• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH PAKEM SLEMAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH PAKEM SLEMAN."

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP

KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA

MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH

PAKEM SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Lia Ismiasih NIM: 11105241046

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Jagalah tutur katamu seperti kamu menjaga harga dirimu. Karena orang akan menghormatimu dengan melihat cara

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengaharapkan ridho Allah SWT, Skripsi ini penulis

mempersembahkan untuk :

1. Ibu dan Bapak tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan

motivasi, perhatian serta semangat yang tiada hentinya.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta

(7)

vii

EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING TERHADAP

KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA

PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA

MUHAMMADIYAH PAKEM SLEMAN

Oleh Lia Ismiasih NIM 11105241046

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode role playing

dalam mata pelajaran bahasa Indonesia terhadap keterampilan berbicara siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem Sleman.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi experiment, dengan variabel terikat keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa, serta variabel bebas adalah metode role playing tanpa dampingan guru. Desain penelitiannya yaitu pretest-posttest control group design. Subjek penelitian ini adalah 32 siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem Sleman, 17 siswa kelas IPS sebagai kelas eksprerimen dan 15 siswa kelas IPA sebagai kelas kontrol. Objek penelitian berupa keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa. Metode pengumpulan data menggunakan observasi dan penilaian unjuk kerja. Instrumen pengumpulan data menggunakan lembar observasi rating scale dan lembar penilaian unjuk kerja. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik uji-t (t-test).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode role playing tanpa dampingan guru lebih berpengaruh terhadap keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa dibandingkan metode role playing dengan dampingan guru. Hal tersebut berdasarkan hasil analisis uji-t gain score kedua kelompok, hasil uji t diperoleh t hitung yaitu 2,144 dan memperoleh signifikansi 0,40 lebih besar dari 0,05 sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Berdasarkan perbedaan rata-rata (mean) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu sebesar 4.00. Dapat disimpulkan bahwa metode role playing tanpa dampingan guru mempengaruhi peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas XI dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dibandingankan metode role palying dengan dampingan guru.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, ridho dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “EFEKTIVITAS METODE ROLE PLAYING

TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH

PAKEM, SLEMAN”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

3. Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono yang telah memberikan ijin penelitian dan penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Christina Ismaniati, M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar telah memberika pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(9)

ix

6. Seluruh dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.

7. Bapak Abdul Wachid, S.Sy., S.T.h.I, selaku kepala sekolah SMA Muhaammadiyah Pakem yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian.

8. Ibu Fitri Wulandari S. Pd, selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah Pakem yang telah membantu untuk kelancaran dalam penelitian ini.

9. Siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian ini.

10.Keluarga tercinta, ibu Mujiyatun, bapak Muji Hartono, Ari dan Supri yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.

11. Yang tercinta Aidin Aries Bramantyo yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk selalu semangat dalam mengerjakan Tugas Akhir Skripsi ini.

12.Sahabat dan teman terkasih Eka, Ama, Aulia, Qori, Aprilia, Puji, Anjar, Rifki, Desy, Solekhah, Witri, Luluk, Senuk, Shela, Titik, Sopa, yang telah memberikan motivasi dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

13.Teman-teman seperjuangan Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan angkatan 2011.

Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi para pembaca pada khususnya.

(10)

x A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Pembatasan Masalah... 7

D. Rumusan Masalah... 7

E. Tujuan Penelitian... 8

F. Manfaat Penelitian... 9

G. Definisi Operasional... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Metode Pembelajaran Role Playing... 11

1. Pengertian dan Macam-Macam Metode Pembelajaran... 11

2. Pengertian Metode Role Playing... 13

3. Tujuan dan Manfaat Metode Role Playing... 15

4. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing... 16

5. Landasan Teoretik Role Playing... 18

(11)

xi

a. Pembelajaran Role Playing Dengan Guru... 20

b. Pembelajaran Role Playing Tanpa Guru... 21

B. Hakikat Keterampilan Berbicara... 24

1. Pengertian dan Karakteristik Keterampilan Berbicara... 24

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara... 28

3. Faktor-Faktor Penunjang dan Penghambat Keefektifan Berbicara... 29

4. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas... 35

5. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas... 38

C. Karakteristik Materi Bahasa Indonesia... 41

D. Karakteristik Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas... 42

E. Kajian Penelitian yang Relevan... 44

F. Kerangka Berpikir... 45

G. Pengajuan Hipotesis... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 48

B. Desain Peneleitian... 48

C. Tempat dan Waktu Penelitian... 50

D. Variabel Penelitian... 51

E. Subyek Penelitian... 52

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 53

G. Metode Pengumpulan Data... 58

H. Instrumen Pengumpulan data... 60

I. Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 63

J. Teknik Analisis Data... 64

BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 68

B. Deskripsi Subjek Penelitian... 68

C. Pelaksanaan Penelitian... 69

1. Kelas Eksperimen... 69

2. Kelas Kontrol... 73

(12)

xii

D. Deskripsi Data Penelitian... 76

1. Data Penelitian Sebelum Perlakuan (pretest)... 76

2. Data Penelitian Setelah Perlakuan (posttest)... 79

3. Data Peningkatan Nilai rata-rata Keterampilan Berbicara Siswa... 83

4. Data Skor Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol... 85

E. Persyaratan uji Analisis... 86

1. Uji Normalitas... 86

2. Uji Homogenitas... 88

F. Pengajuan Hipotesis... 89

1. Uji Hipotesis Pertama... 95

2. Uji Hipotesis Kedua... 90

G. Pembahasan... 98

H. Keterbatasan penelitian... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 96

B. Implikasi... 97

C. Saran... 97

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. SKKD SMA kelas XI semester 2... 35

Tabel 2. Desain Penelitian Pretest – Posttest... 49

Tabel 3. Data Umur Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol... 55

Tabel 4. Kisi-kisi Lembar Observasi Ratting Scale Kegiatan Guru Selama Pembelajaran Role Playing... 60 Tabel 5. Format Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan Berbicara Siswa... 61

Tabel 6. Rubrik Kriteria Penilaian Keterampilan Berbicara... 62

Tabel 7. Kategori Skor Penilian... 65

Tabel 8. Jadwal Kegiatan Penelitian... 75

Tabel 9. Nilai Rata-rata Pretest Keterampilan Berbicara Kelompok Eksperimen 76 Tabel 10. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Pretest Kelompok Eksperimen... 77

Tabel 11. Nilai Pretest Keterampilan Berbicara Kelompok Kontrol... 78

Tabel 12. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Pretest Kelompok Kontrol... 79

Tabel 13. Nilai Posstest Ketrampilan Berbicara Kelompok Eksperimen... 80

Tabel 14. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Rata-rata Posstest Kelompok Eksperimen... 81

Tabel 15. Nilai Rata-rata Posttest Keterampilan Berbicara Kelompok Kotrol... 82

Tabel 16. Kategori Hasil Interprestasi Nilai Rata-rata Posttest Kelompok Kontrol. 82 Tabel 17. Peningkatan keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Eksperimen... 83

Tabel 18. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelompok Kontrol... 84

Tabel 19. Gain Skor Kelompok Eksperimen dan Kontrol... 85

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Diagram Batang Nilai Pretest Kelompok Eksperimen... 78

Gambar 2. Diagram Batang Nilai Pretest Kelompok Kontrol... 79

Gambar 3. Diagram Batang Nilai Posttest Kelompok Eksperimen... 81

Gambar 4. Diagram Batang Nilai Posttest Kelompok Kontrol... 83

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Hasil Penilaian Unjuk Kerja Siswa... 103

Lampiran 2. Hasil Observasi Kegiatan Guru... 111

Lampiran 3. Hasil Pengujian SPSS... 119

Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 122

Lampiran 5. Dialog/Skenario Role Playing... 124

Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian... 155

Lampiran 7. Surat Ijin Permohonan Penelitian Dari Fakultas Ilmu Pendidikan... 158 Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian... 159

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara (UUSPN No. 20 tahun 2003). Pendidikan tidak hanya dipandang

sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja,

namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan,

kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi

dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan semata-mata sebagai

sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk

kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju

ke tingkat kedewasaannya (Fuad Ihsan, 2008: 5).

Di Indonesia terdiri dari 3 macam pendidikan, yaitu pendidikan

formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal

adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

pendidikan dasar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan

nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat

dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Contoh pendidikan

(17)

2

paket A sampai C). Dan yang terahir pendidikan Informal yaitu jalur

pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan dasaradalah jenjang pendidikan awal selama 9

(sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak. Pendidikan dasar

menjadi dasar bagi jenjangpendidikan menengah. Periode pendidikan

dasar ini adalah selama 6 tahun. Di akhir masa pendidikan dasar, para

siswa diharuskan mengikuti dan lulus dariUjian Nasional (UN). Kelulusan

UN menjadi syarat untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat

selanjutnya (SMP/MTs). Pendidikan menengah adalah pendidikan yang

mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki

kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial

budaya, dan alam sekitar. Pendidikan tinggi adalah satuan pendidikan

yang menyelengarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi,

politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (Nur Anisa Noviana,

2014)

Kegiatan proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih terbatas

dan bertumpu dalam bentuk tatap muka di dalam kelas. Padahal untuk

meningkatkan penciptaan dan pertumbuhan kemampuan anak didik

dalam berbicara yang baik, dibutuhkan suatu keterpaduan yang

sinergik antara guru dan anak didiknya dalam proses pembelajaran.

Salah satu usaha atau peran serta pendidik (guru) dalam menciptakan

kemampuan berbicara siswa yang baik, maka diperlukan

(18)

3

pengajaran bahasa Indonesia oleh guru kepada anak didiknya. Penekanan

pengajaran bahasa Indonesia, dalam hal ini adalah kemampuan

berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan membimbing anak didik agar

mampu memfungsikan bahasa Indonesia dalam komunikasi. Salah satu

aspek kemampuan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam

upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan

berbudaya adalah kemampuan berbicara.

Dewasa ini siswa dituntut aktif dan kreatif dalam pembelajaran.

Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses

pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa.

Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan

memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang

harus menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya

belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala

belajar adalah niat belajar siswa sendiri, dapat dikatakan bahwa

hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa (Asri Budiningsih,

2012: 59).

Berinteraksi dengan masyarakat memerlukan keterampilan

berbicara supaya seseorang bisa menyampaikan pendapat dan

berkomunikasi secara aktif. Dalam kehidupan sehari-hari orang lebih

sering menggunakan bahasa lisan (berbicara) dalam berkomunikasi, baik

(19)

4

Untuk itu, keterampilan berbicara ini perlu mendapat perhatian khusus

pada mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.

Keterampilan berbicara merupakan salah satu dari kecerdasan

manusia yaitu kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelligence). Menurut Gardner dalam Asri Budiningsih (2012:114) kecerdasan verbal

bertanggung jawab terhadap semua hal tentang bahasa. Keterampilan

berbicara merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa. Dalam

keterampilan berbahasa mencakup 4 aspek, yaitu (1) keterampilan

menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca dan (4)

keterampilan menulis. Keempat-empatnya saling berkaitan. Keterkaitan

antara keempat aspek keterampilan berbahasa itu dinyatakan dengan

istilah catur tunggal. Ini berarti bahwa ada kaitan yang erat antara

berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara

dengan membaca (Djago Tarigan, 1998)

Dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada tanggal 4 maret

2015 di SMU Muhammadiyah Pakem, keterampilan bicara siswa kelas VII

masih rendah, hal itu dilihat dari 32 siswa yang terdiri dari 15 siswa kelas

IPA dan 17 siswa kelas IPS , hanya 40% siswa yang terampil berbicara

secara aktif, artinya 60% siswa masih belum aktif berbicara. Berbicara

aktif disini adalah mampu mengemukan ide-ide, pandangan-pandangan

serta pemikiran tantang pokok bahasan yang akan dibicarakan. Kurangnya

keterampilan berbicara siswa dikarenakan siswa masih merasa minder dan

(20)

5

perlunya sebuah metode pembelajaran yang bisa melatih keberanian siswa

untuk melatih keterampilan bicara siswa khususnya dalam mata pelajaran

bahasa Indonesia. Dalam pembelajaran berbicara di SMA Muhammadiyah

Pakem, guru sudah menggunakan metode bermain peran atau role playing.

Namun peneliti ingin mengetahui apakah metode role playing efektif digunakan dalam melatih keterampilan berbicara siswa.

Keterampilan berbicara, menyatakan maksud dan perasaan secara

lisan, sudah dipelajari dan mungkin sekali sudah dimiliki siswa sebelum

mereka memasuki sekolah. Taraf kemampuan berbicara siswa ini

bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap atau kurang.Ada

siswa yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit, atau

letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu

walau dalam taraf sederhana. Beberapa siswa lainnya masih takut-takut

berdiri dihadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita lihat

beberapa siswa berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya bila ia

berhadapan dengan sejumlah siswa lainnya. Kenyataan tersebut di atas

hendaknya dijadikan sebagai landasan pengajaran berbicara di sekolah.

Berbicara memerlukan kebebasan untuk menyampaikan pikiran

tanpa beban dan tekanan. Peran seseorang juga mempengaruhi kelancaran

dan rasa kepercayaan diri dalam berbicara. Kepercayaan diri sangat

diperlukan dalam keterampilan berbicara, karena bisa mempengaruhi cara

siswa berbicara. Namun masalah yang ditemui dalam pembelajaran

(21)

6

diri dan siswa masih malu tampil di depan kelas atau umum. Kurang

percaya diri dan rasa malu tampil di depan kelas mungkin saja dipengaruhi

oleh faktor guru. Menurut Piaget dalam Asri Budiningsih (2012: 98)

perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi siswa dengan

kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa.

Siswa akan lebih merasa bebas dalam belajar jika dengan teman sebayanya

tanpa ada dampingan dari seorang guru.

Berdasarkan masalah di atas diharapkan guru mencari metode yang

baru dalam pembelajaran berbicara. Jika biasanya dalam pembelajaran

role playing, guru masih mendampingi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, maka peneliti memberikan alternatif pembelajaran role playing di sekolah, dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar tanpa dampingan seorang guru, artinya guru hanya sebagai

pengantar pembelajaran, selanjutnya siswa belajar mandiri. Dari latar

belakang, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai “Pengaruh

Metode Role Playing Terhadap Keterampilan Berbicara Siswa Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI di SMA Muhammadiyah Pakem,

Sleman.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat di

(22)

7

1. Upaya pelaksanaan pembelajaran role playing pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem masih kurang efektif.

2. Keterampilan berbicara siswa khususnya pada siswa kelas XI SMA

Muhammadiyah Pakem masih rendah.

3. Belum diketahui pengaruh role playing terhadap keterampilan berbicara dalam mata pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa

kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.

C. PEMBATASAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas,

penelitian ini dibatasi pada pada Pengaruh Metode Role Playing dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Terhadap Keterampilan Berbicara pada

Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah

dikemukakan, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan kemampuan berbicara siswa dalam mata

pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan

(23)

8

2. Bagaimana pengaruh metode role playing dengan dampingan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap

kemampuan berbicara siswa kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem?

E. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka

tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui perbedaan kemampuan berbicara siswa dalam mata

pelajaran Bahasa Indonesia antara kelas yang belajar menggunakan

metode role playing dengan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa guru di kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem, dan

2. Mengetahui pengaruh metode role playing dengan dampingan guru dan kelas yang belajar menggunakan metode role playing tanpa dampingan guru dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap

kemampuan berbicara siswa kelas XI SMA SMA Muhammadiyah

(24)

9 F. MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Manfaat Teoretis

a. Secara teoretis, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

metode yang inovatif, yaitu penggunaan metode role playing dalam pembelajaran berbicara.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi

siswa dalam mengikuti pembelajaran dan membantu para siswa

dalam meningkatkan kemampuan berbicara.

b. Bagi Pengajar

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi

guru dalam penggunaan metode role playing pada pembelajaran berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

c. Bagi Peneliti

Mengetahui efektivitas metode role playing dalam pelajaran bahasa Indonesia dalam meningkatkan kemampuan berbicara.

G. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk menghindari kemungkinan meluasnya penafsiran terhadap

(25)

10

disampaikan batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

1. Keterampilan Berbicara

Kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ide atau

gagasan kepada orang lain melalui kata-kata maupun kalimat-kalimat

dengan menggunakan intonasi dan lafal yang baik, kelancaran

berbicara, kejelasan isi pembicaraan serta ekspresi yang tepat saat

berbicara.

2. Metode Role Playing

Metode role playing adalah metode pembelajaran yang menekankan imajinasi dan kemampuan penghayatan untuk

(26)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Metode Pembelajaran Role Playing

1. Pengertian dan Macam-Macam Metode Pembelajaran

Metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran

yang sangat penting. Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran

sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode pembelajaran

karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat

diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran.

Menurut Zainal Aqib (2013: 70) metode pembelajaran

didefinisikan sebagai cara yang digunakan guru, yang dalam

menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan

pembelajaran.

Selanjutnya Abdul Majid (2014: 150) Metode pembelajaran

adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang

sudah disusun tercapai secara optimal.

Jadi metode pembelajaran adalah cara yang diterapkan oleh

guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Adapun macam-macam metode pembelajaran yang bisa

diterapkan untuk pembelajaran menurut Menurut Wina Sanjaya (2007:

145-159) yaitu: (a) metode ceramah, dapat dirtikan sebagai cara

menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan

langsung kepada sekelompok siswa. Metode ceramah sendiri masih

(27)

12

ceramah digunakan untuk pembelajaran ekspositori, (b) metode

demonstrasi, adalah metode penyajian pelajaran dengan

memperagakan dan mempertunjukan kepada siswa tentang suatu

proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar

tiruan, (c) metode diskusi, adalah metode pembelajaran yang

menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Diskusi dibagi menjadi

beberapa jenis, yaitu (1) diskusi kelas, (2) diskusi kelompok kecil, (3)

simposium, (4) diskusi panel, (d) metode simulasi, merupakan cara

penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan

untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.

Simulasi terdiri dari beberapa jenis, yaitu : (1) sosiodrama, (2)

psikodrama, (3) role playing.

Macam-macam metode pembalajaran di atas bisa dijadikan

acuan dalam pembelajaran. Namun tidak semua metode baik

digunakan dalam semua mata pelajaran, untuk itu guru harus bisa

memilih metode yang paling tepat untuk di terapkan dalam

pembelajaran sesuai dengan kriteria dan tujuan. Metode yang

digunakan dalam penelitian adalah metode role playing. Metode role playing merupakan salah satu dari strategi pembelajaran simulasi.

2. Pengertian Metode Role Playing

Role Playing merupakan salah satu jenis dari metode simulasi. Menurut Abdul Majid (2013: 205-206) terdapat 5 jenis simulasi

(28)

13

a. Sosiodrama

Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk

memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena

sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia

seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga

yang otoriter, dan lain sebagainya.

b. Psikodrama

Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran

yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis.

c. Role Playing

Role Playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi

peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau

kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang.

d. Peer Teaching

Peer Teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada teman-teman calon guru.

e. Simulasi Game

Simulasi game merupakan bermain peranan, para siswa

berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan

(29)

14

Dari lima jenis metode simulasi menurut Abdul Majid di atas,

peneliti menggunakan metode role playing sebagai metode yang digunakan dalam melatih keterampilan berbicara siswa, selain itu

dengan metode role playing siswa diharapkan bisa berkreasi sesuai dengan tokoh yang diperankan dan mendalami karakter mereka

masing-masing dengan peran masa lalu maupun masa yang akan

datang.

Menurut Sudjana (2005: 134) teknik bermain peran adalah

teknik kegiatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan

penampilan peserta didik untuk memerankan status dan fungsi

pihak-pihak lain yang terdapat pada kehidupan nyata. Artinya, siswa

memainkan peran sesuai dengan kejadian-kejadian nyata yang pernah

terjadi masa sekarang ataupun masa lampau.

Selanjutnya Miftahul Huda (2014: 209) memaparkan bahwa

metode role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.

Siswa dalam pembelajaran role playing berperan sebagai subjek pembelajaran yang aktif. Pembelajaran dilakukan dengan memerankan

suatu tokoh dalam drama dengan menitikberatkan kepada keterlibatan

emosional dan kemampuan menghayati peran.

(30)

15

kehidupan sehari-hari. Role Playing dalam penelitian ini adalah mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama dengan

menggunakan gerak-gerik, mimik dan intonasi sesuai dengan watak

tokoh drama.

3. Tujuan dan Manfaat Metode Role Playing

Sebuah metode pembelajaran harus memiliki tujuan dan

manfaat yang jelas sebelum digunakan. Adapun tujuan metode role playing menurut Sudjana (2005: 134) adalah untuk mengenalkan peran-peran dalam dunia nyata kepada peserta didik. Peserta didik

dilatih untuk bermain peran sesuai dengan tokoh yang ada guna

memberikan pengalaman kepada siswa untuk memahami tokoh dalam

kehidupan bermasyarakat.

Menurut Hamzah B. Uno (2007: 26) bermain peran sebagai

suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa

menemukan makna jati diri di dunia sosial dan memecahkan dilema

dengan bantuan kelompok. Selain tujuan role playing juga mempunyai manfaat. Menurut Hamzah B. Uno (2007: 28) melalui bermain peran,

siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk mengenal perasaannya

sendiri dan perasaan orang lain. Mereka memperoleh cara berperilaku

baru untuk mengatasi masalah seperti dalam dalam permainan

perannya dan dapat meningkatkan keterampilan memecahkan masalah.

(31)

16

ketepatan, kekurangan, dan pengembangan peran-peran yang dialami

dan diamatinya. Selain untuk mengenalkan peran kepada peserta

didik, metode role playing juga dirasa efektif untuk mengembangkan potensi siswa dalam mengembangkan bakat siswa dalam penghayatan

dan penguasaan peran.

Menurut Hamzah B. Uno (2007: 26) proses bermain peran ini

dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna

sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) menggali perasaannya, (2)

memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap

sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan keterampilan dan

sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran

dengan berbagai macam cara.

4. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing

Sebuah metode pembelajaran tidak semuanya bagus, baik

buruknya sebuah metode tergantung pada tujuan, siapa dan kapan

pelaksaan metode itu diterapkan. Adapun kelebihan dan kelemahan

metode role playing menurut Miftahul Huda (2014: 210-211) sebagai berikut:

a. Kelebihan

1) Dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan tahan

lama dalam ingatan siswa.

2) Bisa menjadi pengalam belajar menyenangkan yang sulit untuk

(32)

17

3) Membuat suasana kelas menjadi lebih dinamis dan antusiastis.

4) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri

siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.

5) Memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan

sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar.

b. Kelemahan

1) Banyaknya waktu yang dibutuhkan.

2) Kesulitan menugaskan peran tertentu kepada siswa jika tidak

dilatih dengan baik.

3) Ketidakmungkinan menerapkan RPP jika suasana kelas tidak

kondusif.

4) Membutuhkan persiapan yang benar-benar matang yang akan

menghabiskan waktu dan tenaga.

5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui strategi

ini.

Dari kelebihan di atas pembelajaran role playing dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan menyenangkan yang

sulit untuk dilupakan, artinya siswa lebih berkesan dalam pembelajaran

karena siswa perperan langsung memainkan tokoh dalam drama

sehingga siswa lebih mudah mengingatnya. Selain itu juga bisa

menumbuhkan rasa kebersamaan dan antusiasme yang tinggi karena

dalam suatu pementasan drama dibutuhkan latihan dan kerjasama yang

(33)

18

Selain mempunyai kelebihan, metode role playing juga mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan banyak waktu dalam

pementasan drama karena dibutuhkan latihan yang cukup sampai siswa

benar benar memahami isi, jika waktu dibatasi hal tersebut akan

berpengaruh pada hasil, misalnya siswa kurang memahami isi materi

serta belum hafal dengan naskah drama. Suasana kelas yang tidak

kondusif juga ikut berpengaruh terhadap proses pembelajaran.

5. Landasan Teoretik Role Playing

Proses belajar kontruktivistik secara konseptual dipandang dari

pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang

berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai

pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses

asimilasi dan akomodasi. Pemberian makna terhadap objek dan

pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara

sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial

yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar

kelas. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama

dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,

peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk

membantu pembentukan tersebut ( Asri Budiningsih, 2012: 58).

(34)

19

menyenangkan agar sulit untuk dilupakan. Elizabeth B. Hurlock (Umi

khoirotun, 2012: 12) mengemukakan bahwa bermain aktif adalah

kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka memperoleh

kesenangan dan kepuasan dari aktivitas yang dilakukannya sendiri.

Dalam kegiatan ini banyak melibatkan aktivitas tubuh atau

gerakan-gerakan tubuh. Selanjutnya Reardon dan Singer (Darmansyah, 2010:

22) menjelaskan bahwa pembelajaran menyenangkan itu adalah

kemampuan untuk mengubah komunitas belajar menjadi tempat yang

meningkatkan kesadaran, daya dengar, partisipasi, umpan balik, dan

pertumbuhan, dimana emosi dihargai.

Berdasarkan teori di atas, pembelajaran role playing merupakan metode pembelajaran aktif yang memberikan pengalaman dan makna

kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran, karena siswa berperan

langsung dalam pembelajaran, sehingga dapat membuat siswa lebih

berkesan dan menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan yang

sulit untuk dilupakan.

6. Pelaksanaan Pembelajaran Role Playing

a. Pembelajaran Role Playing Dengan Guru

Pada konsep zona perkembangan proksimal menurut

Vigotsky dalam Asri Budiningsih (2012: 101) sebelum terjadi

internalisasi dalam diri anak, atau sebelum kemampuan

instramental terbentuk, maka anak perlu dibantu dalam proses

(35)

20

guru perlu membantu dalam proses belajarnya. Peran guru selain

sebagai fasilitator juga berperan membantu kegiatan siswa dalam

pembelajaran role playing. Dalam penelitian ini guru berperan mendampingi siswa dalam proses belajar bermain peran. Jika ada

siswa yang salah atau kurang menghayati peran, guru bisa

memberikan contoh yang benar kepada siswa.

Langkah pembelajaran role playing dengan dampingan guru :

1) Guru masuk kelas memberikan sambutan dan instruksi kepada

siswa tentang pembelajaran role playing yang akan dilaksanakan.

2) Siswa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok

memainkan drama tradisional dan kelompok lain memainkan

drama modern.

3) Guru memberikan contoh peran yang dimainkan dalam naskah

drama kepada siswa.

4) Siswa berlatih drama di dalam kelas, guru mendampingi serta

memberikan arahan-arahan.

5) Setelah selesai berlatih masing-masing kelompok maju

menampilkan drama secara bergantian.

6) Berdiskusi, kelompok yang sedang tidak tampil bertugas

mengamati dan memberikan komentar kepada kelompok yang

(36)

21

b. Pembelajaran Role Playing Tanpa Guru

Kebebasan merupakan suatu yang tidak mengandung unsur

mengekang. Dalam role playing kebebasan harus diutamakan agar siswa bisa bebas mengespresikan emosialnya tanpa tekanan.

Semua prosedur ketat yang sangat mengekang dan membelenggu

anak harus dihilangkan apabila kita menginginkan suatu

kesempatan baik bagi pertumbuhan pribadi dalam seluruh sumber

intelektual dari kebebasan dan yang tanpanya tidak ada jaminan

apapun bagi pertumbuhan normal yang sejati dan yang terus

berkelanjutan (Jhon Dewey: 58-59).

Dalam proses belajar menurut teori konstruktivistik guru

dan siswa memiliki peran yang sangat penting. Peranan Siswa

(si-belajar) menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan

suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus

dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif

berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal

yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivistik memandang

siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal

sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan

menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh

sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat

sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya

(37)

22

Peranan Guru dalam belajar konstruktivistik membantu

agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan

lancar. Guru tidak mentranferkan pengetahuan yang telah

dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk

pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan

pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru dalam

pembelajaaran role playing berperan sebagai fasilitator, bertugas untuk menyajikan dan memfasilitasi pemahaman tentang aturan

dalam role playing. Sedangkan peran siswa dalam pembelajaran

role playing adalah mengkonstruksi serta menghayati peran yang dijalankan dengan mengekspresikan dan melatih emosional.

Sedangkan peran guru dalam pembelajaran role playing adalah membantu dan mendampingi siswa dalam pembelajaran.

Dalam penelitian ini guru hanya mendampingi siswa dan

memberikan instruksi di awal pembelajaran tanpa membantu siswa

dalam pembelajaran, artinya tugas guru disini adalah mendampingi

dan mengawasi siswa dalam bermain peran agar suasana tetap

kondusif. Sedangkan peran siswa adalah mengekspresikan dan

menghayati sesuai dengan tokoh dalam peran yang dimainkan,

selanjutnya siswa dibebaskan untuk berekspresi dan memerankan

peran sesuai dengan imajinasi mereka sendiri. Jadi dalam

(38)

23

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih

memainkan peran sesuai dengan tema yang sudah di bagikan

kepada setiap kelompok.

Langkah pembelajaran role playing tanpa dampingan guru adalah sebagai berikut :

1) Guru masuk kelas mamberikan sambutan serta memberikan

instruksi kepada siswa tentang pembelajaran role playing yang akan dilaksanakan.

2) Siswa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok

memainkan drama tradisional dan kelompok lain memainkan

drama modern.

3) Siswa dengan kelompoknya membaca naskah dialog dan

memahami peran yang akan diperankan secara mandiri.

4) Guru mengawasi proses pembelajaran agar tetap kondusif,

namun tidak ikut membantu siswa berlatih.

5) Siswa berlatih drama dengan bebas memilih tempat yang

dirasa nyaman untuk berlatih (masih dalam lingkungan

sekolah). Setelah selesai berlatih masing-masing kelompok

maju menampilkan drama secara bergantian.

6) Berdiskusi, kelompok yang sedang tidak tampil bertugas

mengamati dan memberikan komentar kepada kelompok yang

(39)

24 B. Hakikat Keterampilan Berbicara

1. Pengertian dan Karakteristik Keterampilan Berbicara a. Pengertian Keterampilan berbicara

Keterampilan berasal dari kata terampil yang artinya cakap

dalam menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Keterampilan adalah kecakapan

dalam melaksanakan tugas, dalam arti bahasa keterampilan

merupakan kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam

menulis, membaca, menyimak, atau berbicara. Sedangan dalam

arti tematis merupakan kesanggupan pemakai bahasa untuk

menanggapi secara betul stimulus lisan atau tulisan menggunakan

pola gramatikal dan kosakata secara tepat, menerjemahkan dari

satu bahasa ke bahasa lain, dan sebagainya. Selanjutnya menurut

Yudha dan Rudyanto dalam (Yani Zuhriyah, 12: 2012)

keterampilan adalah kemampuan anak dalam melakukan berbagai

aktivitas seperti motorik, berbahasa, sosial-emosional, kognitif,

dan efektif (nilai- nilai moral).

Menurut Djago Tarigan (1997: 34) berbicara merupakan

keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dalam

penyampaian pesan kepada pendengar, perlu adanya media yang

digunakan agar maksud dapat disampaikan dengan baik. Media

yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, pikiran atau pendapat

(40)

25

Selanjutnya Henry Guntur Tarigan (2008: 16)

menyampaikan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan

bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,

menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.

Berbicara tidak hanya sekedar pengucapan bunyi-bunyi atau

kata-kata, namun suatu alat untuk mengkomunikasikan

gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak.

Dilanjutkan dengan pendapat Soenardi Djiwandono (2011:

118-119) bahwa berbicara berarti mengungkapkan pikiran secara

lisan. Dengan menggunakan apa yang dipikirkan, seseorang dapat

membuat orang lain yang diajak bicara mengerti apa yang ada

dalam pikiranya. Agar pesan, masalah, atau topik yang ingin di

ungkapkan dapat mencapai orang yang mendengarkan dan dapat

memahaminya, maka isi pesan, masalah, atau topik itu perlu diatur

susunannya sedemikian rupa sehingga memudahkan pemahaman

oleh orang yang mendengarkan. Disamping itu perlu juga isi pesan

itu diungkapkan secara jelas berdasarkan pemilihan kata-kata yang

tepat, disusun menurut susunan dan kaidah gramatika, serta

dilafalkan dengan ucapan yang jelas dan intonasi yang sesuai.

Menurut Shaleh Abbas (2006: 83) berbicara merupakan

(41)

26

dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalamnya terjadi

pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat yang lain.

Menurut Henry Guntur Tarigan ( Ria: 2014) Keterampilan

Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi

atau kata-kata untuk mengekspresikan, mengatakan serta

menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar

menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan

penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap

muka ditambah lagi dengan gerak tangan dan air muka (mimik)

pembicara.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

Keterampilan berbicara adalah pengucapan bunyi-bunyi artikulasi

melalui bahasa lisan dengan mengungkapkan apa yang dipikirkan

untuk menyampaikan pesan, topik, dan permasalahan dengan jelas

menggunakan bahasa lisan kepada orang lain. Penyampaian pikiran

harus secara jelas agar apa yang disampaikan bisa diterima dengan

baik oleh pendengar atau orang yang diajak berbicara.

Keterampilan berbicara dalam penelitian ini adalah penyampaian

pesan, topik, dan permasalahan dengan lafal, intonasi dan artikulasi

yang jelas.

b. Karakteristik Keterampilan Berbicara

Kegiatan berbicara dapat berlangsung jika setidak-tidaknya

(42)

27

menghadapi seorang lawan bicara. Kegiatan berbicara yang

bermakna juga dapat terjadi jika salah satu pembicara memerlukan

informasi baru atau ingin menyampaikan informasi penting kepada

orang lain.

Berikut disajikan sejumlah karakteristik yang harus ada

dalam kegiatan pembelajaran berbicara menurut Mudini & Salamat

Purba (2009: 19-20) antara lain, hal di bawah ini:

a. Harus ada lawan bicara.

b. Penguasaan lafal, struktur, dan kosa kata.

c. Ada tema/ topik yang dibicarakan.

d.Ada informasi yang ingin disampaikan atau sebaliknya

ditanyakan.

e. Memperhatikan situasi dan kontek.

Sebelum seseorang berbicara, terlebih dahulu harus ada

lawan bicara untuk menerima informasi atau menanggapi

pembicaraan, selanjutnya juga harus menguasai lafal, struktur dan

kosa kata, baru orang bisa lancar dalam berbicara. Setelah itu harus

ada topik yang akan disampaikan atau ditanyakan, yang terakhir

adalah memperhatikan situasi dan kontek pembicaraan agar tidak

keluar jalur dari topik yang dibicarakan.

Selanjutnya karakteristik menurut Tarigan (Isnainar, 2013:

9) meliputi: Pertama, kemampuan berbahasa bersifat mekanistis,

(43)

28

Kedua, pengalaman berbahasa. Ketiga, pemberian-pemberian

pertanyaan yang bersifat aplikasi sangat cocok dalam

mengembangkan kemampuan berbahasa. Seseorang bisa mahir

dalam berbicara yaitu dengan latihan dan praktik secara terus

menerus. Latihan yang tepat akan memungkinkan siswa mampu

berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika

yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara

Pada dasarnya kesempatan berbicara itu merupakan suatu

giliran. Kesempatan dalam berbicara mempengaruhi seseorang untuk

bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Jelas hal

tersebut akan mempengaruhi cara berbicara mereka, misalnya

kecepatan, kejelasan dan ketepatan dalam penyampaian materi, karena

mungkin waktu yang diberikan dirasa kurang. Untuk itu kesempatan

bicara sangatlah penting seperti yang dipaparkan oleh Syamsuddin

(1997: 111) salah satu aspek analisis wacana dialog yang penting

adalah kesempatan berbicara atau dalam bahasa inggris disebut turn-talking atau dialog couplet. Istilah ini diartikan dengan hal-hal yang berkenaan dengan siapa, kapan, dan berapa lama seseorang atau suatu

pihak memperoleh giliran berbicara di dalam seluruh rangkaian

percakapan. Kesempatan ini sangat banyak ragamnya karena berkaitan

erat dengan aspek-aspek penting lain, seperti: (a) Topik pembicaraan,

(44)

29

peserta, (e) Jumlah peserta dalam percakapan, (f) Interprestasi isi dan

arah percakapan, (g) Inisiatif memotong/mengambil peran.

Berbicara adalah keterampilan penyampaian pesan melalui

bahasa lisan kepada orang lain. Berbicara identik dengan penggunaan

bahasa secara lisan. Penggunaan bahasa secara lisan dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi berbicara

secara langsung menurut Djago Tarigan (1997: 13) adalah : (a)

Pelafalan, (b) Intonasi, (c) Pemilihan kata, (d) Struktur kata dan

kalimat, (e) Sistematika pembicaraan, (f) Isi pembicaraan, (g) Cara

memulai dan mengakhiri pembicaraan, serta, (h) Penampilan

(gerak-gerik, penguasaan diri, dan lain lain)

3. Faktor-Faktor Penunjang dan Penghambat Keefektifan Berbicara

Citra suara merupakan faktor yang berpengaruh pada kegiatan

berbicara. Menurut John W.Osborne (2004: 65) ada beberapa faktor tenggorokan, mulut, hidung, tulang pipi dan kepala.

b. Nada suara

(45)

30

tetap (variabel) ini mencakup kecepatan, intonasi, volume dan jeda.

c. Kecepatan suara

Kata-kata yang diucapkan secara cepat mengandung kesamaan dan cenderung menjadi kabur bersama-sama. Melakukan variasi terhadap kecepatan kata-kata dan cara mengutarakannya menambah pengertian lebih dan menarik perhatian para pendengar. Kecepatan berbicara yang normal adalah antara 140 dan 185 kata per menit. Otak manusia dapat menyerap informasi sampai dengan 800 kata permenit. Dengan demikian para pendengar masih punya kesempatan untuk berfikir tentang apa yang Anda kemukakan. Anda perlu mengubah-ubah kecepatan bicara untuk mengumpulkn kata-kata dalam kelompok-kelompok yang mengandung arti penuh, yang memberikan penekanan pada kata-kata kunci dan pengertian-pengertian tertentu. Ini berarti bahwa Anda harus mendorong bersama-sama kelompok-kelompok kata yang relatif kurang penting dan memperlambat suara pada waktu mengucapkan kata-kata kunci yang penting, yang Anda inginkan agar dipikirkan oleh pendengar. Dalam hal-hal tertentu, berbicara cepat sesungguhnya dapat meningkatkan pemahaman dengan cara mengikatkan pemikiran-pemikiran secara bersama-sama, tetapi harus berbicara dengan jelas agar dapat dimengerti.

d. Intonasi Suara

Suara yang monoton dan membosankan merupakan pembunuh nomer satu dalam suatu penyajian. Sebagian besar dari arti yang ingin dikatakan akan hilang apabila anda tidak memiliki suara yang menyenangkan. Jelas bahwa naik dan turunnya intonasi suara merupakan satu unsur penting dalam pembicaraan yang efektif. Dalam banyak hal, intonasi suara yang rendah dianggap sebagai suatu aset untuk keberhasilan suatu penyampaian. Untuk seorang pembicara laki-laki, agar bunyi suaranya dapat dipercaya dan meyakinkan, ia harus menampilkan intonasi yang lebih rendah. Untuk seorang pembicara perempuan, agar berhasil dalam bisnis, ia perlu menggunakan intonasi suara yang lebih rendah, yang akan membuat suaranya kedengaran jelas dan tegas.

e. Volume Suara

(46)

31

f. Jeda

Para pembicara yang belum berpengalaman biasanya takut mengambil jeda saat berbicara, bahkan hanya untuk sekejap sekalipun. Bagi orang-orang seperti ini, suatu jeda selama tiga detik aja tampaknya seperti berhenti untuk selamanya. Mereka percaya bahwa selama jeda tidak akan terjadi komunikasi. Ketakutan seperti ini sesungguhnya tidak benar. Jeda adalah unsur penting dari komunikasi non-verbal dan sangat penting untuk suatu penyampaian yang baik dan kuat. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh seorang pembicara apabila ia mengambil jeda selama berbicara:

(1) Mengandung suatu pesan non-verbal dengan membuat pembicara kelihatan rileks, bijaksana dan penuh percaya diri.

(2) Membantu pemahaman verbal dengan memberikan kesempatan kepada pendengar untuk menyerap informasi dan berfikir tentang suatu alat peraga yang ditampilkan. (3) Menandakan adanya peralihan dengan memberitahukan

kepada pendengar bahwa suatu unsur berfikir telah selesai dan segera akan muncul point berikutnya.

(4) Jika jeda ditempatkan ditengah suatu frase atau kalimat, hal itu akan menciptakan penekanan dan menyerukan perhatian pada apa yang akan diucapkan setelah itu. g. Cara Pengucapan dan Penekanan – Tanda Baca Lisan

Dalam komunikasi lisan, kita tidak memiliki alat dan tanda baca yang menyenangkan untuk membantu menunjukan arti dari kata-kata yang diucapkan. Penekanan dapat digunakan untuk mendorong isi penyajian Anda dengan menggunakan salah satu metode perubahan nada suara seperti dibawah ini: (1) Mengubah kecepatan suara memberikan tekanan pada

hal-hal penting dengan menurunkan frase-frase atau kelompok-kelompok pikiran tertentu. Ini akan lebih efektif apabila dikombinasi dengan perubahan volume suara dan intonasi.

(2) Mengubah intonasi menimbulkan daya tarik dengan memberikan penekanan pada kelompok-kelompok pikiran dengan perubahan intonasi meninggi atau menurun. Jagalah agar pembicaraan tidak terlalu monoton.

(3) Mengubah volume suara membuat penenkanan secara kontras, meningkatkan volume suara dan menurunkannya secara bergantian merupakan cara yang efektif.

(47)

32

h. Artikulasi dan Pengucapan

Cara anda mengucapkan kata-kata dapat menjadi satu faktor besar dalam mempengaruhi orang. Orang yang salah mengucapkan kata-kata biasannya dianggap kurang berpendidikan atau tidak terlalu pintar. Reputasi ini tidak akan dapat ditemukan seluruhnya, karena banyak persoalan salah pengucapan disebabkan oleh kebiasaan salah artikulasi yang buruk, atau faktor-faktor lingkungan dimasa lalu. Kebanyakan persoalan menyangkut pengucapan dan artikulasi dapat diperbaiki dengan mempraktikan kebiasaan artikulasi yang baik, atau menerima intruksi dari instruktur pidato yang berpengalaman.

i. Kosa Kata dan Tata Bahasa yang Tepat

Para pembicara yang belum berpengalaman sering merasa takut karena tidak memiliki pengetahuan tata bahasa yang baik atau kosa kata yang memadai. Hal ini ditambah dengan kurangnya percaya diri menyebabkan penampilan sesorang menjadi buruk sekali. Menggunakan tata bahasa yang tidak benar pasti akan membuat Anda tidak akan berkembang dalam profesi, dan juga dalam lingkungan sosial. Kebanyakan orang menganggap mereka yang dapat menggunakan tata bahasa secara tepat adalah orang yang lebih pintar dan lebih berhasil dari pada orang-orang yang tidak menguasai tata bahasa dengan baik. Setiap orang dapat belajar untuk menggunakan tata bahasa yang benar dengan mempelajari buku pelajaran bahasa disekolah menengah. Untuk menjadi pembicara yang memiliki kosa kata yang baik, orang tidak perlu harus menyelesaikan pendidikan universitas atau akademi. Anda dapat memperkaya kosa kata dengan cara mencari sendiri kata-kata baru dan menggunakannya dalam praktek. Sebagai contoh, Anda dapat memanfaatkan waktu berangkat dan pulang kantor untuk merekam kosa kata baru ke dalam tape mobil. Anda dapat mempelajari begitu banyak kata hanya dengan periode lebih dari dua belas bulan.

j. Masalah Suara

Suara merupakan suatu persoalan apabila suara itu meminta perhatian terhadapnya sendiri. Masalah yang umum menyangkut suara adalah sebagai berikut:

(48)

33

(2) Kesengauan, dalam banyak hal, ini disebabkan oleh kebijaksanaaan membuka mulut tidak cukup lebar ketika berbicara. Persoalan ini dapat diatasai dengan cara membuka mulut lebih lebar dan menggunakan gerak lidah lebih kuat.

(3) Kesulitan Bernafas, suara yang lemah dan bergelombang disebabkan oleh Anda tidak bernanfas secukupnya waktu berbicara. Hal ini dapat diatasi dengan menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan udara berlahan-lahan.

(4) Kata-kata Pendek, kata-kata pendek yang

membingungkan seperti “ah”, “oh”, “um”, “dan” sering

merupakan pengganti jeda alamiah. Untuk menghentikan kebiasaan buruk itu, seorang pembicra harus menarik napas selama satu detik, menahanya dan kemudian mulai berbicara lagi.

(5) Mengubah Citra Suara Anda, tujuan akhir dari upaya memperbaiki cara berbicara/mengeluarkan suara bukanlah agar suuara Anda sama seperti suara orang lain, melainkan untuk membantu mengembangkan citra bunyi suara Anda yang terbaik. Hal yang pertama-tama harus dilakukan adalah dengan hati-hati memperhatikan dan mendengarkan suara Anda sendiri. Anda harus secara jujur dan obyektif melihat dan mendengar diri Anda berbicara, cara para pendengar menilai Anda. Untuk mengevaluasi dan memperbaiki citra suara, Anda mutlak memerlukan sebuah kamera video dan alat perekaman. Dengan alat ini Anda tidak saja mengamati diri, tetapi juga mencatat kemajuan yang telah dicapai. Pada setiap acara praktik, tingkatkanlah variasi suara dengan cara mengikuti petunjuk-petunjuk berikut:

(a) Variasi intonasi untuk memberikan penekanan. (b) Perlahan-lahan ketika membicarakan hal-hal penting. (c) Berhentilah sejenak setelah satu frase atau poin

penting.

(d) Kadang-kadang berbicaralah perlahan-lahan, dalam nada penuh percaya diri untuk memberikan penekanan.

(e) Jagalah agar frase-frase tetap pendek sehingga anda dapat menyampaikannya dalam satu napas saja.

(49)

34

Selain beberapa faktor penunjang di atas, dalam berbicara

dikenal dengan adanya gangguan berbicara, hal itu terjadi karena

beberapa hal. Menurut Djago Tarigan (1997: 80-81) salah satu

penghambat keefektifan berbicara adalah kecemasan berbicara.

Kecemasan berbicara merupakan keterampilan menyampaikan pesan

melalui bahasa lisan seseorang yang telah dipengaruhi oleh rasa cemas.

Menurut Saleh Abbas (2006: 84) terdapat dua faktor hambatan

berbicara, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

adalah hambatan yang datang dari diri pembicara itu sendiri, seperti: (a)

alat ucap, (b) penggunaan bahasa, (c) kelelahan, (d) fisiologi, dan (e)

psikologis. Hambatan yang kedua adalah faktor eksternal atau yang

datang dari luar pembicara, seperti: (a) suara atau bunyi (kebisingan),

(b) penglihatan, (c) kondisi ruang, (d) gerak yang aktraktif, (e) media,

dan (f) cuaca atau kondisi saat pembicaraan itu berlangsung.

4. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas

Setelah menentukan metode yang tepat untuk pembelajaran

berbicara, selanjutnya guru harus menentukan langkah-langkah

pembelajaran terlebih dahulu. Adapun kriteria untuk menentukan

langkah-langkah pembelajaran menurut Saleh Abbas (2006: 85) yaitu,

di bawah ini:

a. Materi relevan dengan Kompetensi Dasar, Hasil Belajar dan

Indikator.

(50)

35

c. Mengembangkan butir-butir keterampilan proses.

d. Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang.

e. Merangsang siswa untuk belajar.

f. Mengembangkan penampilan dan kreativitas siswa.

g. Tidak menuntut peralatan yang rumit dan mudah dilaksanakan.

h. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.

Pembelajaran keterampilan berbicara dengan metode role playing disesuaikan dengan SKKD SMA Kelas XI Semester 2 (Main Sufanti, 2010: 150-152).

Tabel 1. SKKD SMA Kelas XI Semester 2

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Mendengarkan

1.1 merangkum isi pembicaraan dalam suatu diskusi atau seminar

1.2 mengomentari pendapat

seseorang dalam suatu diskusi atau seminar

penelitian secara runtut dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar.

2.2 mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian. pada editorial dengan membaca intensif

4.2 menulis notulen rapat sesuai dengan pola penulisanya

(51)

36

5.2 menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan

6.1 mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama

7.1 mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh

7.2 membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia /terjemahan dengan hikayat Menulis

8. Menulis naskah drama

8.1 mendreskripsikan perilaku manusia melalui dialog naskah drama

8.2 menarasikan pengalaman

manusia dalam bentuk adegan dan latar pada naskah drama.

Dari tabel diatas menjelaskan bahwa pembelajaran berbicara

disesuaikan dengan SKKD SMA kelas XI semester 2 dengan standar

kompetensi yaitu siswa mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk

pementasan drama dan kompetensi dasar yaitu siswa dapat

mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama serta

mengungkapkan gerak-gerik, mimik dan intonasi, sesuai dengan watak

tokoh drama dalam pementasan.

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar dalam Sa’bani (2009:

39) menjelaskan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara

(52)

masing-37

masing. Dalam hal ini ada tiga tingkatan yang digunakan yaitu

tingkat pemula, menengah dan tingkat tinggi. Pembelajaran

keterampilan berbicara pada tingkat pemula bertujuan agar peserta didik

dapat: (1) melafalkan bunyi-bunyi bahasa; (2) menyampaikan

informasi; (3) menyatakan setuju atau tidak setuju; (4) menjelaskan

identitas diri; (5) menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (6)

menyatakan ungkapan rasa hormat; dan (7) bermain peran. Untuk

tingkat menengah tujuan keterampilan berbicara dapat dirumuskan

bahwa peserta didik dapat: (1) menyampaikan informasi; (2)

berpartisipasi dalam percakapan; (3) menjelaskan identitas diri; (4)

menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (5) melakukan

wawancara; (6) bermain peran; dan (7) menyampaikan gagasan dalam

diskusi atau pidato. Adapun untuk tingkat yang paling tinggi, yaitu

tingkat lanjut, tujuan keterampilan berbicara dapat dirumuskan

bahwa peserta didik dapat: (1) menyampaikan informasi; (2)

berpartisipasi dalam percakapan; (3) menjelaskan identitas diri; (4)

menjelaskan kembali hasil simakan atau bacaan; (5) berpartisipasi

dalam wawancara; (6) bermain peran; dan (7) menyampaikan gagasan

dalam diskusi, pidato, atau debat.

5. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Menengah Atas

Penilaian berbicara yang baik adalah penetapan titik berat

sasaran tes dalam bentuk rincian kemampuan berbicara sebagai patokan

(53)

38

sasaran tes berbicara meliputi: (a) relevansi dan kejelasan isi pesan,

masalah, atau topik, (b) kejelasan dan kerapian pengorganisasian isi, (c)

penggunaan bahasa yang baik dan benar serta sesuai dengan isi, tujuan

wacana, keadaan nyata termasuk pendengar.

Menurut Brooks dalam Henry Guntur Tarigan (2008: 28)

terdapat lima faktor yang digunakan dalam mengevaluasi keterampilan

berbicara seseorang yaitu, di antaranya adalah:

a) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal dan konsonan) diucapkan dengan tepat?

b) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara, tekanan suku kata, memuaskan?

c) Apakah ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang digunakannya?

d) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?

e) Sejauh manakah “kewajaran” atau “kelancaran” ataupun

“ke-native-speaker-an” yang tercermin bila seseorang berbicara?

Menurut Arsyad dan Mukti dalam Isnaniar (2013: 23) faktor-faktor

yang dinilai untuk keefektifan berbicara ada dua yaitu faktor kebahasaan

dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup pengucapan

vokal, pengucapan nada/irama, pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi

kata, tata bentukan, struktur kalimat, dan ragam kalimat. Faktor

nonkebahasaan mencakup keberanian dan semangat, kelancaran,

kenyaringan suara, pandangan mata, gerak gerik dan mimik, keterbukaan,

(54)

39

Selanjutnya menurut Burhan Nurgiyanto dalam Astri Setyawati

(2014: 19-20 ) terdapat tiga tingkatan tes ketrampilan berbicara, yaitu

sebaigai berikut:

a) Tes Berbicara Tingkat Ingatan

Tes berbicara tingkat ingatan ini umumnya bersifat teoritis,

menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan tugas berbicara,

misalnya tentang pengertian, fakta dan sebagainya. Tes

tingkatan ini dapat juga berupa tugas yang dimaksudkan untuk

mengungkap kemampuan ingatan siswa secara lisan. Tes ini

dapat berupa permintaan untuk menyebutkan fakta atau

kejadian, misalnya rumusan pancasila, nama-nama tokoh, acara

televisi dan baris puisi.

b) Tes Keterampilan Berbicara Tingkat Pemahaman

Tes keterampilan berbicara pada tingkat pemahaman juga

masih bersifat teoritis, menanyakan masalah-masalah yang

berhubungan dengan berbagai tugas berbicara. Tes tingkat

pemahaman dapat pula dimaksudkan untuk mengungkap

pemahaman siswa secara lisan.

c) Tes Keterampilan Berbicara Tingkat Penerapan

Tes keterampilan berbicara pada tingkat penerapan tidak lagi

bersifat teoritis, melainkan menghendaki siswa untuk praktik

(55)

40

menerapkan keterampilan berbahasanya untuk berbicara dalam

situasi dan masalah tertentu untuk keperluan berkomunikasi.

Dalam mengukur tes kemampuan berbicara menggunakan metode

role playing peneliti menggunakan tes keterampilan berbicara tingkat penerapan menurut Burhan Nurgiyantoro, tes yang digunakan adalah tes

unjuk kerja/performance.

Menurut Astri Setyawati (2014: 23) terdapat lima aspek yang

digunakan dalam menilai keterampilan berbicara siswa, diantaranya

adalah: (1) intonasi, yaitu penempatan tekanan kata/suku kata pada saat

berbicara; (2) lafal, yaitu pengucapan bunyi konsonan dan vokal pada saat

berbicara; (3) kelancaran, yaitu pengucapan bunyi tanpa terputus-putus

dan tanpa jeda; (4) ekspresi berbicara, yaitu mimik/pantomimik pada saat

berbicara; (5) pemahaman isi yaitu pemahaman isi pembicaraan sesuai

dengan topik dan tokoh yang diperankan.

Dalam penilaian berbicara ini, peneliti menggunakan penilaian

keterampilan berbicara pada kelas XI SMA Muhammadiyah Pakem,

Sleman menurut Astri Setyawati, yang meliputi : (1) lafal yaitu kejelasan

vokal/konsonan, (2) intonasi yaitu penempatan tekanan kata/suku kata, (3)

kelancaran yaitu pengucapan bunyi tanpa terputus-putus, (4) ekspresi yaitu

mimik pada saat berbicara dan (5) pemahaman isi yaitu pemahaman

Gambar

Tabel 1. SKKD SMA Kelas XI Semester  2
Tabel  2. Desain Penelitian Pretest – Posttest
Tabel 3. Data Umur Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Tabel 5 . Format Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “ Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalaui Metode Artikulasi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Materi Kesehatan Pada Siswa

MEMAHAMI ISI TEKS DIALOG DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI ROLE PLAYING PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD MUHAMMADIYAH NUSUKAN, SURAKARTA

Hasil dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode role playing dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas V

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Debat Aktif pada Mata Pelajaran Bahasa

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA PRANCIS PESERTA DIDIK KELAS XI SMA N 1 SANDEN BANTUL YOGYAKARTA DENGAN TEKNIK ROLE PLAY (JEU DE

Dengan demikian yang menjadi tujuan penelitian ini meliputi : untuk mengetahui apakah penerapan metode role playing dapat meningkatkan keterampilan berbicara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai keterampilan berbicara antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran role playing dan siswa yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan keterampilan berbicara antara siswa yang mengikuti pembelajaran Role Playing berbasis penilaian