hama dan penyakit menjadi masalah utama petani yang menyebabkan terjadinya gagal panen. Umumnya hama yang sering menyerang tanaman pertanian adalah hama walang sangit, belalang, kutu putih dan beberapa hama lain yang diberi nama sendiri oleh para petani. Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman cabai adalah jamur, penyakit layu dan virus. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menyemprotkan pestisida sintetik yang dibeli di toko-toko pertanian. Kurangnya pengetahuan dan juga pemahaman mengenai penggunaan pestisida membuat para petani menakar dosis sesuai keinginan tanpa mengikuti petunjuk penggunaan. Jika hama maupun penyakit yang
3
disemprot belum mati, maka dosisnya akan ditambahkan lagi. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh bagi keberlanjutan pertanian. Penggunaan pestisida sintetik secara berlebihan dan terus – menerus dapat mendatangkan masalah yang lebih berat terutama terhadap kelangsungan hidup makhluk hidup lain termasuk manusia.
Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan alam termasuk keanekaragaman makhluk hidupnya. Hampir di semua pelosok wilayah mempunyai kebiasaan menggunakan tanaman sebagai bahan untuk dikonsumsi maupun digunakan untuk berbagai kepentingan manusia. Salah satunya yaitu penggunaan jenis tanaman yang dapat mengusir serangga. Dalam berbagai studi pustaka, kekayaan alam Indonesia memiliki berjuta-juta tanaman yang berkasiat dalam berbagai bidang termasuk pada bidang pertanian yang dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan penyubur tanah maupun bahan dasar pembuatan pestisida. oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji tingkat keefektifan beberapa tanaman yang mempunyai kemampuan sebagai pengendali hama dan penyakit.
Pemanfaatan tanaman lokal yang dapat ditemui di lingkungan sekitar sebagai bahan pengganti pestisida sintetis menjadi alternatif untuk mengendalikan hama dan penyakit yang lebih ramah lingkungan. Banyak penelitian yang telah memanfaatkan tanaman sebagai bahan pengendalian hama maupun penyakit secara organik. Maka pentingnya uji tingkat keefektifan setiap bahan yang digunakan sangat pertlu untuk diteliti lebih
4
lanjut karena setiap tanaman yang digunakan memiliki kandungan yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak dari umbi gadung (Dioscorea hispida Dennts.), daun nimba (Azadirachta indica A. jus) dan daun tembakau (Nicotiana tabacum) dapat mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai?
2. Konsentrasi berapakah yang paling efektif dalam menekan intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai?
C. Batasan Penelitian
1. Subjek dalam penelitian ini adalah tanaman cabai keriting (Capsicum annuum) jenis Yosii F1.
2. Jumlah tanaman yang digunakan sebanyak 100 tanaman yang ditanam pada polybag ukuran 50 cm x 50 cm.
3. Setiap faktor yang diuji terdiri dari 3 kelompok sehingga total perlakuan berjumlah sembilan ditambah satu kontrol.
4. Penelitian ini menggunakan pestisida dari tiga bahan tanaman antara lain umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang diperoleh dari kebun kawasan Omah Petruk, daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss) yang diambil dari pohon yang terdapat di kebun biologi Babadan dan kebun samping Laboratorium P. Biologi dan daun Tembakau (Nikotiana
5
tabacum) berupa bahan kering yang dibeli di pasar tradisional Beringharjo, Yogyakarta.
5. Setiap bahan terdiri dari tiga perbandingan konsentrasi yaitu 1:4, 1:8 dan 1:12.
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui ekstrak dari umbi gadung (Dioscorea hispida Dennts.), daun nimba (Azadirachta indica A. jus) dan daun tembakau (Nicotiana tabacum) yang dapat mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai
2. Mengetahui konsentrasi berapa yang paling efektif menekan intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Sebagai syarat untuk mengembangkan pengetahuan di bidang pertanian terutama tentang pengendalian hama dan penyakit pada tanaman cabai 2. Bagi Pertanian
Sebagai masukan informasi bagi petani dalam membuat pestisida 3. Bagi Dunia Pendidikan
Sebagai masukan informasi mengenai khasiat tanaman-tanaman yang tumbuh di setiap wilayah Indonesia
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
Menurut Widada dalam Sibarani (2008), dalam budidaya tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan masalah hama dan penyakit merupakan kendala yang utama. Keberhasilan dalam budidaya tanaman ditentukan oleh banyak faktor namun jika tanaman yang dibudidaya terserang hama dan penyakit maka akan sangat menentukan produktifitas budidaya tanaman tersebut. Usaha pengendalian hama harus dilakukan secara terpadu. Oleh karena itu, pengendalian hama harus dapat dikendalikan dengan baik melalui cara-cara yang ramah lingkungan, tidak mencemari lingkungan, tidak meracuni lingkungan, tidak meracuni tanah, tanaman, binatang dan manusia (Pracaya, 2008).
1. Hama
Hama tanaman adalah makhluk hidup pengganggu berupa hewan yang umumnya dapat dilihat dengan mata telanjang. sebagian besar hama tanaman adalah serangga. Hewan lain yang sering menjadi hama selain serangga adalah tungau (acarinae), binatang lunak (mollusca) seperti siput dan vertebrata seperti monyet, tikus, burung dan babi hutan. Hama merusak tanaman dengan berbagai cara misalnya memakan daun tanaman, membuat korok-korok pada daun, melubangi dan membuat korok-korok pada batang, menggerek umbi, mengisap cairan tanaman,
memakan bunga dan bagian-bagian bunga dan sebagainya (Djojosumarto, 2008).
2. Penyakit
Menurut Djojosumarto, 2008, penyakit infeksi pada tanaman dapat disebabkan oleh kekurangan unsur tertentu, cendawan (jamur, fungi), bakteri, virus, nematoda, mikoplasma dan tumbuhan parasit. Penyebab penyakit tanaman tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh sebab itu, kebanyakan penyakit hanya dapat diidentifikasi dari gejalanya yang khas misalnya terdapat bercak pada daun dan batang, ujung buah membusuk, daun tanaman layu dan menggulung (Pitojo, 2003)
3. Pestisida
Pestisida (Inggris: pesticide) secara harafiah berarti pembunuh hama (pest: hama; cide: membunuh). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7/1973, pestisida adalah semua jenis zat kimia atau bahan aktif lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:
a. mengendalikan atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
b. mengendalikan rerumputan;
c. mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan; d. mengendalikan atau mencegah hama-hama luar pada hewan
e. mengendalikan hama-hama air;
f. mengendalikan atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi.
Teknik aplikasi pestisida pertanian harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1) Penggunaan secara legal, yakni penggunaan pestisida pertanian yang tidak bertentangan dengan semua peraturan yang berlaku di Indonesia. 2) Penggunaan secara benar, yakni penggunaan pestisida sesuai dengan metode aplikasinya sehingga pestisida yag diaplikasikan efektif dan mampu mengendalikan hama organisme pengganggu tanaman sasaran.
3) Penggunaan pestisida secara bijaksana yakni:
a) Penggunaan pestisida yang mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan resiko (risk management), untuk menjamin keselamatan pengguna, konsumen dan lingkungan.
b) Penggunaan pestisida sejalan dengan prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
c) Penggunaan pestisida yang ekonomis dan efisien. (Djojosumarto, 2008)
Secara ringkas azas penggunaan pestisida pada budidaya pertanian dapat dilihat pada gambar 1:1 berikut:
Gambar 1.1: Azas penggunaan pestisida (Djojosumarto, 2008)
Tujuan aplikasi pestisida di bidang pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua yakni:
a. Bila aplikasi dilakukan sebelum tanaman terserang, maka aplikasi bertujuan untuk menghindari atau mencegah agar tanaman tidak diserang. Aplikasi ini disebut aplikasi preventif, protektif, atau propilaktit.
b. Bila aplikasi dilakukan setelah ada gejala serangan maka tujuannya adalah untuk menghentikan serangan agar tidak berlanjut. Aplikasi yang dilakukan setelah ada gejala serangan disebut aplikasi kuratif dan eradikatif. (Djojosumarto, 2008) APLIKASI PESTISIDA LEGAL BENAR BIJAKSANA
Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia
Pestisida yang diaplikasi-kan mampu menampildiaplikasi-kan efikasi biologisnya yang optimal. (efektif, ampuh) Menekan dampak negatif pestisida terhadap
pengguna, konsumen dan lingkungan serta ekonomis dan efisien
4. Pestisida Organik
Berdasarkan asalnya, pestisida organik dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji, batang dan akar yang mengandung senyawa metabolik sekunder yang bersifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakteriasidal). Pestisida organik yang berasal dari bahan-bahan alam tidak meracuni tanaman dan tidak mencemari lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara terus-menerus diyakini tidak menimbulkan resistensi terhadap hama. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba penyebab penyakit tanaman atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda. Pestisida organik dapat dibedakan dalam herbisida, fungisida dan insektisida (Djunaedy, 2009) .
5. Tanaman Cabai (Capsicum annuum)
Tanaman cabai bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Sejarah mencatat bahwa orang-orang Indian yang merupakan penduduk asli Amerika telah memanfaatkan cabai sebagai bumbu masak sejak tahun 7000 SM, sedangkan budidaya
cabai telah dimulai sejak tahun 5200-3400 SM. Tanaman cabai pertama kali ditemukan oleh Columbus. Tahun 1493, cabai dibawa ke Spanyol dan selanjutnya berkembang di Eropa. Diperkirakan, tanaman cabai sampai ke Indonesia karena dibawa oleh orang-orang Eropa, hingga akhirnya berkembang di Nusantara (Pitojo, 2003).
a. Taksonomi
Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan, tanaman cabai dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta Subdivisio :Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Metachlamidae Ordo : Tubiflora Famili : Solanaceae Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuum
b. Morfologi i) Akar
Perakaran tanaman cabai cukup kuat, terdiri atas akar tunggang, akar cabang, dan akar serabut. Jika tanaman tumbuh menahun, panjang akar dapat mencapai satu meter ke dalam tanah.
Oleh karena itu, budidaya cabai untuk pembenihan perlu disesuaikan dengan kondisi kesuburan tanah sebagai tempat tumbuh perakaran tanaman.
ii) Batang
Batang tanaman cabai besar licin, berkayu pada bagian pangkal, tegak, dapat mencapai ketinggian 50 cm – 150 cm dan membentuk banyak percabangan di atas permukaan tanah sehingga habitus tanaman relatif rimbun pada saat daun-daun tanaman masih muda. Warna batang hijau hingga keunguan, tergatung varietasnya. iii) Daun
Tanaman cabai besar berdaun tunggal sederhana. Daun terletak berselang dan tidak memiliki daun penumpu. Bentuk daun bulat telur dengan ujung meruncing, berlekuk dangkal hingga dalam, dan kadang-kadang ada yang berlekuk majemuk. Panjang daun berkisar antara 5 cm – 12 cm, lebar 1,5 cm – 4 cm, dan panjang tangkai daun berkisar antara 1cm - 1,25 cm. Daun berwarna keunguan, tergantung varietasnya.
iv) Bunga
Tanaman cabai besar memiliki bunga sempurna. Bunga muncul dari ketiak daun, berkedudukan menggantung atau berdiri, dan merupakan bunga tunggal. Bunga memiliki lima kelopak bunga yang saling berlekatan. Mahkota bunga berbentuk seperti bintang, corong, atau terompet; bersudut 5-6; berwarna putih; dan
berdiameter 8 mm – 15 mm. Jumlah benang sari 5 – 6 buah, dengan kepala benang sari berwarna kebiruan dan berbentuk memanjang. Kepala putik berwarna kuning kehijauan. Bakal buah beruang dua atau lebih.
v) Buah
Buah cabai besar adalah buah buni, memiliki 3 ruang, berukuran panjang atau pendek dengan variasi ukuran antara 1cm – 30 cm, dan berbentuk bulat atau kerucut. Pada saat masih muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna merah, kuning atau oranye, tergantung varietasnya.
vi) Biji
Biji cabai besar berukuran kecil, antara 3 mm – 5 mm, berwarna kuning, serta berbentuk bulat, pipih, dan ada bagian yang sedikit runcing.
c. Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Tanaman cabai dapat tumbuh di daerah-daerah dengan ketinggian tempat hingga 2.000 mdpl. Syarat tumbuh tanaman cabai yang meliputi keadaan iklim dan keadaan tanah adalah sebagai berikut:
i) Iklim
Persyaratan iklim dalam penanaman tanaman cabai meliputi keadaan suhu, cahaya (sinar matahari) dan curah hujan.
Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24oC – 27oC, sedangkan suhu udara optimal bagi pembentukan buah adalah 16oC – 23oC. Perbedaan antara suhu siang dan suhu malam yang terlalu besar kurang menguntungkan bagi pembentukan bunga dan warna buah cabai. Kelembapan udara yang rendah disertai dengan suhu udara yang tinggi akan meningkatkan proses penguapan air pada tanaman. Hal ini dapat mengakibatkan tanaman kekurangan air sehingga kuncup bunga dan buah cabai yang masih kecil berguguran.
b) Cahaya
Tanaman cabai menghendaki tempat yang terbuka dan tidak ternaungi. Tanaman cabai juga dapat hidup di perkarangan dan mendapat sedikit naungan dari tanaman lain.Tanaman cabai bukan merupakan tanaman hari panjang, hanya memerlukan sinar matahari selama 9 jam per hari.
c) Curah Hujan
Curah hujan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman hingga akhir pertumbuhan berkisar antara 600 mm – 1.250 mm. Curah hujan yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan kelembapan udara meningkat dan cenderung mendorong pertumbuhan penyakit tanaman.
Persyaratan keadaan tanah bagi pertumbuhan tanaman cabai meliputi jenis tanah, kesuburan tanah, keasaman tanah, dan sifat biologi tanah.
a) Jenis tanah
Tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman cabai adalah tanah yang memiliki sifat fisik gembur, remah, dan memiliki drainase yang baik. Jenis tanah yang memiliki karakteristik tersebut antara lain adalah tanah lempung berpasir, liat berpasir, lempung liat berpasir, dan lempung bedebu, atau tanah andosol, regosol, dan latosol. Tanah yang berat dan becek jika turun hujan atau tanah yang memiliki drainase kurang baik sering menyebabkan daun tanaman cabai gugur dan tanaman mudah terserang penyakit layu.
b) Kesuburan Tanah
Tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman cabai adalah tanah yang subur dan kaya akan bahan organik yang telah terurai sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
c) Keasaman Tanah
Derajat keasaman tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman cabai berkisar antara 5,5 – 6,8. Pada kondisi pH tanah kurang dari 5,5 atau lebih dari 6,8 produksi cabai kurang optimal. Tanah asam cenderung menimbulkan permasalahan keracunan unsur alumunium, zat besi, dan mangan; sedangkan tanah basa
cenderung menimbulkan permasalahan hambatan serapan hara tanah karena terdapatnya unsur bikarbonat yang merintangi penyerapan ion-iom yang diperlukan oleh tanaman.
d) Sifat Biologi Tanah
Tanah yang subur dan memiliki sifat baik berkorelasi dengan mikrobiologi tanah. Jasad renik di dalam tanah berkompetisi sesuai dengan dukungan milieu, fisika, dan kimia. Mikroba patogen yang merugikan tanaman cabai antara lain antraknosa dan virus (Pitojo, 2003).
Tabel 1.1. Hama dan Penyakit Tanaman Cabai
No Hama Penyakit
1 Kutu Persik
(Myzus persicae Sulz)
Antraknosa (Colletotrichum capsici) 2 Kutu Thrips (Tabaci lindeman ) Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) 3 Kutu Apis
(Aphis gossypii Glov.)
Bercak Daun
(Cercospora capsici) 4 Kutu Putih
(Bemisia tabaci)
Busuk Buah
(Phytophthora capsici Leonian) 5 Lalat Buah
(Dacus dorsalis Hend.)
Semai Roboh (Damping-off) 6 Ulat Grayak (Spodoptera sp.) Virus (Pitojo, 2003)
6. Gadung (Dioscorea hispida Dennst.)
Tanaman gadung mula-mula ditemukan di India barat, kemudian penyebarannya meluas ke Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia serta kepulauan Karibia, Afrika Barat, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, dan seluruh daerah tropis. Di Indonesia sendiri gadung ini
banyak diusahakan sebagai tanaman perkarangan, tumbuh liar di hutan-hutan, kadang-kadang ditanam di perkarangan atau tegalan. Gadung tumbuh dan berkembang secara luas di seluruh daerah tropis, baik di hutan hujan tropis maupun di padang rumput (savana). Kombinasi kelembapan yang cukup dan drainase yang baik sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman ini.
Suhu yang diperlukan untuk tumbuh dan menghasilkan umbi yang baik adalah diantara 20-30oC. Diatas suhu 30oC, gadung akan tumbuh merana apalagi ditambah dengan keadaan udara yang kering. Walaupun umumnya gadung tahan terhadap kekeringan, tanaman ini membutuhkan kelembapan yang cukup selama masa pertumbuhan dan ada korelasi positif antara curah hujan, pertumbuhan merambat, dan hasil umbinya. Tanaman gadung dapat menghasilkan panen utama berupa umbi sebanyak 19,7 ton/ha, (Tropical Product Institue, 1973). Melalui pengusahaan yang lebih intensif, kemungkinan besar tanaman ini dapat menghasilkan umbi yang lebih banyak lagi, khususnya di Indonesia karena tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik di iklim tropis. Di seluruh Indonesia tanaman ini dijumpai tumbuh liar, sedangkan pembudidayaan gadung terutama terdapat di Jawa dan Madura.
Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid yang bersifat racun dan diosgenin yang tidak berancun. Juga dalam umbi gadung terkandung saponin berupa dioscin yang bersifat racun. Umbi yang tua jika dibiarkan akan berwarna menjadi hijau dan kadar racunnya
meningkat. Di samping golongan alkaloid, umbi gadung juga terkandung senyawa sianida yang beracun.
Dioskoroin tergolong senyawa alkaloid, yang ditunjukkan dengan sifatnya yang basa, mengandung satu atau lebih nitrogen heterosiklik, dan umumnya beracun bagi manusia. Di alam alkaloid dioskorin variasinya sangat beragam dalam hal struktur, stabilitas, kemampuan untuk menguap dan polaritasnya. Alkaloid dioskarin (C13H19O2N) dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dan isolasi dari tepung gandum. Dioskorin berwarna kuning kehijauan, bersifat higroskopis, dan merupakan senyawa basa kuat yang rasanya sangat pahit. Senyawa ini mudah larut dalam air, etanol dan klorofom, tetapi sukar larut dalam eter dan benzene. Kadar dioskorin dalam umbi gadung sekitar 0,044 persen berat basa atau 0,221 persen berat kering.
Di dunia terdapat 3000 spesies dari 110 famili yang dapat melepaskan hydrogen sianida melalui proses yang disebut cyanogenesis. Salah satunya adalah gadung yang dalam umbinya mengandung asam sianida dalam bentuk bebas maupun prekursornya berupa sianogenik glukosida. HCN disintesis dari linamarin dan lotaustralin yag umumnya terdapat dalam tanaman dengan perbandingan kuantitatif 93 dan 7%. Pada konsentrasi tinggi, sianida terutama dalam bentuk bebas sebagai HCN dapat mematikan. Dari umbi gadung segar bisa menghasilkan sekitar 400 mg sianida per kilogram (Koswara, 2011)
7. Nimba (Azadirachta indica A. jus)
Tanaman nimba termasuk dalam famili Meliaceae dan ordo Rutales. Tanaman ini berasal dari India yang dimanfaatkan sebagai obat untuk kesehatan manusia dan sebagai obat insektisida pada tanaman. Penyebaran tanaman nimba telah tersebar di Asia Tenggara, Asia Timur, Afrika, Fiji, Mauritius, dan Amerika Tengah. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah setengah kering dan setengah basah serta dapat hidup di daerah yang curah hujannya kurang dari 500 mm per tahun serta dapat tumbuh di segala macam jenis tanah baik tanah tandus maupun tanah subur. Nimba berbuah pada umur 4 – 5 tahun dan dapat menghasilkan sekitar 30 – 50 kg buah per pohon. Semua bagian tanaman nimba efektif sebagai insektisida. Myanmar (Birma) dan India telah menggunakan tanaman nimba sebagai obat bagi manusia maupun insektisida pada tanaman sejak 2.500 tahun lalu.
Biji dan daun tanaman nimba paling efektif digunakan sebagai insektisida karena mengandung senyawa azadirachtin baik A maupun B yang berperan sebagai pengendali hama. Selain itu, pada daun nimba terdapat kandungan zat-zat kimia lain seperti salannin dan meliantriol yang mempunyai efek penolak dan zat nimbin/nimbodin yang mempunyai efek anti virus. Beberapa zat tersebut saling menyokong sehingga menimbulkan efek senergistik. Kegunaan zat-zat dalam nimba adalah sebagai insektisida, penolak hama, akarisida, penghambat
pertumbuhan, neumatisida, fungisida dan anti virus. Zat-zat tersebut sebagai racun perut dan sistematik (Pracaya, 2008).
Tabel 1.2 Sasaran hama dan penyakit
Jenis Hama Jenis Penyakit
Wereng padi punggung putih (Sogatella furcifera)
Bercak daun kelapa kelabu (Pestalotiopsis palmarum) Wereng cokelat
(Nilaparvata lugens)
Busuk pangkal batang kelapa (Ganoderma lucidum) Wereng hijau (Nephotettix virescens) Jamur tepung Ulat tritip (Plutella xylostella) Virus
Ulat terowongan daun jeruk (Phillocnistis citrella) Ulat tanah (Agrotis sp.) Ulat grayak (Spodtera litura) Tungau (Tetranychus sp.) Kumbang badak (Oryctes rhinocheros) Thrips (Heliothrips sp.) Kutu putih (Bemisia tabaci) Semut
Penggerek batang pisang (Cosmopolites sordidus) Penggerek batang padi
Jenis Hama Jenis Penyakit Lembing
(Epilachna varivestis)
Bubuk beras (Sitophilus oryzae)
Bubuk jagung (Sitophilus zeamays)
(Pracaya, 2008)
8. Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tembakau berasal dari Barat Laut Argentina, Amerika Selatan, namun sekarang sudah ditanam di seluruh dunia. Pertumbuhan tembakau tidak baik pada lahan yang tergenang air dan tanahnya banyak mengandung garam. Tembakau dapat hidup dengan baik di daerah panas. Tembakau memerlukan cukup air, terutama pada tembakau yang masih muda. Varietas tembakau bermacam-macam dan kandungan nikotinnya pun bermacam-macam.
Bagian tanaman tembakau yang baik untuk digunakan sebagai pengendali hama ataupun penyakit adalah daun dan batangnya, karena bagian ini memiliki kandungan nikotin yang tinggi, terutama pada tangkai dan tulang daun.
Sasaran Hama dan Penyakit
i. Hama: Aphis, ulat, ulat kobis (tritip), kumbang kecil, pembuat terowongan daun, tungau, pembor batang, dan thrips. Ekstrak daun tembakau ini sangat efektif bila disemprotkan di atas suhu 30oC.
ii. Penyakit: karat pada buncis dan gandum, jamur kentang, virus keriting daun.
(Pracaya, 2008)
B. Kerangka Berpikir
Pada dasarnya hama yang sering menyerang tanaman adalah jenis serangga. Serangga biasanya sensitif terhadap aroma dan rasa. Tanaman dengan aroma yang disukai serangga menyebabkan serangga tersebut akan tinggal menetap pada tanaman tersebut sebaliknya jika aroma tanaman tersebut tidak disukai maka serangga tersebut akan meninggalkan tanaman tersebut. Begitu juga dengan rasa. Ketiga bahan yang digunakan memiliki rasa yang sangat pahit yang tidak disukai serangga dan memiliki aroma yang menyengat. Selain itu, senyawa kimia yang terkandung dalam bahan-bahan tersebut juga mampu untuk mempengaruhi daya makan, daya reproduksi, pertumbuhan dan juga dapat menurunkan daya tetas telur. Masing-masing bahan tumbuhan memiliki kandungan metabolik sekunder berupa senyawa saponin yang bersifat racun, senyawa nimboid sebagai anti virus dan nikotin yang juga beracun bagi hama dan juga sebagai anti virus. Maka dapat dibuat dugaan bahwa ketiga bahan yang digunakan ini mampu mengendalikan hama terutama hama jenis insecta serta penyakit pada tanaman cabai.
C. Hipotesis
1. Pemberian pestisida dari ekstrak umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst.), daun nimba (Azadirachta indica A.jus) dan daun tembakau (Nicotiana tabacum) dapat mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
2. Pestisida dengan konsentrasi pekat (perbandingan 1:4) paling baik mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
24 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2014 - Desember 2014 di lahan kebun Biologi, Babadan, Maguwoharjo.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental yang dilakukan dengan menguji tiga jenis tanaman dan tiga macam konsentrasi sebagai bahan pembuatan pestisida organik. Penelitian ini sendiri bersifat kuantitatif deskriptif. Pengaruh pemberian pestisida organik ini akan dilihat berdasarkan jumlah tanaman yang terserang serta intensitas serangan hama dan penyakit.
Penelitian ini didesain menjadi dua faktor yakni jenis bahan dan konsentrasi. Jenis bahan (faktor pertama) terdiri dari tiga taraf yaitu umbi gadung (P1), daun nimba (P2) dan daun tembakau (P3). Macam konsentrasi (faktor kedua) terdiri dari tiga taraf yaitu konsentrasi dengan perbandingan 1:4 (K1), perbandingan 1:8 (K2) dan perbandingan 1:12 (K3). Selain itu penelitian ini juga didesain menggunakan kontrol negatif tanpa diberi perlakuan (TP).
Variabel penelitian terdiri dari variabel terikat, variabel bebas dan variabel kontrol. Variabel terikat terdiri atas pestisida (umbi gadung, daun nimba dan daun tembakau) dan perbandingan konsentrasi (1:4, 1:8 dan 1:12). Variabel bebas terdiri atas hama dan penyakit tanaman cabai. Sedangkan variabel kontrol terdiri atas jenis tanaman cabai, media tanam dan volume penyemprotan.
B. Alat dan Bahan 1. Alat a. Cangkul b. Polybag 100 buah c. Tempat Pembibitan d. Parang e. Sprayer f. Lumpang g. Timbangan h. pH meter i. Saringan j. Ember k. Baskom l. Karung
m. Alat tulis menulis n. sarung tangan o. masker p. penutup kepala 2. Bahan a. Umbi Gadung b. Daun Nimba c. Daun Tembakau d. Benih Cabai e. Tanah
f. Kompos g. Detergen
C. Cara Kerja
1. Penyemaian Benih
Penyemaian benih bertujuan untuk menyiapkan benih cabai yang berbentuk biji hingga menjadi bibit atau tanaman muda yang ditanam di lahan. Tempat persemaian dibuat di kotak pembibitan yang berukuran 20 x 50 cm dengan jumlah lubang pembibitan 70 lubang sebanyak 2 buah. Media tanah yang digunakan adalah campuran antara tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Biji tanaman cabai yang telah ditabur pada masing-masing lubang ditutupi dengan paranet untuk melindungi dari sinar matahari langsung. Persemaian disiram setiap hari.
2. Persiapan Media Tanam
Penyiapan media tanam bertujuan untuk menciptakan tempat dan media tanam yang gembur dan berdrainase baik. Lahan penetilian ini menggunakan polybag ukuran 50 x 50 cm. Media tanah yang digunakan adalah campuran pupuk kandang, tanah dan pasir dengan perbandingan 1:2:1/2. Tambahan pasir pada media tanam dimaksudkan agar memperlancar proses drainasi media karena masa penelitian memasuki musim penghujan sehingga perlu menyiasati agar tidak terlalu banyak air tertinggal pada media tanam.
3. Penanaman
Bibit yang digunakan untuk menanam adalah bibit dengan umur 3 – 4 minggu dengan helaian daun 3-4 helai daun. Bibit yang dipilih adalah bibit yang tidak terserang hama maupun penyakit. Sebelum ditanam pada media, tanah pada media tanam dilubangi 10 cm kemudian ditanami dengan bibit cabe yang telah disiapkan.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman mulai dilakukan sejak pertama kali bibit dipindahkan ke polybag yang meliputi penyiraman, pemberian ajir pada saat tamanan berusia 2-3 minggu serta pemupukan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan seksama agar pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat terjadi dengan optimal.
5. Pembuatan Larutan Pestisida
Pembuatan pestisida dilakukan setiap kali melakukan penyemprotan sehingga pestisida yang digunakan selalu dalam keadaan fresh tanpa difermentasi. Selain itu larutan pestisida yang digunakan diberi tambahan detergen yang berperan sebagai perekat. Cara membuat larutan pestisida adalah sebagai berikut:
a. Larutan Gadung
Umbi gadung dibersihkan dan diambil sebanyak 1,5 kg dan ditumbuk sampai halus kemudian ditambahkan air 1,5 liter dan
disaring. Hasil saringan gadung dapat langsung digunakan. Sebelum digunakan, hasil saringan gadung diencerkan lagi dengan menambahkan air sesuai dengan perbandingan yang akan digunakan pada penelitian.
b. Larutan Nimba
Daun nimba dibersihkan dan diambil sebanyak 1,5 kg dan ditumbuk sampai halus kemudian ditambahkan air 1,5 liter dan disaring. Hasil saringan daun nimba dapat langsung digunakan. Sebelum digunakan, hasil saringan daun nimba diencerkan lagi dengan menambahkan air sesuai dengan perbandingan yang akan digunakan pada penelitian.
c. Larutan Tembakau
Daun tembakau kering sebanyak 1,5 kg direndam dalam air panas (mendidih) 1,5 liter dan didiamkan selama satu malam. Daun tembakau yang direndam, disaring sebelum digunakan. Sebelum digunakan hasil saringan daun tembakau diencerkan lagi dengan menambahkan air sesuai dengan perbandingan yang akan digunakan pada penelitian.
6. Teknik Penyemprotan
Larutan pestisida disemprotkan menggunakan sprayer dengan ukuran 800 ml. Volume larutan pestisida tiap perlakuan sebanyak 400 ml. Larutan disemprotkan secara merata ke seluruh bagian tanaman yakni pada
batang dan daun tanaman. Setiap daun tanaman cabai disemprotkan larutan pestisida sebanyak tiga semprotan.
7. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan sebanyak sepuluh kali selama sepuluh minggu. Data diambil setiap minggu dengan kelipatan 7 hari setelah tanam dan seterusnya. Data diambil berdasarkan intensitas serangan hama dan penyakit pada setiap tanaman dan ditulis dalam bentuk persen. Tingkat intesitas serangan hama dan penyakit setiap tanaman (Djafaruddin,2000) dihitung dengan rumus:
x 100 % Ket:
I = intensitas sampel yang terserang n = jumlah sampel yang terserang v = nilai skala sampel yang terserang N= jumlah sampel yang diamati Z= nilai skala kategori tertinggi
dengan kategori kerusakan sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kategori serangan berdasarkan tingkat serangan Nilai Intensitas serangan (%0 Kategori
0 1 2 3 4 0 >0 – 25 >25 – 50 >50 – 75 >75 Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat (Leatimia dan R.Y. Rumthe, 2011)
D. Metode Analisis Data
Data mengenai intensitas serangan hama dan penyakit yang telah diperoleh selama masa pengamatan dilanjutkan dengan pengujian statistik menggunakan uji Anova two factor within replication. Digunakan confident interval 0,95 atau α = 0,05. Bila probabilitas p lebih kecil dari α, maka significant. Perhitungan anova two factor with replication menggunakan program microsoft excel 2007. Pengujian statistik ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan yang sungguh memberikan pengaruh secara signifikan.
E. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas X semester Ganjil yakni pada bab Ruang Lingkup Biologi dengan sub bab Metode Ilmiah.
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian menyangkut uji pengaruh pemberian pestisida didesain menjadi percobaan eksperimen dua faktor. Faktor-faktor yang diuji adalah pengaruh variasi bahan tanaman (P) yang digunakan sebagai pestisida organik dan variasi konsentrasi (K) terhadap intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai yang terdiri dari 10 perlakuan yakni P1K1, P1K2, P1K3, P2K1, P2K2, P2K3, P3K1, P3K2, P3K3 dan TP (kontrol). Untuk mengetahui apakah pestisida organik dengan tiga bahan tanaman dan tiga perbandingan konsentrasi yang digunakan itu mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai keriting, diukur menggunakan uji Anova two factor within repication. Digunakan confident interval 0,95 atau α = 0,05. Bila probabilitas p lebih kecil dari α, maka significant. Perhitungan anova two factor with replication menggunakan program microsoft excel 2007.
Dua faktor yang diuji pada penelitian ini yakni kandungan tiga bahan tanaman yang digunakan (umbi Gadung, daun Nimba, dan Tembakau) dan tiga perbedaan konsentrasi (1:4, 1:8, 1:12) pada sembilan kelompok tanaman cabai. Tujuan dari percobaan ini yakni ingin mengetahui pestisida organik pada perlakuan mana yang paling baik dalam menekan intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai.
Data yang diambil berjumlah dua kelompok yakni data mengenai intensitas serangan hama dan intensitas serangan penyakit. Pemisahan pengambilan data antara hama dan penyakit dikarenakan terdapat dua variabel dependent yang
diukur yakni menyangkut intensitas hama dan intensitas penyakit. Kedua variabel dependent ini diasumsikan tidak saling berhubungan satu sama lain sehingga dapat dianalisa secara terpisah. Terdapat teori yang mengatakan bahwa penyebaran penyakit tidak terlepas dari serangga vektor. Walaupun demikian tidak diasumsikan bahwa akibat yang ditimbulkan akan sama karena masih ada faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap intensitas serangan hama maupun penyakit antara lain kondisi lingkungan, teknik bertani, serta kualitas tanaman itu sendiri.
Hasil penelitian menyangkut pengaruh pemberian pestisida organik dengan beberapa bahan sebagai tindakan pencegahan terhadap serangan hama dan penyakit pada tanaman cabai memberikan hasil bahwa selama melakukan penelitian ditemukan satu jenis hama dan satu jenis penyakit dengan gambaran sebagai berikut:
A. Hama Kutu Putih
Diperoleh data hasil penelitian mengenai intensitas serangan hama kutu putih (dalam %) sebagai berikut:
Tabel 4.1 Intensitas Hama Kutu Putih pada Tanaman Cabai (dalam %) No Perla
kuan
Pengamatan
Total Rataan I II III IV V VI VII VIII IX X
1 P1K1 100 87,5 47,5 35 30 27,5 25 22,5 25 32,5 432,5 43,3 2 P1K2 100 90 45 25 30 25 20,2 20,2 25 27 407,9 40,8 3 P1K3 100 75 40 35 32,5 25 20,2 22,5 25 27 407,7 40,8 4 P2K1 100 75 70 22,5 37,5 25 25 25 25 32,5 430 43 5 P2K2 100 75 67,5 30 30 25 25 25 25 25 427,5 42,8 6 P2K3 100 85 42,5 27,5 25 25 25 25 25 25 405 40,5 7 P3K1 100 70 27,5 25 20,2 25 16 12,2 25 25 345,9 34,6 8 P3K2 100 77,5 42,5 37,5 31,5 25 18 12,2 25 25 394,2 39,4 9 P3K3 100 75 47,5 35 37,5 25 12,2 16 25 25 398,2 39,8 10 TP* 100 95 70 52,5 60 50 47,5 47,5 42,5 45 610 61
Keterangan:
- P1 : Umbi Gadung - P2 : Daun Nimba - P3 : Daun Tembakau
- TP : Tanpa Perlakuan (Kontrol)
- K1 : Pengenceran 1:4 (10 ml / 40 ml air) - K2 : Pengenceran 1:8 (10 ml / 80 ml air) - K3 : Pengenceran 1:12 (10 ml / 120 ml air)
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, intensitas serangan hama kutu putih mengalami penurunan setiap minggu pengamatan. Pada minggu pertama sebelum aplikasi pestisida organik, serangan hama kutu putih mencapai 100% pada tiap perlakuan (lihat tabel 4.1 pada minggu I). Pada minggu terakhir aplikasi pestisida, intensitas serangan hama menurun. Berdasarkan tabel 4.1 jika dilihat tingkat penurunan intensitas serangan pada minggu X mencapai 25% (P2K1, P2K2, P2K3, P3K1, P3K2, P3K3), 27% (P1K2) dan 32,5% (P1K1, P2K3) sedangkan pada kontrol serangan hama juga menurun sampai 45%. Penurunan intensitas serangan kutu putih tersebut selain dipengaruhi oleh pemberian pestisida pada tiap perlakuan dipengaruhi juga oleh umur tanaman. Semakin tua umur tanaman semakin kurang disukai kutu putih sebagai tempat untuk meletakkan telurnya karena pada daun yang tua kandungan air yang menjadi makanan kutu putih berkurang. Populasi kutu
putih meningkat pada fase vegetatif tanaman dan menurun pada generatif (Heinz et al., 1982 dalam Nasution, 2010).
Jika dibandingkan rata-rata intensitas serangan hama kutu putih seperti pada tabel di atas, ditunjukkan bahwa intensitas terendah terdapat pada perlakuan P3K1 (34,6 %) dan intensitas tertinggi terdapat pada perlakuan TP (61 %). Hasil pengamatan yang diperoleh dapat dikategorikan berdasarkan intensitas serangan menurut Leatimia dan R.Y. Rumthe (2011) yang menggolongkan tingkat intensitas serangan menjadi 5 kategori yakni:
nilai skala 0 dengan intensitas serangan 0 % untuk kategori normal nilai skala 1 dengan intensitas serangan ≥ 0 - 25 % untuk kategori ringan nilai skala 2 dengan intensitas serangan ≥ 25 – 50 % untuk kategori sedang nilai skala 3 dengan intensitas serangan ≥ 50 – 75 % untuk kategori berat nilai skala 4 dengan intensitas serangan > 75 % untuk kategori sangat berat Maka intensitas serangan hama kutu putih yang diperoleh dapat digolongkan berdasarkan kategori intensitas serangan dengan gambaran sebagai berikut:
Tabel 4.2 Intensitas serangan hama Kutu Putih Perlakuan Rata-rata Kategori
P1K1 43,3 Sedang P1K2 40,8 Sedang P1K3 40,8 Sedang P2K1 43 Sedang P2K2 42,8 Sedang P2K3 40,5 Sedang P3K1 34,6 Sedang
Perlakuan P3K2 Rata-rata 39,4 Kategori Sedang P3K3 39,8 Sedang TP 61 Berat
Tabel 4.2 di atas menunjukkan tingkat intensitas serangan hama kutu putih berada pada kategori sedang dan kategori berat. Kategori sedang terdapat pada perlakuan P1K2, P1K3, P2K1, P2K2, P2K3, P3K1, P3K2 dan P3K3. Kategori berat terdapat pada perlakuan TP (kontrol).
1. Uji Anova Dua Faktor
Keseragaman variansi data setiap perlakuan diketahui dengan melakukan uji homogenitas menggunakan uji F-test two-sampel for varians. Hasil yang diperoleh seperti pada lampiran II bagian B, F hitung < F tabel, berarti data homogen. Data homogen artinya pada setiap perlakuan mempunyai keseragaman variansi data. Selanjutnya untuk menguji adanya perbedaan pengaruh antar perlakuan digunakan uji Anova two factor within repication. Digunakan confident interval 0,95 atau α = 0,05. Bila probabilitas p lebih kecil dari α, maka significant. Perhitungan anova two factor with replication menggunakan program microsoft excel 2007 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3 Uji anova two factor with replication untuk hama kutu putih
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Bahan (P) 307,656 2 153,828 0,19829 0,820529 3,109311 Konsentrasi (K) 8,948667 2 4,474333 0,005768 0,994249 3,109311 Interaction (P x K) 239,1153 4 59,77883 0,077057 0,989065 2,484441
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, pada faktor pertama (P) nilai F hitung (0,198) < F crit (3,109) berarti tidak terdapat perbedaan pengaruh pada perlakuan yang diberikan. H0 diterima, H1 ditolak yang berarti pengaruh perbedaan tiga bahan tanaman yang digunakan sebagai pestisida organik yang diberikan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap intensitas serangan hama kutu putih. Pada faktor kedua (K) nilai F hitung (0,005) < F crit (3,109) berarti tidak terdapat perbedaan pengaruh pada perlakuan yang diberikan. H0 diterima, H1 ditolak yang berarti pengaruh perbedaan tiga konsentrasi yang diberikan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan pada pengaruh interaksi antara kedua faktor yang diuji (P x K) nilai F hitung (0,077) < F crit (2, 484) berarti tidak terdapat pengaruh pada perlakuan yang diberikan. H0 diterima, H1 ditolak yang berarti kedua faktor yang diberikan (P dan K) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap intensitas serangan hama kutu putih pada tanaman cabai.
2. Uji Anova satu faktor tiap perlakuan
Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh tiap konsentrasi pada masing-masing perlakuan yang diberikan dengan kontrol. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
a. Umbi Gadung
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh hasil F hitung (1,387) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 1).
b. Daun nimba
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh hasil F hitung (1,308) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 2).
c. Daun Tembakau
Dari pengujian statistik menggunakan uji anova satu faktor diperoleh hasil F hitung (2,005) < F tabel (2,866) sehinggga dikatakan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh perbandingan konsentrasi terhadap hama kutu putih pada tanaman cabai (Lihat lampiran II bagian D 3).
Maka dapat dikatakan bahwa perlakuan perbedaan tanaman dan variasi konsentrasi pestisida organik yang digunakan tidak memiliki perbedaan nyata tiap perlakuan terhadap intensitas serangan hama kutu putih pada tanaman cabai. Beberapa hal yang menyebabkan tidak adanya perbedaan pengaruh antara perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap tingkat intensitas serangan hama kutu putih dapat dianalisis sebagai berikut:
Menurut Anto dan Yul (2014) tanaman cabai merupakan salah satu tanaman inang untuk hama kutu putih (Bemisia tabaci). Tanaman inang menjadi media untuk perkembangbiakan serangga kutu putih serta media untuk memperoleh
makanan. Pada umur 3 hari setelah tanam (HST), hama kutu putih (Bemisia tabaci) menyerang semua tanaman cabai yang ditanam (lihat Lampiran VI bagian B). Hama ini menempati bagian bawah daun pada semua tanaman cabai. Setiap daun terdapat 8-10 imago kutu putih dan bertambah hingga dua kali lipat pada 7 HST. Telur yang diletakkan di bagian bawah daun akan menetas setelah 5 hari sejak telur diletakkan. Hal ini diperkuat dengan teori menurut Mau and Kessing dalam Nasution (2010) yang mengatakan bahwa Imago dapat meletakkan telur sebanyak 28-300 butir telur. Imago yang berumur 1-4 hari dapat langsung menghasilkan telur tanpa melakukan perkawinan (Sanderson dalam Nasution, 2010). Kecepatan perkembangbiakan kutu putih berbanding lurus dengan kecepatan kerusakan yang ditimbulkan karena imago dan nimfa kutu putih memperoleh makanan dengan mengisap cairan daun dan menimbulkan becak nekrotik pada daun sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel dan jaringan daun. Selain itu, isapan imago dan nimfa juga menjadi vektor penyebaran gemini virus (Diltin Hortikultura dalam Nasution, 2010) yang mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada tanaman cabai (lihat Lampiran VI bagian C).
Keadaan iklim ketika masa tanam berlangsung juga dapat menjadi penyebab tingginya intensitas serangan hama kutu putih. Penelitian dilakukan pada awal Oktober - Desember 2014. Pada masa itu, keadaan iklim di daerah Yogyakarta berada pada akhir musim panas dan mulai memasuki musim penghujan. Ketika musim hujan, pestisida yang diberikan kemungkinan memiliki pengaruh yang rendah. Hal ini diduga karena penyemprotan
pestisida dilakukan pada sore hari antara pukul 16.00 WIB – 18.00 WIB. Pada awal musim penghujan, hujan turun pada waktu malam hari. Hal ini dapat mengakibatkan semprotan pestisida yang diberikan pada tanaman cabai terbawa oleh air hujan sehingga efek pestisida yang disemprotkan tidak berpengaruh.
Perbedaan sumber pengambilan bahan yang digunakan sebagai pestisida berpengaruh terhadap kandungan zat yang terdapat dalam bahan yang digunakan. Daun nimba yang digunakan pada penelitian tidak diambil dari tanaman yang sama. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap umur daun antara daun yang muda dan daun yang tua. Sama halnya dengan umbi gadung yang digunakan. Variasi umur umbi yang digunakan juga berbeda sehingga berpengaruh terhadap jumlah atau takaran zat yang terkandung. Selain itu perbedaan penggunaan antara bahan fresh (umbi gadung dan daun nimba) dan bahan kering (daun tembakau) juga berpengaruh terhadap senyawa yang terkadung sehingga hasil yang diberikan juga kemungkinan berbeda (lihat Lampiran VI bagian D).
Walaupun data menunjukkan bahwa setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda, namun jika dilihat dari intensitas serangan hama yang ditunjukkan pada tabel 4.2, intensitas serangan hama tiap perlakuan berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bahan yang digunakan cukup memberikan efek yang baik sehingga intensitas serangan hama dikategorikan sedang. Sedangkan pada kontrol, intensitas serangan hama dikategorikan berat.
Bila dilihat dari tingkat intensitas serangan hama, perlakuan ekstrak tembakau dengan konsentrasi 1:4 (P3K1) menunjukkan intensitas serangan hama kutu putih yang paling rendah. Seperti yang telah dikemukakan di awal bahwa perlakuan yang menunjukkan intensitas serangan hama kutu putih paling rendah adalah perlakukan yang lebih efektif sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan ekstrak tembakau dengan konsentrasi 1:4 (P3K1) memberikan hasil yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini dimungkinkan karena bahan daun tembakau yang digunakan seragam sehingga berpengaruh terhadap jumlah zat metabolik sekunder yang terkandung. Daun tembakau yang digunakan berasal dari tanaman yang sama dan memiliki umur yang sama. Dari ketiga bahan yang digunakan, aroma ekstrak daun tembakau paling menyengat dan memiliki rasa paling pahit. Carl Friedrich Wilhelm Meissner dalam Sinaga (2014) mengemukakan bahwa secara organoleptik rasa pahit dan sepat yang dirasakan pada tanaman disebabkan oleh adanya alkaloid yang terkandung pada tanaman tersebut. Kandungan alkaloid merupakan senyawa metabolik sekunder yang dihasilkan tanaman yang berperan sebagai mekanisme pertahanan diri dari serangan hama maupun menyakit pada tanaman. Pada daun tembakau metabolik sekunder yang terkandung berupa nikotin dan neurotoksin. Nikotin adalah senyawa kimia antiherbivora dan kandungan neurotoksinnya sensitif bagi serangga. Hal ini yang memungkinkan mempengaruhi kecepatan populasi hama kutu putih sehingga laju pertumbuhannya dapat ditekan. Perlakuan P3K1 memiliki konsentrasi yang lebih pekat dibandingkan dengan perlakuan
P3K2 dan P3K3 sehingga kandungan nikotin dan neurotoksinnya lebih tinggi yang menyebabkan hasil yang diberikan lebih baik.
B. Penyakit Virus
Diperoleh data hasil penelitian mengenai intensitas serangan virus (dalam %) sebagai berikut:
Tabel 4.4 Intensitas Penyakit Virus pada Tanaman Cabai (dalam %) Perla
kuan
Pengamatan
Total Rataan I II III IV V VI VII VIII IX X
P1K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23,3 2,3 P1K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6,4 0,6 P1K3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17,7 1,7 P2K1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25 2,5 P2K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4,4 0,4 P2K3 10 0,2 1,5 13,5 0,5 10 0,2 1 4,5 56,2 67,7 6,8 P3K1 3,7 1 1 3 0,5 8 0,2 1 5 56,2 2,8 0,3 P3K2 5,2 1,5 1,5 3 0,7 13,7 0,2 1 3 49,5 11 1,1 P3K1 2,2 1,5 8,7 3 2,2 18 2 4 2,2 40,5 18,7 1,9 TP* 2,2 2,2 5 2,5 0,5 18 0,2 4 4 42 244,4 24,4 Keterangan: - P1 : Umbi Gadung - P2 : Daun Nimba - P3 : Daun Tembakau
- TP : Tanpa Perlakuan (Kontrol)
- K1 : Pengenceran 1:4 (10 ml / 40 ml air) - K2 : Pengenceran 1:8 (10 ml / 80 ml air) - K3 : Pengenceran 1:12 (10 ml / 120 ml air)
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, intensitas serangan penyakit virus memiliki data yang tidak merata dan cenderung meningkat. Gejala serangan virus terlihat pada akhir minggu ke-5 dan kerusakan akibat serangan didata pada minggu ke-6 masa pengamatan. Tidak semua tanaman terserang virus. Jumlah tanaman yang terserang virus berbeda-beda antar tiap perlakuan. Jumlah tanaman terserang paling sedikit terjadi pada perlakuan P3K1 dengan rata-rata 1 tanaman terserang. Jumlah tanaman terserang paling banyak terjadi pada kontrol (TP) dengan rata-rata 9 tanaman terserang (Lihat lampiran I Bagian B)
Intensitas serangan virus pada perlakuan P1K1 di awal sebesar 10 % dan menurun menjadi 2,2 % di akhir pengamatan. Intensitas serangan virus pada perlakuan P1K2 di awal sebesar 0,2 % dan naik menjadi 2,2 % di akhir pengamatan. Intensitas serangan virus pada perlakuan P1K3 di awal sebesar 1,5 % dan naik menjadi 5 % di akhir pengamatan. Intensitas serangan virus pada perlakuan P2K1 di awal sebesar 13,5 % dan menurun menjadi 2,5 % di akhir pengamatan. Presentase serangan virus pada perlakuan P2K2 di awal sebesar 0,5 % dan di akhir pengamatan sebesar 0,5 %. Intensitas serangan virus pada perlakuan P2K3 di awal sebesar 10 % dan naik menjadi 18 % di akhir pengamatan. Intensitas serangan virus pada perlakuan P3K1 di awal sebesar 0,2 % dan di akhir pengamatan sebesar 0,2 %. Intensitas serangan virus pada perlakuan P3K2 di awal sebesar 1 % dan naik menjadi 4 % di akhir pengamatan. Intensitas serangan virus pada perlakuan P3K3 di awal sebesar 4,5 % dan turun menjadi 4 % di akhir pengamatan. Sedangkan pada kontrol