• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Penelitian Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Akhir Penelitian Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS Bandung."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN KLIEN KONDISI TERMINAL: INFARK MIOKARD AKUT SELAMA DI RAWAT

DI RUANG CARDIAC INTENSIF CARE UNIT (CICU) RSHS BANDUNG

L

LA

AP

PO

OR

RA

AN

N

A

AK

KH

H

IR

I

R

P

PE

EN

NE

EL

LI

I

TI

T

IA

AN

N

Penelitian Mandiri, Sumber Dana Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2011

Oleh :

Ketua : Etika Emaliyawati, M.Kep Anggota I : Kusman Ibrahim, Ph.D Anggota II : Kurniawan Yudianto., M.Kep

F

FAAKKUULLTTAASSKKEEPPEERRAAWWAATTAANNUUNNIIVVEERRSSIITTAASSPPAADDJJAADDJJAARRAANN T

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI SUMBER DANA : FAKULTAS KEPERAWATAN

TAHUN ANGGARAN 2011

1. a. Judul penelitian : Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS Bandung

a. Nama anggota peneliti I : Kusman Ibrahim., Ph.D b. Nama anggota peneliti II : Kurniawan Yudianto., M.Kep 4. Lokasi Penelitian : RSHS Bandung

Bandung, 28 Desember 2011 Mengetahui,

Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,

(3)

iii ABSTRAK

Meningkatnya jumlah klien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Kepmenkes, 2007)

Infark miokard merupakan salah satu penyakit kondisi terminal yang memerlukan perawatan intensif. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan Rumah Sakit rujukan dan pendidikan yang memiliki fasilitas intensif bagi penyakit jantung koroner (salah satunya infark miokard) yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian karena kecenderungan trend penyakit sekarang ini.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, dengan jumlah informan klien 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu klien dengan infark miokard akut, dirawat di ruang intensif dan kondisinya telah stabil yang dinyatakan dengan klien diperkenankan pulang oleh dokter penanggungjawabnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam setelah informan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Hasil penelitian didapatkan tema-tema penelitian yang terbagi dalam 4 dimensi yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Untuk dimensi fisik didapatkan tema selama perawatan di ruang intensif seluruh informan menyatakan adanya nyeri dada dan sesak nafas. Pada dimensi psikologis didapatkan tema dari 10 orang informan seluruhnya menyatakan merasa tidak berdaya dan mengalami ketidakpastian menghadapi masa depan. Pada dimensi sosial didapatkan tema dari 10 orang informan 9 diantaranya menyatakan tidak dapat ditemani oleh keluarga, mengungkapkan pesan untuk kelangsungan hidup keluarga dan biaya yang besar untuk pengobatan. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema dari 10 orang informan seluruhnya menyatakan adanya ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Hasil penelitian ini hendaknya menjadi rekomendasi dalam memberikan layanan kesehatan bagi klien kondisi terminal; infark miokard akut yang sedang menjalani perawatan intensif. Penting kiranya untuk dapat mengelola dan mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang sedang dirawat di unit intensif secara holistik meliputi fisik psikologis sosial dan spiritual.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi

Rabbi, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan akhir penelitian dengan judul “Pengalaman Klien Kondisi

Terminal: Akut Miokard Infark Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care

Unit (CICU) RSHS Bandung”

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini tidak

terlepas dari peranan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Mamat Lukman, S.KM, S.Kp, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Padjadjaran.

2. Neti Juniarti, selaku Ketua Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.

3. Fakultas Keperawatan UNPAD, selaku sumber dana yang membiayai peneliti

dalam melaksanakan penelitian ini.

4. Direktur RSHS Bandung yang telah memberikan ijin dan memberikan

bantuan kepada peneliti dalam pelaksanaan penelitian.

5. Bidang Perawatan, Staf Bidang Keperawatan, dan Kepala Ruangan CICU

RSHS Bandung yang telah memfasilitasi peneliti dalam pelaksanaan

penelitian.

6. Alumni Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran di Ruang CICU RSHS

Bandung yang telah membantu peneliti dalam proses pelaksanaan penelitian.

Semoga amal baiknya mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT.

Tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kekurangan.

Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan

menambah wawasan pengetahuan kita semua, amien...

Bandung, 28 Desember 2011

(5)

v DAFTAR ISI

Lembar Identitas Dan Pengesahan ……….... i

Abstrak ……….…. ii

Abstract……….……. iii Kata Pengantar ...……… iv

Daftar Isi ………...… v

Daftar Tabel ………...…... vii

Daftar Lampiran ………...….viii

1. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. Perumusan Masalah ………..3

Definisi Istilah ………..………3

2. TINJAUAN PUSTAKA ………4

Perawatan Klien Terminally Illness ………..4

Keluarga Klien Dengan Terminally Illness ………...8

Perawatan Paliatif ………12

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……….15

Tujuan Penelitian ………15

Kontribusi Penelitian ... 15

4. METODE PENELITIAN ... 17

Design Penelitian ... Error! Bookmark not defined.7 Populasi dan Sampel ... Error! Bookmark not defined.7 Teknik Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined.8 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.9 Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined.9 Pembahasan………..…23 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined.5

Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined.5

Saran ... Error! Bookmark not defined.5

7. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.6

(6)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ijin Penelitian Lampiran 2 Instrumen Penelitian

(7)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah kasus klien dengan penyakit yang belum dapat

disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit penyakit terminal,

penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke,

Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi

seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan yang

kompleks.

Penyakit terminal (terminally Ill) merupakan istilah yang mulai dikenal

pada abad ke-20. Penyakit ini untuk menjelaskan penyakit yang tidak bisa

disembuhkan yang dapat mengakibatkan kematian bagi seseorang yang

mengidapnya dalam waktu yang relatif singkat (Mc.Graw-Hill, 2002).

Menurut Albrecht (2006) penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan

karena penyakit jantung, kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke

empat adalah pneumonia/influenza. Riskesdas (2007) menuturkan di Indonesia

sendiri penyebab kematian terbesar disebabkan karena penyakit jantung,

stroke/cerebrovaskular, tuberkulosis, penyakit pernafasan, hipertensi, trauma,

penyakit terminal, perinatal, diabetes melitus, dan diare. Dari beberapa penyebab

kematian tersebut diantaranya disebabkan karena penyakit terminal/ terminally ill.

Penyakit terminal ini merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke

dalam masalah kesehatan nasional karena jumlahnya semakin bertambah dari

tahun ke tahun. Menurut Anthony, Dermot dan Stephen (2004) penyakit ini tidak

hanya merupakan ancaman terhadap masalah kesehatan, tetapi selalu menjadi

pertimbangan terhadap pembangunan khususnya pembangunan di bidang

kesehatan.

Adanya perubahan pola penyakit, tuntutan serta pengenalan teknologi di

bidang kesehatan mengakibatkan pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang

menghadapi biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi. Penyakit terminal

merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang

(8)

2

perawatannya. Oleh karena itu perlu adanya pengukuran kebutuhan pelayanan

kesehatan, biaya yang dikeluarkan, dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat

(Bradshaw, 2010). Semua hal tersebut sangat penting karena akan sangat

bermanfaat untuk membuat perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehatan

Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa

disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Sebagai

petugas kesehatan dalam hal ini sebagai perawat mempunyai tanggung jawab

terhadap segala hal yang menyangkut diri klien, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan

begitu saja. Harus ada daya dan upaya untuk mengangkat klien dari kegelapan dan

memberikan harapan walau hanya sementara.

Harapan yang dimaksud disini bukanlah harapan untuk kesembuhan dari

penyakit yang diderita tetapi harapan untuk mendapatkan kenyamanan dan

dukungan dari lingkungan kepada diri klien dalam menghadapi penyakitnya.

Dukungan bisa berupa pemberian semangat dari keluarga, petugas kesehatan, atau

yang lainnya sehingga klien tidak merasa sendiri dalam menghadapi penyakitnya

yang dapat merenggut kehidupannya.

Kebanyakan penelitian dilakukan di rumah sakit terhadap orang-orang yang

mengidap penyakit terminal. Studi etnografi yang dilakukan pada klien penyakit

terminal ditemukan bahwa perawatan pada klien dengan penyakit terminal

kurang mendapat perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif dari

karakteristik klien dengan penyakit terminal (Jones, 2002).

Didapatkan pula jumlah staf perawatan yang kurang menyebabkan beban

kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan dan adanya anggapan bahwa staf

perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada klien-klien

terminal yang sedang menghadapi akhir hidup, rumah sakit sering terlambat

membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah

kejadian yang tidak diharapkan. Komunikasi yang tidak pantas, dan tidak cukup

antara staf perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang

mempengaruhi pengalaman perawatan (Wetle .et.all, 2005).

Penelitian lain yang dilakukan pada klien dengan penyakit terminal yang

berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.all (2005) didapatkan bahwa

(9)

3

spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian.

Menurut Travis, et. all (2005) kebanyakan klien dengan penyakit terminal

terlambat mendapatkan perawatan yang disebabkan karena lambatnya keputusan

yang diambil oleh klien ataupun pengambil keputusan lainnya (seperti keluarga).

Di lain pihak juga karena sistem perawatan, aturan-aturan yang berlaku di tempat

perawatan memang tidak mendukung terlaksananya perawatan tersebut.

Dari faktor keagamanan/spiritual selama kehidupan didapatkan korelasi

positif antara tingkat spiritualitas dengan kenyataan dalam menghadapi akhir

hidup/ end of life terhadap klien terminal. Hal ini tidak berpengaruh terhadap

keadaan sakit klien saat ini. Klien yang mendapatkan dukungan sosial agama

selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik (Hays

et. all. 2005). Dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa survival

menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan

teman-teman dan saudara kembar (Rasulo, D et. all. (9).2005).

Menurut Kramer, et. all (2005) dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa

tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu sifat dari penyakit kronis

lanjut. Hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan,

ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak

memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal.

Penelitian yang dilakukan terhadap layanan kesehatan yang diberikan

kepada klien dengan penyakit terminal diantaranya yang dilakukan oleh Wetle

.et.all (2005) menyatakan bahwa staf perawatan kurang memperhatikan gejala,

kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying (proses end of life) dari klien,

perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan

perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan

tanda-tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga.

Wetle .et.all (2005) juga mengungkapkan bahwa ada perlakuan yang tidak

pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan yang tidak perlu. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan kurang memberikan informasi tentang keadaan klien yang sebenarnya, dan juga

(10)

4

perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam

pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya.

Penelitian-penelitian tentang klien dengan penyakit terminal banyak

dilakukan di negara-negara lain umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan

USA. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri

karena perbedaan kultur, etnis/ras, kepercayaan, cara pandang dari nilai-nilai yang

dianut.

Di Indonesia sendiri penelitian terkait mengenai klien terminal belum

pernah ada yang melakukan. Baru ada kajian pustaka yang ditulis oleh Benyamin

Lumenta (1997), yang menulis bahwa seorang dokter sangat sulit menentukan

menyampaikan atau tidak mengenai kondisi penyakit klien yang tidak dapat

disembuhkan atau klien berada dalam kondisi menjelang akhir hayat.

Para dokter berpendapat klien dengan penyakit terminal ini harus ditangani

secara kasuistik tetapi sulit dilakukan dikarenakan mereka tidak atau kurang

mengenal setiap kliennya. Selain itu ada keterbatasan waktu untuk melakukan

semua kajian tersebut. Padahal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya

memberikan perawatan pada klien dengan penyakit terminal yang akan

menghadapi akhir hidupnya untuk memilih perawatan dan cara kematiannya

secara terhormat dan bermartabat (Lumenta, 1997).

Salah satu penyakit dengan kondisi terminal adalah akut miokard infark,

penyakit yang disebabkan oleh adanya penyempitan pada lumen arteri koronoria

ini menimbulkan nyeri hebat dan dapat menimbulkan kematian secara cepat bila

tidak ditangani dengan segera. Penyakit ini menimbulkan kematian 400.000 –

500.000 orang/tahun di USA. Ketika klien telah melewati fase kritis dari

penyakitnya pada waktu serangan, akut miokard infark masih menimbulkan resiko

kematian khususnya pada 6 bulan pertama setelah serangan pertama. Penanganan

dari penyakit ini adalah menangani nyeri dan penanganan terhadap sumbatan dari

arteri koronaria, tetapi itu tidak mutlak menjadikan kondisi jantung klien menjadi

lebih baik.

Saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap klien dengan penyakit

terminal sudah ada tetapi belum tertata dengan baik, dimana belum ada standar

(11)

5

pemahaman dan pengetahuan, fasilitas dan ilmu yang terkait serta data-data

mengenai perawatan klien penyakit terminal yang terbatas. Kebutuhan klien

penyakit terminal terutama pada stadium lanjut prioritas pelayanan tidak hanya

pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang

terbaik bagi klien dan keluarganya. Di sini pentingnya integrasi perawatan pada

klien dengan penyakit terminal, pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan

terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi agar masalah fisik, psikososial

dan spiritual dapat diatasi dengan baik, selain itu setiap klien berhak

mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.

Dari uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark

selama di rawat di ruang intensif, karena pengetahuan penulis tentang hal-hal

yang terkait dengan penyakit ini di Indonesia belum ada, maka peneliti melakukan

penelitian kualitatif.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien

kondisi terminal; akut miokard infark selama di rawat di ruang cardiac intensif

care unit (CICU) RSHS Bandung?

C. Definisi Istilah

Penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau

cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu

yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan

(Mc.Graw-Hill, 2002). Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat

mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard

Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan

sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,

Fraenkel L 2007).

Ruang perawatan intensif atau intensif care unit (ICU) adalah unit

perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis,

(12)

6

kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus

(Depkes, 1997) dan Owen SA (2009)

Dalam penelitian ini, penyakit dengan kondisi terminal adalah penyakit

jantung koroner yaitu infark miokard akut killip II, III dan sedang dirawat di

ruang cardiac intensif care unit, yang telah mengalami perbaikan sehingga

telah diperbolehkan pulang oleh dokter penanggung jawabnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyakit Terminal

Konsep dari penyakit terminal ini akan di bahas dalam beberapa pokok

bahasan yang terdiri dari pengertian penyakit terminal (terminally ill), konsep

infark miokard itu sendiri dan karakteristik klien dengan kondisi terminal dari

berbagai dimensi.

- Pengertian Penyakit Terminal (Terminally Ill)

Terdapat beberapa definisi dari penyakit terminal diantaranya yaitu dari

American Cancer Society yang menyatakan bahwa penyakit terminal

merupakan penyakit yang aktif dan progresif yang tidak ada lagi obat untuk

mengatasinya dengan prognosis yang fatal. Hal ini didefinisikan sebagai

penyakit yang tidak dapat diubah, yang akan mengakibatkan kematian dalam

waktu dekat atau keadaan tidak sadarkan diri permanen dimana untuk

pemulihan dari penyakitnya tidak mungkin. Beberapa contoh, antara lain,

penyakit terminal termasuk penyakit terminal stadium lanjut, beberapa jenis

cedera kepala, dan sindrom kegagalan organ multiple. Panjang harapan hidup

dapat bervariasi dari entitas ke entitas.

Selain itu didapatkan pula definisi penyakit terminal yaitu penyakit

yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat

mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan

demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-Hill, 2002). Definisi penyakit

terminal yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah definisi tentang

penyakit terminal dimana penyakit yang lebih sering digunakan untuk

(13)

7

trauma. Dalam definisi lain, itu menunjukkan penyakit yang akan mengakhiri

hidup penderita. Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat

mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard

Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan

sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,

Fraenkel L 2007).

- Konsep Infark Miokard Akut

Konsep infark miokard akut ini akan dibahas mulai dari definisi,

dan manifestasi klienis yang mungkin muncul.

Pengertian

Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot

jantung terganggu, umumnya hal ini disebabkan adanya atherosklerosis

pembuluh darah koroner. Area nekrosis akan menjadi jaringan parut yang

kaku sedangkan miokard yang sehat dapat mengalami hipertrofi dan

pemburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau

infark meluas.

Patofisiologi terjadinya infark pada otot jantung sangat ditentukan oleh

suplay oksigen yang adekuat. Dikatakan bahwa otot jantung merupakan organ

yang sangat tergantung pada oksigen untuk mendapatkan energi. Kekurangan

oksigen sedikit saja dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat

menimbulkan kerusakan miokard.

Menurut Soeparman (1993) akibat adanya kerusakan miokard akan

mengakibatkan disritmia terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama

setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa

refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaan rangsangan.

Manifestasi klinis

Tanda dan gejala dari infark miokard menurut Smeltzer, dkk (2004)

adalah sebagai berikut:

1) Nyeri disebabkan oleh pengiriman oksigen yang tidak cukup ke

miokardium. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar

(14)

8

aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan

tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat. Beberapa klien

tidak mengalami nyeri tetapi mungkin merasa tidak nyaman, lemah, sesak

napas.

2) Berkeringat dingin. Hal ini disebabkan karena stimulasi sistem syaraf

simpatis dimana terjadi vasokontriksi (vasoconstriction) dari pembuluh

darah. Pada pemerikasaan fisik, kulit klien pucat dan dingin.

3) Mual dan muntah. Diakibatkan dari stimulasi reflek dari pusat muntah

akibat nyeri. Mual dan muntah ini dapat juga berasal dari reflek fasofagal

yang berasal dari area miokardium infark.

4) Suhu meningkat dalam 24 jam pertama (38ºC dan terkadang 39ºC).

Berakhir selama 1 minggu. Peningkatan suhu ini merupakan manifestasi

klinis sistemik proses keadaan penyakit yang disebabkan oleh kematian sel

miokardium infark.

5) Manifestasi kardiovaskuler. Tekanan darah dan denyut jantung mungkin

meningkat pada awalnya. Kemudian tekanan darah karena cardiac out put

berkurang, urine output dan mungkin terjadi oedema paru, keadaan ini

berlangsung selama berjam-jam hingga beberapa hari.

6) Kecemasan dimana klien takut akan kematian. Klien sering ketakutan

setelah mengalami serangan, dimana klien sering merasakan adanya nyeri

dada yang hebat, khawatir penyakitnya tidak sembuh, dan mungkin juga

ketakutan dengan seting ruang perawatan.

Pada infark miokard, gangguan jantung telah dengan mudah dan

bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip dalam empat kelas, yaitu:

I : Tidak ada kegagalan

II : Kegagalan ringan sampai sedang

III : Edema pulmonal akut

IV : Syok Kardiogenik

Pada awalnya, kegagalan ringan (Killip kelas II) dan kronik sering

dicirikan dengan S3, peningkatan frekwensi jantung (biasanya irama sinus),

dan kemungkinan crackles halus pasca batuk rejan (rale) pada dasar paru.

(15)

9

sering terlihat pada rontenogram dada, peninggian tekanan vena jugularis dan

disritmia mungkin ada: kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter

atrium, takikardi atrium paroksismal, dan irama pertemuan. Pasien mungkin

merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung rendah

atau kongesti vaskular pulmonal, gejala-gejala meningkat pada aktivitas.

Edema pulmonal akut (Killip kelas III) adalah situasi yang mengancam

hidup yang dicirikan oleh transudasi cairan dari kapilar pulmonal ke dalam

area alveolar, dengan akibat dispneu ekstrem dan ansietas. Perawatan segera

diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien.

Syok Kardiogenik (Killip kelas IV) adalah sindroma kegagalan

memompa yang paling mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling

tinggi, meskipun dengan perawatan yang agresif. Syok kardiogenik diketahui

secara klinis melalui:

 Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg (sering tidak dapat diukur)  Nadi lemah yang sering/cepat

 Kulit pucat, dingin dan berkeringat yang sering kali sianosis  Gelisah, kekacauan mental, dan apatis

 Kemungkinan perubahan status mental  Penurunan atau tak adanya haluaran urin

Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai

pompa dan biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot

jantung (40% atau lebih massa ventrikel kiri).

Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna

akan mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara

relatif. Orang ini memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan

mempertahankan viabilitas. Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah

sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting terhadap orang ini. Tidak

semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung

tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah

jantung kadang-kadang mungkin normal atau bahkan meningkat (Hudak

(16)

10

- Karakteristik Klien dengan Infark Miokard Akut dalam Kondisi Terminal

Karakteristik klien infark miokard akut dilihat dari sisi kebutuhan fisik,

psikologis, sosial, dan spiritual

1) Fisik

Karakteristik klien dengan akut miokard infark adalah adanya keluhan

sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada

kiri dan kanan, rahang, bahu kiri dan kanan pada satu atau kedua lengan.

Digambarkan sebagai rasa tertekan, terhimpit, diremas dan rasa berat atau

panas, kadang-kadang penderita melukiskannya hanya sebagai rasa tidak enak

di dada. Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam, dan jarang

ada hubungannya dengan aktifitas, serta tidak hilang dengan istirahat atau

pemberian nitrat.

Jarang ada infark yang betul-betul tanpa rasa sakit. Bila sakit dada sudah

dapat dikontrol, klien dapat tanpa keluhan sama sekali sampai pemulihan,

tetapi pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit. Penyulit yang

paling sering adalah disritmia, renjatan kardiogenik dan gagal jantung. Rasa

nyeri ini selanjutnya menyebabkan kecemasan atau stres pada klien terlihat

dari adanya ketegangan dan ketakutan, gelisah, wajah tegang, pucat, serta

berkeringat dingin. Padahal kecemasan atau stres itu, dapat memperberat

kondisi jantung.

2) Sosial

Kecemasan yang dirasakan klien Akut Miokard Infark dapat

mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk

mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad N, et all. (2006) bahwa gejala-gejala

fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan

juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh

faktor-faktor psikososial dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres

dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis,

Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu

model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah

(17)

11

penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Ada tiga tipe

mekanisme dukungan yang dapat mengurangi perasaan stres.

(1) Dukungan nyata. Dukungan nyata merupakan paling efektif jika

dihargai oleh penerima dengan tepat. Namun pemberian dukungan nyata yang

berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan berhutang akan benar – benar

menambah stres individu.

(2) Dukungan pengharapan. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi

persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial penyangga orang – orang

untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali

situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Arahkanlah pada orang yang sama

yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan

bantuan. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping

individu dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan

pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang – orang berfokus pada

aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.

(3) Dukungan emosional. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan

hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menghentikannya atau

menguatkan perasaan – perasaan ini. Stres yang tidak terkontrol dapat

berakibat pada hilangnya harga diri. Jika ini terjadi jaringan pendukung

memainkan peran yang berarti dalam meningkatkan pendapat yang rendah

terhadap diri sendiri.

3) Psikologis

Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard

infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon

pertama menurut Kubler & Ross (1970) adalah mereka mengalami mekanisme

berupa upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Klien hendak membela diri

terhadap informasi yang diterimanya tersebut, klien bersikap mengingkarinya

yang segera diikuti dengan sikap menutup diri terhadap semua komunikasi.

Klien tidak mau berhubungan lagi dengan dokter maupun perawat, menutup

dirinya terhadap keluarga dan orang-orang lain di sekelilingnya.

Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan kemarahan terhadap

(18)

12

klien menunjukkan keinginan untuk dapat sembuh kembali dan melanjutkan

perannya dalam keluarga dan masyarakat. Tetapi keadaan penyakit yang

dideritanya mendesaknya terus untuk memahami keparahan penyakitnya. Hal

ini mengakibatkan akhirnya klien masuk ke fase depresi. Klien menjadi

murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya klien dapat menerima

kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan kembali. Klien telah

memasuki proses yang tidak dapat dihindarinya menjelang akhir hayat.

Kelima fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan

betapapun kecilnya.

Menurut Glaser G (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang

penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya

semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat

berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama,

lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien

dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima

keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh

perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan

dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di

samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap

berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi

ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat

dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.

4) Spiritual

Klien akut miokard infark mengalami krisis yang berhubungan dengan

perubahan patofisiologi, pengobatan yang diperlukan atau situasi yang

mempengaruhi seseorang. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan

pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan

pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk

(19)

13

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha

kuasa dan maha pencipta. Menurut Burkhardt (1993) dalam Hamid, A.Y.S

(2000) spiritualitas meliputi aspek-aspek (1) berhubungan dengan sesuatu

yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) menemukan

arti dan tujuan hidup, (3) menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber

dan kekuatan dalam diri sendiri,(4) mempunyai perasaan keterikatan dengan

diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau

keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan

kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian.

Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais &

Wilkinsons, 1995; Murray & Zentner, 1993. dalam Hawari D, 2004).

Pentingnya agama dalam kesehatan dilihat dari batasan organisasi kesehatan

dunia (WHO, 1984) dalam Hawari D (2004) menyatakan bahwa aspek agama

merupakan salah satu unsur dari pengertian sehat seutuhnya, yang dikenal

dengan bio-psiko-sosial-spiritual.

Dalam agama Islam ada doa dan dzikir, dari segi kesehatan jiwa doa dan

dzikir mengandung unsur psikotherapeutik yang mendalam. Karena itu,

psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena

ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa

percaya diri dan optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme

merupakan hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit

disamping obat – obatan dan tindakan medis lainnya (Hawari D, 2004).

Dalam stadium yang demikian, klien membutuhkan hal-hal yang bersifat

spiritual. Pemenuhan spiritual dan juga dorongan moril dari pihak keluarga

amat menambah memperkuat “ego-strength” dan ketenangan jiwa yang

bermanfaat bagi kesehatan jantung.

- Pasien Kritis

Pasien kritis adalah pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat

memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun

mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat

(20)

14

(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) yang tinggi sehingga

membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta peralatan teknologi yang

tinggi (canggih) (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009)

Pasien yang dirawat di ruang intensif digolongkan dalam golongan

prioritas tinggi dan prioritas rendah. Golongan prioritas tinggi adalah pasien

kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan perawatan

intensif seperti ventilator, obat inotropik dan hemodialisa segera. Golongan

prioritas rendah adalah pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan

intensif, dan pasien-pasien yang penyakitnya irreversible tetapi mengalami

kegawatan bukan karena penyakit dasarnya. (FK-UNHAS, Bagian

Anesthesiologi)

- Ruang Intensif

Keperawatan kritis adalah berkaitan dengan respon dan masalah yang

mengancam keselamatan pasien seperti trauma, pembedahan yang besar atau

komplikasi dari suatu penyakit (Marino PI, 2007). Ruang perawatan intensif

atau intensif care unit (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk

merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang

mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta

didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes, 1997) dan Owen SA

(2009)

Ruang perawatan intensif memimiliki ciri yaitu tenaga yang terlatih

sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat dan cepat (agresif),

menggunakan peralatan dengan teknologi yang tinggi (canggih), tindakan

pemantauan invasif dan noninvasif serta penggunaan obat-obatan yang lebih

banyak (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009).

Perawatan intensif itu sendiri adalah bagian khusus dari sebuah rumah

sakit yang memiliki peralatan, staf medis dan keperawatan, dan perlunya

monitoring untuk memberikan perawatan intensif bagi pasien sakit kritis yang

dilengkapi peralatan pendukung kehidupan bagi pasien-pasien dalam keadaan

sakit parah dan bisa berakibat fatal termasuk termasuk sindrom gangguan

pernapasan dewasa, gagal ginjal, kegagalan organ multiple, dan sepsis

(21)

15

Perawat yang bekerja di unit perawatan intensif adalah perawat yang

mendapat pendidikan khusus sehingga memiliki skill dan dedikasi serta

motivasi yang tinggi. Perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi

keadaan pasien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat

mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan

yang mengancam sebelum dokter datang (Owen SA, 2009).

Asuhan Keperawatan Intensif adalah kegiatan praktik keperawatan

intensif yang diberikan pada pasien kritis dan keluarganya. Asuhan

keperawatan kritis membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan situasi

kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada

situasi keperawatan lain. Hal ini membutuhkan keahlian dalam penyatuan

informasi, membuat keputusan dan membuat prioritas yang tepat. Esensi

asuhan keperatan kritis tidak berdasarkan pada lingkungan atau alat-alat

khusus tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada

pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologi dan psikologi (Hudak

CM., Gallo BM, 1997b).

- Penggunaan Layanan Keperawatan Kritis pada Klien dengan Kondisi Terminal

Pada tahun 1999, Angus et al dalam Vincent JL (2010) melakukan

penelitian berbasis populasi mengenai penggunaan perawatan intensif pada

klien dengan kondisi terminal di Amerika Serikat/USA.

1) Penggunaan Perawatan Intensif di Akhir Kehidupan pada Klien Kondisi Terminal

Angka kematian yang masih tinggi di unit intensif memberikan

pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat

diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival

yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien

adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari

pasien kritis.

Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi

diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL (2010)

(22)

16

negara- negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation (CPR)

lebih sering digunakan, lama tinggal di ICU lebih lama daripada di

negara-negara Eropa Utara. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang

berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut

dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang

sedang berjalan.

2) Manajemen Perawatan Akhir Kehidupan (End of Life) di Intensif Care Unit (ICU)

Manajemen perawatan end of life di ICU merupakan sebuah phenomena

yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi

mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien yang berpenyakit

serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan

perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi. Dalam sepuluh tahun

terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada

kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil, keputusan

untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan

paliatif adalah etis. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU

diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan

(Vincent JL, 2010).

Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada

keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang

diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan

diantara penyedia perawatan, pasien dan keluarga pasien (ketika pasien telah

berada pada kondisi incapasity) mengenai apakah pengobatan penopang

kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai.

Diskusi dapat dilakukan di ward/ruangan umum, departemen Emergency,

atau ICU. Kurang dari 5 % dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir

kehidupan dan dengan demikian untuk memelihara otonomi pasien pedoman

saat ini untuk profesional merekomendasikan pengambilan keputusan

bersama dengan keluarga pasien atau teman dekat.

Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan

(23)

17

sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar

berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data dari pasien dengan penyakit serius

konsisten dengan keinginan untuk otonomi. Sebagai contoh, sebagian besar

dari mereka yang belum mendiskusikan keinginan akhir kehidupan dengan

dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran

yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak konsensual.

Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir

(Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010), menemukan bahwa 40% dari

responden ingin membuat keputusan akhir, 32% ingin membagi tanggung

jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19% ingin dokter

mengambil keputusan akhir dan 10% tidak punya opini/pendapat. Penelitian

ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 % dari dokter tidak

merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam

pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien

lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus.

Sebagian besar anggota keluarga pasien yang dirawat di ICU ingin

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tetapi tidak ada konsensus

mengenai peran yang diinginkan. Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada

terhadap 256 pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU , 33% dari

responden ingin membuat keputusan akhir (peran aktif), 43% ingin membagi

tanggungjawab mengenai keputusan akhir dengan dokter, dan 24% ingin

dokter membuat keputusan akhir (peran pasif). Sekitar 70% dari responden

melaporkan bahwa peran mereka saat ini tidak sesuai dengan keinginan dan

bahwa kepuasan terhadap perawatan akhir kehidupan itu tinggi. Penelitian di

Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58%

menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25% menginginkan

peran aktif.

Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan referensi

pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau

berbagi, peneliti tidak menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin, suku,

agama atau hubungan dengan pasien dan preferensi pengambilan keputusan.

(24)

18

mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama

diskusi perawatan akhir hidup. Peneliti mewawancara 169 keluarga dan

menemukan bahwa 56% ingin menerima rekomendasi, 42% tidak ingin

menerima rekomendasi, dan 2% menerima keduanya.

Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya

bahwa pemberian rekomendasi bukan merupakan peran dari dokter.

Rekomendasi saat ini untuk perawatan akhir kehidupan di ICU dari ACCM

(American College Critical Care Medicine) menganjurkan dokter bertanya

kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam proses

pengambilan keputusan sebelum memberikan rekomendasi apapun. Dua

penelitan observasi yang dilakukan sebelum publikasi dari pedoman tersebut

memperlihatkan bahwa preferensi keluarga dalam proses pengambilan

keputusan tidak pernah atau jarang didiskusikan. White dkk menemukan

bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan

rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut

bukan menjadi bagian dari perannya.

Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam membakukan

proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari

pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu tidak

konsensual, yang membuat setiap percakapan dokter-keluarga menjadi unik.

Untuk mencapai kebutuhan keluarga, dokter boleh jadi perlu untuk

beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana dokter boleh jadi

kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika

nilai-nilai dokter berbeda dengan harapan pasien atau keluarga.

Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad

21 memperlihatkan bahwa 90% dari responden menginginkan keluarga untuk

mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi

lumpuh/cacat/tidak berdaya. Penelitian Perancis yang lain dilakukan pada

waktu yang sama , mengevaluasi posisi dari profesional perawat kritis dan

keluarga pasien ICU dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya

menunjukan bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang

(25)

19

pengambilan keputusan. Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga

menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan.

Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan

keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di

beberapa negara Eropa Barat. Ada konsensus mengenai kapasitas

pengambilan keputusan dari pasien ketika mampu namun tidak ada konsensus

mengenai ketika pasien menjadi inkapasitas. Sekarang ada kecenderungan di

Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau

keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negara-negara terutama

mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi

paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak

diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir hidup (Vincent JL, 2010).

Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari

pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir hidup yang disediakan.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 15% dari responden merasa mereka

tidak dapat mengendalikan peralatan yang disediakan kepada keluarga

mereka, 11% percaya bahwa hidup diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan

9% melaporkan bahwa pasien tidak nyaman pada beberapa jam terakhir.

Komunikasi yang cukup (jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi

disediakan) dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran

yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan. Evaluasi kepuasan pada

26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai

dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang

rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum

terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL (2010)

melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya

komunikasi atau ketidakprofesionalan, perilaku tidak hormat oleh dokter dan

perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan sumber utama dari

konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluarga/keinginan pasien

diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu

awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan

(26)

20

Banyak penelitian memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien

ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis

memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman ICU sepertiga dari

anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat

kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian

stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian

pasien terjadi setelah keputusan untuk menghentikan therapy penopang

kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan

keputusan akhir kehidupan. Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan

bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam proses pengambilan keputusan

berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan

depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam pekerjaan proses

pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko

dari sindrom kejenuhan.

Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan

membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini

memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari

pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap pekerja

klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre dkk dalam

Vincent JL (2010), memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur

untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban

duka/kehilangan.

Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi

perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk

mendistribusikan hak dan tugas antara pasien, keluarga, dan petugas

kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses

pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan

kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang

tidak diharapkan (ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi,

sindrom kejenuhan). Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir

(27)

21

juga dalam bentuk peran (keputusan atau konsultasi) dari dokter atau keluarga

(Vincent JL, 2010)

Biaya perawatan kesehatan yang tidak seimbang terjadi pada akhir

kehidupan. Sekitar satu pertiga dari biaya pada tahun terakhir kehidupan

dihabiskan pada bulan terakhir, dan sebagian besar dari biaya ini untuk

perawatan penopang kehidupan (ventilasi mekanik , dan resusitasi).

Pengobatan terminal mengambil 7,5% dari biaya semua pasien per tahun dan

sebagian besar dari biaya ini adalah untuk pelayanan ICU (Vincent, J.L.,

2010).

Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis dalam Merawat Klien dengan Kondisi Terminal

Tempat praktek keperawatan kritis bervariasi yang didalamnya terdapat

pengelolaan untuk mengkoordinasikan perawatan klien yang membutuhkan

penilaian yang mendalam, terapi intensitas tinggi dan intervensi, dan

kewaspadaan keperawatan berkelanjutan. Perawat di unit perawatan kritis juga

berfungsi dalam berbagai peran dan tingkat, yaitu sebagai staf perawatan,

pendidik, dan perawat praktek lanjutan. Selain itu perawat di unit perawatan kritis

dianggap sebagai advokat dari klien (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ,,

2009).

- Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis Sebagai Advokat :

1. Mendukung hak klien atau pengganti untuk otonomi klien,

menginformasikan dalam pengambilan keputusan.

2. Intervensi yang dilakukan untuk mendukung kepentingan klien yang

terbaik

3. Membantu klien untuk mendapatkan perawatan yang diperlukannya

4. Menghormati nilai-nilai, kepercayaan dan klien

5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu klien dalam

membuat keputusan perawatan

6. Mendukung keputusan yang dibuat oleh klien.

7. Memfasilitasi klien yang tidak dapat berbicara sendiri.

(28)

22

9. Bertindak sebagai penghubung antara klien, keluarga dan penyedia

layanan kesehatan.

- Kompetensi Perawat di Unit Perawatan Kritis

1. Memiliki penilaian, keterampilan dan penalaran klinis

2. Sebagai advokat dan moral agency ketika teridentifikasi ada masalah etik.

3. Perawatan yang diberikan dengan memperdulikan pada keunikan klien dan

keluarga

4. Kolaborasi dengan klien, anggota keluarga dan anggota tim perawatan

5. Sistem berpikir yang sesuai dengan perawatan holistik

6. Berespon terhadap keanekaragaman

7. Perawatan klinik dan adanya inovasi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi

klien

8. Peran sebagai pendidik klien dan keluarga untuk memfasilitasi kebutuhan

belajar (Sole ,M.L, Klein, D.G, and Moseley, M.J., 2009).

Manajemen Kasus Klien Kondisi Terminal

Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, ikut

menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Keperawatan memberikan

konstribusi yang sangat besar terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai

satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif.

Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai “nursing services” dapat

diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari

sejak lahir sampai meningal dunia. Keperawatan kritis merupakan salah satu

spesialisasi dibidang keperawatan yang secara khusus menangani respon klien

terhadap masalah yang mengancam kehidupan.

Intensif care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang

mandiri (instalansi tersendiri dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan

perlengkapan yang khusus, ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi

klien-klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyulit-penyulit yang

mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. Saat ini pelayanan

(29)

23

bedah, atau klien yang membutuhkan ventilasi mekanik saja. Pelayanan yang

diberikan mencakup pemberian dukungan terhadap fungsi organ-organ vital

tubuh. Seluruh kegiatan pelayanan terhadap klien-klien di ICU dilakukan oleh

multidisiplin dan multi profesi, yaitu melibatkan profesi medic, perawat dan

non medic.

Untuk memberikan pelayanan tersebut diperlukan suatu

pengorganisasian yang baik, dimana fungsi pengorganisasian merupakan

proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui

penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi. Salah satu

metode pengorganisasian yang dapat digunakan di ruang intensif dengan

kompleksitas kasus seperti pada klien dengan penyakit terminal adalah case

management adalah pelayanan dengan mengintegrasikan layanan kesehatan

untuk klien secara individu atau kelompok yang dilakukan oleh tim kesehatan

secara interdisiplin untuk tanggung jawab secara kolaboratif dalam kajian

kebutuhan klien , menetapkan rencana tindakan – implementasi – evaluasi,

dari saat klien diterima, dirujuk dan atau dipulangkan (Powell SK, 2000).

Untuk mengelola kasus dalam case manajemen diperlukan, pertama

seorang case manager untuk menjalankan fungsi koordinasi dan kolaborasi

yang diperlukan. Kedua Critical/clinical pathway sebagai panduan alur

penanganan klien secara terintegrasi dari mulai klien datang sampai dengan

klien pulang. Dan ketiga tak kalah pentingnya adalah diperlukannya forum

komunikasi-koordinasi yang melibatkan seluruh profesi kesehatan untuk

membahas kasus klien yang ditangani.

Pelaksanaan asuhan keperawatan yang menggunakan case management

diperlukan kolabolasi interdisiplin, protocol terstruktur dalam perencanaan

perawatan multidisipliner yang detail, langkah-langkah penting dalam

perawatan klien dengan masalah klinis tertentu dan menggambarkan kemajuan

yang diharapkan klien. Integrated Care Pathways/Clinical Pathways adalah

suatu outline atau rencana praktis klinis yang diantisipasi untuk sekelompok

klien dengan diagnosis tertentu atau berdasarkan kumpulan gejala yang

merupakan panduan multidisiplin dari rencana perawatan klien menuju tujuan

(30)

24

Manajer Kasus/ Case Manajer di rumah sakit adalah seorang perawat

terdaftar (Registered Nurse) bertanggung jawab untuk mengawasi perawatan

klien di rumah sakit. Case manager ini dilatih khusus dalam mengevaluasi

dan merawat klien dengan penyakit kondisi terminal, dan keluarganya.

Perawat Case Manajer apakar dalam mengenali dan mengevaluasi gejala dan

bekerja sama dengan dokter, rumah sakit untuk mengobati gejala dan

meningkatkan kenyamanan klien

Seorang Case Manajer memberikan dukungan emosional dan praktis

baik untuk klien dan keluarga, memberikan pendidikan kesehatan. Perawat

manajer kasus harus memiliki komunikasi yang baik, keterampilan

manajemen waktu, dan nyaman dalam merawat klien yang menjalani proses

akhir hidup. Di sini mereka harus berbelas kasih dan sabar dan menghormati

perbedaan unik dari klien, mengawasi perawatan kesehatan di rumah sakit

atau di rumah dan mampu bekerja sama dengan tenaga sosial, pendeta, dan

relawan untuk mengkoordinasikan perawatan fisik, emosional, dan spiritual

klien dan keluarga (Morrow, A. 2010).

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengalaman

perawatan klien kondisi terminal akut miokard infark (killip II, III) yang dirawat

di unit intensif (CICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dari dimensi fisik,

psikologis, sosial dan spiritual.

B. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini akan memberikan:

- Untuk Profesi

Memberikan informasi mengenai pengalaman klien dengan

penyakit dalam kondisi terminal khususnya akut miokard infark dari

dimensi fisik, psikologis, sosial ekonomi termasuk budaya dan dimensi

(31)

25

tindakan pengkajian dan perencanaan dari asuhan keperawatan pada klien

kondisi terminal akut miokard infark secara holistik di area keperawatan

kritis.

- Untuk Institusi Pendidikan

Memberikan informasi tambahan bagi dosen dan peserta didik

tentang kebutuhan asuhan keperawatan klien dengan penyakit dalam

kondisi terminal di lingkup area keperawatan kritis.

4. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif

phenomenologi. Penelitian kualitatif berkaitan dengan pengalaman, pendapat dan

perasaan individu (Hancock B, 2002). Tujuan dari metode deskriptif kualitatif

untuk mempelajari fenomena intensif, menemukan pola dan tema tentang

peristiwa hidup ketika peneliti memiliki pertanyaan spesifik mengenai fenomena.

Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk

menggali pengalaman individu selama dirawat di ruang intensif dimana diberikan

pelayanan intensif, seperti pemantauan hemodinamik secara ketat.

Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif

ini adalah purposive yaitu pengambilan informan sumber data dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini informan adalah

seluruh klien kondisi terminal dimana penyakit yang tidak dapat

disembuhkan/pulih kembali dan dapat menyebabkan kematian.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah klien kondisi terminal infark

miokard, dengan kriteria

a. Klien kondisi terminal di sini adalah klien dengan penyakit jantung yaitu infark

miokard akut killip II dan III.

b. Di rawat di unit intensif: CICU dan HCCU

c. Telah diperkenankan untuk pulang ke rumah oleh dokter penanggung jawabnya

d. Mampu berkomunikasi dengan baik

e. Bersedia menjadi informan

(32)

26

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Klien kondisi terminal infark miokard akut Killip I ketika masuk dan Killip IV

ketika diwawancarai.

b. Klien yang tidak dirawat di unit intensif: CICU dan HCCU

c. Tidak mampu berkomunikasi; berbicara

Dalam penelitian ini jumlah informan yang diambil adalah 10 orang

informan klien.

Prosedur dan Cara Pengumpulan Data - Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai setelah memperoleh ijin dari pihak yang

berwenang di tempat penelitian. Kemudian penentuan informan sesuai dengan

kriteria penelitian yaitu klien dengan infark miokard killip II, III dan telah

dinyatakan boleh pulang oleh dokter penanggung jawab. Sebelum memulai

wawancara peneliti melakukan pengamatan lingkungan dan perilaku informan.

Setelah meneliti perilakunya, peneliti membina hubungan saling percaya dengan

informan.

Peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan maksud

dan tujuan dari penelitian. Setelah calon informan memahami tujuan dari

penelitian yang akan dilakukan dan memahami hak-hak mereka sebagai informan,

selanjutnya peneliti meminta informan untuk menandatangi surat ketersediaan

berpartisipasi atau informed consent. Kemudian peneliti membuat kontrak waktu

pelaksanaan wawancara yang disesuaikan dengan kondisi dan kesediaan klien.

Peneliti menyiapkan panduan topik atau guidelinenya dan wawancara di

ruang rawat intensive (CICU). Wawancara dilakukan dengan lamanya waktu 1

jam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, sesuai kontrak yang telah

disepakati. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan MP4 dan digunakan

lembar observasi untuk memvalidasi kebutuhan klien dengan kondisi penyakit

terminal, dan bila ada kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan dibuat dalam

(33)

27 - Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik

wawancara dan pengamatan. Lofland dan Lofland (1984) dalam Bagoes (2004)

mengatakan sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan

tindakan dari orang-orang yang diamati dan diwawancarai, jadi selain itu

dilakukan observasi atas perilaku, tindakan non verbal dari informan. Teknik ini

juga merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan

bertanya. Melalui teknik ini peneliti berusaha menggali informasi pada klien

dengan penyakit terminal tentang pengalaman perawatan selama di rawat di ruang

intensif.

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu

yang berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara,

buku catatan, dan MP4 untuk merekam wawancara antara peneliti dengan

informan.

Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang digunakan dalam

wawancara ini adalah:

1) Membina hubungan baik.

Hal ini sangat penting dalam penelitian dan dapat terjalin bila telah ada

rasa saling percaya antara pewawancara dengan partisipan. Untuk menjalin

rasa percaya, peneliti mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan

menggunakan bahasa sederhana, mulai dari permasalahan yang sesuai dengan

kondisi informan/partisipan, menciptakan suasana yang dekat dan santai yang

tetap berpegang pada nilai dan kode etik.

2) Keterampilan Sosial

Wawancara didukung dengan keterampilan sosial yang memadai.

Peneliti bersikap sopan, ramah dan berpakaian yang pantas/rapi. Di sini peneliti

dituntut untuk responsif dan sensitif terhadap kebutuhan klien, perlu

keterbukaan dan mempertahankan kontak mata dengan partisipan.

3) Mencatat dan merekam dengan menggunakan alat recording

Sebelum proses wawancara peneliti sebelumnya mengobservasi kondisi

(34)

28

Wawancara informan klien dilakukan di tempat tidur klien, dengan posisi

duduk. Klien duduk bersandar pada bantal atau duduk dengan punggung tegak.

- Analisa Data dan Keandalan Hasil Penelitian

Untuk analisis data pada penelitian kualitatif adalah penentuan tema dari

hasil wawancara.

Menentukan Tema atau Interpretasi 1) Transkripsi/Menyalin data kualitatif

Transkripsi adalah prosedur untuk menghasilkan versi tertulis dari

wawancara. Ini adalah sebuah "script" penuh wawancara. Transkripsi

adalah proses yang memakan waktu. Hal ini juga menghasilkan banyak

teks yang ditulis sebagai hasil dari wawancara yang sudah dilakukan.

Untuk catatan hasil pengamatan/observasi dibuat catatan lapangan

(field note) sesuai dengan respon yang diperlihatkan dari setiap jawaban

pertanyaan atau pernyataan yang dibuat oleh klien. Kemudian catatan ini

dikelompokkan sesuai dengan pernyataan yang dibuat informan. Bila ada

catatan kronologis bisa disatukan untuk melengkapi data yang

dikumpulkan.(Hancock B, 2002., Maleong LJ, 2010)

Proses dasar untuk menganalisa data kualitatif adalah dimulai dengan

memberi label atau kode/coding dari setiap item informasi sehingga kita

dapat mengenal perbedaan dan persamaan antara semua item yang

berbeda. Peneliti kualitatif tidak memiliki sistem untuk pra coding

sehingga membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifkasi dan

memberi label item-item data yang muncul di dalam teks dari transkrip

sehingga semua item-item data dalam 1 interview dapat dibandingkan

dengan data yang dikumpulkan dengan dari interview-interview yang

lain.Hal ini membutuhkan sebuah proses yang disebut analysis conten dan

prosedur dasarnya digambarkan di bawah ini. Prosedurnya sama apakah

data kualitatif telah dikumpulkan melalui interview, grup fokus, observasi

atau analisa dokumentary karena berkaitan dengan menganalisa teks.

Metode yang digunakan untuk menganalisis tema adalah dengan

Referensi

Dokumen terkait

Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan perkembangan/pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma. Tanpa menggunakan pestisida akan terjadi penurunan

Disamping itu, mengingat uji coba produk media yang dilakukan secara terbatas maka perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih luas sehingga produk media

penelitian sebelumnya pengaruh variabel biaya kepatuhan terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion) adalah sama yaitu berpengaruh

Hasil yang berbeda nyata pada variabel jumlah badan buah terjadi karena pada sistem benebaran bibit secara dicampur akan memiliki jumlah titik tumbuh yang lebih

Pemilihan Kepala daerah secara langsung akan menjadi medan pembuktian bagi partai politik untuk menunjukkan performa yang bagus untuk mendorong sifat rasionalitas

Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di Madinah, sebuah daerah yang kehidupan masyarakatnya masih sangat sederhana dan lebih bernuansa kampung dan merupakan

Materialitas, yaitu mengenai apa yang penting dan tidak penting berdasarkan suatu situasi, secara umum lebih penting untuk audit eksternal, yang penekanan umumnya adalah

Laporan ini berfungsi untuk melihat jumlah hutang barang dagang perusahaan per supplier yang akan dibayar pada saat jatuh tempo sesuai dengan nominal hutang perusahaan. Hanya